AKAN MEREKA BERTIGA, BEBERAPA BULAN YANG
LALU
(Translater : Zerard)
Sebuah kata rumah makan dapat memiliki banyak arti.
Tidak semua rumah makan memiliki hubungan dengan Guild Petualang.
Berkelilinglah di kota dan
kamu akan menemukan beberapa rumah makan, lengkap dengan papan buletin dan
cahaya yang menyinari.g
Rumah makan biasanya
merangkap dengan sebuah penginapan, dan terkadang para petualang ingin sebuah
perubahan suasana. Ini adalah tempat di mana para petualang sering terlihat,
makan dan minum sebanyak yang mereka mau, dan kemudian pergi ke luar kota.
Dalam satu rumah makan,
seorang penyair memetik senar instrumennya dan mulai bernyanyi.
Harus
berapa kali perjumpaan dan perpisahan ini terjadi?
Dikau
katakan, yang terpenting adalah apa yang ada di dalam hati
Tanpa
seorangpun di sisi, mereka selalu datang dan pergi
Hingga
dikau melihat hal manis itu di suatu hari
Tidak
peduli dikau raja maupun pencuri
Nayanika-mu
yang memikat. Namun namanya, sungguh di sayangkan, dikau tidak mengetahui
Dikau
umbar kalimat-kalimat pemanismu, tetapi dia tetap merajut langkahnya melewati
pintu ini
Kamu
terlambat menyadarinya : dia sudah tidak ada di sini lagi
Harus
berapa kali perjumpaan dan perpisahan ini terjadi?
Satu
pertemuan, satu perpisahan, dan satu hati hancur sepai tak kembali...
(TL Note : saya mencoba
mengakhiri setiap ujung kalimat lagu ini dengan huruf “i” Kenapa? YOLO!)
“Baiklah. Kalau begitu, aku
rasa kita sudaah mendapat party, ya kan Scaly?”
“Ha-ha-ha. Walaoepoen saja
berharap adanja seorang warrior dan scooet.”
Duduk di dalam sebuah rumah
makan yang nyaman, dua petualang berbincang riang dan tertawa.
Salah satunya adalah seorang
dwarf, membelai jenggot putihnya, menepuk perut bundarnya, dan sedang asik
meminum anggur dan memakan makanannya. Dan di seberang dirinya adalah seorang
lizardman, yang makan dengan menggunakan tangannya, tubuh kekar bersisik
miliknya duduk di atas sebuah drum anggur. Mereka meminum anggur yang di
bawakan kepada mereka layaknya sebuah air. Dengan perilaku riang dan penuh
perayaan.
“Seorang blotj’er, ranger,
warrior priest, tjleritj, wizard. Saja rasa ‘ita memil’i ‘ombinasi jang coe’oep
bagoes.”
“Yah, itu benar.”
Lizard Priest menggigit kaki
babi hutan yang dia pegang dengan kedua tangannya, sementara Dwarf Shaman
mengelap sedikit anggur yang tertumpah pada ujung jenggotnya. Dia menuangkan
anggur dari dalam botol menuju gelasnya dengan bunyi gluk, gluk, kemudian meminum gelasnya yang penuh akan anggur. Dia
meneguknya dengan satu tegukkan dan bersendawa.
“Nggak cukup pemain garis
depan, nggak cukup di garis belakang, nggak cukup koneksi untuk mendapatkan
perlengkapan dan barang. Mengeluhkan semuanya, maka kamu akan punya banyak hal
untuk di keluhkan.”
“Benar se’ali, benar
se’ali.” Lizard Priest berkata, menepuk lantai dengan ekornya. “Seboeah party
dengan tiga penggoena sihir meroepa’an seboeah ber’ah.”
“Jujur saja, ini memang
sedikit mengejutkan.”
“Ma’soed anda...?”
“Kamu.” Dwarf yang berwajah
merah menjulurkan gelas kosongnya mengarah pada Lizard Priest. “Pada
awalnya...Aku kira kamu mungkin nggak akan setuju membentuk sebuah party dengan
cleric lainnya.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Oh,
master pembtja mantra. Saja tida’ a’an pernah mengetahoei apa lagi jang anda
a’an ‘ata’an beri’oetnja.” Lizard Priest tertawa girang. Telah selesai memakan
dagingnya, dia mengunyah tulang kaki itu, menunjukkan taringnya yang tajam. “’Bangsa
‘ami berasal dari deboe laoetan, oleh ‘arena itoe saja merasa tida’ ‘eberatan
perihal ‘etoeroenan ti’oes jang memimpin ‘ita.” Mungkin efek alkohol telah
berkurang, karena Dwarf Shaman terlihat lelah seraya Lizard Priest memutar
matanya senang. “Saja bertjanda, saja bertjanda.”
“Sayangnya nggak terlalu
lucu bagiku.” Dwarf Shaman berkata, menepis candaan sang lizard.
“Yah, setiap orang memiliki
keyakinannya sendiri. Kalau setiap orang selalu berdebat ketika munculnya
perbedaan, maka itu semua nggak akan ada habisnya.”
“Namoen pembang’ang agama dan
pengi’oet ‘e’atjaoean tentoenja berbeda, benar...?”
“Itu sudah pasti. Mereka
harus di bunuh sampai nggak tersisa satupun.”
Kepala Lizard Priest
mengangguk dengan penuh keseriusan; sulit untuk mengetahui seberapa seriusnya
Lizard Priest.
Dwarf Shaman mendorong
piring kosongnya, memanggil pelayan untuk memesan beberapa daging, dan menopang
dagu dengan tangannya.
“Aku penasaran—kamu pernah
dengar rumor tentang lizardmen. Mereka semua kidal, atau jantung mereka ada di
sebelah kanan. Apa itu benar?”
“Hmm Saja tida’ dapat
membitjara’an leta’ jantoeng saja, tetapi oentoe’ tangan saja, ambidextrous.”
Rumor tentang para semua lizardmen adalah kidal di karenakan tangan kiri sang
dewalah yang menciptakan mereka, tampaknya, tidak masuk akal. (TL Note :
ambidextrous artinya dia bisa pakai tangan kanan dan kiri.)
Lizard Priest membuka kedua
telapak tangan bercakarnya. Kemudian menjentikkan lidahnya seakan dia sedang
teringat oleh sesuatu.
“Saja dengar bangsa dwarf dapat
terbang, dari wa’toe ‘e wa’toe.”
“Selama kami punya anggur,
nggak ada yang nggak bisa kami lakukan. Anggur dan makanan enak!”
Dwarf Shaman mengatakan hal
yang sama beberapa bulan yang lalu dan menyeringai.
*****
“Kalau kamu punya anggur,
nggak ada yang nggak bisa kamu lakukan. Anggur dan makanan enak!”
Seperti kebanyakan petualang
lainnya, party mereka terbentuk di dalam rumah makan. Namun, pada mulanya,
hanya terdapat tiga orang, dan sebelumnya lagi, hanya satu orang.
Angin berhembus melewati
kanal, membuat udara terasa sejuk seraya melewati pintu. Adalah senja, dan
rumah makan kota air sangatlah riuh dengan suara gelas-gelas yang bersulang.
“Tapi paman! Apa kamu pikir
itu nggak terlalu berlebihan, bahkan bagi keponakkanmu?”
