EKSPEDISI BELANJA
Mendapatkan Perlengkapan
(Translater : Zerard)
Gadis masih mengingat dengan
jelas mengapa mereka berkelahi.
Mereka pastilah berumur
kurang lebih delapan tahun.
Gadis telah di undang untuk
membantu persalinan sapi di kebun pamannya. Jika mengingatnya sekarang, dia
dapat menyadari bahwa itu hanyalah sekedar alasannya untuk pergi bermain, namun
di kala itu, dia belum menyadarinya.
Dia akan pergi ke kota, melakukan
sebuah pekerjaan, dan dapat menaiki kereta kuda seorang diri. Perasaan bahagia
dan semangat menyelimutinya. Dia merasa seperti menjadi orang dewasa sungguhan.
Sekarang dia telah memahami akan betapa bodohnya semua itu.
Dia mengingat menyombongkan
hal ini kepada bocah itu: “Keren, kan! Kamu nggak pernah pergi ke kota, kan?”
Bocah merupakan tetangganya
yang berumur dua tahun lebih tua darinya. Mungkin itulah mengapa nada sombong
gadis ini membuang bocah itu semakin marah.
Itulah mengapa sang gadis
tidak bisa mengatakan kepadanya dengan cara sederhana, “Mau ikut denganku?”
Gadis sebenarnya ingin bocah itu meminta untuk ikut dengannya agar dia dapat
membusungkan dadanya bangga dan berkata, “Oke!”
Namun bocahnhanya berdiri di
sana dengan tangan di kepal erat, menatap tanah.
Ucapan yang di katakan gadis
berikutnya hampir tidak dapat terdengar. Bocah berteriak akan sesuatu, kemudian
gadis membalas teriak akan sesuatu, daan mereka berdua mulai berkelahi.
Perkelahian itu di akhiri dengan mereka berdua yang sama-sama menangis.
Gadis tidak sempat meminta
maaf kepadanya. Perdebatan mereka berlanjut hingga kakak perempuan sang bocah
menjemputnya.
Ketika gadis menaiki kereta
kuda di hari berikutnya, hanya orang tuanya yang mengantarkannya pergi.
Itu artinya hal terakhir
yang di lihat dari bocah itu adalah punggung bocah itu, seraya bocah itu di gandeng
pulang kakaknya.
Gadis tidak pernah melihat
bocah itu lagi.
Lima tahun telah berlalu.
*****
“Er—errgh...”
Seekor ayam jantan berkokok
di kejauhan. Cahaya mentari menusuk matanya tanpa ampun.
Dia dapat mendengar
seseorang sedang bekerja di lahan; pamannya pastilah sedang melakukan
pekerjaannya. Dia meregangkan dirinya di atas ranjang jerami, namun dia hanya
menunda hal yang bisa di hindari. Pada akhirnya, dia menyerah, merangkak keluar
dari selimut, menunjukkan tubuhnya yang telanjang, terpapar udara dingin.
“Ngantuk bangettttt.....”
Dia merasa seperti tidak
tidur sama sekali. Dia melengkungkan punggungnya, menyebabkan badannya yang terbentuk
dengan baik bergoyang. Dada dan bokongnya sangatlah bulat menonjol. Dia
berpikir mengapa tubuhnya jauh lebih berkembang di bandingkan dengan gadis
seumuran dengannya (walaupun dia tidak mengenal banyak gadis seumurannya).
Mungkin dia hanya sedang dalam masa puber.
Akan tetapi, tubuhnya yang
aduhai tidak membuatnya senang sama sekali. Dia membiarkan rambut panjangnya
terjatuh di depan wajahnya seraya dia memakai pakaian dalam dan kemudian
bajunya.
Dia melirik pada jendela dan
berpikir untuk membukanya namun dia mengurungkan niatnya. Dia sedang tidak
ingin.
Ketika dia tiba di ruang
makan, dia melihat tumpukkan roti di dalam keranjang di atad meja. Terdapat sup
dingin yang menunggu di dalam wajan sup.
Dia mengambil sebongkah
roti, mencelupkannya di dalam sup, dan mengunyahnya, menawarkan sebuah doa
kecil ucapan terima kasih kepada dewa atas makanannya.
Setelah semua ini selesai
barulah dia keluar rumah, di mana dia melihat sekitarannya dan dengan cepat
menemukan pamannya.
“Selamat pagi, paman.”
“Ah, pagi!” Sebuah senyum
tersirat pada paras kasar terbakar matahari pamannya, dan dia menghentikan
pekerjaannya untuk membalas salam sang gadis. Paman tidak memarahi gadis karena
telat bangun. Gadis menggigit lembut bibirnya.
“Hei,” Pamannya berkata.
Terdappat jeda sebelum dia melanjutkannya, “Ketika aku selesai di sini, aku ada
pesanan yang harus di antar—“
Tanpa menunggu paman
menyelesaikan ucapannya—kamu mau ikut?—gadis
menggelengkan kepalanya dan berkata, “Nggak, terima kasih.” Entah bagaimana dia
dapat mengeluarkan sebuah senyuman, dan menambahlan, “Aku nggak ingin pergi
ke...ke kota.”
“Begitu,” Paman bergumam,
meringis. Gadis meletakkan tangan di dadanya. “Maaf sudah merepotkan paman,”
Pamannya berkata, “Tapi apa kamu bisa keluarkan sapinya? Kita harus biarkan
mereka makan banyak dan menjadi gemuk.”
“Yeah,” Gadis berkata dengan
anggukkan, “Baik.”
