MAJU MENUJU KEMATIAN
(Translater
: Zerard)
“Jadi, apa maksudnya dengan
binatang itu?”
Di hari berikutnya, kembali
ke dalam saluran air, sang elf melihat kepada Goblin slayer dengan satu tangan
pada pinggulnya. Goblin slayer memiliki sebuah pedang baru pada ikat
pinggangnya, dengan panjang yang aneh tentunya, dan sebuah sangkar kecil
menggantung di samping sarung pedangnya.
Di dalamnya, seekor burung
kecil dengan bulu hijau muda berkicau dengan riang. Suara tersebut sangat tidak
wajar di dalam saluran air yang penuh polusi ini.
Goblin slayer memberikan
tatapan bingung kepadanya.
“Kamu nggak tau burung ini?”
“Tentu saja aku tau.”
“Ini burung kenari.”
“Aku bilang aku tau,” High
elf archer membalas, telinga menegang.
Di sampingnya, Dwarf shaman
mencoba menahan rasa tawa.
“Kamu marah soal ini sejak
malam tadi kan?” sang dwarf berkata.
“Apa kamu nggak merasa aneh?
Itu burung! Seekor kenari kecil!”
Mereka berjalan perlahan dan
tanpa suara di dalam saluran air, melewati kegelapan, namun amarahnya tidak
meredam juga. Telinga panjangnya, sempurna untuk mengintai, berayun gelisah
naik dan turun. Hanya sebentar saja, mata berbentuk almond miliknya menatap
Goblin slayer di belakangnya.
“Yah, itu nggak akan
menghancurkan kita kalau kita menyentuhnya kan? Seperti scrollmu?”
“Kamu percaya kenari
berbahaya bagi orang?”
Telinga High elf archer
melompat tinggi, dan tawaan pelan terlepas dari mulut Dwarf shaman.
“P-pak Goblin slayer, Aku
rasa itu bukan maksud dari perkataannya...” Priestess menyela, tidak dapat membiarkan
ini terus berlanjut.
Dia terhimpit di
tengah-tengah barisan mereka, menggengam tongkat dengan kedua tanganya.
“Apa?”
Goblin slayer melihat
kebelakang, dan Priestess mendapati dirinya menatap pada sebuah helm metal.
Priestess secara tiba-tiba tidak tahu akan berkata apa.
Satu malam telah berlalu
semenjak momen mandinya. Dia tidak bisa tidur sama sekali, namun ketika dia
bangun di pagi hari...hampa. Mungkin semua rasa gugupnya telah memberikannya
sebuah imajinasi yang aneh.
Sword maiden muncul di saat
sarapan pagi dan mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada mereka seraya dia
berlalu. Semua bayangan hal tidak senonoh di malam sebelumnya telah sirna dari
pikirannya seakan-akan itu semua tidak pernah terjadi.
Iya...Aku
yakin itu hanya khayalanku saja. Itu bukanlah apa-apa.
“Ada apa?”
“Oh, nggak apa-apa.”
Priestess menjadi tegang
pada pertanyaan Goblin slayer yang singkat dan pelan. Priestess menghembuskan
nafas perlahan.
“Yang kumaksud itu, kenapa kamu
membawa seekor kenari bersama kita?”
High elf archer menatap pada
sangkar burung. Makhluk berwarna hijau rumput itu melompat-lompat girang ke
atas dan kebawah pada sebuah cabang.
“Memang imut sih, tapi...”
Pria yang ada di hadapannya
adalah Goblin slayer. Dia bukanlah seseorang yang sembrono atau irasional jika
untuk urusan membunuh goblin.
“Kenari membuat suara ketika
mereka merasakan adanya gas beracun.”
“Gas beracun...?”
Goblin slayer mengangguk,
menjelaskan dengan nada mekanikal biasanya:
“Goblin di sarang ini sangat
teredukasi. Aku nggak akan kaget jika mereka memasang perangkap seperti apa
yang kamu temukan di reruntuhan tua itu.”
“Kalau di pikir-pikir lagi,
bukannya penambang manusia menggunakan burung untuk mendeteksi adanya udara
berbahaya di bawah tanah?” Dwarf shaman mengangguk, menggenggam tas berisikan
katalisnya. “Kalau di piker lagi, Para dwarf tidak begitu khawatir mengenai gas
beracun di bandingkan dengan naga yang mengincar harta karun kami.”
“Oh, yang benar?” High elf
archer menyeringai seraya mengintip sudut demi sudut, kemudian memberi isyarat
pada rekannya untuk mengikutinya.
Goblin slayer mengikutinya,
dengan langkah perlahan, dan hati-hati. Dia memiliki satu pedang di tangannya.
Dan tangan lainnya memegang obor, dan perisainya terikat di lengannya. Seperti
biasanya.
“Aku dengar suatu waktu
sebuah kerajaan dwarf telah hancur ketika mereka menggali semacam Demon bawah
tanah.“ Goblin slayer berkata.
“...Yah, itu memang pasti
terjadi sekali-sekali.” Dwarf shaman menjawab sedih dan terdiam. Sepertinya
Goblin slayer telah menyinggungnya.
Sudah seperti itulah
jalannya sebuah negara untuk bangkit, jatuh, perang, dan terjatuh lagi untuk
berbagai macam alasan.
“Saya mengerti,” kata Lizard
priest, ekornya berayun di belakangnya. “Dan jika saya di perkenankan bertanya,
tuanku Goblin slayer, dari manakah anda mendapatkan pengetahuan seperti itu?”
“Seorang penambang batu
bara,” dia berkata, seakan-akan itu adalah hal yang sudah pasti. “Banyak di
dunia ini yang mengetahui banyak hal yang aku nggak ketahui.”
Setelah beberapa menit
berjalan, mereka telah sampai pada sebuah jalan buntu, walaupun bukan jalan
buntu yang natural. Jalan mereka telah terblokir oleh sebuah jalur air selebar
sungai, dan sesuatu telah menghancurkan atau menyapu jembatan batu yang dulunya
menjembatani.
High elf archer mengacungkan
jempolnya dan mengedepankan lengannya, mengukur jarak.
“Kita mungkin bisa
melompatinya, jika memang harus.”
“Ada rute lain?” Goblin
slayer bertanya.
“Mari kita lihat...”
Terdengar suara gesekan seraya Lizard priest membuka peta lama itu. Gambaran
kuno telah ternodai dengan berbagai macam tanda baru, menunjukkan apa yang para
petualang telah temukan. Lizard priest menelusuri jalur air dan lintasan jalan
dengan cakarnya, dan kemudian memberikan gelengan pelan kepalanya.
“Jalur air besar ini sepertinya
membagi dua semuanya. Walaupun ada kemungkinan adanya jembatan lainnya yang
masih utuh.”
“Harapan tipis.” Dengan sedikit
gumaman, Dwarf shaman memperhatikan
ujung jembatan yang rusak dan menyodok batu yang rusak.
“Whoa, jangan sampai jatuh,”
High elf archer berkata, menahan Dwarf shaman pada ikat pinggangnya.
“Maaf... Mm. Ini adalah
hasil dari banyaknya banjir yang terjadi selama bertahun-tahun. Jembatan ini
sudah lama tersapu ombak.” Gumamnya, Dwarf shaman kembali ke lorong. Dia
menunjukkan kepada mereka sebagian kecil dari puing yang dia kumpulkan,
kemudian menghancurkannya di telapak tangannya.
“Aku yakin kalau jembatan
lainnya akan kurang lebih memiliki kondisi yang sama.”
“Kalau begitu, kita lompat.”
Kata Goblin slayer tanpa ragu. “Yang pertama lompat bawa seutas tali. Untuk
pengaman.”
“A-Aku punya tali,”
Priestess berkata dengan gagah berani dan mengeluarkan seutas tali, lengkap
dengan Pengait besi, dari tasnya.
Memang seperti itulah dia,
dengan tali yang tergulung dengan rapi. Dan ini adalah saat bagi dia untuk
menunjukkan kekuatannya yang sepertinya tidak pernah di gunakan sama sekali.
“Ah, perlengkapan para
petualang,” High elf archer berkata akrab seraya dia menyipitkan matanya dan
mengintip isi tas Priestess.
Itu adalah perlengkapan yang
di tujukan untuk petualang pemula, berisikan segala hal yang mungkin akan
mereka butuhkan. Tali dengan pengait besi, rantai yang cukup panjang, dan
sebuah martil. Bekal makan Tas ransel. Dan kantung air. Peralatan makan, kapur,
pisau, dan lain-lain.
“Kamu akan kaget jika tau
seberapa nggak bergunanya kebanyakan barang itu. Kecuali pengait besi itu.
“Tapi pada saat kamu pergi
berpetualang, kamu nggak boleh pergi tanpanya.”
“Huh.” High elf archer
bernafas, kemudian mengambil ujung tali yang tidak memiliki pengait. Dia
mengambil satu, dua langkah mundur, kemudian berlari seringan seperti rusa.
“Jadi, Orcbolg.”
Dia melompat dan mendarat
pada sisi seberang tanpa suara, kemudian mengikatkan tali pada salah satu
panahnya dan menancapkannya di antara celah batu ubin.
“Bagaimana dengan Gate
scroll? Kamu mengetahuinya dari orang lain juga?”
“Aku pernah mendengar
seseorang mencoba menggunakan Gate untuk pergi menuju reruntuhan yang
tenggelam, dan air membunuh mereka.”
Wanita itu—yaitu, Witch di
guild petualang—pasti telah menceritakan kepadanya akan kisah itu.
Pada sinyal yang di berikan
High elf archer, Goblin slayer menggenggam pengait besi dan melompat
menyebrang. Menimbulkan suara berat dan tumpul di saat mendarat, yang tentunya
adalah hal yang wajar bagi seseorang yang menggunakan full armor.
“Boleh juga.” Dia berkata seraya memberikan pengait besi
kembali kepada High elf archer, yang melemparkannya kembali ke seberang
jembatan.
