AKAN SEORANG BOCAH KECIL
(Translater : Zerard)
“Ayo, mau sampai kapan kamu
tidur? Bangun!”
Bocah itu mendengar suara tidak asing
kakak perempuannya di dalam udara pagi.
Dia bergerak malas dengan
banyak oof dan aaah dan banyak suara tidak jelas lainnya, hingga cahaya
menyilaukan menusuk matanya.
Fajar—pagi
telah tiba.
“Sudah pagi?!”
Bocah itu turun dari ranjang
jeraminya dan meregangkan tubuh.
Dia menghirup udara yang
dingin dan nyaman. Sebuah aroma wangi akan sesuatu melintas.
Roti!
Sarapan.
“Kalau kamu nggak buruan dan
bangun, nanti sarapannya bakal habis!”
“Aku tahu!” dia membalas
teriakan kakaknya, kemudian dengan cepat menganti bajunya.
Jika memang sudah pagi, maka
dia tidak boleh membuang
waktu lagi, tidak sedetikpun. Di tambah lagi, dia kelaparan.
Saat
aku menutup mataku pagi langsung datang—jadi kenapa aku lapar banget?
Mungkin kakaknya mengetahui
jawabannya. Dia ingin bertanya, namun sekarang sarapan lebih di utamakan.
“Pagi, kak!”
“Maksudmu mungkin selamat pagi.” dia berkata dengan kesal
seraya bocah itu mendatangi dapur ( sekaligus ruang makan, dan ruang
tamu—merupakan rumah yang kecil) “Ya ampun, itulah kenapa kita harus meminta dia untuk memperhatikanmu.”
“Hrk... Dia nggak ada
hubungannya dengan ini.” Ketika kakaknya menyinggung teman lama bocah yang tinggal
di samping rumahnya, bocah itu mengeluarkan ekspresi kesal seperti kakaknya.
Tetangga itu lebih muda
darinya, namun gadis itu dapat melakukan hampir segala hal, oleh karena itu
semua orang menganggap bocah ini lebih muda dan memberikan tanggung jawab merawat
bocah itu kepada sang gadis. Bocah itu akan mengeluh dengan kakaknya tentang
hal ini, namun kakaknya hanya tersenyum. Mungkin kamu akan berpikir bahwa
seorang kakak perempuan akan sedikit memikirkan perasaan adiknya.
“Sudahlah, makan dulu.”
“....Ya, kak.”
Keluhannya di hiraukan
begitu saja, dan dia menyuruh bocah itu untuk duduk di kursi dengan sebuah ayunan
sendok besar.
Makanan di meja adalah roti,
masih mengepul hangat, dan sebuah sup yang terbuat dari susu. Terdapat telur goreng
di hari ketika ayam bertelur, namun itu tidaklah sering terjadi. Favoritnya
adalah rebusan, yang hanya dapat mereka buat jika mereka membunuh salah satu
dari ayam itu.
Perutnya berbunyi dengan
aroma yang lezat.
Dia mengambil sendok,
berniat untuk tidak membiarkan satupun menjadi dingin.
“Hei, berdoa dulu!”
kakaknya, yang seolah memiliki mata di belakang kepalanya, berkata seraya dia
memeriksa sup.
Bocah itu dengan menyesal
meletakkan sendok kembali ke meja dan menepuk tangannya.
“O Beliau yang lebih besar
dari sungai dan lebih besar
dari lautan terima kasih telah memberikan kami pengetahuan untuk mendapatkan
makanan.”
“Benar, bagus!”
Merupakan hal yang tipikial
dalam desa pionir
untuk mempercayai Ibunda Bumi, dan bocah itu bangga pada sebuah fakta bahwa
keluarganya berbeda. Kakaknya telah belajar membaca dan menulis dan berhitung
pada kuil dewa pengetahuan dan bahkan mulai mengajar di sana. Adalah yang
membuat mereka dapat bertahan hidup bahkan setelah orang tua mereka
meninggal—dan karena itu, mereka harus berterima kasih kepada dewa.
Tapi...
bocah berpikir. Dia menyeruput sedikit sup, kemudian merobek bagian dari roti
dan mencelupkannya sebelum memakannya. Aku,
aku mau menjadi seorang petualang.
Merupakan hal yang tentunya
tidak dapat dia katakan kepada kakaknya.
