JARAK DI
ANTARANYA
(PART 2)
(PART 2)
Hari pertama liburan musim panas, hari minggu.
Kumpul jam 6 pagi. Yang terkumpul sekarang ada Sorata,
Mashiro, Iori, Rita dan Misaki. Ryuunosuke masih di dalam kamar. Juga Kanna,
mereka menganggap perkataan Misaki hanya main-main saja jadi mereka tidak
memeprsiapkan diri.
Untuk membuat mereka keluar, menjelaskan pada mereka, dan
memaksa mereka ikut, menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Dan mereka sampai di
pantai jam 9.30 dengan menggunakan mobil Misaki.
Entah apakah masih awal, pantainya terlihat sepi. Kalau
begitu mereka bisa main sepuasnya.
Cuacanya cerah. Sinar matahari yang terpancar dengan
semangat, suhu pagi ini diatas 30 derajat. Dibawah matahari yang menusuk,
Sorata mempersiapkan temapat berteduh dipantai dan menancapkan payung. Walau
hanya menggunakan sebuah celana renang, tapi kalau bergerak sedikit saja
keringatnya akan bercucuran.
Walaupun Iori juga ada, tapi tangan kanannya masih belum
sembuh, jadi tidak bisa membantu. Dan Ryuunosuke yang dipaksa ikut hanya berteduh
dibawa payung dan mulai mengerjakan sesuatu dengan menggunakan laptopnya. Semua
pekerjaan dilakukan oleh Sorata. Bahkan kotak yang berisi minuman dingin juga
diangkat Sorata sendiri ke pantai.
Mashiro, Kanna, Rita, dan Misaki mengganti pakaian mereka di
vila. Vilanya mempunyai 2 lantai, dengan diding yang berwarna putih dan atap
yang berwarna abu-abu. Tadi sempat mengamati ruangannya setelah menaruh barang
bawaan, besarnya kurang lebih sama dengan Sakurasou. Lantai satu ada ruang
makan, kamar mandi, toilet dan ruang rapat, sedangkan lantai 2 semuanya kamar.
Katanya ini adalah salah satu fasilitas yang dimiliki oleh
Universitas Seni Suimei, kau bisa memakainya dengan gratis jika kau adalah
mahasiswa/i Universitasnya. Kata Misaki karna letaknaya sangat strategis dan
dekat dengan pantai, jadi sangat susah dipesan, tapi yang mengejutkan Misaki
berhasil memesannya.
“Dipikir-pikir akan ada saatnya untuk ini, jadi sudah
kupersiapkan sejak tahun lalu."
Didalam mobil, Misaki sempat berkata begitu.
“Kanda, cepat tancakan payungnya. Kulitku terkena sinar
matahari.”
“Kalau begitu bantulah aku!”
“Karena sekarang aku sedang sibuk bekerja, jadi kutolak.”
“Sekarang sudah sampai di pantai, jadi singkirkan saja
benda itu.”
Iori dan Kanda juga sudah mengganti pakaian mereka menjadi
celana renang, hanya Ryuunosuke yang masih menggunakan kaos dan celana jeans.
Bukankah itu sangat panas.
“Tenang saja, sudah kutangani masalah itu.”
Dan menunjukkan laptopnya yang berlapis plastik pada
Sorata.
“Maksudku bukan itu.”
Mah, harusnya sudah bersyukur kalau Ryuunosuke mau
datang…………awalnya dia sangat keras kepala.
Tapi, Sorata dengan alasan mau membuat rapat tentang
pekerjaan mereka, dan memaksa Ryuunosuke datang.
“Kalau benci matahari tinggal di vila saja.”
"Bagaimanapun tidak perlu sampai kerja di pantai kan.”
“Jangan bodoh. Cobalah kau coba tinggal satu atap dengan
gadis-gadis yang sedang berganti pakaian dan mengoles tabir surya. Mau berapa
nyawapun tidak akan cukup.”
“Bagaimanapun Rita tidak akan sampai seperti itu,
mungkin………”
“Omong-omong, belumkah!”
Iori yang yang memasang ekspresi mesum terus menunggu
kedatangan para gadis. Entah apa sudah tidak sabar, ia berlari ke arah laut.
“Belumkah~para gadis pantai!”
Dan berteriak ke arah laut.
Sambil mendengar teriakan jiwanya Iori, Sorata selesai
menancapkan payungnya diposisi yang tepat.
Dan duduk disebelah Ryuunosuke.
“Kanda.”
“Hn?”
“Payungnya, sedikit miring.”
“Kalau begitu perbaiki sendiri sana.”
Ryuunosuke menghiraukannya seolah tidak ada yang terjadi.
“Kanda.”
“Apalagi?”
“………soal si gadis yang numpang.”
Bagi Ryuunosuke sendiri, kata ini terdengar sangat
samar-samar. Biasanya dirinya sangat ‘to the point’………tapi, kali ini Sorata
paham maksudnya.
“Kau tetap tidak setuju untuk menyerahkan bagian ilustrasi
pada Rita?”
Menaruh tangannya dibelakang, dan meluruskan kakinya.
“Kau sebelumnya pernah bilang kan. Nanti mau jadi seperti
Fujisawa Kazuki, membangun sebuah perusahaan game bersama rekan seperjuangan.”
“Benar, dan sampai sekarang aku belum menyerah.”
“Si gadis yang numpang itu dunianya berbeda dengan kita
loh, dia ada didalam dunia seni.”
“Benar juga.”
Ini juga pernah dipikirkan oleh Sorata. Jadi ia tidak
terkejut lagi setelah Ryuunosuke mengatakannya.
“Si rambut gondrong juga, cinta mati dengan piano.”
Ryuunosuke yang mengangkat kepalanya itu melihat ke arah
Iori yang bermain ditepi laut.
