AKAN SEORANG
ROOKIE WARRIOR DAN APPRENTICE PRIESTESS
(Translater : Zerard)
Pedang murahan memotong
daging dengan fwwsh, dan seekor tikus
raksasa, gemuk dan bulat, datang melompat menuju mereka.
“Eeyikes!”
Giginya yang lebar, tajam,
dan kotor, napasnya yang tengik
mengundang gambaran akan kematian mereka.
Terkepung, dia mengambil langkah
mundur, menghantam makhluk itu dengan perisainya yang telah sering di gunakan.
“GYURI?!”
Tikus itu terjatuh dengan
teriakan, namun dengan cepat kembali berdiri kembali. Tidak terluka.
Rookie Warrior mengibas lengan kirinya, yang telah menjadi
mati rasa dari benturan itu, dan berusaha menstabilkan pijakannya.
“Ayolah, kenapa kamu nggak
pukul lagi?”
“Lenganku sakit semua!”
Di belakangnya, Apprentice
Priestess meneriakinya dengan lengkingan
suara sengau. Dia memegang gabungan antara pedang dan
timbangan dalam satu tangan dan sebuah lentera pada tangan satunya seraya
mengernyit.
Saluran air ini penuh akan
aroma membusuk yang dapat mengancam isi perutnya keluar. Bahkan menutup
hidungnya-pun tidak dapat membantu.
Pijakan yang licin, aliran
limbah mengalir di dekatnya. Tikus raksasa dengan gigitan yang lebih berbahaya
dari sekedar rasa sakit biasa. Hama yang berkeliaran di mana-mana.
Semua ini tidak ada beda
dengan yang biasanya. Namun ini tetap saja membuat Rookie Warrior ingin
menangis.
Mereka
bilang, Satu hari di sini, satu keping emas di kantongmu.
Itu jika mereka dapat
mencapai kuota mereka. Dan itu merupakan sumber penghasilan penting untuk
kehidupan.
Tapi tetap saja, bukankah
petualang paling tidak berhadapan dengan goblin atau sesuatu...?
“Awas, bego, dia datang!”
“—?!”
Teriakan temannya kembali
menyadarkannya, dan dia memberikan tusukan hebat dengan pedangnya, tanpa
melihat kemana dia mengarahkannya.
“GYAAARU?!?!”
Dia menusuk bulu dan daging
dan jantung, sensasi itu sangat tidak menyenangkan.
Sensasi itu di iringi oleh
cipratan cairan hangat yang terciprat pada wajah bocah itu.
Dia bertumpu pada gumpalan
daging yang menggeliat dan berteriak.
“Hr-hrrk...?!”
Ketika dia mengoyak tikus itu
dengan pedangnya, tikus itu mati, namun
masih
kejang-kejang di lantai.
Genangan darah hitam di
kakinya tersebar di sekitaran lantai, membasahi sepatunya.
“Hey, kamu nggak apa-apa?
Dia nggak gigit kamu?”
“Ye-yeah, aku baik-baik
saja.”
“................Oke.”
Apprientice Priestess
berusaha untuk bersikap tidak peduli, namun walaupun begitu, dia dengan
terburu-buru berusaha datang ke sisi Rookie Warrior. Tidak mempedulikan
akan jubah putihnya, dia mengelap darah pada pipi bocah itu, dan darah itu
mengotori jarinya.
“Nggak ada yang masuk ke
mata kan? Kalau mulutmu gimana?”
“Ugh. Sedikit.”
“Astaga. Apa sih yang kamu
lakukan?”
Dengan gumam lelah, gadis
itu mengambil antiracun dari tas yang dia bawa.
Rookie Warrior meludahkan
darah itu dan mengelap mulut dengan air minum. Dia meneguk antiracun pahit itu
dengan rasa syukur.
Mereka berdua masih tingkat
Porcelain. Bagi mereka, keajaiban Cure, yang
dapat menyembuhkan racun, masihlah sebuah mimpi layaknya armor
full plate dan sepasang baju besi.
Tapi tetap saja, Sebagai mantan monster yang sekarang menjadi tidak
lebih dari sekedar gumpalan daging yang tergeletak di lantai--makhluk
ini tidak boleh di remehkan.
Tikus ini sebelumnya telah disibukkan
oleh sesuatu: sebuah mayat terbungkus kain. Sosok tak bermata dan tulang pipi yang telah hancur yang terlihat seperti seorang gelandangan
Namun, di sekitar tenggorokknnya yang telah tercabik bergantung sebuah kalung
peringkat.
Apprentice Priestess
mengambil kalung Porcelain berwarna itu, membungkusnya dengan lembut
menggunakan sapu tangan, dan memasukkannya ke dalam tas.
Gadis malang itu—mereka tahu
bahwa itu gadis, karena berdasarkan kalung itu—tidak menggunakan armor apapun.
Dia telah berpergian ke dalam saluran air tanpa menggunakan apapun selain
bajunya dan sebuah stik, dan kemungkinan para tikus memakannya.
“...Ugh,” Rookie Warrior
berkata. “Mereka kembali.”
“Jangan nggak senang begitu.
Ini pekerjaan kita kan?”
Mungkin dikarenakan kematian familinya yang telah mengundang
mereka, atau mungkin hanya karena aroma darah yang terciprat, tikus lainnya
muncul dari kedalaman saluran air.
Makhluk itu lebih besar dari
seekor bayi, dan bayangannya berdansa di dalam cahaya lentera.
“Kita butuh telinganya
sebagai bukti kita membunuhnya,” kata Apprentice Priestess. “Cepat potong
sebelum tikus itu memakannya!”
“Telinganya? Aku?”
“Lakukan saja!”
“Coba kamu kasihan sedikit
sama aku....”
Walaupun dengan gumamnya,
bocah itu memegang gagang pedangnya yang masih tersangkut pada bangkai tikus,
dan menariknya.
“....Huh?”
Tidak bisa tertarik.
Tidak peduli seberapa keras
dia menarik, pedang itu tertanam dalam di dalam daging, dan menolak untuk di
tarik.
Dia menahan dirinya pada
mayat untuk menarik pedangnya—yang sekarang telah menjadi lembek setelah
serangan gencar sebelumnya—namun tidak berhasil.
Dan seraya dia berdiri mencoba
dengan sekuat tenaga, satu dari tikus yang hidup, matanya bersinar dengan
terang, semakin mendekat.
“Si-sial—!” dia terkesiap. “
Tun-tunggu sebentar....!”
“Dia datang! Lakukan sesuatu
bego, dia semakin mendekat!”
“E-eeyikes!”
Dengan gerakan cepat:
Rookie warrior berguling
kebelakang untuk menghindari rahang tikus, mendarat pada tumpukkan sampah.
Makanan yang membusuk, atau apapun itu dulunya, melumuri dirinya, namun itu
lebih baik di banding tergigit dan beresiko terkena infeksi. Sebuah serangan
kritikal dari gigi itu, dan tenggorokannya dapat tercabik.
“GUUURURURURRUUUUU....!”
Tikus raksasa menggeram,
mengayunkan ekornya ke kanan dan kiri, mengancam Rookie Warrior. Tikus itu
kemungkinan melihat bocah tak bersenjata dan gadis kecil yang berdiri di
belakangnya hanya sebagai sebuah makanan. Tikus itu melihat mereka seraya liur
menetes dari mulutnya, gambaran akan makhluk kelaparan. Tikus itu tentunya
tidak memiliki niatan untuk membiarkan mangsanya melarikan diri.
Tentu saja, jika mereka
lari, para petualang tidak akan bisa mendapatkan makanan, juga—walaupun dengan
alasan yang berbeda.
“Ahhh, sialan!” Apprentice
Priestess menjentikkan lidahnya.
Tikus
raksasa... tikus raksasa menyebarkan penyakit dan jorok dan sedang menyerang
kita sekarang, dan mereka adalah musuh ketertiban—musuh ketertiban!
Dia seperti sedang
mengingatkan dirinya sendiri akan semua ini seraya mengangkat pedang dan
timbangannya tinggi dan
cahaya mulai terpencar dari senjatanya. Benda itu berubah menjadi pedang
halilintar.
“Dewa
pengadilan, pangeran pedang, pembawa timbangan, tunjukkanlah kekuatanmu di
sini!”
Dan kemudian Holy Smite,
yang telah dia mohon dari para dewa, menembus tikus dengan mata pedangnya.
Menyebabkan sebuah asap dan
aroma daging terbakar, tikus raksasa terlempar ke udara sebelum terpantul dan
berguling di lantai, mati.
Bocah itu mengerucutkan
bibirnya dengan suara tidak senang seraya gadis itu menghela napas lega.
“Enak betul kamu. Para dewa membuat
semuanya menjadi mudah ya?”
“Oh, sudahlah. Kamu tahu aku
cuma bisa menggunakannya sekali sehari.” Apprentice Priestess melotot pada
Rookie Warrior karena perkataan tidak sopannya. “Ngomong-ngomong, kita harus
cepat dan mengambil pedangmu. Aku mau mengumpulkan telinga itu dan pergi pulang
dan mandi.”
“Ya, ya.”
Rookie Warrior mendekati
bangkai tikus pertamanya dengan ragu, dan kali ini mengerahkan seluruh
tenaganya untuk mencabut pedang.
Kemudian...
Scccrapee.
“....”
“.....”
