AKAN SEORANG PELAYAN WANITA RUMAH MAKAN
“Halo, selamat datang!”
“Heyo, berikan kami tiga bir
putih dan dua air lemon sebagai pembuka!”
“Baik!”
“Dan, uh...eh, fritella juga.
Untuk lima orang!” (TL note : https://en.wikipedia.org/wiki/Frittelle)
“Baik pak!” sang pelayan
menjawab ceria, melihat pada petualang dengan pedang dua tangan di punggungnya
dan mencatat pesanan yang di pesannya.
Setiap rumah makan akan
selalu ramai di sore hari, namun pada rumah makan Guild Petualang merupakan hal
yang berbeda. Terdapat orang-orang yang bersantai selepas petualang mereka di
mana mereka telah mempertaruhkan
nyawa. Sedangkan yang lain sedang bersenda gurau dengan temannya yang telah kembali dari
tempat yang jauh.
Beberapa pelanggan datang
dari jauh, memulai dengan sebuah santapan setelah mereka mencapai kota ini.
Sang padfoot, atau
gadis-binatang, pelayan wanita berlari dari satu tempat menuju tempat lain—dia sangat menyukai suasana ini. Perasaan
akan dia sedang membantu orang-orang memotivasi
dirinya melebihi gajinya.
Seraya rambut panjang yang
secara rapi terikat berayun layaknya sebuah ekor (Ekor asli dirinya sekarang
tertutup oleh roknya), dia memanggil dapur.
“Tiga bir putih, dua air
lemon, dan lima piring fritella!”
“Oke, pesanan besar yang
bagus—jangan buat aku sulit!”
Rhea paruh baya yang gemuk
bergerak secara terus menerus di antara dapur kecilnya.
Panci dan wajan, pisau dan
tusukan daging, sendok dan gulungan adonan. Dia menggunakan api dan peralatan
masak layaknya sebuah sihir, dan makananpun tersaji dengan begitu cepat.
Sebuah aroma manis saus
melapisi ayam dan ikan goreng yang menjadi emas di dalam minyak. Makanan itu
renyah dan panas, dan ketika kamu menggigitnya, sebuah jus akan meleleh di dalam mulutmu. Padfoot
bukanlah satu-satunya yang menghirup aroma wangi ini.
“Ini dia. Bawa pergi!”
“Baik, pak!”
Jika mengenai hal memasak,
tidak ada ras lainnya yang dapat menyaingi para rhea.
Tentu
saja, aku memberikan sedikit sentuhanku sendiri!
Sedikit sentuhan dari sang
pelayan di tambah dengan kemampuan koki menjadikan makanan ini pahlawannya makanan.
Pelayan mengambil bir putih dari drum, memeras
lemon di atas air sumur, dan pesanan telah siap.
Dia melangkah dengan
santapan di atas sebuah nampan di mana party itu sudah terduduk di kursi dan
menanti penuh harap.
Mungkin mereka tidak ingin
melepas armor mereka sepenuhnya sampai mereka tiba di rumah karena setiap
anggota party telah melepas beberapa dari perlengkapan mereka. Sedangkan
anggota garis depan tetap memakai pedang mereka di tempat mereka dapat
menariknya kapanpun
di butuhkan, merupakan bukti pengalaman panjang mereka.
“Terima kasih sudah
menunggu! Tiga bir putih, dua air lemon, dan fritella untuk lima orang!”
Half elf light warrior yang
bertanggung jawab atas keuangan party memberikan sang pelayan beberapa silver
koin.
“Terima kasih. Oh, dan
anggur untukku.”
“Baik, pak!”
Sang pelayan mengambil koin
dengan tangannya yang berbulu dan memasukkannya ke dalam kantong di celemeknya.
Koin itu sedikit melebihi dari jumlah yang seharusnya—mungkin half elf itu
memberikan sedikit tip. Walaupun ada kemungkinan juga hanya seorang yang gemar
merayu.
“Lihat, ketika kamu pergi ke
rumah makan, kamu harus selalu memulai dengan bir putih, kan?” seorang knight
wanita berkata seolah dia tidak mempercayai apa yang di dengarnya. Dia menopang dagu dengan tangannya.
“Ini dia Knight Wanita kita, selalu
berbicara sesuka dia—selalu tentang kebaikan dan taat pada ketertiban!”
“Yah, sudah jelas, itu
bahkan sudah tertulis di dalam kitab Supreme God.” Knight Wanita berkata seolah
dia tidak mempercayainya,
dan membusungkan dadanya.
Light warrior menekan alis
dengan tangannya seolah untuk mengusir sakit kepala dan menghela panjang.
“Anak-anak, jangan tumbuh
besar seperti dia, oke?”
“Baik pak!”
“Tapi dia terlihat keren
ketika semua armornya di pakai...”
Bocah Scout mengangkat
tangannya menyetujui, sementara Gadis Druid menghela galau.
Knight Wanita menggembungkan
pipinya marah.
“Apa yang kamu maksud? Aku selalu terlihat
keren.”
“Gah! Kamu bahkan belum
minum dan kamu sudah terdengar seperti mabuk.” Heavy Warrior membuat gerakan
menyudahi layaknya sedang memarahi bayi, kemudian mengangkat gelas bir putih
miliknya. “Sekarang kita harus bersulang! Kita kembali dari petualangan. Makan
dan minum sepuasmu anak-anak!”
“Wooh! Daging! Daging!”
Bocah Scout dan Knight
Wanita bersulang dan menghanyutkan diri
mereka sendiri pada makanan dan minuman, rekan mereka memperhatikan mereka
dengan ekspresi lelah namun mulai memakan makanan mereka sendiri.
“Akhirnya pulang...”
“Benar, kerja bagus, hari
ini?”
“Pastinya! Kerja bagus.”
Dengan denting lonceng di
atas pintu, yang berikutnya masuk adalah pria kuat dan berhati besar membawa
sebuah tombak dan seorang wanita cantik nan aduhai.
Spearman dan Witch duduk di
kursi mereka, rasa kepuasaan atas pekerjaan yang telah diselesaikan terhias di wajah mereka.
“Nona yang di sana, kami
ingin memesan!”
“Baik, pak! Selamat datang
kembali!” Pelayan padfoot bergegas menuju meja mereka, seraya Spearman
melambaikan tanganya ke udara. “Pesan apa?”
“Untukku... Hmm, Anggur,
dan, bebek,
tumis. Apa, ada?”