“Tidak ada cara lain lagi. bagi Iori, piano itu sangatlah
penting baginya. Dengan kata lain, meneyrah dengan mudah, aku tidak percaya
saat dia mengatakan akan membuat game bersama kita. Itu dilihat darimanapun
hanya sebuah pelarian, juga, dia akan terus kabur dari segala yang berhubungan
dengan piano.”
“Masuk akal.”
“Benar-kan? Jadi, sebaiknya menyuruhnya berpikir lagi
dengan sebaik baiknya.”
Jadi, akhirnya kalau tidak bisa ikut dengan Sorata juga tidak
bisa dipaksakan.
Iori akhir akhir ini juga hanya main saja.
“Tapi, si gadis yang numpang itu juga sama, kalau tidak
bisa mengutamakan pengerjaan game daripada yang lain, suatu hari dia pasti akan
berbeda pendapat dengan aku ataupun bahkan dengan Sorata. Dan akan terjadi
pertengkaran. Kau akan merasakannya saat semakin serius, orang yang plin-plan
akan menghalangi kita, dan menjadi kesal.”
“………..”
Walaupun terdengar dingin , namun rasanya Ryuunosuke
seperti pernah mengalami itu.
“Apa dulu kau pernah merasa begitu?”
Bertanya begitu, Sorata mulai berbaring untuk menyantaikan
dirinya.
“…………..”
Ryuunosuke tidak menjawab.
“Kalau kau tidak ingin memberitahu juga tidak apa.”
Sorata berpikir ada. Kalau tidak ada, perkataannya tidak
akan terdengar begitu menyedihkan. Selalu begitu, perkataan Ryuunosuke selalu
berdasarkan pengalamannya.
Disaat berpikir begitu, Sorata mulai penasaran dengan masa
lalu Ryuunosuke.
Sejak kapan Ryuunosuke menjadi begitu menutupi dirinya.
Saat bertemu Sorata, dirinya sudah berusaha mati-matian
untuk tidak berhubungan dengan orang lain. Lalu, terus bekerja. Apa saat SMP
juga begitu, apa saat itu dia tidak mempunyai teman. Tidak, harusnya ada. Saat
di Hokkaido. Disana, sempat bertemu dengan murid sekolah lain yang kenal dengan
Ryuunosuke. Bertanya juga hanya dibilang ‘kenalan saat SMP’…………
Kalau bertanya sekarang, kemungkinan besar akan dijawab
seperti itu lagi. Jadi, sekali lagi Sorata menahan dirinya, dan lanjut ke topik
yang sebenarnya.
“Tentu, aku juga ingin mengumpulkan anggota yang sama sama
tertarik dengan game dan menjadikanya sebuah tim, setidaknya aku berpikir
begitu. Tapi, aku berpikir disituasi yang tidak punya kenalan dekat, mempunyai
Rita dan Iori rasanya sangat beruntung.”
“………..”
“Juga, walaupun mungkin tidak boleh mengatakan ini pada
Ryuunosuke, tapi biarpun ada yang sepemikiran dengan kita ,tapi kalau tidak
bisa maju pada situasi seperti sekarang apa gunanya?”
Menunggu juga tidak akan menyelesaikan masalah.
“Baguslah kau menentukan pilihan dengan berpikir begitu.”
Yang Sorata amati, ada sesuatu yang tidak beres dengan
Ryuunosuke yang menjawab dengan ekspresi seperti itu. Seperti dirinya sedang
diselimuti sesuatu, tapi entah apa itu.
“Apa yang kalian diskusikan sampai terlihat senang seperti
itu?”
Yang tiba tiba menampakkan diirnya itu adalah Rita.
Sorata dengan refleks loncat berdiri.
Ryuunosuke juga entah kenapa bersembunyi dibelakang Sorata.
“Ah~~, Dragon tidak
mengganti pakaiannya ya.”
Misaki yang membawa pistol air dan papan berbetuk pisang
itu mengeluarkan suara yang membosankan.
Dua bayangan pakaian renang yang menyilaukan. Punya Rita
berwarna putih biru, sedangkan punya Misaki berwarna kuning polos. Keduanya
adalah bikini yang memamerkan bagian tubuh mereka yang ‘menonjol’.
Dan dibelakang terlihat Mashiro dengan bikininya yang
berwarna putih polos dan Kanna yang menggunakan kaos panjang yang menutup
sampai dibawah pantat.
“Yes! Glamourous!”
Iori dengan lari kembali ke tempat berteduh.
“Indah sekali! Menakjutkan sekali! Rita-senpai!
Misaki-senpai! Aku bersyukur bisa lahir didunia ini~!”
Didepan nicebody milik Rita dan Misaki. Bahkan tangan Iori
yang patah itu terangkat, dan membuat pose kemenangan menghadap ke arah laut.
Juga tampak air matanya yang menetes jatuh. Sepertinya dia benar-benar terharu.
Sedangkan Kanna menatapnya dengan tatapan yang merendahkan.
Disaat Sorata ingin melihat ke arahnya.
“Tolong jangan melihat ke sini!”
Dan dimarahi begitu.
“Ada apa, no pants! Apa kau belum cukup tidur! Kalau begitu
akan kalah dengan sinar matahari saat musim panas loh!”
“Siapapun akan merasa terganggu kalau tiba tiba dibawa ke
pantai seperti ini!”
Kana dengan serius membalas. Tapi, Misaki malah berteriak
‘Yahoo~!’ dan berlari ke arah laut.
“Follow me~! Iorin !”
Iori juga mengejarnya setelah mendengar panggilan Misaki,
apa tangannya tidak apa apa………
“Seperti anak kecil saja, langsung menjadi ribut setelah
melihat laut.”
Kanna dengan ekspresi yang terkejut melihat ke arah Iori.
“Walaupun begitu, kau tetap dengan serius memilih pakaian
renangnya kan?”
