TEBAS DAN LIBAS
(Translater : Zerard)
Para
petualang meninggalakan desa pada dini hari. Mereka ingin mencapai sarang
secepat mungkin, namun malam adalah milik para goblin. Benar, “kegelapan putih”
menguasai siang dan malam di sini, namun tidak ada alasan untuk memberikan
sebuah keuntungan untuk musuh mereka. Tidak ada yang memprotes untuk
meninggalakan desa pada momen di mana keamanan dan bahaya sangat seimbang.
Paling
tidak, tidak ada yang memprotes seperti itu…
“Oooooh…
di-di-di-dingin banget…!” High Elf Archer mengeluh, telinga panjangnya
menggigil seraya mereka berjalan di jalan bersalju. High Elf Archer sudah
terbiasa dengan kehidupannya, namun merupakan pengalaman pertamanya pada
pegunungan bersalju ini merupakan sesuatu yang masih mengejutkannya.
Setiap
tubuh dari anggota partynya terikat dengan sebuah tali, mendaki puncak gunung
salju tidaklah mudah. Salju tebal yang menyelimuti tanah, begitu dalam dan
dingin, dan jika seseorang tidak beruntung, kaki mereka mungkin akan amblas masuk ke dalam salju yang
tidak berdasar. Terdapat tempat dengan batu-batu runcing, yang dapat merenggut
nyawa jika seseorang yang ceroboh tersandung di sana.
“Erm…
Hrgh. Hmm. Ini cukup…”
“Kamu
nggak apa-apa…?”
“Oh…
Tentu saja…”
Lizard
Priest, yang berasal dari selatan, menjadi semakin lambat seraya tubuhnya
semakin dingin. Dia mengangguk pada Priestess, yang memperhatikannya dengan
khawatir, dan melipat ekornya. Dwarf Shaman menggenggam tangan Lizard Priest.
“Bertahanlah
sedikit lagi. Aku sudah menggunakan Tail Wind untuk menjauhkan badai salju dari
kita. Kalo nggak, keadaan akan lebih buruk.”
“Hmm.
Dan saya sungguh berterima kasih.” Lizard Priest mengangguk. “Tuanku Goblin
Slayer, seperti apakah keadaan di depan?”
“Nggak
ada masalah.”
“Syukurlah.”
Goblin
Slayer berjalan sedikit lebih jauh dari ke empat rekannya. Dia melihat pada
punggung bukit, membandingkannya dengan posisi mereka pada peta di tangannya.
“Kita
hampir sampai.”
Walaupun
begitu, pemandangan yang berada di depan mereka sangatlah begitu biasa. Sebuah
lubang hitam ternoda dengan lingkungan putih pegunungan. Kotoran di tumpuk pada
sebelah sisi pintu masuk. Adalah sebuah tempat yang akan menjadi rumah bagi
para monster.
Mereka
semua merasa bersyukur pada mantra Tail Wind Dwarf Shaman, yang menggunakan
bantuan roh angin untuk menjauhkan badai dari mereka. Namun—
“Kita
harus menghangatkan diri kita,” sang dwarf berkata. “Heeei, Beardcutter! Nggak
apa-apa kan kalau aku bikin api?”
“Lakukan.”
“Langsung.”
Dengan
kemampuan yang menggambarkan seorang dwarf, dia mengeluarkan beberapa ranting
kering dan menyalakan batu api.
“Di
mana kamu menemukan itu?” Priestess bertanya.
“Di
bawah salju, agak di dalamnya. Kamu harus mengingat ini.”
Mereka
berteduh di bawah sebuah lubang kecil yang mereka gali dari salju agar para
goblin tidak dapat melihat api mereka. Lagi, penuh dengan awan-awan, masih
sedikit gelap; matahari begitu lemah dan masih begitu jauh.
“Matahari
sebentar lagi terbit. Kalau tubuh kita sudah nggak kaku lagi, kita masuk ke
dalam.” Goblin Slayer melonggarkan ikatan pada armornya dan menaruh tasnya.
Priestess
melihatnya terkejut; dia tidak pernah melihat Goblin Slayer melepaskan armornya
seperti ini sebelumnya. “Apa kamu yakin nggak apa-apa melakukan itu?”
“Kalau
aku nggak melakukan ini selama kurang lebih beberapa menit, kaku di tubuhku
nggak akan bisa hilang.”
Dia
melepaskan pelindung tangannya, memijat tangan coklat kasarnya.
“Kalian
juga harus memijat tangan dan kaki kalian,” dia berkata.” Kalau tangan dan kaki
kalian teracuni karena roh es, tangan dan kaki kalian akan membusuk.”
“Eep!”
High Elf Archer menjerit. Dia sangat memahami hal-hal yang menyangkut roh, dan
karena itulah yang membuatnya merasa lebih merinding. Dengan merengut, dia
mulai menggerakkan jarinya pada bagian tubuhnya.
“Kakimu
juga. Jangan lupa.”
“Er,
iya!” Priestess melepaskan sepatunya dan kaus kakinya dan mulai memijat
jempolnya yang pucat. Kaus kakinya telah membuatnya terkejut; kaus kakinya
telah basah dan menjadi begitu berat. Mungkin itu merupakan campuran dari
keringat dan lelehan salju.
Aku harusnya bawa cadangan…
“Bagaimana
keadaanmu?” Goblin Slayer bertanya, melihat kepada Lizard Priest. Wajah monk
bersisik sama sulitnya untuk di terka seperti Goblin Slayer, namun di karenakan
alasan yang berbeda. Namun, sangatlah jelas bahwa dia begitu menggigil di
karenakan suhu dingin.
Lizard
Priest menyapu sedikit salju yang ada di sisiknya. “M-mm. Yah, paling tidak
kita sudah sampai. Siapa yang menyangka ada tempat yang begitu dingin seperti
ini di dunia?”
“Masih
ada tempat lain yang lebih dingin dari di sini.”
“Luar
biasa!”
Sekarang
Lizard Priest dapat mempercayai rumor akan leluhurnya yang telah punah oleh
masa jaman es.
Mentertawai
diam-diam sang lizard, Dwarf Shaman mengambil tasnya dengan gerakan yang lincah
dan mengeluarkan sebotol fire wine untuk partynya. Dia mulai menuangkannya.
“Ini,
sedikit fire wine, minumlah. Ini akan menghangatkan tubuhmu.”
“Terima
kasih banyak. Mm, anda memang mengetahui apa yang di butuhkan, master pembaca
mantra.”
“Oh,
sudahlah, kamu bikin malu aku. Ini untukmu.”
“Te-terima
kasih,” kata Priestess.
“Terima
kasih.” High Elf Archer.
“Terima
kasih.” Goblin Slayer.
Mereka
mulai menyeruput minuman mereka. Mereka hanya mencari sedikit kehangatan; akan
sangat tidak baik jika mereka menjadi mabuk.
Tanpa
peringatan dan tanpa alasan yang jelas, High Elf Archer bertanya kepada Lizard
Priest. “ Hei, bukannya dulu kamu bilang sama kami kalau tujuanmu untuk
meningkatkan derajatmu dan menjadi naga?”
Tubuh
besar sang lizard meringkuk sedekat mungkin di depan api, dan tas persediaannya
ada di tangannya. Mungkin dia sedang lapar, atau mungkin dia hanya ingin
sedikit merasakan keju yang sekarang telah di keluarkannya.
Lizard
Priest tidak menyembunyikan apa yang sedang dia lakukan dan mengangguk dengan
sigap.