“Aku... daging kaki sapi—dengan
tulangnya dan di panggang. Dan sake apel.”
“Oh, apel...” Witch
bergumam, menyipitkan matanya, bibirnya terbuka dengan rasa ingin, namun dengan
cepat tertutup kembali.
Spearman mengangkat bahunya.
“Kamu mau?”
“Tidak, per—“
“Kasih juga dia beberapa apel panggang, dan untukku juga.”
“...Hrmm.”
“Baik, saya sudah mencatat
pesanannya.”
Meskipun berdasarkan
penampilan mereka, mereka terlihat cukup manis. Itulah kesan Pelayan Padfoot
yang di dapatnya dari Witch, yang duduk dengan bibir cemberut layaknya gadis
kecil.
Atau
mungkin karena pria ini di sini?
“Oh ya, nona?” Spearman
berkata.
“Ya?”
“Apa Gadis guild masih di
sini?”
Runtuhnya kesan Pelayan
Padfoot tentang mereka.
Pelayan Padfoot merasakan
tenaganya menghilang dari tubuhnya, namun dia tetap berusaha berdiri.
Berhadapan dengan Spearman, yang menggunakan ekspresi serius. Dia membelai
poninya ke samping dan menghela napas. Dia sangat yakin Gadis Guild masih
bekerja. Sang pelayan sangat mengetahui hingga seberapa larutnya Gadis Guild bekerja.
“...Yeah, sepertinya dia
masih ada di sini.”
“Yessss!”
Witch dan Pelayan Padfoot memperhatikan tanpa antusiasme
kepada Spearman seraya dia mengepal tanganya dan berteriak girang.
Astaga,
padahal dia sudah ada wanita cantik tepat di sampingnya...
adalah komentar yang sebaiknya tetap dia simpan sendiri.
Adalah urusan masing-masing
akan kepada siapa mereka harus jatuh cinta.
Akan tetapi, jika di pikir
bahwa petualang “perbatasan terkuat”, seseorang yang memiliki kemampuan hingga
dapat mempermalukan ksatria ibukota, ternyata seperti ini...
Dia
akan lebih keren kalau dia tetap menutup mulutnya.
Pelayan Padfoot pergi dengan
sedikit merasa tidak nyaman seraya dia memikirkan itu, jika kamu mempelajari
alasan setiap orang menjadi petualang, tentunya akan mengecewakan seperti ini.
Yah,
aku rasa walaupun begitu, dia mudah di ajak berteman.
Itu tentunya lebih baik di
banding menjadi terlalu penyendiri—benarkan? Dengan pikiran itu, Pelayan
Padfoot bergegas menuju dapur.
“Anggur, bebek tumis, daging
kaki sapi dengan tulang di panggang, sake apel. Dan dua apel panggang!”
“Oke! Bawakan minuman mereka
dulu!”
“Baik, pak!”
Koki rhea berteriak dengan
suara yang berbanding terbalik dengan ukurannya yang kecil. Pelayan Padfoot
merespon dengan teriakan yang sama.
Ketika dia membawa minuman
mereka berdua, mereka menawarkam senyuman dan sebuah “terima kasih,” dan
memberikannya uang.
“Baiklah, ini untuk kencan
kita.”
“Ya. Selamat, minum.”
Seolah selaras dengan
denting elegan gelas mereka, lonceng kembali bergoyang.
“Ca-capeknya...”
“Ayolah, jalan yang benar!
Ihhh!”
Dua petualang pemula muda
datang masuk, dengan gambaran akan kelelahan dan kepenatan.
Apprentice Priestess
memapang Rookie Warrior ke kursinya, kemudian mengelap keringat yang ada di
dahinya.
“Entah kenapa aku ng-nggak
merasa ingin makan...”
“Yah, sayangnya kamu harus
tetap makan!”
Tiba-tiba, gadis itu
mendengak setelah memarahi bocah itu, yang terlihat akan tertidur detik ini
juga.
Matanya bertemu dengan
Pelayan Padfoot, dan petualang gadis itu tersipu.
“Oh, Ma-maaf. Umm... Tolong
satu mangkuk havermut, dan roti untuk dua orang...” (TL Note : Havermut =
oatmeal atau . Aku juga baru tahu.... -_-)
“Baik, mbak!”
“Oh, dan air!”
“Siap!”
Dia melangkah menuju dapur
dan menyampaikan pesanan mereka. Koki Rhea mengangkat alisnya.
“Oke! Bawa bersama dengan
daging panggang. Hmm, kemana cukanya tadi?”
“Aku tahu, aku tahu. Oh,
cukanya ada di rak di belakangmu.”
Seraya koki menyeringai dan
berputar, Pelayan Padfoot menunjuk pada salah satu rak. Sang koki mengambil
sedikit keju dan menaburkannya di atas piring bersama dengan sebuah roti,
kemudian mengangguk puas.
“Oke, aku bawa ini kalau
begitu!”
“ya!”
Pelayan Padfoot meletakkan
piring berminyak yang mendesir kepada Spearman Dan witch dan mereka memberikan
ucapan terima kasih. Kemudian Pelayan Padfoot bergegas pergi menuju tempat di
mana seorang bocah dan gadis duduk, Apprentice Priestess berkedip melihatnya.
“Huh? Maaf, kami nggak
memesan ini...”
“Nggak apa-apa, makan saja.”
Pelayan Padfoot memberikan lambaian tangan, menunjuk pada keju dengan satu jari
berambut. “Lagipula, sebentar lagi akan datang seseorang yang sangat menyukai
keju itu, dan kami harus mengeluarkan persediaan yang baru. Jadi persediaan
yang lama harus di habiskan!”
“Te-terima kasih.”
“Ahh. Terima kasih kamu sudah membantu kami!”
Setelah sukses mengantarkan semua pesanan, Pelayan padfoot
pergi menuju sebuah dinding dan menghela lega.
Keriuhan para petualang di
dalam rumah makan mulai membuat telinganya
berdenging.
Mereka sedang menikmati diri
mereka sendiri, tertawa, berteriak, dan bernyanyi, dan setelah makan dan minum,
mereka akan melanjutkan kegembiraan mereka.
“Mm.” Pelayan Padfoot merasa
terpuaskan hanya untuk berdiri di sana dengan tangan di lipat, memperhatikan
mereka.
Kemudian...
“Aduuhhhh aku capek banget!
