MEMBANGUN KEMBALI
(Translater : Zerard)
“Di
sana sarang kecil mereka.”
Hawa
dingin begitu menggigit, namun itu tidak memudarkan kecantikan wanita muda ini.
Dia terlihat seperti seorang anak gadis dari keluarga bangsawan, seperti
seseorang yang akan lebih terlihat elegan di dalam ruang dansa di bawah langit
abu-abu pegunungan utara.
Rambut
bergelombang berwarna madunya di ikat menjadi dua kepang, dan parasnya memiliki
tatapan bangga. Ukuran dari dadanya tampak terlihat jelas walaupun tertutup
dengan armor dada yang di pakainya, pinggulnya begitu kecil sehingga membuatnya
tidak memerlukan sebuah korset.
Rapier
yang menggantung pada pinggulnya merupakan senjata yang mengagumkan; senjata
itu memiliki kesan keindahan yang sama seperti pemiliknya.
Pada
leher gadis itu menggantung sebuah kalung peringkat porcelain yang masih baru,
memantulkan cahaya matahari dan berkilau di antara salju-salju.
Dia
adalah seorang petualang, dia dan empat rekannya telah menghabiskan waktu
beberapa hari berjalan menuju sisi pegunungan salju ini. Sekarang sebuah lubang
kecil busuk menganga tepat di depan mereka. Melihat sekilas pada tumpukan
kotoran yang berada di samping gua membuanya menjadi jelas bahwa gua ini
merupakan sebuah sarang.
Dan
makhluk apakah yang tinggal pada sarang ini? Yang akan bertarung dengan
pahlawan asal jadi ini, makhluk apa lagi kalau tidak…
Goblin.
Hati
Noble Fencer begitu bergairah ketika memikirkan pertarungan yang akan mereka
jalani.
Sekarang,
di sini, dia tidak memiliki keluarga dan kekayaan, tidak ada kekuatan ataupun
wewenang. Hanya kemampuannya sendiri dan temannya yang akan membantunya
menyelesaikan quest ini. Sebuah petualangan yang sesungguhnya.
Untuk
quest pertama mereka, mereka akan menghabisi para goblin yang menyerang desa di
utara ini. Mereka akan melakukannya jauh lebih cepat dari pada orang lain.
“Baiklah!
Apa kalian siap?” Dia meletakkan tangan kurusnya pada pinggulnya dengan gerakan
bangga dan membusungkan dadanya, kemudian dia menunjuk pada sarang dengan
pedangnya. “Ayo kita buat goblin-goblin itu kelaparan dan memaksanya keluar!”
Itu
sudah berminggu-minggu yang lalu.
Merupakan
tindakan yang bagus bahwa mereka telah menghalau terowongan goblin dengan
membangun sebuah pelindung di sekitar jalan keluarnya. Dan mereka tidak salah
untuk membangun kemah dan membuat api untuk menghangatkan diri, dan menyiapkan
penyergapan.
“Para
Goblin menyertang desa karena persediaan mereka menipis.” Noble Fencer berkata,
penuh percaya diri. “Mereka makhluk kecil bodo. Beberapa hari tanpa makanan dan
mereka akan tidak mempunyai pilihan selain keluar dari sarang mereka.”
Dan
memang benar, itulah yang terjadi. Mereka bertemu dengan salah satu grup goblin
yang berusaha menembus dinding pelindung dan terbunuh oleh mereka. Beberapa
hari kemudian, sebuah grup monster kelaparan lainnya muncul, dan mereka juga,
terbantai. Tidak salah jika mengatakan bahwa semua berjalan sesuai rencana.
Mereka akan menyelesaikan quest ini dengan bahaya dan upaya yang minimal.
Namun
itu masihlah sebuah mimpi bagi para petualang hijau ini, layaknya sebuah mimpi
mereka menjadi peringkat Platinum. Jika semua semudah yang mereka
bayangkan, maka pembasmian goblin tidak
bisa di sebut sebagai petualangan.
Tempat
ini merupakan Negara utara, sebuah tempat yang dingin—bahkan terdapat bongkahan
es di dekatnya—jauh dari wilayah dari mereka yang dapat berbahasa. Hembusan
napas seseorang dapat membeku dalam sekejap setelah meninggalkan mulutnya,
membakar kulit, dan alis mata yang membeku membuat suara setiap kali mereka
berkedip. Perlengkapan menjadi berat dengan bertambahnya dingin, stamina
terkuras hari demi hari tanpa hampir adanya istirahat.