Adalah suara yang mereka
tidak sukai. Kedua petualang itu bertukar pandang ketika mendengar suara tak di
duga itu, kaku dengan rasa takut.
Scrr...
Scrape.
Scrrrrpee...
Scrape.
Suara itu berasa dari
dalamnya kegelapan.
Merinding. Apprentice
Priestess mengangkat lenteranya,
Sesuatu akan hitam dan
berkelip redup timbul sebagai sebuah serangga besar. Serangga itu bercahaya
seperti terlumasi dengan minyak. Satu, dua....kemudian banyak, dan lebih banyak
lagi. Bahkan dengan perhitungan cepat, sangatlah jelas bahwa mereka berjumlah
lebih dari sepuluh.
Sementara menjulurkan antena
tipis dan panjang, makhluk itu mendekat secara perlahan.
Mereka mendatangi para
petualangan, rahang terbuka lebar.
“Oh—“
Suara Apprentice Priestess
tersangkut di tenggorokannya, sebelum—
“Tiiiiiiiidddddaaaaaakkkkkk!”
“Bego! Jangan teriak, lari!”
Pasangan itu mengambil apa
yang mereka bisa dan berlari dalam saluran air dengan panik.
Suara gesekan mengerikan
memberitahu mereka bahwa serangga hitam itu masih berada di belakang mereka.
Seberapa
jauh tadi jalan keluarnya?
Rookie Warrior bertobat: dia
tidak akan meminta naga. Mungkin paling tidak seekor goblin—walaupun mereka
dapat membuat hidupmu berakhir dengan mengenaskan. Tapi di bandingkan itu
semua, mati dengan di makan hidup-hidup oleh kecoa adalah kematian yang paling
dia tidak inginkan.
*****
Arunika musim semi sangat
hangat, seakan menyambut
kedatangan musim panas.
“Hrg...ggrrhh...”
Rookie Warrior terbangun di
karenakan cahaya yang menembus matanya, meregangkan tubuhnya di atas jerami
untuk melonggarkan badannya yang kaku.
Dia mengambil napas dalam
dan menghembuskannya, campuran akan aroma
alkohol dan binatang yang tidak mengenakan.
Menyambut hari baru di
kandang kuda masihlah lebih baik di banding dengan berada di saluran air.
Tentu saja, Guild Petualang
memiliki penginapan, namun itu tidaklah gratis. Memang benar, semua kamar itu
adalah kelas “ekonomi”—walaupun ranjangnya hanyalah selimut yang di tebarkan di
atas papan kayu.
Ruangan itu tidaklah mewah, namun...
“Aku nggak punya uang sama
sekali.”
Dia menghela napas perlahan.
Petualangan pada hari sebelumnya merupakan “kerugian” secara finansial baginya.
Satu antiracun, satu pedang,
dan—karena mereka tidak dapat memenuhi kuota—tidak ada hadiah.
Dia dapat bertahan hidup
hari ini, karena paling tidak dia masih memiliki uang yang telah dia simpan dan tabung di masa lalu.
Tapi jika seperti ini terus, tidak akan lama baginya untuk membawa pekerjaan
impiannya kembali pulang, atau—jika dia memang benar-benar tidak beruntung—mungkin
bahkan menjadi budak
prostitusi.
Baru beberapa bulan semenjak
Rookie Warrior telah pergi dari desanya untuk menjadi petualang. Alasannya
adalah karena Apprentice Priestess, teman lamanya, telah pergi untuk berlatih
dan terlihat seperti akan mati jika dia di biarkan begitu saja.
Sebaliknya, dari perspektif
gadis itu, adalah dia yang menemani
bocah ini untuk “semacam latihan warrior atau sesuatu” agar bocah ini tidak
mati di suatu semak-semak.
Bocah merasa bahwa dia perlu
meluruskan tentang ini semua kepada gadis itu.
Yah, pernah merasa.
Dalam berbulan-bulan mereka
telah datang pada kota perbatasan, mereka hanya membunuh tikus. Dan terkadang
kecoa.
Apa
ini benar-benar pekerjaan petualang...?
Sangatlah cukup untuk
membuat mimpinya layu, mematahkan tekad dan
niat.
“Hentikan, hentikan. Sudah
cukup berpikiran seperti itu.”
Dia memberikan kepalanya
gelengan dan mencabut sehelai jerami yang tersangkut pada bajunya.
Di dekatnya, pria paruh
baya, yang juga merupakan petualang, nyenyak
dalam tidur lelapnya, menggorok berisik.
Di seberang mereka, para
kuda memberikan tatapan jijik pada manusia yang telah mengambil ruang tidur
mereka.
Dia tidak melihat Apprentice
Priestess di manapun.
Tidak peduli seberapapun
kecewanya dia, Rookie Warrior masih memiliki harga diri untuk membiarkannya
tidur di atas salah satu ranjang sederhana itu.
“Hoookkkee! Satu lagi hari
lainnya!”
Berpura-pura
dalam mood yang bagus sudah sama saja dengan benar-benar dalam mood bagus, kan?
Dia memberikan
teriakan, mengambil barangnya, dan keluar dari kandang kuda.
Melangkah menuju sumur, dia
menarik ember dan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. Menggunakan kain pada
pinggulnya, dia mulai menggosok dengan keras.
Masih tidak tampak akan
adanya kemungkinan tumbuhnya sebuah janggut.
“Nggak lama lagi aku akan
mulai terlihat seperti pahlawan....mudahan.”
Atau mungkin janggut hanya akan memberikan
alasan bagi Apprentice Priestess untuk mentertawainya. Rookie Warrior mengeluh.
Apapun itu, banyak yang harus
di lakukan.
Dengan tugas sederhana untuk
membuat dirinya pantas, bocah itu kembali masuk ke dalam kandang kuda. Dia
mengambil sekop dari rak peralatan kebun dan pergi ke belakang kandang kuda.
“Hmmm. Aku taruh di mana
ya...?”
Dalam keadaan lelah di kala
dia kembali malam itu hanya memberikannya ingatan samar akan tempatnya.
Dia mengitari tanah dalam
beberapa menit, mencari sesuatu, hingga, dengan sebuah “Ah, di sana.” Dia
menemukan bekas tanah galian yang masih baru.
Dia menusukkan sekop ke
dalam tanah, menekankan kakinya pada sekop dan menggali selama beberapa saat.
Tidak lama kemudian, dia
mengeluarkan perlengkapannya dari dalam tanah—armor dan perisainya.
Dia telah memilikinya tidak
lama setelah mencapai kota, menggunakan uang miliknya. Barangnya memang murah,
namun tanpa ada tandingan. Ini adalah perlengkapan yang dia yakin dapat di
andalkan.
Tentu saja, terdapat alasan
mengapa dia mengubur mereka.
“....Erk. bau...hrrm. yah,
paling nggak masih lebih mendingan ku rasa.”
Dia mendekatkan wajahnya dan
menciumnya.
Berkeliaran di dalam
kumpulan limbah saluran air sama sekali tidak menganggunya selama mereka terburu-buru
melarikan diri. Permasalahannya adalah ketika mereka kembali ke permukaan, dan
dia baru tersadar akan betapa baunya aroma tubuhnya. Tidak hanya orang-orang di
jalan, bahkan sesama rekan petualangnya menutup hidung mereka dan mengernyit
kepadanya.
Pada akhirnya, mereka telah
kembali ke Guild untuk membuat laporan, resepsionis berkata dengan senyuman,
“Mohon bersihkan diri anda di belakang.”
Semua terjadi sementara
Apprentice Priestess berdiri di sana, muka merah, dan bergetar menatap ke
lantai....
Kacau sekali... dia berpikir.
Pada akhirnya, walaupun dia
tidak terbiasa, dia mencuci pakaiannya, mengeringkannya, dan membersihkan
dirinya sebelum menganti pakaian.
Setelah berpikir tentang apa
yang harus di lakukannya pada armor kulit dan perisainya, dia memutuskan untuk
menguburkannya di tanah dan berharap agar aromanya dapat menghilang.
Aromanya sedikit berkurang,
atau itu yang di harapkannya, dengan itu dia mengelap bersih tanah yang
menempel dengan kain dan memakai armornya.
Dia tidak memiliki
keberanian untuk membiarkan perlengkapan berharganya bergeletakan begitu saja
walaupun dia menyewa ruangan, terlebih lagi jika menginap pada kandang kuda
seperti saat ini.
“Erk...”
Perutnya mulai berbunyi, di
iringi dengan sensasi sakit.
Rookie Warrior secara reflek
meletakkan tangan pada perutnya dan melihat sekeliling dengan panik. Tidak ada siapapun
di sana. Tidak ada yang mendengar.
Sekarang setelah dia
memikirkannya, dia hanya meminum segelas air pada hari sebelumnya.
Langit begitu biru, arunika
pagi begitu benderang.
Rookie Warrior menghela.
“....Aku rasa aku harus cari
sesuatu untuk di makan.”
*****
“....Kamu terlambat.”
Apprentice Priestess sudah
berada di rumah makan.
Dia berada di sebuah pojok,
dan ruangan ini penuh sesak dengan para petualang bahkan di pagi ini seperti ini.
Dia menopang dagu dengan
tangannya dan terlihat kesal; Rookie Warrior duduk di meja dengan permohonan
maaf singkat.
“Oh,” dia menambahkan, ”Dan
selamat pagi. Sarapan?”