Aku mau makan dan aku mau langsung tidur!”
“Banyak sekali goblinnya
tadi ya?”
Lonceng berbunyi kembali,
dan lima orang masuk. Pada barisan depan party, membuka pintu dengan keras,
adalah seorang high elf ranger. Seorang priestess akan Ibunda Bumi mengikuti di
belakangnya.
“Yah, sebuah pesta setelah
pertarungan itu sudah seharusnya. Minum, makan, dan bersenang-senang, dan
kemudian tidur—bisa di bilang, ini untuk mengenang musuh kita.”
“Benar, tapi Beardcutter
akan pergi berburu goblin lagi besok, kan? Dia
sedikit gila kerja...”
Kemudian datang lizardman
dengan langkah sigap dan berat dan dwarf pembaca mantra dengan tubuhnya yang pendek.
Dan kemudian yang terakhir
dari mereka,
datang.
“Ya.” Sang petualang berkata
datar seraya dia melewati pintu. Semua orang di rumah makan meliriknya.
Armor kulit kotor, helm yang
terlihat murahan, sebuah perisai bundar terikat di lengannya, dan pedang dengan
panjang yang tidak biasa pada pinggulnya.
“Kita perlu uang,” Goblin
Slayer berkata pelan.
“Maafkan aku. Kalau saja aku
mempunyai stamina yang lebih...”
Kemudian High Elf Archer
menyela seolah akan membela Priestess yang terdengar kecewa.
“Hei, nggak usah di
khawatirkan. Biarkan saja petualang lain yang mengurusnya.”
“Kalau nggak ada goblin,
kita akan mempertimbangkannya.”
“Ihhh, kamu memang selalu
begitu.” High Elf Archer melihat langit-langit dengan lelah, mengepak
telinganya.
“Halo, selamat datang!”
Pelayan Padfoot berlari
kecil mendatangi pintu masuk, menyambut para petualang dengan senyuman ceria.
Terdapat banyak petualang
liar dan jahat, namun orang-orang ini memiliki kelembutan yang terlahir dari
pengalaman—salah satu dari mereka adalah tingkat Silver. (TL Note: Bukannya
mereka semua tingkat silver ya? Terkecuali priestess.)
Oleh karena itu merupakan
hal yang wajar bahwa dia ingin melayani mereka dengan senyuman,
“Oh-ho,” Penengah mereka,
Lizard Priest, berkata dengan gulungan matanya. “Bagaimana dengan ma’anannja Nona
Pelajan? Se’arang saja ingin memesan beberapa kejoe...”
Pelayan Padfoot mengeluarkan
tawaan kecil mendengar nada muram itu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
lizardman ini sangat menyukai segala macam jenis keju.
“Bagaimana dengan ‘alian?”
“Hmm, Aku ingin—apa
itu?—yang tipis-tipis itu, Pasta? Aku mau itu,” Kata High Elf Archer.
“Oh, um, jangan yang terlalu
berat untukku...” Gumam Priestess.
“Itu saja?” kata Dwarf
Shaman. “Apa cuma aku di sini yang benar-benar mempunyai selera makan! Daging,
aku mau daging! Dan anggur kuat yang enak.”
“Benar! Sesoeatoe dengan
daging.” Timpal Lizard Priest.
Rok pelayan sedikit
menggelombang seraya dia berputar melihat pada petualang terakhir.
“Pak, menu spesial kami hari
ini ikan tombak! Di tangkap di kota air dan di panggang selagi masih segar!”
(TL Note : https://id.wikipedia.org/wiki/Esox )
Dengan bumbu yang pas, di
masak sempurna, dan tentu saja, di tambah dengan talenta koki yang sudah tidak
di ragukan. Pelayan Padfoot memberi tahu semua ini layaknya ini sebuah
tantangan, membusungkan dadanya yang berukuran sedang seraya ingin memancing
sebuah respon.
“Jadi bagaimana?”
Merupakan cara bicara yang
sedikit kurang sopan kepada pelanggan, namun Pelayan ini tidak menganggap pria
ini sebagai pelanggan untuk
saat ini.
Dia menatap pria itu,
menolak untuk melepaskannya, dan dia mengira bahwa dia bisa melihat sebuah mata merah di balik
helmnya,
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata. “Hari ini nggak dulu.”
*****
“Kenapa sih dia? Apa dia
gila?”
“Yah, aku nggak tahu soal itu...”
Pelayan Padfoot memotong
respon murid magang
dengan menghantam tinjunya ke meja.
“Maksudku bukannya petualang
seharusnya membunuh naga dan minum anggur dan tertawa seperti fwa-ha-ha-ha-ha! Itu pekerjaan mereka,
kan?”
“Memang benar ada beberapa
yang seperti itu,” Sang murid menerima argumen gadis itu dengan senyum ironis,
kemudian menusukkan
garpu pada sebuah ikan tombak di
atas piring yang masak sempurna sudah mulai sedikit mendingin, namun masihlah lembut
dan lezat. Terdapat beberapa lemon dan bumbu lainnya yang tertabur di atasnya,
memberikannya sebuah aroma samar jeruk yang membuat mulutnya meleleh.
“Ngomong-ngomong, terima
kasih makanannya, mm, ini enak. Sudah lumayan lama
semenjak aku makan ikan.”
“Aku cuma nggak mau membuang
makanan yang sudah dingin. Jangan salah paham.”
“Aku senang melihat kamu
nggak berusaha mengatakan itu untuk menutupi rasa malumu atau sesuatu.”
Sejak kapan rutinitas
sehari-sehari Pelayan Padfoot membawa beberapa makanan—makanan sisa—ini di
mulai?
Telah larut malam, semua
petualang telah pulang ke penginapan mereka, dan dia dengan masih menggunakan
seragam kerjanya, membersihkan rumah makan.
Seraya gadis itu bersiap
pulang, dia mengintip ke dalam bengkel, di mana bocah magang sendirian, menjaga api.
“Sedang apa kamu?” dia
bertanya padanya, dan bocah itu berkata, “Kita nggak bisa biarkan apinya
memudar.”
Tentu saja, itu semua
hanyalah sebuah dalih; dengan mata tajam gadis itu, dia melihat bocah ini
sedang membuat belati.
Masuk akal. Bocah itu
bekerja di siang hari, karena itu dia harus meluangkan waktunya untuk berlatih.
