TUTORIAL
Petualangan Pertama
(Translater : Zerard)
Gua
itu muncul secara tiba-tiba di pertengahan hutan di luar desa.
Sudah
berapa lama gua ini berada di sana? Tidak satupun penduduk desa yang
mengingatnya.
Walaupun
tampaknya gua itu sudah berada di sana sejak dahulu kala—akan tetapi, di waktu
yang sama, gua itu tampak seperti baru saja terbentuk dalam sekejap. Kesan
seperti itu merupakan hal yang sudah biasa di perbatasan seperti ini,.
Setiap
bagian dari dunia selalu berubah secara berkala. Bahkan untuk para elf
sekalipun tidak ada yang mengetahui secara pasti geografi akan semua tempat
yang ada.
Dan
sekarang, goblin telah membuat rumah di dalam sarang ini. Apakah mereka goblin
yang tersesat, atau mereka goblin yang selamat dari pertempuran lima tahun yang
lalu? Atau mereka hanyalah sekedar makhluk liar? Tidak ada yang mengetahuinya.
Yang
hanya di ketahui orang-orang hanyalah bahwa goblin telah muncul dari dalam gua
itu, menyerang desa, mencuri ternak, dan akhirnya, menculik seorang wanita.
Cerita biasa, dia
berpikir.
Termasuk
pada bagian di mana seseorang datang menuju Guil Petualang untuk melampirkan
sebuah quest.
Sekarang,
dia berada tepat di depan mulut gua, bersembunyi di balik semak-semak hutan,
menunggu waktu berjalan. Matahari telah melewati puncaknya dan mulai terbenam
secara perlahan di langit. Dia menghabisi waktunya untuk mengamati.
Para
goblin datang dan pergi dari sarang mereka, tidak menunjukkan tanda bahwa
mereka menyadari kehadiran dirinya. Para penjaga tidak melakukan pekerjaan
mereka dengan serius, hanya berdiri diam, yang tampak hanya terlihat seperti
kebiasaan.
Yang
menarik perhatiannya adalah menara aneh yang berdiri tepat di samping tumpukan
sampah di dekat pintu masuk.
Tidak terlihat seperti
perangkap.
Para
goblin yang telah dilihatnya datang dan pergi membawa senjata dan lain-lainnya.
Dia hanya memperhatikan mereka dan mencoba untuk bernapas sepelan yang dia
mampu. Dia mengingat kakak perempuannya memberi tahunya bahwa ini merupakan
kemampuan yang di perlukan untuk seorang pemburu. Rusa merupakan hewan yang
lincah; jika mereka tidak mengira bahwa kamu merupakan bagian dari alam, maka
mereka akan melarikan diri.
Dia
mendengar bahwa ayahnya, sangat ahli dalah hal seperti ini, walaupun dia
sendiri tidak pernah mempunyai kesempatan untuk melihatnya sendiri.
Pada
akhirnya, matahari mulai terbenam di barat, dan langit mulai berubah menjadi
warna ungu yang menakutkan. Entah mengapa, para penjaga telah menghilang dari
mulut gua. Mereka pasti telah kembali ke dalam.
Sudah waktunya.
Dia
berdiri secara perlahan dari balik semak-semak, pertama-tama memijat
pergelangannya yang kaku. Dia berharap dengan berjalan dari kota akan membuat
tubuhnya terbiasa dengan berat beban armor pertamanya. Namun berat beban armor
ini tidak dapat di sangkal. Terlebih lagi, dengan berbaring sepanjang hari
cukup untuk membuat tubuhnya menjadi kaku.
Mungkin aku akan
melonggarkan ikatan perlengkapanku selagi istirahat.
Di
saat dia telah merenggakan pergelangannya, dia memerika keseluruhan
perlengkapannya. Dia mengangkat dan menurunkan penutup helmnya, menarik dan
memasukkan pedangnya, memastikan mata pedangnya masih tajam.
Tanduk
pada helmnya terasa begitu berat. Jarak pandangnya begitu sempit, dan dia
merasa sulit untuk bernapas. Namun dia tidak memiliki keberanian untuk melepaskan
helmnya.
Dia
mengepal gagang perisai, memeriksanya. Tidak ada masalah.
Dia
melangkah keluar dari semak-semak, berhati-hati untuk tidak membuat suara, dan
kemudian secara perlahan mendekati pintu masuk gua. Dia tidak berjalan dengan
langkah sigapnya, melainkan, bergerak secara lembut.
Dia
melewati menara aneh yang memiliki tengkorak hewan pada puncaknya, kemudian
berhenti di samping tumpukan sampah.
Apakah
dia harus menyalakan obor atau tidak? Dan apakah ada hal lainnya yang dia
lupakan?
Sebuah
sumber cahaya akan membeberkan posisi dirinya kepada siapapun yang berada di
jarak pandangnya. Akan tetapi, para musuh dapat melihat di kegelapan dan akan
dapat menemukan dirinya bahkan tanpa menggunakan obor. Di dalam keadaan seperti
itu, tidak mempunya cahaya hanya akan di anggap sebagai mudarat. (TL Note :
mudarat = https://kbbi.web.id/mudarat
)
Dia
mengambil sebuah obor dari tas perlengkapannya dan menyalakan batu api namun
kemudian dia berhenti.
“…”
Dia
baru saja menyadari akan sesuatu yang seharusnya dia sadari lebih awal.
Aku nggak bisa memegang obor
seperti ini.
Dia
memiliki pedang di tangan kanan dan sebuah perisai di kirinya. Merupakan hal
bodoh jika dia akan pergi tanpa pedangnya, namun dia juga tidak ingin pergi
tanpa satu-satunya pertahanannya. Dia mencoba untuk melepaskan genggaman
perisanya untuk memegang obor, namun
sudut aneh dari pergelangan tangannya membuatnya sulit untuk menggerakkan
lengannya.
Dia
membuat dengusan frustasi, menyumpat akan kebodohannya sendiri. Jika masternya
melihat dia, dia tidak akan bisa berkata apa-apa.
Dia
menghabiskan beberapa waktu berpikir, melihat pada pintu masuk gua, dan
kemudian menyerah, obor di tangan kanan, perisai di kiri, pedang di pinggulnya,
dan tas pada punggungnya. Apalah arti sebuah obor selain merupakan stik kayu?
Obor dapat berfungsi sebagai pentungan jika di perlukan.
Dia
berniat untuk melepaskan gagang perisainya ketika dia telah kembali ke kota,
kemudian berjalan maju ke dalam gua.
Itupun, dia
bersenandika, kalau aku bisa kembali ke
kota.
*****
“Pastinya
kamu nggak berpikir kalau kamu beruntung hanya karena aku mengajarimu kan? Atau
seperti kamu merasa di berkahi?”
Dia
sangatlah yakin bahwa itu merupakan ucapan dari pria rhea tua seraya pria itu
menendang sang bocah ke dalam gua es.
Sang
bocah tersandung masuk ke dalam gua, yang penuh dengan kotoran dan makanan tua,
tempat terjorok yang pernah dia kunjungi.
Tempat
tinggal kaum rhea di kenal sebagai tempat paling nyaman di dunia, paling tidak,
itulah yang dia dengar nantinya.
Para
rhea merupakan orang-orang yang hidup di sekitar padang rumput. Menikmati
pekerjaan keseharian mereka dan dengan jumlah petualang yang sangat sedikit.
Mereka sangatlah ceria dan supel.
Yah,
selalu ada pengecualian di setiap peraturan—dan pria rhea tua ini merupakan
pengecualian untuk ini.
Sang
rhea menghiraukan batuk-batuk sang bocah dan menutup pintu kayu gua,
memagarnya.
“Yang
benar-benar beruntung itu adalah orang yang dapat melakukan apapun tanpa perlu
di ajari.”
Tidak
terdapat cahaya pada tempat di mana bocah berada, dia telah di lempar secara
sekejap masuk ke dalam kegelapan. Ketika dia telah berhasil menenangkan
pernapasannya dan melihat sekitarannya, dia tidak dapat melihat apapun.
Terkecuali
sepasang mata yang berkelip di baying-bayang: sang rhea tua.
Bocah
menyadari bahwa dia terlalu focus melihat pria itu, dan sang bocah menelan
liurnya.
“Tapi
kamu bukan tipe seperti itu. Kamu nggak bisa melakukan apapun. Tidak kompeten,
anak ingusan.”
“Ya,
Master,” sang bocah akhirnya menjawab. Anehnya, dia tidak merasa bahwa dia akan
di bunuh.
Bunuh
atau di bunuh, dia telah mempelajari ini di desanya.
Namun
dia menduga bahwa pria tua ini dapat membunuh tanpa pikir panjang.
“Kamu
pikir kalau aku akan mengajarimu, kamu akan menjadi kuat,” sang rhae menyengir.
Sebelum
sang bocah dapat mengutarakan sebuah ya. Sesuatu
terbang mendatangi melewati kegelapan dan mengenai dahinya. Sesuatu itu pecah
dengan suara dedas, sebuah rasa sakit hangat terasa pada tengkorak sang bocah.
