DI SANA DAN KEMBALI LAGI
(Translater : Zerard)
Bagi dia, dunia itu terlihat
begitu putih suci, sebuah ruang kosong yang
terliputi cahaya.
Udara hangat, angin sejuk,
gemerisik dedaunan, rumput yang menyentuh kulitnya yang terbuka. Segalanya.
Segalanya begitu menenangkan,
penuh akan cahaya, tidak menyisakan tempat untuk kekacauan. Dia berjalan
melalui itu semua dengan anggun,
merasakan rasa ringan
lembut dalam hatinya.
Ya—dia merasa sangat ringan. Dan itu membuatnya terheran.
Beberapa hari ini, dia
merasakan rasa hangat yang berbeda dalam hatinya. Dia tidak dapat memahami akan rasa apa itu, namun dia memiliki sebuah
petunjuk akan asal dari rasa itu.
Rasa itu telah di mulai di
saat dia tidur dengan pria yang terluka—atau itu yang dia pikir.
Dia adalah warrior yang
biasa yang tanpa sesuatu yang lebih, yang di mana tubuhnya telah menjadi bukti betapa taatnya latihan yang di jalani. Yang menguatkan
alasannya untuk menghargai dia lebih dari pahlawan lain. Dia bahkan dapat
melihat makna dari setiap luka di tubuh dia dan pria itu di kala dia
mendekapnya.
Tiba-tiba, dia berhenti.
Langkah halus terdengar
melewati rerumputan kebun kuil.
Sesuatu yang hitam di antara
putih. Sebuah sosok yang kabur nan gelap.
Bibirnya sedikit menganga,
dan sebuah senyum tipis menghias parasnya.
Bagaimana mungkin dia bisa
melupakan sosok itu?
“Betapa baiknya melihat kamu
baik-baik saja.”
Sosok itu—dia—mengangguk singkat.
Sosok itu menggunakan armor
kulit dan helm baja; pada pinggulnya sebuah pedang dengan panjang yang aneh.
Berkali-kali dia bermimpi akan pria itu, sebuah kegelapan yang menyembunyikan
sosok warriornya.
“Aku punya pertanyaan.” Pria
itu berkata dan berjalan sigap menuju wanita itu.
Wanita itu secara singkat
tidak tahu harus berbuat apa. Apakah dia harus tetap bersikap asing, atau sebuah senyum jujur
lebih baik? Terlalu
bahagia akan terlihat kekanak-kanakan dan memalukan.
“Ya, ada apa? Jika saya
mampu menjawabnya...”
Pada akhirnya, dia memilih
senyum tenang biasanya. Bagi dia, itu yang paling menggambarkan dirinya. Dia
berharap pria itu juga berpikiran sama.
Dia berkhayal akan ekspresi
apa yang pria itu kenakan. Sosok berkabut yang dia lihat tidak menunjukkan
apapun. Walaupun dia bisa melihat, helm pria itu akan tetap menyembunyikan pria
itu dari dirinya.
Dan itu sangat di sayangkan.
Dengan nada halus, dia
berkata:
“Kamu sudah tau semuanya,
kan?”
Dia merasakan jantungnya
berhenti berdetak, pipinya memanas. Mendekatkan tongkat pedang-dan-timbangan
miliknya, dan menegakkan punggung tegang.
Betapa dia berharap agar
suaranya tidak terbata-bata.
“....Ya. saya
mengetahuinya.”
Dia dapat mendengar nafas lembut
pria itu. “Aku mengerti.”
Merupakan sebuah suara mekanikal yang dia gunakan sejak kali
pertama mereka bertemu dan ketika mereka berbicara di kasur.
Wanita itu entah mengapa
merasa bahwa itu, sangatlah menyedihkan.
Barulah sekarang dia
menyadari bahwa dia mengharapkan sesuatu
telah berubah. Dia tidak pernah merasakan perasaan yang tidak tenang ini sebelumnya.
“Tapi...bagaimana kamu menyadarinya?”
“Nggak.”
Dia memiringkan kepalanya
penuh tanya.
“Aku berniat menanyakan itu
pada semua orang yang berposisi.”
“Semuanya...” Sword Maiden
bergumam. “Heh. Jadi begitu...?”
Dia mendapati dirinya
sendiri mengembungkan pipinya dengan sedikit kekecewaan.
Ini
tidak pantas. Jangan seperti anak kecil. Dia
menenangkan dirinya.
