(Author : Deddy Z)
UTS.
Kamu pasti beranggapan kau UTS itu adalah ajang tolak ukur ingatan dan
pemahaman materi. Ya. kamu memang benar. Bagi murid pintar, memang begitu rupa
UTS.
Tapi,
bagi murid bodoh sepertiku, UTS adalah ajang tes hoki.
Kenapa
begitu?
Aku
nggak bisa memahami pelajaran dengan baik. Berusaha mengingat pun pada akhrnya
lupa. Jika aku bersikeras mengingat, biasanya yang kuingat nggak keluar di
soal.
Jadilah
UTS sebagai ajang tes hoki.
Pertama,
posisi bangku harus hoki. Semakin di belakang semakin bagus.
Kedua,
teman-teman di area sekitar juga harus hoki. Pintar dan nggak pelit adalah
parameter hoki tertinggi.
Terakhir,
pengawas. Ini sifatnya random karena pengawas biasanya berganti-ganti di setiap
pelajaran. Tapi akan lebih bagus kalau pelajaran rumit seperti Matematika dan Fisika
diawasi oleh orang yang santai, cuek, dan nggak banyak jalan-jalan.
Itulah
tiga tes hoki yang harus kulalui dalam setiap ulangan.
Sistem
UTS di SMK Grafika Cibinong ini menggunakan nomor peserta. Seperti Ujian
Nasional aja.
Menurutku
untuk ukuran UTS ini berlebihan. Tapi mau gimana lagi. Aku bukan anggota ormas
yang gampang bikin demo setiap kali ada kebijakan yang dirasa memberatkan.
Nomor
yang kudapat adalah 02-023. Bentuk kartu pesertanya seperti fotokopian kartu
pelajar.
Aku
berjalan di koridor sekolah. Kulihat di setiap jendela kelas terpampang kertas
bertuliskan angka-angka yang menandakan ruang dibagi berdasarkan nomor peserta.
Yaampun.
Tambah merepotkan aja.
Di
lantai bawah ada ruang 01-001 s/d 01-020, 01-021 s/d 040, dan nggak ada ruang
yang awalannya 02.
Naik
tangga ke lantai dua, di kelas pertama bertuliskan 02-001 s/d 02-020. Kalau
begitu kelas setelahnya pastilah 02-021 s/d 02-040.
Tebakanku
benar. Berarti kelasku ada disini.
Masuk
ke kelas, aku melihat wajah-wajah asing yang belumm pernah kulihat di kelas.
Nggak.
Ada
juga beberapa anak dari kelasku. Aku bahkan melihat Fenny di bangku barisan
belakang.
Apa
dua kelas dicampur dalam satu ruangan?
Astaga.
Ini super duper merepotkan!
Kukira
ini nggak akan bisa lebih merepotkan lagi. Sampai kutemukan mejaku ada di
barisan paling depan. Lebih buruk lagi ini meja terdekat dengan pengawas.
Kalau
pengawasnya ikut mengerjakan soal, aku bisa aja mengintip jawaban miliknya dari
tempatku.
Ah.
Ini yang terburuk. Di dalam posisi bangku seperti ini, tes hoki kedua dan
ketiga sudah nggak berlaku.
Siapapun
teman di sekitar, seperti apapun pengawasnya, aku nggak akan bisa apa-apa kalau
aku dan pengawasnya sudah seperti sedang makan siang bersama begini.
Aku
duduk terlemas di pangkuan meja kayu. Mempersiapkan hati dan mental untuk hujan
remidial yang akan datang.
Pletokk.
Saat
sedang meratapi nasib, kepalaku serasa ditiban benda keras.
Seketika
aku bangun dan hampir saja terpesona dengan pemandangan yang terperangkap di
mataku.
Seorang
siswi cantik berseragam putih abu-abu dengan bola mata berwarna hijau zamrud.
Cynthia.
