90% RENCANA BIASANANYA GAGAL, 10%-NYA TIDAK
BERHASIL
(PART 2)
(Author : Deddy Z)
Waktu
yang tersedia nggak banyak buat ngumpulin uang bayaran sekolah Fenny. Aku nggak
yakin sehari ngamen bisa dapet sampai Rp300,000. Apalagi ngamennya cuma dari
sepulang sekolah.
Tapi
Aldi dan Fenny tetap ingin melakukannya.
Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk mereka. Sambil nonton TV tentunya.
Seperti
biasa jam 2 siang adalah waktunya aku menonton Dunia Binatang. Aku dan Tiara
cukup menyukai acara ini dan seringkali kami menontonnya bersama. Misalnya
seperti sekarang ini.
Yang
sedang jadi pembahasan adalah Orangutan. Sang narator di TV menjelaskan kalau
satwa ini sudah langka dan keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Ia adalah
satwa asli Indonesia yang genetiknya 96,4% mirip dengan manusia.
“Genetik
itu apa?” tanyaku bergumam.
“Genetik
itu semacam bentuk tubuh kayaknya, Kak,” jawab Tiara yang duduk di sebelah.
“Begitu
ya? Tapi kayaknya bentuk tubuh kita nggak 96% mirip orangutan. Orangutan
bulunya masih banyak dan tangannya dua kali lebih panjang dari kita. 50 atau
60% aja cukup harusnya.”
“Bener
banget, Kak. Seharusnya Kak Alan aja yang jadi ilmuwan,” Tiara membenarkan
pernyataan cerdasku.
Hanya di
depan Tiara aku merasa jadi orang yang cerdas.
Nggak
cuma membahas orangutan. Setelah jeda iklan, hewan yang dibahas berganti jadi
ular. Melihat ular ini aku jadi teringat dengan film tentang bencana ular di
dalam pesawat yang kutonton sama Tiara minggu lalu.
“Tiara,
kamu inget film Snake on A Plane?”
“S-sex on A Plane?” Tiara terkaget
mundur.
“Snake on A Plane! Ular di dalam pesawat!”
“Ular di
dalam pesawat? Oh. Inget, Kak. Film yang kemarin itu ya? Tiara nggak takut,
Kak. Nonton itu. Ularnya lucu-lucu. Terutama yang warna coklat itu bentuk
kepalanya lucu banget!”
Tiara
berkata sambil menggambar bentuk kepala ular dengan gerakan tangannya.
Gara-gara
salah dengar tadi, dari gerakan tangan Tiara aku jadi membayangkan bentuk
kepala ular yang lain.
“Assalamualaikum!”
Terdengar
suara orang mengucap salam dari luar. Suara anak perempuan.
Siapa
ya?
Untuk
sesaat aku dan Tiara saling melihat. Kemudian aku berdiri dan berjalan menuju
pintu.
Palingan
orang minta sumbangan masjid. Begitu pikirku.
Setelah
keluar, ternyata bukan. Tamu yang datang ini adalah orang yang kukenal.
Seorang
cewek cantik dengan mata berwarna hijau zamrud yang berkilau bagai permata.
Rambut cokelat panjangnya yang halus sedikit terayun oleh angin pelan di
sekitar. Tak perlu diragukan. Hanya Cynthia yang memiliki pesona sekuat itu.
"Kamu
ngapain kesini?" tanyaku dingin.
“Terserah
aku kan mau kemana. Kenapa kamu yang marah?” jawab Cynthia nggak senang.
“Nggak
terserah kamu dong! Kemarin bukannya kamu dah janji nggak kesini lagi?”
"Ada
sesuatu yang mau kukasih ke kamu. Buruan bukain pagarnya!"
"Sesuatu?
Bom atau racun?" tanyaku curiga.
"Suuzon
banget sih! Bukain aja cepet!"
Sejujurnya
aku malas menurutinya. Tapi nggak ada pilihan lain. Kuanggap ini sekedar sopan
santun menerima tamu, meski tamunya nggak diundang.
Kubukakan
pintu pagar. Lalu Cynthia mengulurkan tangan ke depan. Di genggaman tangan
putih itu, aku melihat lembaran kertas berwarna merah. Lembaran itu adalah uang
kertas Rp100ribuan.
"Heh?
Uang apa ini? Buat apa kamu ngasih uang sebanyak ini ke aku?" tanyaku
terkejut.
