BAB 3
Gadis Polos yang Sedang Dilanda Sakit
Disuatu pagi pada liburan musim semi.
Terbangun dari tidur, menyadari sosok seseorang yang telanjang bulat tengah tidur disamping.
----- Hei, Sorata.
----- Hng.. Ada apa?
----- Kuserahkan urusan ku pada mu.
Ketika sang gadis berkata seperti itu.
Bagian 1
Kenapa semua ini bisa jadi begini?
Punggung Kanda Sorata sedang merasakan suhu tubuh dari Shiina Mashiro, suara dari langkah kaki selangkah demi selangkah menuju lantai atas. Bunyi tiap langkah yang mengenai lantai papan kian terdengar, seakan memberikan peringatan akan bahaya yang semakin mendekat.
Lokasi sedang berada di Sakurasou – Asrama Universitas Suimei untuk murid kesenian SMA yang bermasalah.
Bangunan usang berbahan kayu dengan dua lantai. Sorata adalah penghuni kamar nomor 101, yang di gendongnya Shiina Mashiro tinggal di kamar nomor 202. Mulai musim semi ini mereka berdua adalah murid kelas tiga.
Yang benar saja, kenapa bisa jadi begini?
Saat pertanyaan yang sama muncul kembali dalam benaknya, desahan nafas panas dari Mashiro mengenai lehernya.
“Hufft ……”
Ia tak bisa menyalahkannya. Karena Mashiro memang sedang demam.
Sorata tahu betul kenapa Mashiro bisa terkena demam, jadi seharusnya tidak perlu memikirkan penyebabnya lagi. Tetapi, mengingat kesulitan yang akan di hadapi ke depan, akan sangat sulit untuk tidak memikirkannya.
Pada kesehariannya, dia butuh orang lain untuk membangunkannya, mencucikan pakaiannya, bahkan celana dalam saja harus menyiapkan untuknya, dan setelah selesai mandi mesti bantu dia mengeringkan rambutnya, dia benar-benar tidak mengerti cara mengurus dirinya sendiri…… Inilah Shiina Mashiro. Begitu pergi keluar bisa saja langsung tersesat, dan untuk seorang diri pergi membeli sebuah barang adalah hal yang mustahil baginya.
Sejak kecil sudah mulai melukis hingga sekarang, sang pelukis jenius dengan kemampuan yang diakui oleh dunia, tetapi seakan harga yang harus dibayar sama bakatnya itu adalah kepolosan dan keluguan yang tidak terdapat pada orang umumnya.
Setahun yang lalu setelah kedatangan Mashiro di Sakurasou, Sorata yang mengemban ‘Tugas Mashiro’, setiap hari mengurusinya hingga sekarang.
Oleh karena itu, Mashiro yang sedang demam sudah seharusnya merupakan kewajiban Sorata untuk merawatnya.
Pada hari biasa saja sudah cukup membuat orang lain cemas, akan gimana jadinya jika demam.
Satu hal yang sudah bisa ia pastikan, yaitu akan sangat sulit untuk melawati hari ini dengan tentram, tak heran kalau ia akan gelisah, pemikiran yang tidak berarti terus berluang di benaknya.
Namun Sorata punya alasan untuk tidak terus murung.
Sejak memasuki liburan musim semi, orang yang terlebih dahulu terkena demam adalah Sorata. Pada saat itu Mashiro berusaha merawat Sorata yang sedang demam, tentu saja dengan berbagai cara yang aneh dengan keluguannya itu…… Demi menghangatkan tubuh Sorata yang mengigau “dingin sekali”, Mashiro bahkan dengan telanjang bulat menyelinap ke dalam selimutnya.
Bagaimanapun juga, keinginan Mashiro untuk membantu Sorata sudah tersampaikan, jadi secara keseluruhan Sorata juga sangat berterima kasih padanya.
Meski tidak tahu apakah ada hubungannya dengan perawatan dari Mashiro atau tidak, pagi ini kondisi tubuh Sorata sudah pulih kembali. Tetapi sebaliknya, kali ini giliran Mashiro yang terkena demam. Begitulah situasi sekarang.
Mau apapun itu, merawat Mashiro yang sedang demam sudah merupakan tanggung jawab Sorata, tidak bisa menyalahkan orang lain, dan tentu saja ia tidak bisa mengeluh pada Mashiro, jadi semacam senjata makan tuan.
Sebab itu, makanya Sorata terus bergumam sendiri yang tiada artinya dengan sambil berpikir “kenapa bisa jadi begini?!”.
“Hei, Sorata.”
Mashiro memegang erat punggung Sorata.
“Kenapa?”
“Urusan ku, kuserahkan pada mu.”
“Tadi dikamar ku sudah kau bilang.”
Lebih tepatnya, dikasur kamar Sorata.
“Masih belum dapat jawaban yang pasti.”
“Jika kau ingin aku memberikan jawaban yang pasti, bertanyalah dengan gaya bahasa biasa. Cara bertanya mu itu seolah ingin meminta kepastian pada lawan bicara untuk menikahi mu!”
“Kalau begitu, nikahi aku.”
“Enggak ah!”
“Tidak sopan.”
“Bicara sembarangan buat mempermainkan ku, yang lebih tidak sopan itu kau!”
Menaiki lantai 2, Sorata mengantar Mashiro ke kamarnya …… Kamar nomor 202.
Sorata langsung menuju ke kasur, menurunkan Mashiro dan menyuruhnya baring.
“Sorata.”
Mashiro sekali lagi memanggil dengan desahan nafas yang panas, sorotan mata yang lesu itu kelihatan sedikit mengairahkan. Sorata tidak bisa menahan detak jatung yang bertambah cepat.
Meski begitu, dia tetap menyembunyikan perasaan terguncangnya itu, dengan hati-hati menutupi Mashiro dengan selimut sampai ke bahunya.
Kemudian, Sorata dengan badan yang sedang membungkuk mendengar bisikan dari Mashiro.
“Hari ini tolong lembut sedikit ya.”
“Bodoh!”
Sorata dengan panik mengambil jarak.
“Bodoh, a-apa yang kau bicarakan! Kalau diatas ranjang mendengar kata seperti itu, suasana hati bakal jadi aneh!”
“Aku juga.”
“Hah?!”
“Dada terasa sesak, hati deg-degan, kepala pusing…… Badan memanas”
“Itu sih ciri khas gejala demam!”
Meskipun hanya kian detik detak jantung bertambah cepat, tapi seakan merasa sendiri sudah rugi besar.
“Pokoknya, ukur suhu tubuh dulu.”
Sorata memberikan Mashiro termometer yang dibawa olehnya, setelah memastikan dia meletakannya di lipatan ketiak, lalu menunggu 5 menit.
“Sudah selesai.”
Dengan hati-hati ngambil termometer yang dibawah piyama, termometer yang hangat karena pengaruh dari suhu badan, menunjukkan 37,8 derajat celcius.
“Baiklah, hari ini kau jangan banyak bergerak dulu ya.”
Ketika Sorata mengatakan itu sambil bersiap meninggalkan kasur.
“Sorata, kau sudah mau pergi?”
Mashiro dengan sorotan mata yang terlihat tidak tenang sedang melihat ke Sorata.
Dengan kedua tangan memegang kedua sisi tepi selimut, menuju kedepan menatapnya.
“Kalau aku disini, mungkin kau tidak bisa istirahat dengan tenang.”
“Aku sangat tenang.”
“Jika kau bilang begitu, malahan aku yang tidak bisa tengan!”
“Memang seorang bocah yang tak pandai diam.”
“Ketika aku di SD, di rapot memang ada keterangan seperti itu…… Eh’ tunggu, masalah itu tidak penting. Hei, Hp mu aku taruh di meja.”
“Hu’um.”
“Kalau ada perlu apa-apa telepon aja.”
“Apa kau akan segera datang?”
Entah kenapa Mashiro yang hari ini kelihatan tampak jadi agak pemalu, tatapan berkeinginan keras yang biasanya kini juga menjadi tatapan yang lembut.
Tidak peduli siapapun, kalau sudah terkena demam pasti akan terasa lemas. Dalam hal ini Mashiro juga tidak terkecuali.
“Iya, aku akan segera datang.”
Sorata berusaha keras menjawab dengan lembut, setelah berkata seperti itu langsung merasa malu, lalu membalikkan mukanya menghadap ke arah pintu.
Kemudian seolah-olah ingin menyembunyikan perasaan itu dengan segera mengatakan :
“Sudah dulu ya, beristirahatlah.”
