JALAN KEHIDUPAN
Garis Darah, Pengalaman, Dan Pertemuan
(Translater : Zerard)
Tiga hari telah berlalu
semenjak kakak perempuanya telah tiada. Itulah mengapa dia memutuskan untuk
bergerak.
Kakaknya mengatakan
kepadanya untuk jangan pernah bergerak dari tempat dia sekarang ini, namun
sekarang wanita itu sudah bukan lagi kakaknya, wanita itu sekarang menjadi
tidak lebih dari sekedar gumpalan daging.
Bocah itu, baru saja berumur
sepuluh tahun, merayap secara hati-hati di antara lantai berpapan di mana dia
bersembunyi. Celananya basah akan kotorannya sendiri dan sangatalah terasa
gatal, namun itu bukanlah sesuatu yang dia tidak bisa tahan.
Yang lebih menyakitkan
adalah persendiannya yang kaku, dan upaya kerasnya dalam mencegah lantai papan
berdecit. Gema para penyusup sekarang telah menjauh, namun, tidak ada salahnya
untuk tetap berhati-hati.
Kakaknya selalu mengatakan
kepadanya bahwa dia selalu lapar, akan tetapi entah mengapa, dia tidak
menyadari betapa kosongnya perutnya sekarang. Mungkin itu di karenakan lumpur
yang dia masukkan ke dalam mulutnya untuk mencegah perutnya berbunyi ketika
mencium aroma yang dulunya sangat dia sukai. Kakaknya dulu mengajarkan dirinya
bahwa tanah di sini dapat di makan, dan dalam masa kemarau, orang-orang
tekardang memakan tanahnya.
Tenggorokkannya sangat
menggelitik dan kering seperti di saat musim panas ketika dia bermain hingga
siang hari; kepalanya berat akan rasa sakit, dahi hingga jantungnya berdegup
kencang, di iringi rasa sakit yang teramat seakan-akan seperti di pukul berkali-kali.
Dia tidak melirik sedikitpun
ke sekitar ruangan seraya dia merayap perlahan di lantai menuju dapur. Panci
sebuah sup telah di hambur, dan pisau dapur telah menghilang. Kendi air telah
di hancurkan, namun bagian bawah kendi itu masih utuh.
Dia memiringkan tubuhnya di
atas kendi layaknya seekor anjing, menjilat semua air yang tersisa dan kemudian
mengangkat kepalanya untuk menarik napas. Jika sebelumnya dia menyadari betapa
lezatnya sebuah air, maka dia tidak akan pernah meminta kakaknya untuk
menambahkan gula pada minumannya.
Kemudian, akhirnya, dia
duduk di lantai, tidak mengelap mulutnya sedikitpun seraya dia melihat
sekeliling ruangan rumahnya,
Lemarinya terpecah pelah,
pakaian-pakaian kakaknya telah di hambur dan tersebar di mana-mana. Di antara pakaian-pakaian
itu, dia melihat sebuah pita yang dia telah berikan kepada kakaknya pada hari
ulang tahun kakaknya. Terdapat sebuah noda jejak kaki telanjang yang telah menginjak
pita itu.
Busur ayahnya, yang di
gantung di dinding, telah hancur, tas obat ibu mereka telah terkoyak dan di
buang begitu saja.
Sejak
kapan orang tua kita sudah menghilang?
Dia mencoba mengingat
seperti apa wajah ayah dan ibu mereka, namun seperti biasa, hanya terdapat bayang-bayang
samar. Ayahnya, seorang ranger dan ibunya, seorang wanita ahli obat, telah
(atau itu yang di katakan padanya) meninggal
terkena wabah sebelum dirinya cukup besar untuk dapat mengingat mereka.
Ibunya, yang bersikeras untuk merawat orang lain, telah terjangkit wabah itu;
dan ayahnya, yang berada di alam liar untuk mencari makananpun ikut tejangkit
wabah itu.
Setelah itu, adalah kakak
perempunya yang telah membesarkan dirinya.
Dan dia telah menyaksikan
hingga akhir apa yang terjadi pada kakaknya.
Dia bertumpu pada rangka
ranjang yang telah hancur dan secara perlahan berdiri.
Ruangan ini telah menjadi
puing-puing, penuh akan lumpur, darah, dan sesuatu yang lengket.
Entah mengapa, ada sesuatu
yang terasa janggal. Namun apa? Dia memiringkan kepalanya, kebingungan, namun
dengan segera menemukan jawabannya.
Ini sudah bukan lagi
rumahnya. Rumah ini sudah bukan lagi tempat tinggalnya.
Dia mencari kotak harta
karun yang tersembunyi di bawah ranjang. Tutupnya telah di hancurkan dan
seseorang telah mengacak-acak isi di dalamnya. Kotak itu berisi beberapa batu
cantik yang dia temukan selagi bermain dengan gadis tetangga, beberapa bunga
yang telah di keringkan dan sebuah stik kayu dengan ukuran yang sempurna untuk
di jadikan sebuah pedang.