Gadis pergi menuju lumbung
sapi dengan punggungnya yang membunhkuk dan matanya menatap turun membiarkan
para binatang keluar. Dia mengayunkan sebuah stik di tangannya, memanggil,
“Sini sapi! Ayo!”
Matahari musim sepi
sangatlah hangat, angin berhembus melewati aster yang bermekaran di atas bukit.
Walaupun di dalam momen
menyenangkan ini, hatinya terasa berat dan gelap.
Mimpi
yang mengerikan sekali.
Merupakan lima tahun yang
lalu. Atau baru saja lima tahun yang
lalu?
Lima tahun semenjak kebun di
pinggiran kota telah mengadopsinya. Akan tetapi, lihatlah dia.
Aku
bukan gadis yang baik...
Mungkin mereka sehharusnya
tidak berhubungan lagi. Hanya kesedihan yang ada terjadi di antara mereka. Akan
sangat baik jika saja pamannya membiarkan gadis seorang diri, namun sang gadis
tidak dapat menerima pikiran tentang membiarkan pamannya merawat dirinya tanpa
adanya balas budi dari dirinya sendiri untuk pamannya. Karena, gadis itu tidak
dapat melakukan apapun sendirian. Gadis menghela.
Dia menyadari sapi-sapi
telah berjalan hingga perbatasan kebun di kala dia hanyut dalam pikirannya ini.
Jalanan menuju kota yang
berada di seberang pagar, dan beberapa orang yang lewat melirik kepadanya.
“...”
Dia mendapati dirinya merasa
tidak nyaman; dia tersipu dan mencoba untuk mengecilkan dirinya.
“Sini
sapi!” dia memanggil, berusaha menghiraukan tatapan
orang lain kepadanya, namun teriakannya hanya terdengar seperti sebuah bisikan.
Aku
nggak melakukan hal yang aneh kan....
Pada akhirnya dia dapat
menenangkan dirinya sedikit, namun kebingungan akan dunia berlanjut.
Mereka yang bermigrasi
karena di gantikan atau gugur dalam peperangan dengan Dark Gods lima tahun
sebelumnya masih berlanjut hingga sekarang. Terkadang, peperangan itu
melibatkan bocah-bocah dan gadis-gadis seumuran dengannya. Pada punggung
mereka, mereka membawa berbagai macam tas; beberapa menggunakan pedang yang
tampaknya mereka ambil di jalan. Mereka semua mengernyit dan jalan tergesa-gesa
di jalan dengan cemas.
Mereka
akan menjadi petualang.
Dia mengetahuinya dalam
sekilas. Dalam ingatannya, bocah itu
terlihat sama dengan mereka.
Petualang.
Sebuah kata yang membuat hatinya berdebar. Mereka adalah
orang-orang yang menjelajah reruntuhan yang tidak di ketahui, bertarung dengan
monster, menemukan harta karun, menyelamatkan permaisuri, dan bahkan terkadang
memainkan peran dalam menentukan takdir dunia.
Dia telah mendengar bahwa
sebuah psrty petualanglah yang telah menyelamatkan dunia lima tahun yang lalu.
Banyak yang bermimpi menjadi
petualang ketika mereka di anggap dewasa pada umur lima belas tahun—atau umur
berapapun mereka di anggap dewasa. Beberapa dari mereka, tentu saja, telah
kehilangan rumah, tidak dapat mempelajari cara tukar-menukar, ataupun tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka tidak mengetahui sedikitpun tentang menjadi
petualang, dan gadis mengetahui ini lebih baik dari siapapun.
Lagipula, siapa yang tahu?
Jika saja semuanya berjalan sedikit saja berbeda, mungkin dirinya sendiri lah
yang akan berjalan di jalan itu. Atau dia bisa saja menghilang.
Seperti
dia.
“Ergh...”
Pikiran itu membuatnya
perutnya merinding yang menyebar di keseluruhan tubuhnya.
Jangan
di pikirkan. Lupakan apapun kecuali apa yang harus kamu lakukan sekarang.
Sapi.
Memanggil sini sapi, sini sapi, dan kemudian pergi dari jalan ini dengan cepat.
Dia sudah merasa cukup muak.
Dia mendengak untuk
menghitung dan memastikan semua ternaknya lengkap.
“Huh...?” dia berkedip.
Adalah tepat di saat itu dia
mengira dia melihat sesuatu yang bercampur dengan kerumunan, sebuah punggung
yang tidak asing...
Apakah dia berhalusinasi?
Dia menggosok mata dengan lengannya.
Nggak,
nggak mungkin.
Tidaklah mungkin, tetapi...
“......”
Gadis berdiri di sana,
terpaku, tidak dapat bergerak sedikitpun.
*****
“Permisiiiii! Aku mau
mendaftar jadi petualang!”
“Baik, mohon tunggu sebentar!”
“Maaf—apa kamu bisa ambil
tiga kantung emas dari brangkas?”
“Baik, segera!”
“Pastikan kamu menandai
setiap potion yang kamu jual. Kita harus membuat laporannya di buku besok.”
“Oh, tentu saja! Akan saya
lakukan!”
“Peta! Di mana petanya?”
“Ada di atas— Sini, biar
saya ambilkan!”
“Ada kesalahan di laporan
ini! Seekor wyrmling itu bayi naga;
seekor worm cuma seekor serangga!”
“Apaa?! Maafkan saya!”
Begitu menyibukkan sehingga
membuat kepalanya menjadi pusing. Pegawai berlari mondar-mandir di depan meja resepsionis
Guild Petualang.