“Kamu benar-benar akan
melakukan segala hal untuk membunuh goblin ya?”
“Tentu saja.” Jawabannya.
Dia pasti merasa wawancara
ini telah usai, karena dia terdiam dan mulai melihat sekeliling lorong.
“Kamu bisa lompat bocah? Aku
sendiri akan minta pertolongan scaly...”
“Oh, iya. Um, aku rasa, aku
selanjutnya.”
Pada pertanyaan Dwarf
shaman, Priestess, yang selama ini melamun, dengan cepat menggenggam pengaitnya.
Mengambil langkah mundur dan kemudian berlari, dan melompat menyebrang dengan
sedikit teriakan, ekspresinya sedikit takut.
Dia memasang perangkap dan
membunuh anak goblin tanpa rasa ragu; dia sangat cerdik dan tak kenal ampun.
Bagi Priestess, pria itu terlihat seperti seekor goblin itu sendiri. Mungkin
pria itu mengetahui hal ini lebih baik dari siapapun.
Tidak
di ragukan lagi suatu hari, dia, juga, akan menghilang.
Suara merdu nan lembut
datang terlintas pikirannya lagi. Berlalu layaknya sungai yang mengalir sebelum
secara perlahan memudar.
*****
Investigasi mereka di
saluran air berjalan lebih mulus di banding dengan hari sebelumnya. Ini
sebagian karena mereka telah lebih memahami jalan lintas yang ada di dalam ini,
dan sebagiannya lagi, karena mereka telah mengubah filosofi mereka.
Goblin slayer mengusulkan
untuk menghindari pertemuan dengan para goblin. Dia berjalan dengan langkah tak
pedulinya, memegang obor dan menyelinap seperti kucing. High elf archer sepertinya
meniru pria itu; langkah kakinya seringan seperti sebuah bulu. Terkadang mereka
berpapasan dengan goblin, dan terkadang mereka akan mencari rute lain yang
tidak terdapat goblin.
Priestess, Dwarf shaman, dan
Lizard priest mengikuti mereka melewati lorong ini.
“Aku nggak pernah menyangka
akan ada hari di mana kamu membiarkan seekor goblin pergi, Orcbolg.” High elf
archer berbisik.
“Aku nggak membiarkan mereka
pergi,” dia membalas, merapatkan dirinya pada sebuah dinding dan mengintip dari
sudut dinding. “Pertama, kita habiskan pimpinan mereka. Kita akan bantai
sisanya setelah itu.”
“Apa mungkin Ogre atau Lord
yang lainnya,” Priestess bergumam cemas. Tapi Goblin slayer hanya menggelengkan
kepala dan berkata, “Aku nggak tau.”
Goblin adalah yang paling
terbawah dalam tatanan hirarki monster. Hampir semua macam makhluk bisa
memimpin mereka. Seorang Dark elf, demon, bahkan seekor naga..,
“Saya rasa akan tidak baik
bagi kita untuk berdiri di sini dan memikirkannya.” Lizard priest mengambil
peta yang terlipat dari tasnya dan membukanya dengan lincah dengan cakarnya.
Berkat pengelihatan malamnya yang sangat baik, yang diturunkan oleh leluhurnya,
dia dapat membaca bahkan tanpa adanya cahaya.
“Saya pikir kita belum
mengetahui sedikitpun siapa biang keladi atas semua ini.”
“Yang kamu maksud,” Dwarf
shaman berkata, “Bahwa kita harus terus masuk lebih dalam.”
“Lebih tepatnya ke hulu
jalur air ini.” Goblin slayer berdiri dan menahan obor di atas peta untuk
membacanya. Dia menelusuri sebuah jalur dengan jari yang terlapisi sarung
tangan kulit. Yang menunjukkan hulu jalur air, melewati area pertempuran acak
mereka di hari sebelumnya.
“Perahu mereka datang dari
hulu jalur air ini. Bisa di pastikan mereka memiliki markas di suatu tempat di
daerah itu.”
“Jika kita terus ke hulu...
itu artinya kita akan keluar jalur dari peta ini kan?” Jari putih Priestess
mengikuti Goblin slayer di atas peta.
Peta yang di berikan Sword
maiden adalah satu-satunya peta yang menggambarkan saluran air ini. Peta ini
hanya menunjukkan sebagian kecil dari luasnya reruntuhan yang menjalar di bawah
kota air.
“Apa kita akan baik-baik
saja?”
“Kita nggak akan melakukan
hal yang ceroboh.”
Priestess mengatur genggaman
pada tongkatnya, tidak dapat menenangkan dirinya, tapi Goblin slayer sudah memutuskan.
Tidaklah jelas apakah ini sikap
tenggang rasa untuknya. Namun melihat ekspresi pria itu yang tidak berubah,
pipi tegang Priestess menjadi santai dan dia tertawa.
“Benar, itu benar. Mari
jangan lakukan hal sembrono ataupun ceroboh.”
Dia menggenggam tongkatnya
erat, memaksa lututnya untuk berhenti gemetar, dan menatap kedepan.
“Hulu, huh? Kalau begitu
lewat sini.” High elf archer mulai berjalan, telinganya berayun, tanpa rasa
enggan, sisa partynya mengikutinya.
Tidak lama kemudian, mereka
telah mencapai bagian paling ujung dari peta mereka, hawa udaranya telah
berubah cukup drastis. Lorong batu sederhana telah membawa mereka menuju sebuah
galeri yang di hiasi lukisan dinding. Jalan yang tertutupi oleh lumut telah
menjadi batu marmer yang retak. Bahkan air berubah dari kotor menjadi jernih.
Ini sudah sangat jelas bukan lagi saluran air.
“Ada sisa jelaga di sini.”
Goblin slayer, mempelajari
lukisan dinding dengan seksama, menahan obornya tinggi dan menunjuk sebuah
tempat di dekat langit-langit.
High elf archer melangkah
dengan berjinjit mencoba untuk melihat sekitarnya.
“Maksudmu di sini pernah ada
cahaya?”
“Dahulu kala sekali.” Goblin
slayer mengangguk, mengelap sedikit jelaga dari jarinya. “Goblin memiliki
pengelihatan malam yang bagus. Mereka nggak memerlukan pencahayaan.”
“Hmmm...”
Lizard priest mencondongkan
tubuhnya memerhatikan lukisan dan memberikan lukisan tersebut sebuah belaian
secara hati-hati dengan cakarnya. Manusia, elf, dwarf, rhea, lizardmen,
beastmen—setiap ras yang dapat berbahasa tergambarkan lengkap dengan
perlengkapan mereka, tua dan muda, pria dan wanita.
“Warrior atau prajurit...bukan.”
Pakaian mereka bukanlah
seragam yang biasa di gunakan para prajurit. Tentara bayaran mungkin, atau...
“Petualang.”
“Aku pernah dengar tempat
ini dulunya cukup ramai,” Dwarf shaman berkata, berdiri menyamping dan
memperhatikan olesan kuas tersebut dengan seksama dengan matanya. Lukisan itu,
telah menjadi usang termakan waktu yang panjang, terkikis hanya dengan sentuhan
yang sangat lembut. “Gaya lukisan ini terlihat dari masa empat, lima ratus
tahun yang lalu.”
“Oh,” kata Priestess,
melihat sekelilingnya, “Apa mungkin ini...”
Galeri yang terkonstruksi
dengan seksama, figur pada lukisan, air yang jernih. Ini terasa seperti tempat
yang Priestess ketahui dengan sangat baik. Kesucian, kesunyian—bukan untuk di
lewati. Bukan juga sebuah kuil...
“...Sebuah kuburan,
mungkin?”
Katakomba. (TL Note :
Katakomba = https://id.wikipedia.org/wiki/Katakomba)
Inilah sebutan tempat ini; Priestess
yakin. Dia membelai lukisannya—gambaran orang-orang—dengan jarinya yang kurus.
Mereka yang bertarung pada kubu ketertiban di masa para dewa—dan ini adalah
tempat peristirahatan mereka. Priestess berlutut mengheningkan cipta kepada
mereka yang telah gugur.
High elf archer berdiri di
belakang Priestess seraya Priestess mendoakan kedamaian para jiwa yang telah
pergi, seakan-akan menjaga sedang menjaga Priestess. Pundaknya melemas.
“Tempat ini sekarang menjadi
sarang goblin.”
Kalimatnya mengundang
ekspresi kesedihan seraya kalimat itu bergema dan menghilang secara perlahan.
Bagi para elf, yang dapat hidup selama ribuan tahun bahkan masa para dewa
terasa belum lama bagi mereka. Atau mungkin dia merasa terpana karena dapat
berdiri di antara kuburan para warrior yang pernah di dongengkan oleh ayah dan
ibunya.
“Bahkan jiwa para pemberani
pada akhirnya akan gugur, huh...?”
“Itu sudah nggak penting lagi sekarang.”
Goblin slayer memotong
kalimat kesedihan para gadis. Dia dengan cepat memeriksa area sekeliling, dan
ketika dia merasa puas bahwa tidak di temukannya ancaman akan goblin, diapun
mulai berjalan dengan cepat.
Reaksi tersebut memang ciri
khas pria tersebut. High elf archer dan Priestess saling bertukar pandang.
“Bagaimana menurutmu soal
dia?”
“Aku rasa...dia masihlah
Goblin slayer yang kita kenal.”
Jawaban Priestess adalah
campuran dari rasa menyerah dan keakraban.
High elf archer berdiri
dengan anggun dan berjalan mengikuti sang warrior, Priestess mengikuti di
belakang mereka.
“Hmm, nggak pernah ada yang
menuduh Beardcutter soal kesabarannya
yang berlebihan.” Dwarf shaman mengikuti berikutnya dengan hembusan huff. “Kamu
mungkin bakal menakuti iblis kecil itu hanya dengan muncul begitu saja.”