Sekarang semuanya telah di
hancurkan, di curi, dan hilang.
Menggeledah isi dalam
kotaknya, dia merasa menggenggam belati milik ayahnya. Belati itu merupakan
peninggalan ayahnya, dengan gagang berhiaskan kepala elang, yang di berikan
kakak perempuannya kepadanya.
Ketika dia akan pergi
meninggalkan rumahnya, dia merasakan sesuatu pada telapak sepatunya.
Adalah dompet kakaknya. Dompet
itu hanyalah sebuah dompet kulit biasa, namum di jahit dengan pola bunga. Dia mengambilnya dan mendengar denting koin
yang samar di dalamnya.
Dia mengikat talinya dan
kemudian mengagantungnya di sekitar lehernya, memasukkannya di dalam bajunya.
Dia memastikan bahwa dompet itu telah tertutup rapat agar tidak menimbulkan
sedikitpun bunyi.
Secara perlahan, dia
mengintip dari balik pintu, untuk memastikan bahwa mereka tidak ada di sana, dan kemudian melangkah keluar.
Langit tampak merah
kehitaman yang mengerikan. Apakah pagi atau siang hari? Dia tidak dapat
mengetahuinya.
Bayangannya memanjang, dan
dia mendekatkan dirinya pada dinding sebuah rumah untuk menyembunyikannya,
seolah-olah dia sedang bermain sebuah permainan. Pada akhirnya, dia telah
mencapai ujung dinding rumah itu dan berusaha melirik rumah di sebelahnya.
Bergantung dari cabang sebuah
pohon di halaman mereka, di mana dulunya terdapat sebuah ayunan yang sering di
gunakannya, terdapat sebuah tubuh seorang suami dan istri yang tinggal di sana.
Selain kakak perempuannya,
tubuh itu adalah satu-satunya yang baru dia lihat dalam tiga hari terakhir ini.
Dia tidak merasakan apapun
ketika melihat tubuh itu, karena tubuh itu sudah tidak terlihat seperti manusia
lagi baginya.
Gimana
dengan gadis itu?
Dia tidak dapat memutuskan
apakah dia harus mencari gadis itu atau tidak, namun dengan segera tersadarkan
bahwa itu adalah sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Jika gadis
itu telah kembali, gadis itu pastilah menggunakan kereta kuda, dan puing-puing
kereta kuda itu seharusnya berada di sekitaran. Jika tidak ada kereta kuda, itu
artinya dia belum datang.
Itu artinya semua orang yang
ada di desa ini yang telah di serang
oleh goblin. Semua orang yang ada di desa ini, dan tidak ada seorangpun yang
datang.
Dia dapat mendengar suara
bersorak-ria di kejauhan. Letusan api perkemahan. Suara akan masak-memasak.
Dia mengepal tangannya dan
menggigit bibirnya, namun tidak peduli seberapa keras dia mengepalkan
tangannya, tidak peduli seberapa keras dia menggigit bibirnya, darah tidak
dapat keluar dari bibir dan tangannya.
Jika saja mereka mengetahui bahwa dia sedang
berdiri di sini sekarang, memikirkan semua ini, mereka hanya akan mentertawai
dirinya. Tidak lebih dari itu. Di saat mereka menyerang desa berikutnya, mereka
akan sudah melupakan tentang dirinya.
Aku
harus pergi ke kota.
Dia belum pernah pergi ke
kota. Dia tidak mengetahui seberapa jauh kota itu atau apakah mungkin dapat
mencapai ke sana dengan berjalan kaki.
Namun dia merasa bahwa ini
adalah satu-satunya pilihan.
Kemudian, tiba-tiba,
lututnya tertekuk, dan dia terjatuh. Sepertinya dia tidak memiliki cukup tenaga
untuk berdiri.
Tapi
aku harus...terus maju...
Dia mulai merayap di tanah,
memaksa tubuhnya untuk terus bergerak maju menuju jalan kota. Siku dan lututnya
tergores dan lecet, namun dia menghiraukannya dan terus bergerak.
Dia merayap melewati jalan
setapak, memasuki semak-semak, melewati tempat di mana dia telah berlari dengan
riangnya beberapa hari sebelumnya. Dia menghiraukan pikiran-pikiran tidak
berguna itu yang melintas membebani benaknya; dia berfokus untuk terus
menggerakkan lengan dan kakinya.
Waktu telah lama berlalu.
Sekelilingnya secara
perlahan semakin menggelap, yang artinya langit merah sebelumnya pastilah
sebuah senja. Dia tidak mau repot-repot melihat ke atas dari balik lumpur,
bahkan di saat bintang dan bulan kembar telah menyinarinya dari atas.
