PERINTAH LAPIS
(Author : R Lullaby)
Di
pagi yang mulai mendekati siang. Suhu tidak terlalu dingin maupun panas. Terasa
hangat, membuat perasaan semua orang bahagia. Awal yang baik untuk beraktifitas
atau melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Tapi
itu tidak berlaku bagi semua orang di sekitar Aeldra. Suhu terasa dingin, cukup
tak mengenakkan.
Suasana masih terasa canggung. Nia dan Rina menatap
khawatir Aeldra dan Lapis yang saling memberikan tatapan
datar.
“Kenapa
kau berkata seperti itu? Apa kau pikir Nia bisa menjadi kuat?” Lapis
menghancurkan keheningan. Bertanya pelan pada Aeldra.
“Siapapun
bisa menjadi kuat. Jika mereka mau berusaha dan bekerja keras.”
“Hmmm,”
Lapis menutup mata sesaat, terlihat tak peduli dengan perkataan Aeldra.
“Tapi
keputusanku tak akan berubah. Biarkan aku membawa keluargaku, jangan campuri
urusan kami, orang luar.” Lapis kembali membuka mata, menatap tajam Aeldra.
“Ma-maaf,
tapi saya akan kerepotan jika dia pergi. Selain itu, saya bisa dikatakan masih
berhubungan dengannya. Dia rekan tim saya dalam turnamen nanti,” senyum
khawatir Aeldra, mulai menutup mata.
Lapis
cukup terkejut dengan ucapa Aeldra, dia sedikit memirinkan badan, melirik sinis
Nia cukup tajam.
“Kau
bahkan mengikuti turnamen sekolah itu ...!?”
Nia
menundukkan kepala, menutup matanya sangat erat. Dia benar-benar ketakutan. Itu
terbukti jelas karena tubuhnya yang bergetar.
“Kau
...! Kau benar-benar tak mengerti dengan posisimu –“
“Cukup,
Putri Lapis.” Gadis bermata hijau memasuki pembicaraan. Gadis yang jauh lebih
tua dari semua orang yang ada di sana. Shina.
Lapis
terkejut, menatap penasaran gadis itu. Berniat memastikan jika gadis yang
memotong perkataannya adalah orang yang ia kenal.
“Kak
Shi-Shina ...,”gadis berambut putih mulai yakin, bergumam pelan sedikit
menundukkan kepala. Terlihat menghormatinya.
Sontak,
semua orang di sana menatap penasaran Lapis yang seperti itu, kecuali Rina.
Gadis bermata coklat itu mengalihkan pandangan, khawatir wajahnya. Enggan
menatap gadis berambut pendek merah muda di hadapannya.
“Lama
tidak bertemu, Lapis.” Shina tersenyum menatap Lapis yang sudah mengangkat
kepala. Lapis menganggukan kepala, membalas senyuman Shina.
“Rina
juga ...,” lanjutnya menatap Rina. Tersenyum menggambarkan kesedihan.
“Ya,
Kak Via ....” Rina berwajah sedih,
menutup mata. Mengkerutkan dahi ke atas.
“Via?” batin Aeldra dan Nia bersamaan.
Menatap Rina penuh penasaran.
“Kalian
pasti baru pulang dari garis depan. Istirahatlah dulu di sini.” Shina berjalan
mendekati Lapis, mengusap pelan kepalanya. Benar-benar terlihat aneh, karena
perbedaan tinggi tubuh keduanya. Shina sedikit lebih pendek dari Lapis.
“Ka-Kak
..., aku sudah besar,” Lapis berwajah khawatir, merah merona. Dia mengalihkan
pandangan.
“Selain
itu, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera pergi. Biarkan aku membawa
Nia –“
“Apa
ini perintah ibumu?”
“Ti-tidak,
bukan,” pelan Lapis menundukkan kepala.
“Kau
memang selalu terlalu berlebihan. Dengar Lapis, apa yang dikatakan Aeldra
adalah benar. Nia bisa berkembang. Dia bisa menjadi kuat.”
“Tapi
Kak –“
“Aku
jamin itu.”
“Jangan
terlalu protektif padanya. Aku mengerti kau mendapatkan amanat dari mendiang
ibunya, tapi berikan dia juga kebebasan. Biarkan dia melakukan apa yang dia
mau.”