“Itu akan jadi masalah,”
Goblin slayer berkata pelan. “Aku benci jika mereka lari.”
Rekannnya tersenyum lemah
pada respon serius berlebihannya, dan petualangan mereka kembali
berlanjut—masuk menuju katakomba.
Semua tentang arsitektur di
sini sangatllah berbeda dengan di saluran air. Jalannya berbelok-belok
membingungkan, berputar dengan sendirinya, bercabang-cabang, layaknya sebuah
labirin. Jika di lihat dari atas, katakomba ini terlihat seperti jaring
laba-laba.
“Mereka pasti membuatnya
seperti ini untuk membuat bingung monster apapun yang berkeliaran disini,
menghalau mereka agar tidak mengusik warrior yang telah gugur,” Dwarf shaman
menjelaskan dengan siulan kagum. Bahkan para dwarf yang merupakan ahli batu
yang terbaik tidak akan dengan mudah membuat bangunan seperti ini. “Untuk
menghantui tempat ini sebagai roh yang tersesat...itu benar-benar takdir yang
kejam.”
“Ya, karena itu akan
menghilangkan satu tahapan proses akan kematian dan kelahiran kembali,” Lizard
priest berkata. “Tapi tempat ini sudah jatuh ke tangan para goblin.”
Tidak di ragukan lagi bahwa
tempat ini sudah menjadi bibit kekacauan sekarang.
“Terlebih lagi...” gumam
Lizard priest, menambahkan beberapa goresan arang pada kertas kulit domba,
“Proses penggambaran peta ini tidak boleh di lakukan dengan setengah hati.
Masing-masing dari kita harus tetap siaga.”
“Kalau begitu, ruangan ini
yang pertama.”
Memegang tongkat dengan
kedua tangannya, Priestess menatap pada sebuah pintu yang tebal dan berat. Berwarnakan
gelapnya langit malam, dengan emas di ujungnya, dan sepertinya telah membantah
aliran waktu. Ajaibnya walaupun berada di tempat yang lembab ini, pintu ini
sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan maupun keausan. Terlihat
jelas bahwa pintu ini telah di perkuat oleh magic tua yang terlupakan. Selain sedikit
karat di sekitar lubang kunci, tidak ada goresan pada tempat lainnya.
“Nggak terkunci, “ High elf
archer berkata. “Dan kelihatannya nggak ada perangkap—paling nggak pada pintunya.”
Dia telah menyelesaikan inspeksinya pada lubang kunci, mengangguk, dan melangkah
ke samping. “Tapi ini bukan keahlianku. Jadi jangan salahkan aku kalau aku
salah.”
“Baiklah.” Goblin slayer memutuskan,
kemudian menendang pintu akan ruang makam ini.
Para petualang membanjiri masuk
ke dalam ruangan layaknya tanah longsor.
Ketika mereka semua masuk,
Dwarf shaman memalu sebuah ganjal di bawah pintu untuk menahannya tetap
terbuka. Dia selalu menyimpan barang untuk hal-hal yang tidak terduga, dan dari
mudahnya cara dia menggunakannya menunjukkan akan pengalamannya yang sudah
lama.
Lizard priest mengangkat
senjatanya untuk melindungi Dwarf shaman dari serangan yang tidak terduga,
sementara sang dwarf bekerja, adalah pekerjaan High elf archer untuk memeriksa ruangan
ini.
Ukuran ruang makam ini
adalah sekitar tiga meter persegi, berlantaikan sembilan keramik berbaris tiga.
High elf archer berkeliling untuk memeriksa ruangan, sebuah panah telah siap
pada busurnya...
“Lihat itu!”
“Mengerikan sekali...!”
High elf archer dan
Priestess menelan liur bersamaan, ekspresi jijik terlihat jelas di wajah
mereka.
Ruangan ini berisikan
beberapa peti batu yang kosong. Di tengahnya, terlihat sebuah sosok di terangi oleh cahaya redup obor. Seseorang
terikat, tubuh terbentang seolah-olah sengaja ingin menunjukkannya.
Sosok itu telihat seperti
manusia, kepala tertunduk kelelahan—seorang wanita dengan rambut panjang.
Wanita tersebut menggunakan armor metal yang telah buram. Mungkin dia adalah
salah satu petualang yang pergi sebelum mereka dan belum kembali.
“Pak Goblin slayer!”
“Apa boleh buat...”
Dengan ijin Goblin slayer,
Priestess berlari mengarah wanita yang tertangkap.
Dia berlutut dan bertanya,
“Halo? Halo? Kamu nggak apa-apa?” Tidak ada jawaban.
Wanita tersbut bahkan tidak menoleh
mengarah Priestess. Kepalanya hanya tetap tertunduk begitu saja.
Apakah dia sudah kehabisan
tenaga? Atau dia...?
“...! A—Aku akan coba
sembuhkan kamu....!”
Priestess mengesampingkan
rasa takut akan hal terburuk dan memulai berdoa kepada Ibunda bumi untuk
menyembuhkan.
“O ibunda bumi yang penuh ampunan, ulurkanlah tanganmu kepada—”
Dengan vwish lembut, rambut
sang wanita terjatuh ke lantai, tepat di depan Priestess di kala dia mengangkat
tangannya meminta keajaiban.
Sebuah mata kosong
menatapnya.
Dia adalah manusia.
Dulunya.
Sebuah tengkorak berdebu,
berpakaian wanita yang telah di sangka masih hidup.
“Ini nggak benar! Ini...ini
semua nggak benar!”
Priestess meneriakan
teriakan tersedak.
Dan pada saat yang sama,
pintu masuk mereka telah tersegel dengan hantaman yang keras.
Ganjal pintu terlempar di
lantai, seolah-olah mengejek mereka.
“Hrr—!”
Lizard priest dengan segera mencoba
mendobrak pintu dengan pundaknya, namun tidak bergeming.
“Ini masalah! Saya rasa
pintunya telah di di kunci!”
“Ayo Scaly! Mungkin kamu dan
aku bersama bisa...!”
Lizard priest dan Dwarf
shaman mendobrak pintu sekuat tenaga mereka. Pintu berbunyi, namun tetap tidak bergeming. Tidak menunjukkan tanda akan
terbuka sama sekali.
“GROOROOROROB!!”
“GORB!! GORRRRB!!”
Suara terkekeh-kekeh
menggema di sisi lain dinding batu, mengejek usaha sia-sia para petualang.
High elf archer menggigit
bibirnya.
“Goblin...!”
“Mereka memerangkap kita.”
Goblin slayer meludah jengkel.
Mereka seharusnya sudah
menduganya. Goblin tidak mungkin akan membiarkan begitu saja sebuah party
petualang memasuki sarang mereka.
Menyudutkan mangsa yang
berhati-hati sangatlah sulit. Akan lebih mudah untuk menyiapkan serangan
tiba-tiba—dengan memasang perangkap. Para goblin tahu bahwa tidak ada petualang
yang akan meninggalkan wanita yang sedang dalam masalah.
Sekali-sekali, semua akal
kekejaman dalam kepala kecil mereka dapat mengelabui bahkan para manusia. Ini,
bersamaan dengan cepatnya mereka berkembang biak, yang membuat mereka dapat
bertahan selama ini.
“Tidak...!”
Mereka terperangkap.
Kenyataan itu membuat Priestess tak mampu berkata. Lututnya gemetar, giginya
gemetar, dan dia berpikir bahwa kakinya tidak akan sanggup menopang tubuhnya.
Sebuah tragedi akan petualangan pertamanya kembali terngiang di kepalanya.
“Jangan panik.”
Ucapannya mekanikal seperti
biasanya. Dan bukan bermaksud untuk menenangkannya dari rasa takutnya,
melainkan untuk menghadapinya. Priestess mengangguk berani, seakan-akan bergantung akan ucapan
Goblin slayer. Wajahnya pucat, dan sesuatu berkilau di ujung matanya. Jika
Goblin slayer tidak berada di sana atau jika dia sendirian, sudah pasti
Priestess akan pingsan.
Dan itu artinya adalah kematian—atau
sesuatu yang lebih buruk.
Namun Goblin slayer berdiri
di sampingnya, perisainya terangkat, senjatanya siap.
“Kita masih hidup.”
Sang kenari mulai berkicau berisik.
*****
“Gas!”
Tidak ada yang yakin siapa
yang mengatakannya pertama kali.
“GROB! GORRB!!”
“GROOROB! GORRRB!!”
Kicauan kenari bercampur
dengan tawaan mengejek para goblin di balik pintu.
Sebuah kabut putih mulai
memasuki ruangan dari beberapa lubang yang telah di lubangi pada dinding. Para
petualang berkumpul di tengah ruangan makam seperti sudah terkepung. Tidak
salah lagi mereka sedang dalam keadaan genting.
“Kita dalam masalah
sekarang. Mereka akan menghabisi kita sekaligus.”
“Tidak semua gas
berbahaya... Namun saya yakin bahwa gas ini tidak akan berdampak baik bagi
kita.”
Lizard priest menjentikkan
lidahnya, dan Dwarf shaman mendengus dan mengelap keringat dari alisnya.
Matanya tidak sengaja menatap tengkorak buruk rupa dengan kulit wanita.
Melihat seluruh bagian
ruangan dengan putus asa, berharap menemukan sebuah jalan untuk melarikan diri,
High elf archer berteriak.
“Ini nggak bagus! Nggak ada
jalan keluar lainnya!”
“Apa...yang akan...kita
lakukan, pak Goblin slayer...?”
Priestess masih belum
menerima keajaiban Cure, yang dapat menetralisir racun, dan bahkan efeknya
tidak akan bertahan lama. Ketika efeknya telah habis, maka itu akan menjadi
sebuah akhir. Tanpa mengetahui seberapa lama gas akan terus masuk, yang hanya
dia dapat lakukan mencoba mengulur
waktu.
