MONSTER YANG TIDAK BOLEH DINAMAI
(Translater
: Zerard)
“Waktu aku mengatakan berbahaya,
maksudku—makhluk itu.” Dwarf Shaman
berkata ketika para penjelajah berkumpul keesokkan harinya.
Di bagian terdalam
katakomba, mereka menemukan sebuah ruangan seperti gereja.
Bangku-bangku yang di ukir
dari batu mengisi ruangan kecil itu, dan pada ujung ruangan terdapat sebuah
altar. Sebuah cermin panjang terpajang di sebuah dinding, anehnya permukaannya
berair. Cermin tersebut sangatlah besar, hampir sebesar perisai perang. Kemungkinan
benda ini adalah sebuah benda pemujaan.
Jika begitu, maka tempat ini
adalah sebuah kuil atau paling tidak sebuah tempat suci.
Mereka telah menuruni tangga
tersembunyi tersebut, yang terus turun dan turun hingga, pada akhirnya, kembali
naik. Dan di bagian yang terjauh dari lorong ini.
Dan masalahnya—sesuatu yang
berbahaya—berdiri di sana.
“Ap-apa...itu...?” Priestess
bertanya dengan suara pelan, mengintip dari bayangan lorong.
Telinga High Elf Archer
terjatuh lemas, menggeleng kepalanya.
“Kami nggak tau. Tapi...Aku
pikir itu seekor eyeball” (TL Note : eyeball = bola mata)
Jika di lihat sekilas,
memang benar terlihat seperti sebuah bola mata yang terbang.
Mata raksasa yang hampir
setinggi seseorang. Melayang di atas lantai, menunggu para petualang di
tengah-tengah ruangan.
Monster yang terdiri dari
berbagai macam pupil mata melirik kesini dan kesana. Dari kelopak matanya—jika
kamu bisa menyebutnya seperti itu—tumbuh sebuah peraba yang menggeliat. Terdapat
banyak pada setiap bagian ujung dari setiap mata. Masing-masing dari peraba itu
terlihat seperti versi miniatur dari mata utamanya yang sulit untuk di jabarkan,
dan masing-masing dari peraba tersebut berkelip menjemukkan. Dan mulutnya penuh
akan taring layaknya seekor kucing besar. Makhluk ini sama sekali tidak
terlihat bersahabat.
Makhluk tersebut pasti telah
menyadari mereka yang mengintip dari lorong, namun tidak menunjukkan reaksi
apapun. Tampak sangat mustahil bahwa makhluk ini tidak melihat mereka. Hanya
saja makhluk ini belum menganggap mereka sebagai ancaman.
Benar-benar tidak suci,
makhluk dari dunia lain, sebuah kutukan dalam tempat suci ini.
“Dari penampilannya, Saya
berani bertaruh bahwa makhluk itu pastilah agen kekacauan.” Lizard Priest
berkata, menyipitkan matanya tidak senang. “Paling tidak, makhluk itu tidak di
ciptakan oleh dewa hukum manapun.”
“Ini mungkin akan jadi reputasi
yang bagus buat kita kalau kita bisa membunuhnya, tapi kita nggak yakin makhluk
apa itu.” Dwarf Shaman menggerutu.
“Itu salah satu dari monster
yang...yang namanya nggak boleh di sebutkan.” Priestess membalas, merinding.
Pada sebuah petualangan, ada
beberapa hal yang lebih berbahaya di banding dengan menantang lawan yang tidak
kamu ketahui. Jika kamu tidak bisa membentuk garis depan dan belakangmu, maka
akan lebih buruk.
Tiga dari para penjelajah
telah bertemu secara langsung dengan makhluk aneh ini ketika mereka sedang
menginvestigasi reruntuhan di hari sebelumnya. Lizard Priest lah, yang
merupakan petarung terbaik mereka, yang memerintahkan untuk menghindari
pertarungan dan memutuskan untuk mundur sementara di hari sebelumnya.
Bukankah ini sudah sedikit
berbeda dengan pembasmian goblin? Dan bukankah mereka seharusnya bertanya
kepada pemberi quest mereka, Sword Maiden, untuk instruksi darinya?
“Nggak masalah,” Goblin
Slayer bergumam tanpa ragu. “Ini masih pembasmian goblin.”
Setelah itu tidak ada yang
mendebatnya. Party mereka sebenarnya tidak ingin turun ke bawah sini.
Namun petualang mana yang
tidak sering terjun ke dalam bahaya yang tidak di ketahui? Secara hati-hati
tentunya.
Sekarang, memperhatikan
makhluk itu di dalam gereja, Goblin Slayer berkata, “Giant Eye cukup untuk jadi
nama.” (TL Note: giant eye = mata besar)
“Kamu ini nggak kasih nama
yang lebih sederhana lagi ya?” Dwarf Shaman berkata dengan sedikit sarkasme.
“Menyebut monster bermata
banyak sebagai Giant Eye.” Lizard Priest berkata, matanya berputar terhibur.
“Nggak jelek. Aku setuju dengan
itu.” High Elf Archer mengangguk, telinganya berayun. Dia memasang panah pada
busurnya dan menarik benangnya perlahan.
“Jadi,” kata Priestess,
memeluk erat tongkatnya, “Apa rencana untuk Giant Eye....ini? Aku rasa kita
harus mulai dengan Protection?”
Tidak ada yang keberatan
dengan sarannya.
“Jika begitu, seperti yang
sudah sering kita lakukan, ijinkan saya sebagai pemain depan. Semakin banyak tank,
semakin baik.” (TL Note: Tank = istilah gaming yang di artikan sebagai pemain
depan yang menahan gencaran musuh. Kalian yang gamer pasti taulah)
“Aku berdiri di sini dan
menembak seperti yang biasa aku lakukan, oke?”
“Terus bagaimana dengan aku..?”