“Aku sudah makan,”
Apprentice Priestess berkata acuh, kemudian dia bergumam menjawab salamnya.
“Pagi. Ngomong-ngomong, buruan cepat makan. Aku mau turun lagi ke bawah siang
ini kalau kita bisa.”
Terdapat sebuah piring roti
kosong di depan gadis itu. Pada kursi bocah, terdapat kacang, sup sepek, dan
roti.
Rookie Warrior membuka mulut
kebingungan, menutupnya, kemudian membukanya lagi.
“Maaf.”
“Untuk apa?”
“Ahh...”
Tampaknya apapun yang akan
dia katakan, hanya akan membuat gadis itu menjadi marah kembali.
Kita
nggak perlu bertengkar di pagi hari seperti ini.
Dia mengambil sendok dan
menggiring sup itu menuju mulutnya. Apprentice Priestess memberikan sebuah hmph.
“Dan bajumu. Apa mereka
masih tergantung di belakang kandang kuda?”
“Oh, uh, yeah.” Rookie
Warrior mengangguk. Dia menggigit roti keras dan menelan. “Bajunya masih belum
kering.”
“Oke, berikan padaku nanti.
Bau itu nggak akan hilang kalau ikutin cara kamu cuci. Biar aku saja yang
cucikan.”
“Oh, uh...maaf.”
“Aku nggak mau jadi ikut bau
karena berdekatan denganmu.” Dan kemudian gadis itu memalingkan kepalanya.
Kegagalan perjalanan mereka
kembali adalah sepenuhnya salah Rookie Warrior. “Maaf,” dia bergumam, berfokus
pada makanannya.
Dia merobek bagian roti dan
mencelupkannya ke dalam sup. Ketika menjadi basah,
dia menyendok beberapa sepek dan memakan semuanya bersamaan. Sup itu sangat
encer dan hanya berasa garam. Dia memakannya tanpa sepatah kata.
Jika seorang pria yang
seharusnya menjadi perisai sangat kelaparan hingga membuatnya tidak dapat
bergerak, apa yang akan party kecil mereka lakukan? Ini adalah salah satu dari
pekerjaannya.
Semua telah habis, dia
meletakkan sendok pada piring yang sekarang kosong dan mengangguk.
“Oke. Senjata.”
“Sayang banget meninggalkan
pedang itu di bawah sana.”
“Tunggu, dengar,” dia
berkata, menuangkan air dari botol di atas meja menuju gelasnya. “Aku butuh
senjata kalau kita mau kembali lagi dan mencarinya.”
“Dan apa kamu punya uang?”
“Soal itu....”
Dia menelan airnya.
Apprentice Priestess menggapai botol air bersamaan dengan bocah itu, karena itu
bocah itu menuangkan air pada gelas Apprentice Priestess.
“Terima kasih.” Dia berkata,
menggunakan kedua tangan pada gelas dan membawanya ke bibir. “Kamu nggak punya
sedikitpun kan? Uang, maksudku.”
“Mungkin aku bisa
pinjam....”
“Hentikan. Jangan
berhutang.”
“Bukan. Maksudku meminjam
perlengkapan atau sesuatu.”
Meminjam
senjata. Dia memikirkan beberapa dari kenalannya,
berharap jika salah satu dari mereka bersedia meminjamkan sesuatu.
Akan mudah baginya untuk
membeli sebuah belati, namun itu tidak begitu membuatnya percaya diri.
Dan untuk meminjam sesuatu
seperti pedang panjang—layaknya yang dia hilangkan dengan sebuah ayunan—akan
menjadi sebuah hutang baginya.
Kepercayaan adalah sesuatu
yang tidak mudah di dapatkan.
Dia baru saja akan menghela
lemas pada ketika....
“Hm, ada apa, bocah?
Pagi-pagi sudah bermuka masam begitu.”
Komentar ringan itu
terdengar dari atas kepalanya.
Kepalanya mendengak. Dia
melihat seorang petualang membawa sebuah tombak yang berkelip dalam cahaya.
Kalung yang bergantung di
sekitar lehernya adalah Silver—tingkat ketiga.
“Oh, uh, yah....”
“Aku punya kencan, yang
artinya aku akan berpetualang, jadi aku nggak punya waktu lama. Tapi aku akan
mendengarkan selagi aku bisa.”
Rookie Warrior tiba-tiba
mendapati dirinya tidak bisa berkata apa-apa. Spearman yang di kenal sebagai
“Pria perbatasan terkuat,” memberikan senyuman bersahabat kepadanya.
Warrior muda menelan liur.
Di sampingnya, Apprentice Priestess menyikut dirinya. Bocah itu mengangguk
memahami.
“Uh, sebenarnya, Aku...Aku
kehilangan senjataku pada petualangan kami kemarin.”
“Oh yeah?” Secara reflek
Spearman mengernyit. ”itu sulit sekali.” Dia berkata, suaranya terdengar penuh
dengan rasa kasihan.
“Aku ingin mengambilnya
kembali, tapi aku nggak punya senjata, jadi...Aku berpikir apa ada kemungkinan
seseorang akan meminjamkan senjata padaku...”
“Cadangan yang bisa kamu
pinjam, huh? ...Aku punya beberapa, jadi aku bisa meminjamkanmu, tapi...”
Spearman memperhatikan Rookie Warrior dari kepala hingga kaki, kemudian
menyimpulkan: “Aku nggak yakin kamu punya kekuatan untuk mengayunkannya.”
“Erk...”
Suara akan rasa malu
terlepas dari mulutnya.
Rookie Warrior sangat kurus
dan fleksibel, tapi jika berhubungan dengan otot, dia bukanlah tandingan
Spearman.
Mereka memiliki tipe tubuh
yang berbeda. Tentu saja mereka akan menggunakan senjata dengan berat yang
berbeda.
“Dan kalau kamu kehilangan
ini juga, aku yakin kamu nggak bisa menggantinya.”
“Benar, kan?” Bahkan Spearman-pun tidak dapat memalak uang
dari petualang junior.
Seorang wanita cantik muncul
pada sisi Spearman, senyap layaknya bayangan, hanya gumamnya yang terdengar.
Dia adalah Witch yang menggunakan
pakaian yang menunjukkan figurnya yang montok nan aduhai. Apprentice Priestess
mendapati wajahnya memerah, dan mengalihkan pandangannya.
“Dan, senjata, sihir,
tentunya, tidak, akan, cocok, denganmu, kan?”
Meminjam senjata sihir?!
Mata Rookie Warrior melotot
seraya Witch berbisik dan tertawa kecil.
Bagi pemula seperti dirinya,
armor metal merupakan sebuah impian belaka. Senjata sihir mungkin sama saja
dengan barang legenda.
Aku
dengar kamu bisa mendapatkannya di reruntuhan atau labirin kalau kamu benar-benar
beruntung, dan aku juga sering melihatnya di jual.
Namun senjata itu beberapa angka terlalu mahal baginya untuk
di miliki.
“Karena, itu, biarkan, aku,
meminjamkan, sesuatu, lain, yang, bagus.”
Witch mengambil sesuatu dari
garis lehernya dengan gerakan elegan—sebuah lilin.
Lilin itu tidak tampak
seperti putih biasa, melainkan putih kebiruan—yang dimana, setelah di lihat
lebih seksama, dikarenakan huruf berwarna yang melapisinya.
Berbagai macam karakter
terukir pada lilin dalam sebuah kalimat yang tidak dapat di mengerti Rookie
Warrior.
“Itu...” Apprentice
Priestess berkedip beberapa kali. “...Sebuah lilin.”
“Ya.”
Witch berkedip dan
mengecilkan suaranya seolah sedang menunjukkan sebuah rahasia gelap.
“Ini, adalah, lilin
pencari... Ketika, kamu, berada, di dekat, benda, yang, kamu, cari, lilin, ini,
akan, menjadi, lebih, hangat. Mengerti?”
Sebuah benda sihir. Rookie
Warrior menelan liurnya.
Tidaklah perlu bagi mereka
untuk menggunakannya. Jika mereka menjualnya, lilin ini akan menghasilkan uang
yang cukup untuk membeli pedang yang bagus....
“Silahkan, di jual—ubah,
menjadi, uang.”
Senyumnya terlihat dapat
menebak apa yang di pikirkan bocah itu, dan Rookie Warrior mendapati dirinya
menatap ke lantai. Apprentice Priestess kembali menyikutnya.
“Oh, um, aku, uh— Ma-makasih.
Terima kasih banyak.”
“Jangan, di pikirkan. Sedikit,
sesuatu, untuk, menolong.”
Rookie Warrior menerima barang itu dengan ragu seraya
Witch mengenakan ekspresi terhibur dan tersenyum.
“Yah, kalau begitu. Kami
akan...berkencan dulu.”
“Yep. Jangan, mati, bocah.”
Spearman mengacak rambut
Rookie Warrior dan pergi dengan langkah
riang.
Witch mengikuti di
belakangnya melewati pintu Guild.
Rookie Warrior mengangkat
telapak tangan ke depan wajahnya, yang di mana dia masih merasakan genggaman
kuat itu.
“....Mereka keren banget.”
“Yeah.” Apprentice Priestess
mengeluarkan bisikan. “Mungkin....”
*****
“Uh-uh, nggak mungkin!” Pada
lahan berumput di belakang Guild, Bocah Scout sedang duduk dan melambaikan
tangannya panik. “Aku baru-baru saja kehilangan belatiku. Yang aku punya
sekarang ini pinjaman. Kalau aku pinjamkan, Kapten bakal bunuh aku!”