Dwarf Shaman terdengar tidak
senang. Dia melipat tangannya dan memutar punggungnya.
Di seberangnya ada seorang
dwarf lainnya dengan otot yang lebih padat, jenggot yang lebih tebal, dan
keriput yang lebih banyak dari dirinya, meminum bir dengan ekspresi yang tidak
berubah. Di kursinya terdapat sebuah palu perang yang telah sering di gunakannya,
bersama dengan sebuah pengait. Dia adalah seorang shield breaker. Wajah muram
dwarf veteran itu, cangkir berada di depan wajahnya, berbicara dengan sangat
serius tentang keadaan yang sedang terjadi.
“Biarpun begitu—dengar. Saat
ini, Cuma kamu yang bisa aku panggil.”
“Tapi walaupun itu dari kamu
paman—benar-benar nggak ada yang bisa aku lakukan.” Dwarf Shaman meneguk bir
miliknya dan menatap pamannya.
Keriput di wajah dwarf itu
semakin bertambah dari sebelumnya, dan kepalanya semakin menjadi botak. Dwarf
itu benar-benar sudah menua. Sangatlah di menegerti. Bahwa salah satu pemuda di
dalam sukunya yang telah pergi mempelajari sihir, sekarang berprilaku layaknya
pemberontak.
Tapi
biarpun begitu...ini!
“Pergi berpetualang dengan
seorang elf?” Dwarf Shaman berkata. “Yang di pilih secara langsung dari
pemimpin mereka atau raja mereka atau apalah?”
“Ya.”
“Tinggi dengan tubuh indah,
sok-sok bangsawan—selalu bermandikan keindahan—dan oh, begitu rapuh.”
“Kurang lebih.”
“Proklamator elegan, penyair
kelas atas, dan berkah dewa dalam hal memanah?”
“Yah, aku belum pernah
bertemu yang seperti itu...”
“Gaaah!” Mustahil, aku nggak mau! Dwarf Shaman
mengayunkan tangannya menolak. Dia tidak bercanda. “Aku nggak akan bisa
bernapas di sekitar orang seperti itu. Aku bisa mati sesak napas!”
“Dengar, dasar egois...”
“Paman bilang dunia sedang
dalam bahaya? Aku akan membantu dengan
senang hati—tapi nggak dengan seorang elf!”
Kemudian itu terjadi. Sebuah
gelas datang terbang melintasi udara, menumpahkan anggur di jalurnya, dan menghantam
kepala belakang paman Dwaf Shaman.
“Hei! Kamu katakan itu
sekali lagi!”
Dari belakang pamannya yang tertunduk
di atas meja dan menggosok kepalanya, datanglah sebuah suara bening nan berani,
Dwarf Shaman mendengak dan melihat gadis elf bermata tajam, tangan di
pinggulnya dengan posisi mengancam. Gadis itu memang benar terlihat anggun,
langsing dan cantik—dia menggunakan pakaian berburu yang ketat, telinga
panjangnya mengepak penuh semangat. Seseorang mungkin tidak dapat menerka jika
hanya mendengar dari suaranya, namun telinga gadis itu lebih panjang di banding
kaum elf lainnya, adalah sebuah bukti bahwa dia merupakan keturunan high elf
kuno.
Memperkirakan terjadinya
pertarungan, Dwarf Shaman mengambil kapaknya, dan akan dengan senang hati untuk
ikut bertarung, namun seorang padfoot berwajah anjing mengatakan, “Aku akan
mengatakannya sebanyak kamu mau!”
Kulit berbulu padfoot
membuatnya sulit untuk menerkanya, namun jika di lihat dari dadanya yang
timbul, kemungkinan padfoot itu adalah seorang wanita. Dan suara tinggi
kasarnya membuatnya terdengar seperti, dalam bahasa manusia, seorang remaja.
Kemungkinan bukan seorang perualang. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang
bagus, gerakannya sangat lihai—adalah tanda latihan yang di jalaninya.
Kemungkinan seorang prajurit. Dia mengelap anggur yang menetes dari kepalanya
dan mendengus.
“Para elf itu Cuma mengurung
dirinya di dalam hutan, menghiraukan semuanya dan segalanya—dan di tambah lagi
mereka itu kikir!”
“Akan ku tunjukkan sama kamu
elf yang sesungguhnya!”
High Elf Archer mendesis
layaknya seekor kucing dan lompat menerjang prajurit berwajah anjing. Meja
terlontar dengan suara benturan, gelas anggur terbang, piring-piring
berserakan. Para peminum yang mabuk mengelilingi mereka dan mulai bertaruh.
“Uangku untuk elf itu.”
Nggak, untuk padfoot itu.” “Tapi kaum elf itu rapuh sekali.” “ Yeah, tapi kaum
padfoot itu sangat bodoh.”
“...Dasar tukang cari
masalah.” Aduh, sakitnya. Dwarf
Shaman mengangkat bahunya melihat pamannya, yang sedang menggosok kepalanya dan
menggerutu.
“Sedikit nggak biasa, untuk
seorang elf.”
“...Apa kamu keberatan kalau
rekanmu seseorang seperti dia?”
“Hrm. Yah, aku rasa para
petinggi elf yang sok-sok bangsawan itu nggak akan memilih seseorang seperti
dia.”
Seraya dia bergumam, Dwarf
Shaman menggapai sebuah piring. Dia mengambil beberapa kacang kering, tidak
mempedulikan anggur yang terciprat di kacangnya, dan memasukkannya ke dalam
mulutnya, mengunyah dengan berisik.
Di sampingnya, pamannya
menghela. “Mereka sudah membuat keputusan,” dia berkata. “Dan mereka memilih
gadis itu.”
“Apa?”
“Lihat deskripsi pribadi
miliknya.”
Pamannya mengeluarkan sebuah
kertas kusam dari tasnya dan memberikannya kepada Dwarf Shaman. Dwarf Shaman
membukanya dengan jari gemuk miliknya, kemudian membacanya seraya melihat
perkelahian yang berlangsung.
“Ahh... si dada papan
itu...?”
Jika para elf yang angkih
itu telah memilih dia, maka tidak ada alasan untuk meragukan kemampuannya.
Bangsa elf membenci para
dwarf, namun pada waktu yang sama, Bangsa Dwarf juga membenci mereka.
Tapi
dia gadis kecil.
Gadis itu meneriaki
ejekan-ejekan pada prajurit berwajah anjing, mereka berdua saling menarik
masing-masing rambut dan bulu. Bangsa elf tidak serta-merta menganggap umur itu
tidak penting, namun Dwarf Shaman ingin mengetahui apa gadis itu belum mencapai
seratus tahun.
“Tapi...” Entah itu sepuluh
tahun—atau bahkan seratus—gadis inilah yang akan menjadi rekan seperjalanannya.
“...Aku rasa kita akan terluka kalau mencoba melerai perkelahian itu.”
Seraya dia membelai
jenggotnya dan berpikir tentang apa yang harus di lakukan, mata Dwarf Shaman tertarik
menuju pintu rumah makan.
Sebuah bayangan besar
berdiri di sana.
Bayangan itu sangatlah besar.
Sama besarnya dengan batu di pegunungan. Gerakannya begitu lebar, begitu pula
rahangnya.