“Benar
sekali.”
“Naga
yang suka keju, ya?” High Elf Archer kembali menyerput gelas di tangannya dan
tertawa kecil.
“Jauh
lebih baik bagi dunia di banding seekor wyrm yang menginginkan harta karun atau
tumbal perawan,” Dwarf Shaman berkata.
“Paling
nggak dia nggak perlu khawatir soal seseorang yang ingin membasmi dia. Aku bisa
minta sedikit kejunya?”
“Tentu
saja.”
Mereka
berada tidak jauh dari sarang goblin, masih merasa dingin walaupun dengan
adanya api, namun High Elf Archer merasa sedikit lebih hangat dan menjadi
bersemangat. High Elf Archer menggunakan belati obsidian untuk memotong
bongkahan keju yang Lizard Priest berikan kepadanya, kemudian memasukannya ke
dalam mulutnya.
Makanan
dari kebun itu selalu terasa lezat. Telinganya mengepak senang.
“Aku
penasaran. Apa seorang gadis memang terasa begitu lezat bagi para naga? Atau
itu cuma ritual atau semacamnya?”
“Pertanyaan
bagus. Mungkin jika saya menjadi naga, saya akan memahaminya.”
“Apa
kamu… Maksudku, apa kamu yakin benar-benar bisa menjadi naga?” Priestess bertanya,
menyeruput fire wine-nya dengan ragu. Helaan kecil terlepas dari bibirnya.
“Maksudku…menghembuskan napas api dan terbang melintasi udara… Mungkin itu
hal-hal yang bisa kamu lakukan dengan keajaiban?”
“Heh-heh-heh!
Itu memang apa yang sering di ceritakan orang jaman dulu!” Dwarf Shaman sudah
menghabiskan gelasnya dan bersiap untuk gelas kedua. “Tapi kamu nggak bisa
mempercayai semua yang di katakan orang jaman dulu juga.”
“Namun
pada kampong halaman saya bersemayam seekor naga besar dan mengerikan yang
berubah dari sebuah tengkorak. Dan
tentunya jika monyet dapat berubah menjadi manusia, tentunya para lizard…”
Priestess
tersenyum samar seraya mendengar gumam serius Lizard Priest. Masing-masing dari
mereka memiliki kepercayaan tersendiri.
“Oh,
benar juga!” High Elf Archer berkata tiba-tiba, mengepak telinga panjangnya.
“Kalau kamu jadi naga, berarti kamu jadi abadi kan? Aku akan mengunjungimu
nanti!”
“Oh-ho.”
“Maksudku,
kita sedang bicarain soal ribuan tahun kan? Kamu bakal jadi super bosan. Kamu
bakal jadi gila tanpa adanya teman yang menghabiskan waktunya bersamamu.”
High
Elf Archer berkata dengan keseriusan bahwa dia mengestimasi 60 persen dari naga
yang mengamuk di dunia hanyalah naga yang mencari sesuatu untuk di lakukan.
Lizard
Priest mengangguk. Kemudian dia membayangkan bagaimana rasanya jika suatu hari
dia menjadi naga.
“Seorang
naga yang mengisahkan petualangan seorang Goblin Slayer. Dan seorang naga yang
di kunjungi oleh seorang high elf.”
“Dan…naga
yang suka dengan keju,” High Elf Archer menambahkan.
Semua
ini membuat mata Lizard Priest berputar bahagia. “Itu terdengar menyenangkan
sekali.”
“Benarkan?”
“Namun
cukup bercandanya. Seribu tahun akan berlalu pada waktunya, dan kita harus
melakukan apa yang harus di lakukan sekarang.” Lizard Priest berputar melihat
Goblin Slayer. “Tuanku Goblin Slayer, bagaimana cara kita menyerang mereka?”
Goblin
Slayer telah mendengarkan percakapan mereka tanpa berkata-kata. Sekarang dia
berkata, “Pertanyaan bagus.” Dan kemudian berpikir. Kemudian dia berkata, “Aku
rasa kita harus melakukan apa yang biasanya kita lakukan. Warrior di depan,
kemudian ranger, warrior-monk, cleric, dan pembaca mantra.”
“Seperti
biasa,” Lizard Priest berkata.
“Terowongan
itu kelihatannya cukup lebar,” kata Dwarf Shaman, yang mengintip dari balik
lubang salju untuk melihat pintu masuk. “Mungkin dua depan tiga belakang bisa?”
Goblin
memiliki pengelihatan malam yang bagus. Pintu masuk menuju sarang menganga
lebar dan begitu gelap. Di sana sepertinya tidak ada penjaga. Apakah ini sebuah
perangkap? Atau hanyalah kecerobohan? Atau…
“Feh.
Anggurku jadi terasa nggak enak,” Dwarf Shaman berkata dengan jentikkan
lidahnya. Dia pasti telah menyadari
bahwa tumpukan sampah pada pintu masuk merupakan lebih dari sekedar sampah.
Tubuh
seorang petualang wanita tergeletak di antara barang buangan. Mayat itu telah
di buang begitu saja layaknya sebuah pagar yang sudah rusak. Perlengkapannya
telah di lucuti; sangatlah jelas tubuhnya telah di gauli berkali-kali, dan sisa
tubuhnya yang terpapar telah di kunyah oleh makhluk-makhluk liar.
Namun
yang paling buruk dari semua itu, sang petualang itu tampaknya seorang wanita
elf. Tampaknya—yah, wanita itu pasti
telah melakukan perlawanan, dan kekerasan yang dia alami sepertinya berlanjut
hingga ajal menjemputnya. Telinganya telah di potong sehingga seukuran manusia,
ujung telingannya tersangkut pada bibirnya. Permainan keji para goblin tidak
pernah kenal batasan.
High
Elf Archer melirik pada Dwarf Shaman. “Hmm? Ada yang salah?”
“…Nggak.
Nggak apa-apa,” dia berkata pendek. “Tapi dengar nasihatku Telinga Panjang,
jangan terlalu jauh berkeliaran.”
“Nggak
bakal. Mungkin kadang-kadang.”
“Hei,”
Goblin Slayer mendengus, dan bertanya perlahan pada Dwarf Shaman, “…apa rambut
emas di sana?”
Sang
dwarf menggeleng kepalanya perlahan. Dia membelai jenggotnya, melihat sekali
lagi, dan menggeleng kepalanya lebih pasti. “Sejauh aku lihat, sepertinya
bukan.”
“Kalau
begitu kita masih punya waktu,” Lizard Priest berkata, dan kedua pria lainnya
mengangguk.
Priestess
merinding, mungkin di karenakan sebuah firasat yang muncul setelah mendengar
percakapan itu. Goblin Slayer menepuk pundak Priestess dan berkata, “Ayo.”
Kemudian dia melirik pada kaki telanjang yang pucat sang gadis. “Pakai kaus
kaki dan sepatumu.”
*****
Baying-bayang
api obor berdansa dengan begitu menakutkan dalam hembusan angin. Namun jika di
lihat arah kemiringan galian terowongan itu, tampak akan membuat seseorang
dapat terlindung dari salju dan angin setelah seseorang tersebut masuk ke
dalam; seseorang itu bahkan dapat merasakan kehangatan. Andai saja tidak ada
aroma daging dan tinja yang mengambang di udara di dalamnya, tempat ini hampir
terasa begitu nyaman.
“Hmm.