Perasaan
pelatihanku di Ibukota tidak seperti ini...!
Pegawai baru berlari kencang
seperti tikus yang melompat, air mata berlinang di matanya seraya dia melihat
laporan.
Biasanya, merupakan
pekerjaan pegawai untuk menulis sebuah quest yang di bawa kepada Guild. Adanya
kesalahan dapat mengakibatkan kematian bagi beberapa petualang. Reputasi
Guild-pun akan hancur.
Baru menetas ataupun tidak,
naga tetaplah seekor naga. Untuk salah menyangkanya sebagai seekor serangga
adalah kesalahan tingkat tertinggi.
Seorang petualang yang mengambil quest ini mungkin berpikir bahwa mereka
hanya perlu membunuh beberapa serangga, dan mendapati diri mereka terpanggang
oleh napas api sang naga.
Sebenarnya,
pada tingkat ini, mungkin seekor worm terlihat lebih mengerikan...
Dia memiringkan kepalanya
memperhatikan sekali lagi seraya dia menulis dengan cepat, dia berpikir pernah
mendengar akan sesuatu yang di sebut purple worm yang mereka bilang sangatlah
kuat.
Khawatir, dia mengeluarkan
buku Manual Monster dan membalik halaman demi halaman.
“Jadi seekor purple worm itu
ancaman tingkat dua belas. Dan naga hijau yang baru menetas tingkat...empat?”
Itu
artinya aku malah terbalik membuat kesalahan dari yang aku pikir sebelumnya.
Dia harus meneliti seperti
ini di hampir setiap quest, dan ini sama sekali membuat pekerjaannya menjadi
terhambat. Terdapat banyak hal yang harus di pelajari, dan dia telah bekerja
lembur setiap harinya. Dia tiba di rumah, mempunyainsedikit waktu untuk makan
malam, dan segera tidur di ranjangnya.
Dia tidak memilki banyak
waktu di pagi hari; yang bisa dia lakukan hanyalah menggunakan sedikit dandan
dan mengepang rambutnya. Bayangan akan wanita perkotaan dan pintar, begitu
cantik dan rapi yang sangat dia kagumi, terasa sangat jauh.
Hanya karena dia
berpendidikan baik dan berasal dari keluarga yang memiliki reputasi, tidak
mewajibkannya untuk menjadi istri seseorang. Dia memahami pentingnya membuat
koneksi dengan keluarga termuka di dunia, memastikan pekerjaan ayahnya dan
suaminya berjalan dengan lancar. Namun terdapat orang lain yang dapat melakukan
kewajiban seperti itu. Untuk dirinya, dia akan masuk pada pelayanan publik!
Dan
lihatlah sekarang.
“Oh, ini. Buat laporan untuk
semua quest membasi goblin, juga.”
Sebuah tumpukkan kertas di
bawa di depannya dengan gedebuk, dan hampir saja membuatnya ingin menangis.
Walaupun
aku menginginkannya, aku tidak bisa juga jadi istri orang... aku tidak punya
waktu!
Resepsionis di meja
sebelahnya melihat ekspresi gadis itu. “Kamu tidak apa-apa?” dia bertanya.
Gadis baru ini sangatlah berterima kasih atas kebaikan yang di berikan gadis
lainnya ini, yang katanya bagian dari kependetaan.
“...Iya, Aku akan...ambil
air.”
Dengan keadaan yang kacau
seperti ini, dia bahkan tidak memiliki waktu untuk membuat teh kesukaannya.
Dia berdiri, kemudian
berjalan menuju tempat teko berada dan menuangkan air ke dalam gelas yang
tertulis namanya. Air itu terasa hangat namun tetap terasa melegakan pada
tenggorokkan dan bibirnya yang kering. Pegawai baru itu minum dengan berisik,
kemudian mengehal, phew.
“Oof... Tanganku kram...”
Secara reflek dia menggosok
tanggannya dan memijat matanya.
Goblin
lagi, huh...
Goblin adalah, tidak di
ragukan lagi, merupakan monster paling lemah, terlemah dari MTB. Dengan ukuran
tubuh, kekuatan, dan kecerdasan seperti anak kecil, mereka membentuk sebuah
grup dan hidup di dalam gua atau reruntuhan, dan menyerang desa dan menculik
wanita. Mereka bisa di buat tunduk untuk mengikuti seseorang yang lebih kuat
dari mereka, namun di dalam lubuk hati mereka, mereka selalu percaya bahwa
mereka adalah pusat dari semesta, dan menyiksa seseorang yang lebih lemah dari
mereka memberikan mereka kebahagiaan tertinggi.
Merupakan hal biasa bagi dua
atau tiga goblin untuk mencoba mencuri ternak dari sebuah pedesaan, dan
beberapa pemuda pedesaan mengusir mereka. Hanya ketika keadaan mulai semakin
memburuk barulah orang-orang akan pergi ke Guild. Dan “semakin memburuk”
merupakan pemandangan sehari-hari di dalam guild.
Dan terdapat sebuah pepatah
yang mengatakan: di setiap kali party para petualang terbentuk, begitu pula
sarang goblin.
Dia terkadang berpikir
mengapa negara tidak melakukan apapun terhadap goblin, namun dia sudah
kewalahan dengan semua pekerjaannya, oleh karena itu dia hanya bisa
bertanya-tanya di dalam hati.