Sekarang, dari manakah asal
pakaian itu? Ah, benar. Hutan lebat di bagian selatan.
Lizardman itu memperhatikan
keributan yang terjadi dan memutar mata di kepalanya. Dia memasuki rumah makan
dengan gerakan sigap dan pergi menuju meja bar, tidak mempedulikan tatapan yang
dia dapat di sekitarnya. Dia tidak berusaha duduk di sebuah kursi, mungkin di
karenakan ukuran tubuhnya yang besar, atau
mungkin di karenakan ekornya yang terseret di lantai.
“Mohon maaf, saja sedang
menoenggoe seseorang. Di’arena’an saja tida’ mengetahoei ‘apan mere’a a’an tiba,
saja moeng’in a’an berada di sini dalam wa’toe jang coekoep lama.”
Suaranya begitu rendah seperti
sebuah batu. Sangat menakjubkan bahwa lidah panjang miliknya dan bergerak mengucapkan
bahasa umum dengan sangat mudah.
“Uh, baik,” sang pemilik
berkata dengan anggukkan canggung.
Sang Lizard menjawab dengan “Terima
‘asih,” dan mengangguk. “Saja sedang menanti seorang dwarf dan seorang elf.
Djika ada petoealang jang anda kenal memili’i ‘riteria jang sama dengan jang
saja cari, moeng’in anda bisa memberi tahoe saja.”
Mendengar ini, Dwarf Shaman
melirik kepada pamannya, yang berkata dengan tenang, “Aku memang mendengar ada
seorang lizardman yang akan meminjamkan tenaganya membantu.” Ucapannya
terdengar seperti dia sendiri tidak bisa mempercayainya.
“Ayolah paman, apa paman
tidak mengetahui wajahnya?”
“Biarpun mereka memberikanku
deskripsi wajahnya, aku tetap nggak bisa membedakan perbedaan wajah para
lizardmen.”
“Benar juga.”
Kaum Lizardmen, yang telah
menyatakan diri mereka adalah keturunan dari seekor naga menakutkan yang
merayap keluar dari laut, adalah petarung terkuat yang bisa kamu temukan di
dunia ini.
Mereka adalah musuh yang
dapat membuat darahmu menggigil. Mereka membunuh musuh mereka, membantai
mereka, memakan hati mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka sangatlah
barbarian, dan bahkan terdapat beberapa lizardmen—konon—yang bersekutu dengan
Kekacauan.
Namun, lizardman satu ini
kemungkinan berada di sisi Ketertiban.
Tetapi, walaupun begitu...
“Ahh, dan seboeah santapan,
dji’a anda tida’ ‘eberatan.” Lizard Priest mengangkat satu jari bersisik
miliknya, dia masih tetap berdiri di depan meja bar; kemungkinan di karenakan
ekornya yang menghalangi ketika dia berusaha untuk duduk. “Ketika matanya
berputar dan rahangnya terbuka, dia mengucapkan sebuahnkalimat dengan ringan.
“Soenggoeh di sajang’an, saja tida’ membawa oeang, ‘arena itoe saja a‘an membajar
anda dengan be’erdja—mentjoetji piring ataoe memotong kayoe ba’ar. Anda tida’
‘eberatan?”
Dwarf Shaman tiba-tiba
tertawa, dia meneguk anggurnya, menepuknperutnya, dan tertawa terbahak-bahak.
Dia tertawa hingga Lizard Priest memutar leher panjangnya untuk melihat asal
suara itu, dan kemudian dwarf itu kembali meneguk anggurnya.
“Hei, Scaly!” dia memanggil
kepada Lizard Priest. Dwarf Shaman batuk, kemudian mengelap anggur dari
jenggotnya dengan satu tangan. “Kamu lihat gadis telinga panjang yang kelahi di
sana? Coba tarik lehernya dan giring ke sini.”
Dwarf Shaman tertawa,
menunjuk pada elf itu yang sedang bergelut dengan padfoot, tidak menyadari apa
yang sedang terjadi di sekitarnya. Saat ini padfoot sedang menjambak rambut elf
itu dan bergerak mencari posisi yang menguntungkan. Tangan dan kaki dan kuku lompat
kesana kesini. Harga diri bangsa elf sudah tidak ada lagi di dalam dirinya. Dia
hanya seorang anak kecil yang sedang berkelahi.
“Kamu lakukan itu, dan aku
akan mentraktirmu semua anggur dan daging yang kamu mau.”
“Oh-ho!” Ekor Lizard Priest
menepuk lantai dengan keras. Sang pemilik rumah makan mengernyit; begitu pula
paman Dwarf Shaman. “Bai’lah, saja a’an mela’oe’annja. Saja sangat berterima
‘asih. Ah, kebadji’an a’an selaloe di balas dengan kebadji’an.”
Dengan segera Lizard Priest,
melompat masuk ke dalam keributan dengan kecepatan yang sulit di percaya
mengingat besar tubuhnya. Di samping, Dwarf Shaman menyeringai lebar melihat
kekacauan yang terjadi di rumah makan, pamannya menggerutu. Perutnya tampak
sakit. Bahkan segelas anggurpun tampaknya tidak dapat menghilangkan rasa sakit
di perutnya.
Kemudian, pria yang telah
menjadi shield breaker di dalam tentara bangsa dwarf selama lebih dari sepuluh
tahun berkata, “...Aku permisi dulu, aku akan kembali ke unitku.” Dia pergi
meninggalkan beberapa koin emas di meja dan melompat turun terhuyung dari kursi
yang di buat dengan ukuran tinggi manusia.
Dia tidak dapat memutuskan
apakah bijak untuk menyerahkan nasib akan bangsanya di tangan party
ini—termasuk keponakannya.
Oh,
dewa...
Seraya dia melangkah menjauh
dari rumah makan, kepala shield breaker tua itu di penuhi oleh suara dadu yang
berguling.
*****
“....Mau apa kamu?”
Rambutnya berantakan,
pakaiannya kotor, pipinya sedikit membengkak, dan dia membelakangi Dwarf Shaman
dengan ekspresi jijik. Dwarf Shaman tersenyum ceria mendengar suara pertama
yang keluar dari bibir high elf ini.
“Siapa, aku? Aku kira kita
akan membicarakan soal pekerjaan.” Dia menyeringai dan menggosok kedua tangan
tebalnya bersama. Fsh-fsh-fsh.
Kalau
saja setidaknya dia duduk menghadapku seperti orang dewasa, aku baru merasa dia
akan mendengarkan ucapanku.
Perkelahian tentunya sudah
merupakan hal biasa layaknya sebuah roti dan mentega di rumah makan ini, karena
atmosfir suasana rumah makan telah menjadi santai kembali, percakapan dan
perbincangan kembali berlanjut.
Padfoot yang mengalami
banyak luka lecet sedang berada di sebuah kursi di pojokan, terlihat tidak
senang dan mengunyah sebongkah daging. Setelah perkelahian itu berhenti dengan
sendirinya, para penjudipun kembali duduk ke tempat mereka masing-masing.
“Hmm, dji’a seperti itoe,
ada sesoeatoe hal penting jang haroes saja tanja’an ‘epada anda terlebih
dahoeloe.”