Ia
memegang tempat pensil berbentuk persegi panjang yang sepertinya jadi senjata
buat menggetok kepalaku.
“Kenapa
aku harus melihat seekor cecurut ada di kelas yang sama denganku?” kata
Cynthia.
“Kenapa
aku harus melihat sesosok Mak Lampir ada di kelas yang sama denganku?” balasku.
Wajah
Cynthia menunjukkan kekesalan.
“Huh.
Jadi kamu beneran sekolah disini ya? Aku
kira kamu cuma penunggu got sekolah.”
“Huh.
Jadi kamu beneran sekolah disini ya? Aku kira kamu cuma penunggu pohon
sekolah.”
Kekesalan
Cynthia kian meninggi. Ia sampai menggebrak meja.
“Bisa
nggak kamu nggak mengulang kata-kataku? Nggak kreatif banget sih kamu!”
“Bisa
nggak kamu nggak berdiri disitu? Ngehalangin pemandangan tau!”
“Grrr….”
Cynthia
tampak tak mau mengalah.
“Hei,
Cecurut. Mau taruhan?” Cynthia mundur dan bersandar di meja pengawas.
“Taruhan
apa?”
“Taruhan
nilai siapa yang paling tinggi di pelajaran Bahasa Inggris. Yang menang boleh
menuntut apapun dari yang kalah.”
“A-apapun!?”
“Ya.
Aku yakin menang dari cecurut macam kamu jadi nggak ada rasa takut buat aku
membuat pertaruhan ini.”
Dia
percaya diri banget. Kayaknya Bahasa Inggris itu pelajaran yang paling dikuasainya.
Atau jangan-jangan cuma itu pelajaran yang ia bisa. Soalnya dari awal aku
ketemu dia, Cynthia nggak nampak kayak siswi yang pintar. Cenderung bodoh.
“Gimana
kalo peraturannya diubah jadi nilai terendah
yang menang?” ucapku.
“Peraturan
macam apa itu? Kenapa aku sampai harus dapat nilai jelek di pelajaran Bahasa
Inggris juga?”
Juga?
Ternyata
benar. Dia bodoh. Meskipun aku bukan orang yang berhak bilang begitu.
“Kenapa
aku harus ikut serta dalam taruhan yang jelas-jelas menguntungkan kamu itu?
Kamu takut kalah sama aku ya?”
“Hah?
Kenapa aku harus takut?” Cynthia nampak nggak terima.
“Ngambil
pelajaran yang paling kamu kuasai begitu, apa namanya kalo bukan takut?”
“…!!!”
Beruntung,
Cynthia ini tipe orang yang mudah terprovokasi. Sepertinya aku bisa menghindari
taruhan nggak menguntungkan ini.
“Oke.
Kalo begitu pelajaran apa yang paling kamu kuasai? Aku akan ngalahin kamu di
pelajaran yang paling kamu kuasai lalu menuntut Tiara buat jadi adik aku!”
Jadi
itu yang ia incar?!
Gawat.
Aku nggak boleh kalah di dalam taruhan ini.
Tapi…
nggak ada satu pelajaran pun yang aku kuasai.
Kalau
begitu, kuambil aja pelajaran yang paling mudah. Di SMP aku sempat dua kali
nggak remidi di pelajaran ini.
“Bahasa
Indonesia,” kataku.
“B-Bahasa
Indonesia?!” Cynthia nampak kaget, “Kenapa harus Bahasa Indonesia!? Kenapa
nggak Matematika atau Fisika aja gitu?” lanjutnya
“Apa
aku keliatan kayak orang yang menguasai Matematika?”
Cynthia
menatapku seperti sedang melakukan penilaian.
“Kamu
lebih keliatan kayak orang bodoh.”
“Sialan.”
“Huh.
Padahal aku udah mempersiapkan diri buat menelan rumus dan angka. Rupanya kamu
beraninya di Bahasa Indonesia ya.”
“Kamu
takut?” tanyaku.