“Tapi
Kak, Nia itu sangat ceroboh. Bukan berarti aku tak mempercayainya, tapi resiko
sangat tinggi jika dia memasuki pertempuran. Nyawa yang menjadi taruhannya
....” Lapis memasang wajah khawatir.
“Tenang
saja, aku satu tim dengannya. Selain itu, Aeldra juga ada bersama kami.
Seharusnya kau juga sudah tau akan betapa kuatnya Aeldra,” senyum kecil Shina,
melirik Aeldra yang mengalihkan pandangan darinya.
Lapis
menatap Aeldra, memasang wajah datar seolah sudah mengetahui sesuatu.
“Ya,
aku akui dia sangat kuat,” Lapis mengalihkan pandangan dari Aeldra,
menyilangkan kedua tangan di bawah dada.
“Jadi
rumor itu benar yah,” senyum ramah Rina, menatap Aeldra.
“Ru-rumor?”
tanya khawatir Aeldra.
“Ah,
tidak. Bukan apa-apa. Jangan dipikirkan.” Rina memberikan senyuman ramahnya
kembali.
“....”
“Baiklah,
aku tak terlalu cemas jika ada Kak Shina. Nia, kali ini aku biarkan kau
tinggal. Tapi jika kau membuat masalah, aku akan langsung datang menjemputmu.”
Lapis tersenyum kecil melirik Nia. Nia sontak tersenyum lebar, hatinya sungguh
bahagia dan berbunga-bunga.
“Maaf,
merepotkanmu untuk kesekian kalinya, Kak Shina,” Lapis kembali menundukkan
sedikit kepala. Berwajah khawatir menatap Shina.
“Astaga,
sejak kapan kau menjadi kaku seperti ini,” senyum kecil Shina menutup mata.
“Rina
....” Lapis mengangkat kepala, melirik
gadis berambut coklat. Wajah gadis itu kembali terlihat khawatir. Tak mau
melihat Shina.
“Sudah
tak apa, Lapis.” Shina menatap Rina. Memberikan senyuman sedih padanya.
“Um-umm,
seperti yang dkatakan Kak Shina, jika berkenan, beristirahatlah dulu di
kamarku. Meski hanya sebentar,” senyum ramah Aeldra pada Rina dan Lapis.
“Benar
yang dikatakan oleh Aeldra. Setidaknya mampirlah sebentar.” Shina juga mulai
berbicara, membujuk keduanya.
“Be-benar,
Kak! Kakak pasti kelelahan karena sudah berjuang di garis depan.” Bujuk Nia.
Sesaat,
Lapis melirik Rina. Lalu setelah itu dia tersenyum sambil menerima permintaan
mereka.
“Ah,
biar aku membeli minuman dulu. Kalian masuklah duluan. Tolong yah, Kak Shina,
Nia.” Aeldra tersenyum kecil, berjalan mundur. Berniat pergi meninggalkan
mereka, tapi.
“Tunggu,
aku juga ikut.” Lapis berjalan mengikuti Aeldra. Dia menutup matanya.
“Eh?”
“Kenapa,
apa tidak boleh?”
“Ah,
tidak. Bukan begitu maksudku,” pelan khawatir Aeldra, mengalihkan pandangan.
Semua
orang di sana menatap penasaran Lapis yang berjalan mengikuti Aeldra.
“Tu-tunggu
Lapis, jika kau ingin sesuatu bilang saja pada Aeldra–“ khawatir Shina.
“Tak
apa, Kak. Aku tak enak padanya,” senyum ramah Lapis, setelah itu dia kembali
melirik Aeldra.
Keduanya
berjalan saling berdampingan. Wajah Lapis terlihat datar, berbeda jauh dengan
Aeldra yang tetap memasang khawatir.
Sekitarnya
saat itu sedang sepi, maka tak heran Lapis membuka kupluknya yang tebal.
Matahari semakin meninggi, suhu semakin naik. Dia juga manusia, bisa merasakan
kepanasan.
“Kau
tak bisa membohongiku,” ucap Lapis, menghancurkan keheningan, memulai
pembicaraan lebih dalam. Terdengar pelan, tapi terasa dalam juga nadanya. Lapis
tetap memasang wajah datar, tak peduli dengan lelaki di sampingnya.