Untuk Pelayan Padfoot, ini
merupakan kesempatan yang sempurna, memberikannya makanan sisa terlihat seperti
hal yang logis untuk di
lakukan.
“Orang yang bisa makan,
harus makan.”
“Aku rasa itu ucapan berkontrakdiksi...”
“Itulah kenapa ini membuatku
begitu marah ketika orang-orang menghiraukan makananku!” Pelayan Padfoot
berkata menunjukkan kemarahannya dengan mengayun kuat ekornya. Tidaklah
seberapa jelas sebanyak apa murid itu mengerti arti gerakan unik padfoot ini.
“Apa kamu mengerti kalau ini
berkatian dengan kehormatanku sebagai pelayan? Aku penasaran apa kamu paham sama
logikaku!”
“Yah....” Sang murid
menggaruk malu satu pipi dengan jari. “...Aku rasa aku nggak akan suka kalau
senjata yang aku buat di lempar kemana saja.”
“Aku rasa begitu.”
“Pria itu melempar pedangnya
ke semua arah,” sang murid menggerutu. Dan pedang sial itu bahkan bukan buatan
sang murid—dia belum mendapatkan ijin untuk memasang hasil pekerjaannya di toko—melainkan
buatan bosnya.
“Bos bilang, ‘Cuma kamu
satu-satunya yang bisa terpuaskan dengan pekerjaanmu sendiri.’”
“Yah, aku mau orang aneh itu
mencoba makanan di rumah makan kami.”
“Bukan berarti dia nggak
makan, kan?”
“Justru itu!” Pelayan Padfoot merosot
di atas meja bengkel yang telah di lap hingga mengkilat. Meja itu menekan
dadanya, dengan itu, sang bocah mengalihkan pandangannya sesantai yang dia bisa.
“Setelah petualangannya, biasanya dia nggak makan.”
“A-aku rasa aku mendengar
orang-orang nggak makan sebelum mereka pergi...”
“Aww, sial. Mungkin dia
nggak menyukai menu kami...”
“Kamu terganggu sekali dengan ini,”
Mata sang murid melirik ke bawah, dan dengan cepat melirik ke atas kembali,
pipinya tersipu. “Kenapa?”
“Maksudku, dia nggak sering
datang ke rumah makan kami, kan?” dia berkata, sepertinya tidak menyadari tatapan
mencuri sang bocah. “Sudah berapa lama sih dia ada di sini?”
“Sekitar lima tahun,
mungkin?”
“Aku nggak tahu...”
Bagi Pelayan Padfoot,
pertanyaan seperti kapan petualang itu muncul merupakan hal sepele, jika seseorang
memperhatikan hal semacam itu, maka seseorang itu juga akan mengingat kapan
petualang itu menghilang. Sekali kamu mulai merisaukan permasalahan seperti itu
dengan cukup lama, kamu akan kalah. Akan lebih baik memusatkan semua energimu
untuk menyambut orang-orang yang ada di sini sekarang. Pelayan Padfoot telah
mempelajari hal ini pada tahun pertamanya.
Kalau
di pikir lagi, bukannya resepsionis itu mulai muncul sekitar lima tahun yang
lalu?
Pelayan Padfoot terbaring di
sana, dada di atas meja, bergumam, “Hmm...”
Sang murid berusaha untuk
tidak melihatnya, namun entah mengapa terus berusaha melirik kepada gadis itu.
Matanya bergerak ke kanan, kemudian kiri, lagi dan lagi, hingga akhirnya
matanya terfokus pada satu titik.
“Oh!”
“Apa?” Pelayan Padfoot
melonjak, matanya menatap bocah.
“Aku nggak tahu apa ini
benar atau nggak,” bocah berkata dengan anggukkan, “tapi aku dengar dia suka
rebusan daging.”
*****
“Rebusan daging, ya?”
“Iya!”
Berdiri di depan panci besar,
Pelayan Padfoot membusungkan dadanya, di sampingnya, koki berdiri di atas
sebuah anak tangga untuk melihat ke dalam panci, melipat tangan dan bergumam,
“Hmm.”
“Maaf, pak. Kamu sampai
harus mengajariku segala.”
“Yah, kalau kamu belajar
untuk memasak, aku juga jadi lebih mudah sedikit.”
“Aw, jangan ngomong seperti
sudah tua begitu, pak.”
“Aku rasa mungkin umurku memang
yang berbicara. Aku sering mengoles mentega terlalu tipis.”
“Maksudmu semangatmu?”
“Badanku Rasanya seperti di tarik dan di bentangkan.”
Dengan sebuah “permisi,” sang koki menyendok rebusan dan mencicipinya. “Mm, nggak
jelek. Biarkan mendidih sebentar lagi.”
“Baiiik!”
Ini akan menjadi kunci
kemenangan baginya.
Sang koki melirik pada
Pelayan Padfoot seraya dia meneriakkan “Yay!” dan bergumam.
“Tapi aku penasaran bagaimana
pendapat para petualang...”
“Huh?” Gadis terkejut. “Apa
nggak enak?”
“Eh, bukan itu.” Jika koki
mengatakannya, kemungkinan koki itu akan terus berbicara tanpa henti. Koki itu
menggaruk hidung bulatnya. “Yah, coba di pikirkan dulu.”
“...Sial. kamu akan menyesali
hari di mana kamu membuatku berpikir!”
“Har-har! Lanjutkan.”
Pelayan Padfoot melotot pada
bosnya seraya koki melambaikan tangan kepadanya, kemudian Pelayan Padfoot
mengembalikan perhatiannya pada panci.
Menatap secara seksama tidak
dapat memahami apapun, dan kemudian...
“Oh, wah, aku mencium aroma
yang enak di sini...”
Dia mendengar suara yang
tidak asing dan dua pasang langkah kaki. Lonceng pintu tidak berbunyi.
Pendatang baru itu datang dari tempat lain di dalam bangunan ini.
Pelayan Padfoot menjulurkan
kepalanya keluar, mengintip ke luar dapur dan dengan gembira melambaikan
tangannya pada dua koleganya.
“Hai! Aku baru saja lagi
memasak. Spesial hari ini—Rebusan daging!”
“Oh, rebusan, kelihatannya
enak.”
“Oooh, rebusan daging!”
Mereka adalah
koleganya—walaupun sebenarnya, mereka adalah pegawai resmi sedangkan dia
hanyalah seorang asisten, walaupun mereka bertiga semua bekerja pada satu
bangunan Guild.