“Aku nggak ngantuk.”
“Meski begitu tetap juga harus tidur.”
“Akan ku coba usahakan.”
Walau masih sangat ragu dengan perkataan Mashiro, tapi Sorata berusaha menahan untuk tidak menanyakannya lagi. Sekali merespon pembicaraan maka akan terus berlanjut, jadi tidak ada waktu tidur buat Mashiro.
Sekali lagi dengan teliti dan hati-hati menutupi Mashiro dengan selimut, setelah itu Sorata keluar dari kamar.
Pelan-pelan menutup pintu kamar.
Meski masih bisa merasakan tatapan dari Mashiro, tapi Sorata pura-pura tidak menyadarinya.
“Nah, hari ini bagusnya ngapain ya?”
Setelah kembali ke lantai dasar, Hp Sorata yang berada di saku berdering.
Penelepon adalah Mashiro.
Dia tidak mengangkatnya, lalu langsung pergi membuka pintu kamar nomor 202.
“Apa sebegitu cepatnya ada sesuatu yang diperlukan?”
“Ternyata benar-benar datang.”
“Cuma ngetes doang?!”
“Ini memudahkan sekali.”
“Sudah jangan main lagi, buruan tidur.”
Sorata dengan cepat menutup pintu kembali, meninggalkan kamar.
“Dasar!”
Dengan membawa suasana hati yang tak bisa menerima tapi tidak membenci, ia turun ke lantai dasar. Mau bagaimanapun keadaannya, mendapat ketergantungan itu tak akan merasa tidak nyaman.
Ketika melewati ruang makan, ada bayangan seseorang yang melangkah keluar.
Itu adalah Aoyama Nanami penghuni kamar nomor 203. Di Sakurasou yang merupakan perkumpulan para orang aneh, satu-satunya orang normal yang bisa dipercaya oleh Sorata adalah dia.
Melihat ia yang berpakaian kasual, sepertinya sedang bersiap buat pergi keluar, di tangan juga membawa 2 buah tas kertas.
“Aoyama, kau mau kemana?”
“Aku mau pergi memberikan buah tangan buat Mayu dan Yayoi, karena merupakan barang yang segar, jadi sebaiknya di antar segera mungkin.”
Tampaknya yang ada dibalik tas kertas memang adalah itu.
“Bagian semuanya yang di Sakurasou, aku sudah taruh di atas meja.”
Pandangan Sorata mengarah ke meja, diatasnya terletak kemasan Yatsuhashi dan Wagashi.
“Aoyama itu ……”
“Tak boleh tanya.”
Tanpa peduli Sorata lanjut mengatakan :
“Kau kan balik kampung ke Osaka, tapi kok buah tangannya bisa ini?”
Yatsuhashi dari Kyoto, dan Wagashi adalah manisan khas dari Nagoya.
“Yah mau bagaimana lagi. Aku tanya Mayu dan Yayoi ingin apa, mereka bilang mau ke dua itu.”
“Sebenarnya tidak masalah juga sih.”
“Sudah hampir tiba waktu janjian kami, aku pergi dulu.”
Nanami melihat jam yang tergantung di dinding.
“Iya, hati-hati di jalan.”
Sorata mengantarnya sampai di teras, ketika selesai memakai sepatu ia membalikkan kepalanya.
Entah kenapa menatap lurus ke Sorata.
“A-ada apa?”
“Jangan hanya karena kau berduaan dengan Mashiro, lalu melakukan hal yang aneh-aneh ya.”
“Siapa yang akan melakukan itu! Dan juga Akasaka ada di dalam kamarnya, ini tidak bisa disebut cuma berduaan ‘kan?!”
Sengoku Chihiro yang menjadi pengawas asrama Sakurasou sejak tadi pagi sudah pergi ke sekolah. Meskipun liburan musim semi, tapi sepertinya guru masih punya banyak pekerjaan. Penghuni yang satunya lagi Akasaka Ryuunosuke, tidak akan pernah keluar dari kamarnya jika bukan sesuatu yang sangat penting, seorang hikikomori tingkat akut. Semester pertama di tahun lalu, dia tidak pernah pergi ke sekolah.
“Harus hati-hati dan selalu waspada ya.”
“Sudah ku bilang aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh!”
Nanami tertawa sambil berjalan keluar. Tampaknya Sorata sudah di ejekin.
“Jadi, apa yang harus ku lakukan ya?”
Saat sedang memikirkan itu, Hp berdering lagi.
Penelepon sudah pasti adalah Mashiro.
Mau bagaimanapun juga, diangkat saja dulu teleponnya.
“Kenapa?”
“Tidak ada.”
“Jangan bermain panggilan telepon iseng lagi dong!”
“Ingin mendengar suara Sorata.”
“Ouh, begitu ya…… Eh’ tunggu, hampir aku mau berjalan kesana, tidak boleh mengatakan hal seperti itu!”
Dengan cepat Sorata menutup teleponnya, memutuskan untuk membuat makan siang dulu.
Bagian 2
Casserole kecil yang diatas kompor gas mengeluarkan suara ‘kulu-kulu’, Sorata menatap naiknya uap air dengan pikiran yang tidak tenang.
Kucing putih Hikari sedang menggosokkan tubuhnya di kaki Sorata, mengeluarkan suara “meow~ ~”. Di meja dapur ada 2 ekor, di meja makan 2 ekor, dan di kursi juga ada 2 ekor kucing. Yang warna hitam, warna campuran, warna cokelat, warna coca-cola, juga ada yang mirip kucing siam dan kucing American shorthair.
Penyebab Sorata dianggap sebagai siswa yang bermasalah adalah ke tujuh kucing ini.
Ketahuan memelihara kucing di asrama reguler, itulah sebabnya di pindahkan ke Sakurasou. Setelah itu, awalnya hanya 1 ekor kucing, dan sekarang bertambah sampai 7 ekor.
Sorata meninggalkan kompor gas, mengeluarkan makanan kucing di bawah meja makan, ke 7 kucing itu berebut berkumpul kemari, dengan cepat melahap makanan kucing.
“Harus makan bersama dengan harmoni ya.”
Para kucing tidak menanggapi, tampaknya sedang serius makan, jadi tidak ada waktu memedulikan Sorata.
“Baiklah, mungkin sudah waktunya mengatarkan makanan buat kucing besar yang satunya lagi.”
Mematikan api kompor, memindahkan casserole ke atas nampan, ditambah piring kecil yang berisi jahe, daun bawang dan bumbu lainnya, meninggalkan ruang makan, lalu berjalan naik ke lantai 2 yang seharusnya terlarang bagi laki-laki.
Melewati kamar nomor 201 yang saat ini sedang tidak ada penghuni, menghentikan langkah kaki di depan pintu kamar sebelah. Yang dimaksud kucing besar yang satunya lagi, tentu saja adalah Shiina Mashiro.
Mencoba mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Hei~ ~ Shiina.”
Tidak ada respon seperti yang diduga.
Sorata membuka pintu kamar yang tidak di kunci.
Entah kenapa, di atas kasur tidak melihat keberadaan Mashiro.
“Hei……”
Penghuni kamar sedang duduk di depan meja, menatap layar monitor dengan serius, diiringi gerakan tangan yang cepat mengoperasikan papan gambar digital.
“Kau sedang apa?”
Awalnya mengira dia pasti akan beristirahat dengan tenang di atas kasur karena sedang demam.
Mashiro membalikkan kepala, pandangannya menangkap keberadaan Sorata. Kulit putih merona yang seakan terlihat transparan disertai sedikit kemerah-merahan.
“Kamu siapa?”
“Apa saking panasnya kepalamu hingga kehilangan ingatan?!”
“Cara berbicara seperti itu jangan-jangan Sorata ya.”
“Tolong ya, bisa tidak mengenali orang pakai wajah.”
“Itu sulit.”
“Dimana sulitnya?”
“Sebagian besar dari Sorata terbentuk oleh kata-kata yang kejam.”
“Mendengar mu bilang seperti itu, aku juga mulai merasa kalau memang ada benarnya, tapi jangan begitu! Boleh enggak kalau hanya setengah aja? Kayak obat sakit kepala itu!”
Tampaknya Mashiro tidak terlalu tertarik dengan pendapat Sorata, baru mendengar setengah dari kalimat yang dilontarkan oleh Sorata, langsung membalikkan kepalanya menghadap ke layar monitor.
“Aku belum selesai bicara!”
“Aku sudah puas.”
“Memang ratu yang bandel.”
“……”
Sepertinya mau ngomong apapun sudah tidak ada gunanya.