“....”
Aeldra mengalihkan pandangan dari Lapis. Membuang nafas kecil. Mulai menatap langit
di atas. Dia tetap diam, hingga Lapis berucap kembali.
“Katakan,
Aeldra ....” Nadanya terdengar lebih dalam.
“Baiklah,
aku bukan seorang Kineser, aku hanya manusia biasa. Anda puas?” Aeldra
tersenyum kecil menutup mata.
“Kuakui,
kekuatan fisikmu di atas rata-rata. Jika kau seorang Assasin, kau lawan terburuk untuk beberapa Kineser karena
kecepatanmu. Tapi berbeda dengan iblis, kau hanya akan mati sia-sia tanpa kau
sadari.”
“Ya,
anda benar. Iblis benar-benar lawan terburuk untuk manusia biasa sepertiku.
Meski aku mempunyai kelebihan dalam fisi –“
“Hei.”
Lapis memotong perkataan, membuang wajah dari Aeldra. Lelaki yang memiliki luka
bakar itu terdiam, melirik penasaran Lapis.
“Lapis
..., panggil aku seperti itu ketika kita berdua.”
“....”
Aeldra terdiam sesaat, terkejut melebarkan kedua mata. Lalu setelah itu dia
kembali tersenyum, membuang wajah dari Lapis.
“Baik,
Lapis ....” Dia menutup mata sebentar. Tak melepas senyuman kecilnya.
“....”
“Ah,
iy –“
“Kembali
ke permasalahan sebelumnya.” Lapis memotong perkataan Aeldra.
“...?”
“Jika
kau sudah tau hal itu, akan keterbatasanmu, lalu siapa yang membunuh Si Goblin,
menyelamatkan Nia sepupuku?”
“Bukankah
kau juga seharusnya sudah tau, akan siapa sebenarnya yang menghentikan Goblin
itu?” Aeldra kembali melirik Lapis di sampingnya.
“Kakak,
kah ...? Tapi aku juga dengar gosipnya, jika Kak Hardy memujimu. Mengakui
kekuatanmu. Apa itu benar?”
“Ya,
ada yang salahnya juga sih. Tapi tidak sepenuhnya salah. Mungkin hampir
mendekati?” Aeldra tersenyum ramah menutup mata, wajahnya mengarah pada Lapis.
“Hmm
..., kenapa dia melakukan itu,” Lapis berpikir keras, menyentuh dagunya.
Di
saat Lapis masih berpikir akan beberapa kemungkinan. Aeldra malah tetap diam,
tersenyum kecil melirik Lapis yang masih berpikir.
“Hei, kenapa kau menatapku.” Lapis memasang
wajah datar, melirik Aeldra. Sadar akan apa yang dilakukan lelaki berambut
hitam itu.
Aeldra
lekas mengalihkan pandangannya lagi, tetap memasang senyumannya.
“Tidak,
bukan apa-apa.”
Tak
lama setelah itu, keduanya sudah sampai di tempat tujuan. Mereka berdua berdiri
di hadapan mesin penjual otomatis.
Aeldra
yang melakukan transaksi. Sedangkan Lapis berjalan mendekati tembok, bersandar
pada dinding sambil memulai percakapan kembali.
“Aeldra,
dengarkan aku.”
“...?”
Aeldra melirik penasaran Lapis, sambil menekan tombol mesin di hadapannya.
“Keluarlah
dari Acies Highschool. Aku tak tau apa tujuanmu, tapi kau hanya membahayakan
nyawamu sendiri.”
“....”
Keheningan muncul sesaat di antara mereka.
“Maaf,
aku tak bisa memenuhi permintaanmu.”
“Kau
tidak mengerti!? Ini bukanlah permintaan, ini perintah dariku.” Lapis menutup
mata, nadanya terdengar dalam. Dia sangat serius dengan ucapannya.
Suasana
kembali terasa hening. Aeldra telah menyelesaikan transaksinya. Dia mengambil
keresek hijau yang tersedia di dekat mesin otomatis.
“Maaf,
Lapis. Aku tetap tidak bisa,” senyum kecil Aeldra, memberikan kaleng kopi hitam
pada Lapis. Kaleng itu cukup panas, tak berbeda jauh dengan suhu sekitarnya.