Namun Pelayan Padfoot tidak
mempermasalahkan perbedaan seperti itu, ataupun dia gugup bertemu dengan Gadis
Guild dan Inspektur.
“Terima kasih. Huh? Apa
kalian sedang makan siang?” Pelayan Padfoot dapat melihat ketika dia melirik ke
jendela bahwa matahari sudah melewati puncaknya dan mulai tenggelam di langit.
Sudah bukan tengah hari lagi. “Sudah agak terlambat untuk itu.”
“Kami agak kelewatan...”
“Itu nggak bagus. Bagaimana
kamu bisa menjaga tubuhmu kalau seperti itu?” Atau mereka sengaja “melewatkan” nya karena...?
Tentunya tidak ada yang
salah dengan membiarkan mata tajamnya mengarah pada satu tempat khusus.
“Kamu benar. Aku lapar
sekali...” Gadis Guild berkata, memegang perutnya, Pelayan Padfoot membenci
perut itu,
Kita
harus menggemukkannya.
“Oke, jadi kamu mau coba
ini? Kami akan menyajikannya kepada para petualang malam ini.”
“Tentu saja, kalau kamu
tidak keberatan,” Gadis Guild berkata dengan senyuman dan mengangguk. Kemudian dia menambahkan,
“Oh, tapi...”
“Hm?” Pelayan Padfoot
memiringkan kepalanya.
Gadis Guild berkata dengan
canggung, “...Aku penasaran apa pendapat para petualang tentang makanan ini.”
“Yeah... kelihatannya agak
merah seperti darah,” Inspektur berkata dengan anggukan.
“Oh...”
Setelah mereka
menyinggungnya, Barulah Pelayan Padfoot menyadari maksud mereka. Rebusan itu,
yang mengandung tomat, berwarna merah kehitaman, potongan daging menggelembung di
dalam rebusan.
Seraya Pelayan Padfoot
berdiri di sana bergumam pada dirinya sendiri, dia merasakan sebuah tangan
kecil memukulnya dari gelakang.
“Yeek!”
“Maaf nona-nona, tolong
jangan ganggu pelajaranku.”
Itu adalah, tidak di ragukan
lagi, sang koki. Pria baruh baya yang muncul dari samping mereka memberikan
tepukan marah pada perutnya, dan mengenakan ekspresi serius. “Aku berharap agar
gadis itu menyadarinya sendiri.”
“Oh, maafkan kami.”
Gadis Guild tertawa kecil
dan menunjuk pada rebusan, dan berkata, “Sebagai permintaan maaf, kami akan
makan siang di sini.”
“Harus dong—makan yang
banyak! Apa rebusan sudah cukup?”
“Oh, baiklah. Hmm, kalau
begitu roti dan... apa bisa pesan teh hitam?”
“Dan tambah selai yang
banyak!”
“Dengan senang hati!”
Gadis guild dan Inspektur
membuat pesanan mereka; Koki Rhea memberikan
jawaban bersemangat dan mengencangkan ikatan celemeknya.
“Oke kalau begitu, jangan
cuma berdiri di sana—kerja, kerja!”
“Errrgg—baik, pak!”
Semua sudah terlanjur
sekarang. Makanan itu telah selesai, dan siapapun yang mau memakannya akan
memakannya.
Pelayan Padfoot bergegas
melakukan tugasnya, dan dengan itu malampun tiba.
Ketika matahari telah
terbenam, para petualang membanjiri rumah makan seperti biasanya.
Seperti yang sudah di duga, tidak
banyak yang memesan rebusan daging itu.
Apakah mereka tidak
menginginkannya setelah selesai berpetualang? Akan tetapi menyajikan rebusan
daging di pagi hari terlihat agak....
“...Mungkin ini akan berhasil kalau di pasang pada menu
sarapan pagi.”
Dia menyibukkan dirinya
dengan pikiran optimis
ini hingga akhirnya salah satu petualang datang mendekat dengan langkah sigap.
Dalam sesaat, setiap mata di
rumah makan berputar padanya, dan perbincangan berhenti, tapi tidak lama
kemudian kembali di lanjutkan.
Armor kulit kotor, helm yang
terlihat murahan, perisai bundar kecil terikat di lengannya, dan pedang dengan
panjang yang tidak biasa pada pinggulnya.
Dia berjalan melintasi
bangunan guild, berjalan keluar. Dia bahkan tidak melihat mengarah rumah makan.
Mana
mungkin aku biarkan kamu pergi begitu saja!
Pelayan Padfoot berlari
untuk berdiri tepat di depannya dan menunjuk dengan jarinya.
“Pak, menu spesial kami hari
ini adalah rebusan daging!”
“Benarkah?”
“Apa ada yang anda ingin
memesannya?!”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata.
“Hari ini nggak dulu.”
*****
“Aku pikir kamu bilang dia
suka rebusan daging!”
“Aku bilang itu cuma sesuatu yang aku
dengar.”
Tengah malam.
Dengan kurangnya pencahayaan
lampu. Murid Magang
terlihat senang mangkok sup rebusan daging yang gadis itu bawakan untuknya.
Sebenarnya ini tidak membuat
Pelayan Padfoot tersinggung, namun dia tetap saja mengerucutkan bibirnya dan melotot
padanya.
“Ooh, potongan kentang.
Mantap.”
“...Kamu yakin kamu nggak
bilang begitu karena kamu ingin rebusan daging?”
“Mana mungkin, yah, mungkin
sedikit.” Murid Magang
tersenyum padanya.
Daging yang telah di rebus dengan baik
sangatlah lembut hingga kamu dapat memotongnya dengan sendok. Sangatlah terasa
pas ketika dia menggigitnya. Dan setiap kali dia menggigitnya jus daging
muncrat dari dalamnya, dan di tambah dengan minyak dan sup yang masih terasa
lezat walaupun sudah sedikit dingin.
Untuk sayurannya—dia
menyukai yang besar dan berat.
“Jadi, kamu lagi apa?”
“Aku mengumpulkan
serbuk-serbuk dari hasil pengasahan tadi.”
Pelayan Padfoot
memperhatikannya dengan penuh rasa tertarik, dan bocah itu menjawab seraya dia
memberikan mangkuk itu kembali kepada sang gadis.
Dia menyapu pada sudut
bengkel tempa dengan sebuah sapu, seraya berpikir.