“Mungkin saya harus sedikit mengurangi menerka-nerka…”
Dia menghela nafas lembut dan melihat pria itu—pada bayangannya. “Tapi...Saya
senang menjadi orang pertama yang kamu tanya.”
Bibirnya sedikit tersenyum,
membentuk setengah lingkaran. Apakah dia melakukannya? Atau itu terjadi begitu
saja? Sword Maiden sendiri tidak yakin.
“Bolehkah saya tahu kenapa
kamu curiga?”
“Beberapa alasan.”
Bayangan gelap sedikit
bergerak dalam penglihatannya. Bayangan itu memiliki
gerakan berani dan tidak peduli. Akan tetapi tidak
menimbulkan suara.
“Yang putih itu... Apa
namanya?”
“Alligator?”
“Ya.” Dia mengangguk.
“Sesuatu yang seperti itu. Aku percaya bahwa itu bukan sebuah pertemuan yang
acak.”
“Kalau begitu, menurutmu itu
pertemuan yang di rencanakan?”
“Paling nggak dengan sengaja
berusaha mengusir kami dan secara sepihak menyerang goblin.”
“Kamu sadar bahwa kamu terdengar
sedikit paranoid?”
Dia menggelengkan kepala
sebagai jawaban. “ Kamu punya reruntuhan seperti itu tapi nggak punya peta dan
nggak ada quest membunuh tikus. Para petualang menghindari tempat itu. Bahkan
tidak ada satupun patroli. Sangat mustahil.”
“Cermat sekali.”
“....Ya.” Goblin Slayer
berkata. “Untuk urusan berpetualang.”
“Hee-hee.” Sebuah tawa kecil
terlepas dari belakang tenggorokannya mendengar jawaban blak-blakan pria itu.
“Dengan kata lain, pasti ada
sesuatu yang berjaga di bawah sana... Sebuah
familiar.”
“...”
Sword Maiden tidak
mengatakan apapun, hanya menatap kepadanya dengan senyum yang tercetak di
wajahnya.
Sword Maiden benci
mengakuinya—akan tetapi sangat memalukan juga untuk menyangkalnya. Pria itu benar:
Alligator tersebut merupakan seekor penjaga ketertiban atas nama Supreme God, penjaga
bawah tanah kota.
Dinginnya hujan, panasnya
pertarungan, aroma goblin, pedang berkarat menembus sisik dan kulit.
Dia telah memasuki pemandian
untuk meringankan
sensasi yang terbagi dengan alligator.
Pikiran akan saat dia
menunjukkan tubuhnya yang telanjang pada Priestess kala itu membuat pipinya begitu
panas hingga dia dapat merasakannya.
“Ironis bukan?” Sword Maiden
berbisik. “Bahwa penyampai pesan
akan Supreme God seharusnya melindungi kota.”
“Kalau begitu kamu tau.” Wanita yang terbunuh, tubuhnya terburai, dan
mayatnya di tinggalkan—“Itu bukan ulah goblin.”
Goblin sangatlah pengecut,
kejam, brutal, dan tidak begitu pandai. Kemungkinan tidak akan pernah terlintas
di benak mereka untuk berkeliaran di daerah manusia untuk menyiksa dan
menyantap mangsanya.
Korban mereka yang tidak
beruntung akan selalu di bawa ke dalam sarang, dan dengan rajin menelanjangi semua nilai mereka.
Atau, jika tahanan mereka cukup banyak, para goblin mungkin akan memainkan mereka
hingga mereka mati.
Apapun itu, kematian mereka
tidak akan mudah.
Sword Maiden mengetahui
semua ini.
“...Benar.”
Kejadian itu tercetak di
ingatannya—cukup harfiah.
Dia di kurung di dalam
sebuah penjara batu yang gelap, bermandikan dengan kotorannya sendiri dan juga
kotoran sang penangkap, menangis tersedu...
Mereka telah membakar kedua
matanya dengan sebuah obor. Itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
“Mereka merencanakan sesuatu
dengan cermin itu... Pendukung dari Demon God yang terkenal itu. Biang
keladinya adalah—“
Tidak
berada di dunia ini lagi.
Di suatu tempat yang
terpisah dari mereka, segalanya telah terselesaikan.
Dia bersandar pada sebuah tiang,
memutar matanya yang tidak bisa melihat menuju pemandangan yang jauh.
“Lagipula…”
Dunia putih terpapar di
depannya. Dia melihat pada kehampaan tak berujung dan menghela. Merupakan
tindakan yang mungkin akan di lakukan seorang gadis desa yang bosan berbicara.