Tidak lama kemudian, dia
telah tiba pada sebuah pagar yang menandakan perbatasan desanya. Pagar tempat
dia sering menyelinap keluar bersama gadis itu yang mengakibatkan dia di marahi
kakaknya. Jika dia dapat melewati pagar itu, dia akan berada di luar desa.
Akan menjadi pertama kalinya
dia berada di luar desanya, dan di karenakan desanya telah di hancurkan oleh
para goblin.
“GROBB.....”
“GOOBRRB! GRO!”
Namun tampaknya tidak akan
semudah itu.
Di sanalah mereka.
Mereka tidaklah lebih tinggi
dari dirinya, seakan-akan mereka hanyalah seperti bocah nakal dari desa
tetangga. Namun mereka lebih, jauh lebih keji.
Dia mengetahui itu karena
dia sudah menyaksikan setiap detik perbuatan yang telah mereka lakukan.
Dia mengetahui mengapa
makhluk ini, yang biasanya hanya menggunakan kain kusam, sekarang telah
menggunakan pakaian baru.
Mereka berdiri tak
bersemangat di sekliling pagar, tombak di tangan. Bahkan bocah ini dapat
mengetahui bahwa mereka adalah seorang penjaga. Dia bahkan pernah melihat para
orang dewasa di desanya saling bergantian menjaga gerbang desanya, oleh karena
itu dia memahami arti dari seorang penjaga.
Apakah ada jalan keluar lain
di desanya? Dia mencoba berpikir, namun pikirannya sangatlah buram, dan sulit
untuk mengingatnya. Terdapat beberapa jalan samping yang telah dia temukan seraya bermain, namun dia tidak mengetahui apakah para
goblin sudah menemukan jalan itu atau tidak.
Dia bernapas dengan pelan,
mencoba untuk tetap bersembunyi, namun tiba-tiba, sepasang biji mata kecil
berputar mengarah ketempat dia berada.
Dia
melihatku.
Bocah itu mengetahui di saat
itu juga bahwa goblin dapat melihat di dalam kegelapan, walaupun pengetahuan
itu datang terlalu terlambat untuk bisa membantunya.
Dia menggengam sebuah batu
di tangan kanannya dan berdiri. Dia melempar batunya. Saat ini memang sedang
malam hari, namun dia memiliki bantuan cahaya dari bulan dan bintang-bintang.
Batu itu bersiul melewati udara membentuk sebuah lintasan.
“GOBORR?!”
Para goblin menjerit, di
iringi dengan sebuah suara retak yang basah. Goblin itu terjatuh ke tanah,
menggeliat, darah mengucur dari hidungnya. Goblin itu menempelkan tangannya ke
wajahnya dan mengeluarkan jeritan kesakitan.
Memaksa kakinya yang
bergetar untuk bergerak, bocah itu mengambil batu lainnya dan mulai berlari.
“GOOBRRRBRB!”
Goblin lainnya mentertawakan
kesialan rekan mereka, menujuk dengan tombak mereka.
Bocah itu sadar bahwa dia
tidak akan sampai keluar pagar tepat waktu, namun dia tidak peduli.
Sekarang goblin lainnya,
berteriak murka, mengangkat tombak mereka.
Mati
kamu, monster bajingan, bocah itu berpikir. Dia
menggengam batu itu sekeras dia mampu.
Ujung tombak berkarat
mengejar dirinya. Sangatlah jelas baginya bahwa ini akan menjadi akhir dirinya.
Namun pertanyaannya adalah apakah akhir dirinya akan menjemput dirinya di saat
ini jugam atau beberapa hari kemudian...
“Aku mengerti sekarang.”
Pada saat itu, terdapat
hembusan angin dingin dari barat, seperti angin yang bertiup pada malam hari.
Dia tidak memahami apa yang
terjadi; dia hanya mendengar sebuah siulan layaknya seruling. Kemudian kepala
dari goblin yang berada di depannya terlempar, dan suara itu berubah menjadi
suara cipratan darah.
Dia menggunakan lengan
bajunya untuk mengelap darah hitam yang terciprat di wajahnya. Sudah tidak ada
lagi yang akan memarahinya di karenakan sikap tidak sopannya.
“Bocah itu berani juga.”
Pada saat itu, dia mengira
dia melihat sesosok rhea tua yang berkeriput dan mengerikan.
Namun tidak lama setelah dia
memahami situasi yang sedang terjadi, sebuah rasa sakit akan benda tumpul terasa
di kepalanya, dan kegelapan menyelimuti kesadarannya.
Ketika dia tersadarkan
barulah dia menyadari bahwa dirinya telah pingsan.
Dan
kematian masih belum menjemput.
*****
Satu desa lagi telah
dinhancurkan para goblin.
Merupakan satu lagi laporan
yang bertambah pada meja sang raja, yang bahkan tidak mengetahui nama desa itu.
Mungkin bahkan para dewa-pun
tidak mengetahui nama desa itu...
0 Comments
Posting Komentar