TEKA-TEKI
(Translater : Zerard)
“Mau sampai kapan kamu mau tidur, bocah dungu?”
Suara bak halilintar yang melewati otaknya bersamaan dengan rasa sakit yang menusuk membangunkannya.
Dia melompat, mengambil kuda-kuda, melihat sekelilingnya, hawa dingin menggigit kulitnya.
Putih.
Segalanya berwarna putih.
Adalah putih kegelapan, seperti biasanya. Dia lebih terbiasa dengan dunia ini di banding dengan cahaya matahari.
Dia berada di sebuah gua—kemungkinan di bagian yang sangat dalam—di kelilingi oleh air dan es.
Tidak lama setelah mengetahui Dimana dia berada, suara pukulan mendarat pada sisi samping kepalanya. Pukulan tersebut sangatlah panas dan menyakitkan, seraya dia terpukul dengan sebuah penjepit, rasa dingin yang di rasakan di sekitarnya membuatnya bingung.
“Apa yang kamu liat? Kalau kamu bangun, maka salami aku!”
Suaranya menggema di keseluruhan gua, namun dia tidak dapat menemukan sumber suara tersebut.
Dia tidak berani untuk mencoba menemukan dari mana suara itu berasal. Jika dia melirik sekeliling gua, dia hanya akan mengundang pukulan lainnya.
Dan memang tidak mungkin untuk bisa melihat kemampuan menghilang Burglar sejak awal. (TL Note burglar = pencuri)
Dalam berbulan-bulan—atau bertahun-tahun?—latihan, dia telah memahami dengan sangat baik. Dalam keredupan ini, persepsi waktunya telah kacau balau. Layaknya salju yang tertiup angin dan menolak untuk di tangkap.
Sang pria tua di kenal dengan banyak nama, termasuk Pengelana, namun dia lebih memilih untuk di sebut Burglar atau Master.
“Tentu saja, master. Terima kasih sudah berada di sini.”
Dia menundukkan kepalanya, walaupun dia tidak mengetahui harus kemana kepalanya menunduk.
Dia mendengar dengusan pelan dan merasakan sensasi gugup sesaat. Jika dia membuat marah sang master, dia tidak akan hanya mendapatkan omelan sederhana. Sang master bahkan mungkin akan berhenti melatihnya.
Dan itu adalah urusan akan hidup dan mati.
“Hmm. Bagus.”
Masternya tampak terpuaskan sekarang.
Dia masih tetap menunduk, secara hati-hati untuk tidak menghela nafas lega. Dia menghiraukan beberapa salju yang berada di mulutnya, kemudian menutup bibirnya. Udara yang dia hembuskan secara sembarangan sangatlah hangat, dan kabut yang tercipta di udara akan membuat musuh mengetahui keberadaannya. Ini bukan pertama kalinya dia di marahi karena hal ini.
“Master, apa yang harus saya lakukan hari ini?”
“Apa yang kamu harus lakukan?” Sang Burglar memberikan sedikit huff mengejek. “Itu pertanyaan paling bego yang pernah aku dengar! Orang idiot macam apa kamu?”
Tiba-tiba, sesuatu terbang mengarah padanya dari balik kegelapan.
Dia sama sekali tidak menyadarinya, dan bola salju itu mengenainya tepat di wajahnya. Sensasi basah dengan cepat berubah menjadi getaran tidak nyaman.
Burglar dengan sengaja membuat proyektil itu ringan, agar bola salju itu dapat menyebarkan salju di keseluruhan tubuhnya. Betapa kejam nan cerdas.
“Aku mengenaimu! Sekarang kejar dan habisi mereka! Para goblin!”
“Baik, pak.”
