TUJUH KEKUATAN
(Translater : Zerard)
Kenari berkicau di dalam
derasnya hujan.
Menyanyikan sebuah melodi
dari dalam sangkarnya, mengiringi tetesan hujan hebat di jendela.
Gadis sapi duduk di samping
jendela. Dia menyentuh gelas berkabut dengan jarinya dan menghela nafas.
Lengannya menopang dirinya.
Gaun yang masih dia kenakan adalah satu-satunya yang tersisa dari festival
pagi.
Dia dapat merasakan udara
dingin pada pipinya. Sebuah senyum tipis tergambar, dan dia bergumam,
“Kira-kira ada di mana mastermu sekarang, apa yang sedang dia lakukan.”
Tidak ada jawaban. Burung
itu terus berkicau merdu.
Burung yang telah dia bawa
ke rumah pada musim panas itu sekarang tinggal bersama mereka di kebun.
Ketika dia bertanya, “Apa
ini hadiah untukku?” Pria itu menjawab, “Nggak juga.” Pria itu terkadang memang
aneh.
Aneh. Bagi pria itu, itu
juga termasuk pergi ke sebuah festival, atau pergi berkencan.
“...”
Mungkin
dia nggak akan kembali.
Gadis Sapi membenamkan
wajahnya pada lengannya seraya pikiran itu terlintas.
Dia tidak ingin melihat
dirinya sendiri yang terpantul pada jendela. Dia tidak sanggup.
Tangan kanannya mengepal.
Tangan itu masih mengenakan cincin—yang benar-benar hanya sebuah mainan—yang
pria itu berikan kepadanya.
Gadis Sapi merasa cukup
terpuaskan ketika mereka pergi bersama. Namun sekarang mereka telah terpisah,
semua itu menjadi terasa tidak cukup.
Lagi, lagi, lagi.
Lagi
akan apa?
“Apa aku selalu seegois
ini...?”
Dia dapat mendengar gelegar guruh
di kejauhan.
Kisah kuno mengatakan bahwa
itu adalah suara para naga, namun Gadis Sapi tidak mengetahui apakah itu benar.
Untungnya, dia belum pernah
bertemu seekor naga. Dan semoga saja itu tidak pernah terjadi.
Jeder,
jeder. Guruh itu semakin mendekat. Guruh...?
Gadis Sapi menyadari bahwa
suara itu telah berhenti ketika berada di dekatnya.
Itu bukanlah guruh. Jadi
apa...?
Dia mengangkat kepalanya,
bingung, dia dapat melihat dirinya sendiri di kaca. Dia terlihat begitu
menyedihkan. Dan di balik pantulan wajahnya...
Sebuah helm kotor, terguyur
dengan hujan.
“Ap?! Oh... Ap?!”
Dia duduk dengan buru-buru,
mulutnya terbuka dan tertutup.
Apa yang harus dia katakan?
Apa yang dapat dia katakan? Kalimat dan emosi bergelombang di sekitar kepala
dan hati.
Dia tidak bisa mengatakan Selamat datang atau Kamu nggak apa-apa?
“Kenapa kamu berhujan-hujanan
seperti itu? Kamu bisa demam!”
Itu adalah salam yang dia
sampaikan seraya membuka jendela dengan keras.
“Maaf. Lampunya menyala,
jadi aku kira kamu masih bangun.”
Di bandingkan dengan dirinya
yang berantakan, pria itu terlihat begitu tenang hingga membuat Gadis Sapi
marah.
“Ada sesuatu.”
“Sesuatu seperti...?”
“Aku akan kembali di pagi
hari,” dia berkata tenang, dan setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan,
“Aku ingin rebusan untuk sarapan.”
“Uh—“
Dia akan kembali. Dia telah
pergi jauh-jauh kemari hanya untuk memberitahunya bahwa dia akan kembali. Dan juga
dia ingin memakan masakan Gadis Sapi.
Pria
ini... Oh, pria ini!
“...Rebusan? Di pagi hari?”
Kehangatan menyebar di
keseluruhan dadanya, dan sebuah senyum terpapar pada wajahnya.
Aku
ini gampang banget!
“Tolong ya.” Dia berkata.
Yang hanya bisa Gadis Sapi
katakan adalah, “Astaga, aku ini sulit di percaya.” sebelum dia melanjutkan
untuk berkata, “Kalau kamu sampai ketiduran karena kena demam, aku akan marah,
jadi pastikan kamu bangun tepat waktu.”
“Baik.”
“...Mm.”
Gadis Sapi mengangguk.
Pria itu tidak berbohong.
Hanya ada satu hal “Sesuatu”
yang dia sedang hadapi.
Itulah mengapa Gadis Sapi
tidak bertanya hal lainnya.
Hari perayaan mereka telah
berakhir. Semua telah kembali menjadi normal kembali. Hari biasa seperti yang
lainnya.
Walaupun dengan apa yang
Gadis Sapi rasakan, ini bukanlah saat yang tepat untuk menunjukkan emosinya.
“Yah, kalau begitu..,o-oke.”
Hanya ada satu kalimat yang
dia dapat ucapkan pada pria itu.
“Lakukan yang terbaik!”
“Pasti.”
Dan dengan itu Goblin Slayer
mengambil satu langkah, kemudian dua, menjauh dari jendela dengan langkah gagah
berani tidak peduli.
“Jangan pergi keluar,” dia
berkata. “Tetap bersama pamanmu.”
Gadis Sapi memperhatikan
pria itu hingga pria itu lenyap masuk ke dalam kegelapan.
Jeder,
jeder. Suara itu datang kembali dan semakin menjauh
mengikuti pria itu.
Gadis Sapi melihatnya, dan
tertawa kecil pada dirinya sendiri seraya dia menutup jendela.
“Mastermu ini terkadang
memang suka melakukan hal-hal yang aneh.”
Dia menyodok sangkar dengan
jarinya, menyebabkannya berayun lembut. Kenari berkicau memprotes.
Namun kali ini Gadis Sapi
tidak mempedulikannya.
Sebagian dari dirinya merasa
marah, sedangkan sebagiannya lagi hampir merasa melambung penuh kegembiraan.
Gadis Sapi merasa ini
bukanlah waktu yang tepat untuk merasakan perasaan ini—namun dia juga ingin
segera pergi ke kasurnya dan tertidur dengan masih menggenggam perasaan ini di
hatinya.
Mimpinya akan memberikannya
waktu yang cukup untuk menikmatinya.
“Tapi...”
Dia melepas gaunnya,
melipatnya dengan hati-hati agar gaun itu tidak kusut, dan kemudian
menenggelamkan tubuh montoknya ke atas kasur.
Pria itu tentunya mempunyai
rencana.
“...Kenapa dia
menggelindingkan drum-drum itu bersamanya?”
*****
Hujan semakin deras seraya
angin semakin menggigit.
Malam semakin larut, begitu
gelapnya hingga sulit untuk dapat melihat apa yang ada di depan batang hidungmu
sendiri.
Ini adalah badai yang
sesungguhnya.
“Ho, Beardcutter!” Di dekat bangunan
yang berdiri di dalam kegelapan, Dwarf Shaman memanggil. “Aku menyalakan
perapian!”
“Benarkah?” Goblin Slayer
berhenti menggelindingkan drum, yang sekarang telah mencapai tujuannya, dan
mengangguk. Bangunan ini—sebuah struktur bata kecil di pinggiran sebuah
kebun—memiliki sebuah perapian, namun sejauh ini belum ada asap yang mengepul
dari perapian itu. “Bagaimana kelihatannya?”
“Remang sekali. Tapi mudah
saja dengan sedikit bantuan dari sihir.”
Dwarf Shaman membelai
jenggotnya dan menyeringai. Banyak dari kemampuan spesialnya berpusat pada
bumi, namun bangsa dwarf dan api merupakan sahabat alami. Sangat mudah bagi
dirinya untuk memanggil Salamander Api untuk menyalakan kayu bakar yang basah.
“Arah anginnya terlihat
bagus untuk saat ini.” High Elf Archer mengambil menggenggam seekor laba-laba
yang merayap melintas dan menenun sutra dari laba-laba itu, menggunakannya
untuk mengganti benang panah kayunya.
Semua perlengkapan elf
terbuat dari apa yang bisa di dapatkan dari alam. Mereka mungkin tidak memiliki
sihir untuk mengontrol roh-roh dunia, namun dari semenjak mereka lahir di dunia,
bangsa elf hidup harmonis dengan alam. Sepertinya, mereka merasa bahwa bangsa
lain tampak tidak peduli, tapi...
Masih tidak dapat di
pungkiri bahwa tidak ada bangsa lain di dunia yang lebih cocok menjadi seorang
ranger selain para elf.