“Serbuknya banyak, bahkan dari
pisau.” Dia tidak membahas
bahwa beberapa orang menganggap pedang adalah tidak lebih dari sekedar pisau
berukuran panjang.
Pengasahan di lakukan dengan
menggosok metal dengan sebuah batu asah berbentuk roda, karena itu proses ini
menghasilkan banyak serbuk metal. Memastikan serbuk ini benar-benar di
bersihkan adalah salah satu dari sekian banyak pekerjaan penting seorang murid.
Tapi
yang aku benar-benar inginkan itu segera melakukan penempaan...
Sebagai seorang murid, dia
masih belajar. Tentunya, tidak ada orang yang akan mempercayakan semua produksi
senjata dan armor penting kepadanya.
Karena itu, dia percaya, dia
harus hanya mencurahkan segala kemampuannya pada setiap tugas yang di berikan
kepadanya.
Bukannya
aku nggak mengerti sih—adalah perasaan
melihat upaya yang kamu lakukan benar-benar di hiraukan.
Bagaimana jika dia memajang
senjata yang dia buat—di masa depan, tentunya—dan senjata itu di hiraukan
begitu saja?
“Paling nggak kamu harus tahu
kenapa, kan?” Bocah bertanya.
“Yeah, benar banget! Aku
nggak bisa menerimanya seperti ini—penerimaan itu sangat penting!”
“Hmmm,” Sang murid bergumam,
tangan di lipat. Kemudian dia membuka lipatannya dan menepuk tangan berteriak.
“Hei, itu dia!”
“Ada apa? Punya ide, O master
penempa masa depan? Kasih tahu aku!”
Seraya Pelayan Padfoot
mencondongkan tubuh mengarah padanya, sebuah aroma wangi akan sesuatu tercium
dari rambutnya. Adalah aroma masakan dapur, aroma rerumputan yang merupakan
khas dari sabun Para Padfoot—dan sesuatu yang lainnya, sesuatu yang manis, Murid
Magang menelan liurnya dan
melambaikan tangan.
“Ta-tanya saja! Tanya
seseorang yang lebih tahu.”
“Apa, maksudmu seperti koki
di dapur?”
“Bukan,” dia berkata.
“Maksudku gadis kebun itu.”
*****
“Apa? Rebusan?”
“Uh-huh!”
Sudah lewat pagi hari, pada pintu
masuk pengiriman di belakang Guild.
Gadis Sapi menurunkan isi
muatan dengan “Hhup!” dan sekarang dia berkedip pada Pelayan Padfoot.
Dada besarnya memantul
seraya dia menghela napas dan mengelap keringat dari dahinya.
Pelayan Padfoot sangat
menyadari bahwa dadanya sendiri berukuran sedang—sebenarnya, mungkin sedikit
lebih dari sedang, tentunya tidak kecil. Tapi tetap saja...
Mungkin
dadanya penuh dengan susu?
Dia tidak dapat menjauhkan
pikiran kotor itu yang terlintas di pikirannya.
Berdasarkan gosip di kantor,
Gadis Guild bekerja tanpa henti untuk menjaga bentuk tubuhnya—Dalam hal itu, Bentuk tubuh Pelayan Padfoot
masihlah wajar.
“Aku yakin kamu lebih jago
memasak dari aku.” Gadis Sapi tersipu dan memainkan jarinya dengan canggung di
depan dadanya. “Aku cuma mengetahui masakan yang bisa di buat di rumah...”
“Ini bukan masalah kamu
pintar memasak atau nggak.” Pelayan Padfoot duduk di atas sebuah drum dengan
gerakan yang ringan layaknya kucing. Pena di jarinya berdansa di atas resi yang
di pasang pada papan
jepit di tangannya. Urusan uang adalah pekerjaan para staff penerima, namun
pemeriksaan pesanan adalah pekerjaannya.
“Aku tahu aku selalu
bertanya ini, tapi apa kamu yakin kamu nggak mau lihat isi dalamnya?”
“Hidungku tahu. Jadi nggak
masalah.”
Pelayan Padfoot mengeluarkan
tawaan kecil bangga dan membusungkan dadanya yang menempel di celemeknya dengan bangga. Mengetahui, bahwa
tentu saja dia tidak bisa menang melawan kontes itu, dengan cepat dia melambaikan tangannya mengubah topik
pembicaraan.
“Seperti yang aku bilang.
Ini bukan tentang kamu bisa masak. Ada satu petualang yang nggak makan, dan aku
kesal memikirkannya.”
“Ada petualang yang nggak makan?”
“Kenapa?”
“Nggak...” Gadis Sapi
memberikan senyum pasrah dan menggaruk pipinya. “...Dia nggak bermaksud jelek.”
“Justru itu permasalahannya!”
“Hmmm...” Gadis sapi
terdengar sedikit bingung mendengar Pelayan Padfoot yang bersikeras. Dia
mengelap keringat yang mulai mengucur dengan lengannya, kemudian duduk di atas
kotak terdekat.
Dia membiarkan kakinya
menggantung, kemudian menatap Pelayan Padfoot.
“Itu saja?”
Bagi seorang manusia atau
sejenisnya, nadanya tidak terdengar berbeda dengan biasanya. Namun tidak bagi
Pelayan Padfoot. Telinga tajamnya mendeteksi adanya sedikit getaran pada suara
Gadis Sapi.
“Itu saja apanya?” Dia
memiringkan kepalanya, berpura-pura tidak menyadari apapun.
“Yah, um, kamu tahu.” Gadis
Sapi tidak dapat mengutarakan kalimatnya, matanya melirik kesana dan kesini.
Dia mengambil napas dalam. “...Apa kamu mau memberikannya kepada seseorang yang
kamu sukai atau bagaimana?”
“Ohhh, nggak, bukan seperti
itu.”
Pelayan Padfoot tertawa
gembira dan melambaikan tangan seolah dia baru saja mendengar lelucon bodoh.
“Aku nggak punya seseorang
yang perlu aku masakin selain para pelanggan...”
Tangannya berhenti bergerak.
Yah,
mungkin satu orang.
Sebelum dia menyadarinya,
wajahnya menunduk, dan dia menutupnya dengan satu tangan.
Terdapat satu orang yang
selalu dia berikan makanan yang telah di buatnya.
“...Aku rasa aku mungkin
perlu memberikan sesuatu pada pria itu di bengkel.”
“...”
Gadis Sapi melihat dengan
seksama pada wajah Pelayan Padfoot. Mata merah mudanya terlihat seperti terpaku
pada gadis padfoot.
