TUTORIAL
(Translater : Zerard)
“Dia pergi kesana!”
Sebuah suara, bening
layaknya sebuah lonceng, dapat terdengar bahkan di dalam sebuah badai salju
yang menyelimuti medan tempur.
Suara itu berasal dari
seorang wanita muda dengan mata biru berkilau dan rambut bergelombang indah
berwarna madu yang telah di ikat menjadi dua. Dia adalah seorang petualang,
namun kebangsawanan yang dia tunjukkan tidak akan terasa asing jika dia berada
di dalam sebuah pesta mewah.
Wajahnya, yang sebelumnya tertutupi
oleh dandan pada suatu titik dalam kehidupannya, kini telah terganti oleh
sebuah keringat yang mengalir walaupun dengan salju yang mengelilinginya. Sebuah
armor melindungi dadanya, sementara sebuah armor kulit melapisi pinggulnya yang
begitu kurus yang membuatnyantidak membutuhkan korset.
Sebuah pedang silver
berkelip di tangannya, sebuah warisan
keluarganya yang berharga. Pedang itu terbuat dari aluminium, ringan dan tajam,
di tempa oleh palu petir di atas sebuah permata merah.
Tusuk, tusuk, tangkis. Dia
akan mengulangi setiap gerakan yang telah dia pelajari, lagi dan lagi, dan
musuhnya tidak mempunyai sedikitpun harapan untuk dapat mendekatinya.
Di sampingnya, seorang
warrior wanita ikut terjun dalam aksi, berkata kasar namun dengan sedikit
keakraban.
“Aku tahu! Jangan sampai
kamu terpeleset dan jatuh di atas es!”
Itu merupakan sesuatu yang
masih belum pasti. Sang warrior wanita hanya menggunakan armor tipis, dan
sepasang telinga runcing yang menonjol dari balik rambutnya yang berwarna dedaunan
pada musim gugur.
Sang half elf mengusung
pedang tipisnya; pedang itu berkelip seraya dia bergerak dengan gerakan seperti
seorang penari. Gadis lainnya, Noble Fencer, telah menghabisi satu musuh, dan dia
tidak akan melewatkan kesempatan akan musuh yang telah menjadi ketakutan.
“ORARARARAG?!”
“GAROARARA?!”
Satu, kemudian dua akan
makhluk kecil menjijikkan yang mati, darah kotor menciprat dari dada mereka,
isi tubuh terpapar dinginnya udara.
Di keseluruhan dunia, tidak
ada satupun orang yang tidak mengenal monster ini. Makhluk-Tak-Berdoa dengan
kulit hijau gelap, gigi mengerikan, dan kecerdasan layaknya anak kecil yang
jahat. Monster terlemah yang berjalan di atas tanah: goblin.
Mereka dapat terlihat di
sini dan di sana di balik badainsalju, menggeram atau meneteskan liurnya.
Mereka tidak mengenakan apapun selain kulit binatang untuk menutupi tubuh
mereka; tidaklah jelas apakah ini di karenakan mereka tidak merasa terusik
dengan dinginnya suhu atau ksrena mereka tidak mengetahui cara yang lebih baik untuk
menghangati diri mereka sendiri. Untuk senjata mereka hanya membawa kapak batu
atau pentungan, bersama dengan tombak kasar yang terbuat dari tulang-tulang.
Namun walaupun begitu,
mereka tidak berusaha melarikan diri dari para petualang. Para goblin hanya
merasakan kebencian, kemarahan, dan birahi kepada mereka.
“Mereka ini menyedihkan,
lucu sekali,” Noble Fencer berkata dengan dengusan imut kecil.
“Heh-heh! Kerja bagus,
gadis-gadis!”
Sebuah suara terdengar dari
suatu tempat, terdengar santai, tidak terusik dengan salju yang semakin
mencambuk.
Suara ceria, hampir tak
berdosa itu membuat sang half elf mengernyit.
“Kita kesini bukan untuk
berbicara! Kerja!”
“Ya, ya.”
Tanpa adanya tanda atau
suara peringatan, sebuah belati muncul, membenam di antara celah rusuk goblin.
Sebuah tusukan dari belakang
menembus jantung. Mata makhluk itu terbelalak, dan mati.
Mayat itu tergerak dari
sebuah tendangan kecil dari belakangnya: mayat itu terjatuh ke depan, menunjukkan
seorang rhea scout kecil. Rhea itu menumpukan dirinya pada mayat itu dan
menarik keluar belati yang tertanam.
Namun tidak peduli seberapa
bodohnya para goboin, bahkan merekapun tidak akan melepaskan sebuah kesempatan
seperti itu.