“Hilang? Kenapa?”
“Di lelehkan sama siput raksasa.”
“Apa sih yang kamu lakukan?”
Gadis Druid rhea, mengangkat alisnya.
“Siput raksasa, huh? Beruntung
kamu....”
Rookie Warrior mengerucutkan
bibirnya, menerima sikut dari samping oleh Apprentice Priestess. “Kita tingkat
Porcelain, sementara mereka sebuah party Silver. Kita nggak sebanding.”
“Kalian membunuh tikus
raksasa, kan?” Bocah Scout bertanya. Rookie Warrior mengernyit dan mengangguk.
“Dan aku kehilangan pedang
karena itu.”
“Kamu beruntung setidaknya
itu bukan barang langka.”
Bocah Scout melirik pada
Heavy Warrior yang sedang mengayunkan pedang besarnya.
Terdengar suara whooosh seraya pedang itu memotong
angin, dan kemudian sebuah duk seraya
Knight Wanita melompat masuk.
Pedang besarnya membuatnya
tidak dapat membawa perisai, namun kemudahan dia menggunakan pedangnya merupakan bukti kekuatan
sihir yang telah di berikan padanya.
Serang, tangkis, kena, halau,
hantam, serangan atas, pantul, potong.
Senjatanya di buat secara detil, seperti juga armornya. Kilau
senjata yang di buat secara seksama tidak dapat di bendung walau dalam cahaya
matahari.
“...Andai aku punya seperti
itu.”
“Seperti apa?”
“Pedang besar itu,” Rookie
Warrior berkata, menopang dagu dengan tangan. “Pedang dua tangan.”
“Lupakan saja.” Apprentice
Priestess berkata, matanya melebar. “Biarpun kamu punya, coba pikir apa yang
akan terjadi.”
“Yeah, terserah.”
“Apa maksud dia kamu hanya akan mengenai
angin?”
“Dia bermaksud kalau kamu
nggak akan mengenai apapun.”
Kicauan Bocah Scout dan
Gadis Druid membuat Rookie Warrior berputar kesal.
“Tapi kalau aku berhasil
mengenai sesuatu, bakal keren banget.”
“Senjata itu berat banget, kamu bakal kecapean
duluan.”
“Tapi aku bakal keliatan
keren.”
“Dan senjata itu juga nggak
murah.” Apprentice Priestess mengayunkan jarinya memarahi Rookie warrior, dan
tidak ada yang bocah itu lakukan selain terdiam.
“Kayak dia memakai Silence
sama kamu!” Bocah Scout tertawa. “Kamu
benar-benar nggak bisa ngelawan!”
“Oh,” Gadis Druid berkata
dengan sedikit dengusan dan ekspresi tenang, mengepak telinga berbentuk daun
miliknya. “Kamu sendiri bakal menghabiskan semua uang kita kalau bukan aku yang
pegang dompetnya.”
Bocah Scout mendapati dirinya sendiri di marahi.
Dia menjentikkan lidahnya, dan Gadis Druid mengangguk puas. Kemudian Gadis
Druid bertanya, “Hey, gimana kalau kamu tanya saran sama Guild?”
“Maksudmu tentang meminjam
senjata?”
“Bukan, tentang bagaimana
membunuh tikus raksasa. Mungkin mereka punya beberapa tips.”
“Hmmm.” Apprentice Priestess
mengeluarkan suara pelan. “Aku penasaran apa bisa semudah itu.”
*****
“Saya rasa tidak akan
semudah itu.”
Tentu
saja tidak.
Gadis Guild menggeleng
kepala perlahan pada Apprentice Priestess, meletakkan tangan pada pipinya dan
terlihat kebingungan.
“Sudah kuduga...”
“Kami meminta para petualang
untuk melakukannya karena pada dasarnya
itu tidak mudah.”
“Kalau semua orang bisa
melakukannya, maka nggak akan ada pekerjaan, huh...” Rookie Warrior berkara.
“Oh, Satu penawar, tolong.”
“Tentu saja, ini dia.”
Apprentice Priestess
mengambil botol yang di tawarkan dan menyimpannya dengan hati-hati ke dalam
tasnya. Paling tidak pengalaman pahit ketika dia berlari dan tersandung,
memecahkan botol itu di dalam tasnya, menjadi pengalaman yang berguna.
“Bagaimana dengan potion
penyembuh?” Gadis Guild menambahkan.
“Aku mau sih, tapi...kamu
tahulah, uang.... Apa kamu punya perban, atau herba, atau salep?”
“Memang tidak semudah itu
ya? Tapi, walaupun begitu...” Gadis Guild mengeluarkan batuk bernada penting.
“Mungkin ada sesuatu yang bisa saya anjurkan kepada anda...”
“Yang benar?!” Rookie
Warrior berdiri dari kursinya seraya bertumpu pada meja resepsionis.
Tengah hari telah lewat, dan
hanya terdapat sedikit petualang yang terlihat pada Guild Petualang.
Kebanyakan dari mereka telah
memilih quest yang di inginkan dan dengan antusias pergi untuk berpetualang.
Rookie Warrior dan
Apprentice Priestess telah menunggu hingga momen ini untuk meminta pertolongan,
dan mereka akan membenci jika harus pulang tanpa sedikitpun petunjuk.
“Apa saja! Apapun itu!”
“Yah, ini sebenarnya
merupakan anjuran yang sudah jelas...” Gadis Guild mengangkat telunjuknya, yang
menampilkan kuku yang di rawat dengan baik. “Perkuat pertahanan anda. Paling
tidak miliki beberapa baju besi, atau sesuatu yang seperti itu, agar tikus dan
kecoa raksasa tidak dapat menggigit anda.”
“Tapi kami nggak punya
uang....!” Semangat Rookie Warrior sirna, dan kursi berbunyi seraya dia kembali duduk lemas, suaranya
terdengar begitu kecewa.
Gadis Guild memiringkan
kepalanya ke samping, menyebabkan kepangnya menggantung.
“Anda bisa mendapatkan
diskon kecil jika anda membeli perlengkapan bekas.”
“Bukannya mereka mendapatkan
itu dari orang yang sudah mati?” Apprentice Priestess bertanya dengan sedikit
dingin, dan Gadis Guild membuat suara Tidak
sopan sekali tidak menyenangi.
“Beberapa berasal dari para
petualang yang telah pensiun, atau orang yang menukarnya. Kami tidak memiliki
apapun yang terkutuk.”
“Tapi kamu memang punya
barang dari orang yang mati, kan?”
“Yah, kami... Tidak jika
mereka menjadi undead...” Gadis Guild tampak ragu untuk sesaat. Tetapi tidak
lama kemudian dia mengenakan senyumnya kembali. “Lagipula, perlengkapan tetap
saja perlengkapan, bukan?”
Rookie Warrior menghela.
Dan
nggak punya uang tetap saja nggak punya uang.
“Ada saran lain...?”
“Hmm... Oh, apakah anda
menggunakan lentera?”
Ya, dari pelengkapan
petualang,” Apprentice Priestess berkata dengan lelah. Terdapat tali, lentera,
kapur, dan beberapa rantai dalam perlengkapan
petualang. Sejauh ini, hanya lentera yang banyak berguna bagi mereka, dan dia
terlihat menyesal telah membelinya.
“Terdapat orang yang
menggunakan obor di banding
sebuah lentera, karena dapat berfungsi juga sebagai senjata.”
Gadis Guild mengatakan
dengan senyuman bahwa tikus dan serangga membenci api.
“Petualang macam apa yang
menggunakan sesuatu seperti itu?”
“Ya, salah satunya—“
Gadis Guild tiba-tiba
berhenti, dan wajahnya terlihat seperti bunga yang mekar.
Rookie Warrior mengikuti
pandangannya, menuju pintu masuk Guild.
Pintu bermodel seperti salon
terbuka, dan aroma besi yang mengusik hidung mulai menyebar.
Sulit untuk menyalahkan “Ergh”
yang keluar dari mulut Rookie Warrior.
Seorang petualang misterius
muncul pada pintu masuk.
Dia mengenakan helm yang
terlihat murahan dan armor kulit kotor, sebuab perisai bundar terikat pada
lengannya, dan sebuah pentungan primitif menggantung pada pinggulnya.
Dia adalah petualang dengan
sebutan Goblin Slayer.
“Pa-pak Goblin Slayer, aku
sudah bilang, ini kecepatan...”
“Benarkah?”
Seorang priestess dalam
jubah putih tercemar noda hitam kemerahan datang mengikutinya.
Jawaban Goblin Slayer
singkat. Dia melihat dua orang yang berada pada meja resepsionis, kemudian
memulai jalan sigapnya. Dia duduk pada bangku di ruang tunggu dengan gedebuk.
Priestess ikut duduk di sampingnya.
Gadis Guild, mengayunkan jarinya ke samping
seperti sebuah sinyal, menyipit seolah mengatakan, Apa boleh buat.
“Kamu harus membersihkan
diri. Aku sudah sering bilang sama kamu. Orang-orang akan salah paham,” Priestess mengeluh. Kemudian Gadis Guild menyadari ekspresi pada
wajah Rookie Warrior dan Apprentice Priestess. “Kalian berdua baik-baik saja?”
“Oh, kami, uh...”