"Yang
bilang buat kamu siapa! Ini buat temen kamu. Masih butuh nggak!?”
Lalu aku
teringat kejadian kemarin waktu aku meminta Cynthia meminjamkan uang untuk
membantu Fenny.
"S-s-serius
nih?! Kamu mau minjemin uang ini?"
"Minjemin?
Jadi kamu niat minjem, Cecurut?"
Perlu
tiga detik bagi otakku mencerna pertanyaan Cynthia barusan.
“Emang
kamu mau ngasih cuma-cuma, Mak Lampir?”
"Ya...
ambil aja sih. Gampang kok aku dapet uang segini."
Entah
aku harus merasa senang atau kesal mendengar ucapan Cynthia. Satu sisi aku
senang karena ia bilang ‘ambil aja.’ Itu adalah kata terindah yang pernah
kudengar sepanjang hidupku. Tapi kata setelahnya seolah menghina kondisi
ekonomiku dan negara ini. Itu adalah kata paling menyebalkan yang pernah
kudengar sepanjang hidupku.
“Kamu
dapet uang darimana sih? Kok bisa tiba-tiba segini banyak. Padahal belum lama
kamu bilang lagi nggak ada uang,” tanyaku penasaran.
"Semalam
Papaku pulang. Trus aku bilang ke Papa ada tas sekolah yang mau aku beli
harganya Rp500 ribu. Dan Papa ngasih itu di luar uang jajan mingguanku."
Sumpah. Aku
nyesel nanya.
“K-kalau
begitu makasih ya. Aku terima ban--”
Baru
saja aku mau mengambil uang dari tangan Cynthia. Uang itu tiba-tiba ditarik
kembali olehnya.
"Tapi
aku ngasih ini nggak gratis ya! Ada syaratnya."
“Syarat?!”
Mendengar
kalimat itu, kekhawatiran mendadak memenuhi dadaku.
"Syarat
apa yang kamu mau?"
Apakah
ia ingin aku melakukan hal memalukan dulu untuknya? Misalnya berjoget dengan
kostum ayam, atau mungkin bersujud mencium kakinya? Membayangkannya saja bikin
keringatku bercucuran.
“Jangan
larang Tiara main sama aku.”
Ah...
Ternyata
itu...
Syarat
itu...
Berat
sekali untuk diterima.
Berjoget
dengan kostum ayam rasanya jauh lebih mengasyikkan.
Mengambil
uang ini artinya sama saja megizinkan Cynthia masuk dan mengganggu kehidupanku
lagi. Tapi kalo nggak diambil, aku bisa menghilangkan kesempatan orang yang
ingin bersekolah.
Mana
yang lebih penting?
Kedamaian
hidupku... atau kelanjutan sekolah Fenny?
Bagiku
sebenarnya kedamaian hidup lebih penting. Tapi untuk saat ini, sepertinya aku
nggak bisa bersikap egois. Karena kalau aku mengambil pilihan demi kepentingan
pribadi, aku sama aja dong dengan orang di depanku ini.
Sifatnya
itu sangat kubenci. Tentunya aku nggak mau ikut membenci diriku sendiri.
Sedikit
kuhela napas sebelum memberi jawaban.
“Ha…. iya. Aku ngerti. Mulai detik ini, aku nggak akan larang lagi
Tiara main sama kamu.”
“Bener
ya? Janji!” Cynthia menekankan.
“Pake
janji segala?”
“Pake
nanya segala?”
Pembalikan
pertanyaan dari Cynthia membuatku mati kutu nggak bisa jawab.
“Iya
janji.”
Terpaksa
aku menurutinya.
Cynthia
memberi senyum puas. Senyum yang seolah mendeklarasikan sebuah kemenangan.
“Kalau
begitu ambil nih!” Cynthia menepuk dadaku dengan tangan kanannya yang memegang
uang.
Tentu
saja aku reflek menyelamatkan uangnya dan tanganku sedikit menyentuh tangan
Cynthia.
Tanpa
memikirkan hal tersebut, Cynthia dengan entengnya berjalan melewatiku.
“Tiaraaaa…!
Kak Cynthia main lagi…!!!”
“Yeeey…!
Ada Kak Cynthia!” terdengar suara sambutan dari dalam rumah.
“Iya.