*****
“Pastikan kamu jangan
mendekati hutan bagian timur!”
“Aku tahu!”
“Kembali siang hari dan
pergi ke kuil!”
“Aku tahu, aku tahu!”
Dengan teriakan kakaknya
dari belakang, bocah itu pergi melewati jalan yang telah di kenalnya sejak lahir.
Yah,
mungkin nggak sejak lahir juga...
Di punggungnya berbunyi
pedang kayu yang baru -baru saja di berikan kakaknya untuk hari ulang tahunnya.
Salah satu permainan favoritnya adalah mengayunkan pedang ini dan berpura-pura
menjadi petualang. Tentu saja, di dalam pikirannya dia tidak berpura-pura.
Partyku
kurang satu hari ini.
Gadis tetangganya sedang
berpergian ke kota hari ini. Tidak adil. Tidak adil sama sekali.
“Aku saja belum pernah ke
kota.” Dia menarik pedangnya dan memberikan sebuah tusukan tidak berarti pada
semak-semak.
“Bocah! Jangan ayunkan benda
itu di mana ada orang di sekitar, berbahaya!”
Tentu saja, petani paruh
baya berdiri di pojokam melihat bocah itu dan menegurnya. Dia pasti sedang
mengairi ladangnya. Terdengar suara seraya dia meregangkan punggungnya yang
membungkuk.
“...Baik, pak.” Bocah itu mengerti bahwa apa yang dia lakukan
akan berdampak pada kakaknya, dan dia menyarungkan pedangnya. “Maafkan aku.”
“Hati-hati.” Menepuk
perlahan punggungnya, petani mulai berjalan menjauh dari ladangnya, tersenyum
pada istirahat sejenaknya. Dia mendekati bocah dari samping dan menghela napas
panjang, mengambil handuk dari pinggul dan mengelap wajahnya. Dia penuh dengan
tanah dan debu dan lumpur dan keringat, dan handuk itu dengan cepat bernoda coklat.
“Mana gadis yang sering
bersamamu?”
“Dia? Dia lagi di kota hari
ini.” Bocah menjawab dengan sedikit nada kesal, namun sang petani mengangguk.
“Begitu? Aku mengerti... Dia
gadis manis. Maungkin dia akan mendapatkan beberapa baju bagus di kota. Nikmati
penantiannya, bocah.”
“Aku rasa dia nggak terlihat
bagus dengan barang-barang mewah.” Dia menggembungkan pipinya, sang petani
menepuk kepalanya dengan tangan kotor dan kasar. Melihat reaksi bocah, sang
petani tertawa lagi.
“Yah, tunggu sampai kamu
melihatnya. Bersiap-siap saja.”
“Hrm...”
“Hei, bocah. Kamu pergi ke
kuil di siang hari, kan?”
“Uh-huh. Kakak bilang aku
harus belajar.”
“Dia benar soal itu.” Sang
petani mengangguk, kemudian mengernyit dan dengan perlahan memukul punggungnya
dengan tangan. “Sebenarnya punggungku mulai kambuh. Tolong sampaikan kepada biarawan
aku perlu beberapa obat.”
“Baik. Obat untuk
punggungmu, oke.”
Bocah mengangguk, dan wajah lusuh petani bersemi
menjadi senyuman berkeriput. “Bocah pintar.” Dia berkata. “Oh ya bocah. Kamu
sudah di beritahu untuk nggak mendekati hutan timur, kan?”
“Ya, sudah.” Bocah berkata,
memiringkan kepalanya. Setelah dia memikirkannya... “Tapi kenapa aku nggak
boleh pergi kesana?”
“Apa, kakakmu nggak memberi
tahu?”
“Nggak. Aku nggak pernah
tanya.”
“Di hutan timur—“ Sang
petani melipat tangannya serius, mengeluarkan desahan panjang. “—Ada goblin di
sana.”
*****
“Seorang petualang, huh? Apa
mereka benar akan membantu kita?”
Di sebuah jalan kasar di
luar desa pionir
terdapat sebuah hutan gelap dan lebat.
Pada jalan masuk terdapat
satu salah satu pemuda desa yang bergetar—walaupun dia berumur lebih dari tiga
puluh tahun.