Ketertiban yang telah
kembali di rumah makan adalah sebagian di karenakan peran sang lizardman, yang
sekarang telah duduk di atas sebuah drum anggur sebagai penggantinkursi.
Merupakan pemandangan yang tidak biasa melihatnya mengangkat elf dan padfoot dari
kerah leher mereka dan memisahkan mereka, namun itu juga merupakan sebuah hasil
yang tidak di duga oleh para penjudi yang bertaruh. Oleh karena itu hanyalah pengepul
judi yang mendapatkan keuntungan, dan rhea itu berkeliling bar dengan riang
mengayunkan anggurnya.
“Dan itu Scaly?”
Lizard Priest mengeluarkan
suara “Mmm” dan mengangguk muram. “Dapat’ah ‘ita memisah’an biaya ma’anan ‘ita
dari hadiah jang ‘ita dapat’an dari qoeest ini?”
“Tentu saja,” Dwarf Shaman
berkata dengan belaian jenggotnya dan tersenyum. “Kita akan berikan tagihan
makanan kita pada pamanku.”
“Terima ‘asih banja’” Lizard
Priest berkata, kemudian membuka rahangnya lebar dan membenamkannya pada
sebongkah daging besar yang berada di meja.
High Elf Archer
memperhatikannya, masih menggembungkan pipinya. “Jadi,” dia bergumam, “Pekerjaannya
seperti apa? Walaupun aku sudah mendengar dasarnya sih.”
“Ah, ya. Tentang itu,” Dwarf
Shaman mengangguk, mengambil sebuah gelas, dan
menghabiskannya. Kemudian menggunakan wadah kosong itu untuk menyingkiran
beberapa piring dan membuat sebuah ruang di meja. “Kamu tahu pertarungan yang
sedang terjadi di Ibukota dengan Demon Lord atau apalah itu?”
Merupakan sebuah pertanyaan
retoris. Dia mengeluarkan sebuah gulungan dari dalam tasnya dan membukanya di
atas meja. Gulungan itu telah di gamabr menggunakan getah pohon. Gambaran
abstrak namun tepat seperti peta kaum elf. Gulungan itu menggambarkan sebuah
bangunan kuno tepat di tengah-tengaj lahan gersang.
“Ketika dewan perang baru
saja akan di panggil, mereka baru menyadari adanya banyak goblin yang tinggal
di belakang bangunan ini.”
“Sarang goblin, itukan
sebutannya?”
“Ya, dan cukup besar juga.”
Di
sini. High Elf Archer melihat di mana Dwarf Shaman
menunjuk dan berkedip. Sang elf melihat sebuah simbol pada bangunan kuno di tengah
lahan gersang, kemudian pada hutan yang tidak jauh dari tempat itu.
“Hei—itu rumahku!”
“Mm. Ini mendjelas’an alasan
mengapa anda berada di sini...”
Lizard Priest menggigit
daging dari tulangnya, dan mengunyah beberapa kali, dan menelan sebelum berbicara
kembali.
“...Apa’ah ini jang anda
seboet sebagai politi’?”
“Benar.” Dwarf Shaman
mengangguk sigap. Yah, ini benar-benar kekacauan yang biasa. Salah satu dari
mereka yang berada di sini bertujuan untuk memuaskan derajat seseorang. Dia
dapat mencium masalah yang akan datang. “Pamanku memang mungkin menganggap ini
berlebihan, tapi kita nggak bisa membiarkan manusia duduk diam begitu saja
sementara pasukan kita bergerak.”
“Apa’ah rhea dan padfoot
tida’ termasoe’?”
Telinga High Elf Archer
berkedut mendengar kaum hewa yang di singgung. Prajurit berwajah anjing yang
berkelahi dengannya telah di seret oleh atasannya yang telah datang ke rumah
makan. Seraya petugas itu di menggiring prajurit bermuka sedih itu, High Elf
Archer berpikir apakah perlakukan seperti itu merupakan pemandangan
sehari-hari, ataukah sudah memang sifat alami kaum anjing yang tidak bisa
melawan atasannya?
Apapun itu, kota air adalah
kota yang indah, dan mereka tidak merasa terancam sama sekali.
“Aku rasa kita nggak bakal
bisa mengharapkan bantuan dari mereka.”
Terdapat beberapa individual
kaum rhea yang berprestasi, namun ini tidak mencakup hingga clan mereka ataupun
administrator mereka, mereka menyukai kedamaian dan keheningan, dan mereka tidak
memiliki sedikitpun ketertarikan dalam hal lainnya jika itu tidak menyangkut
tanah air mereka secara langsung.
Padfoot tetap saja padfoot;
mereka sangat beragam sehingga sangat sulit untuk dapat mempersatukan mereka
semua. Jika mereka bersatu, tergantung dari siapa yang memimpin mereka, keadaan
dapat menjadi buruk. Ini kenyataan, bahkan jika mengenai perihal kebangkitan
Demon Lord dan peperangan melawan semua yang dapat berbahasa di benua ini. Memang
benar, jika bahaya sudah mulai cukup dekat, mereka akan bersatu dan berjuang...
“Permasalahan kita lainnya
adalah, bagaimana cara agar manusia mau bergabung dengan kita.”
“Ah! Aku tahu manusia yang
bagus.” High Elf Archer mendengak setelah melihat peta. Dia mengangkat jari
panjang kurusnya, menggambar lingkaran di udara. “Dia di sebut Orcbolg. Seorang
warrior yang membasmi goblin di perbatasan.”
“Apa, maksudmu Beardcutter?”
“Iya. Kalian para dwarf
mungkin nggak mengetahuinya, tapi sekarang ada satu lagu tentang dia yang
sedang populer.”
High Elf Archer sebenarnya
tidak mengetahui apakah lagu itu populer atau tidak, namun dia membutuhkan
sebuah kesempatan untuk dapat tampil cerdas.
Raja
goblin telah kehilangan kepalanya dengan serangan kritikal di momen genting!
Api
membara, baju besi Goblin Slayer berkilau dalam kobaran api
Dengan
demikian, rencana jahat raja goblin telah sirna, dan permaisuri cantik telah
terselamatkan oleh temannya.
Tetapi
dialah Goblin Slayer! Tidak memiliki tempat, bersumpah untuk berkelana tanpa
seseorang di sisinya.
Hanyalah
sebuah harapan kosong yang di temui oleh permaisuri yang berterima kasih—kala
Goblin Slayer telah berpaling, tanpa menoleh ke belakang.
Seraya dia telah selesai
bersenandung irama, dia membuat gerakan bangga dan membusungkan dada kecilnya.
“Kamu nggak tahu lagu itu
karena selama ini kamu selalu hidup di bawah batu. Dwarf memang selalu seperti
itu.”
“Ucapan yang berani dari
seseorang yang selalu mengurung dirinya sendiri di dalam hutan.”
Dwarf Shaman memberikan
tatapan masam seraya High Elf Archer mengepak telinganya puas.
Aku
rasa lagi itu tidak sepenuhnya benar. Melodi
para penyair selalu menceritakan hal yang terbaik.
“Tetapi, ahh, ahem.”
Gadis elf bertelinga panjang
ini pastinya seorang scout atau ranger. Sang lizardman adalah seorang priest...kemungkinan
semacam warrior-monk. Dirinya mengetahui beberapa sihir tentunya, dan dia juga
memahami cara menggunakan senjata. Namun mereka tidak memiliki petarung yang
cukup.