Darah mengalir turun menuju wajahnya. (TL Note: Dedas = https://kbbi.web.id/dedas )
Dia
terjatuh. Sang rhea menendangnya, kemudian muncul dengan samar-samar untuk
mengejeknya.
“Dasar
bego. Serangga dengan senjata itu nggak lebih dari sekedar serangga.”
Merupakan
sebuah piring, sang bocah menyadari. Dia telah di lempar dengan sebuah piring.
Dia
tidak pernah mengetahui bahwa benda sederhana seperti dapat menimbulkan rasa
sakit yang teramat.
“Gunakan
apapun yang kamu miliki. Persiapkan perlengkapamu. Kalau ada sesuatu yang kamu
inginkan, dan kamu nggak mengerahkan segalanya dengan seluruh kemampuanmu untuk
mendapatkannya…”
Sekarang
setelah dia memikirkannya, itu merupakan pelajaran pertama gurunya yang telah
di berikan kepadanya.
“…maka
apa gunanya kamu hidup?”
*****
Aroma
sengit menusuk hidungnya di saat dia memasuki gua.
Sampah
yang membusuk. Kotoran. Tinja. Aroma hawa nafsu yang mengambang.
Dia
sudah terbiasa dengan semua ini. Ini tidak akan menjadi masalah serius
untuknya.
Akan
tetapi, kegelapan, merupakan sebuah halangan. Benar, dia memiliki obor, namun
kegelapan ini sungguh kuat. Kepalanya terisi dengan pikiran akan apa yang
mungkin bersembunyi di balik bayang-bayang yang berkelip di ujung cahaya
obornya.
Bukan mungkin…apa yang bersembunyi.
Tidak
ada celah baginya untuk meragukan fakta itu. Dia tidak boleh melupakan tempat
dia berada : di dalam sarang goblin.
Kalau aku memaksa diriku
sendiri untuk bernapas lewat hidung, aku akan terbiasa dengan baunya.
Dia
berdiri dan menenangkan pernapasannya, kemudian melangkahkan satu kakinya ke
depan, memulai penyerangannya. Sangatlah mudah untuk bisa terpeleset pada tanah
yang basah dan lumut yang menutupi bebatuan. Dia berusaha untuk focus pada
kemana dia menginjakkan kakinya, namun tidak lama kegelapan mulai mengusiknya.
Apa
yang menunggu di depannya? Atau di atas? Gua ini tampak seperti menyempit
baginya. Napasnya semakin memendek, semakin cepat. Berusaha untuk memperhatikan
segalanya secara sekaligus telah membuatnya menjadi pusing.
“…Lakukan
hal satu persatu,” dia bergumam pada dirinya sendiri, kemudian memutar obornya
pada bayangan sebuah batu di dinding.
Dia
hanya perlu mengalahkan mereka secara bertahap. Jangan mempermasalahkan waktu
dan upaya untuk bisa membuat hidupmu menjadi lebih mudah. Di samping suara
tarikan napasnya yang tidak teratur, dia mendeteksi suara denting samar. Dia
tidak mengetahui apakah suara itu di sebabkan keheningan atau kegugupannya.
Dia
ingin melepas helmnya dan mengelap keringat dari dahinya. Namun tentu saja, dia
tidak dapat melakukan itu. Dia berkedip beberapa kali, kemudian menatap kepada
kegelapan.
Mungkin
hanyalah imajinasinya belaka. Namun juga, mungkin juga tidak.
Secara
reflek dia melempar obornya mengarah pada baying-bayang yang berdansa, tepat pada
tempat yang memilki gerakan yang berbeda di bandingkan kegelapan di sekitarnya.
“GOOROB?!”
Sebuah
teriakan terdengar, jeritan tercekik. Makhluk itu masih hidup. Dia melompat
mengarah makhluk itu dan memberikan pukulan lainnya di antara mata makhluk itu.
Dia merasa rasa lembek yang tidak nyaman, layaknya menghancurkan sebuah buah,
seraya goblin itu mati dan otaknya bertebaran.
“…Nghaa.”
Dia
mengeluarkan satu hela napas yang nyaring. Pada saat yang sama, dia berpikir
bahwa dia merasa lunglai, kakinay telah kehilangan kekuatannya.
Dia
menyadari bahwa cipratan darah itu telah hampir membuat obor yang terbelah dua
ini padam. Dia merasa akan lebih baik jika membuang obor ini, namun entah
mengapa dia tidak bisa melepaskannya dari tangannya. Tangannya tidak mau terbuka.
Tangannya
dan jarinya menegang; tidak peduli apapun yang dia lakukan, dia tidak dapat
menghilangkan ketegangan dari tangannya.
“…”
Dia
menjentikkan lidahnya, kemudian memaksa jari tangan kirinya terbuka,
menjatuhkan obor. Api yang bercucuran pada tanah gua tetap membara, menjilat
udara layaknya sebuah lidah.
Nggak masalah. Nggak
masalah, dia bergumam pada dirinya sendiri. Apalah arti dari
membunuh seekor goblin?
Satu
goblin. Masih baru satu. Hanya satu. Namun telah berhasil membunuhnya. Dia
memeriksanya lagi untuk memastikan bahwa goblin itu benar-benar telah mati,
kemudian mengambil obor lainnya—
“GOBGG!”
“GBBGROBG!”
Dia
menanggalkan obornya dan menarik pedangnya. Dengan cepat ocehan tidak jelas
para goblin datang mendekatinya dari belakang.
Dia
berusaha berputar dan menyapu menjauh dengan pedangnya, namun mata pedangnya
telah terhempas dari tangannya dengan bunyi yang memekikkan. Seraya dia
menyadari bahwa pedangnya telah tersangkut pada dinding gua, seekor goblin
datang menabraknya dan menjatuhkan dirinya. Terdengar suara sesuatu yang pecah
pada tas peralatannya di punggungnya seraya dia terjatuh, namun dia tidak
memiliki waktu untuk memikirkan itu.
“GROB!
GOOROGB!!”
“GROORB!!”
Satu
goblin, sebuah senyum menjijikan pada wajahnya, menebasnya dengan sebuah belati
yang di genggamnya dengan kedua tangan.obor yang berada di tanah yang hampir
padam di tanah, masih menghasilkan cukup cahaya untuk membuat mata belati itu
berkelip redup. Di kejauhan, goblin lainnya sedang menunjuk dirinya dan tersenyum
jahat.
Aku bakal mati.
“Hrr—agh!”
Dengan
kekuatan tekad, dia melipat lengan kirinya, membawa perisa ke atas tepat di
depan wajahnya. Belati itu tertancap pada perisai, dan dia mengayunkannya
kesamping.
“GBBROB?!”
Secara
fisik goblin tidaklah kuat. Dengan senjata yang telah terlepas dari
genggamannya, membuat makhluk ini kehilangan keseimbangannya.
Dengan
segera dia melengkungkan punggungnya, mendorong perutnya ke atas dan memaksa
goblin terjatuh ke belakang. Tidak ada waktu untuk di sia-siakan. Jika sebuah
grup yang lebih besar datang sekarang, maka dia tidak akan mempunyai
kesempatan.
Sang
goblin yang telah dia jatuhkan ke tanah sekarang berusaha untuk berdiri dengan
kedua kakinya, namun dia tidak akan memberikan goblin itu kesempatan untuk
berdiri,
“?!”
Sang
makhluk tekesiap tanpa suara seraya dia menendang makhluk itu di perutnya
dengan sepatu bot yang telah di perkuat, tendangan itu telah merobek perut dan
membuat isi perutnya terburai ke tanah. Kemudian dia menurunkan tapak kakinya
ke bawah dan menghancurkan selangkangan makhluk itu.
“GBORROGBGOR?!”
“GROB!
GROORBG!!”
Korbanya
menjerit kesakitan, sementara goblin lainnya mentertawai ketidak-beruntungan
rekannya.
Tawaan
itu tidak berlangsung lama.
Sang
bocah sudah kembali mengambil pedang yang terlepas dari tangannya,
membenamkannya tanpa ampun masuk ke dalam tenggorokan goblin. Makhluk itu
terbatuk, tersedak dengan darahnya sendiri; makhluk itu berusaha untuk memegang
mata pedang itu. Dia menendangnya menjauh, menarik pedangnya.
“Huff…”
Darah
terciprat di keseluruhan tubuhnya. Tubuhnya terasa panas, napas terengah-engah,
kepalanya terasa sakit. Tenggorokkannya menggelitik; ingin sekali dia meminum
air dari persediaannya. Namun tidak ada waktu untuk itu.
Dia
dapat merasakan sesuatu yang mengerikan di dekatnya. Terdengara suara gesekan
yang datang dari belakangnya di kegelapan.
Dia
mendengus halus dan merapatkan gigitnya. Pada saat yang sama, dia mencoba untuk
berpikir. Dia tidak boleh berhenti berpikir.
Adalah
jelas bahwa terdapat sebuah terowongan sergapan di belakangnya. Dia hanya tidak
melihatnya. Pertanyaannya adalah,
bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa dia masuk ke dalam sarang mereka?