Jalan menurunnya cukup terjal,” Lizard Priest berkata, ekornya berayun dengan
rasa tertarik.
“Yeah,
tapi jalannnya naik lagi di depan sana,” High Elf Archer berkata.
“Mmm.”
Tampaknya
para goblin telah menggali tanah ini ke bawah dengan segera ketika membangun
sarangnya kemudian menggali ke atas lagi. Sudut yang begitu terjal tidak
terlihat alamil; kemungkinan besar, sudut ini telah di buat oleh tangan para
goblin.
“Hmm.
Pintar juga mereka membuat pelindung dari hujan dan salju seperti ini,” Dwarf
Shaman berkata, menunjukkan pengetahuannya dalam hal konstruksi. Dia melirik ke
belakang pada pintu masuk. “Setiap hembusan salju yang masuk akan tersangkut di
sini dan nggak akan masuk ke dalam gua.”
“Goblin
bisa membuat yang seperti ini?” Priestess berkata, berkedip bingung, atau
mungkin , terkejut. Dia sangat mengingat apa yang sering di katakan padanya:
bahwa goblin sangat bodoh, namun mereka tidak tolol. Dengan kata lain, dengan
sedikitnya pengetahuan mereka tidak mengartikan bahwa mereka tidak berpikir.
Namun ini…
“Aku
nggak tahu.” Goblin Slayer menjawab dengan datar, hampir mekanikal. Dia menarik
pedang dari pinggulnya dan menggunakannya untuk mengaduk genangan kotoran yang
berada di bawah turunan. Dia menjentikan lidahnya. “Kita masih belum tahu
pasti. Yang bisa aku kasih tahu adalah, jangan injak air ini.”
“Apa
ada sesuatu di dalamnya?” Priestess bertanya.
“Jebakan.
Ada pasak di dasarnya.”
Dengan
kata lain, sebuah lubang perangkap. Para goblin telah menyembunyikannya di
bawah genangan kotoran, dan tidak dengan cara di kubur.
High
Elf Archer memeriksa kedalaman genangan itu dengan salah satu panah bermata
kuncupnya, dan mengernyit. “Ugh. Jorok
banget.”
“Aku
perlu kamu untuk mendengarkan kehadiran musuh kita.”
“Aku
tahu, aku tahu. Sudah ku bilang serahkan saja sama aku.” High Elf Archer
melompati genangan dengan lincah, namun kemudian mengkedipkan mata nakal dan
tertawa. “Aku nggak sanggup kalau harus kotor-kotoran terus menerus.”
Sebuah
kantung beraroma wangi yang menggantung di sekitar leher High Elf Archer telah
membantunya untuk mengusir bau yang ada. Dia mengepak telinga panjangnya dengan
bangga, namun Goblin Slayer menggeleng kepalanya dan berkata datar,
“Kotor-kotoran itu bukan tujuan sebenarnya.”
“Ah-ha-ha-ha-ha-ha…
Iya benar, tapi, yah, kalau kamu sampai sekotor itu, membersihkannya bakal
merepotkan sekali…kan?”
Priestess
mendengar tawaan garing High Elf Archer. Kantung yang serupa mengantung di
samping kalung peringkatnya di sekitar lehernya. Priestess mungkin telah
terbiasa dengan darah dan jeroan yang di gosokan di keseluruhan tubuhnya, namun
itu bukanlah sesuatu yang dia senangi.
Jika
di pikir kembali, dia juga tidak menyukai tumpukan mayat di samping pintu
masuk-pun juga. Priestess telah memiliki banyak pengalaman dengan goblin
sekarang, telah melihat hal seperti itu berkali-kali dan membuat dirinya
sendiri terbiasa—namun tetap saja. Dia membutuhkan lebih dari sekedar candaan
atau tawaan…
“Hei.”
High Elf Archer, di depan, melirik pada Priestess dan mengangguk perlahan. High
Elf Archer juga merasa hal yang sama. Para elf memiliki persepsi yang luar
biasa. Melihat kepakan telingan sang archer, Priestess mengangguk membalas.
“Ayo…lakukan
apa yang kita bisa.”
“Iya.”
Setelah
turun dan kemudian menaiki dua atau tiga lereng, party mereka akhirnya tiba
pada terowongan utama gua ini. Obor mereka hampir terbakar habis, dan Goblin
Slayer menggantinya dengan obor baru dari tasnya.
“Pegang
ini.”
“Oh,
baik pak!”
Dia
memberikan obor yang lebih kecil kepada Priestess, sementara dirinya sendiri
memegang obor yang baru, yang bercahaya begitu terangnya.
Mereka
berdua merupakan satu-satunya manusia di dalam party ini, benar, satu-satunya
di dalam gua ini, yang tidak memiliki pengelihatan malam. Dengan cahaya dari
obor, Goblin Slayer memeriksa dinding tanah dengan seksama.
Tampaknya
mereka telah menggalinya dengan alat seadanya. Galian mereka tidak rapi namun
kokoh—sebuah contoh sarang goblin yang lumrah.
Permasalahan
utamanya ada di tempat lain.
“Aku
nggak lihat ada totem.”
“Apa
itu berada nggak ada shaman?”
“Aku
nggak tahu.” Dia menggeleng kepalanya. “Aku nggak tahu, dan aku nggak
menyukainya.”
“Mmm…
Namun bukannya bakal lebih mudah bagi kita kalau mereka nggak mempunyai pembaca
mantra?” High Elf Archer bertanya.
“Saya
juga mulai terusik dengan ini semua,” Lizard Priest berkata, membuka rahangnya
yang besar. “Penyerangan pada desa, kemampuan mereka untuk menangkal petualang
sebelumnya. Sangatlah sulit di bayangkan jika tidak ada otak di belakang
operasi ini.”
“Apa
menurutmu ada dark elf atau ogre lainnya?” Priestess bertanya.
“Atau
mungkin…seekor demon?” High Elf Archer berbisik dengan ekspresi takut.
Ucapannya bergema pada dinding lorong gua, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Para
petualang saling bertukar pandang, dan kemudian Dwarf Shaman, membelai
jenggotnya, menghela napas. “Ahh, sudahlah, nggak ada gunanya membuat hipotesis
yang berlebihan.” Dia melompat (karena dia sangat pendek) dan menepuk punggung
Goblin Slayer. “Ini bukanlah apa yang kami bilang dengan ‘membendung sebuah
pedang terkenal dengan sebuah palu.’ Tapi Beadcutter, Kita harus focus dengan
apa yang bisa kita lakukan sekarang.”
“Ya,”
Goblin Slayer berkata setelah beberapa saat. Dia mengangkat obor dan
memperhatikan dinding sekali lagi, kemudian mengangguk. “Apa itu tadi pepatah
bangsa dwarf?”
“Iya,”
Dwarf Shaman berkata dengan dengusan senang.
“Begitu.”
Seraya Goblin Slayer berjalan dengan langkah sigap biasanya, gumaman dapat
terdengar. “Tidak perlu lagi untuk
menempa pedang terkenal.” Dan kemudian, “Hmm.
Tidak jelek.”
Susunan
gua ini tampaknya tidak begitu kompleks, dan mereka berjalan untuk beberapa
saat. Tidak ada tanda kehadiran goblin, hanyalah sebuah aroma busuk yang
menjalar.
“Aku
rasa aku bakal sakit,” High Elf Archer bergumam, menarik kerah baju hingga ke
mulutnya. Tidak ada yang mengatakannya, namun kebanyakan dari party mereka
dapat menyetujui ucapan itu—terkecuali Goblin Slayer.