Priestess menatap memohon
kepada Goblin slayer, matanya penuh akan air mata.
Goblin slayer tidak
merespon.
“Pak Goblin slayer?”
“........”
Dia sedang merogoh isi
tasnya tanpa berkata.
Seraya Priestess
memperhatikan, Goblin slayer mengeluarkan sebuah benda hitam dan memberikannya
kepada Priestess.
“Lipat ini pada sebuah kain,
dan tutupi mulut dan hidungmu dengan itu.”
“Apa ini—arang?”
“Ini akan sedikit
melindungimu dari gas beracun. Kalau kamu punya tumbuhan herba denganmu,
masukkan ke dalam kain juga. Cepat, kalau kamu nggak mau mati.”
“Baik pak!”
Priestess dengan cepat mengambil
arang tersebut dan duduk di tempat untuk mencari barangnya sendiri. Ketika dia
menarik enam buah kain bersih, dia mendapati sebuah tangan bersisik mendekati
dari sampingnya.
“Biarkan saya membantumu.
Gas beracun tidak terlalu berpengaruh terhadap saya.”
“Te-terima kasih...!”
Mereka berdua dengan cepat melipat
arang dan tumbuhan herba pada setiap kain, membuat sebuah masker gas sederhana.
Priestess terus melanjutkan menyiapkan kain untuk rekannya seraya Lizard priest
memasang kain itu pada wajah Priestess.
“Pak Goblin slayer!”
“Terima kasih.”
“Ini, ambil ini juga...!”
Dua masker gas, satu dengan
kain yang lebih besar. Goblin slayer sepertinya memahami apa yang sedang di
pikirkan Priestess; dengan segera dia membungkus sangkar burung dengan kain
besar itu. Kemudian, dia mendorong masuk maskernya sendiri melalui celah
helmnya dan mulai merogoh isi tasnya kembali. Tas tersebut penuh akan benda
yang tidak di kenali oleh yang lainnya.
“Ya tuhan. Kamu punya
segalanya kecuali tempat cuci piring di dalamnya ya?” Dwarf shaman berkata
seraya dia kesulitan untuk memasukkan jenggotnya ke dalam kain yang di berikan
Priestess.
“Hanya hal yang minimum,”
Goblin slayer menjawab, mengeluarkan dua kantung dari berbagai macam barangnya.
“ Aku ingin membawa masker yang di gunakan dokter ketika menangani penyakit Black
death, tapi masker itu terlalu besar.” (TL Note : Black death = https://id.m.wikipedia.org/wiki/Maut_Hitam)
“Jadi, kamu punya ide apa
Beard cutter?” Sang dwarf sepertinya menyengir berani dari balik maskernya.
Goblin slayer melempar salah
satu dari kantung itu kepadanya. Dwarf shaman berusaha untuk menangkapnya,
kemudian memberikan tatapan penuh tanya ketika merasakan berat yang tidak di
duganya.
“Apa ini?”
“Kapur mentah dan tanah
vulkanik.” Goblin slayer mekanikal seperti biasanya. “Campur mereka bersama dan
sumbat lubang di dinding.”
“Dwarf shaman tiba-tiba
menepuk lututnya. Bahkan dengan masker, senyum menyeringainya terlihat jelas.
“Beton!”
“Tapi itu tidak akan
mengering dengan cepat,” Goblin slayer berkata, namun dia mengangguk, dan Dwarf
shaman menepuk dadanya sendiri.
“Apa yang kamu khawatirkan
Beard cutter? Aku punya mantra cuaca!”
Mendengar itu, High elf
archer menarik kantung tersebut dari genggaman Dwarf shaman.
“Hey, telinga panjang, apa
yang kamu lakukan?”
Di balik masker gasnya,
matanya menyipit dan telinganya berayun.
“Aku akan sumbat lubangnya,
dwarf. Kamu baca mantranya!”
“Setuju sekali!” Respon
cepatnya layaknya sebuah palu yang memukul paku.
Dia dan High elf archer
mulai berkeliling ruangan. High elf archer akan menyebarkan campuran beton
dimana dia menemukan lubang, dan Dwarf shaman akan membaca mantranya.
“Tik tok ujar sang jam, detiknya tak pernah terdiam. Pendulum, mengayun—mengkalikan
waktu!”
Dia menyelesaikan dengan
teriakan lantang dan sebuah hembusan nafas, dan campuran berlumpur itu mengeras
sekejap mata.
Lizard priest memutar mata
di kepalanya melihat pemandangan itu.
“Hmm. Talenta anda sangatlah
banyak, master pembaca mantra.”
Dia menggerakkan rahangnya
ke atas dan ke bawah. Yang tertutupi oleh sebuah kain, yang tidak cukup
panjang; yang telah di tambahkan dengan sebuah perban. Suaranya teredam namun
masih terdengar normal; dan terlebih, dia terlihat cukup santai. Bagi seorang
Lizardman yang hidup pada hutan bagian selatan, medan tempur layaknya rumah
kedua bagi mereka.
“Apakah anda punya rencana
selanjutnya, tuanku Goblin slayer?”
“Kita pindahkan salah satu
peti menuju depan pintu sebagai barikade,” Goblin slayer berkata datar. Dia
terdengar tidak berbeda dari biasanya; tidak terlihat bersemangat sama sekali.
“Pada saat gas sudah menghilang, mereka akan masuk.”
“Oh, A—Aku akan bantu!”
Dengan terburu-buru
Priestess membersihkan barang-barangnya dan berdiri.
Goblin slayer mengangguk
sebagai jawaban, dan Lizard priest pergi ke salah satu peti secara acak.
Priestess datang menuju
sisinya. Apakah mereka dapat menggerakkannya? Mereka tidak mempunyai pilihan.
“Kapanpun kamu siap.” Goblin
slayer berkata.
“Bersama-sama.” Dari
belakang mereka, Lizard priest meletakkan tangannya yang besar pada peti batu.
“Satu... Dua...”
“Hrr!”
“Hnnn!”
Bersama dengan Warrior dan sang
priest, Priestess mendorong sekuat tenaganya dari tubuhnya yang langsing.
Lengan kurusnya dan kulitnya yang lembut sama sekali tidak bisa di samakan
dengan rekannya. Walaupun begitu, dia tetap mendorong dengan sekuat tenaga,
keringat bercucuran di wajahnya.
“Hrr! Hrrnnnn!”
Pada saat ini dia telah berhenti
gemetar.
Tidak lama kemudian, dia mendengar
suara sesuatu yang terseret, dan peti secara perlahan mulai bergerak.
Peti tersebut meninggalkan
sebuah goresan putih di lantai seraya mereka mendorongnya, yang pada akhirnya memblokir
pintu dengan hantaman yang keras.
Lizard priest memberikan dua
atau tiga kali dorongan lagi sebelum dia mengangguk puas.
“Ini akan memblokir pintu
dengan baik.”
“Kami sudah selesai juga!”
High elf archer datang
kembali mengarah Lizard priest.
Dwarf shaman datang dengan
terhuyung, mengelap keringat dari dahinya.
”Sayangnya, begitu pula
mantraku.”
“Kalau begitu, ambil
senjata.” Goblin slayer menarik sebuah dagger dari sarungnya.
Dia mengambil sangkar burung
yang di mana kenari berdiam diri, dan meletakkannya di tengah-tengah ruangan.
Dia kemudian memeriksa kondisi perisainya dan tas dan menyiapkan dirinya untuk
bertarung pada detik ini.
“Oh-ho nggak perlu takut
kehabisan amunisi di sini,” Dwarf shaman
berkata, mengeluarkan ketapelnya. Dia mengambil banyak kerikil dan batu dari
lantai dan memasukkannya ke dalam kantongnya. High elf archer mengikuti
petunjuk mereka, memeriksa ikatan busurnya untuk memastikan tetap kencang.
“Apakah saya perlu memanggil
Dragontooth warrior?”
“Bagaimana dengan Protection...?”
“Silahkan.”
Mendengar respon Goblin
slayer, dua pendeta mereka memulai membaca doa kepada dewa mereka
masing-masing.
“O
tanduk dan cakar leluhur kami, iguanodon, jadikanlah empat anggota tubuh
menjadi dua kaki untuk berjalan di bumi ini.”
“O
ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan pada
kami yang lemah.”
Dengan kekuatan dari leluhur
Lizard priest, naga yang menakutkan, cakar yang dia lempar ke lantai berubah
menjadi Dragontooth warrior seraya mereka memperhatikan.
Dan Ibunda bumi yang maha
pengasih memberikan mereka semua, termasuk warrior yang baru saja tercipta,
keajaiban Protection. Ibunda bumi telah mendengar permohonan Priestess seraya
dia menggenggam tongkatnya.
Sekarang telah aman berada
di belakang sebuah pelindung tidak terlihat, High elf archer dengan lincah memasang
panah pada busurnya dan membidik mengarah pintu. Telinganya berayun naik dan
turun, tidak menunjukkan kegugupannya.
“Sudah nggak ada suara di
luar.”
“Mereka menyadarinya.”
Goblin slayer, dengan kuda-kuda sigap, merangkak menuju pintu. “Dengan lubang-lubang
itu yang tertutup, gas beracun itu akan kembali mengarah kepada mereka. Kita
mungkin sudah membunuh beberapa dari mereka...“
Itu merupakan tebakan yang
bagus. Gemuruh genderang perang menggema dari dalam bumi. Kemudian langkah kaki
sebuah gerombolan besar akan sesuatu
mendatangi mereka. Sebuah suara gesekan metal yang berarti adalah armor.
Pintu, yang terbarikade
dengan peti mulai bergetar, kemudian terdengar suara sesuatu yang di hantamkan
pada pintu. Dentuman pertama tidak membuahkan hasil, namun terdapat dentuman
kedua, dan ketiga. Pintu mulai berderit di bawah tekanan dentuman tersebut.