“Kembali ke pertanyaan awal, apa yang sedang kau lakukan?”
“Sedang menggambar manga.”
“Itu aku juga tahu. Kau masih demam, sebaiknya kembali istirahat saja.”
“……”
Sorata menaruh nampan ke atas rak yang disamping meja tulis, meletakkan tanganya di dahi Mashiro yang terdiam meneruskan pekerjaan.
Panas sekali.
Tampaknya semakin parah demamnya.
“Sorata dingin sekali.”
“Maksudmu tangan ‘kan?!”
“Tangan Sorata juga sangat dingin .”
“Masih ada yang lain enggak?! Jangan-jangan mau bilang aku berhati dingin?”
“Kaki?”
“Kau pikir aku pekerja kerah pink yang tangan dan kaki dingin apa?”
“……”
“Lupakan, itu bukan masalah penting. Bagaimanapun juga, saat tidak enak badan masih menggambar. Apa kerjaannya bisa dilakukan dengan baik?”
“Berjalan sangat lancar.”
Sorata menatap ke layar monitor.
Tangan Mashiro yang bergerak lancar seperti biasa, perlahan dihalaman mulai muncul tokoh yang di gambar, namun bukan gambar yang terlihat seakan hidup yang seperti biasanya.
Wajah tokoh juga sangat parah.
“Bagaimana?”
“Dilihat bagaimanapun juga tidak bisa! Wajah heroine yang di kotak paling bawah itu bengkak lho? Kena tinju gorila atau apa?”
“Kalau begitu, aku beginikan.”
“Jangan asal ambil ide barusan dong! Ngomong-ngomong, aku barusan ucapin, dan kau langsung sudah selesai menggambar seekor gorila!”
Meskipun dalam kondisi yang tidak begitu baik, namun bagaimanapun juga ia adalah pelukis jenius dengan kemampuan yang diakui seluruh dunia, hanya dalam puluhan detik saja sudah selesai menggambar seekor gorila yang cantik.
“Sekarang kerana kau memasukkan gambar seekor gorila seperti itu, akibatnya pandangan orang akan berubah tahu!”
Yang sedang Mashiro buat sekarang adalah serial manga shoujo. Berkisah tentang persahabatan dan percintaan 6 orang laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama disebuah kontrakan…… Jika tidak pergi ke kebun binatang, tidak akan ada kesempatan buat gorila untuk muncul dihalaman. Walaupun memang ada, seharusnya juga tidak perlu terlalu fokus mengilustrasikannya.
“Gorila ini dari mana?”
“Tepat setelah melewati lorong masuk.”
“Apa tidak terlalu sembarangan rancangan jalan ceritanya?”
“Wu hu.”
Bahkan dialognya sudah ditulis.
“Wu hu, wu hu apaan! Serius bah, sekarang lebih baik kau jangan menggambar manga dulu.”
“Kenapa?”
“Karena pembaca akan menangis! Menangis keras bahkan sampai menjerit!”
“Sukses besar berarti.”
“Bukan air mata karena merasa terharu tahu!”
“Jelas-jelas ini digambar dengan sangat bagus.”
“Iya, memang benar digambar dengan baik! Tapi sesuatu yang tak mungkin tetap tidak akan mungkin ‘kan! Editor Ayano-san pasti akan marah, kau bakal di omelin.”
“Kalau begitu akan gawat.”
“Benarkan? Makanya hari ini kamu jangan bandel, sana tiduran saja.”
“Aku mengerti.”
Mashiro menggeliat sambil masuk ke bawah meja. Biasanya ia selalu menggambar manga sampai ketiduran, lalu terlelap disarang bawah mejanya.
“Hari ini sebaiknya kamu tidur di kasur saja ya.”
“……”
Mashiro memegang pipinya.
“Kenapa kau terlihat seperti keberatan gitu?”
“Sorata antar aku kesana.”
“Kau ini anak kecil ya……”
“Aku sudah dewasa, kau ‘kan sudah tahu betul itu.”
“Apa itu cara mengatakan yang mengandung makna lain?”
“Bagian aku yang dewasa……”
Ada apa dengan suasana ini……
“Ma-mana ada!”
“Jelas-jelas kau sudah pernah melihatnya.”
“Bisa tidak kau jangan tanpa sadar membuat suasana aneh begini!”
Udara yang dikamar terasa ringan, seakan dipenuhi warna pink.
Sorata kehabisan akal, berjongkok dan menghadap kebelakang Mashiro.
“Sini, aku gendongin.”
“Gak mau.”
“Kan tadi kau sendiri yang minta aku antar kau ke kasur.”
“Peluk.”
“Hah?!”
“Aku maunya pakai peluk.”
Mashiro dengan muka yang begitu merah menjulurkan kedua tangannya dari bawah meja.
“Yang benar saja?”
“Ikan makarel (Note : ‘Ikan makarel’ dan ‘benar’ nada kedua kata tersebut mirip dalam bahasa jepang).”
“Itu sih ikan!”
Tampaknya cara ia biaca juga mulai menjadi aneh, mungkin sebaiknya cepat membiarkan dia baring. Sorata mengatakan itu pada dirinya sendiri. Setelah membuang rasa malu langsung mengangkat Mashiro. Itu adalah princess hug.
Bagian atas tubuh bisa merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh Mashiro, sensasi menyentuh kulit halus, lembut seorang gadis. Akibatnya, rasa malu yang sudah Sorata buang jauh-jauh kini kembali lagi.
Wajah yang semakin memanas. Mungkin sekarang ia sendiri bahkan lebih panas dari Mashiro, keringat yang tak hentinya keluar dari sekujur tubuh.
Meski begitu, karena jarak yang dekat, sehingga ia masih bisa bertahan dan dengan lancar mengantar Mashiro ke atas kasur, lalu menutupi kakinya dengan selimut.
“Aku ada masak bubur, kamu mau makan enggak?”
Tangannya memegang nampan yang di atas rak yang disamping meja tulis.
“Aku tidak lapar.”
Saat Mashiro baru selesai berkata begitu, tak lama setelah itu langsung terdengar bunyi ‘kriuuukk~’ suara perut keroncongan yang imut.
“Sepertinya perut mu bilang dia sudah lapar tuh.”
“Tunggu sebentar. Aku coba kompromi sama dia dulu.”
“Tidak perlu melakukan pembicaraan yang tak berarti. Pokoknya kau harus makan.”
“Aku tidak ingin makan.”
“Aku juga tahu kalau sakit itu tidak ada nafsu makan. Tapi, jika kamu tidak makan untuk mengembalikan tenaga, demamnya tidak akan sembuh lho.”
“Kalau begitu Sorata yang makan.”
“Walau aku yang makan juga tidak akan bisa mengembalikan tenaga mu.”
“Begitu ya?”
“Kau pikir tubuh ku dan tubuh mu itu punya hubungan yang seperti apa?!”
“Hubungan yang sangat nyaman.”
Ia terus menatap Sorata dengan kedua matanya yang lembab itu.
“Baiklah, sudah disaat yang begini juga, aku akan terus terang, hari ini kamu memang sangat seksi! Saking semangatnya aku sampai memanas dan serasa akan meledak.”
“Apa kau melihat ku dengan pandangan yang seperti itu?”
“Ti-tidak boleh apa!”
“Tidak juga.”
“Huh?!”
Mashiro dengan tatapan matanya yang panas itu terus menatap Sorata.
“Ingin melakukan apa dengan ku?”
“A-aku bilang……”
“Ingin apa?”
Dari bibir Mashiro mengeluarkan nafas yang seolah seperti desahan, terlihat begitu seksi dan mempesona.
Sorata tidak bisa menahan tenggorokannya mengeluarkan suara menelan air ludah.
“A-apanya ingin apa?”
Mungkin karena duduk terlalu menguras tenaga, tiba-tiba Mashiro langsung berbaring, dengan setengah wajah menempel ke bantal, bagian kerah piyama yang sedikit terbuka, kulit dari tulang selangka sampai ke bahu bisa terlihat dengan jelas.
Dengan keadaan yang begitu Mashiro melirik ke Sorata, itu adalah tatapan mata yang mempesona seakan dapat menerka hati yang terguncang.
“Aku ingin Sorata melakukan.”
Hati semakin deg-degan.
“Ka-kau ini ya, ta-tahu tidak apa yang kau bicarakan?”
“Kalau Sorata ingin melakukannya, lakukan saja.”
Mulut terasa begitu haus yang tidak seperti biasanya.
“Ta-tapi, ya-yang seperti itu ada tahapnya juga tahu!”