Dia menatap tepat ke depan, tidak merepotkan dirinya sendiri untuk mengelap es pada wajahnya. Pikiran yang mungkin ini dapat memberikkannya frostbite tidak pernah terlintas di benaknya. Rasa sakit, rasa pahit, para goblin. Mereka semua adalah bagian dari kehidupannya sehari-hari. Tidak ada gunanya untuk di ucapkan. (TL Note: Frostbite = https://hellosehat.com/penyakit/frostbite-radang-dingin/ )
Namun dia mendengar gumam Burglar, “Bagaimana? Mereka pintar, mereka kejam, dan mereka banyak. Mereka hina. Apa kamu bisa bunuh goblin?”
“Aku akan bunuh mereka.”
“Walaupun mereka menjadikan kakak perempuanmu bulan-bulanan, dan kamu hanya menyaksikkannya saja?”
Burglar memberikan tawaan aneh.
Dia merasakan api telah hilang dari perutnya, bersamaan dengan emosi panas yang membebaninya pikirannya layaknya batu.
“Aku tau apa yang kamu mau katakan. Kamu nggak punya kekuatan pada saat itu kan?”
Dia menggigit bibirnya.
“Ya, pak.”
“Salah! Itu salah!”
Kali ini, sensasi basah bercampur dengan rasa nyeri. Burglar sangatlah pandai dan kejam. Dia menambahkan kerikil pada salju yang telah di lemparnya.
Dahinya sakit; dia merasakan dahinya semakin membengkak setiap kali jantungnya berdegup. Dia merasakan darah yang mengalir dari lukanya, melelehkan salju yang tertepel di wajahnya seraya mengalir.
Ini tidaklah serius.
Tengkorak adalah salah satu tulang paling keras di dalam tubuh. Tidak dapat dengan mudah di hancurkan. Sebuah pelajaran lainnya yang telah dia pelajari. Dia tidak membuat gerakan untuk menghapus darahnya, hanya menatap pada arah yang menurutnya terdapat sang Burglar.
“Itu karena kamu memilih untuk tidak melakukan apapun!”
Kalimat itu menusuk hatinya.
Kepalnya telah terasa lebih seperti sebuah batu daripada sebuah tangan, namun dia terus mengepal erat tangannya.
“Kenapa, kenapa kamu tidak melawan para goblin itu? Kenapa kamu tidak melarikan diri dengan kakakmu?”
Hawa udara berubah sedemikian rupa. Burglar kemungkinan telah berada cukup dekat untuk melototi pada wajahnya, hanya untuk mengutarakan maksudnya. Dia dapat mencium aroma alkohol pada nafas Burglar, namun tetap tidak dapat melihatnya, bahkan hingga bayangannyapun tak terlihat.
“Itu karena kamu menolak untuk menyelamatkannya. Permasalahan kamu berhasil atau tidak, hidup atau mati, itu urusan belakangan!”
“Aku nggak punya kekuatan! Aku nggak bisa melakukan apapunnnn!
“Oh! Para Dewa memberikan aku kekuatan! Sekarang aku bisa membunuh semuaaa goblin!
“Oh! Seorang petualang legendaris melatihku! Sekarang aku bisa membunuh semuaaa goblin!
“Oh! Lihat pedang suci yang aku temukan! Bersiaplah kalian goblin!
“Sekarang aku memiliki kekuatan untuk melakukan apapunnn!”
Lagu ejekan Burglar bergema di sekililng gua es.
“Kamu pikir seorang bocah yang nggak melakukan apapun ketika nggak memiliki kekuatan akan melakukan apapun ketika dia mendapatkan kekuatan itu?”
“.....”
“Walaupun dia melakukannya, itu cuma sebuah pertunjukkan! Dan setiap pertunjukkan akan berakhir cepat atau lambat.”
Wuusshh Udara kembali bergerak. Dia tidak menggerakkan matanya, namun mencoba untuk mengikuti apa yang di rasanya.
“Dengar,” Burglar berkata. “Kamu nggak jenius. Kamu nggak punya bakat. Kamu cuma satu orang liar tak bernama tanpa ada sesuatu yg istimewa darimu.