Dia telah masuk di kala penjaga sedang tidak ada, dan goblin pertama tidak
terlalu membuat banyak suara.
“…!”
Kemudian,
sebuah pikiran terlintas di benaknya dan dia melihat ke bawah pada
perlengkapannya. Perlengkapannya masihlah baru, bersinar, mengkilap. Kulit dan
baja.
Bau tubuhku!
Sudah
terlambat baginya untuk menyadari ini. Para goblin hampir berada di depannya.
Dia memeriksa pedangnya. Pedangnya masih cukup bersih dari darah dan jeroan,
namun mata pedangnya memiliki cuilan besar di tengah-tengahnya. Dia menjentikan
lidahnya.
Dia
memasukan tangannya ke dalam tas perlatannya, di mana dia mengira ada sesuatu
yang aneh. Meskipun demikian, dia mengambil obor dan melemparnya ke tanah. Obor
itu menangkap api dari obor yang bercucuran di tanah, membara dan menghasilkan
cahaya. Pencahayaan itu menghasilkan banyak mata kuning yang berkelip dengan
kebencian dan pembunuhan.
“GOOROGB!”
“GROB!
GOBORB!!”
“GOOROGBGROOB!!”
Kemudian
kekacauanpun melanda kepadanya.
Dia
menunduk, menghadapkan punggungnya pada dinding dan mengangkat perisainya. Dia
menusukkan pedangnya kedepan, berharap untuk dapat mendaratkan sebuah tusukan.
Dia
tidak ingin membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya. Dia berfokus untuk
menusuk para goblin. Cara ini dapat berhasil.
Tenggorokan,
mata, perut, jantung. Dia pedangnya beraksi, menembus, mencari tempat yang
dapat membunuh dengan satu serangan.
Namun
dia dan para goblin sama-sama memiliki niat untuk saling membunuh. Belati
berkarat dan tombak mengenai tangan dan kakinya yang tidak terlindungi,
mencabiknya, mengeluarkan darah. Para goblin, mulai saling menghalangi jalan
rekan mereka masing-masing, saling tersandung dan berdesak-desakan dengan
sesame rekannya; beberapa argument buruk mulai terjadi. Para goblin sama sekali
tidak mengetahui arti dari sebuah kata kerja
tim.
Pada
saat itu, yang dia perlukan hanyalah tetap menusuk dengan pedangnya. Segalanya
yang bukan dia adalah musuh. Itu membuat semuanya menjadi mudah.
Oleh
karena itu dia merapatkan giginya dan terus bekerja. Jika lengannya tidak
bergerak, tentunya dia akan mati; itulah kenyataannya.
Darah
dan lemak, daging dan tulang: dia membenci kenyataan bahwa pedangnya menjadi
tumpul setiap kali dia menggunakannya. Mungkin semua akan berbeda jika dia
merupakan petarung yang lebih handal.
Kemudian
datanglah sebuah suara duk yang
merubah arus pertarungan.
Tepat
di belakang gerombolan goblin, terdapat goblin besar—sungguh besar—yang datang
mendekati. Sebuah pentungan berada di pundaknya, dan goblin itu tampak seperti
seorang pria yang sedang dalam perjalanannya bekerja menuju kebun.
“HOOOOOB…”
Dia kelihatannya seperti
hob, dia berpikir, napasnya terengah-engah. Seekor
hob: hobgoblin. Apakah ada kemungkinannya untuk menang? Ya.
Tubuhnya
bergerak. Layaknya melempar sebuah bola silver masuk ke dalam mulut katak.
Pedang di tangannya berputar hingga dia menggenggamnya secara terbalik. Dia
menghantam goblin yang ada di depannya dengan perisainya, membunuhnya.
Masternya telah mengajarinya bahwa jika kamu menghancurkan hidung seseorang dan
terus mendorongnya, hidung mereka akan masuk ke dalam otak mereka dan
membunuhnya.
Sekarang
dia mengayunkan pedangnya, mengambil langkah pertama menjauhnya dari sisi
dinding.
Lemparan.
“GOROOGB?!”
Sebuah
serangan kritikal.
Pedang
itu bersiul melintasi udara, terbang melewati kepala para goblin dan menancap
pada tenggorokan hobgoblin. Mencakar pada udara kosong, makhluk itu terjatuh ke
belakang, menghajar tanah. Menyedihkan.
Dia
mengambil belati dari pinggulnya, mengubah perhatiannya pada musuh yang tesisa.
“GROBG?!”
“GRG!
GOOROGGB!!”
Para
goblin yang masih hidup melihat dari segala arah.
Meraka
melogo melihat pada mayat pengawal mereka, kemudian melihat kembali pada bocah
yang ada di depan mereka dengan armor dan topengnya, dan berteriak.
Mereka
menjatuhkan senjata mereka seraya mereka melarikan diri masuk ke dalam gua,
namun dia tidak memiliki perlengkapan untuk mengejar mereka sekarang.
Tertatih-tatih, dia berjalan dengan tubuhnya yang babak beluk dan berdarah, dia
memperhatikan hobgoblin yang masih terkejang-kejang di tanah.
“Terima…ini!”
Dengan
kedua tangan, dia mengambil pedang yang masih tertancap di leher makhluk itu
dan mengoyak batang tenggorokannya dengan seluruh kekuatannya. Terdengar suara
akan sesuatu yang retak, dan mata pedang telah terbelah dua pada cuilan yang
dia lihat sebelumnya.
Sang
bocah kehilangan keseimbangannya, terpeleset pada genangan darah. Tiba-tiba dia
merasa ingin sekali meminum limun.
Di
tangannya, dia mendapati dirinya sendiri memegang sekitar dua pertiga dari
pedangnya. Dia mencoba mengayunkan kakinya yang tidak limbungl; entah mengapa
dia merasakan kakinya menjadi ringan.
Ini bagus.
Pada
akhirnya, dia dapat bernapas kembali; dia melihat sekitarannya.
“Ada
berapa banyak tadi…?”
Merupakan
sebuah pembantaian. Tidak ada kata lain yang dapat mengambarkan gambaran yang
terpapar oleh obor yang terkulai.
Sekarang
pertarungan itu telah berakhir, dia mulai menginjak mayat goblin yang sudah
mati.
Seberapa
banyak yang telah dia bunuh? Seberapa banyak yang telah melarikan diri? Dan
seberapa banyak yang tersisia? Dia tidak mengetahuinya.
Ada berapa banyak goblin
yang ada di gua ini?
“…”
Seraya
pikiran itu melintas, dia menggelengkan kepalanya yang berat perlahan dari
samping ke samping.
Apapun
itu, adalah jelas apa yang perlu dia lakukan—apa yang dia harus lakukan.
“Aku
rasa aku harus mulai dari P3K dulu.”
Dia
mengambil tas peralatan pada punggungnya. Tidak salah lagi, dia sangat
kelelahan. Napasnya berat, nadinya meninggi dan pandangannya buram. Semua
sarafnya sakit, dan aliran deras darah telah memperlambat pikirannya.
Itulah
mengapa dia tidak menyadarinya.
“GOGGBR!!”
Sang
bocah berteriak.
Goblin
dengan selangkangan yang hancur melompat mengarah padanya, mengangkat sebuah
belati. Di kala dia merasakan ada sesuatu yang berat yang menghantam
punggungnya, semua sudah terlambat. Dia berusaha berputar, dan dia mendapati
kepalanya di sentak dengan kasar. Monster itu pasti telah menggengam salah satu
tanduk dari helmnya.
“Hrr…
Kamu…!”
“GBGGB!”
Dia hampir mengira bahwa pundak kanannya telah meledak. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa goblin itu telah munusuknya dengan sebuah belati.
Dia hampir mengira bahwa pundak kanannya telah meledak. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa goblin itu telah munusuknya dengan sebuah belati.
Dia
batuk darah bersamaan dengan momen itu, menciprat di dalam helmnya.
“Graaaaahh…!”
Dia berteriak, mencoba untuk mengambil langkah mundur menuju sebuah dinding.
Dia menghantamkan goblin itu pada sebuah batu.
Terdengar
jeritan : “GOOROG?!”
Lagi.
“GORO?!”
Sekali
lagi.
“GOROOBGBG?!”
Terdengar
suara sesuatu yang retak, dan tiba-tiba, berat pada kepala dan punggungnya
telah terangkat. Walaupun begitu, kepalanya menggantung pada arah yang tidak
wajar. Tanduk itu pasti telah terlepas.
Dia
berputar, menggunakan tangan kirinya yang masih berfungsi untuk mengambil
tanduk itu di tanah. Gerakan itu telah membaut pergelangan tangannya terluka,
namun karena perisai itu masih terpasang di tangannya, dia tidak
mempedulikannya. Dia mempunyai satu hal yang harus di lakukan.
Dia
menghajar monster yang menggeliat di tanah, membenamkan tanduk menembus
tenggorokannya.
“GOOBGGB…?!”