Dia tidak bisa memastikannya
sebelum dia dapat bertemu dengan pria itu, namun terdapat lagu yang mmenceritakan
kisah pria ini. Sangatlah wajar untuk berasumsi bahwa pria ini mempunyai
kemampuan yang cukup tinggi.
“...Aku rasa dia cukup
bagus.”
“Hadiah a’an di bagi setjara
merata. ‘emoedian, apa’ah ‘ita setoejoe oentoek mengadja’ toeankoe Goblin
Slajer bergaboeng dengan ‘ita?”
Lizard Priest melihat
partynya dengan memutar mata. Dwarf Shaman dan High Elf Archer mengangguk.
Melihat itu, lizardman
berkata, “Dji’a begitoe, mari ‘ita memboeat rentjana,” dan menyentuh ujung
hidung dengan lidahnya.
“Pertama, kota ini,” Dwarf
Shaman berkata, melirikkan matanya di atas peta. “Ada di kota mana dia tadi
kamu bilang?”
“Yah, uhh, Aku tanya sama
penyairnya, dan...” Jari pucat High Elf Archer menelusuri peta. Akhirnya
menemukan kota perbatasan, dan dia mengetuk tempat itu dengan jarinya yang
lentik. “Mungkin di sekitar sini?”
“Tampa’nja tida’ terlaloe
djaoeh. A’an tetapi... walaoepoen begitoe.” Lizard Priest tampak sangat serius
seraya dia memperhatikan peta. “’ita akan mengoesi’ rentjana moesoeh ‘ita. Saja
pertjaja bahwa moesoeh ‘ita tida’ a’an tinggal diam.”
“Hmm? Maksudmu kita akan di
serang di tengah-tengah petualangan kita?”
“Mari ‘ita rampoeng’an ini
se’arang djoega oentoe’ menghindari ‘emoeng’inan itoe. Sebeloem mere’a dapat
mengoempul’an pasoe’an mere’a.”
“Serahkan saja sama kami!” Bop. High Elf Archer menepuk dada
kecilnya dengan kepalnya. “Takdir dunia sedang terancam? Itulah di mana
petualang dapat melakukan pekerjaannya!”
“Hei, sudahlah,” Dwarf
Shaman tertawa kecil. “Kamu sadar ini bukan permainan kan?”
“Aku tahu. Tapi aku nggak
tahu tentang dwarf, tapi para elf selalu menggunakan busurnya untuk menjaga
dunia tetap aman.”
“Oh-ho. Jadi begitu.” Mata
pembaca mantra sedikit melebar, dia membelai jenggotnya dan menghela. “Jadi supaya
taali busurmu nggak terhalang waktu di tarik, dadamu jadi papan begitu?”
“Papan?”
“Keras...dan datar.”
“Ka-kamuuu—!”
Rasa malu dan marah mengirim
darah menuju pipi sang archer. Terdengar suara hentakkan seraya dia berdiri
dari kursinya dan menopang tubuhnyanya di atas meja dengan kedua tangan.
“Berani sekali! Kalian
juga—uhh, um...” Dia tidak bisa melanjutkan perkataannya, mulutnya terbuka dan
tertutup. Telinganya naik dan turun, dan jarinya berdansa di udara tak berarti.
“O-oh iya! Perut itu! Bahkan drum lebih kelihatan kurus dari perutmu!”
“Asal tahu saja ini apa yang
kami sebut tubuh proposional! Seorang dwarf lebih menyukai tubuh seperti
ini...” Dwarf Shaman berkata, kemudian belirik elf itu dari ujung matanya.
“...Nggak peduli seperti apa bentuk tubuh yang di senangi kalian para elf.”
Mustahil bagi High Elf
Archer untuk tidak menyadari tatapan Dwarf Shaman pada dadanya. High Elf Archer
melipat tangannya dengan mendengus, membuat rasa senangnya sangat tampak jelas.
“Aku selalu tahu kalau
kecantikkan darinsudut pandang kalian dwarf itu selalu aneh!”
“Siapa ya yang datang untuk
membeli produk metal kami? Oh benar. Kalian para elf.”
“Memangnya kenapa?!”
Dan merekapun bertengkar.
Orang lain yang berada di rumah makan ini memperhatikan persaingan kuno dari kedua bangsa ini tepat di depan mata
mereka. Dan dengan cepat atmosfir kembali berubah. Perdebatan dan perkelahian
selalu menghasilkan uang.
“Lima silver untuk dwarf
itu!” “Satu koin emad untuk elf itu!” “Ayo maju, gadis!” “Hajar dia, pak tua!”
Lizard Priest menggeleng
kepalanya dan menghela. Kemudian mengeluarkan desisan lantang. Pada sensasi
mengerikan seperti yang di keluarkan seekor reptil ketika sedang berburu, kedua
petualang ini menutup mulutnya. Lizard Priest mengangguk.
“Mm.”
Bagus.
*****
Kereta kuda melewati
gerbang, terselubung kegelapan malam. Pada saat jam seperti ini, siapapun
terkecuali para petualang akan merasa lebih aman jika berpergian dengan sebuah
karavan atau semacamnya. Namun mereka bertiga sudah tidak memiliki banyak waktu
lagi, dan keadaan telah memaksa mereka.
Kendaraan yang mereka
gunakan juga tidak begitu bagus, hanya sebuah pengangkut muatan yang sedikit di
modifikasi. Dan kuda mereka pun juga standar saja...yah, mungkin sedikit di
bawah standar. Dwarf Shaman dan Lizard Priest berada di depan memegang tali
kuda. Sedangkan High Elf Archer memperhatikan langit, dengan busur di tangan.
Berkendara dengan kereta
kuda tentunya lebih cepat di banding dengan berjalan kaki, namun lebih lambat
dari seekor kuda yang berlari. Dwarf Shaman tidak merasa senang dengan situasi
ini. Dia ingin mendapatkan kendaraan dan kuda terbaik. Namun biaya yang telah
di dapatkan dari pamannya sangat terbatas, begitu pula waktu mereka.
“Dan terlebih lagi, kita
harus pelan-pelan. Merepotkan sekali.”
“Harap di ingat bahwa ‘ita
tida’ memili’i dana oentoe’ mengganti ‘oeda ‘ita di tengah-tengah djalan.”
Duduk di samping Dwarf Shaman, Lizard Priest menjawab komentar Dwarf Shaman.
“Dan dji’a anda mempertimbang’an masalah jang a’an timboel dji’a ‘ita pergi
terboeroe-boeroe dan menari’ perhatian tamoe jang ta’ di oendang, bisa di
bilang bahwa tjara ini lebih tjepat.”
“Tamu nggak di undang?” High
Elf Archer memiringkan kepalanya, mengepak ujung telinganya mengarah kursi kusir.
“Ma’soed saja adalah bandit
ataoe sematjamnja.”
“Hmm...”
Wajah High Elf Archer
mengernyit mendengar jawaban itu, tidak suka mendengarnya, Dwarf Shaman
menyadari perubahan ekspresi tipis sang elf dari ujung pengelihatannya dan berkata
jengkel.