Kamu nggak perlu khawatir lagi sama kakak bejatmu itu karena Kak Cynthia udah
bebas kesini buat ngejagain kamu, Tiara!”
Aku
merasa ada dua kesalahan dalam satu kalimat Cynthia.
Pertama,
aku nggak bejat. Seenggaknya nggak ke adikku sendiri.
Kedua,
Tiara nggak perlu penjagaan apapun. Memangnya dia pikir aku ini kakak yang
seperti apa?!
Tapi
kusimpan saja protesku untuk nanti. Yang penting sekarang aku udah dapat
uangnya. Fenny dan Aldi jadi nggak perlu berjerih payah.
Kalau
aku kirim SMS ke Aldi sekarang, mereka pasti langsung berhenti ngamen lalu
bergegas datang ke rumahku.
Hmm.
Kubiarkan dulu aja. Biarlah Aldi menikmati waktu berdua lebih lama dengan cewek
yang disukainya dari SMP. Barangkali besok aku mendengar kabar kalau dia
menyatakan perasaannya.
Aku jadi
nggak sabar menanti hari esok.
***
Rencanaku
adalah memberikan kejutan kepada Aldi dan Fenny di kantin. Sekeras apapun
mereka berusaha, satu hari Rp300 ribu dari ngamen itu pasti angka yang sulit.
Di kelas
aku akan bertanya pada Fenny tentang hasil mereka lalu berpura-pura ikut putus
asa. Kemudian di kantin aku akan memancing topik itu lagi untuk melihat wajah
suram mereka, lalu secara ajaib aku menunjukkan uang yang kuperoleh dari
Cynthia. Mereka pasti langsung terkejut bukan main.
Rencanaku
sempurna!
Tapi
realita berkata lain. Hari ini Fenny nggak masuk sekolah. Di kantin, aku jadi
cuma duduk berdua sama Aldi.
"Fenny
nggak masuk, Alan? Kayaknya hari ini aku nggak liat dia."
Ucapan
Aldi barusan sepertinya membongkar kebiasaan dia yang suka menguntit Fenny dari
jauh.
“Iya.
Izin dia. Katanya adiknya sakit nggak ada yang jaga.”
“Begitu
ya. Aku kira dia yang sakit. Kemarin dia keliatan capek.”
“Kamu
apain aja si Fenny sampe kecapekan begitu?” tanyaku berprasangka buruk.
“Nggak
lah. Kemarin kita ngamen sampe jam 7 malem. Berhenti karena akunya dah gak kuat
jalan.”
“Lemah
banget kamu, Aldi. Masa malah kamu yang nggak kuat.”
“Berisik
kamu. Kalo kamu disana juga, jam 5 juga pasti dah terkapar.”
“Yaelah,
nyanyi doang apa susahnya.”
“Bukan
masalah nyanyinya. Jalan-jalan keliling komplek capek juga tau.”
“Kamu
ngamen dimana emang?”
“Daerah
Batu Gede. Muter-muter aja dari satu rumah ke rumah sebelahnya, trus rumah
lain. Tapi yang pasti dikasih itu ke warung atau rumah makan. Di rumah makan
kemarin ada yang request nambah lagu trus ngasih Rp20 ribu dia.”
“Lumayan
banget tuh. Trus hasilnya dapet berapa?”
“Dapet
Rp97 ribu. Sepertiganya pun nggak sampe,” nada bicara Aldi terkesan mengandung
kekecewaan.
“Ya
lumayan sih. Yang penting kamu dah berusaha. Tapi santai aja. Aku dah dapet
uang buat nutupin hasilnya. Bahkan tanpa Rp97 ribu itu juga bisa ketutup.”
“Uang
dari mana? Hasil jaga lilin?”
Sepertinya
Aldi menganggap aku lagi bercanda.
“Serius.
Uangnya ada di tasku di kelas. Rp300 ribu pas.”
"Sejak
kapan kamu pinter bohong. Alan? Biasanya kamu keliatan kayak orang bego kalo
lagi bohong," Aldi masih meragukanku.
“Sialan.
Beneran aku dapet Rp300 ribu. Ada orang yang ngasih.”
“Siapa
orangnya?”
“Ada
deh. Pokoknya sekarang uang itu ada.”
Raut
muka Aldi masih nampak tak percaya.
“Bukan
dari maling kan uangnya?” tanya Aldi.