Terdapat
dua wanita lainnya dalam party lima orang ini termasuk Noble Fencer, walaupun
tentunya para pria menjaga jarak mereka. Mereka makan untuk mencoba mengalihkan
diri mereka sendiri dan menjga tenaga mereka. Hanya itulah yang dapat mereka
lakukan.
Namun
muatan mereka sangatlah berat, karena muatan mereka juga berisi peralatan, dan
perlengkapan untuk cuaca dingin. Masing-masing dari mereka membawa sedikit
sekali persediaan pangan. Salah satu dari anggota mereka mengetahui cara
menjadi pemburu, namun tidak ada jaminan bagi mereka untuk bisa mendapatkan
makanan untuk lima orang.
Panah
juga sangat terbatas. Mereka bisa saja mengambil panah yang sudah mereka
gunakan, akan tetapi…
Pertama
dan yang terpenting, mereka telah kehabisan air.
Grup
mereka telah membuat kesalahan dengan memakan es dan salju, yang memberikan
mereka diare dan menguras tenaga mereka lebih jauh.
Mereka
tidaklah bodoh; mereka mengetahui bahwa mereka harus melelehkannya di atas api,
walaupun itu merepotkan.
Yang
mengartikan, bahwa mereka telah kehabisan bahan bakar.
Mereka
memiliki sedikit persediaan pangan, tidak ada air, dan tidak ada cara untuk
menghangatkan diri. Merupakan akhir memalukan bagi rencana Noble Fencer yang tampaknya
tidak memiliki celah.
Akan
tetapi, akan sangatlah konyol untuk menyerah sekarang. Mereka hanya berhadapan
dengan goblin—monster paling lemah. Yang sangat sempurna untuk pemula pada
petualangan pertama mereka. Untuk kembali pulang tanpa berhadapan dengan
makhluk ini akan sangat memalukan. Mereka akan selamanya di cap sebagai
petualang yang melarikan diri dari goblin…
Apapun
itu, seseorang harus turun dari gunung, mendapatkan suplai daru kota, dan
kembali.
Para
petualang saling bertukar pandang, meringkuk di dalam tenda mereka yang sempit,
dan semua berfokus pada satu hal. Khususnya, Noble Fencer, yang merinding
kedinginan, menggunakan pedang silvernya sebagai tongkat untuk meyokong dirinya
sendiri, namun walaupun begitu, dia tetap membalas tatapan para rekannya.
Tidak
ada yang ingin menyalahkan diri mereka sendiri ketika sesuatu berjalan tidak
sesuai rencana.
“Kamu
pergi,” rhea scout mereka berkata, dengan tajam hingga cukup menusuk hati.
Walaupun dia adalah yang pertaman menyetujui taktik kelaparan yang di usulkan
oleh Noble Fencer, karena menurutnya itu sangat menarik. “Sekarang, cuma aku
yang melakukan semua pekerjaan di sini. Pergi
ambilkan itu! Carikan kita makan malam!” Aku sudah nggak tahan lagi, dia
bergumam.
“…Dia
benar,” wizard mereka berkata, mengangguk serius dari balik jubah tebalnya.
“Kamu tadu tidak? Dari awal aku sudah tidak setuju dengan rencana ini. Aku
bahkan tidak punya kesempatan untuk menggunakan mantraku.”
“Yeah,
Aku setuju.” Adalah high elf warrior yang berikutnya, menguap seraya dia
berbicara. “Aku sudah mulai capek dengan ini semua.”
Jika
Noble Fencer tidak salah, tidak satupun dari mereka yang berpikir bahwa rencana
membuat goblin kelaparan adalah rencana yang bagus pada awalnya. Namun ketika
dia menjelaskan bahwa ini adalah cara yang paling aman, mereka semua
menyetujuinya.
Terlebih
lagi, Noble Fencer mengira bahwa dia dan Half Elf Warrior telah menjadi dekat
selama beberapa hari mereka bersama. Dia mengarahkan tatapannya pada High Elf
Warrior, merasa di khianati, dan memberikan dengusan tidak menyukai.
“Tapi
penderitaan kita akan sia-sia juga nantinya,” sang half elf menambahkan.
“Menurutmu bagaimana cebol?”
“Eh,
Aku tidak terlalu peduli siapapun yang pergi.” Sang dwarf monk memainkan simbol
akan Dewa Pengetahuan, tampaknya mencoba mencari jawaban sesingkat mungkin.