“Lagipula, jika goblin menyerang,
saya yakin saya hanya akan...menangis tak berdaya.”
Sword Maiden cukup
mengetahui akan pergerakan sekte jahat, yang dulunya pernah dia hadapi. Ketika
dia mempelajari bahwa ritual mengerikan
akan tumbal hidup yang mereka lakukan, dia cukup mengetahui akan apa yang
mereka ingin raih.
Balas dendam kepadanya. Bentuk perlawanan seperti itu,
dia masih dapat menghadapinya.
Tapi goblin.
Kakinya gemetar. Memeras
pedang dan timbangan, dia akhirnya berdiri. Dia merasa lega bahwa matanya
tersembunyi oleh sebuah kain.
Kepada siapa dia dapat
menceritakannya?
Kepada siapa dia dapat
menceritakan bahwa pahlawan bertajuk Sword Maiden perlu di selamatkan dari
seekor goblin sederhana?
“Siapa yang akan percaya
saya?”
Seraya dia berbicara, dia
menarik kain akan jubahnya dengan anggun dan mulai memijat pundaknya sendiri.
Bibirnya menyeringai menggoda, dan dia berkata dengan nada menyeringai:
“Apa yang ingin kamu lakukan
dengan saya?”
“Nggak ada.” Dia terdengar sama
seperti biasanya: berkewajiban, bahkan dingin mekanikal. “Karena kamu bukan
goblin.”
Dia memanyunkan bibirnya
seolah-olah sedang mengambek—tidak, dia memang mengambek.
“Karena itu kamu tidak
bertanya kenapa, kan?”
“Kalau kamu ingin berbicara,
aku akan mendengarkan.”
“Oh-ho.” Sebuah nafas lesu terlepas dari bibirnya.
“Saya ingin seseorang untuk mengerti.”
Hembusan angin panjang
menciptakan gemerisik cabang dan daun dan rumput.
Ketakutan, kesedihan, rasa sakit,
teror, ketidakberdayaan—semua itu nyata di dunia ini, dan dalam dunia ini
terdapat orang-orang yang ingin menyebarkan semua itu.
“...Saya hanya ingin
seseorang untuk mengerti.”
Goblin tinggal di bawah
kota.
Mereka keluar dari saluran
air pada malam untuk menyerang khayalak di jalanan. Petualang yang telah di kirim
tidak pernah kembali; tidak ada yang mengetahui kapan dan siapa yang akan
menjadi korban mereka. Goblin mungkin saja bersembunyi di bawah tempat tidur,
di dalam bayangan sebuah pintu. Jika kamu tertidur, mereka akan menyerangmu.
Dia yakin bahwa semua orang akan merasakan rasa takut itu, seperti yang pernah
dia rasakan.
“Namun pada akhirnya...tidak
ada seorangpun yang mengerti...”
Pada akhirnya, tidak ada
yang merasakan rasa takut bahwa goblin akan membunuh mereka. Selalu orang lainlah
yang mati. Tidak pernah mereka.
“...Saya dapat memberikanmu cermin Gate
itu.”
Dia memberikan sebuah
senyuman lebar di wajahnya. Bahkan dia sendiripun mengetahui bahwa senyumnya
sangat terlihat palsu dan rapuh.
“Tentunya kamu mengerti...
Kamu dari sekian banyak orang lain pasti...”
Goblin Slayer memotong kasar pembicaraannya :
“Aku membuangnya.”
“Apa...?” Untuk pertama
kalinya, sesuatu yang lain dari
senyumnya terlintas pada wajahnya. Terkejut dan bingung. “ Itu adalah sebuah
relik kuno. Sebuah harta yang bernilai ribuan keping emas.”
“Goblin lainnya bisa
mempelajari cara menggunakannya.” Dia berkata dingin, blak-blakan, seolah-olah
ingin menunjukkan ketidak tarikannya. “Kami membungkus cermin itu dengan beton
dan menenggelamkannya di dasar kanal. Itu akan menjadi kasur bagus buat yang
putih itu—apapun sebutannya.”
Sosoknya tidak bergeming
sedikitpun. Dia terdengar seperti itu adalah hal yang paling wajar sedunia.
“Heh-heh. Kamu memang...memang
menarik sekali.”
Nadanya yang sangat
terdengar biasa membuatnya merasa semakin aneh. Dia merasa seperti melayang:
terdapat sebuah rasa ringan
yang tidak biasa dalam hatinya.
“Tidak banyak yang seperti
kamu.”
“Mungkin.”