“Kita bisa saja
menghadapinya kalau di kota, dengan bantuan gadis ini, tapi sekarang kita ada
di tempat terbuka.”
“’eti’a ‘ita telah berada
jaoeh dari ‘oeil Soepreme God, hanja tinggal masalah wa’toe hingga roh djahat a’an mengoesi’ ‘ita.” Lizard Priezt berkata.
“Apa kamu sedang
membicarakan apa yang mereka sebut berkah dewa? Dewa penempa kami hanya
memberikan kami keberanian dalam pertarungan...” Apapun itu, Dwarf Shaman
bergumam sebuah doa kepada Dewa agung Krome. Dia mengangkat bahunya dan
menggeleng kepala, berkata tanpa niat buruk, “Paling nggak harus berdoa agar
gadis elf kita nggak ketakutan di saat yang di butuhkan.”
“Hrk...!” adalah mustahil
bagi telinga elf itu untuk tidak dapat mendengar komentar Dwarf Shaman. “Lihat
saja nanti! Kamu akan sembah sujud berterima kasih sama aku kalau semua ini
sudah berakhir!”
“Ahh, iya, iya.” Dwarf
Shaman mengayunkan telapak tangannya. High Elf Archer mendengus marah dan
kembali menghadap ke belakang. Dwarf Shaman melihat langit. Langitnpenuh akan
bintang-bintang, dan dua bulannya. Bintang berkelip seolah seseorang telah
menebarkan berbagai macam permata di atas sebuah beludru hitam. Dua bulan bercahaya layaknya sepasang
mata, hijau dan dingin.
Mungkin di karenakan musim
panas yang semakin dekat yang menjadikan hawa udara lembab tidak seperti biasa
dan membuatnya sulit untuk bernapas.
“Andai ada angin sedikit...”
High Elf Archer bergumam. Dwarf Shaman merasakan hal yang sama, walaupun dia
tidak berkata apa-apa.
Party mereka telah tiba pada
sebuah lahan bumi yang tampak seperti desa yang telah di tinggalkan.
Runtuhan-runtuhan bangkai rumah di dalam sinar bulan menghasilkan bayangan di
jalanan. Bangkai akan desa ini telah di makan oleh waktu, dan di kuasi oleh
tumbuhan-tumbuhan yang merambat; bahkan pada siang hari-pun tempat ini tampak
sunyi. Sekarang, di malam hari, tidak akan mengejutkan jika kamu menemukan
hantu atau ghoul di sana...
“Hr-ah?”
High Elf Archer mengeluarkan
suara aneh. Dia melihat dari balik pundaknya, hidungnya kembang-kempis.
“Apa lagi sekarang? Mau
berhenti untuk mencium bunga kah? Hm?”
“Oh, diam. Ada bau yang
aneh...” High Elf Archer mengibas tangan di depan hidungnya, melirik di
sekitaran area dengan ekspresi penuh curiga. “Baunya agak...tebal, dan
menggelitik... Dan aku bisa menciumnya padahal nggak ada angin.”
“...Kemungkinan itu sulfur.”
“Ini sulfur?”
“Lebih tepatnya, semacam uap
yang bercampur dengan sulfur.”
Mereka semua memahami arti
semua ini. Mereka semua terdiam dan menelan liur secara bersama. Sang elf
mendengak ke atas, ekspresi cemas tergambar di wajahnya.
“Di atas kita!”
Tampak lebih terlihat
seperti mesin di banding makhluk hidup, dengan daging yang terbentuk seperti
manusia serangga. Tubuhnya merah, dan tanduk di kepalanya membuatnya terrlihat
seperti menggunakan topi. Seekor Red cap.
Sayapnya mengepak layaknya
kelelawar dan cakar kejam nan bengisnya dapat terlihat di kedua tangannya.
Sepasang demon rendahan. Ini
adalah pertemuan acak.
“Apa mereka mendekat?!”
teriak Dwarf Shaman, mencambuk tali kuda dan memaksa kuda untuk terus berlari.
Binatang itu menjerit, merasakan sesuatu yang tidak berasal dari dunia ini. Roda
kereta yang berdecit mulai berputar dengan kecepatan penuh seraya kuda berlari
kencang.
“Boeat ‘oedanja berlari
lebih tjepat...! Tida’, beri’an saja ‘endalinja. Anda persiap’an sadja mantra
anda!”
“Ambil!”
Melempar tali kuda pada
Lizard Priest, Dwarf Shaman berputar di kursinya. Tentu saja, dia berhati-hati,
memegang tali tas katalisnya agar tidak terlempar.
“Apa kita nggak bisa lari
darinya?” High Elf Archer berkata, menjilat lidahnya seraya busurnya bernyanyi
dengan panah yang tertarik.
“Aku nggak tahu, tapi—“
Dwarf Shaman berkata.
“’ita tida’ bisa membiar’an
adanja informasi jang botjor.” Lizard Priest berkata tenang dengan anggukan
dengan tenang, seolah dia sedang bersiap menyantap makan malamnya. “’ita haroes
memboenoeh mere’a di sini.”
Demon ite tampaknya memiliki
pemikiran yang sama. Dengan hentakkan angin, salah satu dari demon itu menukik
turun mengarah kereta kuda. Seraya seseorang berteriak karena demon itu
mengambil inisiatif terlwbih dahulu, terdengar benturan, dan pecahan kayu yang
terbang.
Demon itu telah menyayat
kereta kuda dari belakang, kuku miliknya sama berbahayanya dengan senjata
apapun.
“Ergh! Pfah!” Dwarf Shaman
menyapu serpihan kayu yang tersangkut di jenggotnya dan berteriak, “Kalau kamu
menghancurkan benda ini, kita yang akan kena imbasnya!”
“Saja a’an memasti’an ‘eselamatan
‘oeda ‘ita, ‘arena itoe anda tida’ perloe chawatir...” Lizard Priest membalas.
Serangan berikutnya datang
dari langit seraya mereka berbicara.
Serangan menukik turun,
sayap terlipat. High Elf Archer melotot; terdapat bulan di belakang makhluk
itu. Telinganya melompat, membaca arah angin, tali busurnya bernyanyi.
“Dasar makhluk bodoh dan
bau...!”
“AAARREMMEERRRR?!?!”
Jeritan mengerikan-pun
terdengar. High Elf Archer tidak melewatkan kesempatannya untuk menembak. Demon itu, tangannya
tertancap di kereta kuda dengan panah, menjerit kesakitan, dan kayu kembali
tercabik dengan cakarnya.
“Rasain kamu!”
Hal yang terakhir demon itu
lihat adalah seorang elf menarik busur tepat di depannya, sebuah anak panah bermata
tunas.
Tali busur itu mengeluarkan
suara yang memiliki keindahan layaknya alat music berkualitas tinggi; busur itu
menembakkan panah menembus mata demon dan masuk ke dalam otaknya. Leher makhluk
itu terdorong ke belakang oleh gaya tekanan hentakkan ith. Mayat itu terbujur
lemas, terseret di tanah mengikuti kereta kuda. High Elf Archer memberikan
senyuman senang atas pekerjaannya. “Satu sudah mati!”
“Kerja bagus! Tapi dia jadi
beban kereta kita, apa bisa kamu lepaskan dia dari kereta kita?”