Dia yang dapat berbahasa
menggenggam sebuah tombak tua berkarat, namun dia terlihat gelisah dan tidak
dapat di andalkan. Itu karena, telah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir
dia pergi berperang membawa senjata itu, dan terlebih lagi pertarungan telah
berakhir sementara dia masih berada di garis belakang, dan semuanya menjadi
percuma.
Sekarang semua orang yang
ada di desa dengan sedikit pengalaman bertempur telah di minta untuk menghadapi
goblin, namun persiapan mereka tidak begitu lengkap.
“Guild mungkin memberikan janji mereka,
tapi aku yakin aku nggak mau bertemu dengan bandit...”
“Kalau aku, aku takut dengan
sihir hitam...”
Suara bisikan itu berasal
dari dua pria berumur dua puluh tahun yang terlihat gelisah.
Dia memegang kapak untuk
memotong kayu bakar, dengan gugup mengatur dan mengatur kembali genggamannya.
“Aku dengar kamu nggak boleh
lengah pada yang wanita juga, atau mereka akan menghisap jiwamu secara
langsung!”
“Yeah, aku dengar itu juga.”
Seorang mantan prajurit berkata sepelan yang dia bisa. “Ada pemudi, di tempat desa
pembuat sutra di daerah pegunungan?”
“Oh yeah, memang ada.”
“Yah, dia bilang dia nggak
mau hidup selamanya memakan roti keras. Dia akan hidup pendek dan kaya seperti
petualang.”
“Pergi dari rumah, huh?”
“Benar, tapi kamu tahu
nggak, ternyata itu karena gadis itu jatuh C-I-N-T-A
dengan gadis elf, seorang penyihir yang datang ke desa.”
“Aww, yikes...”
“Pastinya terkadang kebalikannya.
Para gadis di tangkap atau di perkosa oleh petualang yang datang ke desa mereka
setiap waktu, kan?”
“Sudah cukup ngelanturnya.
Bukannya kakekku sudah bilang?” Pemimpin grup seorang pria berumur kurang lebih
dua puluh tahun yang tampaknya merupakan kandidat kepala desa berikutnya,
berbicara dengan ekspresi
serius. “Satu-satu desa yang selamat dari serangan goblin adalah yang menyewa
petualang.”
“Yeah, tapi...”
“Atau apa harus kita kirim anak perempuanmu pada iblis kecil itu
sebagai persembahan?”
“Hei, hei...”
“Kamu pasti paling
nggak sudah mendengar cerita dari para
pedagang yang berkelana yang anak perempuannya telah di culik.”
Mantan prajurit mengangguk
menyetujui seraya pria pemalu merengek bahwa ini bukanlah hal yang bagus, dan
dia tidak sanggup memikirkannya.
“Yang aku adalah bahwa kakekku
nggak salah. Dia lebih mengetahui tentang pertempuran di banding denganku.”
“Yeah, tapi—tapi mereka
goblin. Kita nggak punya seorang petualangpun untuk di sewa, kan? Kalau mereka
di biarkan saja, bukannya mereka akan...?”
“Ketika satu atau dua
datang, kamu bisa mengusir mereka. Goblin bukanlah masalah besar.” Pemimpin
mereka menggeleng kepala, masih terlihat serius. “Tapi kakek bilang mereka
sedang membangun sebuah sarang—mereka akan menculik istri dan anak perempuan
kita.”
“Yeah.”
“Tapi, coba di pikir.
Harapan untuk membunuh semua goblin itu dengan tenaga kita sendiri nggak
terlalu besar, kan?” Seraya mantan
prajurit berkata, pria pemalu menjerit seolah sedang menghadapi kematian tepat
pada saat ini.
“I-i-i-i-iya, kita nggak
bisa.” Dia berkata. “Mungkin aku bisa mengusir goblin yang mendatangi desa,
tapi...”
“Yah, itu sudah,” mantan
prajurit berkata. “Itulah cara petualang mengisi meja mereka dengan
makanan—biarkan mereka yang mengurusnya.”
“Tch,” sang pemimpin
bergumam, “Dasar kumpulan pengecut..”
“Sudah, sudah, kamu harus
memikirkan perasaan dia juga,” mantan prajurit berkata, melindungi pria pemalu
dari omelan yang akan datang. “Kami tahu kamu sudah di jodohkan dengan anak
kepala desa, dan masa depanmu sudah terjamin, tapi nggak semua orang bernasib
seperti itu.”