Sang
goblin menjerit, kemudian berhenti bergerak. Sang bocah duduk—tidak pingsang—di
samping goblin itu.
P3K.
itulah yang terpenting. Penyembuhan. Masih terdapat musuh yang tersisa. Dia
tidak bisa membiarkan dirinya berada di dalam keadaan yang tidak bisa bergerak.
“Hrgh…”
Namun
keseluruhan tubuhnya terguncang. Dia mengira bahwa sebuah luka seharusnya
terasa seperti terbakar, namun entah mengapa dia merasa sangat kedinginan.
Dia
berusaha melepaskan sebuah belati yang berada di tangan kirinya, namun
lengannya kejang dan mulutnya terasa mati rasa; liur mengalir dari bibirnya.
Tidak
lama baginya untuk menyadari alasannya.
Dia
menarik paksa belati dan menemukan sebuah cairan kental, tidak di ketahui, yang
melumasinya.
“Hrr…kk…”
Racun.
Dia
melempar belati ke samping dan belati itu tergeser di tanah.
Dia
merogoh tas peralatannya kembali. Dia telah membeli antiracun. Dengan ini semua
akan baik-baik saja. Dia akan baik-baik saja…
“…Hrk…?”
Yang
hanya dapat dia rasakan pada jarinya adalah sebuah sensasi basah, dan dentingan
kecil seperti kaca.
Namun
tidak terdapat satupun botol.
Botolnya pecah…!
Dia
merasa pucat, dan bukan hanya di karenakan racun.
Botol
itu pasti telah pecah di saat dia terjatuh pada sergapan sebelumnya. Yah,
penyesalan tidak akan berguna baginya sekarang.
Jika
dia kembali ke kota—tidak, ke desa—apakah mereka dapat menolongnya? Adalah
mustahil. Tubuhnya hampir tidak bisa bergerak; dia merasa lemah seolah seperti
sedang terkena demam.
Jika
itu terus berlangsung, dia akan mati. Tidak di ragukan lagi.
Tanpa
suara, dia menarik tasnya lebih dekat dengan tangan yang gemetar. Dia mendorong
ujung tas menuju celah helm dan memeras keluar isinya.
Sebuah
campuran dari potion penyembuh dan antiracun menetes masuk ke dalam mulutnya;
dia menghisapnya dengan susah payah, layaknya bayi yang sedang menyusu pada
payudara ibunya.
Dia
tidak memiliki niat untuk mati.
Paling
tidak, tidak hari ini.
****
Sang
pemimpin menggeram marah seraya dia telah di ganggu oleh bawahannya yang
bermuka pucat dan berteriak, Penyusup!
Penyusup! Penyusup!
Dia
memberikan bawahannya sebuah pukulan dengan tongkatnya dan menendang ibu goblin
yang sekarang telah terdiam. “Katakan padaku,” dia menyuruh.
Dengan
cepat dia menyatukan setiap bagian-bagian petunjuk dari bawahannya. Di sangat
cerdas dalam hal itu.
Tampaknya
seorang petualang telah memasuki sarang—dan sendirian.
Dasar bodoh. Sang
pemimpin tertawa. Tidak akan lama lagi petualang itu akan mati dalam sergapan.
Sangatlah di sayangkan bahwa pendatang baru itu merupakan seorang pria, namun
pejantan masihlah berguna sebagai makanan. Bukanlah hal yang buruk.
Itulah
apa yang sedang di pikirkan oleh sang pemimpin—namun di salah.
Petualang
itu tidak hanya berhasil menggagalkan sergapan sebelumnya, namunbahkan dia
dapat membunuh pengelana mereka.
Sang
pemimpin melontarkan banyak umpatan pada sang petualang, menginjak-injak tanah
dalam kekesalan; dia memberika bawahannya satu pukulan lainnya.
Sebenarnya
dia tidak terlalu marah dengan fakta bahwa bawahannya telah terbunuh. Namun dia
tidak dapat menerima sebuah pikiran akan sarangnya yang sempurna (dalam
pandangannya) telah di usik oleh seorang penyusup.
Kumpulkan semua yang masih hidup,
dia
menggeram, dan seekor goblin telah berlari kepadanya sekarang berlari kembali,
berteriak.
Lumat dan hancurkan
petualang bajingan ini. Yang sudah membuatku harus mencari ibu goblin lainnya.
Goblin
selalu percaya di karenakan mereka lemah, merekalah yang selalu menjadi korban.
Akan tetapi, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka menganggap diri mereka
sebagai makhluk terpenting di dunia, dan itulah alasan mengapa mereka sangatlah
memuakkan.
Sang
pemimpin mencambuk empat goblin yang telah berhasil datang kembali dalam
keadaan hidup seraya dia menantikan pertarungan dengan sang petualang. Dia akan
menyelesaikan pekerjaan ini sendiri. Pengikutnya tidak akan melakukan apapun.
Lagipula,sebagian besar alasan sarang goblin dapat terus berlanjut adalah di karenakan ketidak-percayaan sang pemimpin; sedangkan
sebagiannya lagi adalah kecemburuan dari pengikutnya.
Jika
dia tidak hati-hati, goblin-goblin tolol yang mengelilinginya ini akan
menganggunya. Dan sang pemimpin, tidak
akan mentolerir itu.
Untungnya
bagi dirinya, petualang itu telah di laporkan dalam keadaan terluka dalm
pertarungan. Terdapat tetesan darah yang terjatuh mengarah pada pintu masuk,
menjauh dari tumpukkan mayat akan rekannya yang bodoh. Terlebih lagi, jejak
kakinya menandakan bahwa sang petualang menyeret kakinya untuk berjalan.
Petualang itu telah terluka parah, tidak di ragukan lagi.
Sang
pemimpin tersenyum jahat; dia memberikan gerakan dengan tongkatnya untuk
menyemangati bawahnnya. Berdebat dan mengeluh, mereka maju ke depan, hingga akhirnya
mereka telah tiba pada mulut gua. Lubang besar membawa masuk cahaya dari bulan
hijau, keseluruhan tempat terisi penuh dengan cahaya akan “pagi.”
Adalah
mustahil untuk petualang itu dapat melarikan diri dalam keadaan seperti ini.
Sang pemimpin mengayunkan tongkatnya, mengirim rekan goblinnya keluar dari gua.
Pada
saat dia melakukannya, terdengar suara krak
basah, dan dua dari goblin telah di hancurkan.
“GOBOR?!”
Apa
yang telah terjadi? Sang pemimpin pada awalnya tidak yakin, namun dia berpikir
bahwa ada sesuatu yang besar yang telah jatuh dari atas.
Adalah
mayat hobgoblin. Sejauh sang pemimpin memandang, gumpalan besar itu merupakan
makhluk yang tidak berguna yang masih membuat masalah untuknya bahkansetelah
makhluk itu sudah mati.
Tidak
pernah terlintas pada sang pemimpin bahwa petualang itu akan menyeret mayat itu
ke suatu tempat dan mendorongnya menjatuhi para goblin.
“GOBBBR!”
“GBO!
GROOBGR!!”
Dua
goblin yang tersisa, yang berhasil menghindari bencana, memutar matanya pada
sang pemimpin dengan rasa takut pada wajah mereka.
Bodoh, makhluk nggak punya
otak. Sang pemimpin memberikan mereka pukulan pada kepala
mereka dan menendang mereka keluar dari gua.
Dengan
segera, sesuatu terjatuh dan mengenai salah satu dari mereka.
Sesuatu
itu ada sang petualang, menggunakan armor dan hem. Tanduk pada satu sisinya
telah patah.
“GORB?!”
Sang
petualang memulai dengan menhantamkan
perisainya pada kepala goblin terdekatnya, membelah wajah makhluk itu.
“GOROBRG?!”
Kemudian
dia berputar, mendapatkan goblin kedua (yang telah mengendap-endap di
belakangnya) dengan ujung perisainya dalam satu gerakan ayunan. Ujung metal itu
tidak terlalu tajam seperti mata pedang, namun itu sudah cukup untuk
menghancurkan dada makhluk itu, membuatnya mengeluarkan jeritan.
Sang
petualang menjentikan lidahnya ketika dia menyadari bahwa dia telah gagal untuk
menyelesaikan monster ini dengan satu hantaman, kemudian melompat mengarah
padahnya, menjatuhkan perisainya masuk ke dalam tenggorokannya. Batang
tenggorokannya hancur, sang goblin mati tercekik dalam beberapa detik ke depan.
Untuk
sang pemimpin, ini sangatlah cukup.
Mereka
mungkin merupakan kumpulan makhluk bodoh, namun paling tidak mereka telah
mengulur waktu untuk dirinya untuk menggunakan mantranya.
Sang
pemimpin sudah mengangkat tongkatnya, tongkat itu memiliki tengkorak pada
ujungnya, dan mendeklamasikan umpatan yang tidak dapat di mengerti.
Sang
petualang menyadari apa yang di lakukan makhluk itu dan berputar, namun sudah
terlambat.
Pada
detik itu, petir meledak dari tongkatnya.
*****
Adalah
sebuah Kilatan petir.