Pada akhirnya, pintu berhasil
terkoyak dengan suara keretakkan yang lantang, dan kumpulan mata kuning menatap
para petualang.
“Hati-hati!” Bahkan ketika
dia berteriak, High elf archer melepaskan tembakannya.
“GRRB?!”
Panah berbentuk kuncup
terbang melewati pintu yang telah terkoyak dan menusuk seekor goblin tepat di
matanya. Makhluk tersebut jatuh ke belakang dengan teriakan memekikkan telinga,
namun rekan-rekannya dengan cepat mengisi kekosongan yang tersedia.
“Aku nggak bisa memastikan
ada berapa langkah kaki di sana, tapi ada sesuatu yang aneh di sana!” Teriak
High elf archer.
Para goblin, tentu saja,
tidak akan diam begitu saja hanya untuk di tembak.
Begitu mereka menyadari para
petualang di ruangan melawan balik, panah mulai berterbangan melalui celah
pintu.
“O
ibunda bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan pada
kami yang lemah!” (TL Note: saya nggak paham
kenapa di sini priestess pakai
Protection untuk kedua kalinya.)
Sang Ibunda bumi melindungi
muridnya yang taat seperti seorang ibu melindungi anaknya. Protection telah
menyelamatkan mereka dari hujan panah sebelumnya; tembakan asal-asalan tidak
akan dapat menembusnya.
Selama gadis tersebut
menggenggam tongkatnya dan berdoa, panah-panah tersebut tidak akan pernah
mencapai mereka.
“Mereka datang.... Mereka
datang.... Mereka datang!” Dwarf shaman berteriak dengan kerutan dahi. Tangannya
bergerak dengan kecepatan yang dasyhat, memuat batu pada ketapelnya secepat dia
bisa menembakkannya.
Panah dan batu, ratapan dan
jeritan, semua bercampur menjadi satu, namun tembakan bolak balik yang terjadi
di antara pintu tidak berlangsung lama. Pintu kayu hitam ini mungkin merupakan
artifak kuno jauh di luar ingatan, namun bahkan pintu ini tidak akan sanggup
bertahan pada gempuran senjata dan tenaga kasar selamanya. Walaupun sudah
terganjal oleh peti batu, pada akhirnya berhasil terdobrak.
“GORORB!!”
“GROOROB!!”
Goblin membanjiri ruangan melewati
puing-puing pintu kayu yang telah hancur. Walaupun apa yang mereka pakai merupakan
perlengkapan apa adanya, mereka membawa pedang, tombak, dan busur. Mereka
bahkan menggunakan armor kulit dan baju besi.
“Mereka memiliki
perlengkapan yang bagus.”
Goblin slayer menyadari satu
makhluk besar yang berbeda dengan lainnya yang sepertinya memimpin mereka.
“Seekor hob... Nggak.”
Dengan dengusan pendek dan ayunan
lengan kanan secepat kilat, dia melemparkan daggernya pada makhluk itu.
Dagger tersebut menusuk tepat
sasaran, menembus bagian vital dari pundaknya yang terpapar, tapi luka tersebut
sangat jelas tidak mematikan.
Goblin sering di gambarkan
sebagai “iblis kecil,” namun ungkapan tersebut tidak ada artinya dihadapan makhluk
ini. Kulit hijau kehitaman berlapiskan otot, yang begitu kekar seolah-olah akan
meledak dari tubuhnya. Dia menggenggam sebuuah pentungan, wajah buruk rupanya tentu
saja mirip dengan goblin, tapi....
“GORAORARO!!”
“Jadi. Seekor goblin
champion.”
Sang goblin champion tidak
bergeming ketika dagger tersebut menusuknya, dan sekarang dia mencabut dagger
tersebut dan seringai lebar.
Tanpa sedikitpun rasa ragu,
Goblin slayer menarik pedang tidak biasanya.
“Aku akan maju.”
“Benar sekali! Biarkan
pedang saya membantu anda!”
Lizard priest yang melolong
menarik pedang taringnya dan mengikuti Dragontooh warriornya, terjun ke medan
perang.
Pedang berdenting, dan
teriakan, dan erangan. Ruang makam kecil ini dengan cepat bermandikan aroma bau
darah. Para goblin menekan para petualang dengan jumlah yang banyak. Bunuh satu,
dan yang lainnya akan terus berdatangan. Mereka harus membunuh pemimpinnya.
Pedang dan perisai
tergenggam erat di tangannya, Goblin slayer bersiap akan maju ke depan dengan
gagah berani.
“U-um!”
Sebuah suara terdengar di
belakangnya.
Suara itu berasal dari
Priestess, masih memeluk erat tongkatnya di dadanya.
Priestess melihat pria itu,
terlindungi oleh ketapel dan busur dari Dwarf shaman dan High elf archer.
Priestess membuka mukutnya
untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kalimat yang keluar.
Goblin slayer tidak melihat
kebelakang.
Akan tetapi, berlari tepat
menuju pertempuran yang sedang berlangsung, dan tidak lama kemudian Priestess
sudah tidak dapat melihatnya lagi.
Goblin slayer terus bergerak
supaya dia tidak dapat di serang dari belakang, mengarahkan pedangnya pada
tenggorokan goblin. Dia mendorong pedang yang di genggamnya secara terbalik dan
menghabisi goblin lainnya. Apa yang tidak bisa dia tebas, dia akan
menghantamnya dengan perisainya.
Dia tidaklah sendiri.
Dragontooth warrior bertarung di sampingnya. Salah satu goblin merayap
mendekatinya dengan sebuah dagger, namun Dragontooth warrior memberikan sebuah
tendangan yang menerbangkan goblin tersebut. Cakarnya menghancurkan rahang
goblin.
Goblin slayer berputar dan
melempar pedangnya pada goblin bersenjatakan tombak. Dia mengambil sebuab
pentungan di dekat kakinya.
“ORARARAGA?!”
“Lima.”
Jika dia di paksa untuk
beradu pedang dengan setiap monster yang ada di ruangan ini, dia kemungkinan
hanya akan menghancurkan dirinya
sendiri. Tidak ada yang mengetahui seberapa banyak goblin yang ada di
gerombolan ini dan menghadapi mereka semua satu persatu secara adil hanya akan
membuat dirinya kelelahan.
Yah, dia tidak akan
menghadapi mereka secara adil, Goblin slayer selalu bersedia untuk menggunakan
segala jenis taktik.
“Bantai mereka semua!” dia
berkata.
“Dengan senang hati!” Teriak
Lizard priest. “Ahhh! Saksikan aksi saya, wahai leluhurku!”
Dengan ekornya, dia mengibas
semua musuh yang mendatanginya dari belakang, kemudian menarik salah satu yang
berada di depannya dan berputar sebelum dia melemparnya pada sebuah dinding.
“GORARA?!”
“GROOOROBB?!”
Cakar dan taring dan ekor.
Seluruh tubuh Lizard priest adalah
senjata, teknik bertarungnya sebrutal seperti tornado.
Musuh mereka adalah sebuah
legiun. Empat anggota tubuhnya menyambuk tanpa henti, mencari sesuatu untuk di
serang. Dragontooth warrior membantu membuka sebuah celah di antara musuh, dan
Goblin slayer berlari di celah-celah itu.
“Ya ampun, mereka banyak
sekali!”
“Jangan main api kalau takut
terbakar! Terus tembak!”
High elf archer dan dwarf
shaman menembakkan proyektil mereka pada musuh yang terlewatkan oleh tiga
petarung jarak dekat mereka.
“Bagaimana keadaanmu bocah?”
“Aku...masih bisa...”
Keajaiban yang di anugrahi
Priestess oleh Ibunda bumi masih dalam efek, dan para petualang dapat
berhadapan cukup baik melawan goblin yang melewati pintu.
Namun ini tidak akan
berlangsung lama. Goblin slayer mengetahui hal ini lebih dari siapapun.
Dia bergerak melewati medan
perang, menghancurkan tengkorak goblin dengan pentungan di tangan kanannya.
Menggunakan perisainya untuk menghajar seekor goblin yang mendatanginya dengan
sebuah pedang panjang, kemudian menghancurkan makhluk itu dengan pentungannya.
Kemudian dia melempar
pentungannya, menghabisi monster ketiga, sebelum mengambil pedang panjang dari
goblin yang dia bunuh sebelumnya.
“Tujuh belas...”
Akhirnya dia membungkuk,
melindungi dirinya dengan perisai dan berlari menuju dinding yang terbarikade
oleh peti batu. Dia berlari tepat menuju goblin champion, yang di lindungi oleh
beberapa bawahannya.
Sang champion merupakan
raksasa kecil, menggunakan armor berwarna kelam, mengayunkan pentungannya dan
meraung. Setidaknya dia sama kuatnya dengan tiga ekor goblin dan dapat
mengalahkan dua orang sekaligus.
Banyak hal dari goblin
champion yang sangat mirip dengan hobgoblin. Hob merupakan kata lama yang artinya adalah pengelana, giant, kepala
pimpinan, atau demon. Otot kekar makhluk ini benar-benar menggambarkan semua
nama itu, sebuah warisan dari leluhurnya. Dia telah melatih tubuhnya dengan
berpindah dari sarang demi sarang, bertemu dengan petualang demi petualang
dalam pertarungan. Makhluk ini seperti seorang petualang dengan talenta alami
yang telah mendapatkan banyak experience point—tingkat platinum ras goblin.
Itu, dengan kata lain,
adalah goblin champion.
Salah satu makhluk seperti
ini yang telah berhadapan dengan Heavy warrior dan Female knight bersama di
sebuah kebun. Dan kemungkinan, makhluk ini merupakan warrior yang
berpengalaman.
“Walaupun begitu, goblin
tetaplah goblin...”
Ini bukan berarti dia
meremehkan makhluk ini. Dia tidak pernah meremehkan seekor goblin.
“....”
“ORGOORORB!!”