Lima tahun telah berlalu
semenjak pasukan Kekacauan yang di pimpin oleh Demon Lord menyerang negara ini
layaknya sebuah badai. Bahkan sekarang, sisa-sisa dari pasukannya masih dapat
di temukan di keseluruhan negeri: Dark Elf asassin berkeliaran sesuka hati di
antara bayang-bayang Ibukota, merencanakan sesuatu yang jahat. Sekte jahat
mempraktekkan ritual mengerikan di kedalaman reruntuhan bawah tanah, mencari
cara untuk membangkitkan Demon Lord kembali. Bahkan para necromancer di rumah
dan menara mereka, menggunakan mayat dalam eksperimennya yang jahanam.
Monster mengerikan mengamuk
di setiap ujung peta, melakukan apapun yang mereka mau tanpa ada yang
menghalangi.
Apalagi
orang-orang yang ingin melawan naga di pegunungan.
Goblin adalah salah satu
dari monster yang memiliki jumlah yang berlimpah, namun itu tetap tidak merubah
fakta bahwa mereka masihlah lemah.
“Wajar saja kalau petualang
ingin melawan monster lainnya...”
Bahkan dia-pun tidak
menyukai goblin, namun dia harus tetap mengejarkan semua dokumen yang
berhubungan dengan goblin. Dia berpikir, pergi membunuh goblin-pun, tentunya
tidak akan menyenangkan.
Jika dia di beri tahu bahwa,
mulai sekarang, dia harus menghabiskan waktunya, setiap hari, mengerjakan
dokumen yang berhubungan dengan goblin, tentunya dia akan mengeluhkannya.
Pegawai baru memberikan
helaan sekali lagi, kemudian kembali pada meja resepsionis yang telah
menunggunya. Dia harus menyelesaikan semua quest goblin ini agar quest ini
dapat di pasang pada papan quest. Pikiran ini cukup untuk membuat perutnya
menjadi sakit, dan air mata yang dia tahan sebelumnya, kembali berlinang di
matanya.
“Ughh...”
“Hei, semangat.” Koleganya
berkata dengan senyuman di samping mejanya.”
“Iya...”
“Kamu tahu, melakukan
pekerjaanmu itu adalah salah satu untuk melayani Kebenaran. Kamu harusnya
sedikit bangga dengan ini!”
Apa
ini cara dia menyemangatiku? Aku akan lebih senang kalau mendengarnya dari
cleric Ibunda Bumi, bukan dari Supreme God, dia
ber-senandika. Mungkin pelayan Ibunda
Bumi tidak akan memaksaku bekerja keras...
“Hei, apa kamu sudah makan
siang?”
Walaupun begitu, dia masih
merasa berterima kasih atas perhatian yang telah di berikan temannya.
Pegawai Baru menggelengkan
kepalanya, menyebabkan kepangnya berayun ke kiri dan kanan. “Aku belum
sempat...”
“Oh, pergi aja dan makan
sekarang! Kamu tidak bisa bekerja dengan perut kosong! Oops, ada orang lain
datang!”
“Bagus...”
“Jangan lupa senyum!”
Dengan dorongan teman
kerjanya. Pegawai Baru tidak dapat memicu selera makannya. Dia memijat oipinya,
mencoba membujuk bibirnya untuk tersenyum yang tampaknya sangat sulit dia
lakukan akhir-akhir ini. Dalam masa pelatihannya, dia telah tersenyum dengan
rajin kepada setiap petualang, mengharapkan yang terbaik untuk mereka. Namun
pada akhirnya...
Ini
gara-gara aku terlalu banyak terlibat dengan mereka.
Dia memiliki kenangan buruk
selama di Ibukota, di sebuah waktu yang menyebabkan hampir hilangnya kesucian
dirinya. Atau—yah, tidak begitu juga, namun bagi dirinya, dia merasa seperti
itu. Karena, dia tidak sanggup melawan pria itu yang terlalu kuat. Adalah
sebuah keajaiban dia dapat melarikan diri dari pria itu.
Tapi
tetap saja, aku tidak bisa menyambut mereka dengan muka cemberut.
Tersenyum adalah bagian dari
pekerjaannya.
Dia tidak ingin mereka yang
mengambil quest merasakan rasa pahit ketika mereka pergi. Atau mereka telah
salah paham tentang apa yang dia rasakan. Tapi seberapa banyak senyuman yang di
perlukan?
Seraya dia berusaha mengatur
ekspresi wajahnya, sesosok figur berdiri dia di depan meja.
“....”
Seorang bocah berdiri di
depannya.
“Er—ah,” dia berkata, dan
senyum yang sudah susah payah dia pasang di wajahnya menghilang seketika.
Bocah itu kurang lebih
berumur lima belas tahun—sedikit lebih muda dari Pegawai Baru ini, dan baru
saja di anggap dewasa. Dari manapun bocah ini berasal, perjalanan yang dia
lakukan telah membuatnya tampak lusuh.
Di lihat dari penampilannya,
tampaknya bocah ini ingin menjadi seorang petualang. Namun mungkin juga bocah
ini berasal dari sebuah desa untuk memasang quest. Dia tidak mengetahuinya.
Akan tetapi, bocah itu,
hanya menatap diam Pegawai Baru. Bocah itu hampir terlihat seperti sedang
melototi dirinya.
“A-ahem, ap-apa yang anda—?
Apa yang bisa saya bantu?”
“Nggak,” bocah menjawab,
menggelengkan kepalanya. “Kamu baik-baik saja?”
Dia tidak dapat memahami apa
yang bocah ini bicarakan. Bingung, Pegawai Baru melihat kepada tetangganya
untuk meminta bantuan.
