8 AGUSTUS 2092 / OKINAWA – VILA
(Translater : Fulcrum)
Sejak hari pertama liburan ke Okinawa, selalu saja terjadi masalah. Kemarin, keadaan sudah kembali tenang. Tepat pada hari ini, waktu berjalan tenang.
Walaupun kau dapat mengatakan liburan musim panas yang membosankan adalah sebuah masalah, aku tdak mau bertahan dalam liburan yang membuatku kesulitan.
Setidaknya, setelah kedatangan kami di Okinawa tanggal empat, kami dapat menikmati liburan kami sepenuhnya.
Namun, aku ragu kalau Ani termasuk dalam ‘Kami’.
Sekarang jam 1 siang. Daripada tidur siang, aku sedang membaca dikamarku. Sakurai-san menemukan buku sihir langka bagiku dan aku secara perlahan sedang membacanya di mejaku,
Lebih baik perlahan-lahan. Lagipula, aku mungkin akan tidak bisa memahaminya kalau membacanya cepat-cepat.
Hanya sihir yang paling teknis yang dicetak di buku, dan bahkan siswa SMA saja kesusahan dalam memahaminya; rasanya sombong sekali aku, seorang siswi SMP biasa, bisamemahami isinya dalam sekejap.
Tapi, orang itu mungkin dapat memahaminya.
Aku punya perasaan kalau orang itu, singkatnya Ani, punya ruang kerjanya sendiri dimana dia dengan antusias menulis sesuatu tentang CAD di keyboardnya.
CAD yang kumaksud adalah CAD berbentuk dua pistol yang diterimanya dari Letnan Sanada kemarin lusa.
Pertama, mereka menggunakan kata ‘pinjam’ saat mengatakannya, tapi dalam seketika, kata itu berubah menjadi ‘beri’. Aku merasa ada keraguan ‘Apa tidak apa-apa? Barang ini kanmilik Badan Pertahanan Nasional?” …….Dia mengatakan kalau itu adalah investasi untuk masa depan, dan bukan masalah kalau aku tidak mengerti apa yang diantisipasinya. Tapi, sayangnya, menurutnya sendiri investasinya adalah sebuah kegagalan total. Karena orang itu Guardian ku, dia tidak akan bisa menjadi tentara apapun.
Tidak ada alasan untuk menolak apa yang namanya hadiah tapi, lagipula itu hanyalah sebuah purwarupa. Tidak ada maksud lebih dari memberikan hadiah kepada pengunjung yang memiliki masa depan yang menjanjikan.
Sekarang setelah kupikir-pikir, orang itu senang menerima hadiah itu. Kemarin lusa, kemarin, dan hari ini, dia selalu bermain-main dengan sistem CAD kapanpun dia luang. Apa dia bisa melakukan pengaturan CAD? Aku tidak pernah melihatnya melakukan itu. Tapi, sampai sekarang dia juga tidak pernah menunjukkan latihan bertarungnya padaku. Alasannya mungkin karena dia tidak memiliki waktu luang untuk istirahat.
Aku penasaran apa dia sudah tidak tertarik lagi?
Apa bermain-main dengan CAD seasyik itu?
Yah, walapun aku menyebutnya pengaturan, dia mungkin hanya bisa ditingkat mengganti tingkatan CAD. Tapi….
Sebelum aku menyadarinya, aku sudah berdiri didepan ruangan orang itu.
Umm, untuk apa aku datang kesini?
Aku mungkin ingin sesuatu, benar.
Dalam pikiranku yang sedang kebingungan, tangan kiriku secara tak kusadari terangkat mencoba untuk mengetuk pintu.
Entah mengapa aku merasa seperti seorang badut tanpa penonton. Yang lebih buruknya lagi, aku badut rendahan.
Aku menghela nafas panjang dan menurunkan tanganku.
Disaat itu, saat aku baru saja akan berbalik dan pergi, namun, aku agak sedikit terlambat.
Pintu itu terbuka sedikit.
Pintu itu dibuka mengingat ada orang yang mungkin ada didepan pintu. Berkat itu hidungku tidak tertabrak pintu seperti karakter-karakter komedi, tapi aku tidak punya waktu untukberpura-pura dan melarikan diri.
“Apa anda butuh sesuatu Ojou-sama?”
Ani bertindak seolah-olah dia tahu aku berdiri didepan situ. Intinya, sekarang dia tahu kalau tidak ada apa-apa, tapi dia bertanya seperti itu sambil menunjukkan wajahnya.
“Uh, umm, er….”
“Ya.”