“Ad-ada apa...?” Pelayan
Padfoot bertanya, tapi untuk sesaat, Gadis Sapi tidak mengatakan apapun.
“...Yah, okelah kalau
begitu,” dia berkata acuh setelah beberapa saat, dan Pelayan Padfoot mendapati
dirinya sendiri menghela. “Aku kasih tahu kamu. Kamu punya sesuatu untuk
menulis?”
“Ini,” Pelayan padfoot
berkata, membalikkan kertas. Dia memegang penanya dan berkata, “Langsung.”
Gadis Sapi tersenyum tidak berdaya.
“Umm, oke. Cara kamu
membuatnya....”
Dan kemudian dia menjelaskan
resep secara detil.
Rebusan, benar-benar, hanya
sebuah potongan daging yang di rebus, bukan sebuah sup. Namun makanan yang dia
jelaskan menggunakan banyak susu. Dengan kata lain, kesan yang di dapat
adalah...
“Benar-benar...biasa
banget?”
“Benar,” Gadis Sapi
mengangguk dengan senyuman. “Benar-benar biasa.”
“Maksudku, ini cuma rebusan
biasa, kan?”
“Benar.” Dia berkata, tidak
membiarkan senyum lepas dari wajahnya. “Cuma rebusan biasa.” Bisa di bilang,
ini di luar dugaan.
Sang pelayan sangat yakin
bahwa terdapat sesuatu yang lebih...ciri khas dari resep ini. Dia menggaruk
kepalanya dengan ujung pena.
“Apa ini semacam resep turun
temurun dalam keluargamu selama beberapa generasi?”
“Ha-ha-ha. Aku rasa iya,
kurang lebih.” Gadis Sapi tersenyum ringan dan melompat turun dari kotak. Dia
menepuk tangannya untuk membersihkan debu, kemudian meregangkan tubuhnya, menonjolkan
dada besarnya. “Tapi aku nggak mempelajarinya dari ibuku...walaupun aku
berharap aku bisa mempelajari darinya.”
Pelayan Padfoot memiringkan
kepalanya mendengar gumam kecil itu.
“Dari saudaramu kalau
begitu?”
“Dari tetangga.” Gadis Sapi
mendongak ke atas pada langit biru dan menyipitkan matanya. Angin mengalir
melewati rambut merahnya. “Wanita yang lebih tua yang tinggal di sebelah
rumah.”
*****
“Halo, selamat datang!”
“Heyo. Berikan kami tiga bir
putih dan dua air lemon—sebagai pembukanya!”
“Baik!”
“Dan, uh...eh tiga piring
kentang kukus juga. Untuk lima orang!”
“Segera datang!”
Rumah makan pada senja hari.
Pelayan Padfoot merajut langkahnya kesana kemari di antara para petualang yang
sedang bercakap.
Ramai seperti biasanya. Dengan
wajah-wajah yang sama. Mengagumkan sekali.
Hari lainnya di mana mereka
dapat kembali pulang memakan makanan dan meminum minuman lezat sangatlah cukup
untuk memotivasi semua orang.
“Pesanan datang, pak!”
“Oke. Jangan sampai
makanannya dingin—atau kamu jatuhkan!”
Itu merupakan balasan
favorit Koki Rhea.
Gadis itu melirik ke dapur,
di mana sebuah sup mendidih dengan berisik, panci penggorengan berdesis, dan
sebuah pisau berdansa di atas sayuran.
Dan tentu saja, sang koki
berada di tengah semua itu, lengan pendeknya bergerak tanpa henti.
Dia
melakukan banyak banget dengan tubuh kecil itu.
Pelayan Padfoot tak pernah
lelah melihat sang koki, walaupun dia melihatnya setiap hari.
Ketika piring telah keluar,
Pelayan Padfoot menumpuknya di atas kedua lengan, seraya melihat panci yang ada
di dalam dapur.
“Apa nggak apa-apa? Nggak terlalu
mendidih?”
“Apa, kamu ngajarin aku cara memasak? Kamu yang punya
pengalaman kuliner seperti anak umur lima tahun!”
“Aku tahu, aku tahu. Cuma
memastikan saja.”
Merasakan adanya ceramah
yang tidak akan berhenti, Pelayan Padfoot melurukan ekor dan roknya dan
bergegas pergi.
Ini selalu merupakan waktu
favorit Pelayan Padfoot di dalam rumah makan.
Dia dapat menyambut para
petualang seraya mereka datang pulang, melihat kelegaan mereka saat berhasil
kembali.
Terdapat juga para petualang
yang tidak dapat kembali pulang. Pelayan Padfoot percaya bahwa mereka sedang
melakukan perjalanan ke suatu tempat.
Dimana dan apa yang terjadi
pada para petualang, hanyalah orang-orang paling berani yang mengetahuinya...
“...Mmm?”
Telinga Pelayan padfoot
tiba-tiba berkedut. Telinga itu telah mendeteksi adanya langkah sigap, kasar,
tidak peduli yang semakin mendekat.
Armor kulit kotor, helm yang
terlihat murahan, perisai bundar pada lengannya, dan pedang dengan panjang yang
tidak biasa di pinggulnya.
Dan dengan kedatangan Goblin
Slayer, tentu saja, rumah makan menjadi terdiam dalam sesaat.
“Pak?!”
“...Resepsionis bilang
padaku untuk mampir di rumah makan.” Helm besi itu sedikit miring mendengar
suara terkejut yang terlepas dari bibir Pelayan Padfoot. “Ada apa? Apa ada
goblin yang muncul di sini?”
“Oh, bukan! Pak, Tunggu
sebentar di sini.”
“Baiklah.”
Meninggalkan pria aneh yang
mengangguk di tempat dia berdiri, Pelayan Padfoot bergegas menuju dapur.
“Oh— Oh-ho! Kenapa lagi
sekarang?”
“Buatkan aku makanan pak!
Yang kecil saja!”
“Bilang itu sama orang yang mencuci
piringnya!”
“Itu aku!”
Dia mengambil hidangan dari
perkakas rak seraya saling berkoar. Dia beberapa kali menyendok rebusan masuk
ke dalam hidangan, kemudian bergegas kembali ke rumah makan agar dia dapat
menyajikannya selagi panas.
“Cicipan!” (TL Note : Saya
asli ngarang “cicipan”, saya nggak tahu apa ini ada dalam bhs indo atau nggak.