Dia mengepak telinga panjang
khas dirinya dan berkata, “Badai akan berada tepat di atas kita. Tapi untuk
sekarang, arah angin berlawanan dengan kita, alam berpihak pada kita.”
“Baiklah. Bagaimana dengan
goblinnya?”
“Mereka semakin mendekat.
Kita sudah tidak punya banyak waktu lagi.”
“Aku mengerti. Ayo cepat.”
Goblin Slayer mengangguk, kemudian berputar pada Dwarf Shaman. “Kalau kamu
punya mantra yang tersisa, coba perkuat anginnya. Untuk lebih memastikan.”
“Angin merupakan keahlian
para elf. Tapi aku rasa aku bisa memanggil sedikit angin di sini...”
“Tolong lakukan.”
Dwarf Shaman menjawab
permintaan Goblin Slayer dengan mengeluarkan sebuah kipas dari tasnya.
Dia membukanya dengan
sekejap dan mulai mengibaskannya di udara, melantunkan suara bernada tinggi
yang aneh.
“O peri, Sang angin perawan, berikanlah aku ciumanmu yang paling
menawan—berkahilah kapal kami dengan hembusan angin berkawan.”
Di antara lolongan badai,
sebuah hembusan lembut mulai menggelitik pada pipi mereka.
Ini merupakan mantra
sederhana untuk memanggil angin, jenis mantra yang seorang mage akan gunakan
untuk menunjukkan sebuah pertunjukkan demi sekeping uang.
“Hanya bisa sekuat itu,”
Dwarf Shaman berkata. “Aku nggak tahu seberapa bergunanya ini untukmu.”
“Nggak bisakah dwarf
melakukan apapun dengan benar?” High Elf Archer mengejek, mengundang respon
dari sang shaman.
“Aku nggak peduli. Ini sudah
cukup.” Dengan punggungnya yang di terpa angin, Goblin Slayer mulai memeriksa
seluruh persiapannya.
“Bagaimana persiapan Dragontooh-mu?”
“Semoea telah siap.”
Lizard Priest menunjuk pada
taring kecil yang tersebar di lantai, kemudian membuat gerakan aneh dengan
kedua tangannya.
“O
tandoe’ dan tja’ar leloehoer ‘ami, Igoeanodon, djad’anlah empat anggota toeboeh,
mendjadi doea ‘a’i oentoe’ berdjalan di boemi ini.”
Seraya doa di lantunkan,
taring bertambah besar, bergetar dan meninggi.
Akhirnya, dua tengkorak
lizardman berdiri di depan mereka—Dragontooth Warrior.
Lizard Priest menopang pedang
taring miliknya pada pundaknya dan membuat suara menghargai.
“Soengoeh disajang’an, ini
meroepa’an batas ‘emampoean mantra saja. Dapat’ah saja memindjam sesoeatoe
oentoe’ mendjadi sendjata mere’a?”
“Nggak masalah,” Goblin
slayer berkata, membenarkan posisi drum di dekat kakinya. “Aku menyewa gubuk di
sebelah sana. Gunakan senjata apapun yang ada di dalamnya.”
Lizard Priest mengayun
ekornya, dia dan tengkorak miliknya pergi menuju bangunan yang berada di luar
itu.
Seraya dia pergi, Goblin
Slayer membedirikan drum lainnya.
Terdapat tiga drum secara
keseluruhan. Drum itu hampir sama tinggi dengan dirinya.
Drum itu juga tampak cukup
berat, dan terisi akan sesuatu di dalamnya. Seraya dia membedirikan drum itu,
drum itu mendarat dengan cipratan lumpur. Membuat noda hitam pada pakaian
Priestess, namun Priestess tidak terlihat mempedulikannya.
“Pak Goblin slayer, apa kamu
nggak kedinginan?”
“Seharusnya yang kedinginan
itu kamu.”
Pakaian tipis miliknya basah
di karenakan hujan, menempel ketat pada sosok figur mungilnya. Priestess
terlihat sedikit malu di karenakan kulitnya yang hampir tembus pandang dari
balik kain, namun dia menggeleng kepalanya.
“Aku baik-baik saja. Ini
nggak seberapa. Terkadang kami melakukan pensucian diri dengan air es.”
“...Kamu masih punya
keajaiban, kan?”
“Ya pak, masih.”
Priestess tersenyum berani.
Pakaiannya, sebenarnya
adalah, di tujukan untuk pertempuran, dan Ibunda Bumi tidak akan
mendiskriminasi dirinya hanya karena sebuah noda dari tanah.
Mengotori pakaian putih
murni miliknya di karenakan membantu seseorang hanya akan membuatnya tampak
semakin indah.
Dia menggenggam flail-nya
dan mengangguk.
“Aku sempat beristirahat sejak
aku menggunakan Silence tadi. Aku masih bisa dua kali lagi.”
“Baiklah.”
Goblin Slayer menggunakan
gagang pedang untuk mencongkel tutup salah satu drum.
Tutup itu terbuka dengan
suara screeeeech, dan aroma busuk
bercampur aduk dengan petrikor. (TL Note : Petrikor = https://id.m.wikipedia.org/wiki/Petrikor
)
“Ugh,” High Elf Archer
berkata, mengernyit wajahnya, namun Priestess dengan segera mendekati salah
satu drum.
“Kita sudah kehabisan waktu.
Aku bantu!”
“Terima kasih. Tolong
bantuannya”
“Baik!”
“Masukkan semuanya ke dalam
sana. Tanpa terkecuali.”
“Oke!”
Priestess menarik sebuah
ikan yang mulai membusuk di terik matahari.
Tangannya penuh akan
ikan-ikan itu, dia menuju perapian, dan memasukkan semuanya ke dalam.
Api panas semakin membara.
Mereka tidak menyiapkan api itu untuk hanya sekedar mengeringkan diri mereka
dari hujan.
Seraya Goblin Slayer
memperhatikan Priestess, Dwarf Shaman menyikut rusuk Goblin Slayer. “Harus biarkan
gadis itu menghangati dirinya sendiri, ya.” dia berkata memahami.
“Erk.” Ini berasal dari High
Elf Archer. “Jadi gimana dengan aku? Aku juga basah kuyup!”
“Ya, ya, nona dua ribu tahun.
Aku kira elf menganggap hujan sebagai berkah dari surga.”
“Elf juga nggak suka
kedinginan!”
Dan merekapun kembali berdebat.
Merupakan pertengkaran biasa mereka.
Lizard Priest, yang telah
kembali setelah mempersenjatai Dragontooth miliknya dengan cangkul dan sabit,
memutar matanya terhibur.
“Dan apa jang sebenarnja anda
rentjana’an, toean’oe Goblin Slajer?” nada dia menandakan bahwa ini adalah yang
paling menarik perhatiannya.
Goblin Slayer menjawab
seraya mempersiapkan perlengkapannya sendiri, memastikan perisainya terasah.
“Seharusnya sudah jelas.
Taktik dasar membasmi goblin.”
Dia meluruskan helmnya dan
menarik belati pada sarungnya di pinggul yang dia curi dari goblin.
Dia mengambil kain kotor
dari tasnya, secara hati-hati membersihkan mata belati.
Dia mengembalikannya ke
sarungnya, kemudian memilih senjata lain dengan tangan kanannya.
Armor kulit kotornya, helm
yang terlihat murahan miliknya, pedangnya yang tidak panjang dan tidak juga
pendek, dan perisai bundar pada lenganya.
Dengan penampilannya yang
tidak pernah berubah, nadanya yang tidak pernah berubah, dia menyatakan:
“Kita akan mengasapi mereka
hingga keluar.”
Goblin semakin
mendekat—mungkin dua puluh atau tiga puluh.
Rumah asap menyemburkan,
asap hitam pekat di dalam badai.
*****
Bagi para goblin, badai ini
merupakan berkah dari langit.
Malam adalah sahabat mereka,
dan kegelapan adalah sekutu mereka. Halilintar adalah genderang perang mereka.
Dark Elf, yang berada di
posisi belakang sebagai pemimpin mereka, merasakan perasaan yang sama.
Dia mengenakan rompi kulit
kotor di bawah jubah yang membesar dan berat di karenakan hujan. Sebuah pedang
tipis bergantung di pinggulnya.
Kulitnya mungkin memang
berwarna gelap, telinganya runcing layaknya duri, dengan rambut berwarna silver—namun
orang lain dapat menyangkanya sebagai seorang petualang. Seorang dark elf
berhati baik terkadang dapat datang di saat bulan biru.
Senjata yang dia genggam, menyirnakan
berbagai pertanyaan.