Sang champion meneriakan
sesuatu yang mengintimidasi kepada bawahannya yang ketakutan untuk mendorong
mereka agar lebih berani dalam menghadapi petualang.
Goblin slayer, yang telah
berhasil menyelinap di belakang makhluk itu, dengan perlahan mengatur
genggamannya pada pedangnya.
Sebuah kisah kuno
menceritakan seorang rhea berhasil membunuh seekor goblin king dengan satu kali
pukulan menggunakan pentungannya. Goblin slayer sama sekali tidak tahu apakah
legenda itu benar atau tidak, namun itu tidak akan menghentikannya untuk
mencoba.
Khususnya untuk membunuh
makhluk ini dengan sekali serang.
Dia berniat untuk menusuknya
dari belakang, tepat menuju otaknya yang rentan.
Dia menyiapkan pedangnya
untuk menyerang.
“OROAGA?!”
Dia merasakan pedangnya
menusuk daging, melihat cipratan darah...
“Hrm!”
Tapi Goblin slayer tiba-tiba
mendengus.
Secara pasti tusukannya
sudah menusuk goblin. Namun itu merupakan goblin yang berbeda, goblin yang
telah di lempar mengarah padanya.
“GORAGAGA!!”
Sang champion telah
menggunakan bawahannya sebagai perisai.
Ini bukanlah sesuatu yang
mengejutkan. Goblin slayer merasa ini adalah hal yang sangat normal. Tidak ada
di dunia ini yang seegois seperti goblin.
Apa yang mereka inginkan
hanyalah kemenangan. Jika untuk menang mereka harus mengorbankan rekannya
ataupun gerombolannya, bahkan keseluruhan ras mereka, maka terjadilah. Ini
adalah titik penting akan perbedaan cara pikir goblin dan mereka yang dapat
berbahasa. Kecendrungan ini, di kombinasikan dengan kemarahan tidak
terjustifikasi yang mereka rasakan ketika rekan mereka terbunuh, membuat mereka
sangat berbahaya.
“GOROROROB!”
Dia telah menusuk goblin
tersebut pada perutnya, di antara celah armor yang di gunakannya, goblin itu
berteriak akan sesuatu seraya darahnya menciprat dari lukanya.
“Feh...”
Goblin slayer dengan cepat
menarik pedangnya dan menyiapkan serangan berikutnya. Mata kuning kotor sang
champion menatap sang petualang yang berniat untuk menyergapnya. Mungkin dia
mengenal pria ini yang telah melempar sebuah dagger padanya sebelumnya, karena
sebuah senyum buruk rupa terlukis di wajahnya.
“GROOOORB!!”
Lengannya yang perkasa
mengangkat pentunganya dari bawah ke atas dengan gerakan mengayun.
“Hrggh?!”
Metal, daging, dan tulang berbunyi;
terdengar suara memecah udara.
Tak berbeban, benturan, ketidakberdayaan.
Sebuah rasa hangat muncul dari dalam bagian tubuhnya. Rasa sakit.
Dalam sekejap, Goblin slayer
memahami apa yang terjadi. Perisai yang secara reflek dia angkat untuk
melindungi dirinya telah terlontar bersama dirinya.
Dan dia sendiri mendapati
dirinya menabrak salah satu peti yang berjejer di ruangan. Peti batu tersebut
pecah dengan keretakkan yang luar biasa, debu berterbangan di segala penjuru.
Lentera terlepas dari pinggulnya dan pecah, membebaskan api.
“Pak Goblin slayer!”
Priestess meneriakinya dari tempat di mana dia memperhatikan pertarungan pada
garis belakang.
“Orcbolg! Kamu nggak
apa-apa?!”
High elf archer dan Dwarf
shaman berdua melihat mengarah Goblin slayer pada saat mendengar teriakan
Priestess.
Namun tidak ada jawaban.
“Tidak! Pak...Goblin
slayer....?”
Kakinya gemetar, seolah-olah
berada di atas kapal yang di ayun ombak.
Dia baik-baik saja. Pasti
dia baik-baik saja. Dia bahkan masih sanggup berdiri dari hantaman ogre itu.
Dia akan berkata, Kita tidak akan
melakukan hal bodoh atau ceroboh. Seperti yang selalu dia lakukan.
Namun dia hanya terbaring di
sana, berselimutkan debu-debu, layaknya boneka yang telah di buang. Dengan suara
batuk, darah kental keluar dari celah helm metal.
Tidak salah lagi; itu
merupakan serangan kritikal.
“Ti....!!”
Tongkatnya berbunyi lemah
seraya terlepas dari genggamannya dan terjatuh di lantai. Dia mendekatkan
tanganya yang gemetar ke wajahnya. Figurnya yang indah menjadi sosok yang
ketakutan.
“Arrrrrgh! Pak Goblin
slayer! Goblin slayer!”
“GORB! GRROB!”
“GROROB!”
Tangisan gadis bergema di
penjuru ruangan. Para goblin terkekeh-kekeh mengerikan; tangis tersebut
merupakan suara favorit mereka.
Warrior baris depan telah terluka.
Semangat pengguna magic telah di hancurkan. Protection yang mereka benci akan
segera hilang juga. Party mereka telah kehilangan pemimpinnya—itulah yang
terpenting. Para goblin, tentunya, tidak akan membiarkan kesempatan ini begitu
saja. Seperti ini lah bagaimana cara mereka mengubur banyak petualang
sebelumnya.
“Apa-apaan ini...?!” Teriak
Lizard priest, seraya dia bertarung dengan tenaga yang hanya di miliki Lizard
priest.
Walaupun Dragontooth warrior
telah cukup banyak membunuh gerombolan goblin, pada akhirnya Dragontooth
warrior pun berhasil di kalahkan.
Lizard priest dengan cepat
terpojok. Tiga pemain bertahan telah menjadi satu. Walaupun dia mempertahankan
posisinya dan menggunakan semua tenaganya, dia tidak akan bisa menghadapi
keseluruhan pasukan goblin.
“Tetap tenang! Jaga
konsentra—Grk?!”
Dengan begitu, High elf
archer menjadi tangkapan pertama mereka hari ini.
Dia telah menembakkan
panahnya tanpa henti, dan tidak ada goblin yang dapat mendekatinya.
Namun ketika ritmenya
melambat, walau hanya sekejap saja, seekor goblin mengambil kesempatan itu
untuk melompat mengarah padanya.
Bangsa elf adalah makhluk
yang elegan dan langsing secara turun temurun. Kelincahan mereka tidak ragukan,
namun kekuatan bukanlah keunggulan mereka. Dia berjuang untuk menyingkirkan
goblin yang ada di punggungnya, namun itu adalah usaha sia-sia di hadapan gerombolan
membanjirinya.
“Lepaskan! Menyingkir—huh?
Ahh! Ahhhhh!”
Dia di seret di lantai, dan
dengan teriakan, dia menghilang di bawah tumpukan hitam goblin.
Hanya sebentar saja, satu
kaki kurus mencuat keluar dari tumpukkan itu, menendang udara.
“Telinga panjang!”
Dwarf shaman adalah yang
pertama menyadari apa yang terjadi, dan yang satu-satunya dapat merespon. Dia
melempar kesamping ketapelnya dan, dengan teriakan, mengeluarkan sebuah kapak
dari ikat pinggangnya.
“Kalian iblis kecil! Demi
tuhan, lepaskan dia!”
Keputusannya sudah tidak
bisa di pertanyakan lagi; sudah tidak ada waktu untuk menggunakan mantra. Jika
Dwarf shaman tidak dengan segera menghalau, High elf archer mungkin telah di
bawa ke tempat yang entah kemana, tanpa mengetahui takdir apa yang menunggunya.
Namun tanpa adanya serangan
jarak jauh untuk mendukung petarung jarak dekat mereka yang tinggal seorang
diri, tidak ada lagi yang dapat menghentikkan serangan gencar goblin.
Ini adalah momen kritikal.
Sekarang...
“Oh...ahh...”
Sekarang sudah tidak ada
lagi yang menghalangi di antara Priestess dan goblin champion.
“Tidak... Oh.. Oh tidak...”
Giginya bergetar, dan
keseluruhan tubuhnya merinding ketakutan, dia hampir tidak sanggup berdiri.
Terdengar suara hentakkan lembut ketika dia terduduk lemas di lantai; kemudian
dia merasakan sesuatu yang hangat dan basah menyebar di antara kakinya.
“GROB! GROOORB! GORRBB!”
Aroma itu membuat goblin
champion menyeringai mengejek pada Priestess. Akan sangat mudah jika saja dia
dapat kehilangan kesadarannya. Ironisnya, semua pengalaman yang telah dia
dapatkan menghalaunya untuk melakukan itu.
Lengan berotot goblin
champion menjulur dan menggapai pinggul Priestess.
“Hrr...?! Ahh....!” Dia
berteriak kesakitan seraya makhluk itu menghancurkan organ dalamnya.
Dia ketakutan. Bagaimana
jika makhluk itu terus memerasnya hingga tulangnya patah?
“Hrr...?! A-app....?
Apaaaa...?”
Namun bukan itulah yang
terjadi.
Sang champion mendekatkan
wajahnya. Nafasnya berbau daging yang telah membusuk.
“Erryaaaaaaaaaaargh!”
Dan kemudian menggigit besar
pundak Priestess, jubah dan baju besi dan semuanya. Darah meluap keluar,
mengaliri merah akan kulitnya yang putih.
“Arrgggh! Ahhh!!”
Dia tidak pernah mengenal
rasa sakit seperti ini sebelumnya. Dia sudah mencapai batas akan ketahanannya.
Penglihatannya menjadi buram. Dia tidak dapat berbicara, hanya menangis seperti
anak kecil. Dia sedang dalam kondisi yang mengenaskan, matanya penuh akan air
mata, hidungnya dengan ingus, liur mengantung dari bibirnya.
“Hentikan—! –ial, le...pas...kan...aku...!