Degup. Sesuatu menggigit lembut masuk ke dalam hatinya.
Dia melihat ke atas dengan cepat hanya untuk melihat sepasang mata menatapnya kembali. Kecil, berkelip warna kuning yang aneh, layaknya obor yang terbakar,
“Tapi kamulah yang akan tetap memilih.”
Dia menelan liurnya.
“Ketika kamu memutuskan untuk bertindak, itulah kemenanganmu. Walaupun kamu akan menjadi bahan tertawaan jika kamu mencoba dan gagal.”
Suara Burglar tiba-tiba menghilang. Dia menjentikkan jarinya, dan sebuah api unggun yang entah kapan dia telah siapkan, menyala.
Dinding putih gua terhias warna api.
Tempat ini memanglah penuh akan salju, mengelilinginya dengan es, salju, dan dinginnya udara.
Namun di saat ini semua mengalihkan pikirannya, Burglar menghilang tanpa meninggalkan bayangan.
“Kamu butuh keberuntungan, kecerdasan—dan keberanian!” Burglar berteriak dengan suara lantang yang menggema.
Dia mencoba untuk mengatur nafasnya dan berdiri perlahan.
Dia mengambil kuda-kuda: lengan di angkat, kaki sedikit di lebarkan, pinggul di rendahkan.
“Pertama, pastikan kalau kamu mau melakukannya—maka lakukan!”
“Baik, pak.”
Ketika dia mengangguk, beberapa tetes darah terjatuh, mengalir merah di sekitar kakinya. Dia tidak mempedulikannya. Fokus agar tidak terpeleset di salju.
“Ya, master.”
“Keberuntunganmu jelek, dan kamu nggak pintar. Tapi apa kamu memiliki tekad? Aku akan melatih itu semua sekaligus—liat keatas!”
Dia menurutinya melihat ke atas. Sebuah sinar berkilau terang berbahaya bertemu dengan matanya.
Itu adalah stalaktit es yang tumbuh di atas gua salju. Dengan titik ujungnya mengarah tepat kepadanya, mereka terlihat seperti sebuah pasukan knight.
Hawa panas api mulai menimbulkan efeknya: setetes air menetes jatuh ke bawah di kepalanya.
“Saatnya untuk permainan tebakan. Aku punya teka-teki buatmu! Kalau kamu mau hidup, lebih baik kamu menjawabnya dengan cepat!”
“Ya, master.”
“Bagus, bagus!”
Dia mendengar suara Burglar menjilat bibirnya. Teka-teki adalah suatu bentuk pertarungan yang sama tua-nya dengan para Dewa—suci, mutlak. Konon teka-teki di mulai bahkan sebelum para dewa mulai melempar dadu.
Tentu saja, semua itu tidaklah berarti untuknya. Dia akan menjawab. Itu saja.
“Aku melintasi langit.
“Paruh kejam merobek kulit.
“Mimpi burukmu! Musuh bebuyutanmu!
“Bunuh aku, dan darahmulah yang akan mengalir.
“Apakah aku?”
Hal pertama yang di pikirkannya adalah goblin.
Tapi goblin tidak dapat terbang, dan mereka tidak memiliki paruh.
Pada saat ketika dia hendak melipat tangannya untuk berpikir, bola salju lainnya terbang menujunya.
Dia berguling kesamping di atas es untuk menghindarinya. Beberapa tetes darah terbang dari wajahnya dan mendarat di atas es, bercampur dengan air yang meleleh dan merubahnya menjadi merah muda.
Jawabannya terlintas dengan sekejap di pikirannya.
“Seekor nyamuk.”
“Benar!” Burglar memberikan dengusan yang menunjukkan bahwa dia tidak terhibur. “Tapi itu cuma pemanasan. Berikutnya!”
“Lautan terlihat kering.
“Sungai tidak mengalir.
“Pepohonan terlihat layu.