Dengan argumen ini, semua
orang terdiam, termasuk sang pemimpin.
Semua pemuda desa terpesona oleh para petualang, mereka
ingin mencintai wanita, makan makanan lezat, hidup berkemewahan. Mereka tidak
ingin menghabiskan hidup mereka untuk membajak
tanah pedesaan. Mereka akan lebih memilih melawan naga. Kesiapan untuk
menghadapi kematian begitu mudah terucap dari bibir mereka, atau hati mereka.
Dan para wanita mudapun juga
sama. Semua yang akan mereka dapatkan hanyalah menjadi orang berkepala kosong
yang hanya memiliki rumah dan pekerjaan kebun untuk melayani dewa di kuil dan berdoa hingga ajal
menjemput. Jika mereka tidak beruntung, mereka akan mungkin akan di serang dan
di perkosa oleh bandit atau semacamnya atau menjadi miskin dan menjual tubuhnya sebagai
satu-satunya pemasukan...
Oleh karena itu mengapa
mereka tidak boleh bermimpi menjadi petualang, atau berkhayal akan fantasi
berpetualang bersama mereka? Mereka yang lebih kuat mungkin akan mencoba
peruntungannya sebagai petualang layaknya mereka.
“Yah, siapapun akan
mengkhawatirkan anak, kakak mereka.”
Kehidupan di pedalaman pada
perbatasan sangatlah kejam.
Monster selalu bermunculan,
dan tentunya kamu dapat menghitung jumlah militer yang datang melindungimu.
Yang mulia raja, yang wajahnya tidak pernah terlihat, tentunya sibuk berurusan
dengan naga, dan dark god,
dan masyrakat.
Kuil tempat mereka berdoa
kepada dewa mungkin di bangun sebagai sarana pendukung, dan mungkin dapat
sedikit meringankan hati mereka.
Dan kemudian pajak. Hujan
turun, angin bertiup, matahari bersinar. Terkadang hari berawan. Dan kemudian
goblin.
Jika uang sedang sedikit
selalu akan ada prostitusi dan berkelana untuk mencari pekerjaan...dan untuk
para pemuda, sudah sewajarnya untuk bermimpi menjadi petualang.
Jika hanya itu yang mereka
inginkan, mereka bisa saja mencoba untuk menjadi pegawai pada Guild Petualang
di Ibukota...
Namun tanpa pendidikan atau
uang, ini juga, hanyalah sebuah mimpi di dalam mimpi.
“Aku harap, petualang kuat
dan baik datang menolong kita...”
“Kamu harap? Itulah kenapa
raja menggunakan pajak kita untuk membangun Guild. Nggak perlu khawatir.”
“...Yeah.”
Yang lebih penting dari
mimpi mereka atau uang adalah goblin yang begitu dekat dengan mereka.
Ketiga pria saling melihat
satu sama lain, kemudian menghela.
Itulah kemungkinan mengapa
tidak ada satupun dari mereka yang menyadari seorang bocah menyelinap masuk ke
dalam hutan, sendirian.
*****
Goblin.
Makhluk seperti apakah yang
begitu di takutkan orang dewasa?
Bocah itu tidak pernah
melihatnya, karena itu sekarang dia ingin mengetahuinya.
Dengan
ini aku punya sesuatu untuk di sombongkan!
Merupakan logika sederhana
anak kecil.
Dia sudah mendengar bahwa
goblin merupakan monster yang terlemah. Dia juga mengetahui, bahwa satu atau
dua pernah muncul di desa, dan orang-orang
dewasa berhasil mengusir mereka.
Jika itu benar, mungkin dia
dapat menghadapi mereka?
Dan jika dia mampu...
Aku
bisa lebih menyombongkannya lagi!
Bocah itu berjalan dengan
tidak peduli melewati jalan yang di kenalnya, mengayunkan pedang kayunya.
Manusia belum membuat penanda di dalam hutan ini, dan
hutan ini gelap bahkan dengan di tengah hari. Pepohonan semakin lebat, aroma
lumut dan binatang bercampur di udara.
Dia sudah sering di ingatkan akan betapa bahayanya ini,
namun entah mengapa hari ini benar-benar terasa tidak biasa.