Dwarf Shaman membelai jenggotnya dan menatap ke langit-langit. Beberapa akar
pohon telah menyebar menembus batu tua. Party mereka kemungkinan berada di luar
kota sekarang, tidak lagi di bawah jalanan kota air. Tumbuh-tumbuhan telah
tumbuh di sekitar permukaan yang entah memakan berapa tahun hingga tembus
sampai ke bawah sini. Sebelum beberapa abad berlalu, reruntuhan ini mungkin dulunya
adalah sebuah pohon.
Adalah merupakan sebuah
pengingat: Bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan waktu.
“Gimanapun kamu melihatnya,
itu memang Giant Eye.”
“Ngelawak, dwarf?”
“Cerewet, telinga panjang.
Aku serius.”
Dwarf Shaman muram
menghiraukan ejekan elf.
Naga menghembuskan api,
harpy bernyanyi, dan ular memiliki racun mereka... Giant Eye tentu dapat
melihat.
Seseorang tidak akan selamat
jika meremehkan tentakel-tentakel yang menggeliat itu, ataupun mata jahat yang
berada di baliknya.
“Kita halau penglihatannya.”
Goblin Slayer berkata. “Aku nggak peduli caranya. Kamu bisa lakukan?”
“Pastinya.” Mengangguk,
Dwarf Shaman merogoh tas berisikan katalisnya, kemudian meyebarkannya di lantai
di bawah kakinya. “Gnome memang bagus. Tapi gimana kalau aku gunakan Spirit
Wall?”
“Baiklah.”
Dwarf Shaman mengangguk
sigap dan menepuk perutnya.
Perbincangan mereka
berakhir, Goblin Slayer memeriksa senjata dan perlengkapan miliknya.
Semuanya terlihat seperti
akan berfungsi seperti seharusnya. Dia mengikat erat perisai kecil di lengan
kirinya; pedang yang di tancapkannya di lantai sangat bagus untuk di gunakan di
tempat yang sempit. Semua yang ada di dalam tasnya lengkap. Dan yang paling
terakhir, helm kotornya.
Ini merupakan barang-barang
murahan untuk seorang petualang. Bahkan para pemula memiliki perlangkapan yang
lebih baik.
Namun bagi mereka yang
mengenal siapa pria ini, mereka tidak akan pernah meremehkan dirinya. Goblin
Slayer memiliki semua yang dia butuhkan.
“Kamu bisa coba tampil sedikit lebih keren.” High Elf Archer
berkata dengan tawa kecil.
“Yeah...” Priestess berkata,
mengerutkan wajahnya berpikir, sebelum menepuk tangannya. “Aku tau! Gimana
kalau sebuah bulu di helmmu pak Goblin Slayer?”
“Nggak tertarik.”
Dia menolak masukan para
gadis, kemudian berdiri.
High Elf Archer terkejut
melihat sebuah lentera yang menggantung di pinggul Goblin Slayer.
“Hey Orcbolg. Nggak pakai
obor hari ini?”
“Ada sesuatu yang mau aku
coba. Api Cuma akan menghalangi.” Dia berkata dan secara perlahan menutup
jendela lentera. “Ayo.”
Pada sinyalnya, para petualang
membanjiri ruangan dan mengambil posisi bertarung mereka seperti biasanya.
Dwarf dan Priestess berdiri di belakang, memfokuskan diri mereka agar mereka
dapat mempersiapkan mantra dan doa mereka.
Pada awalnya, sang Giant Eye
hanya menatap bosan pada para penyelundup.
Adalah Priestess yang
pertama menyadari bahwa ini adalah cara makhluk tersebut menyerang.
“O Ibunda Bumi, yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah
perlindungan kepada kami yang le—Ahh!”
“BEBEBEBEBEBEHOOOOOO!!”
Mata Priestess terbelalak
seraya dia terlempar ke udara di karenakan sebuah gelombang kejut tak terlihat.
High Elf Archer berteriak
memanggil Priestess seraya Priestess terlempar, berguling dan terjatuh.
“Kamu nggak apa-apa?!” Dia
berteriak keras, berusaha berlari seraya mempertahankan posisi menembak.
Priestess duduk, terengah-engah.
“I...iya...” Pucat dan
berlutut, dia mengangguk.
Tatapan brutal telah memutus
paksa benang yang menghubungkan jiwanya dengan para dewa di atas. Terasa
seperti jiwanya lah yang terkena serangan, dan jiwanya terasa sakit.
Namun itu bukanlah yang
membuatnya panik ketika dia berdiri, masih bertopang pada tongkatnya.
“Aku nggak... Aku nggak bisa
gunakan mantra...!”
Jeritan terngiang pada party
mereka. Mereka memiliki dua priest dan seorang shaman. Lebih dari setengah
party mereka adalah pembaca mantra. Kemampuan untuk menggunakan sihir merupakan
urusan hidup dan mati bagi mereka.
“Pasti ulah mata itu!” Dwarf
Shaman berteriak, mengeratkan giginya. “Beardcutter jangan beri ampun!”
“Tentu saja.”
Seraya dia berbicara, Goblin
Slayer mengeluarkan sebuah telur dari tasnya dan melemparkannya kepada makhluk
itu. Telur itu melesat lurus tepat pada sasarannya, pecah menjadi asap hitam
kemerahan—gas air mata.
“OOOOOODEEARARARARARA?!?!”
Asap-asap pedis itu terbang
masuk ke banyak dari matanya, menghasilkan jeritan kesakitan dari sang monster.
Tentu saja, Giant Eye merupakan musuh yang berbeda dengan goblin manapun, dan
trik ini tidaklah cukup untuk menimbulkan kerusakan.
Akan tetapi—
“Baiklahhhh, giliranku!”
—ini sudah lebih dari cukup
untuk memberikan mereka giliran untuk menyerang.
Dwarf Shaman melangkah maju,
mengambil segenggam pasir dari tasnya dan melemparkannya ke udara dengan
gerakan yang terlatih.