“Karena Sorata akan melakukan apa saja demi aku kan?”
“…… Hah?!”
Entah kenapa merasa ada yang tidak nyambung.
“Aku adalah orang yang akan menyuruh Sorata melakukan apapun.”
“……”
Rasa panas menurun seketika, mulut yang ternganga belum bisa menutupnya kembali. Tampaknya Sorata sudah sepenuhnya salah memahami maksudnya.
“Lihat kan, hubungan aku dengan Sorata adalah hubungan yang sangat nyaman.”
“Entah kenapa aku merasa hanya aku yang tertekan secara sepihak, apa aku nya saja yang terlalu memikirkannya!”
“Kau terlalu memikirkannya.”
“Ah, gitu ya, baguslah kalau begitu…… Apa kau pikir aku akan bilang begitu?! Biasanya kau selalu terlihat lesu gitu makanya tidak bisa menyadarinya, rupanya kau ada penyakit princess syndrome ya!”
“Iya.”
“Langsung mengakuinya?!”
“Sudah ku putuskan.”
“Dari pembicaraan tadi, apanya yang sudah tiba-tiba kau putuskan?”
“Sorata suapin, aku baru akan makan.”
“Sebelum kau membuat keputusan, seharusnya membicarakannya dulu dengan ku!”
Mashiro yang sedang berbaring, “ah~ ~” membuka mulutnya.
“Ba-ba-bagaimanapun itu tetap tidak bisa. Makan dengan posisi seperti itu akan terjadi tragedi nantinya, kau bangun duduk dulu aja.”
“Tarik aku bangun.”
“Sudah ku duga akan begini jadinya……”
Sorata berdesah, lalu memegang kedua tangan Mashiro menariknya bangun, dan menyuruhnya agar tetap duduk diatas kasur.
Tidak lupa menyelipkan bantal di belakang sebelum ia bersandar.
Selama itu berlangsung, Mashiro tetap dengan “ah~ ~” membuka mulutnya.
“Dasar, cuma untuk hari ini saja ya.”
Sorara memindahkan bubur yang ada di casserole ke sebuah mangkuk, meraup sesendok buburnya.
Setelah ditiup, baru memasukkan ke mulut Mashiro.
“Ayo.”
Mungkin karena tidak ada nafsu makan, Mashiro memakan dengan ekspresi enggan di wajahnya.
“Gimana? Enak ‘kan?”
“Tidak, biasa saja.”
“Sifat mu yang terus terang seperti itu, selalu bikin orang ingin melepas topi dan memberi hormat ya!”
“Sorata coba makan nanti juga tahu.”
“Aku tadi juga udah mencicipinya kalik.”
Sambil mengatakan itu Sorata mengambil dan meraup sesendok memakannya.
Benar-benar sangat biasa, tidak enak juga tidak buruk.
“Bagaimana?”
“Seperti yang Shiina katakan, biasa saja.”
“Sudah berciuman tidak langsung dengan ku.”
“Phuff!”
Tersedak oleh bubur yang sudah di masukkan ke mulut, Sorata jadi batuk-batuk keras.
“A-apa yang kau bicarakan!”
“Tidak perlu berterima kasih.”
“Kok aku sama sekali tidak ingat pernah mengatakan sesuatu seperti berterima kasih? Ah, jangan-jangan yang itu? ‘Terima kasih atas bibir ku tadi’ apa itu maksudnya?”
Mashiro tidak menjawab, lalu membuka mulutnya meminta disuapin bubur lagi.
“Di mulut bilang biasa aja, tapi nyatanya masih minta terus!”
“Soalnya sangat nyaman minta Sorata layani.”
“Bisa enggak jangan menyingkat kata yang spesifik?”
“Meminta Sorata memasukkan sesuatu yang hangat di mulut terasa sangat nyaman.”
“Maaf! Harusnya tidak perlu mengatakan dengan jelas juga tidak apa-apa!”
Pada akhirnya, Mashiro menghabiskan semua bubur yang disiapkan, dengan perut yang terisi kenyang ia lupa akan keberadaan Sorata, tertidur lelap dan nyenyak, dan juga tidak terlalu menghiraukan kata “ciuman tidak langsung” yang terus menempel di benak Sorata.
“Rasa kaldu ikan bonito ya……”
Sorata menatap wajah Mashiro yang sedang tidur, mengenang kembali rasa ciuman tidak langsung.
“Ah~!! Apa yang sedang ku pikirkan!”
Pusing sendiri, tepar kecapekan.
“Huh~ ~ apa aku bisa dengan tentram melihat matahari esok.”
Bagian 3
Sorata sedang murung menatapi wajah tidur Mashiro cukup lama, perut mulai mengeluarkan suara keroncongan seolah memberitahu sudah lapar, kemudian Sorata memutuskan meninggalkan kamar untuk makan siang.
Lauknya adalah mie goreng yang ditambahkan kubis,wortel, dan daging babi.
Hanya kian menit sudah termakan habis semua, lalu berjalan ke arah toilet bersiap membereskan pakaian kotor yang setumpuk gunung.
Sebagian adalah t-shirt, kaos kaki, dan celana dalam Sorata, sebagiannya lagi adalah pakaian Mashiro, selain piyama dan kemeja, juga ada kemeja yang tipis, serta pakaian dalam yang berwarna warni tercampur aduk semua, benda yang mesti di cuci pakai tangan harus pakai tangan cucinya, yang lain bisa diserahkan pada mesin cuci.
Setelah selesai mencuci langsung dibawa jemur.
Sorata menggantung celana dalam Mashiro yang berwarna biru muda ditiang jemuran, sambil berbicara sendiri :
“Setahun yang lalu, hanya melihatnya saja bakal merasa malu.”
Sekali ketemu pakaian dalam akan langsung berkeringat di sekujur tubuh, jantung berdebar tak karuan.
Bagaimana dengan sekarang?
Menggenggam ditangan, mencuci, dibawa jemur, melipatnya dengan rapi, bahkan sampai menaruh di tangan Mashiro sambil berkata : “Hari ini pakai yang ini”, juga bisa bersikap secara alami.
Sudah ada perkembangan pada dirinya sendiri.
Tidak, hanya saja sudah terbiasa.
Setelah selesai menjemur semua pakaian yang dicuci, Sorata membawa kuas roll menaiki tangga menuju ke lantai 2.
Bukan ke kamar nomor 202 yang saat ini ada Mashiro yang sedang tidur, tetapi ke kamar sebelahnya, kamar nomor 201 yang sekarang ini merupakan kamar kosong.
Kamar luas yang tidak ada barang apapun.
Meski memiliki pola yang sama dengan kamar Sorata, tapi terlihat begitu lapang.
Membuka jendela, angin hangat musim semi bertiup masuk. Dengan pohon sakura yang berada disamping, helai kelopak bungan yang perlahan berjatuhan tersebar menari di udara.
“Sudah musim semi ya.”
Sorata dengan membawa perasaan yang mendalam, mulai mengulingkan kuas roll dilantai, dengan teliti membersihkan setiap sudut kamar.
----- Agar kapanpun siap ditinggali, jadi harus tetap menjaga kebersihan kamar kosong.
Itu merupakan semangat dan perasaan dari seorang kakak kelas yang berada dikamar tersebut pada 3 bulan yang lalu mewarisinya kepada Sorata.
Setelah membersihkan kamar nomor 201, kemudian lanjut membersihkan kamar kosong yang satunya lagi, kamar nomor 103. Sama seperti sebelumnya, dengan teliti membersihkan debu yang ada disetiap sudut.
Sekali memulai maka akan langsung terfokus pada kerjaan bersih-bersih, Sorata melanjutkan menyapu dan mengepel di ruang makan dan koridor, juga tak lupa sekalian menyapu teras depan.
Setelah selesai bersih-bersih, matahari sudah hampir terbenam, langit di sebelah barat semburat dengan warna merah.
Mengangkat jemuran yang sudah kering dan membawa kembali ke kamar, bertumpuk diatas kasur, menggolongkan satu demi satu yang punya ia sendiri dan yang punya Mashiro, kemudian baru dilipat dengan rapi.
Sisa sehelai yang terakhir, itu adalah celana dalam Mashiro yang berwarna putih.
Ketika sedang melipat, Hp pun berbunyi.
Di layar menampilkan nama Mashiro.
“Kenapa?”
“Aku sudah bangun.”
“Kalau dalam situasi seperti saat ini kau masih tidur, itu akan sangat mengerikan.”
“Aku menunggumu.”