Ahh!”
High elf archer menambahkan
teriakannya sendiri dari balik tumpukkan goblin.
Terdengar suara baju yang
terobek, pukulan, teriakan, erangan.
“Ini tidak bagus! Master
pembaca mantra, saya takut jika kita tidak menyelamatkan mereka bertiga dan
mundur, kita semua akan mati!”
“Kamu pikir aku sedang ap—?
Hey! Menyingkir, kalian monster! Menyingkir!”
Lizard priest dan dwarf shaman terus bertarung dengan gagah
berani, namun mereka tidak bisa melakukan ini selamanya.
“GOROROROB!”
“GORRB! GORB! GOB!”
Sang champion dan para
goblinnya menujuk mereka dengan telunjuknya dan
terkekeh dengan cukup lantang untuk bisa mengusik mereka yang mati. Ini
adalah takdir yang di bawa oleh goblin, maupun itu kepada petualang atau sebuah
desa.
Ini nasib, ini takdir. Di
karena sebuah kemungkinan. Sebuah lemparan dadu.
Persetan.
Semua itu teresonasi dengan
sesuatu jauh di dalam dirinya.
Ketika dia meletakkan satu
tangannya ke lantai untuk mendorong dirinya berdiri, dia menemukan sebuah anak
tangga yang mengarah masuk ke dalam bawah tanah yang lebih dalam.
Mungkin bisa di sebut sebuah
keberuntungan bahwa peti itu kosong dan menyembunyikan sebuah anak tangga yang
tersembunyi. Dan tidak berisikan mayat ataupun peralatan makam seperti yang
lainnya.
Karena jika berisi, maka itu
tidak akan menghaluskan benturan, dan dia akan mati.
Namun untuk saat ini, dia
menghiraukan semua ini. Yang terpenting adalah bahwa dia masih hidup. Dan jika
dia hidup, maka dia akan bertarung.
Dia merogoh tas peralatannya
dan mengeluarkan sebuah botol potion yang telah retak. Dia kesulitan untuk
membuka penutup botol dengan pergelangan tangan yang telah bengkok pada sudut
yang aneh, kemudian meminum isi botol tersebut. Efek penyembuhan obat tersebut sangat
minim. Tidak seperti keajaiban ilahi yang dapat menutup luka secara instan.
Tapi rasa sakit dapat
teredam, dia dapat bergerak. Dan jika dia dapat bergerak, dia dapat bertarung.
Tidak ada yang dapat
menghalanginya.
Dengan tangan kanannya dia
mencari sesuatu yang dapat di jadikan senjata. Tangannya menggenggam apa yang
dia temukan, dan kemudian dia memaksa pinggulnya yang terluka untuk berdiri.
Beberapa goblin telah menyadari
bahwa dia masih hidup dan berjalan mendekati mereka, masing-masing dari mereka
menggenggam senjata dan sebuah tawaan kejam keluar dari tenggorokan mereka;
tidak di ragukan lagi bahwa mereka berpikir untuk menghabisinya.
Namun memangnya kenapa?
“...........!”
Dia mengayun perisai di
lengan kirinya dengan sekuat tenaganya dan memukul goblin tersebut sampai mati.
“GORARO?!”
Ujung perisai yang terasah
sudah cukup untuk menjadi senjata.
Dia menghancurkan kepala
mereka, darah dan otak terbang ke segala penjuru. Maju. Maju. Dia tidak akan
berteriak hingga detik terakhir. Dia tidak bisa. Seperti biasanya. Dia pasti
tidak menyadarinya.
Sang goblin champion
terfokus menyiksa tangkapan barunya. Dia sepertinya lupa akan fakta bahwa
penyelundup yang telah dia hancurkan baru saja, sedang berdiri di belakangnya.
Priestess telah terbujur lemas dalam pelukan sang iblis, hanya terkejang-kejang
beberapa kali. Bibirnya, berubah lebih merah oleh darah yang mengalir dari
lehernya yang putih, dua hingga tiga kali.
Tidak ada suara yang keluar.
Apakah, selamatkan aku?
Ataukah Oh Tuhan?
Ataukah Ibu atau Ayah?
Bukan Larilah. Yang akan membuatnya pergi.
Dia.... Dia....
Goblin slayer....
“Y-yaaaaah!”
Goblin slayer melompat
mengarah punggung sang champion.
Pada awalnya, sang champion
tentu saja tidak mengetahui apa yang terjadi.
Sesuatu melingkar di sekitar
lehernya—di antara tulang belakang dan kulit seorang wanita, yang sekarang
telah terjatuh lemas di lantai.
Makhluk itu berusaha
menggapai dengan kejengkelan untuk menyingkirkan, apa yang menurutnya, hanyalah
serangga....
“......!”
Namun kemudian, sesuatu
tersebut di tarik dengan kencang di tenggorokkannya.
“GO-ORRRRRRRBBBB?!?!?!?!”
Dia tidak cukup bisa
mengeluarkan teriakannya keluar dari tenggorokkannya.
Sang champion bergerak
membabi buta pada tulang-belulang di sekitar, tidak dapat bernafas. Beberapa
helai rambut terputus, namun itu tidak mengubah apapun. Makhluk itu sudah tidak
dapat melihat Priestess lagi yang akan menjadi bahan mainannya. Gadis tersebut
telah tergeletak di lantai layaknya mainan yang telah di tinggalkan.
“Ahh...”
Suara yang halus. Priestess
masih hidup.
Dan hanya itu yang perlu di
ketahui oleh Goblin slayer.
“Haa—haaaaaaa!”
Dia mempunyai sebuah tulang
di tangan kanannya dan rambut seorang wanita yang terlilit di kirinya. Dia
menarik sekuat yang dia bisa; rambut tersebut menggigit tembus sarung tangan
kulitnya dan masuk ke dalam dagingnya.
Namun hal yang sama juga
terjadi pada goblin champion.
Konon seorang assassin
menggunakan sebuah rambut manusia untuk membunuh; ini adalah hal yang sama.
Tidak mudah bagi seseorang untuk bisa melepaskan lilitannya.
Sang champion memutar
tubuhnya, berusaha lepas dari cengkraman. Dia menabrakkan punggungnya sendiri
pada sebuah dinding.
“Hrk...!”
Darah mengalir kembali dari
helm Goblin slayer. Dia berteriak seraya organ tubuhnya di hancurkan. Walaupun
begitu, genggamannya tidak melonggar.
“GORORORORB?! GROOORB?!”
Sang champion menjadi
ketakutan.
Tentu saja, goblin yang
lainnya tidak hanya tinggal diam dan melihat pemimpin mereka tercekik. Beberapa
dari mereka telah mengangkat senjata mereka dan mulai menyerang untuk membunuh
musuh yang telah bangkit kembali.
Hingga tiba-tiba, kepala
mereka terbang, di gantikan dengan cipratan darah.
Mereka telah terbunuh oleh
pentungan champion seraya dia mengayunkan senjatanya dalam usaha melepaskan
dari cekikan. Goblin yang tak berkepala terjatuh lemas di lantai.
Ini sudah berlebihan, bahkan
bagi mereka.
Goblin tidak mempunyai rasa
takut jika mereka percaya bahwa mereka dapat menang. Jika barang jarahan dan pekacuran
menunggu mereka di sisi kemenangan tersebut, maka akan lebih baik.
Namun di sini—dapatkah mereka menang?
“Yaaaaaaaaaaahhhhhhh!”
Raungan lantang.
Sebuah momen kebimbangan,
sebuah keraguan sesaat, meng-ejakan kekalahan goblin.
Dengan teriakan untuk
memberikan rasa hormat pada leluhurnya, Lizard priest, yang sekarang telah
terbebas, menyerang para monster. Pedang taring miliknya, bermandikkan akan
darah goblin, berputar layaknya badai di tangan bersisiknya.
“GRRB?!”
“GORORORB?!”
Dengan setiap tebasan
pedang, sebuah tangan atau kaki atau kepala terbang di buatnya. Dengan ekornya,
dia menjatuhkan mereka yang berusaha melarikan diri, dengan taringnya, dia menyelesaikan
mereka.
Kebingungan di buatnya, para goblin
berbondong-bondong mengelilingi Lizard priest—hanya untuk di hujani oleh panah
kayu.
“Maju!”
Suara tidak asing berteriak.
Dia berusaha menutupi
dadanya yang terpapar dan berlumuran akan darah goblin, namun dia di sana.
Seraya dia menembak panahnya dengan berlutut, High elf archer berteriak, “Aku
akan tangani mereka!”
“Terima kasih!” Lizard
priest berteriak kembali dan mulai melangkahkan kakinya melewati mereka yang
menyerang.
Dia berusaha mencoba untuk
bisa sampai di tempat di mana Priestess terbaring di lantai. Dia masih
mempunyai beberapa mantra.
Itu artinya gadis itu akan
baik-baik saja, pikir High elf archer dengan hembusan nafas lega.
“....Terima kasih.”
“Apa-apaan ini, kok tumben?”
Yang menjawab gumamnya
adalah Dwarf shamman yang berada di sampingnya.
Berlumuran oleh cipratan
darah, terengah-engah, dan masih menggenggam kapaknya, dengan ahli dia
menghabisi goblin yang berusaha membunuh musuh pemanah mereka.
“Aku nggak percaya akan
berhutang nyawa kepada seorang dwarf. Memalukan sekali.” Dia berputar, berusaha
menutupi dadanya yang kecil. Telinganya berkedut. “Bagi seorang elf,
satu-satunya hal yang lebih memalukan adalah untuk tidak mengucapkan terima
kasih.”
“Dasar elf, dari menangis
meminta tolong kembali menjadi tinggi hati lagi.” Dwarf shaman berkata dengan
menahan tawa.
High elf archer mengedipkan
matanya. “Lebih baik dari rendah tubuh mu kan?”