“Keluarlah kalian gnome, ini saatnya untuk membangun! Isilah keseluruhan
lahan kosong di bumi ini! Tak gentar angin dan tak gentar ombak—sebuah dinding
kokoh untuk menghalaunya!”
Dia melemparkan debu seraya
dia melantunkan mantra.
Kemudian Dwarf shaman
menjatuhkan apa yang terlihat seperti sebuah dinding batu versi mainan anak
kecil di lantai.
Dinding batu itu tumbuh
seraya mereka memperhatikam, hingga sebuah tembok bumi kokoh berdiri di depan
mereka.
Spirit Wall hampir sama
dengan Protection, namun lebih mengambil sisi fisik di banding dengan sisi
rohani. Dan tidak seperti Protection, adalah sangat mustahil untuk bisa melihat
sisi di balik Spirit Wall.
“Gimana menurutmu?”
Sepertinya dia telah
mendapatkan perhatian dari Giant Eye, yang telah berhasil menghilangkan gas air
mata.
Tentakel menggeliatnya
menyerang Spirit Wall berkilau berbahaya.
“BEEEEEHOOOOOLLLL!!”
Dan dengan sekejap, sebuah
cahaya menyilaukan mengisi ruangan suci ini.
“Hrrrg—!”
“Ini tidak cukup!”
“Hu—Ap—?!”
Goblin slayer dan Lizard
Priest berteriak dan melompat kebelakang. Dwarf Shaman mendengus.
Sebuah garis tunggal merah
menyinari permukaan Spirit Wall, mendidihkan seraya mereka memperhatikan,
melelehkannya....
“Panas—!”
“Ahh tidak!”
Priestess menjerit seraya
dinding yang meledak membuatnya terhempas. Dwarf Shaman membantunya sebaik yang
dia dapat lakukan seraya berusaha melarikan diri dari puing-puing. Tidak lama
setelah berhasil menembus pelindung mereka, cahayanya menghilang. Meninggalkan bekas
luka bakar di lantai gereja.
Heat vision? Tidak...
Ini merupakan bentuk
Disintegrate kuat yang di tembakan oleh salah satu mata Giant Eye. (TL Note: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/disintegrate)
“Mata jahanam itu mampu akan
Dispel dan Disintegrate!” Bahkan petarung jarak dekat mereka yang hebatpun,
Lizard Priest, hanya mampu menjaga jaraknya. Tidak peduli seberapa keras
sisiknya, sisik itu tidak dapat menangkis Disintegrate. Dia ingin memanggil
seekor Dragontooh Warrior untuk di jadikan semacam dinding, namun terlihat
jelas bahwa Giant Eye hanya akan menatapnya dan men-dispelnya.
Dan juga, menyerang dengan
cakar dan taring dan ekornya, menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah
senjata, membuat terpapar akan resiko sinar panas.
“A-apa yang harus kita
lakukan terhadap mahkluk ini?!”
“Untuk sekarang, mundur!”
Sementara High Elf Archer
berusaha untuk menyerang, respon Goblin Slayer sangat tajam dan pasti. Dia menggengam
pedang di tangan kanan dan mengangkat perisai di kirinya, berdiri di depan
Dwarf Shaman dan Priestess.
“Baik...!”
Sang elf berusaha berlindung
di belakangnya juga, mengambil beberapa langkah dengan sebuah lompatan.
“BEBEBEBEBEBEBEBEBEHOO!!”
“Hwa?!
Dia melompat untuk
menghindari benturan di dekat kakinya. Sinar panas telah memotong beberapa
helai rambutnya, dia menyumpat satu atau dua kali dalam bahasa elf. Terguling
dengan kasar namun berhasil berada di belakang Goblin Slayer.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Huh?!” High Elf Archer
tersentak, telinga panjangnya merinding terkejut. “Aku nggak apa-apa... Terima
kasih.”
“Aku mengerti.”
“Ini benar-benar sebuah
masalah....” Lizard Priest, yang merayap untuk menghindari sinar panas, Menghela
nafas besar.
“BEEHOHOHOHO...”
Giant Eye tidak menunjukkan
tanda untuk melanjutkan serangan, sepertinya tampak puas karena telah berhasil
mengusir para petualang keluar dari gereja. Dia kembali melayang menuju tempat
dia berdiri sebelumnya, memperhatikan pintu masuk kembali.
“Sepertinya...selama kita
nggak...masuk ke ruangan...dia nggak akan menyerang kita.” Priestess berkata, terengah-engah
dan bersandar di srbuah dinding. “Dia pasti...melindungi tempat ini.”
“Itu nggak penting sekarang.
Istirahat... Ini, air.”
“Oh, Te-terima kasih...”
High Elf Archer membasahi
bibirnya dengan satu atau dua teguk dari minumannya, kemudian memberikannya
kepada Priestess. Gadis muda itu mengambilnya dengan kedua tangan, kemudian
minum dengan hati-hati, menelannya tanpa suara.
“Aku rasa...kalau dia nggak
bisa melihatku, aku bisa melakukan keajaiban...”
“Tapi kalau kita muncul
sedikit saja, aku yakin dia akan melihatmu.” Dwarf Shaman tidak berusaha
menyembunyikan rasa frustrasinya seraya dia duduk dengan kasar. “Kita nggak
bisa gunakan mantra, dan dia punya sinar panas dan hal ektrim lainnya yang
melebihi kemampuan kita bersama. Kita nggak bisa menang!”
”Masih belum” Goblin Slayer
berkata, mencari sesuatu di dalam tasnya. “Ada sesuatu yang mau aku coba.”
“Aku cuma mau
mengingatkanmu, api, air, dan racun di larang.”
“Aku ingat.” Goblin Slayer
berkata tenang kepada High Elf Archer yang menyipitkan mata kepadanya. “Aku
nggak membawa apapun yang bisa membuat api atau air. Dan aku ragu racun akan
berfungsi.
High Elf Archer sedikit
mengendus dan bergumam, “Oke.” Mengayunkan telinganya.