Rita dengan membawa senyuman yang nakal melihat ke arah Kanna. Seolah memberitahu bahwa
didalam kaosnya yang panjang itu, Kanna juga menggunakan pakaian renang.
“I-itu………”
“Apa itu ingin ditunjukkan pada seseorang?”
Rita terus melancarkan serangannya.
“Ti-tidak ada seseorang seperti tiu.”
Kanna mempertegas pernyataannya.
“Padahal aku ingin menunjukkannya pada orang itu, tapi
sayang sekali. Bagaimana dengan pakaian renangnya, Ryuunosuke?”
Rita sedikit membungkukkan badannya, seperti ingin
memamerkan dadanya.
Sorata yang menyembunyikan Ryuunosuke dibelakang itu, tidak
dapat menahan godaan yang Rita berikan. Dan Mashiro terlihat cemburu akan itu.
Ini membuat Sorata berada diposisi yang sulit.
“Bagaimana, Ryuunosuke?”
“Tolong jangan masuk ke pandanganku dengan pose seperti
itu. Dan jangan bicara denganku.”
“Malahan aku rasa tanggapan Iori yang semangat itu baru
normal.”
Percaya dirinya tinggi sekali. Walaupun itu merupakan
kenyataan.
Dan jujur saja, Rita yang menggunakan pakaian renang itu
memberikan efek yang begitu dahsyat. Biarpun tahu Mashiro ada disamping, tetap
saja Sorata sulit menolak godaan itu.
Mashiro sekali lagi terlihat cemburu. Dan kali ini
menyemprotkan air ke muka Sorata.
“Uwaa!”
Dengan terkejut Sorata mengusap wajahnya.
“Apa yang kau lakukan!”
Lalu refleks protes ke Mashiro yang bermain pistol air itu.
“Sorata, terus melihat ke arah Rita.”
“Ti-tidak.”
Untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, Sorata terus
melihat ke arah Mashiro sekarang. Bikini yang berwarna putih polos dipadukan
dengan kulitnya yang begitu pucat, terbentuk sebuah keindahan yang tidak bisa
dideskripsikan.
Sorata yang menyadari hal itu merasa detak jantungnya terus
bertambah cepat.
Keringat Mashiro mengalir dari kening dan jatuh ke belahan
dadanya itu.
Postur tubuhnya yang tidak kalah dengan Rita itu menakjubkan.
Menelan ludah.
Keinginan Sorata untuk menyentuh kulitnya terus mengalir.
“Sorata?”
Dan baru sadar setelah dipanggil Mashiro.
“Ah, tidak, itu……a-apa sudah oles tabir surya? Nan-nanti
kulitmu terasa pedas juga tidak baik, kau, juga terlihat sudah tidak tahan
dengan panas kan.”
Sorata berusaha menutupi keinginannya yang kotor itu dengan
kata-kata.
“Sudah dioles.”
“Kalau takut, bagaimana minta Sorata yang oles saja?”
Rita mengeluarkan tabir surya yang entah dari mana itu.
Sorata dengan buru-buru menghentikan tangannya yang ingin
menerima itu, Rita tampak sedikit kecewa.
“Ah, ya, Rita.”
Sorata dengan kaku memindahkan topiknya, karna rasanya
suasana saat ini tidak begitu nyaman.
“Untuk memastikan saja, apa Rita ingin berpartisipasi dalam
pembuatan game?”
“Kemarin sudah kukatakan kan?”
“Apa tujuan Rita bukan menjadi seorang pelukis?”
Kemampuannya sudah cukup untuk memamerkan karyanya di
pameran seni.
“Ini tidak perlu dikhawatirkan. Sudah kuputuskan akan
pelan-pelan menciptakan karyaku. Ini juga salah satu alasanku kuliah di Jepang,
aku datang untuk belajar lebih banyak hal yang tidak berkaitan tentang seni.
Ini pasti tidak akan sia-sia. Atau dengan kata lain, ini akan menjadi
pengalamanku yang sangat berharga.”
“Kalau begitu, aku tidak ada pertanyaan lagi. Hanya………….”
Pandangan Rita dan Sorata dengan bersamaan menghadap ke
arah Ryuunosuke. Namun dirinya tidak merasakan apapun, dan mengeluarkan ponsel.
“Tidak mengatakan hal seperti ‘Aku menolak’?”
Rita dengan membawa ekspresi yang bingung dan memiringkan
kepalanya.
Ryuunosuke melihat ke arah Rita sejenak.
“Aku akan kembali ke vila.”
Setelah berkata begitu, dia pun berjalan ke arah vila.
“Ah, Ryuunosuke!”
Teriakan Rita juga tidak bisa menghentikannya. Tidak
membalikkan kepalanya, juga tidak membalas apapun. Dengan begitu bayangannya
semakin menjauh, dan menghilang setelah masuk ke dalam vila.
“Rasanya, Ryuunosuke aneh?”
“Ah…….mungkin saja.”
Disamping Sorata, Mashiro terlihat bingung. Kanna malah
berteduh dibawah payung dan mengeluarkan catatan, dengan diam terus membolak
balikkan halaman catatan.
“Biasanya, dia pasti akan langsung menolak kalau dia tidak
mau.”
“Benar juga.”
“Lalu sekarang malah ikut ke pantai tapi masih protes ini
itu……..”
“Memangnya semua ini bukan karena aku dan Rita yang terus
memaksanya ikut?”
“Biarpun begitu, rasanya tetap aneh.”
“Tapi, mungkin akhir-akhir ini Akasaka memang aneh.”
“Misalnya?”
“Retreat perpisahan yang kukira dirinya pasti tidak ikut
tapi ujung ujungnya ikut.”
Walaupun berada dihotel terus.
“Lalu?”
“Saat Iori masuk rumah sakit dia juga ikut menjenguk.”
“………sepertinya memang perlu diselidiki ya.”
Rita dengan mengigit jarinya dan berpikir.