“Hei. Bolehkah saya bertanya
sesuatu?”
“Aku nggak janji aku bisa
tau jawabannya.” Dia menjawab.
“Sekarang kamu sudah
membunuh goblin itu...apa ada sesuatu yang berubah?” Dia melebarkan lengannya
seraya bertanya, layaknya gadis tak berdosa yang membagi rahasia kecilnya.
Pahlawan—pahlawan sangat
berbeda.
Ketika seorang pahlawan
menumpas sekte jahat, keadilan dan dunia dan kedamaian dan lain-lain telah
terselamatkan. Namun bagaimana dengan seseorang yang menolong gadis tak berdaya yang takut akan goblin?
Orang-orang akan tetap hidup dengan tenang; sungai tetap mengalir. Tidak ada
yang berubah. Tidak ada.
Karena itulah tidak ada yang
menolong dirinya.
Bahkan ketika seorang
priestess tak bernama dengan ceroboh mendapati dirinya sendiri tertangkap oleh
goblin dan di nodai. Bahkan ketika gadis lima belas tahun di dalam diri seorang
wanita yang di juluki Sword Maiden menangis memohon pertolongan.
Siapa yang akan berkenan menyadari akan hal seperti
itu?
Selain dengan dia memasang
quest membasmi goblin?
“Tentunya tidak ada...tidak
ada yang berubah.”
“Aku nggak peduli.” Dia
menjawab tanpa sedikitpun keraguan. “Kamu bilang kamu sudah melalui hal-hal
buruk, kan?”
Sword Maiden mengangguk
mengiyakan.
“Aku sudah melihat semua
itu. Dari awal sampai akhir.
Jadi aku nggak mengerti perasaanmu.” Goblin Slayer sangat tegas.
“_____________________”
Sword Maiden berdiri
terdiam.
Dia menjulurkan lengannya
lembut, mencari, pada sosok bayangan buram yang mengambang dalam dunia
putihnya.
“....Jadi, kamu tidak akan
menolong saya?”
“Nggak.”
Goblin Slayer tidak
menggapai tangan Sword Maiden, namun dengan
ketus
memalingkan tubuhnya dari Sword Maiden, melangkah pergi.
Kepala Sword Maiden tertunduk
lemas seakan-akan dia telah terlempar ke dalam neraka, dan dia tertawa.
Terdapat rasa menyerah dalam tawa itu. Sebuah perasaan yang sangat akrab di
kenalnya.
Memang
selalu seperti ini.
Jiwanya, yang dulunya pernah
menjadi perawan, telah di nodai secara
keseluruhan tanpa pengecualian.
Bahkan hingga saat ini,
pemandangan mengerikan itu, pemandangan terakhir akan dunianya, telah tertanam
di matanya. Pada malam hari, pemandangan itu akan datang menghantuinya. Gerombolan
goblin menodainya, memperkosanya, menyiksanya, mengambil semua dari miliknya.
Dan tidak ada yang dapat
menyelamatkan dia dari itu semua. Dan akan terus berlanjut hingga selamanya...
Tidak ada yang akan
menolongnya.
Selamanya. Selamanya.
“Tapi.”
Dia mengangkat kepalanya
terkejut akan satu kata yang bergema.
“Kalau goblin muncul lagi,
panggil aku.”
Sang sosok hitam,
punggungnya, telah berada jauh. Namun suara mekanikal tak berekspresi terdengar sangat
jelas.
“Aku
akan membunuh mereka untukmu.”
“Oh...”
Lututnya lemas dan terjatuh.
Tubuhnya yang anggun menjadi kumal
dan tangisan terlepas dari mulutnya; dia tidak dapat menahan air mata yang
mengalir di matanya.
Sudah berapa lama sejak
terakhir kali dia menangis begitu pilu dari ketika dia terbangun dari salah
satu mimpinya?
“Bahkan... Bahkan
dalam...mimpiku?”
“Ya.”
“Kamu...akan... Kamu akan
datang...?”
“Ya.”
“Kenapa?” Suaranya terdengar
begitu pilu membuatnya tidak dapat mengucapkan setengah kata lainnya.
Namun dia tetap menjawabnya
dengan jelas.
“Karena aku adalah Goblin
Slayer.”
Seseorang yang membunuh
iblis kecil.
Sosok hitam yang bernama
Goblin slayer telah meninggalkannya.
Pergi untuk menghancurkan
goblin.
“Oh...”
Sword Maiden mendapati
dirinya sendiri menyentuh dadanya sendiri yang ranum.