“Untuk berjaga-jaga, kita
ada di luar wilayah kota, kan?”
“Aku rasa begitu,” Dwarf
Shaman berkata, memfokuskan telinganya, dan memiringkan kepalanya. “Kita sudah
jalan cukup jauh, dan hawa di sini jelas terasa berbeda.”
“Nggak ada masalah kalau
begitu.”
“Jika begitu sudah di
putuskan,” Lizard Priest berkata, menepuk kedua tangannya. “Di karenakan kita
tidak memiliki ide cemerlang lainnya dan kita harus memusnahkan makhluk
terkutuk tersebut, kita akan berharap pada taktik tuanku Goblin Slayer.”
“Terima kasih.” Goblin
Slayer mengangguk helmnya berputar kepada High Elf Archer. “Aku perlu perhatian
makhluk itu teralihkan, untuk beberapa detik. Aku perlu seseorang untuk masuk
ke dalam dan mulai berlari. Kamu bisa lakukan?”
“Serahkan padaku!” High Elf
Archer mengangguk antusias, telinganya naik dan turun gembira.
“Kamu bisa pakai Stupor? Aku
nggak mau makhluk itu menggunakan sinar panasnya.”
“Dari sini?” Dwarf Shaman
membelai jenggotnya, kemudian mengacungkan jempolnya dan menutup sebelah mata.
Dia menjulurkan lengannya
mengarah Giant Eye di dalam gereja seakan-akan membidik, mengukur jarak.
“Dari jumlah batu ubinnya,
aku rasa...ya. aku rasa aku bisa!” Dia tersenyum dan menepuk perutnya
seakan-akan ingin menyemangati dirinya.
Bagus.
Goblin Slayer mengangguk dan berputar
mengarah Lizard Priest.
“Kita butuh Dragontooth
Warrior. Satu cukup. Kamu bisa lakukan?”
“Saya sedikit khawatir
dengan Dispel itu...”
“Aku akan pastikan makhluk
itu nggak bisa melihat.”
“Tanpa mata jahat itu, saya
rasa bisa di lakukan. Serahkan pada saya.” Dia memutar matanya dengan rasa senang.
“Terakhir,” Goblin Slayer
berkata, melihat kepada Priestess, “Ketika aku berikan sinyal, aku mau kamu
gunakan Protection di pintu masuk.”
Dia menelan liurnya dan
menatap Goblin Slayer tepat di helmnya.
“Bisa kamu lakukan?”
“....Ya, pak! Aku bisa!” Dia
menggenggam tongkatnya erat dengan kedua tangannya dan mengangguk yakin. “Ayo
lakukan!”
Dengan begitu pertarungan di
mulai.
“Yah, kalau yang harus aku
lakukan cuma menghindar agar nggak terbakar...”
Giant Eye melihat High Elf
Archer seraya dia berlari masuk ke dalam ruangan, secepat seekor kuda. Dia
menggerakan kaki langsingnya, berlari di atas bangku mengelilingi ruangan.
Giant Eye melayang di udara,
tatapannya mengikuti gerakan High Elf Archer secara harfiah. Matanya mulai
memancarkan sinar berbahaya.
“BEBEBEBEBEBEBEHOHOOOOOOOOL!!”
“Ohhh sial, ini dia, ini
dia....”
Berteriak dengan suara
terlalu tinggi untuk menjadi keletah dan terlalu pelan untuk menjadi jeritan, High
Elf Archer melompat menghindari. Tentu saja, bahkan elf tidak lebih cepat dari
kecepatan cahaya. Menghindari mata itu seraya mata itu berusaha membidik? Itu merupakan cerita yang berbeda.
Sinar itu memancar tanpa
suara, membakar bayang-bayang High Elf Archer ke dalam dinding kuno dan lantai.
Ada
sedikit kepuasan dalam hal ini, dia berpikir,
tersenyum seraya dia berdansa dengan lincah menghindari.
Kakak perempuannya atau
keponakkannya, mereka berdua lebih berpengalaman di banding dengan dirinya, dan
mungkin dapat melakukan yang lebih dari ini. Seharusnya mudah bagi mereka untuk
menembak Giant Eye seraya menghindari dari Disintegrate.
Masih banyak yang perlu High
Elf Archer perlu pelajari. Tapi dia bukanlah yang pertama dari ras nya yang
mengambil pilihan menjadi petualang.
Dia tahu bahwa dia memiliki
banyak waktu. Waktu selalu berada di sisi seorang elf. Paling tidak, selama dia
tidak membiarkan dirinya terbunuh.
Itu artinya masa depan tidak
begitu penting di bandingkan memfokuskan segala yang dia miliki pada saat ini
juga. High Elf Archer meloncat dengan anggun di sekeliling ruangan tanpa
khawatir, tanpa takut.
Tidak ada hal lain yang
dapat lebih membuat jengkel Giant eye.
“OOOOOOLLLDER!!”
Mata utamanya berputar lebih
cepat, berusaha meluncurkan serangan yang lebih banyak dan lebih akurat.
“Oh-ho! Itu baru telinga
panjangku! Dia sepertinya bakal baik-baik saja!”
Ini artinya perhatian
makhluk itu teralihkan—semuanya—dari Dwarf Shaman, yang tertawa riang dekat
pintu masuk gereja.
Dia menggapai tasnya dan
mengeluarkan kendi yang penuh akan anggur. Sebuah aroma wangi mengalir keluar
seraya dia membuka penutupnya dan melemparnya kebelakang dengan begitu cepatnya
hingga beberapa tetes terjatuh di jenggot panjangnya.
Dia meminumnya, kemudian
mencipratkannya dengan lincah ke udara.
“Minum
tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan para roh menuntunmu! Bernyanyi
dengan lantang, melangkah dengan cepat, dan pada saat kamu tertidur mereka akan
melihatmu. Semoga sebotol fire wine menyambutmu dalam mimpi!”
Dan benar, kumpullan para roh
memutari ruangan dan mengelilingi Giant Eye.