Saat selesai mengatakan itu Mashiro langsung menutup teleponnya.
“Ah, hallo?!”
Yang merespon hanyalah suara ‘tut.. tut.. tut..’ yang tanpa emosional.
Sorata menaruh celana dalam yang terakhir ia lipat di atas pakaian lain, membawa semua pakaian Mashiro yang sudah dicuci bersih menuju ke kamar nomor 202.
“Aku masuk ya.”
Sorata mengetuk pintu kamar Mashiro, kemudian membukanya.
Meski masih khawatir apa dia akan lanjut menggambar manga lagi, tetapi terlihat Mashiro sedang berbaring tenang diatas kasur. Sorata menyalakan lampu, dan berjalan masuk ke dalam kamar.
Tampaknya Mashiro mengeluarkan banyak keringat, kain kompres masih menempel di atas dahi. Namun, masih terlihat sedikit rona kemerahan di kedua belah pipi, nafas juga masih terasa panas.
Sorata menyentuh dahinya, dan ternyata memang masih demam.
“Sudah berkeringat, apa mau gantian pakaian? Kebetulan ada piyama dan celana dalam.”
Yang penting menaruh pakaian yang sudah dicuci bersih ke samping kasur dulu.
“Aku mau mandi.”
“Tidak boleh sebelum panasnya turun.”
“Aku ingin mandi.”
“Tidak boleh.”
“Kalau begitu Sorata juga ikut mandi.”
“Bukankah itu hasilnya sama saja mandi?”
“Kau tidak bersedia?”
“Hah?!”
“Tidak bersedia mandi bersama dengan ku?”
“Bu-bukannya tidak bersedia! Cuma itu, umm..... Yang ingin ku katakan adalah, kalau dilihat dari Shiina yang sedang demam, seharusnya tidak boleh mandi.”
Karena sudah membayangkan yang tidak-tidak, alhasil nada bicara juga berubah menjadi sangat aneh.
“Aku tidak bersedia.”
“Kalau begitu dari awal jangan mengajukan tawaran! Buat aku jadi sekilas membayangkan ‘apa bakal dipaksa terus begini hingga benar-benar berahkir dengan mandi bersama’ dan yang lainnya! Bisa tidak jangan mempermainkan hati ku yang murni ini?!”
“Sudah membayangkannya?”
“Tidak perlu memperdalam topik itu.”
“Membayangkan tubuh ku.”
“Tidak sampai sedetail itu!”
“Tidak ada ya?”
“Apa kau berharap ada?”
“Tidak ingin dibayangkan.”
“Kalau begitu……”
Saat Sorata hendak berkata “hanya perlu tidak membayangkan saja ‘kan!”, Mashiro melanjutkan perkataannya.
“Juga tak ingin tidak dibayangkan.”
“Jadi pada akhirnya harus gimana?”
“Suasana hati yang sangat membingungkan.”
Meskipun kena dibayangkan akan terasa sangat malu, tapi jika tidak begitu, malah jadi seakan orang lain tidak tertarik, sehingga juga tidak bisa merasa senang. Sungguh membingungkan.
“Jika diartikan dengan cara lain, itu memang bisa dianggap sebagai sebuah jawaban!”
“Jadi, mau mandi.”
“Kata penghubungnya tidak tepat, ‘jadi’ nya ditolak. Pokoknya pakai handuk mengelap badan saja, habis itu langsung ganti pakaian.”
Sorata menaruh handuk dan pakaian yang sudah dicuci bersih ke samping bantal.
“……”
Tapi tampaknya Mashiro tidak berkeinginan bangun.
Hanya terus menatapi Sorata.
“Umm, nona Shiina?”
“Kenapa?”
“Pakaian gantinya sudah saya taruh disini, jangan lupa diganti ya? Saya permisi keluar dulu.”
“Hei, Sorata.”
“Hm?”
Dengan tatapan yang memukau Mashiro menatap Sorata.
“Sorata bantu aku ganti.”
“Apaaa?!”
Sebenarnya apa yang dikatakan Mashiro barusan?
“Sorata lepasin.”
“Hah?! Kok jadi aku yang lepasin pakaian?!”
Yang Mashiro katakan sekarang tidak sama dengan yang sebelumnya.
“Sorata bantu aku lepasin.”
“A-apa kau tahu apa yang kau bicarakan?”
“Karena……”
“Karena apa?”
“……”
Mashiro membuang nafas yang panas, seakan menunjukkan kalau mau berbiaca saja terasa sulit.
“Shiina?”
Sorata meminta ia meneruskan perkataannya, tapi tampaknya ia merasa tidak nyaman dengan posisi badannya, lalu ia membalikan badan dan berbaring tengkurap. Meletakkan dagu di atas bantal, sambil melakukan pernapasan dengan menaik turunkan bahu.
“Seluruh badan lemas.”
“Yah, soalnya kau kan lagi demam.”
“Tidak ingin bergerak.”
“Aku mengerti itu.”
“Sangat merepotkan.”
“Iya, aku juga bisa mengerti itu.”
Ketika tidak enak badan, tidak peduli mau itu hal yang sepele sekalipun tetap tidak ingin bergerak.
“Jadi, Sorata bantu aku lepasin.”
“Kalau itu aku tak ngerti! Alasan yang sangat tidak masuk akal!”
“Buka kancing piyamanya.”
“Aku bukan sedang menanyai mu langkah-langkahnya!”
“Di buka satu persatu.”
“Aku sudah hampir mau mulai membayangkan gambaran itu, jadi tolong hentikan!”
“Pakai jari Sorata.”
“Kan sudah ku bilang jangan diteruskan lagi!”
“Celana pakai tarik saja sudah bisa.”
“Jika kau juga bisa mendengarkan perkataan ku sebentar, aku akan sangat senang!”
“Celana dalam juga sama.”
“Kalau begitu, bukankah itu sudah telanjang sepenuhnya?!”
“Iya, melepas semuanya.”
“Disaat yang seperti ini juga masih mempermasalahkan gaya bahasa?!”
“Hu’um.”
Mashiro memeluk erat bantal, dan mengeluarkan suara manja.
“Sorata mikirin yang nggak-nggak.”
“Aku mengatakan itu demi kebaikan kita berdua lho! Coba kau pikir lagi? Seandainya aku melepaskan piyama mu, maka aku akan melihat banyak hal, bisa jadi masalah nantinya.”
“Sorata mesum.”
“Itu kau yang bilang sendiri!”
“Tapi jangan khawatir, aku punya rencana.”
“Ouh, kalau begitu aku akan coba dengar dulu.”
Saat ini, Mashiro membalikkan badan dari posisi tengkurap, setengah wajahnya disembunyikan dengan bantal, dan menatap lurus ke Sorata. Entah kenapa seakan merasa suasana sedikit tegang.
“Sorata.”
“A-apaan?”
Melihat Mashiro yang sedang lurus menatapnya, hati Sorata mulai deg-degan.
“Aku ingin minta tolong.”
“Ada masalah yang bisa ku bantu, tapi ada pula hal yang tidak bisa aku lakukan ya.”
Sorata memindahkan tatapannya ke arah lain, dan mengaktifkan sistem pertahanannya.
Meski sudah melakukan itu, tidak akan ada artinya kalau Mashiro belum mengatakan apapun.
“Matikan lampunya.”
“Kalau begitu, bukankah akan semakin mirip dengan suasana itu?!”
“Lampu matikan.”
Seolah mendengar sebuah suara bisikan, sehingga membuat hati semakin deg-degan. Tentu saja Sorata sangat tahu kalau Mashiro tidak ada maksud untuk seperti itu, tadi juga barusan dibohongin. Mungkin karena dia sedang demam dan tubuhnya jadi lemas, jadi tidak ingin menganti pakaian seorang. Meski berkata seperti itu, tetap saja Sorata belum sebegitu berpengalaman untuk bisa menghadapi situasi seperti ini.
“Kalau terang gitu, aku juga tidak mau.”
Mashiro menyembunyikan wajahnya kedalam bantal, dan menambahkan kalimat ini.
“Itu sangat memalukan.”
“Orang yang setiap hari mesti ku siapkan celana dalam untuknya masih berani berkata begitu!”
Perkataan tersebut bermaksud untuk mengubah suasana hati dan menutupi rasa malu. Namun, situasi sekarang ini bukan hanya dengan sepatah kata saja bisa mengubahnya.
“……”
Mashiro masih tetap berbaring dikasur, menunggu Sorata mematikan lampu.