Tidaklah suci
maupun pantas.
Namun dia tidak pernah
membayangkan bahwa hari seperti ini akan datang. Dia tidak pernah membayangkan
bahwa dia akan merasakan perasaan ini lagi. Dia telah mengira bahwa perasaan
ini telah pergi manjauh dari jangkauannya, namun kini dia dapat kembali
meraihnya.
Ini bukanlah apa-apa.
Seorang wanita rusak
berbicara dengan pria rusak. Tidak lebih dari itu.
Namun sekarang dia telah
mengetahui arti sebenarnya dari rasa hangat yang bersemi dalam hatinya. Merupakan percikan api yang menyala kecil dengan lama,
secara tak terduga telah menjadi bara api. Mungkin bisa di samakan dengan sebuah perapian yang di bagi dengan orang
lain: jika semua berjalan baik, sebuah tidur yang damai.
Tidak ada kegelisahan, tidak
ada ketakutan.
Tidak ada gemetar dan menangis dalam
kegelapan, tidak ada terbangun berteriak dari mimpi buruk.
Betapa dia mendambakan akan
tidur malam tak terusik.
“A...A...Ak—“
Dia menaikkan suaranya,
terisak dan tersedu.
Dengan tangannya, dia
mengelap dengan cepat air mata yang mengalir dari matanya yang tak dapat
melihat.
Seraya rasa senang yang
bergemuruh dalam hatinya, dia berteriak:
“Aku menyayangimu...!”
Apakah kalimat itu terdengar
olehnya atau tidak, hanya para dewa yang mengetahui.
*****
Hujan telah reda, namun
langit masih penuh akan awan mendung.
Kereta kuda berjalan lurus
melewati dataran dari pusat menuju perbatasan, dari timur menuju ke barat.
Beberapa pergi untuk
berdagang. Beberapa pergi untuk melihat keluarga mereka. Beberapa tinggal,
untuk menghindari mereka.
Beberapa merupakan pionir. Beberapa memiliki mata
sedih seperti seseorang yang di asingkan.
Seperti kebanyakan hal yang terjadi
dalam berbagi kereta kuda, ekspresi senang dan sedih bercampur bebas.
Di antara ekspresi itu,
beberapa mungkin akan menyadari sedikit dari penumpang yang terlihat telah
selesai dari pekerjaannya yang tergambar pada diri mereka. Namun, tidak ada
satupun dari mereka yang ingin mengetahui petualangan macam apa yang mereka
lalui.
Lagipula, itu semua tidak
ada gunanya.
Pembasmian naga mungkin akan
menarik, namun itu hanyalah kisah-kisah legenda, dan tak ada satupun orang yang
akan berasumsi bahwa mereka telah di serang naga.
Seperti itulah keseringan
pekerjaan petualang.
“Mm... Ahh! Menyenangkan
sekali...!”
High Elf Archer meregangkan
tubuhnya dari tempat dia bersandar pada sebuah barang bawaan, mencoba
meringankan rasa kaku pada pundaknya. Telinga panjangnya berdiri senang, dan
dia mengenakan ekspresi santai.
Dwarf Shaman, yang duduk
bersila dan menopang dagunya dengan tangannya, berkata:
“Bahkan pas saat kamu di seret para goblin
dan menangis kayak bayi?”
“Yang penting kita menang,
kan? Dan kita masih hidup. Dan kita dapat hadiah juga!” dia mengeluarkan sebuah
kantong kulit. Berat dari kantong tersebut berasal dari koin emas yang tertumpuk
di dalamnya.
Walaupun hadiah itu tidak
terlalu penting baginya. Itu hanyalah bonus.
“Saja haroes menga’oei, saja
merasa sedi’it menjesal a’an tjermin Gate itoe.” Lizard Priest berkata, ekornya
melingkar di lantai. Dia menyentuh hidung dengan lidahnya seraya dia membalik
sebuah buku catatan. Sebelum mereka menenggelamkan cermin, dia telah menuliskan
catatan akan properti
unik itu sebanyak dia bisa.
“Namoen ‘ita telah mengoempoel’an informasi berharga, menhantjur’an pembang’ang
agama, dan mela’oe’an perboeatan
moelia. Saja soedah tjoe’oep terpoeas’an.”
“Kamu nggak akan dengar
komplain dari ku, selama emas ini bisa memberikan aku makanan enak!”
“Kalian para dwarf—selalu
berpikir lewat perut kalian.”
“Yah, itu memang bagian
terbesar dari kami!”