“BE....DERRRR....?”
Makhluk itu mulai terlihat
semponyongan di udara, dan terlihat akan terjatuh ke lantai.
Tidak ada yang dapat
mengetahui apa yang di mimpikan agen kekacauan ketika mereka tertidur.
“Ahh.”Dwarf Shaman berkata riang,
“Lihat apa yang bisa di lakukan seorang pria kalau dia nggak di tatapi oleh
mata kematian yang melayang.” Dia mengelap mulutnya dengan sarung tangannya.
“....Bagus.” Dengan
anggukkan Dwarf Shaman, Goblin Slayer melangkah masuk kedalam gereja. Gerakannya
tidaklah seringan High Elf Archer, akan tetapi masih terlihat lincah untuk
seseorang yang menggunakan full armor.
Seraya dia berlari, dia
mengambil sesutau dari sebuah kantung yang dia keluarkan dari tasnya. Tidak
lama kemudian, sebuah jejak debu putih padat menlayang di belakangnya.
“Apa itu, Orcbolg?” Tanya
High Elf Archer.
“Tepung gandum. Jangan di
hirup.”
“Aku yakin aku nggak tau apa
yang ada di pikiranmu, tapi paling nggak kamu bisa katakan itu lebih awal.”
Dia cemberut dan menutup
mulutnya, namun Goblin Slayer menghiraukamnya seraya dia menyebarkan tepung
gandum ke segala penjuru.
Tidak lama kemudian
keseluruhan chapel penuh sesak terisi dengan tepung itu.
Sekarang Giant Eye yang
tertidur—bersama dengan semuanya yang berjarak satu inch di depan mukanya—tersembunyi
dari pandangan.
“Ho, Beeardcutter, telinga
panjang! Mantranya nggak akan bertahan lebih lama lagi!”
Sebelum Goblin Slayer dapat
menjawab sang dwarf, Higj Elf Archer bergerak.
“Lewat sini, Orcbolg!”
Indra para elf yang tinggi
dapat membuatnya bergerak tanpa perlu melihat. Goblin Slayer mengikuti suara
jernih itu keluar dari gereja.
“Hrrah!”
Seraya Goblin slayer keluar,
Lizard Priest melangkah maju, melempar beberapa buah taring di dalam pintu
masuk. Tulang-tulang itu dengan cepat tumbuh dan bergabung, menjadi sesosok pejuang
dengan pedang dan perisai. Para petualang sudah cukup terbiasa dengan tulang
yang mengerikan ini sekarang, dan tulang ini masuk ke dalam gereja tanpa suara.
Memperhatikannya menghilang
dalam kabut kapur mentah, Lizard Priest membuka mulutnya.
“Tuanku Goblin Slayer, Saya
percaya akan Dragontooh Warrior saya, namun bahkan dia pun tidak dapat bertahan
menghadapi Disintegrate.”
“Nggak masalah,” Goblin
Slayer berkata dan berputar kepada High Elf Archer dan Priestess. “Tembakkan
panah. Kalau kamu bisa mengenai monster itu, itu sudah cukup.”
“Tapi itu akan menghilangkan
efek Stupor.”
“Nggak masalah. Kemudian
kamu langsung gunakan Protection di pintu masuk.” Dia melanjutkan dengan
tenang: “Peranmu sangat penting. Kalau kamu bimbang, kita semua akan mati.”
“B-baik, pak!” Dia
mengangguk seyakin yang dia bisa, memeras eras tongkat dengan kedua tangannya.
“Kamu benar-benar nggak bisa
sampaikan dengan cara lain ya?” High Elf Archer menggerutu, namun dia memasang
panah pada busurnya. Benang laba-laba berbisik seraya dia menariknya kuat, memfokuskan
bidikan akan sasaran cabang pohon itu.
Pemanah Elf tidak membidik
dengan mata, namun dengan pikiran.
“.....!”
Panah terbang; mereka bahkan
tidak bisa mendengar panah itu terbang memotong udara, hanya melihat
bayang-bayang berlalu seraya menembus asap debu.
Namun dia tidak perlu
melihat apapun untuk mengetahui apa yang terjadi.
“Aku mengenainya!”
“O Ibunda Bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu, berikanlah perlingdungan
kepada kami yang lemah....!”
Kali ini Ibunda Bumi dapat
memberikan keajaibannya kepada doa pengikutnya yang rendah hati.
Sebuah dinding tak terlihat
mensegel pintu masuk gereja. Dwarf Shaman berkedip beberapa kali.
“Bubuk itu—ruang tersegel—tunggu
dulu, kamu nggak bermaksud—”
Goblin Slayer berteriak:
“Tutup telinga, buka
mulutmu—dan menunduk!”
*****
“BE...HOOLLLLOOHOHOHOHO!!”
Giant Eye terbangun dari
efek Stupor oleh rasa sakit menusuk yang tiba-tiba.
Makhluk itu mendapati salah
satu matanya telah tertembus oleh sebuah panah. Terdapat debu di segala
penjuru: makhluk itu hampir tidak dapat melihat.
Namun dia dapat melihat
sesosok tubuh manusia yang datang menuju dirinya, senjata di tangannya. Apakah
para penyelundup ini tidak pernah belajar? Jika makhluk ini mempunyai sesuatu
yang di sebut dengan sebuah perasaan, kemungkinan makhluk tersebut akan cukup
jengkel saat ini.
Dia bergerak, membuka
matanya lebar dan membidik dengan mata tentakelnya. Disintegratenya yang
mengerikan mengumpulkan cukup panas untuk melancarkan serangan kritikal, dan
cahayanya mulai bersinar...
“LDEEEEERRRRRRRRR!!!”
Pada awalnya, Priestess
tidak mengetahui apa yang terjadi.
Dia mengira bahwa tempat ini
telah tersambar petir.
*****
Sebuah ledakan.
*****
Dia mendengar beberapa suara
letusan; kemudian ruangannya telah benar-benar terselimuti dengan bola api.