“Mana
mungkin aku takut! Aku terima tantangan kamu!”
Cynthia
menunjuk padaku lalu berjalan pergi ke kursinya yang ada di sebelah kiri, baris
ketiga dari depan.
Kenapa
jadi seolah-olah aku yang menantang dia?
Tapi
biarlah. Aku harus melindungi Tiara dari si maniak adik perempuan itu.
Kalau
menang, aku akan menuntut dia untuk menjauh dari Tiara.
***
Aku
lupa kalau pelajaran Bahasa Indonesia ada di pelajaran pertama, hari pertama.
Artinya aku nggak bisa mempersiapkan diri buat ulangan yang di pertaruhkan ini.
Aku
hanya bisa berharap, untuk kali ini aja. Dewi keberuntungan mendatangiku. Atau
setidaknya dewi kesialan sedang berlibur hari ini.
***
Jam
istirahat. Baik di hari biasa maupun sedang UTS, kegiatan di jam ini tetap
nggak berubah. Duduk di kantin bersama segelas es teh manis sambil menunggu
kedatangan dua teman yang akan datang.
Tapi
ada satu hal yang membedakan. Sebuah perasan takut dan khawatir yang nggak
biasa.
Kejadian
di rumah Fenny kemarin masih bisa kuingat jelas. Kejadian ketika bibirku dan
bibir Fenny bersentuhan. Kelembutannya seakan masih menempel setiap kali aku
mengingatnya.
Aku
tau Fenny cuma ingin mengucap terimakasih tanpa ada maksud lain. Tapi tetap aja
perasaan takut dan khawatir datang karena ada orang yang 100x lebih
mengharapkan hadiah itu. Dan orang itu adalah sahabatku sendiri.
“Alan!
Di kelas tadi aku panggil, kamu langsung pergi aja.”
Orang
yang baru saja kupikirkan kini duduk di depanku. Siswa dengan helaian rambut
agak ikal. Aldi.
“Emang
iya? Kamu di kelas mana?” tanyaku.
“Aku
di kelas yang sama ama kamu, Alan. Parah amat nggak sadar.”
“Heh?
Seriusan?” ucapku terkejut.
“Iya.
Aku di paling belakang.”
“Enak
banget kamu di belakang.”
“Haha.
Kalo buntu, kamu kan bisa tanya ke pengawas, Alan.”
“Sue
bener.”
Kemudian
Fenny bergabung duduk di sebelahku. Saat dia membenarkan syal hitamnya, mukaku
sampai terlibas.
“Kamu
keliatan akrab sama anak kelas MM itu, Alan,” kata Fenny.
“Akrab?
Bagian mana yang kamu sebut akrab?”
“Iya
ya. Aku penasaran juga kok kamu bisa akrab gitu ama Cynthia,” Aldi mendukung
argumen Fenny.
“Akrab
apa sih? Aku nggak ngerti deh.”
“Dia
teman sekelasku, Alan. Sejauh ini aku liat dia ngajak bicara duluan baru ke
kamu,” kata Aldi.
“Beneran?”
tanyaku tak percaya.
Sepengetahuanku
Cynthia itu orang yang cerewet.
“Di
kelas dia biasanya pendiam?” Fenny bertanya.
“Iya.
Diajak ngomong sedikit juga biasanya dia langsung marah-marah.”
Aku
bisa mengerti itu.
“Tapi
dia sering diusilin juga. Misalnya tempat pensilnya diumpetin, bukunya
dicoret-coret, atau tasnya di gantung di atas. Bukannya aku suka. Dia kalo
diusilin reaksinya imut-imut gitu. Makanya pada seneng banget ngusilin dia. Tapi
aku sih nggak pernah ikutan.”
“Kamu
harus hati-hati kalo deket sama dia, Alan. Bisa-bisa kamu jadi target keusilan
juga,” kata Fenny.