“Um...” Apprentice Priestess
menggaruk pipinya canggung. “Kami sudah mengatakan sesuatu yang...agak kasar
sebelumnya.”
Dia sedang membicarakan
sesuatu dari beberapa bulan yang lalu, namun kejadian itu masihlah segar dalam
ingatan mereka.
Mereka berpikir bahwa pria itu hanya menggunakan rekan
pemulanya sebagai umpan.
Sekarang itu terlihat
seperti hal yang tidak sopan untuk di pikirkan, namun pada saat dulu mereka
yakin mereka harus menyelamatkan Priestess.
“Ah!” kata Gadis Guild
dengan tawaan kecil, memahami. “Saya yakin tidak masalah. Beliau bukanlah orang
yang akan terganggu dengan hal semacam itu.”
“Ya, tapi kami merasa nggak
enak...” Rookie Warrior berkata, kemudian berkedip. Dia menggosok mata dengan
lengan bajunya. Ada sesuatu yang janggal.
Pendatang baru itu
menggunakan helm baja yang terlihat murahan, armor kulit yang kotor, perisai
bundar kecil terikat pada lengannya, dan sebuah pentungan primitif pada
pinggulnya.
Pentungan?
“.....Apa dia nggak
menggunakan pedang?”
“Iya juga...” Apprentice
Priestess melihat kepada Goblin Slayer juga. “...Aku rasa dia menggunakannya,
tapi pedang yang benar-benar kelihatan murahan.”
“Yeah, kamu benar.”
“Dan gadis itu juga
berlumuran cipratan darah...”
Apa-apaan
yang terjadi? Pasangan muda terlihat khawatir, namun
Gadis Guild hanya tertawa kecil dan tersenyum.
“Berpikir tentang mereka?”
dia bertanya, menepuk kertas pada meja untuk merapikannya. “Cara terbaik untuk
mempelajari cara berpetualang adalah dengan bertanya pada para petualang.”
“I-iya...”
Tetapi orang itu adalah
Goblin Slayer.
Tetapi juga, dia merupakan
petualang tingkat ketiga, tingkat Silver.
Tetapi...dia juga Goblin
Slayer...
“...Okelah!”
Adalah Apprentice Priestess
yang berdiri dengan gumam antusias yang bisa dia lakukan.
“He-hei, apa—?”
“Bertanya,” dia berkata,
menatap ke depan, “Itu gratis!”
Kemudian dia pergi
meninggalkan Rookie Warrior yang terbengong dan mulai melangkah ke depan dengan
penuh tekad.
Rookie Warrior melirik pada
Gadis Guild. Dia masih tersenyum.
“Aww, sial...!”
Sekarang Rookie Warrior menyemangati
dirinya dan berdiri.
Ekspresi Gadis Guild, tentu
saja, tidak pernah berubah.
*****
“Ummm...” Apprentice
Priestess memanggil, yang hanya mengundang jawaban letih “Appha?” dari
Priestess.
Sangatlah jelas bahwa dia
baru saja menyelasaikan petualangan dengan Goblin Slayer. Apprentice Priestess
mengernyit, baru tersadarkan bahwa seharusnya dia memilih waktu yang lebih
baik.
“Ada apa?”
“Eep...”
Dan di tambah lagi, terdapat
sebuah suara bernada rendah, tidak berekspresi, hampir mekanikal.
Helm baja bergerak perlahan,
dengan tatap tajam dari balik pelindung kepala. Armor pria itu penuh dengan noda darah.
Dia
memang benar terlihat seperti armor hidup atau sesuatu...
Dengan pikiran seperti itu
yang terbesit di benaknya, Apprentice Priestess menelan liur.
“Uh— Um!” Rookie Warrior memanggil
untuk membantu temannya. Dia menghiraukan keluhan tunggu dulu! Dari temannya dan melanjutkan dengan nada akrab.
“Ada sesuatu yang kami ingin
tanya padamu...kalau kamu nggak keberatan.”
“Ada apa?”
Jawaban Goblin Slayer
singkat, dan menggunakan nada rendah yang sama.
Di sampingnya, Priestess
menggeleng kepala dari samping ke samping.
“Tolong jangan ribut.”
“Oh—erk... Ma-maaf...”
Rookie Warrior membalas dengan suara tegang. Tangannya kaku, dan sedikit
bergetar karena gugup.
Apprentice Priestess
menggenggam tangan temannya dengan lembut. Tangan itu kasar dan penuh akan
luka.
“....Apa seburuk itu,
pekerjaan ini?”
“Kami memerlukan uang.” Tetapi, tidak. Goblin Slayer menggeleng
kepala dari samping ke samping. “Aku di paksa untuk ikut.” (TL Note : asli saya tidak paham konteks kalimat di
sini, ataupun siapa yang berbicara di sini. Jadi saya mohon maaf kalau kalian
bingung, karena saya juga sama bingungnya. L )
Rookie Warrior menelan liur
dan memeras tangan Apprentice Priestess.
“Yah, kami... kami ingin
bertanya sesuatu.” Dia mengambil nafas dalam. Tangannya melemas. “Kenapa kamu
memakai pentungan?”
Jawabannya datang dalam
sekejap: “Aku mencurinya dari goblin.”
“Men-mencuri?”
“Kamu melempar, atau menusuk
dengan pedang. Pedang itu akan patah atau terkikis. Penggunaan secara hati-hati
dapat membantu, tapi satu pedang nggak akan bisa lebih dari lima goblin.”
Itu terdengar seperti sebuah
jawaban... Tetapi juga, tidak terdengar seperti jawaban.
Tunggu...
mungkin itu memang jawaban.
“Hrmm” dengus Rookie
Warrior. Kemudian dia berpikir cukup lama. “Bagaimana dengan tikus atau kecoa?”
Sekarang adalah giliran
Goblin Slayer mendengus. “Tikus dan kecoa?”
“...Yeah.”
“Aku nggak tahu.” Tapi... Dia menepuk pentungan pada ikat
pinggangnya. “....Kalau kamu mengayunkan ini dan mengenainya, kamu akan melukai
mereka. Paling nggak kamu nggak perlu khawatir soal mata pedang yang terkikis.”
Goblin Slayer berdiri dari
bangku, dengan sangat perlahan. Priestess, yang bersandar padanya, terkejut.
“Mudah.”
“Mudah....”
“Aku akan pergi,” dia
berkata singkat pada Rookie Warrior, yang berdiri berpikir. Kemudian helmnya
berputar mengarah Priestess yang menggosok matanya mengantuk. ”Istirahat?”
“Oh, ng-nggak, Aku ikut.”
“Aku mengerti.”
Priestess berdiri juga,
terburu-buru mengikuti langkah sigap yang menggiring pria itu menjauh.
Namun ketika Priestess
hendak mengikuti, dia berputar mengarah kedua petualang dan menundukkan kepala.
“Oh, um—hei!” Apprentice
Priestess berkata.
“Ya?”
Sekarang atau tidak sama
sekali.
Apprentice Priestess telah
memanggil hampir tanpa berpikir, dan sekarang Priestess memiringkan kepalanya.
“Ada yang bisa aku bantu?”
“Anu, um, kami cuma...
Kenapa kamu berlepotan darah?”
“Oh...” Priestess bergumam
dengan wajah kebingungan. Dia sedikit tersipu. “A...Aku kalau bisa nggak
ingin...menjawabnya.”
“Oh...yang benar?”
“Ah, ta-tapi aku nggak
terluka sama sekali, jadi jangan khawatir!” dia memberikan senyuman tegar namun lelah pada Apprentice
Priestess. Dia berlumuran dengan keringat dan tanah, namun tidak ada sedikitpun
tanda lingkaran hitam pada ekspresinya.
Kalung peringkat yang
menggantung pada lehernya bukanlah Porcelain, melainkan Obsidian.
Apprentice Priestess
menghela nafas.
“Hei...”
“Ya?”
“Maaf soal sebelumnya.”
“?”
“Aku rasa kami benar-benar salah paham tentang apa yang
sebenarnya terjadi.”
Mata Priestess melebar, dan
dia berkedip beberapa kali. “—Jangan khawatir soal itu!” Dan kemudian
tiba-tiba, dengan ekspresi
tenang dan serius gadis itu, menggenggam tongkat dengan kedua tangan. “Benar-benar
nggak masalah kok. Aku tahu bagaimana dia kelihatannya, tapi dia orang yang
baik...”
“Nggak ikut?” Suara kasar memanggil dari kejauhan.
“Kita harus ngobrol kalau
ada kesempatan,” Priestess berkata, dan kemudian dia menundukkan kepala kepada
mereka. Meletakkan satu tangan untuk menjaga topinya, dia berlari menuju tempat
di mana Goblin Slayer berdiri.
“Ada apa?” dia bertanya.
Namun Priestess menjawab,
“Nggak ada apa-apa.”
“Kamu lelah?”
“Oh, nggak... Um. Yah mungkin
aku sedikit lelah.”
“Istirahat sebentar.”
Bahkan dari kejauhan, mereka
berdua dapat melihat sedikit senyum Priestess seraya dia menjawab, “Baik, pak.”
Apprentice Priestess
menghela dan mengangkat bahunya.
“Aku rasa...”
“Huh?”
“Kita juga harus berusaha
sebaik yang kita bisa.”
“Uh-huh!”
Dengan itu, Rookie Warrior
dan Apprentice Priestess membenturkan kepal tangan mereka bersama.