Dia tidak
menyadari bahwa terdapat hal yang seperti ini: seekor goblin yang dapat
menggunakan sihir.
Dia
menyokong dirinya dengan lengan kanannya—dia tidak akan mengorbankan lengan
kanannya—dan menggunakan mayat hobgoblin untuk melindungi dirinya. Petir biru
keputihan menghajar mayat itu, denture dan desisan seraya petir itu membakar
lengannya.
Dia
tidak berteriak—terlalu lantang, dia tidak merasakan itu sebagai rasa sakit,
namun lebih seperti sensasi mati rasa, hampir terasa seperti tangannya telah
terlontar ke udara.
“Argh…!”
Bahkan,
dia telah terlempar beberapa meter dari mayat hobgoblin. Sebuah rasa aneh akan
obat-obatan tersebar di mulutnya, dan keringat bercucuran dari setiap bagian
tubuhnya.
Gimana lengan kananku?
Dia
menatap ke bawah dan melihat lengannya. Dia tidak akan mempercayainya jika dia
tidak melihatnya secara langsung, namun lengannya masih terpasang pada
tubuhnya. Dia berusah menggerakkannya, namun lengannya tidak dapat bergerak sesuai
keinginannya, seolah lengannya telah membengkak parah.
Namun
tentunya rasa sakit selalu ada.
Rasa
sakit ini sulit untuk di jelaskan: lengannya terasa seperti terbuat dari ribuan
jarum.
Dan
masih ada lagi. Dia menjentikan lidahnya. Goblin yang ada di depannya mulai
mengangkat tongkatnya kembali.
Dia
akan mengetahui makhluk macam apakah ini nantinya. Jika lengan kanannya masih
terpasang pada tubuhnya hingga akhir pertarungan, maka dia akan mengurus
lengannya juga nantinya. Dia harus membunuh monster ini sebelum kilatan lainnya
datang.
Tubuh
hobgoblin kejang-kejang dengan setruman listrik sebelumnya, asap mengepul dari
dagingnya yang terpanggang. Mayat itu telah memberikannya perlindungan namun
itu tidak sepenuhnya melindunginya. Sangatlah jelas sekarang.
Apa
yang harus dia lakukan kalau begitu? Dan jalan apa yang harus dia ambil?
Gimana cara aku bisa bunuh
makhluk ini?
Otaknya
bekerja dengan cepat, menilai setiap kemungkinan. Dia melepaskan ikatan pada
punggung perisainya, menggenggamnya pada pegangannya.
“GOOBOOGOROGOBOG!!”
Sang
pemimpin—goblin shaman—mengumandangkan kalimat-kalimat mantra kembali, dan
Kilatan petir kedua merobek udara. Cahaya biru keputihan itu bengkok pada arah
yang aneh namun tetap datang mengarah sang petualang.
“—ngh!”
Dia
menangkap serangan itu dengan perisainya—perisainya telah di lempar dengan
tangan kirinya dari balik bayangan mayat hobgoblin.
Perisai
itu terbang dengan lengkungan tajam, menghalau petir dan mengirimnya pada arah
yang lain.
Lebih mudah daripada
melempar bola silver masuk ke dalam mulut katak di festival.
Cahaya
menyilaukan membanjiri pandangannya, dan aroma tajam akan armor kulit yang
terbakar mencapai hidungnya; asap hitam mengepul di udara. Situasi ini sama
sekali tidak kondusif. Kilatan itu masih menyilaukan matanya. Namun hal itu
juga berlaku pada musuhnya.
Dan itu sudah cukup.
Dia
mengambil pedangnya, yang sekarang memiliki panjang yang aneh, pada tangan
kirinya. Dia mengangakatnya dalam genggaman terbalik dan melompat melewati asap
untuk menyerang sang shaman.
“Ha—ahh!”
“GBBRGGG!”
Sang
shaman menusukkan tongkatnya ke atas. Dapatkan dia menggunakan mantra lainnya?
Dia tidak mengetahui itu, namun itu tidak masalah.
Apa yang harus aku lakukan
itu sederhana.
Dia
melompat, melampaui tubuh hobgoblin, berusaha tetap menjaga tubuhnya untuk
tetap rendah, mengangkat pedangnya ke atas, dan kemudian menjatukannya ke
tenggorokannya.
Itu
saja.
“GOBORG?!”
Terdengar
benturan yang cukup keras yang dapat membuat seseorang pingsan; dia merasakan
sesuatu di bawah dirinya, mendengar jeritan dan melihat cipratan darahnya.
Tampaknya pedang yang telah patah ini cukup untuk dapat menhancurkan
tenggorokan goblin.
Seharusnya ini dapat
mencegahnya untuk menggunakan mantra lagi.
Bahkan seraya jeroan goblin membanjirinya, dia
membebani tubuh goblin dengan berat badannya, berharap untuk mematahkan
tulangnya. Dengan hanya memakai satu tangan, membuatnya menjadi lebih sulit
dari yang dia bayangkan,
“GOROGOGOR?!?!”
Hanya
sebagai jaminan. Tidak peduli apakah makhluk itu dapat menggunakan mantra atau
tidak. Dia tidak akan memberikannya kesempatan.
Dia
menekan berat tubuhnya lebih kuat pada sosok kejang-kejang shaman itu dan
menusukannya kembali, sekali lagi pada tenggorokannya.
“—?!
——?!?”
Lagi
dan lagi hingga tubuh yang menggeliat itu berhenti bergerak. Dan lagi. Sebanyak
yang di butuhkan.
“…”
Kemudian,
akhirnya, dia menghela napas.
Pedangnya
telah tertanam pada tenggorokan shaman
hingga mencapai gagang pedangnya, yang sekarang terbaring tak bergerak. Tangan
dan jarinya terasa dingin membeku; dia hanya berdiam di sana dengan pedang yang
di erat genggam pada tanganya.
“…Hrm.”
Dengan
sebuah upaya, dia berhasil melepaskan jari dari pedangnya, yang terlumasi
dengan berbagai macam isi tubuh goblin.
Dia
memperhatikan sekitaran dan melihat, di dalam kegelapan yang redup, mayat
goblin yang berserakan di segala arah. Hanya dialah satu-satunya makhluk yang
bergerak.
Sang
goblin shaman, hobgoblin, dan goblin lainnya: mereka semua telah mati.
Tidak.
Dia
telah membunuh mereka semua.
Jika
dia membunuh mereka, maka mereka tidak akan bisa membunuh dirinya.
“…..”
Tanpa
suara, dia menggenggam pedang yang terbenam pada tenggorokan mayat itu; dia
menumpukan kakinya pada tubuh itu dan mencabutnya. Namun pedang itu licin di
karenakan darah, dan dia mendapati dirinya sendiri tidak dapat memegang pedang
itu dengan hanya satu tangan.
Dia
mendengus, memperhatikan pemandangan hasil akhir pertempuran di sekitarnya,
kemudan mengeluarkan belati yang telah dia bawa sebagai cadangan.
Hanyalah
satu-satunya senjata yang tersisa pada dirinya.
Dia
memaksa kepalanya, yang selalu miring pada satu sisi di karenakan tanduk yang
hilang, untuk tetap tegak lurus, kemudian entah bagaimana berhasil menyalakan
obor dengan hanya satu tangan.
Dengan
cahaya dari api, dia kembali masuk ke dalam gua.
Tempat
itu penuh akan mayat. Aroma yang mengambang dari isi tubuh, darah yang
menghitam melumasi segalanya, dan mata kosong akan goblin yang mati menatapnya.
Mereka beruntung tubuh
mereka masih tersisa, dia berpikir. Merupakan hal yang
seharusnya tidak pantas untuk para goblin.
“Empat
di puntu masuk, dan cuma…” dia menyimpulkan, “…satu pemimpin. Total lima.”
Dia
menendang salah satu mayat, membuatnya tengkurap, sangat jelas bahwa goblin itu
telah mati.
Atau
paling tidak, terlihat mati.
Oleh
karena itu dia mengangkat belati kecilnya.
“Enam.”
Satu
persatu, dia membenamkan pisaunya ke dalam tenggorokan mereka, membelahnya
terbuka, memastikan bahwa mereka tidak akan dapat bernapas kembali. Jika mereka
sudah mati, maka semua akan baik-baik saja. Jika mereka terluka, dia akan
menghabisi mereka. Jikan mereka akan menyergap dia, dia akan membunuh mereka.
Melakukan
semua ini hanya dengan lengan kirinya merupakan pekerjaan yang melelahkan.
Belati itu telah terlumasi dengan darah yang membuatnya mengira bahwa belati
itu dapat terlepas dari tangannya sewaktu-waktu, oleh karena itu dia mengubah
posisi genggamannya hingga terbalik dan melilitkan perban di sekitar telapak
tangan dan belatinya. Dia tidak dapat
mengikatnya, namun selama dia memiliki sesuatu untuk di cengkram pada
senjatanya, dia tidak akan menjatuhkannya.