Aku
nggak menganggap serius peringatan dari Fenny di kantin sampai ketika kembali
ke kelas, aku melihat tulisan namaku dan nama Cynthia di tengahi simbol hati
terpampang di papan tulis.
Astaga.
Apa salahku sampai harus terlibat dengan keusilan mereka?
Fenny
dan Aldi menatapku dengan wajah yang seolah berkata ‘Apa tanggapanmu, Alan?’
“Jangan
dihapus. Biarin aja. Aku nggak mau terlibat sama permainan mereka.”
Fenny
dan Aldi sepertinya mengerti. Mereka berdua lalu berjalan ke tempat duduknya di
belakang. Bersikap seolah tulisan di papan tulis itu nggak ada.
Lalu
aku duduk di tempatku yang ada di depan.
Akan
tetapi ada satu orang yang nggak ngerti. Orang itu baru saja kembali ke kelas.
Dia
langsung memasang muka tak senang lalu mengambil kertas dengan cara merobek
halaman tengah buku untuk digunakan menghapus tulisan itu. Yang bikin aku jadi
ikutan nggak senang adalah buku yang dirobek itu buku di mejaku. Dengan kata
lain bukuku.
“Kenapa
kamu diem aja liat ada tulisan begitu, Cecurut!?”
Baru
aja aku mau marahin dia, Cynthia sudah lebih dulu memarahiku.
“Emangnya
aku harus ngapain? Alan itu banyak kan? Bisa aja Alan pangk-Alan atau Alan kep-Alan.
Nggak mesti aku.”
Cynthia
berdiri sambil menatap picik ke arahku.
“Tapi
kamu Alan juga kan? Artinya Alan disini juga bisa mengarah ke kamu!”
“Iya.
Aku memang Alan. Tapi Alan yang ditulis disitu kan belom tentu aku.”
“Tapi
kamu tetep Alan kan? Artinya Alan yang ditulis disitu bisa aja kamu!”
Cynthia
ini nggak ngerti ya? Kalau sifatnya begini nggak heran dia jadi target keusilan
terus.
Untunglah
kedatangan guru menyelamatkanku dari perdebatan tiada ujung dengan si cewek
berkepala batu itu.
***
UTS
membuatku pulang satu jam lebih cepat. Aku sendirian di rumah. Tiara belum
pulang sekolah.
Kulihat
di dalam kulkas isinya sudah tinggal air putih aja.
Sepertinya
aku perlu ke pasar.
Sesudah
merapikan rambut dan pakaian. Aku beranjak keluar rumah.
Belum
satu langkah keluar, aku terhenti karena melihat mobil hitam datang lalu
berhenti di depan rumah. Yang keluar dari pintu belakangnya adalah seorang
siswi SMK berambut cokelat.
“Tiara
belum pulang. Kamu buru-buru amat kesini,” kataku.
“Kali
ini aku mau ketemu kamu,” balas Cynthia.
“Hah?
Aku? Mau ngapain?”
“Persilakan
aku masuk dulu dong! Masa mau ngobrol di luar.”
“Penting
banget ya omongannya?”
“Penting!”
Aku
merengut sejenak.
“Kamu
boleh masuk tapi ada syaratnya.”
“Apa
sih!? Syarat-syaratan segala.”
“Setelah
ngomong, anterin aku ke pasar.”
Cynthia
menatap kesal.
“Yaudah
iya. Nanti aku anterin.”
Pintu
pagar kubukakan. Lalu di dalam, aku menggelarkan karpet untuk kami berdua
duduk.
Aku
duduk bersila seperti petapa sementara
Cynthia duduk bersimpuh seperti sinden.
“Minta
minum dulu dong. Aku harus,” pinta Cynthia.
“Banyak
maunya kamu ya,” keluhku.
Dengan
berat aku bangun lalu mengambilkan air dari dalam kulkas untuk Cynthia minum. Cynthia
menenggak segelas air kemudian mulai bicara.