“Apa Ryuunosuke bertemu hal hal yang kira-kira bisa
membuatnya menjadi aneh begitu?”
“Ada, Rita datang.”
“Aku serius.”
Rita marah juga dibisa diremehkan.
“Aku juga menjawab kau dengan serius tahu.”
Selain itu ada hal lain tidak? Selain Rita datang, dan
berhasil lolos tahap seleksi ‘Game Camp’………..kalau selain ini berarti sisa itu
saja.
“Saat retret perpisahan, Ryuunosuke sempat bertemu dengan
temannya yang dulu 1 SMP dengannya.”
Itu malam hari pertama.
“Laki-laki apa perempuan?”
Rita bertanya.
“Satu laki laki satu perempuan.”
“Jangan-jangan, mantannya Ryuunosuke?”
“Siapa tahu, aku tidak tahu banyak……….”
“Jangan-jangan itu!”
Rita menjadi panik.
“Si-siapa tahu. Rasanya mereka dulu dekat.”
Waktu itu terasa kalau dulu mereka teman dekat.
“Aku juga diberitahu beberapa hal yang aneh sama si
perempuan itu.”
“Hal yang aneh?”
“Aku bertemu dengannya sehabis aku berendam.”
Namanya Ikejiri Maya. Dirinya memberi kesan orang seorang
gadis modern yang sekolah dikota yang besar.
“Dia menyarankanku lebih baik menyerah untuk membuat game
bersama Ryuunosuke.”
“Lalu, Sorata jawab apa?”
Ekspresi Rita terlihat sangat serius.
Jadi, Sorata menjadi sedikit malu, tapi dia tetap
mengatakannya.
“Aku jawab mustahil bagiku untuk menyerah.”
“…………..”
“Aku bilang aku ingin membuatnya bersama Ryuunosuke.”
Dan Rita terlihat puas.
“Bagus juga jawabanmu.”
Dan mengatakannya dengan tersenyum.
Diberitahu begitu rasanya sedikit memalukan. Apalagi
alwannya ada Rita yang cantik, jadi dengan tidak tahan Sorata tersenyum.
Dan Mashiro membidik Sorata yang terlihat senang itu dengan
pistol air, dan menembakkan air ke wajah Sorata.
“Hmph!”
Sorata terkejut akan serangan yang tidak diduga itu.”
“Ke-kenapa kau tiba-tiba!”
“Terus menatap ke arah Rita.”
Mashiro terlihat sangat cemburu.
“I-itu karna kami sedang membicarakan sesuatu yang penting!
Saat kecil kau pernah diajari begitu kan? Saat berbicara perlu menatap ke mata
lawan.”
“Heh, kalau begitu, Sorata tidak lulus loh.”
“Apanya tidak lulus?”
“Bukannya sempat beberapa
kali melihat ke arah dadaku?”
“Ti-tidak!”
Walau Sorata segera menyangkalnya, tapi ia tidak dapat
berkata apapun lagi. karena yang Rita katakan
itu kenyataan.
“Sorata-senpai, mengecewakan.”
Bahkan Kanna yang tidak memindahkan sedikitpun pandangannya
dari bukunya itu menyalahkan Sorata. Benar, ini memang salah Sorata. Biarpun
begitu, wajar saja bila seorang laki laki bereaksi begitu.
“Sorata, memang suka yang besar.”
“Bu-bukan!”
Disaat ingin menjelaskan, bagian belakang kepala Sorata
terkena sesuatu yang besar.
“Argh!”
Karena bagian belakang
kepalanya terkena benturan, dirinya tercondong ke depan dan jatuh.
Lalu
“Shuriken pisang!”
Dibelakangnya terdengar nama jurus yang aneh.
“Teriakkanlah nama
jurusnya sebelum kau lempar hoi!”
Sorata protes ke Misaki, karna dirinya mendorong Mashiro
sampai jatuh.
“Uwa.”
“…….ah.”
Tidak peduli dilihat darimanapun itu kesalahan Sorata.
Sorata dapat merasakan suhu tubuh Mashiro. Dan
kepalanya jatuh disamping leher Mashiro, bagian perut mereka juga bersentuhan. Satu
pahanya dijepit kaki Mashiro. Dan tangan kanannya memegang dada Mashiro.
“Ditempat umum begitu
mendorong orang sampai jatuh, tidak kusangka Sorata orangnya berani juga.”
Segera setelah mendengar suara Rita yang terdengar senang
itu, Sorata dengan buru-buru berdiri. Tentu
tidak lupa menarik tangan Mashiro untuk membantunya berdiri.
Membersihkan pasir yang ada ditubuh. Sedangkan Mashiro
dibersihkan oleh Rita.
“Ma-maaf.”
“……..hn.”
Mashiro sedikit merendahkan kepalanya,
dan tidak berani menatap ke arah Sorata. Wajahnya terlihat sedikit memerah, apa
Sorata terlalu banyak pikir?
“Hoi, Misaki senpai.”
Sorata berbalik ke arah Misaki dan ingin protes, tapi kali
ini keluarkan jurus yang aneh lagi.
“Lemparan kapak!”
Benar, jurus yang aneh. Namun Sorata tidak merasa menarik
sedikitpun……..
“Hoi~Kouhai kun juga
cepat! Ayo kita berlomba berenang siapa yang lebih cepat sampai ke pulau
seberang!”
“Mana mungkin berenang
untuk jarak sejauh itu hoi!”
Pulau diseberang pantai itu jaraknya sekitar empat ribu
mil.
“Ayo pergi, Mashiro.”
Lalu Rita menarik tangan Mashiro dan berlari ke arah laut.
Walaupun Sorata ingin segera mengejarnya, tapi sebelum itu
ia memanggil Kanna.
“Kanna-san juga……..”
“Lupakan saja aku.”
“Tapi.”
“karena barang bawaan kalian
perlu dijaga.”
Kanna sangat keras kepala.