Merupakan benda buruk rupa yang
di hias dengan ukiran pada badan benda itu. Jika dilihat sekilas, benda itu
mirip dengan sebuah kandil.
Siapa yang bisa menciptakan
benda semacam itu? Bahkan sekarang, benda itu menjulurkan jarinya seolah ingin
menggenggam sesuatu.
Dan jika ini masih belum
cukup, benda itu bercahaya dengan sinar kehidupan, berdenyut.
Tidak ada pejuang keadilan
yang ingin memegang benda seperti itu.
“GOBOR!!”
“GROBR!!”
“Mm. Aku tidak peduli. Terus
maju—injak mereka, habisi mereka!”
Dark Elf mengangguk tenang
seraya salah satu goblin imut bodohnya memberikan laporan.
Makhluk itu sangatlah
sempurna sebagai tentara namun sangat tidak berguna untuk hal lainnya.
Tentu saja, dengan senjata
sederhana dan armor dan posisi pada garis depan, mereka sangatlah cukup untuk
melibas agen ketertiban.
“Kamu bilang ada petualang
di depan? Orang bodoh, bersembunyi di bayang-bayang.”
Ini adalah salah satu kota
tempat di mana para petualang berkumpul. Sangatlah mungkin akan ada beberapa
petualang di sana. Itulah mengapa dia dengan sengaja datang pada malam setelah
festival.
“Tapi...apa akan berjalan
lancar untukku...?”
Mengapa dia harus meragukan
wahyu yang di terima dari dewa kekacauan?
Dengan
benda terkutuk yang aku pegang, aku akan memanggil hecatoncheir kuno, raksasa
bertangan seratus.
Hecantoncheir, makhluk yang
paling di takuti di antara para raksasa yang dapat di temukan di dalam buku
monster yang di berada di tangan dewa kekacauan. Seekor makhluk yang di
ciptakan untuk melakukan pertempuran ketika para dewa mulai membuat bidak
pertama mereka untuk permainan peperangan mereka.
Dia mendengar kisahnya,
dengan kekuatan tangan yang tidak terbatas, makhluk itu mengalahkan dewa
ketertiban.
Ah,
hecantoncheir! Hecantoncheir! Dark Elf merinding penuh
kegembiraan.
Tindakannya akan semakin
menguatkan kemungkinan kemenangan pasukan kekacuan.
Semenjak dia telah menerima
wahyu, dia tidak sedikitpun membuang waktu.
Akan tetapi entah
mengapa...dia tidak dapat lepas dari sebuah perasaan akan adanya kekurangan
dalam rencananya.
Namun mengapa dia merasa
seperti itu? Apa penyebabnya? Apakah karena komunikasi dengan skuad di bagian
timur, barat, dan utara secara misterius telah terputus?
Apakah petualang pemarah
yang dia sewa untuk menimbulkan kekacauan di kota telah melalaikan
pekerjaannya?
Atau karena semua wanita
tumbal yang yang telah di culik para goblin atas perintahnya telah di curi
darinya?
Apakah benda terkutuk yang
jatuh kepadanya merupakan sebuah kesalahan...?
“...Tidak!” Dia berteriak
sekeras dia bisa, seraya ingin menghilangkan rasa ragunya. “Dadu sudah di lempar. Yang sekarang bisa ku
lakukan hanya terus berjalan maju!”
Dia hanya memiliki tiga
puluh goblin di bawah perintahnya. Namun mereka hanyalah sebuah pengalih.
Begitu juga dengan goblin
yang datang mendekat dari arah lainnya. Semua hanya untuk mengelabui mata para
petualang.
Misi sesungguhnya secara
harfiah berada di tangannya.
Selama dia memegang benda
terkutuk ini, kunci kekuatan hecatoncheir, tidak ada yang perlu di takuti.
Dia akan memanfaatkan
waktunya. Setiap jam, setiap detik, tidak membuang sedikitpun waktu.
Dia akan mempersembahkan
dadu. Mencari satu orang lagi, satu tetes darah lagi.
Hingga Hecantocheir bangkit.
“Hrk...!”
Dan kemudian itu terjadi.
Indranya, setajam seperti
elf lainnya, merasakan sesuatu yang aneh.
Sebuah aroma.
Lebih tepatnya aroma busuk,
yang menusuk mata dan hidungnya, sesuatu yang membusuk... Tidak... aroma laut?
Hujan dan angin telah
menghilangkan semua suara, dan sekarang hujan dan angin itu membawa sebuah
kabut hitam yang menyamarkan cahaya yang tersisa.
Kabut itu datang bersama
angin, menyelimuti medan perangnya,
“Kabut asap? Tidak... Gas beracun?!”
Dengan segera dia menutup
mulutnya, namun sayangnya, goblin bawahannya tidak begitu cerdas. Asap
menyelimuti mereka, dan mereka mulai berteriak dan menjerit.
“Ba-bajingan! Kalian
melakukan hal seperti ini kepada musuh kalian dan Kalian masih berani memanggil
diri kalian petualang...?!”
Dark Elf menyadari agitasinya
meningkat, tidak dapat menahan teriakan kemarahannya.
Ini bukanlah taktik yang
akan di gunakan sekutu ketertiban.
Namun ini hanyalah
permulaannya saja.
Warrior tengkorak muncul
dari balik kabut, pucat putih di antara hitam pekat asap, dan berlari menuju
para goblin.
*****
“Kamu bilang kamu nggak ada
pasang perangkap, Beardcutter!”
“Memang.”
Goblin Slayer berbicara
seraya memperhatikan para goblin gugur layaknya padi yang di sabit.
“Tapi aku nggak bilang kalau
aku nggak punya rencana.”
“Oi.”
“Selalu ada cara. Banyak
cara.”
“Oi.”
Dragontooth Warrior
sangatlah mengerikan untuk di pandang di ,edan perang.
Mereka hanyalah tulang,
tidak mempunyai mata, hidung, dan tidak bernapas, aroma asap ikan yang membusuk
sama sekali tidak mengusik mereka.
Para goblin tersedak dan
terbatuk di dalam asap, mengayunkan senjata mereka secara sembarangan. Betapa
mudahnya fosil warrior ini mengalahkan mereka. Satu ayunan sabit memutus sebuah
kepala. Dengan serangan cangkul, sebuah lengan terlepas. Aroma darah dan bau tengik
tubuh goblin bercampur satu dengan aroma ikan di udara.
Mungkin seperti inilah aroma
neraka.
“Kamu nggak bercanda,” High
Elf Archer berkata, mengernyit wajahnya dan menutup mulut dan hidung dengan
sebuah kain. “Kamu selalu punya rencana di saat-saat seperti ini, Orcbolg.”
Itulah yang menjadikannya
pemimpin party mereka.
High Elf Archer mungkin
memiliki pengalaman yang lebih (atau itu yang dia bilang), dan Lizard Priest
mempunyai kepala yang lebih dingin.
Namun jika mengenai berbagai
macam strategi tidak lazim....
“Tapi kamu nggak boleh
menggunakan cara ini dalam petualangan kita, oke? Aku akan marah kalau kamu
melakukannya.”
“Yang ini juga nggak boleh?”
“Tentu saja nggak.”
“Aku mengerti.”
Priestess tertawa kecil
mendengar jawaban kekecewaannya.
“Apa kamu sebegitu
kecewanya?”
“Ketika kita kalah jumlah,
ini merupakan cara efektif untuk memperlambat barisan depan mereka,” Goblin
Slayer menjelaskan dengan datar, kemudian mengangguk dengan mendengus, “ Mereka
akan mencari dan menginvestigasi dan menjadi lebih gugup. Mereka akan meragukan
apa yang akan keluar selanjutnya, seperti tipuan tangan.”
“Aku rasa itu bukanlah hal
yang sama...”
Tidak lama setelah Priestess
mengatakan ini, Priestess melihat pada medan perang seraya telah merasakan
sesuatu. Matanya melotot lebar.
“Oh...!”
Dia bergetar begitu hebatbya
seraya berteriak, kemudian melompat ke depan party mereka.
Sebelum seseorang dapat menghentikannya,
Priestess mengangkat flail miliknya, dan kemudian suaranya.
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah perlindungan kepada kami yang
lemah!”
Dia memohon keajaiban kepada
dewa. Ibunda Bumi yang maha penggasih memberikannya sebuah dinding tak kasat
mata, yang berpusat di sekitar tongkat yang di genggamnya di udara.
Pada tepat pada detik itu,
kalimat akan lidah kuno terdengar di keseluruhan medan perang.
“Omnis...nodos...libero!”
Aku melepas semua yang terkekang!
Sebuah ledakan cahaya
membutakan mereka. Sebuah lembaran putih memotong gelapnya hujan dan
menyelimuti segalanya.