“Soal
tulisan di papan tulis tadi. Kenapa nggak langsung kamu hapus?”
“Yaampun.
Amu masih mau bahas itu?”
“Kamu
jangan salah paham ya! Disini aku bukan mau peduliin kamu. Aku cuma nggak mau
ada orang lain terlibat keusilan dari anak-anak di kelasku.”
“Maksud
kamu?”
“Hah?
Masa kamu nggak paham sih?”
“Nggak.”
“Maksudku
itu… kamu bisa kena keusilan lain karena tulisan tadi karena tulisan tadi nggak
langsung kamu hapus! Dasar cecurut nggak berotak! Gitu aja harus dijelasin,”
Cynthia membuang muka.
“Kenapa
kamu berpikiran begitu?” tanyaku.
“Kamu
nggak tau aja anak-anak di kelasku orangnya pada usil. Jadi harus segera
dihentiin supaya mereka nggak berbuat itu lagi.”
Mendengar
jawaban Cynthia membuatku membuang napas panjang.
“Kamu
salah paham, Mak Lampir.”
“Salah
paham apa?”
“Langsung
menghapus begitu malah bikin mereka tambah senang. Seharusnya kamu abaikan aja.
Tulisannya nggak akan selamanya ada. Nanti juga ada guru ada anak piket yang
hapus. Kalo diabaikan, nanti mereka akan bosen trus capek sendiri.”
“Bener
begitu?” Cynthia meminta keyakinan.
“Bener.”
“Tapi
gimana caranya aku bisa mengabaikan tulisan semacam tadi?” nada bicara Cynthia
terdengar mengandung kekhawatiran.
“Ya
anggap aja tulisan itu nggak ada. Atau namanya itu bukan nama kamu, kayak aku
tadi.”
“Mana
mungkin bisa begitu! Tulisan itu kan jelas tertulis dan semua orang liat. Trus
nama Cynthia di kelas itu cuma aku. nggak ada yang lain.”
“Kan
cuma pura-pura aja.”
“Tapi
tetep aja nggak bisa!”
Astaga.
Cewek ini makin merepotkan aja.
“Kalo
sikap kamu begitu terus, mereka nggak akan pernah berhenti ngusilin kamu!”
Cynthia
diam. Terdiam untuk waktu yang nggak sebentar.
Apakah
ucapanku menyakiti perasaannya?
Biarlah.
Toh, itu memang kebenarannya. Lagian nggak ada kewajiban buat aku menjaga
perasaannya.
“Apa
kamu percaya takdir?” Cynthia bersuara pelan.
“Takdir?”
Omongan
Cynthia mulai ngelantur kayaknya.
“Rasanya
aku nggak ditakdirkan buat memiliki kebahagiaan. Atau mungkin aku ditakdirkan
buat selalu ada di jalur penderitaan.”
Benar.
Dia ngelantur.
“Kenapa
kamu berpikir begitu?” tanyaku.
“Sifatku.
Sifatku ini selalu membawa masalah. Bikin orang-orang menjauh, bikin orang lain
marah, bikin orang lain nggak suka. Bahkan ternyata juga bikin orang jadi
senang ngusilin aku. Sifat itu sudah tertanam sejak lahir kan? Nggak mungkin bisa
diubah. Sekeras apapun aku berusaha, pada dasarna sifatku sudah begini ya
begini. Kalau pun aku berhasil mengubahnya, aku jadi bukan diriku, seperti
memakai topeng untuk membohongi orang.”
Aku
merasa déjà vu dengan curhatan Cynthia. Sepertinya dulu dia juga pernah
mengeluhkan soal sifatnya.
“Menurut
aku alasan kamu nggak bahagia bukan karena sifatmu.”
Cynthia
memasang muka penuh tanda tanya. Seperti berkata ‘Kalau bukan karena sifatku,
trus karena apa?’