“Juga, tolong katakan
pada si bodoh itu, bagaimanapun jangan membiarkan tangan kanannya terkena air
laut.”
Dan diberitahu begitu, Sorata rasa akan susah untuk
memaksanya untuk ikut bermain juga.
“Dimenegrti, kalau
begitu, tolong ya bantuannya. Nanti gantian.”
Setelah selesai mengatakannya, Sorata pun berlari ke arah
laut.
Pertama tama biar Mashiro naik perahu yang berbentuk pisang,
lalu Sorata puni kut dengan Mashiro untuk menikmati. Air lalu
pada awal musim panas suhunya sendikit rendah, namun ini membuat sinar matahari
yang menyinari seluruh tubuh rasanya nyaman.
Waktu untuk bersantai. Walaupun sangat tiba-tiba,
tapi Sorata merasa ada baiknya juga datang ke pantai. Ia dapat melihat Mashiro
yang menggunakan pakaian renangnya………
Namun itu juga tidak berlangsung lama. Sorata yang
menikmati waktu santainya itu tiba tiba diganggu oleh Rita dan Misaki yang
mendekat dengan perahu lain, dan keadaan sekarang seolah olah sedang berlomba
siapa yang lebih cepat sampai ke pantai.
Tentu hasilnya sangat jelas, yaitu kalah. Dan sebagai
hukumannya, Sorata dikubur dengan menggunakan pasir.
“Kalah karena
kau terus melihat ke pantatnya Mashiro loh.”
Rita mengatakannya sambil mengubur Sorata dengan pasir.
“Bukan!”
Mah, walaupun sempat melihatnya…….tapi mau gimana lagi.
Walaupun rasanya ingin menyentuhnya tapi Sorata tidak punya keberanian untuk
itu……..
“………….”
Mashiro entah kenapa sekarang menggunakan tangannya
menutupi pantatnya.
“Sorata ‘H’ sekali.”
“Lihat ke Rita dimarahi,
lihat ke Mashiro juga dimarahi, apa yang harus
kulakukan!?”
“Tidak tahu.”
Dengan tidak senang memindahkan pandangannya, rasanya
sangat terluka.
Setelah hukuman game selesai, ditambah dengan Iori yang
hanya bisa bermain ditepi pantai, dimulailah perang pistol
air yang disarankan Misaki.
Kelompoknya dibagi dua yaitu kelompok laki-laki
dan kelompok perempuan. Sorata dan Iori satu kelompok melawan
kelompok yang terdiri dari Mashiro, Rita dan Misaki.
Kedua pihak menancapkan
bendera dimarkas masing masing. Aturannya yang kalah adalah yang benderanya
direbut duluan.
Lalu, kalau bagian kepala terkena tembakan pistol air juga
dinyatakan kalah, kalau terkena bagian tubuh tidak dihitung.
Setelah bermain tiga kali, hasil akhirnya
Sorata mereka kalah terus. Walaupun sempat mengalahkan Mashiro yang jarang
bergerak dan Rita yang ternyata refleksnya sangat lambat, namun bagaimanapun
mereka kalah terus karna Misaki. Juga, Iori dikalahkan karna ia terus melihat
ke arah dada Misaki.
“Yang benar saja, jahat
sekali Sorata. Banyak sekali yang kau tembak diwajahku.”
“Aku juga, ditembak
begitu banyak olehnya.”
“Yang kutembak itu air
laut hoi!”
Setelah bosan bermain perang pistol air. Sekarang
dimulai lomba membuat sesuatu dengan menggunakan pasir, tentu yang menyarankan
itu adalah Misaki.
Dan sesuai urutan, dimulai dari Sorata, Mashiro, Rita,
Misaki dan Iori, mereka mulai membaut karya mereka dengan pasir.
Sorata memutuskan untuk membuat gunung Fuji yang dipikirnya
gampang. Menumpuk pasir, dan mengeraskannya dengan air, dan disaat pasirnya
mulai membentuk bentuk gunung, ia melihat ke yang lain.
Mashiro yang disamping sepertinya sedang membuat
‘Nyaboron’. Entah apa mungkin ia memang punya bakatnya, hasilnya bagus. Dan
Rita yang disamping juga membuat musuhnya Nyaboron yaitu ‘Nyangolownians’. Ini
juga sekali dilihat saja hasilnya sangat bagus. Sasuga orang yang berada
didalam dunia seni.
Namun, orang yang mempunyai keberadaan seperti itu juga
ada. Yaitu Misaki. Kalau Sorata tidak salah ingat, itu adalah Cappadocia. Hanya
Misaki sendiri yang dimensi dan tingkatannya berbeda dari yang lain.
Kalau terus begitu Sorata tidak mungkin akan mempunyai
kesempatan, ini sama saja seperti game untuk menghukum Sorata.
Tapi, ternyata Iori juga membuat gunung yang tidak berbeda
jauh. Tapi, itu ada 2 buah. Lalu setelah melihat raut wajah Iori yang terlihat
bahagia itu, Sorata sadar itu merupakan sebuah kesalahpahaman. Dua
buah gunung, dan itu adalah dada.
“Hanya Iori aku tidak
ingin kalah dengannya.”
Walaupun bilang begitu, rasanya lelah juga kalau terus
bermain. Lebih baik istirahat bentar.
“Aku pergi mengambil
minuman sebentar.”
Sekalian gantian dengan Kanna untuk jaga barang bawaan.
“Terima kasih,
Cappadocia!”
Sorata dengan ragu berjalan ke arah payung. Lalu, terdengar
langkah kaki seseorang yang mengejar kemari.
Yang ada disamping itu adalah Mashiro.
“Aku juga akan membantu.”
“Hn.”
Bisa ya. Mashiro yang biasanya selalu menyerahkan semuanya
pada Sorata sekarang membantu……….jangan-jangan ini kesadarannya
sebagai seorang pacar, kalau begitu rasanya lucu sekali.