Cahaya itu melintasi medan
perang, menghilangkan asap, dan menghancurkan Dragontooth Warrior. Prajurit
tengkorak itu rubuh layaknya sekarung batu bata.
Cahaya itu berdenyut
melintasi medan perang sekali lagi, menangkap beberapa goblin dan mengubah
mereka menjadi debu.
“Hrr...rrr...”
—hingga, dengan dentuman,
cahaya itu menghantam pelindung tak
kasat mata dan menghilang.
Hujan telah membentuk
pusaran angin sekarang, namun dengan adanya aroma aneh lainnya yang mencampuri.
Priestess terkulai lemas,
tidak bisa sepenuhnya menahan tekanan spritual akan hantaman itu.
Goblin Slayer menggunakan
lengannya yang berperisai untuk menahan Priestess dan menjaganya tetap berdiri.
“Ak...Aku minta maaf...”
“Kamu terluka?”
“Ng-nggak, tu-tubuhku
baik-baik saja...” Darah telah terkuras dari wajahnya, dan dia menggigit
bibirnya menyesal, “Tapi aku... Aku hanya punya satu keajaiban lagi
sekarang...”
“Nggak masalah.” Goblin
Slayer menggeleng kepalanya. “ Itu sudah cukup.”
Awan hitam yang menutupi
medan perang telah terbakar habis.
Tidak akan memakan waktu
lama hingga goblin dapat pulih dari kebingungan mereka.
Dragontooth
Warrior nggak bertahan selama yang aku harapkan.
Goblin Slayer dengan cepat
merevisi rencannya. Dia berniat untuk bergerak setelah makhluk itu telah
mengurangi jumlah musuh mereka.
Dia mempunyai satu ide—tidak
bisa di bilang sebagai kartu as, tapi adalah sesuatu yang telah dia siapkan
jika mereka berhadapan dengan sesuatu selain goblin.
Namun kebun berada di
belakang mereka. Mereka harus membunuh semua musuh mereka di sjni. Tidak ada
satupun yang boleh di biarkan hidup.
Seperti
biasa.
“Bagaimana menurutmu?” dia
bertanya.
“Mereka punya mantra
Disintegerate.” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggotnya seraya merogoh tas
berisi katalis miliknya. “Ini akan sulit untuk di hadapi, tapi kemungkinan
mereka nggak bisa melakukannya lebih dari sekali.”
“Namoen ini aneh,” Lizard
Priest berkata dari tempat di mana dia berjongkok berlindung, memperhatikan
medan perang dengan siaga. “Apa’ah pembatja mantra dengan ‘e’oeatan jan seperti
itoe biasanja membagi goblin mili’nja?”
“Mungkin dia mempunyai
tujuan lain.” Goblin Slayer bergumam.
Awan gelap berputar di atas
kepala mereka. Elemen alam mencambuk pada mereka tanpa ampun.
Goblin Slayer memiliki
firasat buruk. Firasat yang sama ketika seekor goblin mengendap-endap di
belakangnya.
“Kita sudah nggak bisa
mengulur waktu lagi.”
“Ada seboeah pepatah, ‘perang’ap
jang telah di’etahoei boe’anlah seboeah perang’ap.’” Lizard Priest mengayunkan
ekornya, “Saja rasa ‘emoeng’inan terbai’ ‘ita adalah dengan menjerang secara
langsoeng, memojo’an moesoeh.”
“Aku setuju.” Goblin Slayer
berkata singkat, kemudian memutar helmnya kepada Priestess.
Priestess mengelap keringat
dan lumpur dan hujan dari wajahnya dan bertatap muka dengannya.
Helm Goblin Slayer sama basahnya
dengan hujan, ternoda dengan lumpur dan darah, dan ekspresi di balik helm itu
tidak dapat di ketahui.
“Kamu penting. Aku berharap
padamu.”
Namun Priestess dapat
merasakan tatapan pria itu pada dirinya. Priestess berkedip.
Ini sangatlah cukup untuk
meningkatkan kepercayaan dalam hatinya.
Pria ini berharap padanya. Orang
itu berkata padanya.
“...Baik, pak!”
“Baiklah. Kalian semua tahu
rencananya. Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya.”
Goblin Slayer menarik
pedangnya, menyiapkan perisainya, dan melangkah maju.
Lizard Priest berdiri di
sampingnya, pedang taring telah di siapkan, ekornya terangkat.
Di belakang, High Elf Archer
memasang panah pada busurnya, menarik benangnya.
Dwarf Shaman menggenggam
katalis dengan kedua tangan seraya membaca mantra.
Dan Priestess memegang erat
flail miliknya, menawarkan doa kepada para dewa di surga.
“Ayo.”
Dan pertarunganpun di mulai.
*****
Korban pertama mencoba
merayap keluar dari kabut asap.
Goblin itu memiringkan
kepalanya, merasakan sesuatu sedang mendekat, dan tidak lama kemudian kepalanya
menghilang.
“GROORB?!”
Goblin Slayer menginjak
tengkorak itu seraya maju ke depan, menghancurkannya.
Dia menyapu makhluk di
belakang dengan perisai pada lengan kiri dan menusuk tenggorokkan makhluk lain
yang melompatinya.
“Dua.”
Mayat segar itu segera
terjatuh seraya dia melepaskan pedangnya. Dia menendangnya, menarik kapak yang
berada pada ikat pinggang makhluk itu.
Dia memotong leher makhluk
yang tersandung di belakangnya, menarik nyawanya.
“Tiga.”
Dia melempar kapak pada
gerombolan goblin dan mengambil tombak pendek dari korban terakhirnya, dan terus
melangkah maju tanpa melihat ke belakang.
“Lewat sini. Ayo.”
“Baik’” Lizard Priest
menjawab lugas berlari mengikuti ekornya melingkar.
Dia mengayunkan taring putih
itu layaknya sebuah pedang besar, memotong beberapa musuh dalam sekali tebas.
“Lihatlah! Naga menakoet’an,
leloehoerkoe, lihatlah! ‘ita bersoe’a cita malam ini!”
“GOROROROR?!”
Tetes hujan berdansa, darah
mengalir, dan daging berterbangan. Teriakan dan jeritan bergema di udara.
Goblin terlahir sebagai
pengecut. Itu adalah sebagian alasan mengapa mereka sangat licik.
Tidak ingin mati, mereka
menggunakan rekan mereka sebagai perisai. Murka karena kematian rekan mereka,
mereka menyerang bersama untuk membasmi musuh mereka.
Dan karena musuh mereka
telah melakukan ketidak-adilan pada mereka, segala macam siksaan sangat di sah-kan
Lihat!
Musuhnya hanya dua. Ya, beberapa memang sudah mati, tapi jumlah masih berpihak
pada kita.
Di tengah-tengah hujan dan
aroma busuk yang mengambang—apa kamu
mencium itu?
Seorang gadis. Seorang elf.
Seorang wanita.
Tidak
ada yang perlu di khawatirkan. Lakukan.
“GOBBRO!!”
“GROBB!!”
Hanya butuh sesaat untuk
goblin dalam merubah kebingungan menjadi kemarahan, dan kemudian menjadi
keserakahan.
Beberapa dari mereka
mengambil beraneka ragam senjata berusaha untuk menghentikan serangan gencar Goblin
Slayer, dan beberapa membawa tombak berusaha mengepung dan membunuh Lizard
Priest dalam tarian membunuhnya.
Beberapa yang lebih pintar
dari mereka melarikan diri dari musuh mengerikan ini dan memecahkan formasi.
Namun Goblin Slayer dan
partynya sudah mengetahui bahwa beberapa dari mereka akan berusaha lari.
“Pazuzu,
raja Locust, anak matahari, bawalah ketakutan dan kesengsaraan, dalam setiap
langkahmu!”
Para goblin bergetar
ketakutan mendengar suara tinggi siulan angin.
Dan kemudian mereka melihat
sumber suara itu, lolongan menderu—gelombang hitam bergulung melewati bumi,
tepat menuju mereka. Sebuah badai hitam pekat.
Adalah sebuah gerombolan
serangga, bersiap membanjiri dan menghancurkan.
“GORRBGGOGG?!?!”
“GORGO?!”
Para goblin berusaha keras
untuk mengusir serangga yang menggigit dari kulit mereka, tidak menyadari bahwa
itu semua hanya sekedar ilusi.
Rasa takut adalah emosi
utama dalam dunia, dan sangatlah efektif dalam mengendalikan goblin. Mereka
berteriak dan menggertakkan gigi mereka.
Mereka terpecah belah,
menjatuhkan senjata mereka dan berlari secepat kaki bisa membawa mereka ke
segala arah.