“Dengar,” seorang pria
berkata, “Apa kamu nggak bisa turunkan hadiahnya sedikit? Aku nggak bisa
membayar semahal ini hanya untuk seorang penjaga.”
“Mohon maaf, ini merupakan
jumlah standar yang telah di tetapkan oleh aturan kami,” koleganya menjawab.
“Mungkin jika anda menyewa petualang tingkat rendah...”
“Aku nggak mau amatiran atau
preman jalan di sekitar barang-barangku. Aku butuh orang yang bisa aku
percaya...”
Tampaknya koleganya sedang
sibuk; bantuan tidak akan datang.
Pegawai Baru telah di
beritahui, walaupun sekarang sudah tidak sering terjadi, bahwa dulunya terdapat
banyak pemberi quest yang mencoba membungkam pengambil quest dengan kekerasan.
Terdapat banyak karakter mencurigakan yang melarikan diri menuju Ibukota yang
masih melakukan hal-hal seperti itu, atau itu yang dia dengar. Oleh karena itu,
pekerjaan seorang resepsionis dan pegawai lainnya pada Guild Petualang
sangatlah penting.
Salah
satu cara melayani kebenaran. Oke.
Dia mengambil napas dalam,
kemudian entah bagaimana dapat mengembalikan senyum pada parasnya.
“Selamat datang di Guild
Petualang! Apa yang bisa saya bantu hari ini?”
“Kalau kamu nggak keberatan,
aku mau mendaftar.”
“Pe-pendaftaran, baik! Ahem,
tolong isi— E-eep!”
Dia mencari kertas yang
berada di mejanya terlalu cepat, dan membuat kertas pada mejanya berhamburan di
lantai.
Ya, musim semi adalah waktu
di mana banyak orang mendaftar sebagai petualang, namun itu bukan berarti formulir
pendaftarannya selalu berada di dekat mereka.
Seraya Pegawai Baru dengan
terburu-buru mengambil kertas-kertas, bocah itu menangkap satu dengan
tangannya.
“Goblin...?” dia bertanya.
“Goblin? Oh...”
Dia melihat secarik kertas
yang bocah itu tangkap adalah salah satu dari quest yang telah dia tulis. “Iya,
itu benar sebuah....sebuah quest membasmi goblin, tapi...”
Merupakan quest yang
sederhana, paling tidak memenuhi standar untuk di pasang di Guild. Sebuah quest
yang dapat kamu temukan di perbatasan manapun.
“Goblin?” Bocah itu tampak
terpaku oleh kata itu. Bocah itu memegang kertas itu tanpa sedikitpun melirik
pada hadiah ataupun informasi lainnya yang tertera di dalam quest. “Aku akan
mengambil quest ini.”
“Er, uh... Akan sangat
berbahaya tanpa sebuah party.”
Bocah itu berpikir sejenak,
kemudian berkata, “Nggak masalah.”
Pegawai Baru dengan cepat
mencari ingatannya. Dia ingin membuka buku Manual Monster, yang secara khusus
mengatakan bahwa bahkan sebuah party-pun tidak akan cukup. Dia mengingat
mendengar berkali-kali bahwa kamu membutuhkan lebih dari sekedar beberapa orang
untuk mengambil quest goblin; dia bahkan membuat catatan tentang itu.
Akan tetapi, pikiran untuk
membujuk seseorang di dalam situasi seperti ini, telah benar-benar menghilang
dari pikirannya.
Dengan sedikit panik, dia
membalikkan halaman buku catatannya, kemudiam berpikir untuk menunjukkan
halaman di dalam manual itu kepadanya. Oh, tetapi apakah dia dapat membaca?
Mo-mohon
tunggu sebentar, dia hampir berkata, namun sebagai
gantinya, tepat pada detik itu, terdengar suara imut kecil akan grr. Tersipu begitu hebatnya, membuatnya
berpikir adanya uap yang mungkin keluar dari telinganya, dia menekan perut
dengan tangannya, namun suara itu kembali terdengar.
“Ini, ah, um, ini....”
“Ini melibatkan goblin,
kan?”
“I-iya...”
Apa...
apa dia tidak mendengarnga?
Dia sangatlah merasa malu
oleh suara perutnya yang berbunyi, namun dia memutuskan untuk tetap fokus pada
pekerjaannya yang melayani pria ini untuk mendaftar.
“Baiklah. Apa anda bisa
membaca dan menulis?”
“Aku bisa,” dia berkata.
“Aku mempelajari caranya.”
Kemudian bocah itu mengambil
lembaran petualang yang di berikan untuknya.
Tulisannya sangatlah jelek,
namun bocah ini memang dapat menulis.
Dia merasa jika dia terlalu
lama memperhatikan bocah ini, maka perutnya akan kembali berbunyi, oleh karena
itu dengan cepat dia menstempel kertasnya.
“Tadi, di mana ya?” dia
bergumam, mencari di mejanya dan mengeluarkan sebuah pena. Akan tetapi, dia
tidak dapat menemukan kalung peringkat yang sangat penting itu.
“Huh? Um...”
“Ini.” Koleganya menyelipkan
label porcelain, seraya ingin mengatakan, kamu
ini sedang apa sih?
“Terima kasih banyak!”
Pegawai Baru mengatakan dengan tundukkan kepalanya, namun rekan kerjanya hanya
melambaikam tangannya.
Baiklah,
sekarang... Kalung peringkat pada dasarnya merupakan salinan dari lembaran Petualang...