“Kau
menolak perintah putri mahkota sepertiku?” Lapis mengkerutkan dahi ke bawah,
terlihat marah dan menatap tajam Aeldra.
“Ya,
aku menolaknya.” Aeldra menjawab dengan jelas, berjalan pergi meninggalkan
Lapis.
“....”
Lapis terdiam, memegang erat kopi pemberian Aeldra. Dia menahan kekesalan.
“Kita
sebaikanya cepat kembali–“ ucap Aeldra terus melangkah, tapi langkahnya
terhenti oleh perkataan Lapis.
“Hei
..., kau beli berapa minuman dingin itu?” Lapis menatap datar kantong keresek
yang dibawa Aeldra.
“Empat,
memangnya kenap –“
“Beli
satu lagi.”
“Hah,
kenapa?”
“Sudah,
lakukan saja,” datar Lapis, kembali berjalan melewati Aeldra.
“Baik
baik,” senyum khawatir Aeldra, kembali membeli minuman dingin.
Sepanjang
perjalanan pulang, tidak ada dari kedua belah pihak yang mengeluarkan suaranya
kembali.
Hanya
keheningan yang ada di sekitar mereka.
Beberapa
menit setelahnya, kedua insan itu sudah sampai di tempat tujuan, kamar Aeldra.
Lapis
tetap memasang wajah datarnya, berbeda dengan Aeldra yang tersenyum ramah menatap
semua orang di dalam kamar.
“Ah,
maaf Aeldra. Aku lupa bilang, Lapis memang sedikit aneh, dia terbiasa minum
minuman panas di cuaca seperti ini,” Rina berwajah khawatir, merasa bersalah
menatap Aeldra yang membawa keresek hijau.
Gadis
bermata coklat itu juga sesekali melirik Lapis yang meminum kopi panasnya
sambil mengalihkan pandangan dari Aeldra.
“Ah,
pa-pantas saja. Beliau menolak ketika aku beri minuman dingin ini,” senyum
khawatir Aeldra, melirik Lapis sesaat. Dia mulai mengeluarkan lima minuman
dingin dari dalam kereseknya.
“Ah,
kau kelebihan membelinya. Biar aku ganti yang satunya lagi,” khawatir Shina,
mengeluarkan dompetnya.
“Tak
apa, Kak. Ini juga salahku karena tak bertanya pada beliau,” senyum khawatir
Aeldra, kembali melirik Lapis yang mulai melepas jubah. Duduk dekat dengan
Rina.
“Tidak,
itu wajar bagi kamu yang pertama kali bertemu denganya. Dia memang sedikit aneh
dalam beberapa hal. Aku juga jadi merasa bersalah karena tak memberitahumu.”
Shina tetap memberikan uangnya.
“Iya,
Kak! Terima saja uang dari Kak Shina. Meski sudah mengenalnya cukup lama, aku
juga baru tau kalau Kak Lapis suka minuman panas di saat seperti ini,” Nia
berwajah khawatir menatap Lapis.
Lapis
tak peduli dengan beberapa orang yang menatapnya. Dia hanya terus minum kopi
panas dengan kedua tangannya. Terlihat manis dan menggemaskan.
“Kalau
begitu, aku terima uangnya,” senyum kecil Aeldra menerima uang Shina. Sesaat
dia menatap Lapis yang menutup mata.
Gadis
itu tersenyum kecil, tertutupi oleh kaleng kopi sehingga beberapa orang tak
bisa melihat mulutnya.
Lalu
setelah itu Aeldra juga mulai menutup matanya sesaat, tersenyum kecil seperti
Lapis. Saat seperti itu, Lapis juga mulai melirik Aeldra, tetap memasang
senyuman indahnya.
***
Hari
senin, tiga hari setelah pertemuan dengan Rina dan Lapis. Dua serangkai itu
telah pulang ke kerajaan central di hari yang sama saat mereka datang.
Nia
terus berterima kasih pada Shina, karena sudah membuat Lapis tak membawa pulang
dirinya. Dia dan Aeldra juga sering bertanya pada Shina, akan hubungannya
dengan Lapis.
Tapi
dia selalu menjawab jika dirinya hanyalah teman dekat dari sang putri mahkota.
Dia hanya menganggap Lapis seperti adiknya sendiri.