Mustahil mereka bisa berlari
sampai jauh.
“Gnomes!
Undines! Buatkan aku bantalan terbaik yang pernah ada!”
Para goblin terikat.
Bumi menahan kaki mereka
dengan cepat dan mereka terjatuh ke tanah satu persatu. Lumpur lengket
menggelembung di sekitar mereka.
“GORBO?!”
“GBORRBB?!”
Mereka berjuang dan melawan
namun menyadari bahwa mereka tidak dapat berdiri.
Lizard Priest bergerak maju tanpa
lelah di sekitaran rawa yang telah di panggil, melakukan pekerjaan
mematikannya.
Cakar, cakar, taring, ekor.
Dia berdansa di antara goblin, menghabisi mereka dengan setiap bagian tubuhnya.
“Ho! Leloehoerkoe, jang
meroepa’an separoeh djiwakoe! Terimalah amoe’an ini!”
Kaum lizard datang dari
rawa. Lumpur ini bukanlah halangan bagi mereka.
Lizard Priest membantai para
goblin, kemudian mengangkat kepalanya dan meraung.
“Madjoe, toean’oe Goblin
Slajer!”
“Ya,” Goblin Slayer berkata,
mendatangi dan berdiri di sampingnya. Dia membawa beberapa kulit yang telah di
persiapkan secara khusus.
Dia menggunakan tombaknya
untuk menusuk punggung salah satu makhluk yang terjatuh. Itu satu. Dia
mengambil pedang monster itu dan melemparnya. Dua.
Dia bergerak maju dengan
perisai terangkat, menjatuhkan beberapa lagi yang berada di dekat mayat itu.
Dia mengangkat mayat itu, menarik pedang dari mayat itu. Tiga.
Dia mengunakan pedang itu
untuk membelah tengkorak goblin yang berusaha memblokir jalan majunya. Empat.
Dia menjatuhkan senjata yang menjadi tumpul itu, menendang sebuah tubuh ke
samping dan mengambil pentungannya.
Tenang dan presisi, mencari dampak
terbaik dengan upaya minimal, dia melintasi pasukan musuh.
“Ya Tuhan, Beardcutter. Dia
memang bisa menanganinya sendiri.” Di bagian belakang, Dwarf Shaman tertawa dengan
sebuah tanduk berburu pada satu tangan dan beberapa tanah liat di tangan
lainnya. Pria itu seolah tidak ingin mempercayainya. “Tentu saja, tanpa adanya
aku di sini, semua nggak akan berjalan dengan begitu lancar...”
“Buat
rawa,” Goblin Slayer telah berkata padanya. “Jangan biarkan mereka melarikan diri.”
Hanya itulah tugas Dwarf
Shaman.
Ketakutan, dan kemudian
ikat. Fakta bahwa mereka berada di tempat terbuka akan semakin menguatkan efek
ini.
Dua mantra skala besar. Memang
benar, dia hanya meniup dari katalisnya, tapi...
“Bersiaplah, telinga
panjang, kamu berikutnya.”
Dwarf Shaman memberikan
tepukan menyemangati pada pundak Sang elf, dan telinga elf itu menyentil tidak
senang.
“Jangan pukul aku, kamu bikin
bidikanku melenceng.”
“Jangan ngaco. Gerombolan
sebesar ini, nggak peduli kemana kamu menembak, kamu akan mengenai sesuatu.”
“Kalian para dwarf nggak
pernah serius dalam hal apapun... Tembakan yang kena itu juga berawal dari
bidikan.”
High Elf Archer menarik dan
mengeluarkan nafas dari hidungnya. Bagi para elf, menembak sama halnya dengan
bernafas.
Jarinya bergerak pada benang
dengan ritme yang teratur, mengirimkan panahnya terbang mengudara melintasi
hujan. Dalam dunia ini, hanya dewa yang dapat menandingi kemampuan memanah kaum
elf. Dan High Elf Archer adalah, yah, seorang high elf, garis darah keturunan
para dewa jaman dahulu.
Dan memang benar, sasarannya
adalah para goblin yang bermandikan lumpur.
Walaupun dia memprotes, dia
dapat mengenai mereka walau tanpa membidik. Namun dia terlalu berdedikasi untuk
itu.
Dan karena, Orcbolg telah
setuju untuk pergi berpetualang dengan dirinya! Oleh karena itu dia tidak bisa
membiarkan kesempatan itu begitu saja. Dia tidak ingin.
“Seorang petualang harus
menyelesaikan quest mereka sampai akhir!”
Dan panah yang terguyur
hujan miliknya bergabung dengan hujan yang jatuh dari langit.
Goblin Slayer sendiri
seperti sebuah misil yang di tembakkan di medan perang tidak ada sedikitpun
keraguan dalam langkahnya. Ini bukanlah sebuah kemungkinan, namun sesuatu yang
harus terjadi.
Dia hanya memiliki satu
tujuan—mencapai pemimpin mereka yang berada di belakang barisan musuh.
Yang semakin menguatkan
alasannya...
“G-Grrr!”
Dark Elf menggeram.
Tiga puluh goblin perisai
miliknya telah hancur, musuh sudah berada di dekatnya, dan dia tidak memiliki
waktu untuk fokus mmembaca mantra.
Dia berpikir untuk
menyatukan kembali para goblin, nnamun dia sadar bahwa itu adalah hal mustahil.
Satu-satunya yang bisa dia
harapkan adalah ini. Dark Elf menarik pedang dari sarungnya.
“Manusia keparat!”
Dia menebas, pedangnya berkilat
dengan cahaya silver.
Goblin Slayer menangkisnya
dengan perisai. Ini alasan mengapa dia membawanya. Kegunaan perisainya sebagai
senjata pukul hanyalah pilihan sekunder.
Dia dengan cepat membalas
dengan serangan mengayun dari pentungan yang di genggamnya pada tangan kanan,
dia mengarahkannya pada kepala, berharap dapat memecahkan tengkorak atau tulang
belakang.
Namun kaum dark elf juga
memiliki kelincahan layaknya saudara elf mereka. Dengan kata lain, jauh
melebihi manusia.
Terdapat cipratan lumpur
seraya sang elf melompat kebelakang, tidak terganggu dengan tanah berawa dan
tidak terintimidasi dengan ilusi yang menakutkan.
Serangan Goblin Slayer hanya
mengenai lakuna. (TL Note : lakuna = https://kbbi.web.id/lakuna
)
“Hmmph. Tidak ku sangka
seseorang yang mampu menerka rencanaku berada di kota ini...”
“....Kamu nggak seperti
goblin.”
Goblin Slayer dan Dark Elf
sekarang berdiri dengan beberapa jarak. Lumpur mengeluarkan suara slosh, slosh halus seraya mereka
berusaha mencari posisi yang menguntungkan.
Terlihat jelas bahwa pedang
Dark Elf lebih baik di bandingkan dengan
pentungan sang petualang.
Menyadari ini sepenuhnya,
sang elf mengambil waktu untuk mengintrogasi musuhnya.
“Siapa atau apa kamu?”
“...”
“Aku dengar beberapa orang
dalam kota ini telah mencapai tingkat Silver... tapi aku tidak bisa membayangkan
petualang yang berpengalaman seperti itu akan mau menggunakan pentungan
goblin.”
“Apa kamu pemimpin mereka?”
Goblin Slayer menjawab
dengan pertanyaannya sendiri. Acuh tak acuh. Seperti biasanya.
“Benar.” Dark Elf membalas,
merasa sedikit jengkel. Membusungkan dada, dan ujung bibirnya sedikit
menyeringai. “Aku adalah rasul dari kekacauan, penerima wahyu dari dewa
kekacauan secara langsung!” Dia memegang pedang pada tangan kanannya, sebuah
benda sihir pada tangan kirinya. Dark Elf tetap menjaga kuda-kuda rendah seraya
berteriak, “Dan pasukan goblinku semakin mendekat dari segala penjuru!
Kehidupan selanjutnya akan segera menyambutmu dan kamu—“
“Aku nggak tahu kamu itu
apa. Dan aku nggak peduli.” Goblin Slayer menyela proklamasi sang elf.
“....Goblin Lord itu lebih menyusahkan di banding dirimu.”
“___”
Terdapat jeda seraya Dark
Elf memproses apa yang telah di ucapkan kepadanya.
“Ku-kurang ajar...!”
Kakinya yang lincah
mengambil langkah cepat dan geometris.
Dari gerakan yang tidak
biasa ini, mata pedangnya datang dengan sekejap.
Sinar samar yang hampir tak
terlihat merupakan bukti terdapatnya sihir. Adalah sebuah pedang sihir. Bukan
hal yang tidak biasa.