Namun bahaya dan keanehan adalah alasan mengapa dia sering datang kesini untuk
bermain.
“...Hm?”
Bocah itu berhenti ketika
dia melihat sebuah jejak kaki asing di tempat dia selalu bermain. Jejak itu
lebih besar dari kaki temannya, hampir sama dengan besar kakinya. Bukan
serigala, atau rubah, atau rusa.
“....Goblin?”
Pada saat dia berbicara,
angin berhembus melewati rumput dan dedaunan.
Dia menelan liurnya.
Tiba-tiba dia mendapati mulutnya kering, dan tenggorokannya sakit.
Telapak tangan bocah
berkeringat, dan dengan cepat mengatur genggaman pada pedangnya.
“Ka-kalau kamu di sana, ayo
se-serang aku...!”
Berakting berani—walaupun
dia tidak menganggapnya akting—bocah itu berusaha berani.
Angin kembali berhembus,
membawa aroma bau, dan basah bersamanya.
Di
mana dia?
Bocah menarik napas,
mengeluarkannya. Pada akhirnya, dia mulai bergerak kembali.
Dia mengayunkan pedangnya
tanpa alasan, membersihkan semak-semak dan ranting yang mencuat.
Tidak ada yang terjadi.
Hanya terdapat keheningan akan hutan.
Tidak
ada siapa-siapa di sana?
“Pff, aku sudah
menakutinya...”
Bocah mengelap alisnya
dengan gerakan berlebihan dan mengelap kering tangan di bajunya. Dan ketika dia
menyentuhnya, dia menyadari bahwa kain itu telah basah karena keringat, dan jantungnya berdebar
kencang.
Dia menelan liurnya kembali,
menggeleng kepala. Dia meninggikan suaranya untuk menenangkan dirinya.
“O-oke, saatnya kembali.
Jangan bikin kakak khawatir!”
Dia berputar—dan melihat
goblin membawa sebuah pentungan.
“Ee...eek...”
“GORRB?!”
Goblin itu tampak sama
terkejutnya dengan bocah. Makhluk itu terdiam dengan pentungannya yang
terangkat.
Makhluk itu sama tinggi
dengan dirinya, dengan mata dan mulut yang kotor. Kulit hijau pucat. Dan nafas
layaknya daging busuk.
“G-g-goblin?!”
“Gb?!”
Pedang kayunya, yang dia
ayunkan secara refleks karena takut, menghantam goblin di kepala dengan suara thwack tumpul.
Sebuah pikiran terlintas di kepalanya, aku berhasil! Dan sebuah perasaan yang
menjalar di perutnya, Oh, tidak... Namun
semua sudah terlambat.
“GGGG....”
Goblin itu bangun dengan
sempoyongan, memegang kepalanya. Terdapat tetesan darah. Bocah terkesiap.
“GOORBOGOOROROB!!”
Goblin meraung, matanya
membara, dan pada saat yang sama bocah itu berlari layaknya kelinci yang
ketakutan.
Berlari, berlari, berlari,
berlari. Tersandung, hampir terjatuh, terjatuh, menggeliat berdiri kembali. Dia
tidak mengetahui apakah dia berlari keluar hutan atau masuk lebih dalam. Sekali
dia keluar jalur setapak, tidak mungkin bisa mengetahui arah kemana dia pergi
di hutan ini.
“Ergh...ahhh...!”
Dia kehabisan napas.
Terengah-engah. Tenggorokannya kering. Keseluruhan tubuhnya perih. Kakinya
berat. Namun dia tetap berlari.
Tidak ada waktu untuk
melihat ke belakang. Dia tidak dapat mendengar suara goblin, tapi itu mungkin
karena suara berdenging di telinganya.
“Oh! Di-dimana....?!”
Bocah itu tiba di tempat
yang belum pernah dia lihat.
Sebuah lahan terbuka, tepat
di tengah-tengah hutan.
Dan tidak hanya itu—ada
sebuah gua!
Berusaha keras menghirup
udara karena kepalanya yang pusing, bocah itu merayap di semak-semak. Bukan
karena ingin bersembunyi. Melainkan karena dia sudah tidak dapat bergerak lagi.
Suara napas terdengar samar
seraya dia berusaha menenangkannya.
Kemudian...