Inggrisnya pada dialog ini “taster”. Yang seperti makanan buat di cicipi yang
sering di bawa sales2 di dalam mall.)
“...” Goblin Slayer melihat
penuh ragu pada hidangan yang di tawarkan Pelayan Padfoot di depannya.
“Rebusan?”
“Benar!”
“Untuk aku cicipi?”
“Benar sekali!”
“...Begitu.”
Dengan enggan dia mengambil
hidangan itu, namun dengan ahlinya menelannya melewati celah helm miliknya.
Hancurnya harapan Pelayan
Padfoot yang mengira adanya kemungkinan dia untuk melepas helmnya selagi dia
makan. Tapi...
Goblin Slayer mengeluarkan suara
terkejut samar “Mm.”
Telinga pelayan itu tidak
lebih baik di banding seorang elf, namun suara itu tidak lepas dari
pendengarannya.
Dia telah berhasil. Sebuah
senyum anggun terhias pada parasnya seraya dia bertanya dengan bangga,
“Bagaimana menurutmu? Cukup enak, kan?”
“Ya,” Goblin Slayer
mengangguk. “Lumayan.”
“Yeeeeeessss!!”
Dia mendapati dirinya
sendiri meninju kepal tangannya ke udara dan bersorak kemenangan. Dia bahkan
tidak mempedulikan petualang lainnya yang melihat dirinya, berusaha untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi.
“Yes! Mantap! Aku berhasil!”
dia berputar-putar, ujung dari roknya menggembung, kemudian berkata dengan riang,
“Jadi kamu makan di sini malam ini, kan pak? Apa pesananmu? Rebusan?”
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata. “Hari ini nggak dulu.”
“Apa?! Kenapa?!”
Pelayan Padfoot begitu
terkejut sehingga membuatnya hampir menjatuhkan hidangan, dan dia berusaha
untuk tidak menjatuhkannya. Goblin Slayer berkata, “Seseorang sedang
menungguku.”
Jawabannya singkat, datar
dan dingin, hampir mekanikal.
Namun Pelayan Padfoot
berkedip mendengar ucapannya. Dia menatap seksama helm itu.
Dalam pikirannya, sebuah
mata merah membara menatap
balik dari dalam helm itu yang tumpang tindih dengan, mata merah muda lainnya.
Oh...
Jadi seperti itu.
“Ada apa?” Goblin Slayer
memiringkan helmnya penuh tanya melihat Pelayan Padfoot, yang tiba-tiba
tersenyum.
Pelayan Padfoot baru
menyadarinya sekarang. Melihatnya seperti ini, sudah tidak di ragukan lagi.
“Nggak apa-apa. Aku cuma
berpikir kamu nggak bermaksud jelek pak.”
“Begitukah?” Goblin Slayer
mengangguk sigap dan kemudian
berkata, “Apa sudah selesai?”
“Saya rasa sudah.” Pelayan
Padfoot berkata, yang di mana Goblin Slayer menjawab, “begitukah?” Kemudian
berputar. “Kalau begitu, aku pergi.”
“Baik, senang kamu bisa
mencicipi makanan kami.”
“Aku nggak mengerti apa yang
kamu maksud.”
Goblin Slayer menggeleng
kepalanya dan berjalan melintasi rumah makan dengan langkah cepat dan sigap.
“Hei, Goblin Slayer! Mau
bunuh goblin lagi?”
“Gimana kalau sesekali kamu
bertarung melawan monster lainnya? Kamu perlu berburu mangsa besar sepertiku!”
“Aww, kamu sendiri hari ini?
Nggak priestess kecil imut atau elf seksi itu?”
Menjawab “Ya” atau
“Benarkah?” dan semacamnya pada suara ejekkan di sekitarnya, Goblin Slayer
membuka pintu.
Dan kemudian, hanya
meninggalkan denting lonceng di belakangnya, dia berjalan menuju kota, menuju
kegelapan malam.
Yah, itu tidak sepenuhnya
akurat.
Petualangannya telah berakhir, dia akan
kembali, menuju rumahnya.
“Iihhhh. Kalau ternyata itu
maksud dia, dia harusnya langsung ngomong saja!”
Pelayan Padfoot tertawa,
menyadari betapa bertepuk sebelah tangan kompetisi yang dia jalani.
Kemudian dia meneriakkan
“Baiklah!” dan memberikan pipinya tepukan dengan tangannya yang bertapak
seperti kucing.
Teriakan itu membuatnya
lega, dan dia mengikat kencang kembali tali celemek miliknya, siap untuk
bekerja.
“Menu spesial hari ini
rebusan yang terisi dengan seluruh curahan hati dan jiwaku! Ada yang mau?”
Banyak tangan terangkat. Dan
orang-orang memanggil. Seraya pesanan demi pesanan datang, Pelayan Padfoot
tersenyum dan menulis pesanan mereka, dan menjawab, “Baik!”
Namun dia telah memilih
panci yang begitu besar untuk membuat rebusannya. Adalah mustahil akan terjadi:
tentunya akan terdapat sisa.
Jika seperti itu...
“Aku bisa menyuruh dia memakannya!”
Jika dia dapat membuat makanan yang dia sukai, dengan cara
yang dia sukai, dan memberikannya kepada orang yang dia sukai, itu sudah cukup.
Pelayan Padfoot melangkah
cepat di keramaian rumah makan.
5 Comments
High Elf Archer, Priestess, Gadis Guild, Gadis Sapi, Sword Maiden, dan sekarang Gadis Padfoot? Ternyata Gobin Slayer cuma seorang fakboy ya?
BalasHapusGadis Sapi, Gadis Guild, Sword Maiden, saya rasa memang masuk dalam katagori harem Goblin Slayer (walaupun dia sendiri tidak peduli)
HapusSedangkan Priestess, lebih ke hubungan guru dan murid menurut saya.
High Elf Archer lebih seperti seseorang yang mau mengajak jalan-jalan temannya yang introvert.
Gadis Padfoot lebih ke haremnya Bocah Magang, dia cuma penasaran saja kenapa Goblin Slayer tidak pernah mau makan di rumah makan.
:D
wkwkwk dikira ga mau makan karna si GS ga suka makanannya
BalasHapusmakasih untuk updatenya min
Sama-sama mas :)
HapusMungkin taster bisa dibuat jadi cicipi...
BalasHapusPosting Komentar