Tapi
Aeldra dan Nia tau, masih ada sesuatu lagi yang disembunyikan Shina.
Selain
itu hubungannya dengan gadis bernama Rina juga terlihat rumit. Membuat Aeldra
dan Nia semakin penasaran dengannya. Keduanya menyadari jika mereka masih belum
mengenal dekat dengan salah satu rekan timnya itu.
“Aeldra,
kemana Nia?” Shina bertanya sambil memakai rompi berwarna biru langit. Itu rompi
pelindung yang digunakan untuk pertarungan turnamen nanti. Petarung wajib
memakainya.
“Itu
juga yang ingin kutahu, aku tak bisa menghubunginya. Padahal 30 menit lagi kita
bertanding.” Aeldra berwajah khawatir, sudah memakai rompi biru muda.
“Hari
ini cerah, yah? Cocok sekali untuk melakukan pertarungan,” Shina tersenyum
bersemangat, berjalan keluar dari bangku cadangan.
Dia
menatap sekitarnya, para penonton terlihat bersorak melihat dia yang keluar
dari bangunan kecil, bangku cadangan. Tempat berlindung dari sinar matahari
atau hujan, tempat untuk beristirahat bagi petarung sebelum bertanding.
“Waah,
ramai. Seperti biasanya, turnamen ini benar-benar digemari.” Shina tersenyum
lebar.
“Kak
Shina, tolong jangan anggap remeh masalah ini. Bagaimana dengan Nia!? Dia
benar-benar tak bisa kuhubungi.”
“Tenang
saja, Aeldra. Nia memang ceroboh, tapi dia pasti akan datang. Dia bukanlah
gadis yang suka mengingkari janjinya. Dia bukanlah gadis pengecut.”
“....”
Aeldra terdiam sesaat setelah mendengarkan perkataan Shina. Tapi setelah itu
dia tersenyum kecil sambil menutup matanya sesaat. “Ya, Kakak benar.”
“Jadi
siapa lawan pertama kita dalam turnamen ini?” Shina bertanya, berjalan
mendekati Aeldra. Lelaki berambut hitam itu lekas memeriksa daftar dalam smartphonenya.
“Di
sini tertulis, Indah, Dunoa, dan Sena. Apa mereka kuat?”
“Adahh
..., kita bernasib buruk. Semuanya berasal dari kelas tiga. Semuanya jauh lebih
kuat dari Alys. Khususnya Indah ...,” senyum khawatir Shina, melirik bangku
petarung yang jauh bersebrangan dengannya. Bangku cadangan lawan.
“Mereka
belum datang yah ...,” lanjutnya.
“Jadi
gadis bernama Indah itu akan menjadi Starter
mereka?” tanya khawatir Aeldra.
“Ya,
itu kemungkinan terbesarnya .... Gawat, Nia benar-benar dalam masalah,” Shina
menggigit ibu jari, tetap memasang wajah khawatir dan menutup mata.
“Ap-apa
dia sekuat itu? Seharusnya Kakak tau, sudah seberapa kuatnya Nia saat ini.”
“Aku
tahu. Berkat latihanmu dia benar-benar berkembang pesat. Aku juga cukup
terkejut dengan perkembanganya. Tapi gadis bernama Indah itu berbeda, dia
benar-benar kuat. Dia bahkan pernah memukul mundurku saat kelas satu. Selain
itu, ilmu kinesis gadis itu bakal jadi masalah bagi Nia yang mengandalkan
kemampuan fisiknya.”
“Ap-apa
kemampuannya?”
“Enchanment Body, aku tak tau lebih
detail nama ilmu kinesisnya. Tapi seperti itulah kemampuannya.” Jelas Shina
menatap Aeldra.
“Ji-jika
begitu Ka-Kakak benar, Nia akan benar-benar dalam masalah.” Aeldra juga
berwajah khawatir sambil membalas tatapan Shina.
Tiga
puluh lima menit berlalu. Suasana yang sebelumnya ramai berubah menjadi hening.
Seluruh tatapan tertuju pada arena yang 2x lebih besar dari lapangan latihan.
Pandangan
seluruh penonton, termasuk Aeldra dan yang lainnya tertuju pada Nia dan Indah
yang memasuki arena.