*****
“Baiiiiikkklaaah! Ayo!”
“Oke, Ayo periksa
daftarnya!”
Di pinggiran kota, tepat
setelah fajar, dengan kabut
biru keungguan yang masih menghias langit, suara akan seorang bocah dan gadis
dapat terdengar di dekat lubang saluran air.
“Antiracun!”
“Ada!”
“Kotak P3K!”
“Ada!”
“Salep dan herba, ada!”
“Lampu!”
“Lentera dari perlengkapan
petualang, beberapa minyak, dan obor! Bagaimana denganmu?”
“Lilin pencari... Umm,
peta!”
“Ada! Tapi aku cuma
meminjamnya ketika kita menerima quest kita.”
“Nggak apa-apa. Sekarang,
armor!”
“Armor kulitku masih agak
bau...perisaiku, juga. Coba kamu berputar.”
“Aku? Bukan aku kan yang
akan di serang menggunakan jubah seperti jni.”
“Aku nggak peduli, putar
saja. Kalau nggak begitu, apa gunanya melakukan daftar pemeriksaan.”
“Yeah, baik... Terakhir,
senjata!”
“Ada!”
Dan dengan itu, Rookie
Warrior mengambil pentungan primitif, namun baru di tangan kanannya.
Sangatlah baru, kemungkinan masih ada
label harga yang terpasang. Pembeli biasanya hanya akan menganggap ini barang
murahan, namun pria muda ini tidak berpikir seperti itu.
“Bagus,” Apprentice
Priestess berkata, mengangguk melihat pentungan. Dia melebarkan lengannya dan
berputar sekali lagi. Lengan baju pakaian putihnya menggembung. Terdapat
robekan dan jahitan di
beberapa tempat, namun pakaiannya masihlah bersih dan menarik.
“Bagus?”
“Kamu mungkin perlu
melakukan sedikit perbaikan nanti.”
“Ya kalau aku punya sesuatu untuk di perbaiki…”
Apprentice Priestess meletakkan tangan pada pinggulnya dan, dengan ekspresi
serius memberikan teriakan. “Kalau kita nggak mencapai kuota kita hari ini.
Kita bakal tamat!”
“Aku rasa keadaan kita nggak
seburuk itu...”
“Tapi kamu harus tetap memiliki
sikap seperti itu!”
Rookie Warrior terlihat santai;
Apprentice Priestess memberikan pukulan menegur dengan pedang dan timbangannya.
“Kita nggak punya uang untuk kembali pulang. Kamu bakal berakhir menjadi budak, dan aku akan
menjadi...kamu tahu...”
“Pelacur? Pfft, siapa yang
mau sama kamu?”
“Beraninya kamu ngomong
begitu, kampret!” Wajahnya menjadi merah, dan menyikut sisi samping bocah
itu—tepat di mana armornya terikat.
Dia melihat bocah itu gemetaran dan kemudian mendengus.
“Ngomong-ngomong, kamu
mengerti nggak?”
“Ye-yeah, aku mengerti,
tapi... yah.” Rookie Warrior menyiapkan dirinya, mengatur pegangannya pada
barang, dan mengangguk bersemangat. “Bagaimanapun juga kita pasti berhasil!”
Ini adalah kota perbatasan,
salah satu tempat di mana orang-orang bekerja untuk membangun tempat ini, dan
terdapat saluran air di sini karena, tentu saja, seseorang telah membangunnya.
Merupakan hal yang berbeda
jika sebuah kota di bangun di atas sebuah reruntuhan. Pengerajin bangsa dwarf dan
para wizard, perancang sukses akan berbagai macam hal, telah di panggil untuk
membuat saluran air batu dari nol.
Apakah saluran air ini di
bangun ketika kota sedang dalam masa jaya, atau kota menjadi berjaya karena
saluran air telah di bangun? Rookie Warrior tidak mengetahui jawabannya.
Aku
bahkan nggak tahu bagaimana cara kerjanya!
Di balik pintu metal
berkarat dan tangga menurun adalah dungeon remang dan lembab.
Jalan setapak menyisiri
kanal yang membawa air limbah, dan aroma busuk mengalir ke segala arah.
Tanpa rasa ragu, Rookie
Warrior menutup mulut dengan sebuah kain; Apprentice Priestess mengernyit wajah
dan menutup hidung dengan penyumbat.
Saluran air ini masih baru,
namun tikus raksasa dan kecoa raksasa
selalu
menyukai kotoran-kotoran.
Entah mengapa, Makhluk-Tak
Berdoa—MTB— terlihat muncul secara alami di tempat seperti ini. Yang semakin
menguatkan alasan mereka untuk
menghabisi mereka sebelum ancaman yang lebih besar muncul... (TL Note : Di LN
di sebut sebagai “Non Praying Charatcters—the NPCs—“)
“Jadi, mau lewat arah mana
kita?”
“Oh, um, tunggu dulu!”
Seraya Rookie Warrior
berdiri dengan apa yang menurutnya, siaga penuh, Apprentice dengan terburu-buru
mengeluarkan sesuatu.
Dia mengambil batu api dan
menyalakan lentera, kemudian menggantungnya pada pingul. Dia membukanya dan
menyentuhkan lilin pada api.
Lilin pencari terbakar
dengan api aneh putih kebiruan; dia dapat merasakan lilin itu semakin
menghangat pada tangannya.
“....Gimana?”
“Hangat, tapi rasanya masih
kurang...”
“Pastikan kamu bayangkan
pedangku terus di pikiranmu.”
Mereka di sana untuk mencari
sebuah pedang, benar, mereka juga di sana untuk membunuh tikus. Mereka memiliki
kuota untuk di penuhi.
Rookie Warrior, yakin bahwa
mereka dapat menyelesaikan segala hal yang mereka lakukan, berjalan maju,
berbelok pada beberapa terowongan saluran air hingga mereka mendapati diri
mereka pada bagian dalam.
Adalah sarang tikus raksasa,
yang telah mereka temukan setelah beberapa kali berkelana ke saluran air untuk
mencarinya.
“...Ooh, ini dia.”
Mungkin adalah aliran air
yang membawa begitu banyak limbah makanan dari kota hingga kemari.
Itulah yang di incar oleh
tikus berukuran besar ini. Satu, dua....
Rookie Warrior meludahi telapak
tangannya dan menggosokkannya kepada gagang senjata, kemudian menerjang pada
makhluk itu.
“Yaaaaaaahh!”
“GYUUI?!”
Salah satu dari mereka
melarikan diri dari Rookie Warrior, namun dia menyerang salah satu yang sedang
fokus memakan santapannya.
Terdengar suara tumpul
benturan yang benar-benar berbeda dengan suara serangan pedang, dia merasakan
senjatanya mengenai gumpalan daging.
Tikus raksasa menjerit dan termundur,
namun masih tetap hidup.
“Mati—kamu!”
Dia sudah sejak lama
membuang rasa kasihan pada monster ini. Adalah bunuh atau di bunuh. Jika
makhluk itu berhasil membenamkan giginya pada tenggorokannya, maka Rookie
Warrior lah yang akan mati.
“Whoa! Yah!”
Tikus raksasa melompat
mengarah padanya, menunjukkan taringnya.
Rookie Warrior menghalangi
dengan perisai, menggunakan berat tubuhnya untuk menahan serangan itu. Lengan
kirinya, yang memegang perisai, menegang karena benturan akan gumpalan daging
dengan berat hampir sepuluh kilogram.
“Kamu—!”
Namun Rookie Warrior
memiliki keuntungan jika berdasakan berat tubuh.
Dia menjaga tubuhnya agar
tidak terpeleset di atas pijakan kotor, kemudian mengayunkan turun pentungan
pada kepala tikus itu.
Tidak ada teknik, tidak ada
rahasia. Perkelahian pada sebuah gang memiliki teknik yang lebih dari ini.
“GYU?!”
Terdapat retakan layaknya
patahnya cabang pohon yang basah seraya tulang belakangnya patah. Serangan
lainnya berlanjut. Tikus raksasa
kejang-kejang.
Dia memeriksa matanya, dan
setelah itu barulah Rookie Warrior mengelap keringat dari dahinya.
“Gi-gimana dengan ya-yang
lainnya...?!”
“Dia sudah lari.”
Rookie Warrior memeriksa
daerah sekitar, sementara sang gadis menggengam pedang dan timbangan dengan
gugup, menghela nafasnya.
Dia melangkah dengan cepat
menuju Rookie Warrior dan dengan gerakan mata terlatih memeriksa tubuh bocah
itu secara keseluruhan, mencari jika ada luka.
Rookie Warrior menutup
telapak tangannya seakan ingin memastikam bahwa tangannya masih bekerja,
kemudian membukanya; kemudian berganti pada lengan dan kaki.
Dia tidak terluka. Dia tidak
tergigit. Tikus itu berbuih darah, namun tidak sedikitpun dari darah itu mengenainya.
“Aku...baik-baik saja.”
“....Kelihatannya begitu.”
Bagus.
Apprentice Priestess mengangguk. Mereka tidak perlu
menggunakan antiracun ataupun barang penyembuh mereka yang lain.
“Jadi bagaimana dengan
pentungannya?”
“Aku masih belum yakin...” Rookie Warrior memberikan ayunan pada senjata
itu. Benda ini tidak tajam seperti pedang, namun lebih berat dari pedang, dan anehnya
itu membuatnya jadi mudah di andalkan. “Tapi yang aku tahu kalau aku mengenai
sesuatu dengan ini, sesuatu itu mati.”