“Game Sorata.”
“Huh? Ah maksudnya
itu……..”
Sepertinya salah paham.
“Hn. Ingin menjadi
kekuatan Sorata.”
Mashiro menganggukkan kepalanya.
“Bukannya kau mempunyai serialisasi
komik yang masih berjalan itu?”
“Bisa kulakukan
bersamaan.”
“Tapi, tidak boleh.”
“Mengapa? Padahal Rita
boleh.”
Mashiro menunjukkan raut wajah yang jelas terlihat tidak
senang itu.
“Tetap tidak boleh meski
kau menunjukkan raut wajah seperti itu.”
Rasanya kalau lengah sedikit saja pasti akan segera kalah
oleh raut wajahnya yang terlihat lucu itu.
“Mengapa?”
“Yang ingin kau kerjakan
bukanlah game tapi komik………..jadi ini berbeda.”
Jawabannya terdengar sedikit ragu karna Sorata tidak
mempunyai cukup kepercayaan diri pada perasaannya sendiri.
Alasannya dirinya tahu. Didalam hati Sorata ia tidak ingin
meminjam sedikitpun bantuan Mashiro, dan menggapai impiannya dengan kekuatannya
sendiri. Ini bukanlah perasaan yang kuat. Namun ini hanya sebuah keinginan yang
terpendam dalam hatinya.
Mungkin saja ini adalah harga diri yang terdengar
membosankan, atau sebuah pikiran yang tidak berguna. Tapi, sekarang Sorata
tidak bisa menganggap Mashiro sebagai bagian dari timnya.
“…………”
Percakapannya tidak dapat dilanjut. Biarpun tahu Mashiro
menunggu disamping, namun tidak ada yang perlu dikatakan lagi. lalu, Mashiro
dengan nada bicara yang terdengar tidak terima itu mengatakan
“Ya sudah.”
Lalu kembali ke arah Rita.
Sorata tidak dapat mengejarnya.
Tunggu beberapa saat lagi baru dibicarakan. Walaupun tidak
tahu apa Mashiro bisa memahami maksudnya, tapi Sorata tidak mempunyai cara
lain.
Sorata hanya bisa merapikan kembali pikirannya dan berjalan
ke arah payung.
Kanna sekarang juga masih berada dibawah payung. Dengan
tanggan menggenggam catatannya, tapi tidak dibaca.
Disampingnya ada dua orang pria. Keduanya
mempunyai rambut warna coklat. Hanya menggunakan celana renang. Walaupun tidak
tahu apa sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya mereka sedang menggoda Kanna.
Dan Kanna merendahkan kepalanya dengan ragu.
Lalu tiba-tiba bertemu pandang
dengan Sorata.
“Ada apa?”
Sambil berjalan sambil mengeluarkan suara. Dua
orang pria itu memutar badannya bersamaan. Umurnya terlihat tidak berbeda jauh
dengan Sorata, tinggi badannya sedikit lebih pendek dari Sorata.
“Apaan, ternyata sudah
punya pacar.”
“Bilanglah dari awal,
rasanya sia-sia saja~”
Kedua orang itu pun pergi dan menunjukkan ekspresi yang
terlihat kecewa.
Dua orang pria itu sambil
jalan sambil mengobrol
“Bukannya gadis yang itu lumayan
cantik?”
“Apa kau memiliki
keberanian untuk omong dengan si gadis pirang yang cantik itu?”
“Tidak~”
Dan setelah itu, mereka pun menghilang.
Seiring berjalannya waktu, pantai menjadi semakin penuh
dengan orang orang.
Sekalilagi melihat ke arah Kanna. Kanna terus menatap ke
arah Sorata.
“A-apa?”
“Kenapa tidak menolak?”
“Huh?”
“Aku tidak ingat aku
adalah pacar Sorata-senpai.”
Dengan nada bicara yang terdengar sedikit malu itu.
“Ah, itu………..hn, maaf.
Tapi, mah, kesalahpahaman ini dapat kita selesaikan dengan lebih cepat.
Walaupun mungkin Kanna akan sedikit terganggu.”
“Aku tidak terganggu.”
Suaranya sangat kecil, Sorata tidak mendengarnya dengan
jelas.
“Hn?”
“Juga tidak benci.”
Ini juga tidak didengar Sorata.
“Aku hanya ingin bilang
kalau Shiina-san akan marah, kalau dekat dengan perempuan lain terus.”
“Dekat dengan perempuan
lain?”
"Entah.”
Padahal ini topik yang diungkit Kanna, namun sikapnya itu
sangat dingin sampai tidak bisa melanjutkan percakapan.
“Apa tidak apa apa?
Meninggalkan Shiina-san disana.”
Mashiro yang kembali ke arah Misaki itu memulai pengerjaan
kembali pasir Nyaboronnya.
"Aku rasa mungkin aku
bisa menang melawan Iori, jadi tidak apa.”
“Tidak ada orang yang
khawatir itu. Dibandingkan aku, tiga orang itu pasti akan
digoda laki-laki lain.”
“Kalau soal ini, tidak
perlu dikhawatirkan.”
“Mengapa?”
“Saat perang pistol air
lumayan banyak yang mendekat, namun semua mundur kembali setelah melihat cincin
yang ada ditangan kiri Misaki-senpai.”
Semua laki-laki yang niat mendekat
semuanya mundur setelah tahu kalau lawannya ternyata sudah ada yang punya.
“Sekarang gantian aku
yang jaga, bagaimana Kanna ikut bermain dengan mereka.”
“Jahat sekali Sorata-senpai.”
“Huh? Apanya
yang jahat?”
“Kalau bersama mereka
bertiga, aku akan menjadi pesimis.”
“Ah, begitukah?”
Setelah dijawab begitu, Sorata melihat ke arah Kanna, tapi
yang ia dapat hanya lirikan Kanna yang kejam itu.