Ani menunggu dengan sabar pada jawabanku yang tidak karuan.
Walaupun aku menyebutnya menunggu, hal itu tidak bisa dilihat dari wajah datarnya. Tetap saja, dia masih menatapku.
Tatapan Ani meningkatkan kebingunganku.
“Er, apa tidak apa-apa aku masuk?”
Di situasi seperti ini, aku, sayangnya, sedikit histeris; bisa dikatakan, aku mengatasi kebingunganku. Sebelum aku kewalahan, aku menyesal mencoba menghentikannya. Setelah akuberbicara dengan ceroboh, aku berpikir ‘apa yang akan kulakukan didalam!?’ Namun, itu sudah terlambat.
Disaat itu juga, wajahku memerah. Wajah merah dan cemberutku,walaupun aku tidak pernah bermaksud untuk menggeram kepadanya, tapi sebagai balasan kepadaku yang menatapnya, orang itu dengan tenang melebarkan matanya tapi tidak menunjukkan adanya rasa terganggu sama sekali. Dia membuka lebar pintunya dan mempersilahkanku masuk.
Seperti biasa ruangannya biasa-biasa, tidak ada banyak barang didalam.
Diantara interior didalamnya, ada komputer ilmiah fungsional yang menghasilkan bunyi yang cukup keras.
“Sekarang, apa yang sebenarnya anda butuhkan?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ani.
Disaat yang sama, perhatianku terpaku pada kode-kode mencolok yang ada di komputer yang dihubungkan dengan CAD yang setengah dibongkar itu. Monitornya dipenuhi dengan angka dan huruf yang tak terhitung.
Bukankah ruangan ini terlihat seperti laboratorium pengembanan CAD…..
Jujur saja, aku terkejut.
Namun, perkataan Ani selanjutnya menarik perhatianku kembali kepadanya.
“Ojou-sama.”
“Jangan memanggilku Ojou-sama.”
Merespon teriakanku, Ani hanya diam terkejut.
Bagi orang sepertinya sampai kehabisan kata-kata sangatlah jarang terjadi, tapi aku tidak merasa kalau itu aneh.
Lagipula,
Suaraku yang baru saja terdengar agak seperti raungan.
Suaraku terdengar seolah-olah aku hampir menangis.
“Uh……”
“………………”
“Um, er…. Itu benar! Kalau kau tidak terbiasa memanggilku dengan normal, kau mungkin akan tidak sengaja menyebutku Ojou-sama suatu saat, bukan?”
Ekspresi Ani berubah dari ‘terkejut’ menjadi ‘curiga’.
Ketidakpercayaan di pandangannya begitu terasa, tapi aku memberikan alasan yang buruk dalam menjawabnya.
“Jadi panggillah aku, Mi-Miyuki!”
Tapi, itu sudah sejauh yang kubisa.
Saat aku akhirnya selesai berbicara, itulah satu-satunya perasaanku saat aku menutup mataku.
Seperti seorang anak yang dimarahi, aku menutup mataku dan menundukkan kepalaku.
Walaupun aku tidak tahu apa yang kutakuti, aku memang seperti seorang anak yang takut dengan ketidaksetujuaan orang tuaku.
“….Aku mengerti, Miyuki. Apa itu saja?”
Jawaban Ani sangatlah halus.
Sikapnya tidak seperti biasa; dia berbicara dengan lebih santai seperti kalau dia berbicara dengan temannya.
Ani mungkin berbicara dengan orang lain selain aku seperti teman sekolahnya dan adik kelasnya dengan nada seperti ini.
Ani melihatku dengan mata yang lembut selagi berbicara kepadaku dengan halus.
“….Itu saja.”
Aku benar-benar akan menangis kali ini.
Hanya inilah yang bisa kulakukan untuk menahan air mataku.
“Aku permisi dulu, aku akan kembali ke ruanganku.”
Aku tidak berlama-lama, aku segera melarikan diri dari hadapan Ani.
Bersembunyi di ruanganku, aku menutupi wajahku dengan bantal.
Lagipula, sayangnya aku menyadarinya.
Kehalusannya hanyalah pura-pura.
Bahkan perkataan seorang kakak yang secara alami langsung ditujukan kepada adiknya hanyalah hasil dari sebuh kepura-puraan belaka.
Aku tidak punya bukti untuk menyangkal pemikiranku.
Tapi, karena aku adalah adiknya……
Baru kali inilah aku merasa susahnya dalam berkomunikasi dalam hubungan saudara, sesusah aku mencoba untuk menenangkan diriku sekarang.
0 Comments
Posting Komentar