Di
tengah-tengah pekerjaannya, sebuah aroma yang memualkan perut dan rasa sakit
pada lengan kanannya tiba-tiba melandanya, membuatnya merasa lunglai. Apakah
detik ataukah menit dia terbaring di sana? Atau jam atau hari? Dalam sekejap,
kesadarannya kembali terfokus, dan dia muntah.
Pada
apakah dia terjatuh? Kotoran, darah, atau keduanya? Secara perlahan dia
berdiri.
Dengan
satu lengannya yang masih bagus, dia mencari sesuatau di dalam tasnya,
mengambil beberapa herba yang telah basah dengan potion dan mendorongkannya ke
dalam mulutnya. Herba itu terasa menjijikkan, namun dia tetap mengunyahnya, dia
merasa kepalanya terasa lebih ringan. Tetapi beberapa herba tidak akan
menyembuhkan lukanya. Dia membutuhkan perawatan medis.
Lengan
kanannya berdenyut begitu dashsyat, namun rasa sakit adalah sebuah tanda bahwa
dia masih memiliki sensasi rasa. Dia akan mengkhawatirkannya nanti.
Setelah
dia menyelesaikan apa yang harus dia lakukan.
“…Sepuluh,
sebelas—— Dua belas, tiga belas, empat belas… Lima belas… Enam belas…”
Banyak
waktu yang terbuang, namun dia memastikan bahwa setiap goblin telah mati.
Menusuk tenggorokannya, mencabiknya, dan kemudian mencabut belatinya kembali
dan pergi menuju sasaran berikutnya. Lagi dan lagi, dia mengulangi proses itu.
Dia
tidak mengetahui berapa lama waktu yang dia butuhkan hingga pada akhirnya dia
mencapai bagian terdalam dari gua.
Dia
tidak memahami apa yang dia lihat dengan segera. Langit-langit begitu tingi di
atasnya, angin berhembus. Apakah ruangan ini terbentuk secara alami, atau
buatan? Dia tidak mengetahuinya. Namun ruang yang telah di tinggalkan ini sangatlah jelas di peruntukkan bagi seseorang
yang penting (atau seekor goblin). Di tengah-tengah ruangan, terikat dengan
rantai, adalah seorang wanita.
Tubuhnya
penuh akan kotoran dan wanita itu tidak bergerak sedikitpun.
Jika
dia mengingatnya—dan jika durasi tidak sadarkan dirinya tidak begitu
lama—wanita ini telah di culik sekitar satu minggu yang lalu.
“…Apa
kamu masih hidup?”
Dia
melihat pergerakan, begitu samar hingga pada awalnya membuatnya berpikir bahwa
gerakan itu hanyalah sebuah trik dari cahaya obor yang berkelip. Namun kemudian
dia melihat dadanya—penuh akan bekas gigitan-gigitan yang
menyakitkan—kembang-kempis perlahan, sebuah bukti bahwa gadis desa ini masih
hidup.
Sekarang
dia telah di selamatkan, namun kehidupannya telah di hancurkan.
“…”
Tanpa
sepatah kata, dia berlutut di samping wanita itu dan memeriksa wanita itu,
kemudian berdiri.
Bukanlah
hak dia untuk memutuskan. Dia hanya dapat berharap.
Apakah
mungkin wanita ini akan lebih bahagia di bunuh oleh para goblin di bandingkan
di selamatkan dalam kondisi seperti ini? Di bunuh oleh goblin—bagaimana bisa
itu sebuah kebahagiaan? Adalah sebuah pemikiran yang bodoh.
Dia
melihat sekitaran ruangan, menyadari beberapa tempat yang memungkinan bagi
goblin untuk bersembunyi. Di pojokan, sebagai contoh. Sebuah altar berdiri di
sana seolah di desain untuk menarik perhatian, walaupun altar itu tampak
seperti imitasi murahan dari altar aslinya. Altar itu terbuat dari tulang
manusia. Dia menendangnya, tulang-tulang itu berjatuhan di tanah, dan kemudian
dia melihat di balik altar itu.
“…”
Dia
menemukan goblin.
Beberapa
makhluk kecil, berpelukan bersama, bergetar dan meracau suara kecil. Apakah
mereka memohon ampunan demi nyawa mereka?
Dia
menatap pada para monster, bergetar di sudut ruangan.
Goblin
kecil. Anak-anak. Anak-anak goblin.
Dia
sangat yakin bahwa goblin dewasa telah menyuruh mereka untuk bersembunyi. Dia
dapat membayangkan itu dengan mudah.
Dia
dapat memahami ekspresi mereka: baginya ekspresi mereka tampak seperti ekspresi
siapapun yang melihat seseorang merampok rumah mereka.
Dia
memiringkan kepalanya seolah memikirkan tentang sesuatu dan berdiri dalam waktu
yang cukup lama.
Anak
goblin mulai mengambil batu pada tangan mungil mereka. Apakah mereka berpikir
bahwa dia tidak bisa melihat mereka?
Dia
mengambil napas, dan kemudian menghembuskannya.
Dia mendeteksi aroma yang tidak asing, campuran daging busuk, kotoran,
dan lumpur.
Dia
melihat sekitarannya, mendengarkan napas pendek gadis desa, seorang gadis yang
harga dirinya telah di nodai.
Dengan
anggukan pendek, dia menghitung goblin di depannya.
“Dua
puluh satu.”
Kemudian
menurunkan belatinya.
*****
Gadis
itu melihat pada senja matahari yang baginya tampak berwarna seperti darah.
Matahari
terbenam di barat, merubah langit menjadi merah.
Setiap
kali gadis melihatnya seraya dia mengikuti sapi di sekitaran kebun, gadis
mengalihkan pandangannya.
Apa aku selalu melakukan itu?
Ya,
kemungkinan. Dia membenci senja. Dia menyukai langit malam namun dia tidak
menyukai pemandangan akan matahari terbenam.
Kira-kira kenapa ya.
Sekarang
alasannya telah menjadi berbeda dengan di waktu dulu. Bahkan dia mengerti akan
hal itu.
Sewaktu
gadis masih kecil, itu di karenakan dia tidak ingin pulang. Waktu bermain telah
berakhir ketika matahari telah terbenam. Gadis harus berpisah dengan bocah dan pergi pulang. Dan itu,
membuatnya kesal.
Namun
sekarang…
“Aku
rasa ini bukan waktunya untuk memikirkannya.”
Dia
harus bergegas dan mengembalikan para sapi kembali ke dalam lumbung. Gadis Sapi
menggeleng kepalanya. Rambut panjangnya berkibas. Dia sudah memutuskan untuk
memanjangkan rambutnya sendiri. Namun ada waktu di mana rambut panjangnya
menjadi cukup menyebalkan.
“Oh,
ayolah,” dia menggerutu, menyisir rambutnya dari depan wajahnya. Dia mengejar
para sapi, memanggil, “Ayo, sapi!”
Dia
mendengak untuk melihat bayangan panjang orang-orang yang melewati jalan di
depan kebun. Bayangan mereka memanjang begitu mengerikan, tangan dan kaki
merentang begitu panjang.
Pedagang,
pengelana, petualang. Ya—petualang. Dan di antara mereka, terdapat satu yang
terlihat berbeda.
Dia
memakai armor dan helm, membawa sebuah perisai dan pedang, sebuah penanda yang
jelas bahwa dia seorang petualang.
Semua
itu masih wajar, terkecuali keseluruhan tubuhnya penuh akan kotoran. Dan salah
satu tanduk pada helmnya telah patah, perisainya retak, dan pedangnya terlihat
aneh. Dan terlebih lagi, petualang itu sangat bau. Beberapa orang meringis
seraya dia melewati mereka; beberapa tertawa di balik tangan mereka.
Dia
tampak tidak mempermasalahkan semua itu. Hanyalah seorang pemula yang mengunyah
lebih dari yang dia mampu dan berakhir pulang dengan penuh luka. Tidak ada
seorangpun yang dapat tumbuh tanpa jerih payah, layaknya seorang anak kecil
yang tidak akan dapat belajar berdiri tanpa terjatuh.
Reaksi
mereka, standar bagi manusia: ketika orang-orang melihat seseorang yang dalam
keadaan mengenaskan, mereka akan merasa iba atau mengejeknya.
Gadis
sapi merasa iba, merasa iba pada sang petualang. Dia mengernyit.
Apa dia terluka.
Salah
satu lengannya menggantung, dan dia menyeret satu kakinya seraya dia berjalan
tak bersuara. Sangatlah pedih untuk melihatnya.
Namun
hanyalah itu yang Gadis Sapi rasakan; dia tidak merasakan sesuatu yang special
dari pria itu.
Lagipula,
dia hanyalah seorang petualang terluka yang berjalan di jalan. Apakah ada yang
special dari itu?
Kemudian
petualang itu melewati kebun, pergi menuju kota, dan dengan sedikit jarak yang
ada di antara mereka, Gadis Sapi melihat punggung pria itu dan berhenti.
“Ap…?”
Sebuah
stik yang biasa dia gunakan untuk membimbing binatang terjatuh dari tangan
Gadis Sapi. Gadis Sapi tidak dapat menjelaskannya—dia hanya mempunyai firasat.