Pada
akhirnya mereka tiba pada persimpangan tiga. High Elf Archer dengan segera
menunduk, menginspeksi laintai mencari jejak kaki dengan hati-hati.
“Banyak
jejak mengarah ke kanan,” dia melaporkan, menepuk tangannya untuk membersihkan
debu. Dia tidak selalu dapat membaca jejak kaki pada bangunan buatan manusia,
namun pada tempat alami seperti gua ini, matanya sangat dapat di andalkan.
Jejak itu menandakan bahkan di sebelah kanan merupakan ruang tidur, dengan
sebuah gudang persenjataan di sebelah kiri. Atau mungkin…
“Kemarin
dulu, kita mulai dari toilet,” Dwarf Shaman berkata.
“Benar,”
Goblin Slayer berkata. “Akan nggak baik kalau kita melewatkan seseorang hanya
karena dia sedang menggunakan kamar kecil.”
“Rencana
yang sama lagi kali ini?”
“Mm,”
Goblin Slayer mendengus.
Haruskah
mereka melakukan hal yang sama seperti yang dulu telah mereka lakukan? Apakah
aman untuk menggunakan strategi yang sama setiap waktu? Seberapa besar
kemungkinan bagi musuh untuk memprediksi apa yang akan mereka lakukan?
Bayangkan.
Pikirkan. Jika persenjataan merupakan senjata utama seorang manusia, maka
pengetahuan dan perencanaan merupakan senjata keduanya.
Jika
dia seekor goblin, apa yang akan dia
lakukan?
“Kita
akan serang sebelah kanan dulu.” Goblin Slayer membulatkan keputusannya tanpa
keraguan. Tidak ada kompromi.
High
Elf Archer menarik panah pada busur besarnya, sementara Lizard Priest
mempersiapkan sebuah pedang taring. Dwarf Shaman memasukan tangan pada tas
katalisnya, dan Priestess menggenggam erat tongkatnya.
Mereka
bergerak cepat melewati terowongan, hingga tiba pada ruangan besar dan kosong.
Di sana, di depan mereka adalah gerombolan goblin, membawa sekop dan beliung
seolah bersiap melakukan sergapan…
*****
“O Ibunda Bumi yang maha
pengasi, limpahkanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dengan
kalimat ini, Priestess mengambil inisiatif. Dia melakukan ini tidak melalui
kemampuan special—hanyalah berdasarkan
lemparan dadu. Namun dari caranya melantunkan keajaiban Holy Light tanpa
keraguan merupakan sebuah bukti seberapa besarnya dia telah tumbuh. Dia
mengangkat tongkatnya, yang di mana ujung tongkatnya telah terisi oleh
keajaiban suci. Sebuah cahaya menyilaukan membanjiri gua.
“GORARAB?!”
“ORRRG?!”
Para
goblin, tersilaukan oleh cahaya, memegang mata mereka dan menjerit. Priestess
menghitung sepuluh—tidak, lima belas?
“Tujuh
belas. Nggak ada hob, nggak ada pembaca mantra, ada pemanah. Ayo!”
Bagi
para petualang, yang memiliki cahaya di belakang mereka, cahaya ini bukanlah
sebuah masalah.
“Korban
pertama milikku!” Tidak lama setelah Goblin Slayer memberikan perintahnya,
sebuah panah bermata kuncup mulai terbang. High Elf Archer telah menarik benang
laba-laba busurnya dengan begitu elegan, melepaskan tiga panah yang dia siapkan
dengan satu gerakan.
Gua
ini mungkin memang gelap dan sempit, namun itu bukanlah sebuah halangan untuk
bidikan para elf. Kemampuannya yang begitu tinggi sangatlah sulit di bedakan
dengan sihir. Tiga goblin mati di tempat mereka berdiri: empat belas lagi.
Sebuah hujan batu mulai menyerang makhluk yang tersisa.
“Keluarlah kalian gnome, ini
waktunya bekerja, jangan kau berani melalaikan kewajibanmu—sedikit debu tidak
akan memberimu arti, namun beribu debu akan membuatmu menjadi batu yang indah!”
Dwarf
Shaman melempar beberapa pasir ke udara, merubahnya menjadi batu yang
menghujani musuh.
“ORGAAA?!”
“GROOROB?!”
Para
goblin berteriak dan berlari mundur. Mantra Stone Blast telah menyerang mereka
tanpa pilih kasih, mematahkan tulang dan mencabik daging.
Pada
titik ini, tentu saja mantra yang dapat melukai musuh dan mantra yang dapat
membantu sekutu di gunakan secara bersamaan.
Adalah Dwarf Shaman sendiri-lah yang memutuskan untuk menggunakan teknik
menyerang Stone Blast, sebelum penyerangan pada musuh berlangsung.
Sepuluh
goblin tersisa. Menjerit dan terisak air mata hina mereka, para monster maju
menyerang.
“Ini
dia! Giliran kalian Beardcutter! Scaly!”
“Hrrrooahhh!”
“Bagus.”
Satu
raungan lantang dan satu jawaban datar: kedua anggota party barisan depan
berdiri memblokir jalan masuk ruangan. Adalah hal yang sudah sewajarnya mereka
tidak masuk ke dalam; ketika berhadapan dengan musuh berjumlah banyak,
merupakan gerakan bijaksana untuk memilih titik sempit dan mempertahankannya.
Para
musuh, yang berjumlah lebih banyak dari mereka empat berbanding satu, jumlah
kekuatan mereka telah berhasil di kurangi hingga setengah. Dan hanya dua atau
tiga goblin yang dapat berdiri sejajar di ruangan ini. Melawan dua warrior, di
dalam medan seperti ini, pertarungan mereka hampirlah seimbang. Merupakan bukti
betapa pentingnya untuk mengambil inisiatif awal dalam pertempuran.
Lagipula,
akan selalu ada lebih banyak goblin di
bandingkan petualang. Takdir yang begitu keji menunggu para petualang yang
berhadapan dengan para goblin tanpa mengetahui fakta mendasar seperti ini.
“GORROB!”
“Eeyahhh!”
Para
goblin masih setengah terbutakan oleh kilauan cahaya; serangan mereka hampir
tidak perlu di khawatirkan. Lizard Priest menyerang dengan cakar dan ekor,
menghadapi satu goblin dengan serangan dashyat dan mengoyak goblin lainnya.
Delapan lagi.
Kaum
lizard menghormati kebuasan—karena itu merupakan kombinasi sifat kejam dan
kecerdasan tajam yang menggambarkan para naga. Beringas dan berani, seruan
perang bercampur dengan doa, Lizard Priest menerjang pada goblin yang masih
hidup.
“Hmph.”
Tepat di sampingnya, Goblin Slayer menusuk makhluk itu tepat pada daerah vital
mereka—tanpa suara, penuh kewajiban, presisi.
Tenggorokan,
jantung, kepala. Tidak pengaruh. Makhluk humanoid cenderung memiliki banyak
titik lemah. Goblin Slayer secara pribadi memilih tenggorerokan. Satu tusukan
pada tenggorokan mungkin tidak akan membunuh mereka dengan sekejap, namun itu
akan membuat mereka tidak berdaya. Dia menendang kesamping seekor goblin yang
tersedak dan melempar pedangnya pada seekor goblin yang berada jauh darinya.
“ORAGAGA?!”
“Sepuluh,
sebelas.”