“Bukan
lah! Ngapain aku maling demi cewekmu.”
“Iya
sih. Lagian kalo kamu maling pasti nggak akan masuk sekolah hari ini gara-gara
diamuk warga. Yasudah deh. Trus kapan kamu mau ngasihnya, Alan?”
“Besok
paling. Mau gimana lagi, yang butuh hari ini nggak masuk.”
“Kita ke
rumahnya aja yuk. Besok kan sabtu, mepet banget. Kalo Fenny besok nggak masuk
juga gimana?”
“Ke
rumahnya?” tanyaku ragu.
“Iya.
Ntar ama aku kesana. Rumahnya nggak jauh dari sekolah.”
"O-oke
deh."
Kurasa
aku tak punya pilihan lain.
***
Ini
pertama aku mendatangi rumah seorang anak cewek bukan untuk kerja kelompok.
Meski aku nggak begitu menanggap Fenny sebagai cewek, tapi jenis kelaminnya
tetaplah cewek.
Rumahnya
ternyata memang nggak jauh. Kalau jalan kaki mungkin 10 menit. Karena kami naik
motor, waktu perjalanan jadi jauh lebih singkat.
Di
tengah perkampungan yang nggak jauh dari jalan besar, ada satu rumah yang
dibangun berdempetan dengan dua rumah di sebelahnya. Sebuah rumah kontrakan.
Aldi
menghentikan motornya di depan rumah yang paling kanan.
"Turun,
Alan," kata Aldi.
Dengan
hati masih bertanya aku menuruti Aldi.
Setelah
menurunkan standar motornya, Aldi nampak ingin memanggil Fenny. Tapi aku
menghentikannya.
"Sebentar,
Aldi!" ucapku.
“Kenapa?”
Aku lalu
mengambil tas dari gemblokanku untuk mengeluarkan benda yang tersimpan di dalam
resleting depan.
“Nih.
Kamu aja yang ngasih biar lebih berkesan.”
Yang
kuberikan pada Aldi adalah amplop berisi uang dari Cynthia. Aku udah kehilangan
momen. Jadi nggak ada artinya lagi kalo aku yang ngasih.
"Kenapa
aku? Nanti aku bingung jelasin darimana asal uang itu.”
"Hmm.
Iya juga sih."
Aku
nggak terpikir sampai kesitu. Padahal niatku adalah supaya Aldi bisa punya
kesan lebih lagi di mata Fenny.
“Tapi
kalo aku yang ngasih, ntar Fenny jadi tertarik sama aku gimana?” tanyaku
khawatir.
“Nggak
lah. Itu uang dari orang kan? Bukan uang kamu sendiri.”
“Benar
juga ya.”
Pemikiran
Aldi memang selalu dua langkah di depanku. Aku merasa aman sekarang.
Kemudian
aku memberi isyarat gerakan kepala tanda meminta Aldi melakukan tugasnya.
“Assalamualaikum… Fenny!” Aldi memanggil.
“Waalaikumsalam.”
Tak lama
setelahnya muncul suara jawaban dari dalam.
Pintu
terbuka. Dari dalamnya keluar seorang cewek dengan rambut hitam sepanjang
leher. Mukanya nggak menggunakan satu pun make up, tapi cantiknya sudah
natural.
Kaos
yang berwarna kuning cerah seolah menggambarkan dia adalah karakter cewek
periang. Meski kenyataannya berbalik 180 derajat. Lalu sepasang kaki jenjang
terlihat di bawah celana pendeknya.
Satu hal
yang membuat diriku tertegun, selain karena kaki putih mulus yang membuat mata
siapapun terfokus kesana sesaat, leher Fenny terbuka begitu saja. Nggak ada
kain wol hitam yang biasanya selalu melingkar disana.
Kalau
kuperhatikan baik-baik, nggak ada keanehan seperti luka atau tanda-tanda alergi
di lehernya. Jadi... sebenarnya kenapa dia selalu memakai syal di sekolah?
“Aldi?
Alan? Ada apa kalian kesini?” tanya Fenny.
“Alan
mau ngasih sesuatu ke kamu, Fenny,” Aldi menjawab.
“Eh?
Langsung?” tanyaku.
“Ya emang
tujuan kita kesini apa, Alan?”
“I-iya
juga sih.”