“Tolong jangan melihat ke
arah sini.”
Ia mencoba menarik T-shirt nya lebih ke bawa lagi untuk
menutupu bagian tubuhnya, namun mungkin karena terlalu kuat
tarikannya, pundak kirinya terbuka, dan terlihat sekilas pakaian renangnya.
Kanna yang terkejut itu segera menutupi pundaknya, wajahnya
memerah seketika.
“Jangan-jangan,
tidak pakai?”
Untuk mengatur suasana Sorata bercanda.
“Sebenarnya Sorata-senpai
menganggap aku ini apa?”
Yang menjawab Sorata itu, adalah pandangan yang seperti
sedang melihat orang mesum. Tidak, mungkin tidak perlu menambah kata ‘seperti’.
“Aku juga menggunakannya
pada bagian bawah.”
“Akhirnya aku bisa tenang
setelah mendengar ini.”
Karena kalau tidak sampai
dipakai berarti ini adalah situasi yang sangat gawat.
“Omong-omong,
bagaimana kabarmu akhir-akhir ini.”
“………..”
Kali ini dilirik tanpa mengatakan sesuatu.
“Ini tidak ada maksud
lain, maksudku itu apa pengerjaan novelmu baik-baik saja!”
“Walaupun sekarang isinya
berbeda dengan yang sebelumnya………tapi aku sedang mengerjakannya. Rencananya
selesaikan satu minggu sebelum liburan musim panas selesai.”
“Begitukah, syukurlah.”
Alasan Kanna bertindak aneh karena stresnya karena
tidak bisa menulis apapun. Jadi tentu saja ini merupakan kabar yang baik, jadi
tidak perlu dipikirkan lagi.
Diluar dugaan, Sorata merasa mungkin ini merupakan pengaruh
dari menjadi penanggungjawab Iori juga. Pasti tidak akan merasa bosan kalau ada
Iori yang berada disampingnya yang selalu bertengkar.
Pasti akan dimarahi kalau mengatakan ini pada Kanna…….
“Sekalian saja, itu
cerita seperti apa?”
Kalau tidak salah ingat katanya ingin membuat novel
romantis…….
“Seorang gadis yang
mempunyai perasaan pada seorang laki-laki yang mempunyai
pacar yang sangat cantik, cerita seorang gadis yang tidak menonjol.”
Kanna melihat ke arah laut dengan tatapan kosong.
“Itu, bagaimana ya
bilangnya……….itu terdengar seperti sebuah cerita yang sedih.”
“Ya.”
Raut wajah Kanna terlihat kalau dirinya seperti sedang
kesusahan.
Karena rasanya kalau terus
melihatnya pasti akan dimarahi lagi, jadi Sorata mengulurkan tangannya ke arah
kotak yang berisi minuman, dan mengambilnya.
“Ini, berikanlah pada
mereka.”
Kanna tidak segera menerimanya.
“Apa Sorata-senpai
sebegitunya ingin melihat pakaian renangku.”
“Kalau ditanya ingin
lihat apa tidak, mungkin ingin.”
“…………..”
Sorata sudah siap kalau akan dimarahi, namun Kanna tidak
mengatakan appaun. Dan mulai merendahkan kepalanya seperti sedang memikirkan
sesuatu, wahanya sedikit memerah.
“Kalau senpai omong
begitu, maka……..”
Kanna berbisik bisik sendiri dengan suara yang kecil, lalu
duduk dan perlahan melepaskan T-shirt nya. Pakaian renang yang berwana pink dan
dipadukan dengan bulatan berwarna putih, bagian bawahnya terliaht seperti rok
mini.
“Aku juga tahu kalau ini
tidak cocok denganku.”
“Aku belum mengatakan
apapun kan?”
“Tidak mengatakan sesuatu
juga tidak apa.”
“Biarpun aku merasa kalau
ternyata cocok?”
“Bu-bukannya sudah
kubilang tidak perlu.”
Segera setelah Kanna membalasnya, ia merebut minuman yang
ada ditangan Sorata dan berlari ke arah Misaki.
Misaki yang menyadari Kanna yang mendekat dengan membawa
minuman itupun mengajaknya bermain.
Kanna kemudian berjalan ke arah Iori, dan menginjak dua
buah gunung yang dibuat Iori itu.
“Aaaaaaaaaaaaaa! Dadaku!”
Terdengar teriakan yang menyedihkan.
Sesaat, Sorata melihat ke mereka dari belakang.
Setelah sektiar 10 menit, Rita yang duluan menyelesaikan
karyanya itu kembali ke bawah payung matahari.
“Huft.”
Setelah membersihkan pasir pasir yang ada dipantatnya, ia
pun duduk disamping Sorata.
Sorata mengeluarkan minuman dari kotak dan memberikannya
pada Rita.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Aku ingin mengatakan
sesuatu yang penting pada Sorata.”
“Sesuatu yang penting?”
“Tidak boleh terlalu baik
pada gadis selain Mashiro loh.”
Pandangan Rita terus melihat ke arah Mashiro. Juga, ia
sedang melihat salah satu dari mereka, yaitu Kanna.
“Yang kubicarakan itu,
kau tahu kan?”
“Rita juga, cepat sekali sadarnya.”
“Alasan tangan Iori sudah
kudengar. Katanya karena dia dan kanna mengikuti
kencan mu dengan Mashiro.”
“Bisa jadi.”
“Kenapa bisa diikuti
begitu, kau paham alasannya kan?”
“………..kira-kiralah.”
Sorata menjawabnya dengan tidak jelas karena
dirinya pernah berpikir alasannya. Dan dia lumayan yakin.
“Tidak boleh kira-kira.”
Lalu Rita menunjukkan ekspresi yang terliaht serius itu.
“Tapi ya…….kalau perasaan
Kanna memang seperti yang dipikirkan, itu……..bukannya dia sudah tahu kalau aku
sedang berpacaran dengan Mashiro?”