“——?”
Dia mendengar langkah berani
tidak peduli.
Dia mengintip pada arah
suara itu, kemudian menutup mulut dengan tangannya mengeluarkan “Oh!” pelan
dari mulutnya.
Goblin.
Dua—dan tidak satupun dari
mereka yang mempunyai luka di kepalanya. Jika begitu maka mereka berjumlahnya tiga?
“GORBBBB...”
“GROB! GBRROB!”
Mereka berteriak satu sama lain, mengayunkan
pentungan di tangan mereka, kemudian tertawa hina.
Bocah itu tidak dapat
memahami bahasa mereka, namun dia dapat menebak apa yang mereka katakan.
Karena dia sendiri pernah
mengatakan hal yang serupa—pemanasan sebelum sebuah pertarungan di mulai.
Mereka
akan pergi ke desa!
Dia harus memperingati semua
orang.
Kakinya bergerak tanpa di
sadarinya. Dan ketika kakinya bergerak, semak-semakpun berbunyi.
“GBRO...?”
Sudah terlambat.
Mata kuning hina goblin
berputar menuju semak-semak di mana bocah tidak bergerak.
Jari pendek gemuk menunjuk,
dan goblin lainnya mendesis, tawaan kejam.
Satu langkah, langkah
selanjutnya. Dua goblin mendekat.
Gigi bocah bergetar. Entah
bagaimana dia dapat mengambil pedang kayunya. Dia harus berlari. Dia harus...
Tapi
bagaimana?
“GORB?!”
Goblin lainnya berputar
mendengar teriakan rekannya.
Tepat di belakang goblin
yang mencakar udara, terdapat cipratan darah seraya dia terjatuh, bocah itu
melihat dia.
Dia adalah—dia pasti—seorang
petualang.
Helm yang terlihat murahan. Armor
kulit kotor. Perisai kecil bundar terikat di lengan kirinya, dan dia memegang
pedang dengan panjang yang tidak biasa.
Dia sama sekali tidak tampak
seperti petualang mulia fantasi, atau orang yang tidak sopan yang terkadang
mengunjungi desa mereka.
Akan tetapi, tidak di
ragukan lagi, seorang petualang.
“Satu.”
Suara itu rendah tidak
berekspresi, hampir mekanikal. Bocah itu tidak yakin bagaimana suara itu dapat
mencapai telinganya.
Goblin lainnya kebingungan.
Para monster pertama melihat pada pentungan yang ada di tangannya, kemudian pada
petualang, kemudian pada pintu masuk gua.
Dan makhluk itu mulai
berlari menuju pintu masuk.
Dendam, kemarahan, dan
ketakutan mendorong dirinya untuk memanggil rekannya.
Dengan jarak itu, sang
petualang menarik pedang dari mayat goblin yang mati.
“Dua.”
Dia mengangkatnya dan
melempar.
“GOROB?!”
Goblin itu terjatuh ke
depan, menggeliat, dengan pedang yang menancap pada tulang belakangnya—walaupun
bocah itu tidak mengetahui apa itu tulang belakang.
Akhirnya, makhluk di tanah
itu kejang-kejang kembali, kemudian diam tak bergerak.
“Hrm.”
Sang petualang mengeluarkan
dengusan pelan dan berjalan menuju dua tubuh dengan langkah sigap tak peduli.
Dia mencabut pedang,
membersihkan sisa-sisa daging yang menempel, kemudian menjentikkan lidahnya dan
membuang pedang itu.
Sebagai gantinya, bocah itu
melihat dia mengambil sesuatu semacam belati dari ikat pinggang salah satu
goblin.
“Oh...!”
Gawat—Jangan—Masih
ada lagi— Kalimat-kalimat keluar secara bersamaan.
“Masih ada goblin lainnya di
sana!”
Reaksi petualang itu terlalu
cepat untuk di lihat. Dia berputar, mengangkat belati, dan membidik, semua
dalam satu gerakan. Terdengar siulan angin, jeritan, dan suara sesuatu yang
berat terjatuh di tanah.
“GBOROB?!”
Goblin dari sebelumnya
berada tidak jauh di belakangnya, menggeliat
dan tersedak darah yang membanjiri tenggorokannya.
“Oh...!”
Dengan itu barulah bocah
tersadarkan akan betapa dekatnya dia akan kematian.