Sasarannya
tumbang, pedangnya telah menembus tenggorokannya. Bahkan di dalam kegelapan,
bidikannya begitu jitu.
Enam
lagi. Goblin Slayer mengambil sebuah pentungan yang di miliki oleh salah satu
goblin yang telah mati dengan menggunakan kakinya, mengangkatnya hingga
mencapai tangannya. Dia menangkis sebuah serangan kapak dari goblin yang ada di
sampingnya dengan perisainya, kemudian mengarahkan sebuah serangan dengan
pentungannya pada perut makhluk itu.
“ORARAO?!”
Sesuatu yang menjijikan menciprat dari dalam mulut goblin. Goblin Slayer
menyerang sekali lagi. Dengan ini jumlahnya bertambah dua dari hitungan
terakhirnya.
Setelah
memberikan pukulan yang mematikan pada tengkorak makhluk itu, Goblin Slayer
dengan acuh membersihkan muntahan darah dari perisainya.
“Tiga
belas. Musuh kita nggak lama lagi akan tersadarkan.”
“Baik!”
Empat
lagi. Tentunya bukan sebuah alasan untuk bersantai.
Walaupun
dengan kegelisahan yang tersirat pada parasnya, Priestess mengangkat tongkatnya
dan melantunkan keajaiban yang menguras jiwanya kembali.
“O Ibunda Bumi yang maha
pengasi, limpahkanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Ibunda
bumi menjawab doa akan muridnya yang taat dengan keajaiban lainnya. Cahaya
menyilaukan membanjiri ruangan sekali lagi, melenyapkan kegelapan gua.
Akan
tetapi, para goblin tidaklah tolol. Mereka tentunya tidaklah cerdas, namun jika
menyangkut akan kekejaman dan dendam, mereka tidak memiliki lawan tanding. Dan
ketika kekejaman bergabung dengan tidak adanya prinsip, hasilnya adalah sesuatu
yang tidak dapat di hindari.
Tongkat
yang sebelumnya gadis itu angkat telah bersinar. Sekarang gadis itu telah
mengangkatnya kembali. Itu artinya tongkat itu akan bersinar kembali.
Salah
satu dari goblin, menyatukan fakta sederhana itu, dan menundukkan kepalanya.
Sungguh di sayangkan, goblin itu merupakan salah satu dari pemanah. Seraya tiga
dari rekannya telah di bunuh, dia terus menundukkan kepalanya, menunggu
kesempatannya, panah dan busur sudah di siapkannya.
“Hh—Haagh!”
Jeritan
itu terdengar seperti jeritan terkejut. Seseorang terjatuh: adalah High Elf
Archer. Panah sang goblin telah terbang melewati dua warrior garis depan hingga
mengenai dirinya. Sebuah serangan kritikal.
“Apa-apaan!”
Lizard Priest berteriak.
“Hrrgh…”
Sebuah panah buruk namun jahat menancap kejam pada kaki High Elf Archer.
Goblin
Slayer melihat ke belakang, kemudian melempar pentungannya sebelum berlari
mengarah sang elf.
“ORAAG?!”
Wuush. Pentungan
berputar satu kali di udara, kemudian mengenai kepala goblin, memprovokasi
sebuah jeritan. Tetapi pukulan itu tidak cukup untuk membunuhnya. Seraya dia
berlari, Goblin Slayer mengambil sebuah belati dari tanah, memperdekat jaraknya
dengan satu loncatan besar.
“GOAORR…?!”
Sang
goblin mengambil busurnya dan berputar mencoba untuk melarikan diri, namun dia
sudah terlambat. Belati itu telah menancap di jantungnya, koyak sekali, dan
segalanya telah berakhir.
“Tujuh
belas…”
Mereka
semua telah di musnahkan.
Melihat
tumpukan mayat di sekitaranya, Goblin Slayer mengambil sebuah pedang yang ada
di dekatnya dan memasukkannya ke dalam sarung pedang.
“Hei-hei,
kamu nggak apa-apa, Telinga Panjang?!”
“Hrr—r—yeah,
aku—aku nggak apa-apa. Maaf. Aku sudah gagal.”
“Aku
akan segera merawatmu,” Priestess berkata. “Apa beracun?”
“Tunggu,”
Suara serius Lizard Priest berkata. “Pertama kita harus melepaskan panahnya
terlebih dahulu.”
Wajah
High Elf Archer sangatlah pucat, namun dia berusaha untuk terlihat tetap
berani; tangannya memberikan tekanan pada lukanya seraya dia bergumam. “Oke.”
Normalnya,
Goblin Slayer akan langsung pergi menuju rekannya. Namun ini masihlah wilayah
musuh. Mereka perlu untuk tetap siaga untuk adanya kemungkinan sebuah sergapan.
Dari
yang apa Goblin Slayer dapat lihat, luka High Elf Archer tidaklah fatal—dan
lagipula, ada sesuatu yang ingin dia periksa. Dia berjalan mendekati mayat
goblin archer yang terakhir dia bunuh dan memberikannya sebuah tendangan.
“Hrm.”
Tubuh
itu berguling, memaparkan pundaknya. Di sana, dia melihat sebuah bekas luka,
dari sebuah panah yang telah sembuh. Dia mengingat goblin ini.
“…Ap?!”
“Ada
apa?”
Pada
momen itu, Goblin Slayer mendengar suara terkejut dari belakangnya dan dia
berputar. Dia melangkah menuju tempat High Elf Archer berada. Priestess melihat
Goblin Slayer dari samping High Elf Archer.
“Pa-pak
Goblin Slayer… Lihat ini.”
Dengan
tangannya yang bergetar dan ternodai dengan darah High Elf Archer, dia
mengangkat batang panah itu. Ya—hanya batangnya, tidak ada mata panah.
Batang
itu terbuat dari sebuah cabang, keusangannya menandakan buatan seekor
goblin; batang itu bahkan memiliki bulu
kecil buruk rupa yang terpasang di ujungnya. Akan tetapi mata panahnya, tidak
terpasang dengan baik. Atau… Mungkin memang sengaja mereka buat seperti itu.
Mungkin mata panah itu memang di tujukan untuk patah dan meninggalkan mata
panahnya di dalam tubuh High Elf Archer.
Dia
telah ceroboh.
Tidak—renungan
dan penyesalan harus menunggu.
Dengan
segera, Goblin Slayer berlutut di samping High Elf Archer.
“Apa
sakit?”
“A-a-aku
nggak apa-apa, be-beneran… Orcbolg, kamu khawatiran banget…”
Dengan
sedikit gerakan tampak terlihat begitu menyakitkan. Darah mengalir dari kaki
High Elf Archer, dan dia mengerang.
“Tetap
berikan tekanan pada lukanya. Itu akan membantu menghentikan pendarahan.
Walaupun nggak begitu banyak.”
“Ba-baik,
aku.. aku akan melakukannya” Tidak di ragukan bahwa dia mencoba untuk terdengar
kuat, namun suaranya jauh lebih pelan dari biasanya.
Goblin Slayer berganti memberikan pertanyaan
pada Priestess.
“Ada
racunnya?”
“Untuk
sementara, sepertinya nggak ada. Tapi…” Seraya dia berbicara, Priestess melihat
luka High Elf Archer dengan cemas. Bahkan dengan sang elf yang berusaha
memberikan tekanan dengan sekuat tenaga, darah masih mengalir di antara
jarinya. “Kalau masih ada mata panah yang menancap di dalamnya, nggak aka nada
gunannya menutup luka dengan keajaiban penyembuhan…”
Keajaiban
cleric mungkin memang benar datang dari para dewa, namun efek keajaiban itu
masih terbatas pada realitas dunia fana. Menggunakan Minor Heal di saat masih
ada objek asing di dalam tubuh merupakan situasi yang sangat sulit.