Seraya dia mencoba acuh tak
acuh, dia melepaskan sebuah tembakan pada goblin champion dan meneriakkan.
“Hajar dia, Orcbolg!”
“Hrr!”
Goblin slayer menggenggam
bundalan rambut layaknya menunggani seekor kuda. Dia menempel pada punggung
goblin champion, yang mengayunkan Goblin slayer ke kiri dan kanan layaknys kuda
liar. Pada awalnya, setiap hentakkan melukainya dengan begitu sangat hingga
membuatnya berpikir bahwa tubuhnya akan terburai. Namun sekarang dia tidak merasakan
sakit, tidak sedikitpun. Yang hanya terasa adalah keringanan yang aneh layaknya
mengapung pada sebuah air.
Beberapa bagian dari
pikirannya menyuarakan peringatan. Rasa sakit adalah bukti bahwa kamu masih
hidup. Dan sekarang dia sudah tidak merasakan rasa sakit. Mungkin sarafnya
telah terputus.
Apakah dia membuat pilihan
yang salah?
Dia pernah tidak sengaja
mendengar suatu bisikan:
Majulah
menuju kematian, pukul paku pada peti matimu sendiri.
Namun tidak adanya rasa
sakit juga menguntungkan baginya.
Tidak
peduli hal bodoh dan tolol apa yang bisa membuatku menang—Aku akan lakukan!
“Hey...!”
Suaranya keluar di antara
bibirnya.
Dapatkah suara yang menggema
di pikirannya dapat masuk ke dalam pikiran goblin champion?
Makhluk itu berusaha memutar
kepalanya dan melihat sang musuh yang berada di punggungnya. Sebuah helm kotor,
berlumur darah terpantul di mata kuning hina nya.
“Liat baik-baik, goblin.”
Goblin slayer mengangkat
lengan patah kanannya dan menghajar menuju mata, dia menggenggam sesuatu yang
lembek, mencakarnya dan mencongkelnya.
“GROARARARARAB?!
GROORORORORORB?!?!”
Sang champion meraung tidak
karuan dalam kesakitan, tubuhnya terjatuh ke belakang.
Goblin slayer terikut
bersamanya, berguling di lantai batu. Dia hampir tidak dapat menghindari akan
gencetan tubuh besar itu seraya terjatuh di lantai dengan suara yang menggema.
Napas terengah-engah, Goblin
slayer menggunakan tulang terdekat untuk membantunya berdiri. Sang warrior
penuh akan darah dan luka, mendekati kematian, namun para goblin hanya
memandangnya dari kejauhan.
Tidak ada alasan yang bagus
bagi mereka untuk melakukannya. Akan sangat mudah sekali untuk menghabisi pria
itu saat ini.
Akan tetapi tidak salah lagi
mereka takut akan pria itu.
“Siapa selanjutnya...?”
Suara itu tak bernada, dan dingin layaknya angin yang berhembus melewati
padang. “Apa kamu...?”
Goblin slayer melempar
gumpalan daging di tangan kanannya. Mata sang champion menyentuh lantai dan
hancur dengan suara basah.
“GORB...! GARARARARAB!!”
Sang champion sempoyongan di
kakinya dan mulai mengoceh. Darah dan nanah mengalir layaknya air terjun pada
mata kirinya yang telah hilang.
Para goblin berdiri tak bergerak.
Salah satu dari mereka menjatuhkan tombaknya. Matanya melirik bolak balik
antara goblin champion dan Goblin slayer, Mereka berdua bermandikan darah.
Pada akhirnya.
“GORROROROROROB!!”
Sang champion berteriak
lantang yang merupakan sebuah perintah untuk mundur.
“GORARARAB! GORAB!”
“GROOB! GROB!”
Berteriak, para goblin
melupakan segalanya dan melarikan diri.
Pada ini, seperti
sebelumnya, sang goblin champion memimpin mereka. Dia memang champion, namun
dia tetaplah goblin.
Masing-masing dari goblin
mementingkan keselamatannya sendiri; yang mereka inginkan adalah melarikan diri
dari tempat ini. Oleh karena itu, sebuah pemikiran untuk mempertahankan perlawanan
mereka pada kemungkinan yang mustahil tidak pernah terlintas di pikiran mereka,
dan momentum ini berlangsung dengan cepat. Satu, dua, kemudian empat, kemudian
delapan melarikan diri....
Satu persatu, para goblin
berlari menuju pintu keluar, menangis dan berteriak. Pada akhirnya, hanya
tumpukan mayat goblin dan petualang yang kelelahan yang tersisa.
Tidak ada dari mereka yang
menyarankan untuk mengejar musuh. Mereka semua terluka dan kelelahan; mereka
hampir tidak dapat bergerak.
“........”
Hanya Goblin slayer yang
berbeda.
Dia menggali tumpukkan tulang
dan menggunakan sebuah tombak genggam yang dia temukan sebagai sebuah stik dan
berjalan pincang sekeliling ruangan. Menyeret kakinya dengan menyedihkan seraya
dia bergerak, dia mulai memeriksa tubuh setiap mayat.
Seraya dia melakukannya, dia
menjatuhkan sebuah jejak darah, seakan-akan dia adalah sebuah kuas di atas
kanvas.
“.........hrr....”
Satu langkah. Dua. Sebuah getaran,
kemudian tubuh Goblin slayer terhuyung pada sudut yang aneh.
“Orcbolg....!”
High elf archer berlari mendekatinya
dan memapahnya dari samping. Dia tidak mempedulikan darah goblin slayer yang
menempel pada bajunya yang terkoyak dan kulitnya yang terpapar.
Dengan suara yang sangat
pelan, Goblin slayer bertanya. “Kamu...nggak...apa-apa...?”
“Kurang lebih... Tapi....”
Suara High elf archer sama pelannya “Aku nggak yakin denganmu...”
Bagi sang elf, Goblin slayer
terasa seperti sebuah tas penuh akan onderdil.
Walaupun begitu, dia sanggup
bergumam. “Mungkin,” dan mengangguk. “Bagaimana dengan gadis itu...?”
“....Lewat sini. kamu bisa
jalan?”
“Aku akan coba.”
High elf archer kesulitan
membantu Goblin slayer, yang terlihat seperti akan pingsan. Dia merasakan
sebuah kehangatan di pipinya dan menyadari air mata mengalir dari matanya.
Dia menggigit bibirnya.
“Kalian berdua, cobalah
meminta.....tolong sedikit.”
Seraya mereka berjalan terseok,
mereka mendapati sebuah lengan dwarf membantu mereka.
Kondisi Dwarf shaman
tidaklah lebih baik dari mereka berdua. Darah terbasuh dari ujung kepala hingga
ujung jenggot kesayangannya, dan tas katalisnya, begitu pula ikat pinggangnya
yang telah terkoyak parah.
Walaupun begitu, Dwarf
shaman sanggup untuk membantu Goblin slayer berdiri dengan tangannya.
“karena, kita masih...harus
pulang...”
“....Benar.”
Kemudian, bersama, mereka
menjalani jarak yang pendek namun terasa sangat jauh. Tidak lama kemudian
mereka berada di tengah ruangan, di samping peti batu yang telah hancur. Sebuah
pedang taring yang rusak tertancap di sana, Lizard priest duduk di sampingnya.
“Itu tadi hampir saja. Namun
saya rasa dia akan baik-baik saja.”
Priestess terbaring di kakinya.
Dipeluk oleh ekornya.
Api dari lentera yang telah
rusak hanya satu-satunya penerangan mereka. Cahaya tersebut menggambarkan sosok
Priestess.
Jubahnya yang berlumuran
darah dan baju besinya yang telah terkoyak; sebuah perban telah di lilitkan di
sekitar pundaknya yang pucat dan dadanya. Rambutnya lengket dipipinya oleh
keringat, Dan matanya masih terpejam. Dadanya yang naik dan turun adalah
satu-satunya tanda bahwa dia masih hidup.
“Bagaimana keadaannya?”
Lizard priest menyipitkan
matanya dan secara perlahan mengangkat kepala Priestess dengan ekornya.
“Mm. Nyawanya sudah tidak
dalam bahaya lagi. Namun jika saja lukanya lebih dalam, maka itu akan di luar
dari kemampuan saya.”
“Aku mengerti.”
“Tunggu, aku akan bantu kamu
duduk. Supaya lebih mudah.” High elf archer berkata seperti berbisik, seraya
Goblin slayer kesulitan menarik nafas. “Dwarf, kamu ambil sisi sebelahnya.”
“Baik.”
Bersama, mereka
menurunkannya di sebuah peti batu, di samping Priestess.
Dia terlihat seperti akan
terjatuh ketika mereka melepaskan tangan mereka. Bahkan dari cara dia duduk
terlihat seperti merosot ke belakang.
“A...Aku...mi-mi...nta...ma...”
“Jangan di pikirkan.”
Goblin slayer mengulurkan
tangannya, sarung tangan kulit yang telah rusak, kotor, dan kondisi yang buruk
secara keseluruhan. Dia meletakkannya pada lantai di
samping Priestess. Priestess menggenggamnya dengan lemah menggunakan tangan
kecilnya sendiri.
“Pak...Gob....s...ayer...”
Pada akhirnya, dia berucap:
“Hal seperti ini pasti terjadi.”
“Ayo kembali ke atas,” High
elf archer berkata. “Kita nggak bakaln mau berada di sini ketika mereka
kembali. Orcbolg, kamu bisa berdiri?”
“Ahh, kamu cari mantel atau
apapun buat dirimu sendiri bocah. Aku bisa menolong Beardcutter.”
“Sepertinya saya harus
memapahnya di pundak saya,” kata Lizard priest. “Persiapkan dirimu. Tidak lama
lagi kita akan aman..,”
Seseorang mengatakan
sesuatu.
Namun Goblin slayer
merasakan kesadarannya mulai menghilang, dan kemudian semua menjadi gelap.
0 Comments
Posting Komentar