Pedang kayu terlepas dari
tangannya yang bergetar, terjatuh di tanah di dekat kakinya.
“Tiga.”
Menginjak rerumputan dan
mendorong semak-semak, petualang itu berjalan mendekat. Sarung tangannya yang
kusam mengambil pedang kayu dari tanah, kemudian memberikannya kepada bocah.
“Huh? Ahh...?”
“Maaf.” Seraya bocah itu
mengambil pedang, sang petualang melanjutkan, dengan pelan tak berekspresi,
namun tidak salah lagi. “Terima kasih atas
bantuannya.”
Dia berjalan menuju gua
tanpa melihat ke belakangnya, dan bocah itu memperhatikan dia pergi.
*****
“Kamu ini—! Setelah aku
kasih tahu berkali-kali agar nggak pergi ke dalam hutan!”
“Aku benar-benar minta maaf,
kak!”
Bocah itu dengan segera
pergi ke kuil dan mencoba mencari alasan, namun tidak lama bagi kakaknya untuk
mengetahui semuanya. Karena, tidak ada tempat lain untuk dia bermain yang dapat
mengakibatkan seluruh tubuhnya penuh dengan goresan.
Kakaknya menggeret telinga
bocah itu hingga mencapai rumah di mana bocah itu harus menerima ceramah tiada
henti, p3k, dan kemudian makan malam.
Salep yang kakaknya gunakan
sangatlah menyengat. Kakaknya membalut bocah dengan perban, dan akhirnya
memberikan pukulan yang membuat bocah itu melompat.
Sejujurnya, bocah berharap
agar kakaknya sedikit lebih baik dengannya, namun bocah tidak dapat mengatakan
itu.
“Astaga. Kamu selalu bilang,
‘Aku tahu, aku tahu,’ tapi kamu nggak tahu apa-apa sama sekali.”
Ceramah ini berlanjut terus
menerus seraya mereka makan, hingga akhirnya kakaknya menghela panjang.
“Paling nggak...kamu nggak
terluka serius.”
Kemudian tersenyum lega.
Aku
benar-benar sudah mengkhawatirkan kakak.
Bocah itu merasakan rasa
perih di hatinya di kala pikiran itu terlintas.
“Um...bagaimana dengan
goblinnya?”
“Nggak usah khawatirkan itu.
Petualang itu sudah menghabisi mereka semua.”
Kakaknya tersenyum cerah
seperti matahari, kemudian memberikan tatap marah dan menunjuk pada ruang tidur
bocah.
“Itu artinya nggak akan ada
yang mengganggumu di malam hari—jadi pergi tidur! Temanmu akan kembali besok,
kan?”
“Oh yeah!”
Bocah itu melompat dari
kursinya, tapi dengan tangan pada gagang pintu ruang tidur, dia berputar.
“Selamat malam, kak.
Dan...aku minta maaf.”
“Selamat malam...jangan
melakukan hal-hal berbahaya lagi, oke?”
“...Baik, kak.”
Dia membuka pintu,
menutupnya, dan masuk ke dalam ruangannya. Dia menghela.
Benar-benar hari yang tidak
biasa. Dia telah di kejar goblin, di serang goblin, dan di marahi oleh
kakaknya.
Namun....
Meringkuk ke dalam
ranjangnya, bocah itu berputar hingga dia melihat pedang kayu yang terpajang di
dinding.
Dia telah memukul goblin
dengan pedang itu. Seorang petualang memberikan pedang itu kepadanya.
Rasa gugup dan semangat yang
masih terasa membuat jantungnya berdebar.
“Kira-kira...seperti apa
wajahnya.”
Aku
bertemu dengan petualang sungguhan!
Tidak—tidak hanya itu.
Aku
menolong petualang sungguhan dan menghajar beberapa goblin!
Itu baru sesuatu yang dapat
dia sombongkan.
Merupakan hal yang jauh
lebih keren di bandingkan membeli baju mewah di kota.
Terpuaskan dengan hasil
petualangannya, bocah itu menutup matanya, tidak sabar menunggu hari
berikutnya.
2 Comments
thanks tuk updatenya min
BalasHapusthnks mimin zerard untuk updatenya.
BalasHapusbtw kok ilustrasinya rusak min?
Posting Komentar