Dia menghela lemas, berpikir
akan betapa berbedanya dia dengan sikap
riang Spearman atau ketangguhan Heavy Warrior.
Hanya merupakan satu tikus.
Namun itu merupakan awal
yang bagus.
*****
“Bagaimana lilinnya?”
“Hm... Aku rasa lewat sini
sedikit terasa lebih hangat.”
Setiap kali mereka menemukan
jalan bercabang, Apprentice Priestess akan mengangkat lilinnya untuk mencari
arah yang benar, dan kemudian mereka akan melanjutkan.
Sayangnya—atau mungkin sudah
seharusnya—pedang itu sudah tidak berada di tempat di mana mereka
meninggalkannya pada pertempuran sebelumnya. Mungkin tikus raksasa itu telah
membawanya, atau kecoa raksasa telah mendorongnya menjauh...
“Mereka bukan goblin. Mereka
nggak cuma sekedar mengumpulkan barang jarahan.”
“Hey, jangan bilang begitu, ngeri.”
Apprentice Priestess melotot pada Rookie Warrior dan menyikut dengan sikunya.
“Nggak bakal lucu, kalau memang ada goblin yang tinggal di bawa kota ini.”
“Iya benar.”
Jika memang seperti itu maka
mereka akan meminta lebih dari sekedar saran dari Goblin Slayer.
Mereka melanjutkan pencarian
mereka, mengeluh tentang aroma yang ada.
Sepanjang jalan, mereka
bertemu—dan melenyapkan—sebanyak tiga tikus raksasa dan satu kecoa raksasa.
Pentungan itu terlumuri
lendir tebal dengan cepat, membuktikan pertempuran yang mereka jalani.
“Aku rasa aku nggak mengira
kalau senjata ini mencipratkan banyak darah dan...apa itu ceceran otak?”
“Yah, kamu lihat sendiri
betapa kotornya pria goblin—“ Apprentice Priestess menghentikan dirinya.
“Betapa kotornya Goblin Slayer.”
Senjata baru ini juga berat,
dan mengayunkannya berulang-ulang kali dalam pertarungan membuat dirinya lebih
cepat lelah di banding dengan pedang.
“Tapi aku suka kamu hanya
perlu mengayunkannya tanpa harus mengarahkannya.”
“Jangan sampai kehilangan
atau apalah.”
“Yeah—“
Rookie Warrior mendengus
menyetujui saran ini seraya dia melirik pada sebuah sudut.
Hanya terlihat beberapa tikus
yang berukuran biasa untuk saat ini, jadi tidak ada masalah.
Memberi isyarat pada
Apprentice Priestess di belakangnya, dia melangkah maju langkah demi langkah.
Apprentice Priestess
menjerit seraya mereka menginjak ekor panjang curut yang berkeliaran.
“Oh, yeah...”
“Ada apa? Ada komentar bodoh
lainnya yang mau kamu buat?”
“Bukan.” Rookie Warrior
menggeleng kepala cepat, memeriksa kiri dan kanan untuk memastikan bahwa mereka
aman, kemudian duduk di tempat mereka berdiri. “Apa kita punya benang?”
“Apa tali bisa?”
“Terlalu tebal.”
“Aku punya pita untuk
mengikat rambutku...”
“Terima kasih.”
Apprentice Priestess merogoh
isi tasnya, dan menyerahkan pengikat rambut kepadanya, dan berkata, “Pastikan
kamu kembalikan.” Kemudian dia menunduk di samping Rookie Warrior dan
memperhatikan dengan seksama seraya bocah itu melakukan sesuatu.
“Kalau kita punya uang, aku
akan membelikanmu yang baru.”
“Di potong dari bagianmu,
oke?”
“Yeah, yeah.”
Yang di lakukannya sederhana.
Dia mengikat benang dengan kuat di sekitar gagang pentungan hingga membuat
sebuah lingkaran dengan ukuran yang spesifik.
Ketika dia memasukan
tangannya ke dalam lingkaran untuk memegang pentungan...
“Lihat? Sekarang aku nggak
bakal menjatuhkannya.”
“Hmmm...” Apprentice
Priestess menginspeksi ikatan itu dengan seksama, kemudian mendengus. “Tumben bagus
yang kamu lakukan.”
“Aduh, pedisnya.”
“Ketika kita kembali. Aku
akan mengikatnya lebih bagus untukmu.”
Apprentice Priestess berdiri
dengan tawaan kecil, namun ketika dia mengangkat lilin untuk memeriksanya—
“Whoa, yikes!”
—dia hampir menjatuhkannya, dengan
panik mengatur genggaman untuk menahannya.
“Hei, kenapa?” Rookie
Warrior berdiri mengikuti, memegang pentungannya menjaga kemungkinan adanya
masalah.
Dia masih belum
berpengalaman, namun dia masih melihat sekitaran dengan hati-hati, perisai
terangkat. Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Ng-nggak apa-apa.
Cuma...lilinya semakin tambah panas.”
“Semakin panas? Itu
artinya...”
Dia dapat melihat api putih
kebiruan lilin pencari semakin membesar.
Rookie Warrior dan
Apprentice Prieztess saling melihat satu sama lain.
“Kita pasti semakin dekat.”
Merupakan suatu
keberuntungan yang sangat yang membuatnya merasakan sesuatu sedang mendekati
mereka dari atas.
Rookie Warrior dengan segera
bergerak untuk melindungi Apprentice Priestess, mendorongnya seraya mereka
berdua menghindar.
“Eek! Ap-apa-apaan—!”
“Bego, lihat!”
Merupakan sebuah gumpalan
hitam besar.
Pastilah berukuran 182 cm,
hampir dua kali lipat ukuran biasanya. Makhluk itu memiliki tempurung berkilau
dan enam kaki, dan melambaikan antenanya yang terlihat setebal kawat besi tipis
dan mengertakan gigi tajam mereka.
“Bagaimana lilinnya...?!”
“Panas banget!”
“Jangan bilang pedang itu
ada di dalam makhluk itu!”
Serangga itu—melebihi
raksasa, seekor kecoa—merayap mengarah mereka. Mereka berdua menjerit dan mulai
melarikan diri.
*****
“Ap-ap-ap-apa yang harus
kita lakukan?!”
“Mana aku tahu...!”
Serangga hitam besar merayap
secara acak di atas langit-langit dan dinding, merupakan gambaran akan menakutkan.
Pengejaran ini bukanlah
satu-satunya yang menakutkan. Adalah pikiran akan di makan hidup-hidup oleh
makhluk itu.
Mereka tidak menjadi
petualang untuk menjadi santapan bagi para tikus atau kecoa...!
“Kita akan terkejar kalau
begini terus...!”
Kenyataan bahwa mereka masih
selamat seraya mereka berlari dengan panik melewati saluran air adalah karena
kecepatan reaksi mereka dan jarak awal
mula antara mereka dengan makhluk itu.
Seekor kecoa raksasa tidaklah
selincah manusia—paling tidak petualang sekelas Porcelain.
Namun sangat jelas bahwa
tidak akan butuh waktu lama hingga mereka tertangkap dan di makan oleh makhluk
itu.
Kita
harus sampai ke permukaan sebelum... Tidak, kita nggak akan sempat...!
Mereka harus memanjat sebuah
tangga untuk dapat ke permukaan. Jika mereka di serang pada saat itu, maka
semua akan berakhir. Kecoa biasa dapat terbang, kemungkinan, kecoa raksasapun bisa
terbang juga.
“Bagaimana kalau kita lompat
ke air?!”
“Kita bakal repot kalau
sampai terjaangkit virus!”
“Oke kalau begitu....
terowongan sempit! Mungkin dia nggak bisa mengikuti kita!”
“Nggak bakal berhasil! Kecoa
sangat fleksibel!”
Sebuah jalan yang sempit
mungkin akan memberikan waktu bagi mereka untuk bernapas, namun kemudian
serangga itu akan memaksa dirinya untuk masuk bersama mereka. Bayangan seperti
itu sudah cukup untuk membuatnya merinding tidak karuan. Tidak ada terowongan
kalau begitu.
“Kita harus bertarung!”
“Tapi bagaimana?!”
Suara gesekan itu membuatnya
mual, dan makhluk itu semakin mendekat.
Rookie Warrior melihat
pentungan yang berada di tangannya.
Jika dia berhasil memukul
kecoa beberapa kali, makhluk itu akan mati. Dia sangat yakin tentang itu. Namun
bagaimana cara melakukannya?
Kalau
aku cuma mengayunkan secara asal, aku nggak akan mengenainya.
Kecoa itu sangat cepat. Jika
dia tidak dapat membuatnya berhenti bergerak, pertarungan ini akan sia-sia. Dia
hanya tidak memiliki kemampuan yang cukup.
“He-hei! Menurutmu kamu bisa
mengenainya dengan Holy Smite?!”
“Aku nggak tahu....! Para
dewa yang membidik sihirnya, bukan aku!”
“Bagaimana kalau dia mendatangimu?!”
“Kalau seperti itu, mungkin...!”
“Oke!”
Sekarang dia harus berpikir
cepat. Jika dia akan melakukannya, dia tidak boleh bimbang.
Rookie Warrior mengambil
lentera dari pinggul Apprentice Priestess.