“Kota tidak memiliki bangunan.
“Kastil tanpa manusia!
“Di manakah kita?”
Dia sama sekali tidak mengetahuinya.
Nama sebuah kerajaan yang telah punah dari sejarah maupun mitos mengambang di pikirannya, kemudian berlalu begitu saja. Semua tempat itu adalah yang pernah dia dengar dari cerita kakak perempuannya. Apakah tidak satupun dari tempat itu yang memiliki nasib begitu mengerikan seperti yang tergambar pada teka-teki itu?
“Baaahhh, kenapa?” Burglar bertanya. “Jangan melamun saja! Bergerak bego! Atau itu akan menjadi akhir bagimu!”
Sebelum dia dapat memikirkan jawabannya, dia berguling ke samping secara reflek.
Sebuah stalaktit es menghantam lantai dan pecah.
Dia tidak memakai helmnya. Dia harus fokus untuk melindungi kepalanya.
Kemudian, tiba-tiba, dia teringat sebuah jawaban permainan teka-teki yang dia mainkan bersama kakak perempuannya dulu sekali. Walaupun kala itu, dia tidak dapat menandingi kepintaran kakaknya.
“Kita berada di peta.”
“Ha-ha! Benar sekali! Tapi kenapa lama sekali?”
Dia mendengar tepuk tangan ejekan. Bergema terpantul dinding-dinding hingga dia tidak dapat mengetahui dari mana sumber suara tersebut.
Dia menghalau suara dari telinganya, melainkan melihat dekat dan jauh, samping ke samping, kemudian ke atas langit-langit. Dia tidak boleh lengah. Pikirannya haruslah jernih. Atur nafasmu.
Ruangan ini sangat dingin, namun entah mengapa dia mulai berkeringat. Dia mencoba mengelap darah dan keringat dengan lengannya untuk menjaganya agar tidak masuk ke mata, namun dengan melakukan itu membuatnya merasakan rasa perih yang tidak nyaman.
“Ayo, lanjutkan!”
“Lebih dari sekedar para dewa.
“Lebih jahat dari para Dark gods.
“Orang kaya membutuhkanku.
“Tapi bagi aku yang miskin mendapatinya tidak berguna.
“Apakah aku?”
Baginya, ini merupakan teka-teki yang sangatlah sulit. Dan Burglar tidak akan membiarkannya berdiri dan berpikir dengan tenang. Bola-bola salju terbang dari segala penjuru arah; dia berguling di atas permukaan es untuk menghindari mereka semua.
Dia sudah tidak dapat merasakan bagian tubuhnya; mereka sudah melewati biru dan berubah menjadi ungu.
Namun tidak ada waktu untuk mengkhawatirkannya. Suara sesuatu yang retak terdengar di atasnya.
“Hati-hati! Satu lagi akan jatuh!”
Stalaktit es lainnya meleleh dari langit-langit dan terjatuh tepat dari atasnya.
“.....!”
Burglar tidak akan membiarkannya menghindar dengan aman. Sebuah bola salju lainnya datang dan mengenai pundaknya; salju bertebaran di segala arah dan kerikil mengigit dagingnya. Dia berusaha untuk menahan teriak rasa sakit.
Tidak ada waktu. Dia tidak berpikir. Dia tidak memiliki jawaban. Dia tidak memiliki apa-apa. Itu membuatnya marah—dan terlintas di pikirannya.
Dia mendongak dan berteriak:
“Tidak ada!” dia menghentakkan bumi dengan kedua kakinya, mengatur ulang posisinya, dan menambahkan, “Jawabannya adalah tidak ada!”
“Benar! Tapi ada sesuatu yang lebih jahat dari Dark god dan memiliki kebengisan yang lebih!”
Burglar tidak memiliki niatan untuk membiarkannya beristirahat, dan melemparkan teka-teki kepadanya secepat dia dapat menjawab.