Tidak ada jalan keluar lagi. Berhenti akan jadi masalah, maju juga jadi masalah. Meski sudah terkejut setengah mati, Sorata tetap masih tidak bisa menghadapi suasana yang di depan matanya, dengan hati yang tidak tenang ia memutuskan untuk maju.
“A-aku mengerti! Matiin lampunya ‘kan!
Dia berdiri dan menaruh jarinya ke saklar.
“Aku matikan sekarang ya!”
Sorata dengan nada bicara yang aneh memberitahukan Mashiro.
“Hn.”
Setelah mendengar jawaban, dia mematikan lampunya.
Sepertinya tadi saat melakukan percakapan matahari sudah terbenam, dengan mematikan sumber penerangan di dalam kamar, area sekeliling sekejap menjadi gelap gulita.
Tapi sepintas masih bisa menentukan arah bayangan yang ada di kamar.
Sorata kembali ke samping kasur, meminta Mashiro untuk bangun dan duduk dikasur.
Sorata berada di belakangnya dengan posisi kaki berlutut menghadapi tantangan yang didepan, bagaimanapun juga ia masih belum ada keberanian untuk melepaskan piyama Mashiro dengan saling berhadapan.
“Ka-kalau begitu, aku buka ya.”
“Terserah Sorata mau di gimanain.”
“Kok kau masih bisa berbicara seperti itu di saat yang seperti ini juga!”
Setelah menarik nafas dalam-dalam, Sorata menjulurkan kedua tangannya kedepan tubuh Mashiro, melewati bahu Mashiro, meraba dengan jari untuk memastikan posisi kancing yang pertama, tangan yang bisa merasakan nafas Mashiro terasa sangat geli yang tak tertahankan.
“Sorata.”
“A-ada apa?”
“Hembusan nafas sangat geli.”
Tampaknya nafas Sorata juga mengenai telinga Mashiro. Setelah mendengar itu, Sorata baru menyadari nafasnya yang sedang tergesa-gesa, dan mendadak wajahnya jadi merah semua.
“Maaf.”
“Tidak perlu maaf.”
“Ka-kalau begitu kau tahan sebentar dulu ya? Soalnya sekarang hanya berbicara dengan ku saja bisa membuat aku gemetar ketakutan.”
Setelah bersusah payah, akhirnya kancing yang pertama terbuka, dan dengan cepat kancing yang kedua juga sudah ditaklukkan. Namun, saat Sorata mau mengarahkan tangannya ke kancing yang ketiga, pandangannya terfokus pada bagian atas piyama Mashiro yang telah terbuka. Hanya melalui cahaya lampu jalan yang terpancar masuk menembus jendela, sudah bisa dengan jelas merasakan kulit putih nan mulus serta postur tubuh yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
Sekarang bukan waktunya bernafsu pada Mashiro yang sedang demam, tetapi menghadapi godaan yang seperti itu, tidak akan mudah bisa mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Sorata?”
Mashiro membalikan kepalanya, wajahnya tepat didepan mata Sorata.
“I-ini tidak seperti yang kau bayangkan!”
Disaat Sorata berkata seperti itu, sebelah piyama Mashiro meluncur turun dari bahu, dari tengkuk sampai punggung, mendadak area yang kelihatan kulit putih nan mulusnya itu menjadi luas. Saking paniknya Sorata sampai tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun.
“Masih ada kancing yang belum terbuka.”
Mashiro mengatakan itu dengan nada yang rendah, lalu mengalihkan pandangannya ke lantai, dan menarik piyama yang jatuh kembali ke pundak.
“……”
Jangan-jangan karena merasa malu.
“…… Cepat sedikit.”
Dengan suara yang agak serak.
“Ah, hn.”
Sorata menggelengkan kepala dengan keras untuk membuang pikiran yang tidak-tidak.
Kemudian, langsung membuka semua kancing yang tersisa.
Ia membuang nafas panjang.
“Um…… Kalau begitu, aku lepasin ya.”
“…… Hn.”
Sorata bersiap menarik lepas piyama dari belakang.
“…… Jangan.”
Baru melepas sampai ke bahu, Mashiro mengatakan itu dengan nada yang rendah, lalu tidak bisa ditarik lagi.
“Masih belum boleh……”
Mashiro mengatakan itu lagi, dan menggunakan kedua tangan yang masih berada di dalam lengan baju menutupi bagian atas tubuh yang terbuka.
Bagian dada yang tertekan terlihat lebih berisi, terdapat celah yang bisa melihat kulit yang lembut, begitulah yang terlihat di mata Sorata.
Terlebih lagi, Mashiro yang bertingkah layaknya gadis normal, membuat tekanan darah Sorata menjadi tinggi, seketika kepala merasa pusing.
“Ma-maaf!”
Hanya kata itu yang dapat terucap dari mulut. Meskipun sekarang ia bukan sedang melakukan sesuatu yang buruk……
“Hn.”
Mungkin karena Mashiro sedang menundukkan kepala, jawaban darinya terdengar tidak begitu jelas.
“……”
“……”
Disaat situasi dimana keduanya tidak bisa bergerak, kian terasa keheningan yang mendalam.
“Um, e, a-aku bilang……”
Sorata berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Hati deg-degan tak karuan, suara yang terdengar hanya itu. Nafas terasa sesak, penglihatan menjadi sempit, didalam mata Sorata hanya bisa melihat Mashiro.
Pikiran jadi kacau balau. Namun, mengingat kalau sedang mempertaruhkan nama baik, ia berusaha untuk menahan nafsunya.
Saat di ambang puncak kegelisahan. Yang memecahkan situasi tersebut adalah sebuah suara ketukan pintu.
“Kanda-kun, apa kau ada didalam?”
Itu adalah suara Nanami.
“I-iya aku disini.”
Sorata yang sudah kehilangan kemampuan untuk berpikir secara tenang dengan reflektif menjawabnya begitu saja, beberapa saat kemudian baru menyadari ‘gawat’ dan merasa sudah terlambat untuk menyesal sekarang.
“Aku masuk ya.”
“Tu-tunggu sebentar!”
Disaat Sorata mencoba menghentikan, pintu sudah terbuka.
“Bagaimana keadaan Mashiro sekaa……rang?!”
Nanami yang masih memegang pegangan pintu seketika membatu.
“……”
“……”
Menatap Sorata dan Mashiro, mengedipkan mata beberapa kali, bibir membeku dalam bentuk saat pengucapan ‘ah’, lalu seluruh tubuh mulai gemetaran.
“I-ini tidak seperti yang kau pikirkan!”
“Ma……”
“Ma?”
“Maaf menggangu!”
Nanami tidak mendengarkan penjelasan apapun, langsung menutup pintu dengan kuat.
“Ah~~ tunggu bentar, ini serius tunggu sebentar! Kau salah paham!”
Sorata berusaha keras memanggil sisi lain dari pintu.
Namun tidak ada respon dari Nanami. Itu tidak mengherankan, sebab bahkan Sorata sendiri juga ragu kalau penjelasannya akan bisa meyakinkannya.
Situasi sudah menjelaskan semuanya.
Didalam kamar yang remang-remang, Sorata dan Mashiro berduaan diatas ranjang, piyama Mashiro juga sudah terbuka sampai setengah, dan orang yang sedang mencoba melepas pakaiannya adalah Sorata.
Tidak peduli siapapun yang melihatnya, tetap terlihat seperti adegan itu.
“Ta-tak bisa dibiarkan!”
Nanami kembali membuka pintu dan berjalan masuk ke kamar.
“Kan…… Kanda-kun!”
Jarinya menunjuk ke Sorata.
“I-iya.”
Jawaban refleks dari Sorata, disaat lawan bicara belum membuka mulut sudah berlutut diatas ranjang.
“Me-meskipun sampai sebegitu bergairah kau juga tidak boleh melakukan hal itu! Mashiro masih demam tau! Ba-bagaimanapun juga harusnya kau tahan dulu tunggu sampai dia sudah sembuh baru boleh melakukan hal seperti itu!”
“Tunggu, tunggu! Bukan seperti itu!”
“Tak perlu mencari alasan!”
“Bukan, kau dengarkan aku dulu, ini benar-benar kesalahpahaman. Karena Shiina bilang dia keringatan, aku cuma membantu dia mengganti pakaian saja! Dia bilang seluruh tubuh masih terasa tak bertenaga, tak mampu mengganti pakaian sendiri! Tidak baik’kan kalau habis keringatan enggak ganti pakaian? Benar’kan, tidak baik kalau dibiarkan begitu?”
Dengan menahan nafas dia mengatakan itu semua sekaligus.