“Yikes! H-hei, apa yang
kamu—?!”
“Kamu bisa omeli aku kalau kita
selamat!”
Berteriak lebih kencang dari
Apprentice Priestess, Rookie Warrior melihat ke belakang.
Serangga luar biasa besar
berada tepat di sana, lendir menetes dari rahang pemotongnya.
Rookie Warrior mengambil
napas dalam.
“Rasakan ini!”
Dan dia melempar lentera itu
tepat di depan serangga.
Benturan dengan lantai
memecahkan kaca lentera murahan, dan api membesar dari dalam pecahan itu.
Kecoa raksasa memberikan
jeritan, melebarkan sayap, dan terbang ke udara. Pemandangan ini saja sudah
cukup untuk menghilangkan semangat tarung mereka.
Rookie Warrior merasakan
sesuatu yang hangat dan basah di celananya. Dia menutup rahangnya untuk
mencegah giginya bergetar.
“Sekarang—lakukan!”
“—Ee—ehh—ahh—!”
Menjawab teriakan Rookie
Warrior, Appremtice Priestess, yang bergetar terbengong, mengangkat pedang dan
timbangan.
“Dewa
pengadilan, pangeran pedang, pembawa timbangan, tunjukkanlah kekuatanmu di
sini!”
Kilatan petir mengarah tepat pada serangga
menjijikkan.
Terdengar gemuruh petir, dan
cahaya terang putih kebiruan menghilangkan kegelapan saluran air. Keajaiban ini
hanya berlangsung dalam sekejap.
Asap yang beraroma tidak
mengenakkan dan tubuh terbakar
dari monster, membuat perut mereka mual.
Kecoa raksasa terjatuh ke lantai, perutnya terpapar
secara mengerikan, berusaha keras untuk dapat bangkit kembali dengan enam
kakinya.
“H-hii—yaaaaaaahhh!”
Rookie Warrior mengangkat
pentungannya dan melompat mengarah kecoa. Dia berusaha menyerang perut hitam
itu, menghiraukan kaki berduri yang berusaha mencakarnya, dan menyumpal perisai
pada rahang kecoa. Jarum hitam berusaha menembus armor kulit berminyak miliknya, namun konsentrasinya tidak
terbuyarkan. Dengan teriakan layaknya binatang, dia mengangkat pentungan dan
menurunkannya, memukul, mematahkan, lagi dan lagi.
Dia tidak menggubris lendir
yang terbang dari rahang itu, ataupun darah yang mengalir dari luka yang di
derita makhluk itu. Jika dia mempedulikannya, dia akan terbunuh.
Telapak yang berkeringat
membuat senjatanya terlepas dari genggaman. Benang yang telah di ikatkan di
sekitarnya membuatnya dapat mengambilnya kembali, dan dia menyerang kembali.
Serang dan serang dan serang
dan serang dan serang dan serang dan serang. Apapun yang terjadi, terus serang. Serang sebanyak-banyaknya. Sampai
mati.
“Hoo...ahh...huff...ahh...”
Akhirnya, dia telah mencapai
batasannya. Dia sudah kehabisan oksigen.
Dia berusaha untuk
menjernihkan kepalanya, pengelihatannya memerah dikarenakan panas tubuhnya, dan upayanya telah
membuatnya pusing. Kemudian Apprentice Priestess berada di sana, membantunya
seraya bocah itu berpikir dia akan pingsan.
“Kamu—kamu nggak
apa-apa...?!”
“I-iya aku rasa.”
Bocah itu menyadari bahwa
dia telah blepotan oleh jus kecoa
dari kepala hingga kaki. Terutama tangan kanannya yang memegang pentungan.
Tempat di mana kepala kecoa berada,
sekarang hanya menyisakan genangan akan cairan.
Enam kaki, yang masih
menggeliat dalam detik terakhirnya, adalah yang masih perlu di takuti.
“Apa dia....masih hidup...?”
Tanya Apprentice Priestess.
“Ja-jangan mendekat,
ma-masih berbahaya”
Rookie Warrior menelan
liurnya, kemudian mengambil belati dari ikat pinggangnya. Dia menggunakannya
untuk memotong masing-masing kaki pada pergelangan paling bawah hingga akhirnya
putus. Dia harus melakukan ini, atau mereka tidak akan aman. Enam kali dia
melakukannya, hingga jarinya kaku dan sakit. Namun ini masih belum berakhir.
“Um...perutnya, kan?”
Dia memegang belati dengan
kedua tangan secara terbalik, mengangkatnya dan menghujamkan ke bawah.
Terdengar suara fsssh dan cipratan
akan cairan dari dalam tubuh.
Mata belati itu mengenai
sesuatu yang keras, dan kemudian Rookie Warrior memberanikan dirinya dan
membenamkan tangan ke dalam perut kecoa. Dia menarik sesuatu keluar.
“Ketemu...”
Dia tidak dapat memahami apa
yang di pikirkan makhluk ini ketika memakan pedangnya. Namun pedang yang di
tarik keluar tidak salah lagi merupakan pedang yang di belinya, senjata
pertamanya.
“...Mulai hari ini, mungkin
aku akan menyebut pedang ini Chestburster, dan pentungan ini Roach Slayer.
Gimana menurutmu?”
“Menurutku kamu harus berhenti
berbicara bodoh dan minum antiracun ini, dan kemudian kita pulang.”
Figur menyedihkan bocah itu,
setiap bagian tubuhnya terlumasi oleh lendir. Beberapa lendir itu telah
mengenai dan mengalir di pinggul gadis itu, pada saat lentera di cabut darinya.
Mereka berdua berpura-pura
tidak menyadari hal ini seraya mereka bertukar senyum lelah pada kemenangan
mereka.
****
“Haaa.....”
Matahari sedang terbenam di
kota perbatasan.
Mereka berdua sedang
membersihkan diri mereka dari kepala hingga kaki di sungai—sama sama berusaha
untuk tidak melirik tubuh lawan jenis yang hanya menggunakan pakaian dalam.—dan
kemudian pergi menuju Guild untuk membuat laporan.
Mereka memeriksa
perlengkapan mereka, mengisi kembali persediaan mereka yang telah di gunakan,
mengobati luka goresan mereka, dan akhirnya membayar tempat sederhana untuk
tidur.
Pada akhirnya, semua yang
tersisa hanyalah beberapa koin silver yang sekarang di genggam Rookie Warrior.
Ini akan menjadi tabungan
mereka. Tapi...seberapa banyak yang bisa
kita tabung?
Berjongkok di dekat pintu
Guild Petualang, Rookie Warrior ingin menghela juga.
“Hei, kenapa kamu melamun
begitu?”
“Hmmm...”
Apprentice Priestess, berada
di sampingnya, mengelap rambut basah dengan handuk.
Rookie Warrior memberikan
jawaban ambigu, konsentrasinya terpusat pada orang-orang yang keluar dan masuk
melewati pintu guild.
Petaualang dari berbagai macam
jenis sedang berpergian keluar kota dengan barang spesial mereka atau datang menuju
Guild. Masing-masing dari mereka kaya akan perlengkapan, rasa lelah bercampur
dengan pencapaian tergambar pada wajah
mereka.
Bocah dan gadis itu belum
cukup berpengalaman untuk menyadari bahwa ini berarti tidak ada petualang yang
mati pada hari jni.
“Aku cuma...lagi berpikir
kalau perjuangan kita masih panjang.”
“Yah, pastinya.” Apprentice
Priestess berkata dengan dengusan, duduk di samping Rookie Warrior. “Sedikit
kemajuan setiap harinya! Masalah akan terjadi kalau kamu menginginkan yang
lebih dari itu.”
“Yah, iya, tapi...”
“Lakukan yang terbaik,
berkorban, hasilkan uang, dan jalani kehidupanmu. Nggak boleh mengeluh tentang
itu, kan?”
“Ya-yah, iya, tapi...” koin
silver di tangannya berkilau pantulan cahaya senja. Kilauan terang itu
menyilaukan matanya. “...Perjuangan kita masih panjang.”
“...Itu benar.”
Tapi
aku—bahkan aku—berhasil menghadapi beberapa tikus raksasa dan kecoa hari ini.
Bukanlah sesuatu yang
melegenda, namun tidak dapat di pungkiri bahwa dia telah mempertaruhkan
nyawanya.
“Baiklah! Ayo kita cari
makanan enak!” dia berkata, dan melempar koin itu pada Apprentice Priestess.
“...Yeah. aku rasa kita bisa
bersenang-senang sedikit hari ini.”
Suatu hari—suatu hari—suatu
hari.
Mereka ingin menjadi
tangguh. Mereka ingin menjadi pahlawan.
Mereka ingin menjadi seorang
petualang yang dapat mengalahkan naga.
7 Comments
otw, save dulu. thanks min
BalasHapussama-sama mas :)
Hapuswah updatenya lebih cepet sehari, makasih mimin zerard untuk terjemahannya ^^
BalasHapusbtw ini cerita dari manga goblin slayer : brand new day kan?
di bab ini rasanya si goblin slayer cuma jadi cameo doang wkwkwkwk
di tunggu updatenya y min ^o^
Benar mas, vol 4 isinya semua side stories karakter lain. di sini goblin slayer cuma jadi figuran yang muncul sesekali.
HapusLanjut min, semangat :V
BalasHapusyoi :)
BalasHapusMantap min, lanjutkan...
BalasHapusPosting Komentar