Di dalam kegelapan putih, darah mengalir dari pundak dan dahinya, dia berdiri dan menghadapi pertanyaan.
“Hitam
“Di dalam hitam
“Di dalam hitam
“Di dalam hitam.”
Dia berteriak dengan segera:
“Goblin—di dalam rahim wanita yang tertangkap di dalam kurungan di dalam gua goblin!”
Dia tidak pernah melupakan tentang goblin, tidak sedetikpun. Jawaban ini sama sekali tidak membutuhkan pemikiran. Dia menyeringai kepada gurunya yang tak terlihat dan berkata, “Mudah.”
“Oh, begitukah? Kalau begitu, coba ini!”
“Di manapun, kapanpun,
“Kamu akan bertemu dengannya,
“Tidak ada jalan untuk dapat lolos darinya!
“Kamu tidak dapat berbicara dengannya!
“Di sana dia, berada di sampingmu!
“Sayang sekali untukmu! Permainan telah berakhir!”
Teka-teki sebelumnya pastilah caranya dia untuk mengulur waktu agar dapat memikirkan teka-teki ini. Burglar kaya akan trik murahan. Trik murahan yang telah banyak membuatnya belajar.
Namun jawaban akan teka-teki ini sama sekali tidak terpikirkan olehnya.
Nafas tidak beraturan, dia menghindari bola salju dan es. Salju terhambur menyentuh kulitnya dan es menghantamnya, hingga tubuhnya terkoyak dan berdarah. Keringat dan darah menetes dari alis hingga masuk ke matanya, menghalau pengelihatannya, sementara luka pada pundaknya terus berdenyut.
Melawan semua ini, dia berpikir keras. Roda gigi dalam pikirannya berputar; dia berkedip beberapa kali, mengumpulkan semua pengetahuannya dan mencari sebuah jawaban.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukan apa yang berada tepat di dekatnya.
Dia menjilat bibirnya perlahan dan berbicara sejelas yang dia bisa.
“Dia adalah kematian.”
“Ha-haaa! Jawaban bagus!”
Tawaan Burglar terpantul di setiap arah gua. Tetesan air terjatuh, terlepaskan oleh gema.
“Kamu nggak memiliki keberuntungan. Kamu tidak memiliki kecerdikkan. Satu-satunya yang kamu punya hanyalah keberanian. Jadi pikir! Pikir dengan semua keberanian yang kamu punya!”
“Baik, master.”
Dia menganguk mematuhi. Dia sama sekali tidak mengetahui mengapa Burglar mengasuhnya, tapi dia seorang diri, desanya telah hilang, dan dia hanya memiliki satu tujuan yang tersisa. Pria tua itu memberikan pengajaran dan strategi yang akan dia butuhkan untuk menggapai tujuannya. Dia tidak akan pernah memiliki niatan untuk meragukan kalimat masternya.
“Dan berterus terang—ya, kamu menjadi ahli akan itu. Bagus buat bocah sepertimu. Terakhir!”
Burglar muncul di depannya seolah-olah muncul dari udara kosong. Dia adalah pria yang kecil, kurang dari separuh tinggi badannya, dan gelap seperti bayangan.
Pria tua rhea menggenggam pedang pendek yang berkilau dan menggunakan armor platinum. Burglar menatap kepadanya dengan dua mata bersinar dan tersenyum, menunjukkan giginya yang tidak rata.
Ini merupakan trik yang licik, secara teknis melanggar aturan permainan teka-teki.
Dia berusaha untuk menjawab namun tidak dapat memikirkan jawabannya.
Dia membuka mulutnya memohon untuk setidaknya di berikan tiga petunjuk, namun dengan sekejap, sebuah rasa sakit terngiang kembali di kepalanya, dan dia merasakan kesadarannya menghilang.
Hingga hari ini, dia masih tidak mengetahui jawaban akan teka-teki itu.
0 Comments
Posting Komentar