Goblin Slayer mengangkat
perisainya untuk menangkis serangan. Serangan itu berjalan pada permukaan
perisai, dan melewatinya.
Tidak—
“Hrghh!”
Goblin Slayer berteriak.
Pedang tipis itu, menembus
baju besi miliknya melalui celah pada armor pundaknya.
Darah mengalir dari sisi
kirinya. Dark Elf tidak hanya memiliki senjata yang lebih baik, namun juga
berpengalaman dalam menggunakannya.
“Hah! Kamu lambat, manusia!”
Kemampuannya seharusnya
tidak mengejutkan. Karena, levelnya sendiri cukup tinggi hingga dia dapat
menggunakan disintegerate.
Elf dan dark elf pada
dasarnya memiliki fisik yang berbeda dengan manusia.
Manusia tidaklah di berkahi
sesuatu yang luuar biasa, yang di mana itu membuat mereka sulit untuk mengalahkan
kelincahan kaum dark elf. Terlebih lagi dark elf yang seperti ini, yang
memiliki ratusan atau bahkan ribuan tahun pengalaman. Berhadapan dengan mata,
tangan, dan kemampuan Dark Elf, dengan perlengkapan apa adanya adalah sama saja
dengan tidak menggunakan perlengkapan sama sekali.
“Aku mengerti. Sebagai
pemimpin mereka, kamu nggak perlu menahan diri.”
Tentu saja, itu semua
tidaklah penting bagi Goblin slayer.
Serangan itu tidaklah
mematikan. Tidak seberapa sakit yang dapat membuatnya sulit menggunakan
pundaknya, dan senjata itu tidak beracun.
Dia mengevaluasi lukanya
sendiri dengan kepala dingin, kemudian memilih untuk melanjutkan pertarungan.
“Masih mau lanjut hah, dasar
kutu tengik?”
“....”
“Baiklah. Lihatlah sendiri
apakah kami lebih rendah dari
goblin!”
Dark Elf, yang terlihat
mengambil kesimpulan tidak berdasar, mendorong artifak pada tangan kirinya ke
udara.
“O
tuan akan bagian tubuh agung ini, pangeran angin topan! Biarkanlah angin berhembus!
Panggilah badai! Berikan hamba kekuatan!”
Pada saat itu sesuatu
berubah. Suara dentur hebat terdengar dari dalam tubuh Dark Elf. Membelit dan
membengkak. Kemudian, satu persatu, mereka keluar dari punggungnya.
Lengan.
Cacat dan aneh, tulang
belulang tersambung pada tempat yang salah, penuh dengan otot yang menonjol.
Lima secara
keseluruhan—tujuh, jika termasuk dengan lengannya sendiri.
“...Hrm.”
“He, heh-heh, heh. Bahkan kamu
sampai sulit berbicara, dasar petualang bajingan!”
Lengan tambahannya yang terlihat
seperti seekor laba-laba atau kepiting, dapat terlihat jelas dari sekitaran
medan perang.
Dia bukanlah lagi seorang
dark elf. Matanya merah dan menggila, suaranya tinggi, memaksa batasan seluruh
saraf dan kemampuannya.
Dia tidak membuat sedikitpun
suara seraya dia memiringkan tubuhnya dan menerjang Goblin Slayer.
Dalam sekejap, muncratan lumpur
terlontar dari bumi, bersamaan dengan sebuah dentuman.
“Apa-apaan itu?!” High Elf
Archer berteriak seraya dia melepaskan tembakan, yang menembus goblin tepat di
matanya. “Apa baru saja lengan tumbuh dari punggung dark elf itu?!”
“Mustahil! Edan!” Dwarf
Shaman telah mengeluarkan kapaknya dan menggunakannya untuk melawan goblin.
Pekerjaan dari Dragontooth
Warrior dan dua petarung garis depan mereka telah banyak mengurangi jumlah
musuh, selama party mereka dapat menjaga garis pertempuran, mereka memiliki
kemungkinan menang yang tinggi.
“Sial! Apapun yang dia
lakukan, kelihatannya itu perbuatan sihir, dan kita nggak ingin terlibat dalam
sihir seperti itu!”
“Oh, Saja rasa tida’ ada
jang perloe ‘ita ta’oet’an.” Dia adalah anggota ketiga dari party. Lizard
Priest, ekornya melingkar, terdengar lebih percaya diri di banding biasanya.
“Hanjalah sedi’it peroebahan toeboeh setjara intsan. Toeankoe Goblin Slajer
dapat menanganinja.”
Itu membuat mereka bebas
berkonsentrasi dalam peran mereka. Dengan raungan, Lizard Priest kembali
melompat pada para goblin.
*****
Tidaklah berlebihan jika
mengatakan bahwa Goblin Slayer dapat bertahan melawan tujuh musuh yang
menyerang secara bersamaam.
Dia menangkis serangan dari
kiri dengan perisai, kemudian menghantam dengan pentungannya, dia berguling
menjauh dari sebuah pukulan yang
mendatanginya dari segala penjuru arah, kemudian berlutut satu kaki.
Sebuah tinju datang menurun
dari atas kepalanya. Kali ini dia melompat ke depan, tepat menuju Dark Elf.
“...!”
Goblin Slayer mengayunkan
belati mengarah atas, namun kelincahan Dark Elf membuatnya dapat menghindar.
Lengan makhluk itu dapat
membuatnya hampir terbang di atas permukaan lumpur.
“Kenapa, manusia? Kamu harus
lebih dekat lagi kalau kamu mau gunakan pedangmu itu!”
Sekarang musuh telah
memperlebar jarak antara mereka, Goblin Slayer tidak mempunyai pilihan selain
untuk terus maju.
Dark Elf menunggu tanpa
tergoyahkan, walaupun dengan lima lengan raksasa yang tumbuh dari punggungnya, pemandangan
akan dia yang berdiri di sana, tanpa terganggu keseimbangannya oleh bagian
tubuh yang baru, sangatlah tidak wajar.
“Yah, semakin besar mereka,
semakin mudah untuk di bidik!”
Benar Goblin Slayer sedang
dalam posisi yang tidak menguntungkan jika satu lawan satu. Namun itu bukan
berarti dia tidak membutuhkan bantuan dari temannya.
High Elf Archer baru saja
menghabisi beberapa goblin di sekitaran. Sekarang dia telah berlutut sebelah
kaki dan menyiapkan busurnya.
Dia mengeluarkan panah dari
tempat panahnya, memasangnya pada busur, menariknya, dan melepaskannya dengan
satu gerakan yang lincah.
Bidikannya tepat sasaran,
ujung mata panah itu melintasi beberapa tetes hujan, menancap tepat pada dahi
Dark Elf—
“.......!”
—hampir. Sesaat sebelum
panah itu menancap, sebuah tangan putih tiba-tiba muncul dan menangkap panah
itu di udara.
Layaknya sebuah topan,
layaknya sebuah tiang batu. Sebuah tangan yang bengkak dan menonjol dan hina.
Lengan tembus pandang itu
mematahkan panah seperti sebuah cabang pohon dan menghilang.
Dark Elf menyeringai dan mengangkat
tinggi artifak terkutuk di tangan kirinya.
Tidak ada seseorangpun yang
akan memimpin garis depan tanpa adanya semacam perlindungan.
“Dia bisa menangkis
panah...?!” Teriak High Elf Archer, bergetar ketakutan.
Konon dalam dahulu kala,
seekor raksasa ikut dalam peperangan antara dewa ketertiban dan kekacauan.
Artifak terkutuk itu adalah
lengannya—sebuah benda dengan kekuatan untuk memanggil sang raksasa. Dan Dark
Elf adalah pemiliknya.
“Jadi—“ Dwarf Shaman menepuk
pipinya, meringis. “—dia seorang summoner?!”
Jika dia benar dapat
memanggil makhluk dari jaman para dewa, itu artinya dia sama kuatnya dengan
petualang tingkat Bronze atau Silver, atau bahkan....
Metode pemanggilannya sangat
tidak lazim, benar, tidak berprikemanusiaan, namun tidak ada yang bisa
menyangkal kepercayaan diri yang di pancarkannya. Sangatlah mungkin bahwa Dark
Elf, dia sendiri—terlebih goblin miliknya—bukanlah hal yang terpenting.
Lihatlah awan hitam yang bergolak
di atas kepala. Lihatlah badai yang di ciptakan untuk menghacurkan kota. Guruh.
Angin. Hujan.
Bagaimana jika ini semua
merupakan sebuah pertanda akan kembalinya hecatoncheir ke bumi?
“Dji’a dia dapat memblo’ir
panah, apa’ah ‘ita perloe berasoemsi bahwa semoea sendjata djarak djaoeh a’an
tida’ efe’tif?”