Pegawai Baru memperhatikan
informasi itu dengan seksama, memastikan dia tidak melewatkan apapun. Nama,
jenis kelamin, umur, kelas, warna rambut, warna mata, berat, kemampuan...
Satu
petarung, satu ranger. Bersama dengan...
“Selesai!” dia menghela
napas dan mengelap keringat pada dahinya, memuji dirinya sendiri di dalam hati.
Kemudian dia mendorong label itu di atas meja kepadanya: sebuah label peringkat
Porcelain, peringkat sepuluh dan peringkkat paling rendah.
“Benda ini sangat penting,
karena itu tolong jangan sampai hilang,” dia berkata.
“.....”
Bocah itu mengambil kepingan
porcelain tanpa berkata-kata; dia memegangnya di telapak tangan dan
memperhatikannya dengan seksama.
“U-ummmm—?”
“Aku mengerti.”
Kemudian dengan acuh dia
memasukkan label peringkat itu ke dalam kantungnya dan melangkah pergi dengan
sigap.
“Cih. Nggak sopan sekali.”
Ucapan ini berasal dari
antrian berikutnya, seorang pria muda yang membawa sebuah stik kayu yang tampak
seperti sebuah tombak. Beberapa dari petualang lainnya, baru maupun lama,
melirik pada bocah itu, yang sekarang telah pergi menuju bengkel.
Pegawai Baru tidak yakin
harus berkata apa, namun pekerjaan tetap saja pekerjaan. Dia kembali
memfokuskan dirinya.
“Selamat datang di Guild
Petualang! Apa yang bisa saya bantu hari ini?”
“Oh, aku mau mendaftar
juga.”
“Baik!” Dia memaksakan
dirinya untuk tersenyum ceria.
Aku
harus belajar cara untuk tersenyum lebih baik secepatnya.
Dia berpikir, bertekad—dan
tampaknya dia tidak akan bisa makan siang dalam waktu dekat ini.
Kalau
di pikir-pikir lagi... ketika dia bertanya apa aku baik-baik saja...
Apakah maksud dari bocah itu
adalah makan siang?
Pikiran itu hanya terlintas
sejenak di dalam kesibukannya. Koleganya yang berada di meja sampingnya
memperhatikan Pegawai Baru menyibukkan dirinya di dalam pekerjaan dengan
ekspresinya yang lelah.
Kelak, dia akan sangat
menyesali bahwa dia tidak membantu bocah
itu dengan lebih rajin. Namun itu merupakan cerita untuk di hari yang lain.
*****
“Er, jadi, kamu nggak
mempunyai pedang legendaris... iya kan?” seorang pria muda bertanya, matanya
berkilau. Yang dia lakukan hanya menambah sakit kepala boss bengkel.
“Kalau aku punya, kamu pikir
aku akan membiarkannya bergeletakan di sekitar tokoku?”
“Nggaklah. Gimana dengan
pedang sihir? Punya yang seperti itu?”
“Kamu pikir kamu Cuma perlu
ke sebuah toko dan membeli pedang seperti itu begitu saja?” Bose menggosok
alisnha dan menggeleng kepala perlahan. Dia hampir saja ingin mengusir bocah
ini keluar namun merubah pikirannya. “Coba pikir, bahkan satu mantra penguat
sederhana saja sudah menambah satu angka nol pada harganya di setiap
perlengkapan apapun.”
“Iya, iya... kalau begitu, uhhh...”
Pria muda itu melihat
seksama pada senjata dan perlengkapan yang tersusun pada rak, kilau matanya
tidak memudar. Dia mengambil ini dan itu, mencoba berbagai macam senjata dan
perlengkapan.
“Coba kita bicarakan dulu
berapa modalmu,” boss berkata. “Aku nggak bisa menjual apa yang nggak bisa kamu
beli.”
“Oh, ye-yeah. Ini.” Pria
muda berkata, merogoh kantong dang mengeluarkan sebuah dompet. “Aku mau senjata
terkuat yang bisa aku beli dengan ini.”
Dia
mau senjata terkuat! Sudah pasti!
Sang boss, master dari
bengkel ini, menghela. Ini merupakan lagu dan tarian yang sudah di kenalnya
begitu lama. Beberapa pria muda dengan mata berkilau datang, telah di besarkan
mendengarkan kisah-kisah petualangan dan sekarang telah merasa yakin bahwa mereka
juga merupakan seorang pahlawan masa depan. Para pengunjung bodoh seperti pria
muda ini merupakan hal yang biasa. Mereka semua mmenginginkan pedang yang
terlalu besar untuk mereka gunakan, atau armor yang terlalu terbuka yang hanya
bagus untuk pergerakan.
Pengetahuan rata-rata
bocah-bocah ini hanyalah merupakan kumpulan lagu-lagu pemabuk yang berkumpul
yang mereka dengar di suatu rumah makan. Lagu seperti itu sedang populer
sekarang, dan dengan umurnya yang semakin menua, tidak ada yang bisa dia
lakukan tentang ini, dan ini membuuatnya kesal.
Boss berpikir untuk
memberikan sebuah saran untuk bocah ini, namun apa gunanya?
“Apa kamu mau pedang?”
“Yeah. Aku rasa pedang
kedengarannya bagus.”
Boss mengambil dompet koin,
membulatkan tekadnya untuk mencari senjata yang cocok untuk pria muda ini.
Apakah pedang satu tangan,
atau dua? Pria muda ini berpakaian dengan pakaian yang terbuat dari kulit
tebal. Boss meragukan apakah pakaian itu cocok untuk seseorang yang bertarung
di garis depan.