Sebenarnya
aku merasa ini terlalu terburu-buru. Senggaknya aku ingin satu momen dulu. Tapi
benar kata Aldi. Nggak ada hal yang bisa dilakukan selain ini.
“Ini,
Fenny. Isinya Rp300 ribu. Ini dari orang yang kemarin kubilang bisa bantu kamu
itu.”
Agak
malu aku menyodorkan amplop di tanganku ke Fenny.
“Heh?
Beneran?!” Fenny nampak terkejut, “Kamu bilang ke dia nggak kalo kemungkinan
aku balikinnya bakal lama?”
"Dia
bilang nggak usah dibalikin.”
"S-serius!?"
ekspresi Fenny seperti sulit percaya.
“Iya.
Orang kaya dia. Nggak usah kamu pikirin. Anggap aja ini pertolongan dari Tuhan
karena selama ini kamu udah berusaha keras.”
Untuk
waktu yang sangat singkat aku seperti melihat ekspresi terharu di mata Fenny.
Tapi dengan cepat menghilang. Setelah itu bibirnya menggores senyum kecil.
“Siapapun
orang itu, sampaikan ucapan terimakasih aku ke dia, Alan,” ucap Fenny seraya
menerima amplop di tanganku.
"Kalian
mau masuk?” tanya Fenny.
“Eh?
Err…” aku berpikir. Rasanya agak merepotkan. Tapi aku bingung alasan apa yang
bagus buat menolak.
“Nggak
usah, Fenny. Hari ini Alan dipesenin suruh pulang cepet sama adiknya.”
“I-iya
bener,” ucapku membenarkan perkataan Aldi.
Salut.
Pemikiran Aldi cepat dan akurat. Aku nggak bisa mencari alasan selain
memandikan kucing.
“Begitu?
Kalau begitu mau gimana lagi.”
“Kita
pergi dulu ya, Fenny,” kataku.
“Jangan
lupa besok masuk ya. Sabtu hari terakhir bayar UTS,” Aldi menambahkan.
“Iya,
aku ngerti, Aldi. Nggak usah khawatir.”
Setelah
itu Aldi menyiapkan motonya untuk kembali diberangkatkan.
“Oh iya,
Alan. Kamu bisa masuk sebentar?”
Ucapan
Fenny membuat Aldi terhenti dan kami berdua kembali menoleh padanya.
“Emang
ada apa?” tanyaku.
“Adik
aku lagi sakit. Bisa beri dia ucapan agar cepet sembuh?”
“Heh?
Kenapa aku?” ucapku terkejut.
“Karena
doa orang yang sering dianiaya itu biasanya terkabul kan?”
“Sialan.”
Di saat
seperti ini dia masih saja mengejek. Tapi karena kelemahanku yang sulit mencari
alasan aku jadi nggak bisa menolak.
“Yaudah
iya. Tapi aku harus ngomong gimana?” tanyaku.
“Adikku
namanya Mila. Kamu tinggal bilang ‘Mila, cepet sembuh ya!’ gitu aja. Trus
setelah itu boleh langsung pergi.”
“O-oke.”
Tampaknya
bukan hal sulit.
Sampai
disini aku nggak merasakan satu pun keanehan. Dengan lugunya aku mengikuti
langkah Fenny masuk ke rumah.
Setelah
di dalam, pintu depan ditutup oleh Fenny.
Kemampuan
akting Fenny begitu luar biasa sampai aku nggak sadar kalau sedang ditipu.
“Diam
disitu sebentar, Alan.”
“...?”
Tanpa
mengerti apa-apa, aku menurut. Disini perasaanku mulai nggak enak karena Fenny
melihatku dengan tatapan yang nggak biasa. Matanya seperti berkata ia ingin
melakukan sesuatu tapi ragu dan dia nampak tegang. Ketegangannya seolah menular
tapi dengan kadar yang digandakan dua kali lipat.
Perlahan
Fenny berjalan mendekat. Seketika itu juga ketakutan meledak di dadaku. Ia
mendekat seperti ingin memeluk. Tapi aksi yang dilakukan ternyata bukan sebuah
pelukan. Ia memberiku ciuman tepat di bibir.
Sebuah
kelembutan yang baru pertama kali kurasakan. Pikiranku seketika jadi kosong.
Namun samar-samar aku mendengar suara teriakan di dada yang memaksaku untuk
segera berhenti. Memaksaku untuk mendorong Fenny menjauh.