“Aku sendiri juga nggak
tahu...”
Lizard Priest telah kembali
dari memenggal kepala goblin terakhir yang bermandikan lumpur.
High Elf Archer menjawab
dengan kepakkan tekinganya. Masih sulit untuk mempercayainya, dia menyiapkan
panah lainnya.
“...Tapi saat aku kecil,
kakekku cerita sama aku bahwa nggak peduli seberapa banyak panah yang di
tembakkan pada raksasa itu, makhluk itu menghentikan semuanya.”
Jika seorang kakek manusia
menceritakan cerita seperti itu, maka itu hanya akan di anggap sebagai dongeng
belaka. Namun ini adalah elf veteran yang telah hidup pada jaman peperangan kuno.
Dan dia berkata bahwa panah
tidak ada gunanya.
“Tuhan,” Dwarf Shaman
berkata seraya menjentikkan lidahnya. “Dari banyaknya waktu bagi seorang elf
untuk menyadari apa itu artinya kegagalan.” Dia tidak terlihat optimis.
Dia mengacungkan jarinya,
mengukur jarak dengan Dark Elf yang bermutasi. Musuhnya tepat berada dalam
jarak tembaknya.
Namun Stone Blast sangat
beresiko mengenai Goblin Slayer. Dan walaupun bidikannya tepat, seberapa banyak
kerusakan yang dapat di hasilkan pada lengan monster itu...?
“Oho?”
Mata Dark Elf melebar.
Goblin Slayer telah membuang
pentungannya dan menarik pedangnya. Pedang dengan panjang yang aneh berlumur
lapisan kotoran, mungkin di karenakan bertarung di dalam lumpur.
Namun Goblin Slayer
mengambil kuda-kuda rendah dan memutar pergelangan tangannya sekali.
“Apa kamu pikir dengan
mengganti senjata dapat membuatmu menang melawanku?”
“Nggak.” Goblin Slayer menenangkan
pernapasannya, menunjuk ujung pedang musuh, dan berkata dengan suara rendah.
“Aku berpikir ini akan membunuhmu.”
“Jangan membual!”
Seraya dia berteriak, lengan
dark Elf menjulur dengan tidak lazim, berusaha mencapai Goblin Slayer.
Warrior manusia itu berlari
ke depan, memanfaatkan setiap celah kecil.
Dalam tangan kanannya Dark
Elf memegang pedangnya. Itu adalah pedang yang bagus, namun reflek sang pemilik
telah membuatnya menjadi senjata yang jauh lebih berbahaya.
“Serangan bunuh diri? Kamu
tidak akan pernah mencapaiku.”
Goblin Slayer hampir tidak
bisa menangkis kilatan cahaya silver yang bersiul di udara dengan perisainya.
Beberapa bagian dari perisai
bundarnya telah terpotong dan tertusuk dan mencapai titik di mana benda itu
sudah tidak dapat di gunakan lagi.
Namun Goblin Slayer tidak
mempermasalahkannya, dan semakin memperdekat jaraknya dengan pedangnya yang
sudah siap menunggu.
Dark Elf melompat kebelakang
dan bersiap untuk menusuk kembali. Goblin Slayer mengikuti, menusukkan dengan
ujung pedangnya.
Terdapat retakan kecil
bersamaan dengan gema berdering. Namun hanya itu saja.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha!
Sepertinya lengan kepercayaanmu tidak cukup kuat!”
Goblin Slayer tidak
mempunyai kekuatan untuk menusuk tembus elf itu.
Sang musuh mendarat di
tanah, mencipratkan lumpur ke segala arah, dan berkumandang kemenangan:
“Aku sudah mengukur
kemampuanmu! Kamu tidak lebih baik dari Ruby, tingkat kelima. Atau bahkan
Emerald, tingkat keenam!”
“Salah.” Goblin Slayer
berkata, menggelengkan kepalanya “Coba Obsidian.”
Goblin
Slayer tidak memiliki kekuatan. Namun....
“O
Ibunda Bumi yang maha pengampun, limpahkanlah cahaya suci kepada kami yang
tersesat di dalam kegelapan!”
Mereka mendengar suara,
memohon kepada dewa.
Dalam malam ini dari
keseluruhan malam, dari sebuah doa yang telah di terimanya dengan cinta murni
gadis itu, bagaimana mungkin Ibunda Bumi dapat menolak memberikannya keajaiban?
Holy Light meledak dari flail
yang di angkat Priestess.
Mengundang teriakan tak
bersuara, Dark Elf mengambil langkah mundur seraya cahaya terang layaknya
matahari menembus badai.
Matanya yang telah terbiasa
dengan malam dan gelapnya hujan, terbakar seolah terkena sinar mentari.
Priestess tidak perlu lagi
untuk berkomunikasi dengan Goblin Slayer.
Partynya akan menghadapi
para goblin; Goblin Slayer akan menghadapi pemimpin mereka. Dan...
Kamu
penting. Aku berharap padamu.
Pria itu telah mempercayakan
peran ini kepadanya.
Tentu saja dia akan
mengikuti jalur yang telah pria ini buat di melewati pasukan goblin.
Dan sekarang, dengan cahaya
di belakangnya. Goblin Slayer melonjak dari kegelapan.
Priestess berdiri di
belakangnya, penuh akan hujan, lumpur dan keringat, namun tekadnya kuat,
menjunjung tinggi cahaya.
Kecantikkannya tidak datang
dari cahaya dewa yang membanjirinya, ataupun dari pakaian yang dia gunakan.
Kecantikkan itu datang dari
cara dia berdoa kepada dewa yang bersemayam di surga.
Tanpa sedikitpun rasa ragu
atau bimbang. Walaupun bergetar dan takut, dia masih mengangkat flail-nya.
“Pak Goblin Slayer!”
Pedangnya beraksi, walaupun
dia tidak berteriak.
Dia mengangkat senjatanya
maju, membidik, membiarkannya terjatuh, dan memotong musuhnya.
Merupakan serangan yang
biasa, benar-benar serangan yang biasa.
“Hrr—gah!”
Namun itu tetaplah sebuah
serangan.
Armor dada Dark Elf pecah,
daeah terciprat. Ini tidaklah seberapa. Namun serangan itu telah mengenainya,
dan itu sudah cukup.
“Ka-kamuuuuuuuu—!”
Dia menjatuhkan senjatanya
dan menekan dada dengan tangannya, terhuyung ke belakang.
Dia tidak takut akan panah,
ataupun pedang dan mantra sihir. Serangan itu telah melukai harga dirinya sebagai
seorang dark elf melebihi luka pada tubuhnya.
Bagaimana
mungkin party sampah sok ikut campur ini bisa membuatku terpojok?!
“Aku akan membuatmu berharap agar aku tidak menggunakan
kekuatan raksasa untuk menghancurkan kota ini!” Aura membunuh terpancar di
matanya. Seperti para elf hutan yang mencari keharmonisan dengan alam, dark elf
sangat menyukai siksaan dan harga diri. “ Aku akan membuatmu menjadi makanan
untuk goblinku. Dan elf mu dan gadis kecilmu—aku akan memotong tangan dan kaki
mereka, kemudian meninggalkan mereka di kedalaman gua hingga mereka mati...!”
Dark Elf berasumsi bahwa
kemarahannya yang semakin meninggilah yang membuatnya sulit mengutarakan
ucapannya.
Dia terjatuh sebelah kaki
dalam cipratan lumpur.
“Erg... Gah... Hrrr...?”
Wajahnya, warna akan
kegelapan, mengerut kesakitan. Lima lengan pada punggungnya mencakar lumpur,
dan berusaha untuk berdiri.
Cedera, mungkin—lukanya?
—Tidak.
“Itu beracun.”
Goblin Slayer hanya
mengutarakan dia kata itu dan melempar kantung tua dari tas di pinggangnya.
Kantung itu berisi dart yang
telah digunakan kepadanya dan Gadis Guild dalam serangan pada aula Guild.
Goblin Slayer tidak
mengetahui racun macam apa yang tersebar pada dart itu, tapi...
“Ka-kamu—! Kamu—! Kamuuuuuuuu—!”
...untuk menggunakanya pada
musuhnya, adalah cukup untuk mengetahui bahwa itu memang beracun.
Darah mengalir dari sela
jari Dark Elf dan menetes di tanah.
Kemurkaan terpencar pada matanya,
dan hujan mengalir di antara bibirnya yang mengerut.
Dia menggunakan lengan pada
punggungnya, untuk membantunya berdiri.
Petir menyambar di belakang
Dark Elf, menyoroti figurnya yang tidak stabil, seperti pohon layu.