“Apa kamu mau perisai atau
helm?”
“Helm? Nggak perlu.
Orang-orang nggak akan bisa melihat mukaku.”
Boss tidak bisa menyalahlan
seseorang yang menginginkan kejayaan; dia tidak pantas untuk mengkritiknya.
Para petualang mencari biaya kehidupannya dengan menjual wajah dan reputasi. Apa
lagi selain itu?
Aku
rasa nggak ada satupun pria yang masih hidup yang nggak berharap untuk menjadi
pahlawan, paling nggak satu kali.
“Aku nggak akan berdebat
denganmu soal helm,” dia berkata. “Tapi paling nggak, gunakan perisai.”
“Aku nggak pernah pakai
perisai...”
“Nggak masalah.”
Bocah itu mengangguk di
depan wajah pria tua itu, paling tidak bocah itu masih menuruti apa yang di
katakan boss, setidaknya masih ada harapan untuk bocah ini.
Terdapat banyak dari mereka
yang datang dengan perelngkapan mereka yang hancur dari negara asal mereka atau
seseorang yang datang membeli tanpa sedikitpun mendengarkan ucapan yang dia
katakan.
Dan jika tiba seseorang yang
seperti itu, pria tua ini dapat mengatakan apapun yang dia mau, bukan dia yang
akan berhadapan dengan monster di sebuah pertempuran.
Tidak peduli perlengkapan
apa yang kamu bawa, kamu akan mati bila saatnya tiba—karena itu dia membiarkan
mereka melakukan apapun yang mereka mau. Akan memalukan bagi seseorang untuk
membiarkannya mengubah pendapat mereka, dan kemudian mati menggunakan
perlengkapan yang mereka tidak inginkan.
Nggak
peduli seberapa bodoh, atau jelek, atau gila perlengkapan yang mereka
inginkan...
Siapa yang dapat mengejek
pemuda-pemudi atas pilihan mereka seraya mereka mengambil langkah pertama
berhadapan dengan dunia? Ketika boss berpikir di kala pertama kali di dalam
kehidupannya dia mengambil palu dan mulai menempa sebuah pedang...
“Hmmm?”
Adalah di saat itu seorang
pria muda lainnya datang masuk ke dalam bengkel dari arah area resepsi Guild,
berjalan sigap namun acuh.
“Aku butuh perlengkapan.”
“Pastinya.” Pria tua itu
berkata, mengernyitkan alis mendengar ucapannya.
Pria muda yang tengah
berbelanja memfokuskan telinganya berusaha menguping. Sang boss membuat gerakan
mengusir pada pria itu dan mengembalikan perhatiannya kepada pendatang baru
yang masih muda ini.
Dia
kelihatan menyedihkan.
Bocah itu dalam keadaan yang
menyedihkan, seolah dia baru saja tiba setelah kkabur dari sebuah pelosok yang
jauh.
“Kamu punya uangnya?”
“Ya,” sang bocah berkata,
kemudian melepaskan sebuah kantung kulit kecil dari sekitar lehernya dan
meletakkannya di atas meja, kantung itu bergemirincing secaya koin di dalamnya
bergoyang.
Pria tua itu membuka
kantungnya dengan satu jari, kemudian mengeluarkan satu koin emas yang ada di
dalamnya dan menggigitnya.
Koin itu bukan sebuah daun.
Koin ini asli.
Penjaga toko beruban ini
menarik kantung bermotif bunga itu, kemudian menatap sang bocah. “Dia buat dari
dompet ibumu, kah? Atau kakak perempuan?”
“...”
Selama beberapa saat, sang
bocah tidak mengatakan apapun; kemudian dia mengangguk. “Benar.”
Sang penjaga toko mendengus
tidak puas. Apa bocah ini sedang bercanda atau tidak?
Apapun itu, merupakan sebuah
koin emas asli yang ada di depannya, dan seorang pelanggan dengan uang yang
harus dia layani.
“Baiklah kalau begitu, apa
yang kamu mau?”
“Armor kulit dan perisai
bundar.”
“Oh-ho,” pria tua itu berkata.
Dia memandang sekali lagi tubuh bocah itu, menghiraukan ekspresi tercengang
pada wajah pelanggan sebelumnya.
Ototnya
bagus. Jelas seorang fighter. Kemungkinan berkelas ganda, mungkin sebagai scout
atau ranger. Dua-duanya nggak aneh.
“Dan untuk senjata?”
“Pedang... satu tangan.”
“Pastinya, mengingat kamu
pakai perisai. Aku rasa ini akan cocok untukmu.” Tanpa jeda, pria tua itu
menggenggam salah satu pedang yang berbaris di belakang mejanya dan
menyerahkannya. Adalah sebuah pedang baja. Tidak ada sedikitpun keunikkan pada
pedangnya, namun pedang ini sangat kokoh, dan senjata yang dapat perbaiki
kembali.
Sang bocah mengambilnya dan
memasukkannya ke dalam sarung di pinggulnya. Berat akan pedang itu membuat
tubuhnya sedikit condong ke samping.
Hal
biasa untuk para pemula.
“Armor kulit ada di rak
sebelah sana. Perisai ada di dinding.”
“Baik.”
Bocah itu membenarkan postur
tubuhnya, kemudian melangkah menuju tempat sang pria tua menunjuk. Gerakannya
yang tanpa suara mengambil armor dari meja dan perisai dari dinding membuatnya
tampak seperti akan mencurinya. Pria tua terlihat kagum untuk sesaat.