Perdebatan antara sang
archer dan sang dwarf selalu ceria seperti biasanya.
Di dekatnya, Priestess duduk
dan melihat mereka dengan gembira.
Apa
sudah selesai? Aku rasa begitu...
Dia membayangkan siapa dalang
yang menggunakan cermin Gate
itu untuk menebarkan
ancaman goblin... Namun itu merupakan kisah yang berbeda, kisah yang tidak bisa
di bandingkan dengan apa yang sudah mereka lalui.
“....”
Priestess melirik ke
samping.
Dia di sana, terhimpit dekat
barang bawaan dan sebuah gorden, masih menggenggam pedang dan kepala berhelmnya
tertunduk mengarah lantai.
Tidak lama setelah kereta
kuda meninggalkan kota air, dia tertidur.
“....oh sudahlah.”
Priestess tertawa kecil dan
mengambil sebuah selimut dari tasnya.
Apa salahnya untuk melepas
armor dan helmnya, paling tidak saat dia istirahat?
Dengan lembut Priestess
menyelimutinya di sekitar pundaknya, kemudian duduk di sampingnya tanpa suara. Priestess
melipat telapaknya dan meletakannya di atas lutut, meregangkan punggungnya, dan menaruh
tongkatnya di samping.
Benar: Dia adalah Goblin
Slayer. Jadi apa boleh buat.
Selama goblin adalah
musuhnya, dia tidak akan pernah lengah walaupun hanya sekejap.
Itulah mengapa Priestess
tidak mencoba bertanya apapun padanya. Ketika dia kembali setelah menyelesaikan
laporannya pada Sword Maiden, dia hanya berkata, “Sudah selesai.”
Dan itu sudah cukup. Dan
karena sekarang telah selesai, dia membiarkan pria itu beristirahat.
“Oh?”
Priestess menyadari bahwa
Goblin Slayer memegang sesuatu yang lain selain pedangnya.
Sebuah sangkar kecil—kenari.
Burung itu, layaknya si
pemilik, tertidur, mata tertutup dan bertengger di sebuah cabang.
Sepertinya Goblin Slayer
merawat dengan baik burung itu. Melakukan hal-hal yang tampak benar, benar-benar seperti
dirinya.
“Apa kira-kira dia sudah
memberinya nama atau belum?”
Priestess mengenal Goblin
Slayer. Dia akan merawatnya dengan rajin dan kemungkinan tidak pernah terlintas
bahwa binatang itu memerlukan nama.
Pada saat mereka kembali ke
kota perbatasan, pada saat dia terbangun, Priestess harus segera bertanya
padanya.
Priestess hampir dapat
menduganya berkata: Kenari sudah cukup.
“Hee-hee.”
Tangannya menjulur, secara
hati-hati agar tidak membangunkan dia atau burung itu. Dengan jari kurusnya, dia
mengambil sebuah sehelai bulu yang terjatuh dari burung. Secara perlahan dia menariknya
keluar dari sangkar, memeriksanya dengan cahaya yang tersaring gorden.
Bulu itu bersinar hijau
pucat. Dengan lembut, dia memasangkannya di celah
helmnya.
Bulu hijau pucat itu
terlihat tidak serasi dengan helm kotornya, namun Priestess tidak mempermasalahkannya.
Pria ini tidak akan
mempedulikan sentuhan kecil penuh gaya
ini.
“Kamu sudah bekerja keras,
pak Goblin Slayer.”
“Saat kita sampai rumah...”
Tiba-tiba, sebuah suara
mengalir keluar dari helmnya.
Priestess berkedip beberapa
kali, kemudian mengerucutkan bibirnya
dan berkata, “Ayolah. Kalau kamu bangun, coba bilang.”
“Aku baru bangun.” Suaranya
seraya dia mendengakkan kepalanya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Priestess mengira bahwa dia
sedang tertidur, dan dia menggerutu: “Aku nggak bisa tau dari balik helm itu.”
“Aku mengerti.”
Goblin Slayer mengeluarkan
sebuah kantung minum dari tas dan meminum dua teguk.
Seperti biasanya, dia
meminum melalui celah helmnya, menunjukkan bahwa dia tidak menghiraukan
Priestess.
Atau
mungkin dia nggak akan mengerti kalau aku nggak menyuruhnya secara langsung
buat melepas helmnya.
Dia melirik pada Priestess,
yang sedang menempelkan jari di bibirnya berpikir, dan berkata:
“Saat kita sampai rumah...”