Rasanya sedikit memalukan saat mengatakan ini.
“Makanya inlah masalahnya
bukan.”
“…………”
Benar.
“Kalau dia memang seorang
gadis yang bisa segera menyerah dan merapikan kembali perasaannya, aku juga
tidak perlu mengatakan ini pada Sorata.”
“Benar juga.”
“Sorata harus perlu lebih memikirkan Mashiro.”
“…….tenang pasti akan kulakukan.”
“Apa kalian sudah
melakukan sesuatu yang harus dilakukan sebagai pasangan?”
“Sudah kencan.”
“Kencan seperti apa?”
“Pergi ke Sea World,
berbelanja bersama sama, dan berkeliling.”
“Hanya itu?”
Entah kenapa terasa suasana yang tidak tenang itu dari arah
Rita. Matanya seperti mengatakan ‘kalau hanya itu rasanya aku ingin marah loh’
“Se-sebelumnya kami juga
sempat foto bersama loh?”
Dalam perjalanan pulang setelah kencan, saat lewat pusat
Game, Mashiro bilang ingin foto. Mungkin ia tertarik dengan foto berpasangan.
Sorata seperti ingin membuktikan itu benar, ia mengeluarkan
dompetnya dan mengeluarkan fotonya dan memberikannya pada Rita.
“Apa itu?”
Rita tersenyum dan memberikan sedikit tekanan.
“Aku hanya melihat gambar
Sorata dan Mashiro berdiri sejajar loh?”
“Me-memangnya kenapa?”
“Kalian itu pasangan yang
sedang jatuh cinta loh, harusnya kalian lebih mesra. Seperti saling
bergandengan tangan, saling berpelukan…….kalau itu aku, setidaknya aku akan
mencium pipi Ryuunosuke loh?”
“Aku akan memberitahu
Akasaka agar ia lebih berhati hati saat diajak foto bersama-mu.”
Tapi setelah mendengar kata-kata Rita, Sorata sadar
sebenarnya yang Rita katakan itu tidak salah juga.
“Tidak cukup kalau hanya
terus memikirkannya, tidakan itu juga sangat penting.”
“………..tindakan ya, ah, itu sangat penting.”
Dari lubuk hatinya dia berpikir begitu. Tapi, apakah
tindakan itu benar benar bagus. Apa boleh melakukan apapun pada Mashiro. Apa
dirinya tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuat Mashiro membencinya.
“Biarpun begitu, disaat
kita ingin bertindak banyak sekali halangannya.”
“Misalnya?”
“Sakurasou itu asrama yang terdiri dari siswa.”
Sampai sekarang mereka bahkan melakukan ciuman kedua
mereka.
“Dindingnya juga sangat
tipis, rasanya seperti kita bisa tahu apa yang sedang dilakukan orang yang
berada disamping kamar kita.”
“Benarkah?”
“Kalau begitu, apa saat
ada kesempatan berduaan, Sorata akan menjadi ‘serigala’?”
Rita sepertinya ingin memainkan perasaan Sorata.
“Tentu, bagaimanapun aku
ini laki-laki.”
Sorata berani bilang begitu karna dia yakin pasti tidak
akan ada kesempatan seperti itu. Jujur saja, selama di Sakurasou, Sorata tidak
pernah berduaan hanya dengan Mashiro.
“Tolong jangan lupakan
yang kau katakan saat ini ya.”
Rita tersenyum nakal.
“Dan untuk kedepannya,
aku ingin bertanya sesuatu.”
“Apa?”
“Apa pandangan perempuan
terhadap itu……..mereka berpikir seperti apa?”
“I-itu…….itu, kalau tiba
tiba diperlakukan seperti itu, ten-tentu awalnya akan menolak karna belum
pernah punya pengalaman sebelumnya, tapi………..”
Suara Rita semakin mengecil.
“Tapi?”
“Ha-hal seperti itu
pikirkanlah sendiri!”
Rita dengan sangat jarang terlihat wajahnya memerah.
Walaupun Rita biasanya selalu terliaht tenang, tapi dia belum pernah berpacaran
dengan laki laki.
“Mah, aku akan pelan
pelan. Lagian juga tidak sedang buru buru.”
“Kalau soal ini, semoga
saja Mashiro juga berpikir begitu.”
“Huh?”
Walaupun Sorata ingin bertanya apa maksudnya itu, namun
ponsel yang berada ditasnya itu berbunyi.
Yang menelepon itu adalah Chihiro.
“Halo, ini Kanda.”
“Apanya ‘halo, ini
Kanda’.”
“Maaf, lalu harus kujawab
seperti apa?”
“Kau melupakan sesuatu
yang penting.”
Sepertinya Chihiro tidak ada niat untuk menjawab Sorata.
“Hal yang penting?”
“ 'Akhir semester’.”
“………..ah!”
Setelah melamun sesaat, Sorata ingat lagi ‘hal yang
penting’ itu.
“Remedial!”
Bukan Sorata, tapi Mashiro. Mashiro yang selalu mendapat
nilai 0 pada ulangan akhir semester harus mengikuti remedial. Sorata yang terlalu
fokus dengan ‘Game Camp’ itu melupakan ini.
“Ya, benar. kalau sudah
paham cepatlah kembali. Sudah disiapkan
agar sore nanti bisa melaksanakan remedial.”
“Huh? Sekarang!?”
Sekarang sudah mau siang. Kalau sekarang kembali dengan
buru buru kira kira sampainya jam dua lewat.
“Kalau begitu, kuserahkan
padamu.”
“Tidak, tunggu!”
Sebelum Sorata mengatakan ‘tidak, tunggu sebentar’,
teleponnya sudah diputuskan.
“Tolonglah!”
Walaupun Sorata ingin berteriak, tapi ia menahan dirinya.
0 Comments
Posting Komentar