Sebuah firasat bodoh. Namun jika di pikir kembali, tidak ada penjelasan
lainnya.
Kalau, kalau saja.
Kalau saja dia selamat, aku
yakin dia akan—
—menjadi petualang…!
Tidak
lama setelah pikiran itu melintas di kepalanya, Gadis Sapi mulai berlari. Dia
melompati pahar, benar-benar sudah melupakan sapi-sapinya.
Merupakan
jarak yang pendek di antara mereka, namun Gadis Sapi menolak untuk berkedip,
dia merasa pria itu akan menghilang jika dia berkedip.
“H-hei,
hey, kamu! Tunggu—Tunggu sebentar!”
Pria
itu tidak berhenti atau berputar. Mungkin tidak menyadari bahwa Gadis itu
sedang berbicara kepadanya.
Gadis
Sapi mengeratkan giginya dan berlari lebih cepat. Gadis Sapi tidak mengingat
kapan terakhir kali dia berlari begitu kuatnya semenjak dia masih kecil. Gadis
Sapi tidak pernah jauh dari desanya, tidak peduli seberapa kuatnya dia berlari.
“Aku
bilang, tunggu…!”
Hampir
tidak di sadarinya, tangannya menjulur dan menggenggam lengan petualang itu.
Dia telah berhasil menyentuhnya.
Dia
menarik lengan itu, dan akhirnya sang petualang berhenti berjalan. Gadis Sapi
meletakkan sebelah tangannya pada dada dan menghela napas. Tatapan-tatapan
mereka yang berjalan membuat Gadis Sapi merasa tidak nyaman—namun itu tidaklah
penting.
Helm
itu berputar mengarah padanya, dan sepasang mata merah menatap Gadis Sapi dari
balik helm.
“Er,
Um…”
Gadis
Sapi sama sekali tidak dapat melihat ekspresi pria itu, akan tetapi sepasang
mata itu seolah menembus dirinya, dan Gadis Sapi-pun menelan liur.
“Hei,
kamu… Kamu ingat aku, kan?”
Suara
bergetar. Apakah pria ini mengingat dirinya? Atau apakah Gadis Sapi telah salah
orang? Tangan Gadis Sapi bergetar pada lengan pria itu.
Bagaimana
jika Gadis Sapi telah membuat kesalahan? Sudah sedikit terlambat untuk keraguan
seperti itu.
Betapa
menggelikannya dia merasa. Betapa bodohnya. Gadis Sapi menggigit bibirnya
keras.
Sang
pria memiringkan helmnya perlahan, dan setelah beberapa saat, dengan suara yang
sangat dingin dan samar, bergumam, “…Ya.”
Jadi memang dia!
Gadis
Sapi tidak dapat mengenali sebuah emosi yang meledak dalam hatinya. Dia tidak
mengetahui apakah dia harus merasa senang ataupun sedih, namun air mata mulai
berlinang membasahi wajahnya.
“Di
mana rumahmu? Di mana kamu tinggal? Apa yang sudah kamu lakukan…? Apa kamu
baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakmu?!”
Gadis
Sapi sudah tidak dapat membendungnya lagi. Kalimat-kalimat mengalir keluar dari
mulutnya; bahkan Gadis Sapi sendiri pun merasa terkejut dengan seberapa banyak
dia sudah berbicara.
Lima
tahun. Lima tahun telah berlalu. Apa yang dapat mereka bicarakan? Apa yang
harus dia tanyakan? Apa yang harus dia katakana atau beritahu pria ini?
Pada
akhirnya, aliran kalimat yang tampaknya tidak ada akhirnya, terhalang oleh
keheningan.
“Oh,
um…” Sekarang Gadis Sapi hanya menatap pada helmnya, merasa malu.
Dan
kemudian pria itu berkata. Dengan begitu santai, seolah tidak ada hal yang
aneh.
“…Aku
membasmi goblin.”
“Oh…”
Gadis
Sapi merasa sulit untuk bernapas.
Walaupun
sebuah gambaran peti mati kosong orang tuanya melintas pada benaknya, tidak ada
satu tubuhpun yang di kubur pada proses penguburan mereka.
Gadis
Sapi mengingat bertanya sesuatu pada pamannya. Pamannya tidak memberitahukan
apapun pada dirinya.
Angin
bertiup semakin kencang, mengirimkan helaan melintasi rumput perkebunan.
Angin
terasa begitu dingin, begitu kejam.
“Um,
Aku hanya…”
Gadis
Sapi melepaskan tangannya yang gemetar dari lengan pria itu. Gadis Sapi
sekarang telah merasa yakin bahwa pria ini tidak akan bergerak walaupun dia
telah melepaskan genggamannya.
Gadis
Sapi mengambil satu napas dalam, dadanya mengembang, kemudian menghembuskannya.
Gadis Sapi tidak mengetahui tindakan terbaik apa yang perlu di lakukan, namun
dia mengetahui apa yang harus di lakukan. Paling tidak, dia mengira
mengetahuinya.
“Tung-tunggu
di sini, oke?”
“…”
Pria
itu tidak memberikan jawaban. Gadis Sapi berpikir, walaupun dia berkata “oke.” Itu
harus di katakan.
Gadis
Sapi mulai berlari, namun setelah beberapa langkah, Gadis Sapi berputar.
“Kalau
kamu menghilang, aku nggak akan maafkan kamu!”
Sekarang
Gadis Sapi mengetahui dia masih berdiri di belakangnya. Menggosok matanya, dia
terus berlari.
Pria
itu hanya…berdiri di sana. Seolah dia sedang menunggu kakak perempuannya untuk
menjemputnya.
*****
“Paman!”
Sang
pemilik kebun mendengak perlahan melihat keponakannya mendobrak pintu dengan keras. Pamannya telah
menyelesaikan pekerjaan hari ini dan baru saja membungkus irisan tembakau masuk
ke dalam pipanya untuk menikmati momen istirahat.
Merupakan
hal yang tidak biasa bagi Gadis Sapi untuk bertingkah seperti itu. Bahkan, Sang
pemilik kebun tidak dapat mengingat apakah hal ini pernah terjadi sebelumnya.
“Cowok
itu— Cowok itu, dia—!”
“Tenang
dulu. Apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi sama kamu?” Kegelisahan Gadis
Sapi membuat paman berdiri secara reflex.
Gadis
ini adalah anak dari adik perempuannya. Gadis ini telah mengalami nasib yang
mengerikan. Pemilik kebun ini tidak pernah berpikir bahwa dia bisa menjadi
orang tua pengganti bagi gadis ini, namun paling tidak, paman berpikir bahwa
dia telah merawat gadis ini dengan penuh kasih saying.
Terdapat
banyak orang-orang kasar di kota. Beberapa dari mereka merupakan seorang
petualang: kerap, masyarakat kaum rendah tidak berbeda jauh dengan petualangan
menegah yang kuat. Paman merasakan rasa takut akan salah satu dari mereka telah
melakukan sesuatu kepada keponakannya.
“Bu-bukan,
bukan, bukan seperti—“
Namun
sang gadis menggelengkan kepalanya cepat, rambutnya berkibas ke segala arah.
Suaranya mengalir dengan terbata-bata, hampir seperti dia sedang menangis.
“Cowok
itu… cowok tetangga itu, dia hidup… Ternyata dia hidup selama ini!”
“Apa…!”
Linang air mata yang jatuh membasahi wajahnya, namun Gadis Sapi mengangguk lagi
dan lagi. Gadis Sapi berbicara di antara isak tangisnya. “AK-aku rasa dia
sekarang seorang pet-petualang… Dan dia ada…di luar…!”
“Petualang…”
Sebuah ekspresi tergambar pada wajah sang pemilik kebun, dan dia menggelengkan
kepalanya. “Apa dia kembali dari pekerjaannya?”
“Aku
rasa… Ya, aku rasa begitu…”
Terdapat
banyak rumor tentang para petualang, dan tidak semuanya dapat di percaya. Namun
petualang pemula konon memliki dua tipe pekerjaan: membersihkan saluran air
atau…
“Jadi
dia membasmi goblin ya?”
“Ya…”
Sang
pemilik kebun melihat keponakannya mengangguk lemah. “Goblin. Sudah pasti.”
Paman mengeluarkan semacam dengusan.
Berpetualang. Mungkin
bocah itu tidak memiliki pilihan lain. Dunia terlalu kejam bagi yatim piatu
untuk dapat bertahan hidup. Namun tetap saja…seorang petualang. Dan lagi yang
berurusan dengan goblin.
“Aku
mau…dia tinggal…di sini, tapi…”
Mungkin paman nggak
mengijinkannya. Mendengar pertanyaan gadis itu, wajah pemilik
kebun terlihat begitu tersiksa, dan Paman menghela napasnya.
Kalau di pikir apa yang
sudah di alami bocah itu, aku rasa wajar saja kalau dia mau balas dendam.
Sang
pemilik kebun-pun telah kehilangan keluarganya pula. Pemilik kebun memahami
perasaan itu.