“Hrgh?!”
“GORBBB!!”
“GROOOB!!”
Para monster mendekat,
mengandalkan jumlah mereka sebagai kekuatan, mengayunkan pentungan mereka.
Menjerit keras, sang reha scout melompat ke belakang.
“Jangan lengah di medan
tempur!” sebuah sosok kecil namun kokoh berdiri di depan scout untuk
melindunginya. Sang dwarf mengenakan pakaian monk dan memiliki tubuh seperti
batu yang kokoh. Senjata pilihannya adalah palu perang. Bongkahan metal itu
menghancurkan tengkorak goblin tanpa ampun, membuat cipratan otak terbang ke
segala penjuru, melepaskan jiwa kecil menyedihkan makhluk ini menuju kehidupan
berikutnya.
“Yah, Aku minta maaf banget,
Lord Monk!”
“Nggak usah di pikirkan,”
sang dwarf berkata, membersihkan sebuah bola mata dari palunya. “Hey, pembaca
mantra. Mereka masih ada satu atau dua di kejauhan sana.”
“Tentu saja. Saya dapat
melihat mereka dengan sangat jelas.”
Jawaban itu berasal dari
seorang wizard paruh baya yang menggunakan jubah putih murni. Sebuah senyum terlihat
di wajah manusia itu seraya dia membelai dahinya sendiri seolah ingin
menunjukkan pengetahuannya yang berlimpah. Sebuah tangan muncul dari
balikmjubahnya, dengan cepat membentuk sebuah tanda, seraya dia mengangkat
tongkatnya dengan gerakan yang terlatih.
“Gadis terhormat kami,
dapatkah engkau memberikanku bantuan?”
“Baik!” Noble Fencer membusungkan
dadanya dan mengangguk. Pada jari lentik
miliknya terdapat sebuah cincin yang berkilau dengan permata, dia dan sang
wizard mengucap kata akan kekuatan sejati bersama.
“Sagitta...quelta...raedius! Tembus sasaranmu, panah!”
“Tonitrus...oriens...iacta!
Bangkit dan terjatuh, petir!”
Kata-kata yang dapat
mengubah logika akan dunia, dan mantra kembar menyerang para goblin: Magic
Missile sang wizard mengirimkan beberapa panah terbang supranatural, sementara
mantra halilintar Noble Fencer menghujani para goblin, mengubah salju menjadi
uap.
Setelah itu, yang tersisa
hanyapah para goblin dengan tubuh mereka yang penuh akan lubang atau terbakar
hingga mengering. Tanah telah terpapar menerima serangan itu, namun salju terus
menghujani tanpa ampun. Hanyalah masalah waktu hingga tanah itu dapat tertutup
kembali.
“Yah, aku rasa selesai
sudah,” half elf warrior berkata, mengibas darah dari pedangnya dan
menyarungkannya.
Rhea Scout bersiul.
“Kayaknya kamu lagi senang banget.”
“Kamu lengah di pertempuran
tadi membuatku nggak senang,” Dwarf Monk berkata menceramahi, namun sang wizard
menyela, “Oh, mantra penyembuh segala penyakit, ternyata cukup berguna.”
Party mereka, telah berhasil
bertahan hidup pada pertemuan acak dengan sebuah grup goblin, sekali lagi
menghibur diri mereka sendiri atas kemampuan bertarung mereka. Mereka telah
bekerja sama dengan baik, dan tidak ada seorangpun yang terluka. Benar, mereka
terpaksa menggunakan beberapa mantra, namun tetap saja, ini adalah sebuah
kemenangan sempurna.
Mata para petualang membara
dengan semangat yang tampak seperti harapan dan ambisi. Di belakang mereka
adalah sebuah desa dan semua penduduknya yang tak berdaya yang hidup di bawah
ancaman para monster. Di depan mereka adalah sebuah gunung, curam dan berbahaya
namun begitu putih elegan. Di suatu tempat di kaki gunung adalah sebuah pintu
masuk menuju gua bawah tanah.
Tidaklah ada pengaruhnya
jika mereka berhadapan dengan goblin. Bahkan, itu semakin menguatkan alasan
mereka untuk pergi. Jika membasmi goblin bukan petualangan, maka apa lagi?
“Yeah, jangan khawatir,”
Noble Fencer berkata lugas, rambut emasnya terkibas angin. Dia berputar
mengarah rekannya dan mengumumkan, “Aku punya rencana!”
3 Comments
Lanjut min
BalasHapussiap!
HapusGoood (y)
BalasHapusPosting Komentar