Seraya api menyebar, api menghancurkan segalanya yang ada di gereja, dengan
begitu ganas dan raungan akan gejolak panasnya.
“Hu—ah!”
Priestess menutup wajahnya;
bahkan di balik perlindungan Protection, hawa panasnya cukup untuk membakar.
Pada ujung penglihatannya
yang terbatas, dia dapat melihat High Elf Archer meringkuk menjadi bola dan
berusaha menutupi telinganya. Debu jatuh dari langit-langit, dan reruntuhan
bergetar dengan begitu hebatnya membuatnya mengira reruntuhan ini akan runtuh.
Akhirnya asap yang mengepul
mulai menghilang.
“....Lihat,” Goblin Slayer
berkata pendek. Dia berjongkok namun tidak terpengaruh.
High Elf Archer dengan menurut
mengintip ke dalam gereja dan melihat Giant Eye masih berada di sana.
Di atas.
Makhluk itu pasti telah
terlempar ke atas dan terhempas masuk kedalam langit-langit akibat ledakan.
Tentakel hitam monster itu menggeliat dengan lemah. Satu persatu tentakel itu
terkulai lemas, seakan-akan seperti di tarik...
Splork.
Terdengar suara yang
menjijikkan, suara daging seraya terjatuh ke lantai di tengah ruangan. Sekarang
makhluk itu hanyalah sebuah bingkah daging bakar. Makhluk itu meronta-ronta
beberapa kali, memuntahkan semacam cairan, dan akhirnya berhenti bergerak.
Dengan begitu, sang Pengintai,
Monster kekacauan yang telah di panggil dari dunia lain, menemui ajalnya.
“....Sepertinya triknya
bekerja.” Dwarf Shaman berkata datar. Dia mulai berdiri dengan loyo.
Lizard Priest mengulurkan
tangannya, menjentik lidahnya. “Tepung gandum, tuanku Goblin slayer? Apa yang
sebenarnya anda lakukan?”
“Sesuatu yang aku dengar
dari penambang.” Goblin slayer masuk ke dalam gereja dengan langkah sigap tak pedulinya.
“Dia bilang kalau sebuah percikan menyala di dalam ruangan penuh akan bubuk,
api akan menyebar dengan cepat dan meledak.”
Dia menarik pedangnya dan
menusukkannya ke dalam makhluk itu yang tergeletak di lantai, memastikan tidak
adanya reaksi. “Tapi ternyata persiapannya lebih merepotkan dari yang aku kira.
Dan terlalu beresiko apinya menyebar nggak terkendali. Terlalu berbahaya.”
Goblin Slayer menggelengkan kepalanya dan bergumam, “Nggak akan berguna buat
lawan goblin.
“Dan itu sebuah ledakan!” High Elf Archer menegangkan telinganya
kembali dan mencurahkan emosinya kepada Goblin Slayer.
Seperti sewajarnya. Bukankah
dia sudah berjanji? Tapi Goblin Slayer tidak tergerak oleh tuduhan sang elf.
“Bukan serangan dari api,
atau air, atau gas beracun.”
“Kamu nggak paham maksudnya!
Kamu—ahhh, sudahlah.”
Menghela, High Elf Archer
memasuki ruang memuja dengan penasaran.
Aku
tau hatinya baik, tapi dia kurang bisa menjaga janjinya.
Untungnya bagi mereka,
dengan matinya Giant Eye, sepertinya tidak ada tanda kehidupan lainnya di
ruangan ini. Agen kekacauan itu sepertinya adalah Boss dungeon ini.
Mungkin alligator itu,
berenang sesuka hatinya seperti dia memiliki tempat ini, adalah master
sebelumnya. Apapun itu, telah terjadi perpindahan kepemilikkan.
“Umm.. Apa yang akan lakukan
kalau nggak meledak?” Priestess bertanya, mengikuti Goblin Slayer dengan
langkah mungilnya.
“Seperti yang salah satu
dari kalian bilang, makhluk ini sepertinya hanya tertarik melindungi tempat
ini,” dia menjawab, menggoyangkan makhluk itu dengan kakinya. “Kita akan
tembakkan panah padanya dari lorong, kemudian lari sebelum makhluk itu mulai
menyerang. Kita lakukan terus sampai dia mati.”
Goblin Slayer mengangguk
seakan-akan itu adalah hal paling wajar sedunia.
“Perlu waktu, tapi pasti.”
“Yuck! Kalau begitu aku dong
yang mengerjakan semuanya? Yang benar saja!” High Elf Archer telah
menyelesaikan inspeksi area sekitar, terpuaskan bahwa mereka telah aman.
Di dekatnya Dwarf Shaman
membelai jenggotnya, berusaha untuk menahan tawa mendengar suara High Elf
Archer.
“Pasti bakal sulit buatmu,
kan? Dengan semua gerakan itu, kamu nggak akan pernah montok, dan kamu bakal
jadi papan selamanya!”
“Ngaca. Kamu sendiri nggak
pernah rela jadi kurus.”
“Jangan bodoh. Bangsa Dwarf
merupakan gambaran bangsa dengan bentuk tubuh sempurna!”
Lizard Priest mengangkat
bahu senang dan memutar mata di kepalanya; Priestess meletakkan sebuah tangan
di mulutnya dan tertawa kecil.
Bahkan High Elf Archer
mendapati dirinya tertawa kecil, dan Dwarf Shaman tertawa lantang mengikuti.
Goblin Slayer tidak tertawa,
tapi...
“....”
“Phew...” Dengan hembusan
nafas, dia menyarungkan pedang yang dia terus genggam di tangan kanannya hingga
momen itu,
Atmosfir kelam yang telah
mendominasi ekplorasi mereka telah menghilang, tergantikan dengan perasaan santai.
Mereka telah menang.
*****
“Sekarang... Ini adalah hal
yang paling menarik.”
Tawaan terakhir telah
menggema menjauh di dalam gereja yang redup.