“Di sudut kanan, gadis cantik yang menjadi
juara di turnamen sebelumnya ...,
Kineser terkuat kedua di Acies Highschool. Indah Permata!!”
Penonton
sontak bersorak padanya. Menaruh kagum pada gadis berambut dan bermata hitam
itu. Dia terlihat sangat rupawan, berkulit sawo matang. Memakai rompi pelindung
berwarna merah.
“Tu-tunggu?
Dia juara tahun lalu!?” Aeldra bertanya. Nadanya terdengar cukup gugup dan
ketakutan.
“Eh,
ap-apa aku bilang yah? Maaf, tapi setidaknya aku sudah bilang dia kuat, kan?”
senyum kecil Shina meminta maaf.
“Astaga,
ini benar-benar malapetaka bagi Nia,” senyum khawatir Aeldra, menatap rekan
timnya yang berdiri di arena.
“Lalu di
sudut lain, gadis yang dijuluki terlemah, tapi saat ini dia berdiri sebagai Startup
dari timnya yang bisa dikatakan kuda hitam dalam turnamen kali ini.
Mungkinkah, dia sudah
menjadi sangat kuat? Melebihi Kak Shina, dan Ae-Aeldra Si Goblin Slayer ....!?
Putri kedua dari Kerajaan Central, Kekaisaran Aeldra. Putri Selenia D.
Azzahra!!”
Sorakan
untuk Nia juga tak kalah hebatnya. Stadion bergemetar karena atmosfer berat
dari para penonton.
Sedangkan
di bangku petarung, Aeldra tersenyum khawatir, melirik Shina di sampingnya.
“Ap-apa
maksudnya Goblin Slayer itu, Kak?” Wajah Aeldra terlihat memerah karena julukan
memalukan itu.
“Keren,
kan? Aku yang memintanya untuk menyebutkan nama panggilan itu,” senyum Shina.
“Ka-kakak
yang memintanya ...!?” Aeldra berwajah khawatir, masih memerah wajahnya.
“Hehehe
...,” Shina tertawa kecil, lekas menatap kembali arena. Tempat Nia dan Indah
yang akan memulai pertarungan.
Lalu
di bangku penonton, tempat khusus dan berkelas. Itu tempat duduk Alyshial dan
rekannya, Sophia. Ada beberapa pengawal kerajaan juga di sekitar.
Gadis
berwarna rambut kuning lemon itu terlihat sangat marah, menatap tajam arena.
“Apa maksudnya ini, Aeldra!? Kenapa dia menempatkan Nia di posisi pertama!?”
“Alys,
kau baik-baik saj –“
“Tentu
saja tidak!! Mana bisa aku baik-baik saja melihat sahabatku bertarung seperti
ini. Ini lebih mirip eksekusi penyiksaan bagiku!” Alys membentak Sophia.
Alys
mengepalkan erat kedua tangannya. Memukul kursi yang kini didudukinya. Dia
menggeram menatap bangku petarung, tempat Aeldra berada.
“Awas
saja kau, Aeldra! Aku akan mengalahkanmu, mengahancurkan harga dirimu.
Mempermalukanmu di arena ini sampai kau tak berani menunjukan
diri padaku!”
Kembali
ke arena. Gadis bernama Indah terlihat bersiaga, memasang kuda-kuda bertarung,
dan berkata sambil memasang wajah semangatnya.
“Aku
tak akan menahan diri, Putri Nia!”
“Ya,
tolong lakukan itu, Kak Indah!” Nia berwajah khawatir, bersiaga memasang
kuda-kuda bertarung yang diajarkan Aeldra.
Setelah
itu, peringatan tanda pertarungan mulai dibunyikan. Sangat keras, menggema.
Membuat seluruh penonton bersorak bahagia. Atmosfer stadion bertambah berat.
Pelindung
transparan berlapis-lapis juga mulai muncul, melindungi penonton dari dampak
pertarungan.
“Penguatan Tubuh: Kelincahan Kaki level 2
...!” Indah menutup mata, berkosentrasi keras. Cahaya berwana ungu muncul
sesaat dari dalam tubuh, terutama di bagian kedua kakinya. Lebih terang dari
bagian tubuh lainnya.
Nia
tersenyum khawatir, membalas tatapan lawan yang mulai berlari cepat
menghampirinya.
***
0 Comments
Posting Komentar