Seraya
Paman mengingatnya, keponakan dan bocah itu hampir seumuran: bocah itu pasti
berumur tiga belas, atau empat belas, atau mungkin lima belas tahun…
Terlalu
muda, untuk mengemban emosi seperti itu.
Anggap
saja seseorang yang berjalan di jalan memukulmu di wajah, dan kemudian hanya
berjalan menjauh dengan senyuman. Hanya sedikit orang yang akan memaafkan
perbuatan seperti itu, apalagi melupakannya. Namun untuk memburu orang yang
telah memukulmu, dan membalas pukulannya—seberapa banyak waktu dan upaya yang
akan di perlukan? Dan seberapa banyak lagi jika ada kemungkinan 80 atau 90
persen bahwa seseorang yang lain sudah mengurus orang yang telah memukulmu?
Aku rasa dia akan merasa
lega setelah menghancurkan dua atau tiga sarang.
Akan
ada batasannya, sang pemilik kebun memutuskan. Itu saja. Jika tidak, apakah
semuanya dapat berakhir?
Kalau dia mau belajar cara
berdagang, dia bisa membantuku di kebun.
Dan
terlebih lagi, ini merupakan permintaaan dari keponakannya.
Sejak
sang pemilik kebun merawat gadis ini, gadis ini terus menatap ke bawah, tidak
membiarkan perasaannya di ketahui orang lain. Dan sekarang gadis ini datang
kepadanya dengan sebuah permohonan yang sangat teramat. Bagaimana mungkin Paman
dapat menginjak-injak permintaan itu?
“…Baiklah.”
Sang pemilik kebun menghela napas panjang, bibir pada wajahnya yang terpanggang
matahari berubah menjadi senyuman. “Kasih tahu dia untuk tinggal di sini.
Selama yang dia mau.”
“Beneran?!”
Seperti
apa kalimat pepatah itu? “Sang gagak yang menangis kini telah tergantikan
dengan tawaan.”
Wajah
gadis itu bersinar, bahkan dengan air mata yang berlinang dari matanya.
“Tapi,” Paman
berkata, “Aku mau dia membayar uang sewa. Paling tidak itu akan membuat dia
berkontribusi pada tempat ini.”
Sang
pemilik kebun tidak lupa untuk menambahkan kaliamt peringatan. Keponakannya
tentu sangat mempercayai bocah itu, namun sebagai penjaganya, sang pemilik
kebun harus lebih berhati-hati. Telah lima tahun berlalu semenjak rumah gadis
ini telah di hancurkan, waktu yang cukup bagi bocah itu untuk menjadi tidak
hanya petualang namun orang bajingan, salah satu dari kumpulan orang biadab.
Bocah
itu dapat tinggal di gudang atau tempat lain hingga sang pemilik merasa lebih
yakin tentang bocah itu.
“Kalau
dia setuju, bawa dia ke sini.”
“Ba-baik!
Itu bagus!”
Keponakannya
menggosok matanya berkali-kali dengan lengan bajunya. Matanya merah dan
membengkak, dan Gadis Sapi berkedip berkali-kali.
“Aku—aku
akan kembali bersamanya! Terima kasih, Paman!”
Kemudian
gadis berputar dan berlari melewati pintu lebih cepat di banding ketika dia
datang sebelumnya.
Pintu
tertutup dengan keras. Sang pemilik melihatnya kembali dan menghela lagi.
“Kalau
begitu, sekarang…”
Gadis
Sapi sudah begitu terburu-buru; Paman yakin bahwa sang gadis lupa untuk membawa
para sapi pulang.
Paman
akan melakukannya demi sang gadis. Sang pemilik kebun meregangkan tubuhnya dan
bersiap untuk bekerja.
Bocah
ini bukanlah orang asing. Dan bukan darah dagingnya, hanyalah seorang teman
keponakannya, namun tali persaudaraan tetaplah tali persaudaraan. Bocah itu
berasal dari desa yang sama.
Siapa yang tahu? Kalau kita
menunjukkannya kehidupan yang tenang dan nyaman, mungkin itu akan meredam
amarahnya.
*****
Bintang-bintang
berkelip di kegelapan malam, dan bulam kembar bersinar begitu terangnya.
Dia sedang melihat ke atas, menatap seksama pada
bulan merah dan hijau.
Di
kejauhan dapat terdengar hiruk-pikuk keramaian kota, sebuah keriuhan yang dapat
terdengar hingga masuk ke dalam kegelapan hutan sampai rerumputan perkebunan.
Jika seseorang mendengarkan dengan seksama, seseorang itu bahkan dapat
mendengarkan suara hewan-hewan liar yang bersembunyi di balik baying-bayang.
Namun
mendengarkan dengan seksama bukanlah yang sedang dia lakukan.
Dia
hanya berdiri, mengingat kembali pertarungan itu di dalam pikirannya.
Dia
telah mempersiapkan perlengkapannya, masuk ke dalam gua, bertarung melawan
goblin, dan membunuh mereka.
Dia
masih dapat merasakan sensasi akan mencabut dua puluh satu nyawa di tangannya.
Dia masih belum terbiasa dengan semua ini.
Dia
telah menyelamatkan gadis itu dan mengantarkannya ke kepala desa . dia tidak
mengetahui apa yang terjadi pada gadis itu setelahnya, dan juga dia tidak
peduli untuk mempertanyakannya.
Dia
tidak memikirkan apakah dia menang atau kalah. Dia bahkan tidak memikirkan
kenyaatan bahwa dia telah menyelamatkan seseorang.
Yang
dia ketahui adalah dia telah menghancurkan sebuah sarang.
Apa
yang akan di hasilkannya dari menghancurkan satu lubang goblin?
Tidak ada.
Yang
dia lakukan hanyalah menghancurkan satu sarang goblin.
Tidak
lebih.
Tidak
ada yang berubah.
Tentu
saja tidak ada. Apakah dia berharap sesuatau akan berubah, sekecil apapun?
Konyol.
Hatinya
terasa dingin. Tidak sedikitpun emosi yang menggenang di hatinya.
Masih banyak yang harus di
pikirkan.
Pedangnya
telah patah, namun ternyata pedangnya lebih mudah di pakai dalam keadaan
seperti itu. Dia perlu membeli sebuah pedang pendek.
Armornya
telah memuaskannya, namun tampaknya armor ini sedikit rentan akan serangan
tusukan. Dia akan membutuhkan sebuah baju besi atau semacamnya.
Sebuah
perisai merupakan pilihan yang tepat. Idealnya, perisainya perlu sedikit lebih
kecil dan memudahkan untuk bergerak… Sebuah perisai tanpa gagang, hanya tali
pengikat.
Helm
sangatlah penting. Helm ini telah menyelamatkan nyawanya. Namun apa yang harus
di lakukan perihal dua tanduknya…atau satu tanduk?
Antiracun.
Potion. Benda-benda penyembuh. Dia akan membutuhkan bermacam-macam benda ini.
Merupakan satu melawan banyak. Dia membutuhkan setiap kartu yang dapat dia
mainkan.
Dia
akan memikirkan sebuah strategi. Jika dia terus melakukan apa yang dia telah
lakukan kali ini, dia akan mati. Dia tidak peduli jika dia mati, namun
setidaknya dia ingin membawa lebih dari satu atau dua goblin mati bersamanya.
Taktik
merupakan hal yang penting juga.dia akan dapat membunuh mereka dengan lebih
lancer, dan tanpa harus meninggalkan pekerjaannya setegah selesai.
Jika
dia dapat membunuh mereka, dia tidak akan terbunuh. Merupakan sebuah kenyataan
yang sederhana.
Dia
akan berpikir, membuat rencana, dan menyerang. Dia tidak dapat menghiraukan
latihannya.
Tidak
ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Namun dia akan
melakukannya dengan lebih baik di lain kali. Dan lebih baik lagi setelahnya.
Semua
tidak akan berakhir hanya dengan satu atau dua sarang. Tidak mungkin.
Ini
hanyalah sebuah awal. Hanyalah langkah pertamanya.
Aku akan membunuh semua
goblin.
“Heeeei!”
Itulah
di mana sang gadis telah tiba: seorang gadis yang berlari pada jalanan yang
gelap tanpa sebuah lentera, dadanya kembang-kembing karena kelelahan.
Adalah
seorang gadis yang menghentikan dirinya. Dia mengingat gadis itu, gadis itu telah
berkata, “Tunggu di sini,” dan oleh karena itu dia menunggu.
“Pa-pamanku,
dia—dia bilang—!”
Sang
petualang yakin dia melihat ekspresi kelegaan dan kebahagiaan yang tampak di
keseluruhan wajah sang gadis ketika dia melihatnya.
“Dia
bilang kamu bisa…tinggal di sini! Ja-jadi a—“
“Ayo.” Kata
itu begitu lembut, begitu tersiksa, hingga membuatnya tampak seperti akan
menangis.
Sang
petualang terdiam sesaat, berpikir. Dan kemudian, dia mengangguk perlahan.
0 Comments
Posting Komentar