Lizard Priest menunjuk
dengan tenang pada suatu benda yang masih menggantung di atas altar: sebuah
cermin besar. Permukaannya bergetar layaknya air, riak aneh menyebar di
sekelilingnya.
Cermin tersebut dan metal
rumit mempesona yang mengelilinginya tidak sedikitpun lecet oleh ledakan.
Sangat jelas bahwa ini adalah lebih dari sekedar cermin biasa.
“Apa mungkin...sebuah benda
memuja?” Priestess mencondongkan sedikit tubuhnya, mendekati altar.
“Akan lebih baik jika anda
tidak menyentuhnya secara sembarangan.”
“Ya, tapi... Kita nggak bisa
nggak menyelidiknya, kan?”
“Kita nggak ada seorang
scout atau thief di party ini. “ Dwarf Shaman berkata.
Priestess menjulurkan salah
satu jarinya dan dengan lembut menyentuh permukaan cermin.
Cluup.
Jarinya tenggelam ke dalamnya.
“....?!”
Secara insting dia menarik
jarinya kembali, dan riak air menyebar di cermin layaknya sebuah kolam. Ombak
kecil bergelombang dari tempat di mana dia telah menyentuhnya, bergelombang ke
segala penjuru permukaan.
“Oh! Uh, ini...”
“Bentuk formasi.” Goblin
Slayer memerintah, menggantikan Priestess di dekat cermin seraya Priestess
mundur dengan cepat.
Masing-masing dari anggota
party menarik senjata mereka dan bersiap bertempur seraya cermin terus bergerak.
Riak permukaan air berputar dan semakin menjadi dan, setelah beberapa saat,
mulai bersinar dengan cahaya yang aneh.
Mereka melihat sebuah alam
liar, yang tidak mereka ketahui; tempat itu terselimuti dengan peculiar pasir
hijau. Sebuah matahari bersinar pucat di langit senja.
Tapi apa yang menarik
perhatian mereka adalah sebuah alat, mekanikal raksasa yang aneh. Sesosok
manusia kecil berusaha untuk mendorongnya; seraya bergerak, benda itu bergerak
perlahan, seperti mortar bulat yang berputar di jalurnya. (TL Note : Saya g
dapat gambar atau link yang bisa menjelaskan “mortar” ini. Yang di maksud
“Mortar” disini bukan peluru. Bayangkan sebuah tiang di tengah ruangan. di
empat penjuru tiang terdapat tuas kayu yang memanjang kesamping, dan masing2
dari goblin mendorong tuas itu dan membuat tiang di tengah ruangan berputar.
Kurang lebih seperti itu pemahaman saya.)
Tidak—mereka bukan manusia.
Goblin Slayer mengetahui siapa mereka.
“....Goblin.”
Sebuah gerombolan akan imp
berwajah kejam. Goblin lainnya dengan cambuk di tangannya dan mulutnya terbuka
lebar—tidak di ragukan, berteriak marah—mencoba mempercepat pekerjaan mereka.
Apa yang yang mereka lakukan dan apa tujuannya? Sangat mengerikan untuk di
bayangkan.
Sebuah mesin dengan roda
gigi besarnya tidak salah lagi terbuat dari tulang manusia.
“Apa-apan ini...?”
“Rumahnya para goblin. Aku
rasa.”
Di samping Priestess yang
merinding, Lizard Priest mengangguk perlahan. Dia berjalan ke depan dengan
langkah perlahan dan menyentuh cerminnya kembali dengan cakar salah satu
tangannya yang bersisik...
Tiba-tiba, gambar di dalam
cermin berputar.
Gambaran itu terlipat dengan
sendirinya, bergeser kesamping, berputar, dan mulai teracak seakan-akan telah
terjebak di tengah-tengah badai pasir.
“Oh...!”
High Elf Archer beteriak
pada sebuah pemandangan yang sulit di lihat pada gambar yang berputar. Telinga
panjangnya menyentak, dan dia menunjuk dengan jari anggunnya dan berteriak,
“Lihat itu!” Mereka semua melihat. “Baru saja aku lihat—Aku lihat reruntuhan di
hutan itu! Tempat kita berada di hari itu!”
“Di dalam hutan?”Goblin
Slayer bergumam. “Tempat yang ada goblin dengan perlengkapan yang lengkap?”
“Apa itu yang cuma kamu
ingat? Tapi iya, yang itu.” High Elf Archer mengangguk kepada Goblin Slayer,
telinganya berayun girang. “Menurutmu seberapa besar kemungkinannya goblin yang
ada di sana di kirim dari sini?”
“Menurutmu relik kuno ini
bisa membuat sebuah Gate?” Dwarf Shaman berbisik, seakan-akn tidak dapat
mempercayainya.
Dan dia memiliki alasan untuk
tidak mempercayainya. Gate, sebuah mantra yang menghubungkan dua tempat, telah
hilang di telan waktu.
Scroll yang seperti Goblin
Slayer gunakan merupakan satu-satunya tempat terakhir di mana seseorang dapat
menyaksikan mantra itu lagi. Dan bahkan itu merupakan barang yang sangat mahal
yang harus di pancing keluar dari dalam reruntuhan kuno.
Sebuah pemikiran bahwa
sebuah benda sihir yang dapat mengeluarkan mantra langka itu kapanpun juga
sangat sulit di percaya. Para petualang, tentu saja, tidak mengetahui bagaimana
cara menggunakannya, namun jika mereka dapat mengetahuinya....
Bayangkan saja harga yang
akan mereka dapatkan. Melebihi dari apa yang mereka bisa hitung.
“Jadi seseorang menggunakan
benda ini untuk memanggil goblin—”
High Elf Archer mundur
perlahan dari cermin seakanakan seperti cermin itu akan menyerangnya.
“—memberikan mereka senjata
dan membuat mereka hidup di tempat sini—”
Dwarf Shaman memikirkan Lizard
Priest, menutup sebelah mata dan menyeringai pada cermin.