Kalimat yang sama seperti sebelumnya. “ Ada sesuatu yang ingin aku coba.”
“Apa itu?”
“Es krim.”
“Oh...” Priestess berkata
dengan senyum. Lizard Priest merespon dengan segera:
“Es ‘rim! Dapat’ah saja
bergaboeng dengan anda dalam mentjoba ma’anan ini?”
“Kalau kamu mau, aku nggak keberatan.”
Goblin Slayer berkata dan setelah beberapa saat berpikir, menambahkan. “Itu
terbuat dengan susu.”
“Oh-ho! Madoe manis!”
Ekornya menghentak lantai
akan kereta kuda dalam kebahagiannya, menarik perhatian gelisah dari sang kusir
dari balik gorden.
“Ma-maaf, ng-nggak ada
apa-apa kok. Maaf soal ini!” Priestess dengan cepat menunduk minta maaf dan
meminta rekannya untuk lebih tenang.
Meletakkan tangannya di dada
dan menghela. Syukurnya mereka tidak
di usir dari kereta kuda.
Seperti menghiraukan
Priestess, Dwarf Shaman tertawa lebar dan menepuk perutnya.
“Ho, Beardcutter! Berencana
untuk makan dan nggak mengundang seorang dwarf?”
“Haruskah?”
“Harus dong!”
Goblin Slayer memutar
helmnya pada udara kosong dan membuat suara pelan kemudian mengangguk.
“Kalau begitu, gabunglah
dengan kami.”
Dwarf Shaman bertanya akan
bagaimana Goblin Slayer cara untuk membuat es krim ini, yang di mana Goblin
Slayer menjelaskan dengan tangannya. Lizard Priest mengacungkan jari
bercakarnya menawarkan ide, yang di mana Goblin Slayer merespon, “Kalau begitu,
kita harus...”
Goblin Slayer biasanya
selalu segan dan berusaha untuk
membuatnya agar lebih terbuka sangatlah sulit. Namun...
“Ya ampun...”
...Di sini, sekarang, jelas
terlihat bahwa dia merupakan pusat perhatian.
Pikiran itu menyebarkan rasa
hangat yang menyenangkan melewati dada kecil Priestess.
“Oke!” Dia memutuskan, mengangkat tangannya
ringan. “Pak Goblin Slayer, aku boleh minta juga, kan?”
“Aku nggak keberatan.”
Dia
nggak keberatan. Priestess tertawa kecil dan melirik pada
High Elf Archer.
High Elf Archer duduk di
depan Goblin slayer, menatap ke arah lain, telinganya gelisah.
Walaupun ini bukanlah sebuah
pertanda bahwa dia menyadarinya, Goblin Slayer berkata:
“Bagaimana denganmu?”
“....” Telinganya melompat
kembali. “ Yeah. Aku minta juga.”
“Aku mengerti.” Goblin
Slayer berkata, kemudian menambahkan tajam. “Kalau hasil jadinya nggak bagus, jangan tendang
aku.”
“Erk...”
Apa
dia dendam?
Tidak, tidak mungkin. High
Elf Archer sedikit mendengus.
Pasti. Tentu saja. Goblin
Slayer bukanlah tipe yang pemarah,
walaupun Elf yang penuh semangat ini telah
menendangnya. Yang di mana orang biasanya akan marah.
Setelah beberapa saat, High
Elf Archer menghela panjang dan enggan
untuk menatapnya.
“Iya, oke. Nggak ada
tendangan. Jadi...kumohon?”
“Ya.”
Helm baja mengangguk ke atas
dan ke bawah sekali.
Priestess berpikir kira-kira
kapan dia akan menyadari bulu hijau muda yang ada di
helmnya.
Mungkin pada saat mereka
masih dalam kereta kuda, mungkin ketika mereka telah sampai di kota, mungkin
sampai dia melepaskan helmnya.
Apa yang akan dia lakukan
ketika dia menyadarinya? Apa dia akan marah, atau tertawa, atau mungkin tidak
mempedulikannya?
High Elf Archer, tidak
menyadari Priestess yang sedang berimajinasi, menyipitkan matanya layaknya
seekor kucing.
“Aku nggak begitu tertarik
dengan pembasmian goblin.”
Dia mengambar lingkaran di
udara dengan jarinya, telinga panjangnya naik dan turun.
Mereka telah pergi ke dalam
beberapa reruntuhan bawah tanah, telah terperangkap dan keluar lagi. Mereka
telah bertarung dan mengalahkan monster aneh dan menemukan artifak tak
ternilai. Mereka mengendarai kereta kuda bersama.