“Yeah, baik...guh, apa?!”
Dalam sekejap, beberapa
helai rambut High Elf Archer tertangkap oleh sebuah cakar dan terbang berdansa
di udara. Monster lainnya telah menerjang ke bawah dan mengayunkan cakarnya
pada leher gadis elf itu. High Elf Archer terjatuh ke belakang, gemetar, masih
menggenggam batang panah yang baru saja dia keluarkan, pada saat yang sama,
demon yang telah mati terseret di tanah, memantul dengan suara gedebuk.
“Kamu ketakutan, kah?”
“Aku nggak takut, aku
marah!”
Dia menepis ejekan dari
Dwarf Shaman, yang menyiapkan tangannya di dalam tas katalis miliknya selama
ini, kemudian High Elf Archer melotot menuju langit. Dengan demon yang telah
terlepas dari kereta kuda, kecepatan mereka mulai meningkat kembali—namun masih
tidak lebih cepat di banding dengan makhluk bersayap.
“Dwarf!” High Elf Archer
berteriak tanpa mengalihkan pandangannya di langit. “Apa kamu nggak bisa
gunakan mantra untuk jatuhkan dia dari langit atau apalah?”
“Aku rasa aku bisa, banyak
cara yang bisa aku lakukan...” Dia menutup sebelah matanya dan melirik ke atas,
memperhitungkan kecepatan dan jarak mereka dengan musuh. Gelapnya malam tidak
berdaya di bawah terangnya rembulan dan bintang-bintang, dan lagipula bangsa
dwarf dapat melihat di dalam kegelapan dengan sangat baik. “Cuma biarpun aku
menjatuhkannya dengan mantra, dia akan segera naik dan terbang lagi.”
“Apa?! Pembaca mantra apaan!
Dasar dwarf bodoh!”
“Aw, jangan mengeluh,” Dwarf
Shaman berkata dingin, mengernyit. “Mereka nggak bergerak dengan hukum yang
sama dengan kami dwarf. Besi dan baja adalah cara untuk melawan mereka.”
“Ma’soed anda serangan fisi’.
Benar se’ali!” Memegang kendali kuda, Lizard Priest tersenyum dengan rahang besarnya
yang terlihat seperti seekor hiu. Tampaknya dia melakukan kalkulasi cepat,
kemudian mengangguk puas. “Master pembatja mantra, anda mengata’an bahwa anda
dapat menjatoeh’anja?”
“Aku rasa bisa,” Dwarf
Shaman mengangguk. “Tapi nggak bisa terlalu lama.”
“Djika begitoe master
ranger, tolong bidi’an panah anda tinggi...”
“Baik!”
Tanpa menunggu mendengar sisa
dari rencananya. High Elf Archer menembakkan panahnya tinggi di langit malam.
Tembakkannya sangatlah jitu seperti sihir, sebuah tembakkan yang hanya bisa di
hasilkan oleh para elf, namun demon itu dengan lincah menghindarinya.
“Aw, sial!” High Elf Archer
menjentikkan lidahnya dan memasang panah baru pada busurnya, menarik talinya.
“Se’arang,” Lizard Priest
berkata, menarik tali kudanya untuk memperlambat kecepatan. “Dapat’ah anda menemba’
machlu’ itoe dengan panah jang di i’at dengan tali?”
“Panah yang di ikat
tali...?!” High Elf Archer mengambil tali yang telah di lempar di dalam kereta,
mulutnya mengerucut seraya dia memperhatikan musuhnya yang masih berada di
langit. Monster berkulit merah itu terus mengepakkan sayapnya, mencari
kesempatan untuk menyerang para petualang. “Iya sudah, aku akan melakukannya!”
Tidak lama setelah dia
berbicara, dia mulai mengikat tali pada panahnya. Bahkan di atas kereta kuda
yang berguncang, jari elf lincah tidak mendapatkan kesulitan untuk mengikat
tali itu. Dia terus mengarahkan pandangan dan pendengarannya pada musuh,
tangannya bergerak seolah ada orang lain yang menggerakkannya. Mulutnya
berkata. “Kamu itu seperti jendral atau semacamnya.”
“Anda terlaloe belerbihan.”
Lizard Priest menggelengkan kepalanya. “Dji’a anda ingin membanding’an saja
pada sesoeatoe, ma’a saja seperti seboeah boeloe pada batang panah. Saja hanja
mengarah’an, saja tida’...” Sebelum dia melanjutkan, lidahnya menjulur dan
menyentuh hidungnya. “Hm,” Dia berpikir. ”Oentoe’ dapat berfoengsi sebagai
seboeah oenit, seseorang haroes mengoempoel’an mata panah, batang panah, boeloe,
boesoer, dan seorang pemanah.”
Ahh.
Higj Elf Archer tersenyum tipis. Itu adalah metafora yang
dapat dia mengerti. “Aku penasaran apa aku yang jadi ujung mata panahnya.
Ayolah dwarf, pastikan mantramu mengenai sasarannya!”
“Hmph! Ribut!”
Seraya Dwarf shaman
meneriaki balik High Elf Archer dan melihat musuh yang ada di atasnya, dia
menyadari sesuatu; sebuah titik cahaya merah di langit. Cahaya itu membara di
dalam mulut demon yang terbuka lebar...
“Awas Firebolt!”
“Ahh, se’arang!” Lizard Priest berkata riang, memberikan cambukkan pada
kendali kuda. Kuda itu memberikan jeritan ketakutan dan kebingungan, dan kereta
kuda mengarah pada arah yang baru, berdecit seraya berjalan.
Tidak lama kemudiam, sebuah
kilatan api menusuk pada tempat di mana kereta kuda sebelumnya berada, bara api
terbanb mengudara. Cahaya yang bersinar memantulkan wajah Lizard Priest yang
mengerikan.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-haaaa!
Se’arang baroe mendjadi menari’!”
“Ini kereta kuda, bukan
chariot, Scaly!” (TL Note : chariot = kereta kuda perang)
“Benar,” Lizard Priest
membalas, mengundang balasan “Sinting....” dari Dwarf Shaman seraya dia melihat
ke langit.
Demon merah itu tampak akan
melakukan serangan menukik lainnya, di karenakan mereka telah menghindari
firebolt miliknha.
Apa
kamu kira akan semudah itu?
Dwarf Shaman berteriak
seraya bayangan demon itu semakin mendekat.
“Pixies, pixies, cepatlah, jangan lama-lama! Tidak ada manisan
untukmu—aku hanya membutuhkan tipu muslihatmu!”
Kalimat penuh akan kekuatan
sejati mengalir untuk mengubah realita, dan lingkarang sihir mengenkang demon
itu.
Normalnya, makhluk itu tidak
akan bisa lepas dari cengkraman rantai gravitasi, tidak peduli seberapa kuat
dia mengepak sayapnya. Demon rendahan masih tetaplah seekor demon, monster ini
hidup untuk memutar balikkan hukum alam.
“ARREMERRRRERRRR!!”
Demon itu, yang sekarang
terjatuh ke bumi, melolong dan mengepak sayap sekuat tenaga, memecahkan
lingkaran sihir yang mengekangnya. Untuk membalas dendam kepada dwarf itu dan
lizardman dan elf itu. Pikiran akam darah dari elf kuno, aroma dari jantungnya,
sangatlah cukup untuk memicu keserakahan makhluk ini.