“……Huh?”
Nanami mengeluarkan suara seperti sedang kebingungan.
“Hei, Shiina? Betul begitu ’kan?”
“Iya.”
“Be-benerkah?”
Nanami bertanya pada Mashiro untuk memastikan.
“Iya, bener kok.”
Mashiro meniru logat Kansai Nanami.
“Ta-tapi kenapa tidak menyalakan lampu……”
“I-itu karena…… Shiina bilang dia malu, ti-tidak ada maksud yang lain kok!”
“Kalau Mashiro, memang ada kemungkinan akan begitu…… Eh~~……”
Seakan sudah mengerti dengan situasi sekarang, pandangan Nanami menjadi kabur, mungkin merasa malu karena sudah salah sangka.
“Jadi artinya, aku sudah salah paham?”
“Iya.”
“Nanami pikir apa?”
“Ya, i-itu……”
Wajah Nanami memerah dan omongannya jadi berbelit-belit.
“Itu?”
Mashiro bersih keras dan terus bertanya.
“Ti-tidak ada! Mashiro ganti pakaian baru sampai setengah ‘kan! Sisanya biar aku yang urus, Kanda-kun cepat keluar sana.”
Nanami memaksa Sorata berdiri, dan terus mendorongnya keluar.
“Kok marahnya sama aku?”
“Si-siapa suruh kau melakukan hal yang sudah membuat orang salah paham. A-aku benar-benar terkejut tau.”
“Aku juga kaget banget lho……”
Itu sungguh adalah kata hati yang sebenarnya.
Bagian 4
“Ah…… Benar-benar sangat melelahkan.”
Menuruni tangga sendiri, sesampai di ruang makan, Sorata bersantai duduk dikursi. Meregangkan seluruh badan, bahu dan leher mengeluarkan suara ‘krek-krek’.
“Mungkin merasa enak dilihat kalik ya?”
Bersama dengan suara, yang muncul adalah Nanami, tampaknya sudah selesai membantu Mashiro ganti pakaian.
Dimeja yang bundar Nanami duduk tepat didepan Sorata, lurus menatap kearahnya, pandangan matanya seolah berkata “pokoknya harus menjelaskan semuanya pada ku”.
“Ya-yang tadi itu harus menyebutnya tak bisa menolak, atau bisa dibilang memang dia sendiri yang meminta pada ku, jadi mau tidak mau ‘kan.”
“Kulit Mashiro pasti putih merona ya?”
“Hn, itu memang……”
“Ouh~~ ternyata kau memang melihatnya dengan pandangan seperti itu.”
Nanami menatap lurus ke Sorata dengan pandangan mencemooh.
“Itu tidak benar! Menolak keras perkataan yang memancing!”
“Kanda-kun mesum.”
“Tidak, tidak, gini ‘nih contoh anak laki-laki SMA yang normal.”
Sorata mencoba membawa pembicaraan mengarah ketopik yang umum.
“Tiap hari pikirannya bejat mulu!”
“Mana ada tiap hari mikir yang begituan terus.”
“Meski tidak tiap hari, tapi bakal nafsuan sama gadis yang sedang demam.”
“I-itu naluri alami.”
“Sebagai seorang manusia, itu merupakan sebuah masalah ‘kan.”
“Mengenai itu, aku benar-benar tak bisa menyanggahnya.”
Sorata berdiam mengintrospeksi diri, dan Nanami hanya mendesah pelan.
“Masa bodoh ah.”
“Kalau begitu, bisa tidak kau berhenti melihat ku dengan pandangan seperti itu?”
Nanami tetap menggunakan pandangan seperti mencela memandangi Sorata.
“Dari dulu aku memang begini.”
“Tidak, mana ada begitu. Biasanya terasa lebih……”
“Lebih gimana?”
“Umm…… terasa lebih baik?”
Karena terlalu berhati-hati dalam memilih kata-kata, alhasil jadi asal jawab begitu saja.
“Walau aku memang tidak terlalu berharap.”
Berbeda dengan yang dikatakan, Nanami membuang napas kuat-kuat.
Tak lama kemudian, Hp Sorata yang berada di meja bundar berdering.
Itu adalah panggilan dari Mashiro. Sudah keberapa kalinya untuk hari ini?
Tanpa berkata apapun, Sorata langsung mengambil Hpnya dan berdiri.
“Hanya dengan sekali misscall saja langsung pergi.”
Nanami mengomel begitu.
“Ini juga pasti bukan masalah yang penting.”
“Aku juga ikut demam aja kalik ya.”
“Hn?”
“Tidak ada.”
Nanami yang terlihat dalam suasana hati yang tidak enak menatap Sorata meninggalkan ruang makan.
“Shiina, ada apa?”
Masuk kedalam kamar Mashiro, Sorata berduduk ditepi kasur.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Kalau itu membahas dengan ku juga sepertinya tidak akan membantu.”
“Malam ini Sorata tidak membiarkan ku tidur.”
“Bisa tidak jangan menambahkan ‘malam ini’! Itu membuat aku jadi mulai membayangkan malam yang bergairah!”
“Sorata sangat bergairah ya.”
“Pada dasarnya, aku belum melakukan apapun ‘kan?”
“Setelah ini baru akan melakukan ya?”
“Gila kali aku kalau sampai melakukan itu! Ngomong-ngomong, pembicaraan kayak apa ini……?”
Tak sampai semenit memasuki kamar sudah lelah.
“Sorata.”
“Ada masalah apa?”
Sorata menanggapi dengan tidak terlalu menghiraukannya.
“Ceritakan sesuatu dong.”
“Cerita sesuatu itu sesuatu yang seperti apa?”
“Aku pikir sebentar, misalnya…… Cerita yang membosankan.”
“Kau berencana menggunakan itu untuk membuat mu agar tertidur?”
“Aku berharap pada mu.”
“Bahkan diharapakan sekalipun aku tidak merasa senang! Lagian, aku itu bukan artis pendongeng, tidak punya sesuatu yang bisa diceritakan pada orang.”
“Benar-benar tidak berguna ya.”
“Apa aku boleh marah? Boleh kali ya?”
“Atau, cerita yang memalukan juga boleh.”
“Kalau yang itu lebih tidak ingin lagi!”
“Kenapa?”
“Tentu saja karena itu sangat memalukan!”
“Atau enggak, cerita tentang cinta pertama.”
“Hah?!”
Menghadapi usulan yang tak terduga, Sorata hanya bisa tercengang, seketika diam membisu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dilihat dari arus pembicaraan memang ada sesuatu yang janggal.
“Itu sih cuma mengubah hal yang memalukan menjadi lebih spesifik saja ‘kan!”
“Sebelum mendengarnya, aku tidak akan tidur.”
“Apa tidak bisa menyisakan pilihan untuk ku?”
“……”
Baru saja selesai bicara, Mashiro langsung berdiam menunggu Sorata memulai ceritanya. Dengan situasi yang seperti sekarang, berkata apapun tidak ada gunanya lagi.
Sorata meneguhkan hatinya…… Disaat sudah hampir menyerah, ia pun mulai bercerita :
“Itu adalah saat aku masih ditaman kanak-kanak, ada seorang pengasuh yang baru masuk……”
“Hu…… Huu……”
“……”
Mungkin hanya perasaan ia sendiri, dari tadi mendengar suara nafas ketika terlelap……
“Hu…… Huu……”
Bukan perasaannya saja.
“Apa sebegitu membosankan sampai bisa membuat mu langsung tertidur?!”
“……Hng, Sorata berisik.”
“Ah! Gawat!”
Setelah bersusah payah membuat Mashiro tertidur, gara-gara tadi berkata dengan suara yang keras, ia terbangun lagi.
“Sorata, ulang.”
Ulang apanya? Benar-benar membingungkan.
“Tiba-tiba disuruh ulang gitu buat aku jadi bingung banget, bisa tolong kau jelaskan apanya yang diulang?”
“Ayano bilang, cinta pertama ketika ditaman kanak-kanak itu namanya cinta monyet.”
“Ternyata Lida-san itu mulut besar juga!”
“Aku maunya kisah cinta yang lebih realistis.”
“SD kelas 5 gitu?”
“Itu dia.”
“Sombong banget kau ini ya.”
“Coba ceritakan.”
“Tak boleh langsung tertidur lagi ya? Salah, kau sudah boleh tidur sekarang!”
Lebih baik membiarkannya tidur lebih awal, meski tidak bisa merasa lega……
“Aku sangat tertarik dengan cinta pertama Sorata.”