Dia terengah-engah, melawan
racun yang mengalir dalam tubuhnya, dia terlihat seperti akan mati, dan lebih
mengerikan dari sebelumnya.
“Omnis...!”
Dia berteriak kalimat kekuatan
sejati, upaya terakhir mantra kematian jika memungkinkan.
“Tidak...!” Priestess
berusaha mengangkat tinggi flail-nya dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat
pasi.
Namun hubungan yang
menyatukannya dengan para dewa telah membuat jarinya goyah.
“Kalau dia mengenai kita,
semua akan berakhir, tapi—dia sedang lengah sekarang!”
High Elf Archer menarik tiga
panah dari tempat panahnya, menembakkan mereka sekaligus, melebihi kecepatan
sihir.
Namun dengan hembusan angin,
lengan seperti awan memukul panah itu seraya melintasi badai.
“Kekuatan dashyat Hecatoncheir...!”
High Elf Archer mengeratkan
giginya dan dengan marah menarik panah lainnya. Dia menolak untuk mempercayai
bahwa ini tidak ada gunanya...
“Stone Blast terlalu beresiko!
Sekarang semua tergantung padamu, Telinga panjang!”
“Kamu kira aku sedang apa!”
Sang archer melepaskan tembakan
demi tembakan, namun lengan itu menyapu setiap tembakan yang datang dari
langit.
“Mantra saja dan nona priestess
‘ita telah habis. Itoe artinja...”
“Nodos....!”
Menyerang dengan serangan
jarak dekat! Tidak, dengan jarak Goblin Slayer ataupun mereka, tidak akan ada
yang bisa sampai tepat waktu. Lizard Priest ikut turut serta mengeratkan
giginya layaknya High Elf Archer.
Lantunan mantra Dark Elf
berlanjut dengan sangat jelas dan lantang. Waktu mereka hampir habis.
Karena itu—mata mereka
menuju pada satu pria.
“Pak...Goblin Slayer...”
“Penangkal panah?”
Berlumur lumpur dan racun
dan darah, helm baja itu sedikit di miringkan.
“Dia bisa menangkis panah
yang datang...apa itu benar?”
Walaupun dengan badai yang
mengamuk di sekitar mereka, gumam lembutnya tidak akan gagal mencapai telinga
high elf.
“Menangkisnya,
menahannya—kamu tahulah!” Dia meninggikan suaranya agar dapat terbawa angin.
“Apa....? Kakekku menyebutnya apa ya...?” Dia mengunyah jempolnya yang lentik,
mengepakkan telinganya jengkel. “Aku rasa dia bilang.... ‘Tidak peduli metal
menembus kulitku, batang dari setiap panah tertangkap oleh tanganku.’”
“Aku mengerti.” Tidak peduli metal menembus kulitku, batang
dari setiap panah tertangkap. Dia bergumam pada dirinya sendiri. “Penangkal
panah.”
Semua dia katakan tanpa
emosi, kemudian akhirnya mengangguk mendengar panggilan Priestess dan melangkah
ke depan.
Tepat di depan matanya,
cahaya putih sudah mulai bersinar. Udara bergerumuh dengan tenaga sihir.
Seraya dia mengambil langkah
kedua, dia meletakkan kembali pedang pada sarungnya dan memutar kecil pundak
kanannya.
“Libe...”
“Begitu.”
Kemudian langkah ketiga. Dan
pada saat itu, lengan Dark Elf terbang.
Tidak ada—termasuk Dark Elf
sendiri—menyadarinya sampai tunggul lengannya mulai memuntahkan darah.
Badai menerbangkan cipratan
darah dan sepai bersama hujan. Suara akan lengan itu mendarat di semak-semak
dapat terdengar. (TL Note : Sepai = https://kbbi.web.id/sepai
)
Pisau lempar, bengkok dan
aneh telah melintas di udara, dan menembus daging dan tulang Dark Elf.
Pisau berbentuk kincir. Dark
Elf tidak mungkin bisa mengetahui bahwa itu itu adalah pisau lempar ala
selatan.
“—?! Gaaaahhhh!!”
Bintang lempar itu terus
terbang melewati kabut seraya lantunan mantra berubah menjadi teriakan
mengerikan.
Dark Elf meremas bagian
tubuhnya yang terkulai. Di belakangnya, lengan berayun layaknya rerumputan di dalam badai.
“Ini bisa di anggap belati.”
Tidak ada yang istimewa
dalam lemparan Goblin Slayer.
Hanya cepat dan presisi.
Dua lengan berdansa di
kegelapan malam—satu milik Dark Elf yang telah terlepas, dan batang tangan yang
dia remas.
Lengan itu mendarat dengan
begitu menyedihkan di atas kotoran, dan Goblin Slayer menginjaknya.
Dari bawah kakinya,
terdengar suara mirip dengan batu yang retak.
Dia tidak mengetahui apa
yang benar-benar terjadi, namun lengan yang dapat menangkis panah sekarang
tidak lebih dari sekedar lengan goblin.
“Ti-tidak! Le-lenganku!
Lengan—Hecaton—cheir!”
Tidak lama kemudian panah
tak kenal ampun terbenam pada tenggorokan Dark Elf, membuatnya meronta di tanah.
Terdapat helaan nafas dari high
Elf Archer seraya dia melepaskan tembakkan, inilah yang dia dapat lakukan tanpa
adanya semacam kecurangan.
“Tumbal...ku...tidak
cukup...tumbal.... Dan goblinku...sama sekali....tidak...berguna...”
Dark Elf tersedak darah,
kemudian memfokuskan tatapan kemurkaannya pada musuh yang mendekat.
Namun api dalam matanya
mulai memudar, pandangannya buram. Dia berkedip cepat.
Yang hanya dapat dia lihat
hanya seorang petualang dengan perlengkapan yang sangat aneh.
Armor kulit kotor, sebuah
helm yang terlihat murahan, pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bundar
kecil terikat di lengannya. Dia penuh akan cipratan hujan, lumpur, darah, dan
tanah. Bahkan petualang pemulapun dapat tampil lebih baik.
Akan tetapi...
“Ka-kamu.... Ternyata kamu....”
Empedu keluar dengan darah di dalam
mulut Dark Elf. “Dalam kota air... Pahlawan yang....menghalangi....ambisi
kami....!”
Seharusnya dia menyadarinya
lebih cepat.
Balas dendamnya dengan Sword
Maiden yang terkutuk, kebangkitan Demon Lord, dan ritual untuk memanggil badai
kekacauan.
Adalah para petualang yang
menghentikan semuanya.
Pria ini. Pria ini adalah
salah satunya, dia yakin. Dark Elf melotot pada helm baja itu dengan pikiran
sehina bibirnya.
“......Bukan.”
Dia menjawab datar.
Banyak orang yang telah
membantunya.
Menolongnya.
Membimbingnya. Adalah berkat
mereka semua dia bisa berada di sini.
Ketika dia kembali ke kota,
terdapat mereka yang— bagaimanapun juga tanggapan mereka terhadap dirinya—dia
sebut teman.
Jika dia berputar, dia akan
melihat mereka yang bertarung bersamanya sebagai rekan.
Jika dia pulang, terdapat
seseorang yang akan menunggunya di sana.
Bukan bawahan. Bukan
pengikut.
Tidak ada yang dewa berikan
kepadanya berdasarkan takdir, atau kemungkinan.
Namun melainkan pilihan yang
telah dia buat, jalan dan paragraf yang dia pilih atas kemauannya sendiri.
Yang semakin menguatkan
alasanya untuk menyebut dirinya dengan apapun yang dia inginkan.
Ah, tapi...
Yang semakin menguatkannya
lagi.
“Aku...”
Tanpa sedikitpun
kebimbangan, dia menyatakan dirinya sendiri.
“....Goblin Slayer.”
6 Comments
Mantap, ditunggu kelanjutannya min...
BalasHapusYoi..
Hapusthnks mimin zerard untuk terjemahannya, terjemahannya bagus, enak dibaca :D
BalasHapusdi web sebelah udh end vol 4 tpi terjemahannya bikin pusing :( (mungkin karna 85% pake google translate).
lanjut min penasaran gw sama lanjutannya, gw bantu share biar makin semangat nerjemahinnya wkwkwk :v
Awww...~ terima kasih kembali mas :). Vol 4 sudah setengah jilid selesai di terjemahin, tinggal di haluskan sedikit aja. Jangan lupa cek yuoutube Kiminovel untuk mendengar audiobook goblin slayer yang kami buat. :)
Hapuslebih enak kalo panggila si GS "Goblin slayer-san" bukan pak wkwk, agak aneh gitu min
Hapusmantap jiwa min lanjutkan
BalasHapusPosting Komentar