“Rasakan ini!”
Adalah sebuah panah dari elf
itu ya g telah memadamkan keserakahan makhluk it badanya mencondong keluar,
menumpukan dirinya pada ujung kereta kuda, dan menembakkan satu panah bermata
tunas kepada monster itu tanpa kenal ampun.
“AREEERM?!”
Menggeliat kesakitan, demon
itu tidak menyadari sebuah tali yang terikat pada panahnya. Dan dengan itulah kereta
kuda mempercepat lajunya dan menarik tali itu kuat.
Raungan dan keputus-asaan
yang menyedihkan, cukup untuk membuat darahmu merinding, bergema di keseluruhan
lahan.
Demon itu tidak pernah
menyangka akan di seret di belakang sebuah kereta kuda. Terdapat rasa iba
ketika melihatnya makhluk yang di ikat oleh para petualang, terpantul-pantul di
tanah seraya dia berusaha keras untuk terbang kembali.
Demon rendahan tergolong
kuat. Jika mereka bertiga tidak bisa mengatur posisi makhluk itu, tidak akan
lama bagi monster itu untuk menancapkan cakarnya di bumi, dan jika dia bisa
berdiri, maka dengan cepat dia akan kembali mengudara. Dan sekali dia
mengudara, maka akan sangat berbahaya.
“Apa selanjutnya?!” Teriak
High ElF Archer, menarik panah lainnya
dari tempat panahnya.
Lizard Priest berdiri.
“Tentoenja ‘ita la’oe’an serangan terachir.” Dia menggengam salah satu dari
katalisnya, sebuah taring, dan menekannya di antara telapak tangannya. “O sayap maha tajam velotjiraptor, robe’ dan
tjabi’, terbang dan berboeroe!” Sebuuah pedang taring tumbuh di tangannya.
“Bagaimana dengan kudanya?!”
Namun di saat High Elf Archer melirik ke belakang, dia melihat seekor
Dragontooth Warrior menggenggam erat tali kuda.
“Tunggu dulu, Scaly,” Dwarf
Shaman berkata, matanya melotot. “Apa maksudmu serangan terakhir? Ka-kamu nggak
bermaksud—“
“Melompat? Djangan bodoh.”
Lizard Priest menggelengkan kepalanya. “Itoe a’an sangat konjol.”
Dalam sekejap, kereta kuda
berguncang seraya Lizard Priest meloncat pada demon rendahan.
“O naga mena’oet’an! Sa’si’an amal hamba, wahai leloehoer’oe!”
“AREEEERMEEER?!?!”
Cakar, cakar, tarinh, ekor.
Dia menyerang dan menebas dan merobek setiap bagain tubuh demon seraya demon
itu menggeliat mencoba melawan. Rahang makhluk itu terbuka mencoba untuk
menembakkan firebolt, Namun Lizard Priest mmeraung—“Grrrryaaahhh!”—dan
mengarahkan tendangannya menuju tenggorokan makhluk itu, menghancurkan batang
tenggorokannya. Dan kemudian pedang taringnya mendapati kepala demon itu,
memotongnya dengan sangat mudah.
Kepala itu bergulung di
sekitaran tanah dan menghilang di rerumputan. Sisa tubuhnya, masih tersangkut
pada kereta kuda, mencipratkan darah biru keunguan. Lizard Priest berdiri di
atas bangkai itu, tampak cukup tenang walaupun dengan cipratan darah yang terus
membasahinya; dia mendengakkan kepalanya bahagia.
“Ahh, saja telah mendapat’an
pahala hari ini.”
Matahari mulai tampak
mengintip di horison, dan cahayanya menyinari sosok Lizard Priest yang sulit di
jabarkan.
*****
“Lihat ini. Bukannya kita
sudah setuju untuk tidak berhadapan dengannya?”
“Ah, ada ‘ala di mana darah
saja membara.” Setelah Lizard Priest menjawab, dia mengangkat sebongkah keju
dengan kedua tangannya. Dia membuka mulutnya dan menggigitnya, setiap gigitan
di iringi dengan teriakan akan “Madoe manis!” dan sebuah tepukan ekornya di lantai.
“’arena saja meroepa’an machloe’ berdarah panas.”
“Candaanmu itu nggak pernah
masuk akal bagiku,” Dwarf Shaman menggerutu. Dia melambaikan tangannya menyerah,
namun juga untuk memberi tahu pelayan bahwa dia ingin menambah bir putihnya.
Ketika minum dengan teman, Dwarf Shaman merasa mengisi perutnya sepenuh
yang dia mampu, merupakan tindakam yang
sopan.
“Jadi apa kita sudah
lengkap?”
“Apa ma’soed anda?”
“Panahmu. Panah dan busur.”
“Ahh.” Lizard Priest menelan
keju yang di kunyahnya dan menjilat remah-remah pada bibirnya. “Mata panah adalah nona ranger ‘ita , batang panah jang
mempersatoe’an ‘ita adalah anda master pembatja mantra, dan saja adalah
boeloenja...”
“...Busurnya gadis itu, dan
Beardcutter akan jadi pemanahnya—begitukah?”
“Benar, benar.”
Dwarf Shaman mengambil bir
putih yang telah di bawakan oleh pelayan,
memperhatikan Lizard Priest yang mengangguk dari ujung matanya. Dia membawa
gelas itu ke mulutnya dan meminumnya dengan sekali teguk.
“A’an tetapi bagaimanapoen
terkenalnja seorang pemanah, djika beliaoe hanja menemba’ langit, ada wa’toenja
di mana beliaoe a’an terloe’a.”
“Dan juga, kalau kita Cuma
berburu goblin, apa itu hal buruk atau bagus?” Dwarf Shaman, wajahnya merah,
bersendawa dan mengelap tangan pada jenggotnya.
“Apapoen itu...” Lizard
Priest memulai.
“Benar, bagaimanapun juga,”
Dwarf Shaman menyetujui.
“Ini adalah party jang
bagoes.”
“Benar sekali.”
Lizard Priest tersenyum
lebar pada rahangnya, dan Dwarf Shaman tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua
mengambil dua gelas baru yang telah di antarkan kepada mereka, dan bersulang.
“Untuk teman yang baik.”
“Oentoe’ re’an jang bai’
dalam pertempoeran.”
“Untuk petualangan!”
Ya,
ya! Pada saat gelas terangkat tiga kali, gelas
itu menjadi kosong.
Berapa
kali kita harus bertemu dan berpisah?
Beberapa
menghilang menjadi abu, seperti seharusnya
Dengan
harapan akan pertemuan kembali di setiap perjalanan baru di mulai
Layaknya
membalik sebuah halaman yang telah menjadi debu
Ingkatkah
seorang legenda yang berlatih bertahun-tahun yang lalu?
Siapakah
namanya? Sekarang aku tidak dapat mengingatnya
Kamu
terlambat menyadarinya, sekarang dia tidak ada di sini
Dan
walaupun kita bertemu dan berpisah
Setiap
pertemuan adalah sekali seumur hidup, itu saja.
Dengan itu malam semakin
larut untuk para petualang.
2 Comments
Next nya di tunggu min
BalasHapusok mas :)
HapusPosting Komentar