Goblin
Slayer melirik pada Lizard Priest, namun dia menggelengkan kepalanya juga.
“Refresh,
hanya mampu memperkuat kemampuan penyembuhan alami tubuh sang penderita.”
Dengan
ini membuat kesimpulan menjadi mudah. Dwarf Shaman menggapai kantungnya seraya
dia berbicara. “Nggak bisa di biarkan ada di dalam, kan? Beradcutter, bantu aku
sedikit.”
“Baik.”
Dia dan sang dwarf bertukar pandang dan dengan cepat bekerja. Priestess, yang
mengetahui apa yang akan mereka lakukan, terlihat sedikit putus asa; sedangkan
High Elf Archer yang tidak mengetahuinya, hanya terlihat cemas.
Goblin
Slayer menarik sebuah belati—miliknya sendiri, bukan belati yang dia curi dari
goblin—dan memeriksa mata belatinya.
“Aku
saja yang lakukan. Berikan aku api.”
“Baiklah.
Dansa api, salamander tersohor. Berikan
kami sedikit bagian dari ketenaranmu.” Dwarf Shaman mengeluarkan sebuah
batu api dai antara katalisnya, memukulnya seraya dia berbicara. Sebuah api
kecil melayang di udara, menyinari belati Goblin Slayer.
Goblin
Slayer memanaskan mata pedang dengan hati-hati, dan kemudian mematikan api
dengan satu gerakan cepat. Hampir pada saat yang sama, dia menarik sebuah kain
dari dalam tasnya dan melemparnya pada High Elf Archer.
“Gigit
kain itu.”
“Apapa
yang mau kamu lakukan?”
“Aku
akan mengeluarkan mata panahnya.”
Telinga
High Elf Archer berdiri tegak,
“A-Aku
nggak mau kamu melakukannya! Setelah kita pulang, kita bisa—!”
Masih
duduk, High Elf Archer mulai bergerak mundur ke belakang. Dwarf Shaman menghela.
“Jangan
cengeng Telinga Panjang. Beardcutter harus melakukannya. Kamu mau kakimu
membusuk dan putus?”
Dari
samping mereka, Lizard Priest berbicara tenang dan dengan kepastian yang kukuh.
“Tentunya tidak akan ada cara untuk menyambungnya kembali.”
“Oooh…
Ohhh…”
“Ayolah
kalian semua, kalian membuatnya takut.” Priestess, tidak dapat diam begitu
saja, menegur para pria dalam partynya—namun dia tidak berusaha menghentikan
apa yang akan mereka lakukan.
Priestess
sendiri dulunya pernah merasakan sebuah panah yang di cabut secara paksa. Dia
sangat memahami rasa takut dan rasa sakit—dan betapa buruknya jika panah itu di
biarkan begitu saja.
“…Paling
nggak, buat agar nggak menyakitkan sebisa mungkin.”
“Apa
ada cara yang lain?” Goblin Slayer sedang menunggu mata pedang yang telah merah
untuk menjadi dingin dengan suhu yang tepat. Seorang dokter pengelana telah
mengajarinya bahwa dengan melakukan ini dapat menghilangkan racun dari sebuah
mata pedang.
“Tunjukkan
lukanya.”
“Errgh…
Ohh… Kamu benar nggak akan membuatnya terasa sakit kan…?” Dengan sangat
perlahan, dan wajahnya yang pucat pasi, High Elf Archer menggerakkan tangannya.
Goblin
Slayer tidak menjawab melainkan memeriksa lukanya, yang di mana darah masih
mengallr.
“Anggur.”
“Ini.”
Dwarf Shaman meneguk segelas anggur dan mencipratkannya seolah dia sedang
menggunakan Stupor. Air mata mengalir pada mata High Elf Archer seraya roh
alcohol membakar lukanya.
“Hrr…rrgh…”
“Gigit
kainnya. Supaya kamu nggak menggigit lidahmu.”
“Aku…
aku mau pastikan lagi, tapi… Kamu benar nggak akan membuatnya sakit kan…?”
“Aku
nggak bisa janji apapun,” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepalanya.
“Tapi aku akan coba.”
High
Elf Archer, tampak menyerah, menggigit kain dan menutup rapat matanya.
Priestess memegang tangan sang elf. Dan kemudian Goblin Slayer membenamkan
belati masuk ke dalam paha sang elf, memperlebar luka, dan menggali lebih
dalam.
“Hrrrrrrgh—Gah!
Gaggghhh…!”
Tubuh
kecil High Elf Archer menggeliat layaknya seekor ikan yang terdampar di
pesisir. Lizard Priest menahan pundak sang elf untuk tetap menjaganya, dan
Priestess terus menggenggam tangan sang elf. Goblin Slayer menghentikan apa
yang dia lakukan. Gerakan tangannya kejam namun pasti.
Proses
pengeluaran mata panah itu hanya membutuhkan waktu beberapa detik, walaupun bagi
High Elf Archer terasa bagai satu jam telah berlalu.
“Selesai.”
“Hooo…hooo…”
High Elf Archer menghela napas lega panjang.
Lizard
Priest meletakkan tangan bersisiknya pada paha High Elf Archer dan merapalkan, “Gorgosaurus, indah walaupun terluka, ijinkan
saya untuk menyembuhkan tubuh anda!” Dia di berkahi sebuah keajaiban:
Refresh. Kekuatan akan naga yang menakutkan membuat luka sang archer menjadi
lebih baik tepat di depan mata mereka. Daging menyambung dengan sendirinya, dan
kulit tumbuh menutupinya, luka itu sudah tampak menghilang. Benar-benar
keajaiban yang sesungguhnya.
“Apakah
anda dapat bergerak?” Lizard Priest bertanya.
“Y-yeah,”
High Elf Archer berkata gagap, air mata masih mengalir pada ujung matanya. Dia
menggerakkan kakinya ke depan dan belakang, memeriksa apakah kakinya masih
dapat berfungsi. Telinganya melemas sedih. “P3K manusia kasar banget. Aku masih
bisa ngerasainnya.”
“A-apa
kamu baik-baik saja?” Priestess bertanya, menawarkan pundakanya untuk menyokong
High Elf Archer seraya dia berdiri.
“Aku
rasa begitu…”
“Apa
kamu bisa menembakkan busurmu?” Goblin Slayer bertanya.
“Bisa
dong,” sang elf menjawab, mungkin jawabannya sedikit lebih ketus dari yang di
perlukan.
Bukanlah
karena dia ingin menyombongkan dirinya. Namun walaupun dia masih dapat
menembak, pergerakannya telah terbatasi. Paling tidak untuk hari ini.
“Kita
harus mundur untuk sementara—“ Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “—tapi kita
nggak bisa melakukannya sekarang.”
“Saya
meragukan akan jumlah mantra dan keajaiban kita yang tersisa.” Lizard Priest
berkata tenang.
Walaupun
begitu, helm baja itu menoleh dari satu sisi ke sisi lain. “Masih ada beberapa
dari mereka di bagian yang lebih dalam. Kita harus memeriksanya.” Goblin Slayer
memeriksa armor. Helm, perisai, dan senjata. Terpuaskan, dia berputar mengarah
rekannya. “Aku bisa pergi sendiri kalau kalian mau.”