“—dan makhluk terkutuk itu
menjaga cermin ini.”
Lizard Priest
menyelesaikannya dengan sebuah tepukan ekornya.
“Apa yang harus kita
lakukan, pak Goblin Slayer....?”
Priestess menatapnya penuh
rasa was-was.
Goblin Slayer tidak
menjawab.
“Nggak...” Dia menggeleng
kepalanya ke samping, kemudian berjalan dengan langkah sigap penuh kepastian.
Dia mengguling mayat Giant
Eye dengan kakinya, menarik sebuah kain basah yang berada di bawahnya.
Kemungkinan kain itu telah
terbawa oleh ledakan. Kain itu hangus, berlumur jelaga, dan kotor, namun ketika
dia membukanya, sebuah bendera mengerikan telah terpapar. Lambang dengan gambar
sederhana dalam goresan darah kering hitam kemerahan.
Sebuah mata.
Gambar itu sangatlah
kenak-kanakan, namun arti yang di junjung oleh gambar itu sangatlah jelas.
Arti The lambang itu bahwa mereka
memberikan ganjaran akan mata yang tercuri. Itu merupakan simbol para goblin,
bukti bahwa para petualang telah menemukan benteng mereka.
“Sudah ku duga pasti
goblin.” Goblin slayer berucap.
Seolah-olah ingin
meresponnya, sebuah lolongan dapat terdengar dari kedalaman bumi.
Suara akan kebencian yang
terdalam. Suara akan kecemburuan dan nafsu. Suara yang berniat mencuri,
memperkosa, membunuh. Teriakan kejam berpadu keserakahan.
Dari bagian terjauh akan
lubang kotor itu, suara semakin mendekati dari kegelapan yang seakan mimpi
buruk yang menjadi nyata.
“....Ee...”
Priestess memeras tongkat
dengan kedua tangannya dan bergetar. Dia mengetahui suara itu, mengetahuinya
hingga membuatnya mual. Suara itu—para goblin itu—!
“Ah-ha... Tampaknya ledakan
kita telah menggema hingga sampai pada telinga mereka.” Lizard Priest menarik nafasnya,
menjulurkan lehernya.
Suara itu terdengar datang
dari segala penjuru secara bersamaan, dari setiap masing-masing koridor yang
menuju keluar gereja. Langkah kaki dan gema dari setiap benturan gesekan
senjata dan perlengkapan saling menimpal satu dengan yang lain, semakin
mendekat.
Mereka tidak memiliki banyak
waktu.
“Kalau ini adalah tempat
mereka berasal, kita nggak bisa menghiraukannya.”
“Jadi maksudmu...”
Dwarf Shaman mengeluarkan
botol fire wine miliknya dan mengambil sebuah tegukkan besar.
Wajahnya menegang dan
sedikit memerah, kemudian berubah menjadi senyuman aneh seakan-akan untuk
menghilangkan rasa khawatirnya.
“...mereka datang untuk
merebut tempat ini lagi?”
“Hey... Aduh... Apa kita
nggak bisa istirahat sebentar?” High Elf Archer duduk lemas telinganya terkulai
lemas, semua tenaga miliknya telah hilang. Wajah anggunnya tampak lesu, dan
terlihat seperti akan menangis.
Priestess datang mendekatinya,
dengan ekspresi yang kurang lebih sama, dengan rasa takut, merinding, tangan
kaku, dia menggenggam tongkatnya dengan begitu erat kulitnya mulai memutih, dan
matanya terlihat begitu ketakutan.
Tapi dia melihat kepada
Goblin Slayer, tidak dengan memohon ataupun keputus-asaan. Dia hanya menatap
tepat kepadanya.
“Pak Goblin Slayer.”
Bisikan halusnya membuat
mereka semua berfokus kepada Goblin slayer. Seperti saat ketika mereka
berhadapan dengan ogre, seperti saat mereka berhadapan dengan goblin lord,
seperti saat ini. Di momen tergenting mereka, dia lah pria yang dapat melakukan
sesuatu. Mungkin mereka terlihat seperti akan menyerah, tapi mereka belum
menyerah—tidak menyerah.
Karena jika mereka menyerah,
siapa yang akan menggantikan Goblin Slayer sebagai pemimpin?
Dengan kata lain, ini
merupakan semacam kepercayaan.
“......”
Goblin Slayer secara diam
memperhatikan keseluruhan ruangan.
Gereja yang retak. Cermin
yang mengandung kekuatan luar biasa akan mantra Gate. Para goblin yang semakin
mendekati dari setiap penjuru. Empat petualang yang kelelahan.
Mereka benar-benar telah
terpojok—atau tidak?
Dia tidak mencari
jawabannya, hanya berbicara pada dirinya sendiri. Itu adalah teka-teki yang dia
tidak pernah mengerti. Bahkan hingga saat ini, dia masih tidak yakin akan
jawabannya.
Tidak ada apapun di
sana—kecuali tangannya.
Sebuah tangan yang mungkin menggenggam
kehampaan. Atau mungkin segalanya.
Bukankah selalu seperti itu?
Dan jika memang seperti itu,
maka....
“....”
Dia menoleh mengarah High
Elf Archer, yang tidak berusaha kabur walau dengan jelas rasa takut yang
tersirat di wajahnya.
Menoleh kepada Dwarf Shaman,
menyemangati dirinya dengan anggur.
Pada Lizard Priest, yang
bersemangat akan pertempuran yang akan datang.
Dan Priestess, yang menatap
tepat pada wajahnya.
Kemudian dia mengangguk, dan
berkata pelan:
“Jangan khawatir.”
Adalah mustahil untuk bisa
mengetahui ekspresi di balik helm baja itu.
Tapi bagi Priestess—tidak, bagi
mereka semua, satu-satunya rekannya di seluruh dunia—
“Nggak masalah.”
—sepertinya, walaupun samar,
dia tertawa.
0 Comments
Posting Komentar