Dari pusat menuju perbatasan.
Dari timur menuju ke barat.
Agar mereka dapat kembali
pulang setelah petualangan mereka usai.
“...Tapi aku rasa nggak
jelek juga.”
Mungkin dia tidak dapat
mengutarakan dengan benar apa yang dia rasakan. Mata kenari terbuka, dan berkicau riang.
Spesial Note from Translator :
Di chapter ini saya mencoba
untuk mengubah penulisan dialog Lizard Priest. dari yang biasanya saya selalu
menggunakan bahasa formal untuk dialognya, kali ini saya coba memakai bahasa
tempo dulu.
Kenapa?
Karena dalam LN ini Lizard
Priest selalu menggunakan bahasa yang saya secara pribadi menyebutnya “Bahasa
Inggris halus/sopan”. Saya merasa tidak ada perubahan yang terlalu mencolok
antara dialog formal Lizard Priest yang sebelumnya saya selalu gunakan dengan
narasi.
Dan saya pun berpikir
bagaimana cara agar bisa lebih mencolok perbedaannnya. Pada akhirnya, layaknya
detektif conan yang sudah menemukan sebuah petunjuk *Desiiiiiiinnnnnnngggg!!!!
sayapun mendapatkan wahyu.
Apa kalian kesulitan
bacanya? Apa kalian suka atau tidak suka? Tolong tuliskan pendapat kalian di
kolom komentar di web ini ataupun di FB. Apakah kalian ingin Lizard Priest dialognya
tetap atau di rubah.
Kalau tidak ada yang
komentar, maka saya akan berasumsi bahwa kalian sebagai pembaca menyukainya dan
saya akan merubah dialog Lizard Priest untuk seterusnya.
Bagi yang kesulitan membaca
dialognya, di bawah ini merupakan perbedaan huruf antara tempo dulu dengan
sekarang.
1. J
= Dj
2. Y
= J
3. C
= Tj
4. U
= Oe
5. Ny
= Nj
6. Sy
= Sj
7. Kh
= Ch
8. K
= ‘
Oh ya, saya juga berencana
akan nambah Ln yang akan saya translate. Sebenarnya saya ingin translate
overlord dan tensei slime.....(Saya lupa namanya.) Tapi berhubung sudah ada
yang translate sampai jauh, jadinya saya urungkan niat. Saya cukup suka tema
isekai, jadi saya kepikiran mungkin kumo desu ga nani ka, New Gate, yasei no
last boss ga arawareta, atau mungkin yang lainnya. Ada yang mau kasih saran?
Dan juga ada satu hal yang
saya ingin lakukan perihal Goblin Slayer. tapi ini masih wacana saja, belum
tahu pasti apa bisa terealisasi di karenakan kurangnya waktu dan bakat. Jadi
masih rahasia, teheee....
Dan terakhir, saya sadar apa
yang saya translate masih jauh dari sempurna. Dari segi penyampaian inggris ke
indo, susunan bahasa, dan yang lainnya. Jadi saya mohon maaf kalau mungkin ada
kalimat yang sulit di mengerti atau salah pengartian.
Itu saja yang mungkin saya
mau sampaikan.
Sampai ketemu di jilid 3!
By yours truly.
10 Comments
di jepang udah berapa volume novelnya?
BalasHapusDi jepun setau saya sudah sampe jilid 7. Sedangkan untuk translate inggrisnya baru sampai jilid 4.
Hapusntaps
BalasHapussemangat min... jangan jasih kendor.. hehe..
BalasHapuskau yang terbaik min... mudah di baca translate mu.apa mimin sedang membuat novel juga?? kalau ada judul nya apa tuh?? wkwkwkwk
Makasih mas.. :) waduh kalau untuk buat novel, saya g punya bakat merangkai kata mas... :D. mbak hikari itu punya novel karangan orisinilnya sendiri di wattpad.
HapusWeks, karya orisinilku ancur, Mas. Jadi nggak masuk itungan, ya
HapusJadi g di lanjutin lagi?
HapusKalo Goblin Slayer sih, lanjut terus. Bahkan Mas Zerard tancap gas bnget ngerjainnya XD . Klo soal karya orisinilku sih... ...'antara ada dan tiada' kyknya...ahahaha~
HapusSemanagatt min
BalasHapusrequest hataraku maou sama min
BalasHapusmasa webnya pake wajah yusa tapi malah g translate LN nya
Posting Komentar