High
Elf Archer yang terluka ada pertama yang menjawab. “Jangan ngelawak. Kita ikut
denganmu, iya kan?”
“Pastinya
kita ikut!.” Priestess menjawab dengan anggukan semangat.
“Mm,”
Goblin Slayer mendengus. Lizard Priest tertawa dan meletakkan tangannya pada
pundak Goblin Slayer.
“Itu
artinya kami semua akan ikut.”
“Pfah!
Telinga Panjang, nggak pernah mikirkan betapa capeknya kita semua.” Dwarf
Shaman berkata dengan sebuah senyuman dan gerakan pundak yang lebay.
High
Elf Archer menatap Goblin Slayer dengan sebuah lototan. “Hei, Orbolg yang mau—“
Dan
mereka mulai berlari.
Goblin
Slayer, menghiraukan perdebatan mereka yang sudah sering terjadi, memperhatikan
sekitaran ruangan. Walaupun mereka kalah jumlah, para goblin tampaknya tidak
menunjukkan tanda-tanda untuk melarikan diri.
Jadi
ada seekor goblin yang meniru trik kecil milik Goblin Slayer. Dari seekor
goblin menerima P3K karena luka yang di deritanya. Dan seekor goblin yang
memimpin mereka.
“Aku
nggak suka ini,” dia bergumam.
Dia
tidak menyukainya sama sekali.
*****
“Hmph.”
Goblin
Slayer memberikan sebuah tendangan pada pintu tua yang sudah membusuk,
mendobraknya. Pada saat yang hampir bersamaan, para petualang dengan segera membanjiri
ruangan, mengambil posisi mereka, dengan Priestess berada di tengah formasi,
memegang obor.
“Hrm…”
Mereka
menduga ruangan ini sebagai gudang persenjataan ataupun toilet. Namun ruangan
yang di terangi oleh cahaya obor ini sama sekali tidak menunjukkan kedua tempat
itu.
Sama
seperti ruangan sebelumnya, ruangan ini merupakan sebuah ruangan besar yang
telah di gali. Terdapat beberapa tumpukkan tanah yang mungkin di maksudkan
sebagai kursi. Jauh di bagian lebih dalam terdapat sebuah batu persegi panjang
yang mungkin di bawa dari tempat lain.
Tidak
di ragukan adalah sebuah altar.
Tempat
ini adalah sebuah kapel—apakah gua ini semacam kuil? Jika memang benar, maka
altar ini adalah tempat di mana mereka menawarkan tumbal mereka…
“Oh…!”
Priestess adalah yang pertama menyadarinya, seperti biasanya. Dia bergegas ke
depan. Dia bergegas berlari ke depan. Ingatan akan sebuat perangkap yang mereka
temukan pada saluran air terlintas di kepalanya, namun itu bukanlah sebuah
alasan untuk menjadi ragu. Dia akan tetap siaga—namun itu tidak akan
menghentikannya untuk memberikan pertolongan.
Seorang
wanita terbaring di atas batu dingin seolah-olah wanita itu di lempar begitu
saja di atas batu itu; dia tidak mengenakan sehelai kainpun. Tubuh kotornya yang
terpapar, dan kelopak matanya yang tertutup rapat membuktikan betapa lelahnya
wanita itu. Rambutnya yang kusut memiliki warna emas layaknya madu.
“Dia
masih bernapas…!” Priestess berkata dengan senang, dengan lembut memluk wanita
itu.
Dadanya
yang kembang-kempis: merupakan bukti kehidupan.
“Misi
selesai, huh?” High Elf Archer bergumam, tentunya tidak mempercayai hal ini.
Tidak
pernah akan ada rasa kepuasaan atau selesainya pembasmian goblin. Dia menggigit
bibirnya dan melihat sekitaran kapel. Adalah tempat pemujaan yang primitf. Bagi
seorang high elf seperti dirinya, sangatlah tidak mungkin untuk bisa merasakan
keharidan para dewa di tempat seperti ini.
“…Apa
kira-kira ada pendeta dari Sekte Jahat di sini.”
“Atau
mungkin tempat ini merupakan sisa-sisa dari reruntuhan kuno,” Lizard Priest
berkata, melihat sekitarannya. Sang elf dapat mendengar Lizard Priest mengikis
debu seraya dia memeriksa tempat ini. “Walaupun saya tidak dapat membayangkan
dewa macam apa yang ingin di sembah pada tempat vulgar seperti ini…”
“Tunggu
dulu,” Dwarf Shaman berkata, menyusuri jarinya pada dinding. “Tanah ini masih
segar. Ruangan ini baru-baru saja di gali.”
“Goblin?”
Goblin Slayer bertanya.
“Mungkin,”
Dwarf Shaman mengangguk.
Apakah
goblin atau rhea, atau elf, atau dwarf? Ataukah mereka datang dari bulan hijau?
Tidak ada yang mengetahuinya. Namun siapapun makhluk itu yang membuat rumah
mereka di bawah tanah, mereka memiliki kemampuan menggali yang patut di beri
jempol. Tidak peduli seberapa terpencilnya suatu tempat, para goblin dapat
menggali lubang dan memulai kehidupannya tanpa seorangpun yang akan menyadari
apa yang terjadi.
Mereka
dapat muncul keluar dan mengejutkan sebuah grup petualang dengan begitu
mudahnya. Seseorang tidak perlu menjadi Goblin Slayer untuk mengetahui ini.
Pada petualangan pertamanya, Priestess telah—
“Um…
Lihat ini…!”
Mendengar
teriakan dari Priestess, Goblin Slayer melihat kembali pada petualang yang
tertangkap. Priestess memegang kepala
wanita itu, tidak merasa takut untuk mengotori tangannya. Priestess menunjuk
pada tengkuk leher wanita itu.
High
Elf Archer tidak dapat menahan gumaman akan “Ngeri banget,” dan tidak mungkin
bisa menyalahkannya. Leher wanita yang tidak sadarkan diri memiliki sebuah
lambang, yang terlihat begitu mencolok dan menyakitkan. Lambang mengerikan akan
merah dan hitam telah menodai kulitnya yang begitu indah.
“Hrm…”
Goblin
Slayer mengangkat sebuah lambang metal, yang tergeletak pada lantai di
dekatnya. Metal itu terlihat seperti sepatu kuda atau semacamnya, sebuah benda
yang telah di buat dengan bentuk yang rumit.
“Apakah
itu yang mereka gunakan?” Lizard Priest bertanya.
“Sepertinya
begitu.”
Benda
itu berbentuk seperti sebuah lingkaran, dengan sesuatu yang terlihat seperti
sebuah mata di tengah-tengahnya. Goblin Slayer mengambil obor dan memeriksa
lambang itu dengan seksama, mengingatnya dalam hati. Apakah sebuah tanda dari
sebuah suku bangsawan atau sebuah klan? Masih terdapat banyak misteri perihal
goblin.
“Tapi…
Sepertinya ini bukan goblin totem.”
Goblin
hanya memiliki sedikit hasrat untuk meciptakan sesuatu untuk diri mereka
sendiri. Mereka hanya akan mencuri apa yang mereka butuhkan; dan itu sangat
cukup bagi mereka. Namun, lambang ini—walaupun di buat dengan kombinasi
beberapa barang—melambangkan sebuah ciptaan.