Mashiro mengeluarkan tangannya dari selimut.
Sorata menggunakan pandangannya seolah bertanya apa yang sedang ia lakukan.
“Genggam tanganku.”
Mashiro berkata begitu.
“Ada hal yang membuat ku tak habis pikir, kau itu benar-benar cerdas ya.”
“Genggam tanganku.”
Mashiro mengatakan itu sekali lagi, Sorata tak bisa menolaknya, lalu dengan lembut Sorata memegang tangannya.
“Sekarang, coba ceritakan.”
“Iya, baiklah…… Itu adalah ketika aku masih di SD kelas 5 sepertinya. Meski tidak begitu tahu melalui apa mendapatkan informasi itu, tapi pada suatu hari saat dalam perjalanan pulang dari sekolah, teman sekelasku yang memberitahuku. Dia bilang Hoshikawa yang di kelas A kayaknya…… Umm…… Me, menyukaiku. Karena kami beda kelas, dan tak pernah bicara satu sama lain, jadi pada sebelumnya itu aku benar-benar tidak memperhatikannya…… Setelah mendengar informasi itu, tanpa sadar aku sudah mulai menyadari keberadaannya. Pada awalnya aku pikir ini pasti bohong ‘kan? Tapi setiap kali berpapasan saat melewati lorong, mata kami akan saling bertatapan. Saat itu aku bermain sepak bola, setiap ada pertandingan, Hoshikawa pasti datang…… Dan ketika terus mengulangi hal-hal tersebut disaat yang sama, aku jadi sangat tertarik padanya, saat tersadar, su, umm…… sudah jatuh cinta padanya. Haha……”
Tawa diakhir itu hanya untuk menyembunyikan rasa malunya.
“Pada akhirnya, setelah lulus dari SD, Hoshikawa masuk ke SMP swasta, maka dari itu sebenarnya belum terjadi apapun diantara kami. Aku juga sampai sekarang baru mengingat kembali tentang hal ini……”
Wajah panas memerah seperti terbakar.
Saat ini benar-benar tidak punya keberanian untuk mengintip kearah Mashiro.
“I-itu, cinta pertama Shiina itu kapan?”
Sorata merasa sepertinya sekarang bisa mengatakannya, bertekad untuk bertanya kembali padanya.
“Hu~~”
Yang menjawab hanya suara nafas saat tertidur.
“……”
Sorata berusaha menahan keinginan untuk mengeluh. Kalau sampai membangunkan Mashiro lagi, itu berarti sungguh tidak belajar dari kesalahan.
“Kenapa aku harus sampai serius begitu menceritakan kisah cinta pertama ya?”
“Sorata……”
“Wuoh……”
Tadinya berpikir sudah membangunkan Mashiro lagi, tetapi dia masih tertidur lelap. Sepertinya sedang mengigau.
“Yang itu…… tidak boleh ya……”
“Yang itu ‘tuh apa……”
Sorata membalas ngigauannya, sambil mengelus-elus dahinya. Dibandingkan tadi pagi, demamnya sudah turun banyak, panasnya sudah tak begitu terasa.
Dengan begitu, besok pagi seharusnya sudah pulih kembali.
Pokoknya, kerja keras seharian ini akhirnya terbayarkan. Sorata berpikir begitu dan merasa lega.
Dengan pelan-pelan ia memindahkan tangan Mashiro yang masih menggenggam tanganya, dan memasukkan kembali kedalam selimut.
Bahkan ingin melepas juga tidak ada gunanya, karena Mashiro menggenggam erat-erat. Kalau dipaksa lepas sehingga membangunkannya lagi, itu benar-benar gawat.
“…… Huh? Jadi aku harus tetap seperti ini ya?”
Untuk pertanyaan itu, tidak ada orang yang bisa menjawab.
“Apa boleh buat……”
Sorata tak berdaya, ia sendiri yang membuat kesimpulan seperti itu.
Bagian 5
Keesokan paginya, Sorata terbangun oleh gerakan tubuh seseorang.
Langsung sadar kalau ini bukan kamarnya sendiri, tampaknya dari semalam sudah begitu, menyandarkan kepala keatas kasur Mashiro dan tertidur begitu saja. Karena membungkuk semalaman, sehingga pinggang terasa nyeri.
Sorata berdiri, dan langsung bertatapan mata dengan Mashiro yang duduk diatas kasur.
“Selamat pagi.”
“Pa, pagi…… Demamnya sudah sembuh?”
“Tidak, seluruh badan lemas tak bertenaga.”
“Coba aku lihat.”
Sorata menjulurkan tangannya mengarah ke dahi Mashiro. Panas, benar-benar masih terasa panas. Dan parahnya lagi, perasaan malah lebih panas dari semalam, pipi juga jadi merah.
“Ini, termometer.”
Mashiro mengambil termometer yang Sorata berikan, dan memasukan kedalam piyama lewat kerah. Sorata langsung membalikan mukanya, untuk mencegah pandangan melayang ke arah belahan dada putih yang bisa terlihat dengan jelas.
Sudah 5 menit menunggu.
“Sudah diukur.”
Sorata melihat ke skala termometer.
38.2 derajat Celsius.
“Bahkan lebih tinggi dari semalam?!”
“Semalam?”
Dari nadanya kedengaran seakan sedang bertanya ‘ada apa dengan semalam?’.
“Iya, semalam tanpa disadari kau itu mempermainkan akal pikiran ku!”
“Semalam aku ‘kan cuma tidur seharian.”
“Tapi perkataan mu tadi itu sangat gugup lho!”
“Semalam tidak terjadi apapun.”
Mashiro mengatakan itu dengan tegas, dari ekspresinya tidak seperti sedang berbohong.
“…… Kau benar-benar tidak ingat dengan apa yang terjadi semalam?”
Menggendongnya kembali kamar ; ciuman tidak langsung ; mematikan lampu dan membantu dia ganti pakaian, akibatnya jadi terlihat seperti adengan itu…… Karena demam dan kepala kliyengan, alhasil jadi tidak ingat itu semua?
“Semalam……”
“Coba kau pikir-pikir kembali, ada tidak muncul gambaran yang sampai membuat ku kerepotan gitu?”
“Kalau dibilang begitu……”
“Oh! Sudah ingat ya!”
“Sorata sepanjang malam bersama dengan ku, tapi apapun tidak dilakukan.”
“Jadi membuat sebuah kesalahan akan lebih baik gitu ya! Kau itu selalu saja berbicara seperti itu untuk mempermainkan ku!
Kemudian suara ketukan di pintu menghentikan pembicaraan mereka.
Pintu terbuka dari luar, yang terlihat adalah Nanami.
“Mashiro, bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Usaha perawatan ku sia-sia, bahkan lebih parah dari semalam……”
“Begitu ya…… Haciu!”
Apa hanya perasaan ia sendiri? Sepertinya Nanami tadi ada bersin sekali.
“……”
“……”
“Um, Aoyama-san?”
“Bukan itu…… Haciu!”
Tampaknya bukan perasaannya saja.
“Bahkan sedikit harapan yang tersisa untuk memastikan juga sudah tidak ada, harus gimana ini?!”
Pagi-pagi rasa lelah sudah mulai menghampiri.
“Haciu!”
Kali ini mau membuat alibi juga sudah terlambat, itu adalah bersin yang terlihat jelas.
“Aku juga mulai sakit kepala……”
“Sorata.”
Mashiro memanggil, Sorata berbalik menghadap ke kasur.
“Ada apa……”
“Urusan ku untuk kedepannya juga ku serahkan padamu.”
“Jangan melemparkan semua urusan mu begitu saja.”
“Tidak boleh ya?”
“Kau juga harus mikirin kecapekan ku yang mesti merawat mu dong!”
“Tidak akan ada masalah, Sorata.”
“Coba katakan, berdasarkan apa bisa seperti itu?”
“Karena, tak berbeda jauh dengan biasanya ‘kan.”
Mashiro menjawab dengan ekspresi yang serius.
“Sialan! Memang benar begitu.”
Saat Sorata berkata seperti itu, Nanami sedang menarik ingus disampingnya.
“Haciu!”
Itu adalah bersin yang keempat kalinya, sudah tidak ada yang perlu diragukan lagi.
“Kalau dipikir kembali, kondisi yang bahkan lebih parah dari semalam, aku benar-benar tidak bisa menerimanya.”
Catatan hari ini di Sakurasou sebagai berikut.
----- Dengan begitu, liburan musim semi Sorata berakhir bersamaan dengan demam.
0 Comments
Posting Komentar