Tiba-tiba, petualang muda baru lainnya, yang tampak takut, bergerak
mendatanginya.
“H-hei,” dia berkata, “kamu
baru mendaftar hari ini?”
Bocah itu tidak menjawab,
melainkan menganggukan kepalanya.
Pria muda yang berbisik ini
tersenyum dan berkata, “Aku juga!” dia membusungkan dadanya. “He-hei, gimana
kalau kamu dan aku berpetualang bersama?”
“Berpetualang,” bocah itu
bergumam halus. Suara pria muda itu tampak begitu girang, sementara sang bocah
hanya berkata datar. “Apa berhubungan dengan goblin?”
“Nggaklah!” pria muda itu
berteriak. Keseluruhan tubuhnya tampak girang untuk menepis ide itu. “Aku
mengincar seseuatu yang lebih tinggi dari itu. Lupakan saja goblin. Aku
berpikir tentang reruntuhan daan yang lainnya...”
“Aku mau goblin.”
“Huh?”
“Aku akan pergi membantai
goblin.”
Dengan itu, sang bocah
tampak telah kehilangan rasa tertariknya dengan pria muda ini. Sang bocah
mengenakan armor dengan gerakan tidak terlatih namun cepat, kemudian mengikat
perisai pada lengannya. Adalah sebuah perisai kecil dan bundar, dan terdapat
sebuah pegangan sebagai tambahan pengikatnya. Dia menggenggamnya dan melakukan
sedikit latihan menangkis.
Dia berdiri dengan perisai
bersiap, menarik pedangnya, dan memasukkannya kembali. Dia berusaha sedikit
menggerakkannya, kemudian mengangguk.
“Aku akan mengambilnya.”
“Dengan senang hati.”
“Seberapa banyak sisa
uangku?”
“Kurang lebih segini,” pria
tua berkata, menumpahkan isi kantung di atas meja. Dia mengambil beberapa lusin
koin emas dan menyapunya ke belakang meja. Sekarang hanya tinggal beberapa yang
tersisa. Sang pria muda bergumam, “Mahal banget,” yang mengundang sebuah
lototan mata dari penjaga toko.
“Menyiapkan armor kulit itu
butuh waktu. Makanya nggak murah,” dia berkata. “Kalau kamu nggak suka, belanja
saja di toko lain.” Sang pria tua tidak akan menurunkan harga lapisan kulit itu
setelah dia merebusnya di dalam minyak..
Sang bocah, tampaknya tidak
terpengaruh oleh komentar itu; dia menyentuh masing-masing koin emas,
menghitung mereka.
“Apa aku bisa beli potion?”
“Lain kali kalau kamu mau,
beli di meja resepsionis. Tapi aku punya sih beberapa di sini...”
Dia menerima uang itu lagi
dari sang bocah, menukarkannya dengan dua botol yang dia keluarkan dari balik
meja. Sebuah cairan hijau muda bergelombang di dalamnya, dan tercium aroma
samar akan obat.
“Antiracun dan potion
penyembuh. Cukup?”
“Ya,” bocah berkata dan
meletakkan kedua botol ke dalam tasnya.
Tersisa satu koin lagi.
“Apa ada yang lain yang
harus aku beli?”
“Hmm, coba ku lihat... set
Perlengkapan petualang, belati...”
Pria tua itu melihat bocah
dari kepala hingga kaki. Bocah itu berlapis dengan armor kulit, sebuah pedang
di satu tangan dan perisai di tangan lainnya. Bersama dengan tasnya yang penuh
akan berbagai macam barang, dia tampak persis seperti petualang pemula.
“Kalau kamu tanya
pendapatku...mungkin sebuah helm.”
“Helm.”
“Tunggu di sini, aku punya
yang murah.”
Boss berjalan masuk ke dalam
gudang bengkel. Pria muda itu, sudah selesai berbelanja, melihat ke arah bocah
penuh curiga. Dia tampak sedang berpikir tentang, Apa-apaan sih ini orang? Atau lebih tepatnya, Orang aneh.
Akhirnya, sang pria muda
menggeleng kepalnya dan bergumam, “Nggak masuk akal bagiku,” dan pergi keluar
bengkel.
Pada hampir di saat yang
bersamaan, sang boss muncul dari balik gudang.
“Aku menyarankan kamu
memakai ini,” dia berkata. “Kalau kamu nggak terlalu mempedulikan orang-orang
yang nggak bisa melihat mukamu.”
Kemudian dia meletakkan helm
yang dia pegang di atas meja.
Adalah sebuah helm tua,
dengan tanduk yang mencuat dari kedua sisi helmnya. Memang benar, benda yang
terlihat jahat.
*****
Guild Petualng sangatlah
sibuk melayani mereka yang datang dan pergi seperti biasanya. Seberapa
mencoloknya seorang petualng yang berdiri di tengah-tengah kerumunan itu? Armor
miliknya baru, dan mengkilap. Dia menggunakan helm baja bertanduk. Sebuah
pedang pada pinggulnya, dan pada lengannya terikat sebuah perisai yang baru di
beli.
Dengan sebutan apa lagi yang
dapat kita ucapakan kepada pria muda dengan perlengkapan ini selain petualang
pemula?
Tidak seorangpun yang juga
akan menyadarinya apakah dia akan kembali atau tidak.
Tidak seorangpun.
1 Comments
Sepii, back to owari no seraph. Terjemahin 86 juga...
BalasHapusPosting Komentar