“Aku
rasa itu…bulan hijau,” sebuah suara yang bergetar. Adalah Priestess, dengan
lembut membelai leher wanita itu. “Ini lambang dari dewa. Dewa pengetahuan
eksternal… Sang Dewa Kebijaksanaan.”
--Banyak
dewa yang berkumpul di sekitar papan permainan untuk mengawasi jalannya dunia.
Dan salah satunya, tentu saja, Dewa Pengetahuan, yang menguasai segalah macam
pengetahuan dan mempunyai banyak pengikut yang di antaranya adalah sarjana dan
pegawai negeri. Cahaya akan Dewa Pengetahuan konon bersinar hingga mereka yang
berpetualang pada tempat yang tidak di ketahui, mencari kebenaran dan jalan
akan dunia.
Benar:
apa yang di berikan oleh Dewa Pengetahuan bukanlah pengetahuan melainkan
bimbingan, sebuah jalan menuju kebenaran. Penderitaan itu sendiri merupakan
pengetahuan yang penting.
Dewa
Kebjiksanaan, berhadapan dengan sesuatu yang sedikit berbeda. Dewa
Kebijaksanaan tidak memberikan pengetahuan kepada pemohonnya, melainkan memberikan kebijaksanaan pada mereka
yang meminta. Apa yang terjadi pada dunua ini, papan permainan ini, adalah
sesuatu yang tidak menarik perhatian dewa ini.
Anggap
saja, sebagai contoh, seorang pria muda yang merasakan ketidakbahagiaan pada
kehidupan sehari-harinya, bergumam, “Andai saja dunia kiamat…” Normalnya,
kalimat seperti itu merupakan sebuah kebodohan biasa, sebuah ekspresi murni
ketidakpuasaan. Namun ketika mata Dewa Kebijaksanaan melihat orang seperti
itu—lalu bagaimana?
Dalam
sekejap, beberapa cara keji untuk mengkiamatkan dunia masuk ke dalam pikiran
pria itu, dan pria itu mulai beraksi. Tidak sedikit orang-orang yang
mempercayai dewa ini.
“Aduh.
Sekarang kepalaku sama sakitnya seperti kakiku.” High Elf Archer berkata,
mengernyit seolah dia sedang memiliki sakit kepala. “Aku akan berjaga. Kalian
lanjutkan saja.”
“Hei,”
Dwarf Shaman berkata dengan sedikit jengkel. “Bagus-bagus aja kamu mau berjaga,
tapi paling nggak kamu bisa ikut mendengarkan apa yang kami katakana.”
“Iya,
iya…” High Elf Archer tidak terdengar begitu bersemangat. Dia memetik benang
busurnya, sebuah panah telah di siapkannya. Dia terus menggerakkan kakinya
gelisah; mungkin rasa sakit itu masih menganggunya. Telinganya mengepak seraya
dia mencoba mendengarkan dengan seksama.
Goblin
Slayer melirik mengarahnya namun kemudian kembali melihat lambang itu.
“Bulan
hijau, kamu bilang?”
“Ya
pa. Aku sedikit mempelajarinya ketika aku masih ada di Kuil.” Priestess sendiri
terdengar tidak begitu mempercayainya. Waktunya di masa dia masih seorang
apprentice tampak sudah begitu lampau.
“Maksudmu
tempat dari mana goblin muncul?”Goblin Slayer bergumam, mengankat lambang
metal. “Kalau begitu, sudah nggak salah lagi musuh kita adalah goblin.”
Dia
berbicara tanpa sedikitpun keraguan. “Salah satu dari goblin itu punya
tanda-tanda dia di sembuhkan.”
Namun
siapa yang bersedia menggunakan sebuah keajaiban untuk menolong seekor goblin?
“Seorang
agen kekacauan yang penuh ampun dan belas kasih?” Lizard Priest mengejek. “Saya
sungguh meragukannya.”
“Tapi
ini pasti goblin, kan?” Priestess berkata. “Tapi… Bagaimana mereka…?” Dia
berkedip, seraya tidak ingin mempercayainya.
Para
dewa yang memberikan pengetahuan dari eksternal merupakan dewa yang sangat
penuh gairah; tidak akan mengejutkan jika dewa itu telah berbicara dengan
seekor goblin.
Bukanlah sesuatu
yang aneh, namun kegelisahan masuh menggenang di dalam hati Priestess. Walaupun
begitu, jika para goblin dapat menyelesaikan ritual mereka… Itu akan menjadi
sesuatu yang jauh lebih buruk di bandingkan dengan mendengarkan suara Dewa.
“Apa
kamu yakin ini bukan pendeta jahat tingkat tinggi, atau seorang dark elf atau
semacamnya?” Priestess bertanya.
“Apa?
Aku rasa bukan mereka,” High Elf Archer membalas pertanyaaan Priestess.
Dwarf
Shaman menghela kembali dan membelai jenggotnya dengan sedikit rasa kesal.
“Kamu ini mau berjaga atau berbicara, pilih salah satu.”
“Kamu
kan yang bilang aku buat mendengarkan kalian. Jadi kalau aku mendengarkan, aku
punya hak untuk berkontribusi kan?” High Elf Archer berkata.
“Mm.”
Lizard Priest berkata, mengangguk menyetujui.” Dan Nona ranger. Kontribusi
apakah yang akan anda akan berikan?”
“Maksudku—“
Dia memutar jari telunjuknya membentuk sebuah lingkaran. “Kalau kamu punya
banyak goblin, dan kamu cuma menggunakan mereka untuk menjarah… Itu artinya
kamu sama bodohnya dengan seekor goblin kan?”
“Yah
terserah, Telinga Panjang, mungkin beberapa bandit membuat sebuah agama dan
berpikir bahwa mereka harus menyembah para goblin!”
“Kamu
cuma marah karena kamu nggak punya penjelasan laun.”
“Hrm,
yah.”
“Heh.”
Lizard Priest memberikan sedikit dengusan, melipat tangannya, dan kemudian
mulai menghitung dengan jarinya. “Makhluk ini berpikir seperti goblin,
mengendalikan goblin, menyembuhkan goblin, menyerang masyarakat, dan pegikut
dari kekacauan.”
Priestess
meletakan jari pada bibirnya, berpikir akan semua kemungkinan. “Seekor goblin
priest? Warrior priest?”
Tidak
ada yang sesuai kriteria. Makhluk apakah yang mereka sedang hadapi di sini?
Semacam Goblin? Namun goblin macam apa?”
Pada
saat itu, sebuah ide melintas di kepala Priestess, seolah ide itu berkah dari
surge.
Adalah
ide gila dan mustahil. Namun…
Hal-hal
akan mulai masuk akan jika mereka berhadapan dengan seseorang yang mempunyai pasukan yang tidak beragama.
“Nggak…
Nggak mungkin. Itu msutahil.”
“…”
Priestess
memeluk pundaknya sendiri, menggeleng kepala, menolak untuk mempercayainya.
Di
sampingnya, dia dapat mendengar suara berdecit lambang metal itu yang di
genggam erat Goblin Slayer.
Tidaklah
mungkin, sungguh sangat konyol. Namun, tidak ada yang mustahil.
Hanya
terdapat satu jawaban. Goblin Slayer mengerti sekali musuh apa yang mereka
sedang hadapi saat ini.
4 Comments
SemaSema terus min, sehat selalu.
BalasHapusSemangat maksudnya
BalasHapusMin bleh minta sumber englishnya nggak? Btw semangat selalu min
BalasHapusGanbare~
BalasHapusPosting Komentar