Akan
tetapi gigitan lembut di bibir ini membuat tubuhku nggak bisa melakukan gerakan
selain diam. Aku hanya bisa menikmatinya.
Kurang
lebih lima detik bibir kami menempel lalu Fenny mundur memposisikan tangan
kanannya di depan mulut.
“Uhm…
Kali ini aku akan berkata jujur. Itu ciuman pertamaku. Aku nggak nyangka akan
melepaskannya disini.”
Mendengar
itu membuatku ingin mengeluarkan kata yang persis sama dengan Fenny. Tapi
lidahku sulit bergerak.
“Mau
mencobanya lagi?” kata Fenny.
Sesaat
aku menelan ludah. Kemudian kepalaku mengangguk meski otakku memerintahkan
sebaliknya.
[Bagian ini disensor demi kepentingan publik]
“Maaf
ya. Tiba-tiba. Kamu pasti kaget,” ucap Fenny, “Mungkin agak berlebihan, tapi
aku nggak tau lagi gimana cara berterimakasih ke kamu.”
“B-berterimakasih?
Kamu nggak perlu ngelakuin itu. Uang itu juga bukan uangku,” kataku.
“Ya.
Tapi tetap aja kamu yang memberikannya. Kalo nggak ada kamu uang itu nggak akan sampai ke aku.”
“…”
Ternyata
Aldi salah! Meski bukan uangku, memberikannya tetap membuat kesan yang besar.
Kalau
tau begini lebih baik aku tetap berpegang pada pendirianku tadi. Sekarang sudah
tak ada jalan kembali.
“Tolong
jangan beritau ini ke Aldi ya, Alan,” ucap Fenny.
Tanpa
diminta pun aku nggak akan bisa memberitaukannya.
Di
tengah perjalanan pulang aku nggak banyak bicara dengan Aldi. Meskipun nggak
ada tanda-tanda kecurigaan dari Aldi berkat tipuan sempurna Fenny, perasaan
khawatir di dadaku nggak bisa disembunyikan.
Tambah
lagi, aku orang yang nggak pandai berbohong. Kalau Aldi sampai bertanya apa
yang terjadi di balik pintu itu, matilah aku.
Sesampainya
di rumah aku ingin bersantai melepas penat. Tapi malah ada mobil hitam
terparkir di depan rumahku.
Ah.
Moodku sedang rusak.. Kenapa harus di saat begini?
Seseoang
keluar dari dalam rumah. Itu adalah Tiara dan Cynthia. Dilihat dari bajunya
yang rapi, mereka seperti ingin pergi pergi.
“Kalian
berdua mau kemana?” tanyaku.
“Mau
jalan-jalan, Kak! Tiara diajak Kak Cynthia jalan-jalan,” jawab Tiara.
Aku
ingin melarang tapi mengingat perjanjian kemarin, aku jadi nggak bisa apa-apa.
“Udah
makan belum kamu? Jangan keluar kalo balum makan,” kataku.
“Aku
akan beliin makan buat Tiara di luar, Cecurut. Kamu nggak usah khawatir,” kata
Cynthia.
“Aku
dibeliin juga nggak, Mak Lampir?”
“Hah?
Kenapa aku harus beliin kamu juga?” Cynthia nampak tak senang.
“Ya…
karena aku kakaknya Tiara!”
“Huh,
Kamu itu cecurut! Cecurut cari makan sendiri di got sana! Ayo kita pergi
Tiara.”
“Oki
doki, Kak!”
Setelah bilang begitu, dua anak perempuan itu
berjalan melewatiku lalu membuka pintu mobil.
Sialan.
Kenapa Tiara nggak berpihak padaku? Si Mak Lampir itu pasti udah mencuci otak
Tiara buat menurutinya.
Memikirkan
itu membuat aku jadi merasa adikku sudah direbut. Aku jadi khawatir akan
kehilangan adikku.
Dan
kalau kuingat kejadian di balik pintu rumah Fenny tadi, kejadian yang membuat
ada rasa aneh di bibirku yang nggak kunjung hilang hingga sekarang ini sampai
diketahui Aldi, aku juga bisa kehilangan sahabatku.
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Kenapa
ini harus terjadi padaku?! Apa salahku?!
Oh dewi
kesialan, bisakah kau berhenti mencintaiku?
***
1 Comments
lanjut min
BalasHapusPosting Komentar