“Kamu
cuma belum menemukan tempat dan orang yang cocok buat nerima kamu. Di sekolah
mungkin kamu kayak orang yang nggak bahagia. Tapii di depan Tiara kamu kayak
orang paling bahagia di dunia. Menurut kamu kenapa bisa begitu?”
Cynthia
terdiam. Seperti menyadari sesuatu. Aku menunggu jawaban darinya untuk mengatakan
kata bijak selanjutnya yang sudah kusiapkan.
“Hei,
Cecurut,” akhirnya Cynthia bicara juga.
“Apa,
Mak Lampir?”
“Kamu
habis nemu otak dimana? Kok bisa tiba-tiba pinter.”
“Sialan.”
Ternyata
Cynthia nggak jawab apa-apa.
“Kalo
ucapanmu bener, berarti aku nggak perlu mempermasalahkan sifatku lagi kan? Aku
nggak perlu mikirin harus berubah kayak apa lagi, harus dengan cara apa, harus
dengan kebiasaan apa. Aku nggak perlu mikirin setiap malam sampai kadang
mengganggu jam tidurku lagi. Aku…,” Cynthia berhenti bicara sejenak, “semua
itu… udah nggak perlu kan. Karena yang salah bukan aku… yang salah adalah…
dunia ini.”
Kalimat
terakhir Cynthia itu adalah kata bijak yang kusimpan! Bagaimana bisa dia
mencurinya?
Cynthia
memegangi kepala dengan kedua taangan.
Kenapa
dia. Apa kewarasannya terganggu?
“Cecurut…”
“…???”
“Bagaimana
cara aku berterimakasih ke kamu?”
“…???
Cium aku?” aku asal bicara.
Tiba-tiba
Cynthia menarik bajuku dengan kedua tangan. Badanku jadi tercondong ke arahnya.
Wajah cantik Cynthia dapat kulihat dengan sangat jelas. Mata hijau zamrudnya
nampak 10x lebih menawan ketika dilihat dari dekat.
Wajahnya
perlahan bergerak ke arahku.
Plakkk.
Yang
menimpa bibirku dan wajahku adalah telapak tangan berkecepatan tinggi.
“Ogah
baget. Mending aku cium tembok daripada cium kamu!” kata Cynthia sambil menjauh.
“Sialan.
Sakit tau! Nggak usah mukul juga kali!”
Cynthia
lalu berdiri seraya membawa tasnya. Seperti mau pulang.
Ia
lalu berjalan ke arah pintu tapi berhenti sejenak di dekatku.
Tak
lama kemudian ia membungkukkan badan lalu menaruh bibirnya di pipiku.
“Jangan
merasa senang ya! Kebetulan aja aku liat pipi kamu mirip tembok. Dah. Aku pergi
dulu!”
Setelah
berkata begitu ia berjalan cepat keluar.
Heh?
Yang
barusan itu apa?
Sebuah
kecupan di pipi?
Cynthia
beneran nyium aku?
Apa
jangan-jangan Cynthia sebenarnya menyu--- jangan berpikir bodoh.
Hampir
saja aku terperangkap dalam tipuan cinta.
Maaf
aja. Aku sudah hapal dengan gejala-gejala yang ditimbulkan virus itu dan sudah
tau bagaimana cara mengantisipasi serangannya.
Tadi
itu cuma ucapan terimakasih. Nggak ada yang spesial.
Tapi
daripada itu… aku seperti melupakan sesuatu.
Apa
ya?
Melihat
mobil Cynthia yang berjalan pergi, aku baru ingat.
Setelah
ngomong, seharusnya Cynthia nganter aku ke pasar.
Kenapa
dia juga lupa?!
Ah.
Ternyata nggak ada hari libur buat dewi kesialan. Sekarang aku jadi khawatir
dengan nasib taruhan di pelajaran Bahasa Indonesia.
Apakah
nanti aku akan kehilangan Tiara?
1 Comments
lanjutkan min
BalasHapusPosting Komentar