“Tapi kaum dwarf dan rhea mempunyai kaki yang pendek. Dan half elf sangat
kurus. Aku rasa manusia pilihan terbaik kita di sini.” Dia melihat pada Noble
Fencer dengan tatapan licik di matanya, yang hampir tidak terlihat di karenakan
rambut wajahnya.
Warrior
lebih cocok untuk pergi sendiri di bandingkan pembaca mantra. Mungkin akan
lebih baik jika dia meminta Noble Fencer secara langsung.
“…Baiklah.
Aku lakukan.” Noble Fencer, yang diam mendengarkan hingga momen itu, menjawab
ketus. “Sudah jelas itu pilihan paling logis.”
Ya,
itu dia. Dia akan pergi karena itu merupakan pilihan yang logis. Bukan karena
rencananya telah gagal. Atau itulah yang dia pikirkan seraya dia berjalan
menuruni pegunungan yang panjang.
Bertumpu
pada pedang warisannya sebagai tongkat, dia melepas armor dadanya dan
memasukkannya ke dalam tasnya, tidak dapat lagi menahan beban dan dingin. Dia
menggigit bibirnya, merasa malu di karenakan perlengkapan petualangannya telah
menjadi tidak lebih dari sekedar beban tambahan.
Terlebih
lagi adalah sambutan yang menunggunya di desa.
“Ah!
Master petualang, kamu kembali! Apakah anda berhasil?”
“Yah,
uh…”
“Apakah
ada dari kalian yang terluka?”
“Belum…
Maksudku, kami belum…bertarung melawan mereka…”
“Astaga…”
“Tapi…apa
bisa….apa bisa kalian membagi sedikit makanan kalian dengan kami?”
Jawabannya
adalah tidak.
Seseorangnya
tentunya dapat membayangkan bagaimana perasaan kepala desa dan penduduk desa.
Para petualang yang telah mereka panggil melalui jaringan quest telah pergi
selama berminggu-minggu akan tetapi tidak menyelesaikan apapun! Dan sekarang
mereka menginginkan makanan, bahan bakar, dan air. Jika desa ini memiliki
persediaan pangan untuk mensuplai lima orang muda berarmor, apakah mereka perlu
memanggil para petualang? Persediaan mereka bahkan hampir tidak cukup untuk
melewati musim dingin. Terlebih lagi
untuk membantu party petualangan ini akan terlalu berlebihan.
Merupakan
sebuah keberuntungan Noble Fencer berhasil membawa sedikit persediaan pangan
dari mereka.
“…”
Dengan
suplai tambahan ini yang membuat perjalanan kembalinya semakin lambat dan
semakin sulit merupakan sebuah ironi yang kejam. Dengan setiap langkah yang di
ambilnya melewati salju, penyesalan mengisi hatinya layaknya es yang masuk ke
dalam sepatu botnya.
Apakah
seharusnya dia melakukan persiapan yang lebih sebelumnya? Mengundang lebih
banyak petualang untuk menjadi bagian dari partynya? Atau mungkin membatalkan
sementara taktiknya di banding terus memaksakannya…?
“Tidak!
Tidak! Tidak ada yang akan lari dari goblin!”
Dia
membiarkan emosinya yang berbicara, dan tidak ada yang membalasnya.
Pada
saat ini dia telah di selimuti oleh kegelapan malam, malam yang semakin
menggelapkan “kegelapan putih” akan salju yang mencambuk. Dia sudah merasa
lelah ketika dia memulai perjalanan ini dengan bebannya yang berat, dan semua
yang terjadi terasa kejam baginya.
“Kami
tidak akan menyerah….pada goblin…”
Dia
menghela napasnya pada tangannya yang mati rasa, berusaha untuk mendirikan
tenda. Hanya untuk mempunyai sesuatu, apapun itu, di antara dia dan salju dan
angin akan sangat membuat perbedaan….
“Dingin…
Dingin sekali…”
Udara
dingin malam sangatlah kejam. Memeluk dirinya sendiri dan merinding. Noble
Fencer meraba-raba beberapa kayu bakar.
“Tonitrus,” dia bergumam, melantunkan mantra petir.
Kilatan elektrik kecil muncul dari ujung jarinya dan membakar kayu bakar.
Noble
Fencer adalah salah satu petarung garis depan langka yang dapat menggunakan
sihir petir, yang dia pelajari karena itu merupakan tradisi keluarganya. Dan
apa salahnya menggunakan petir kecilnya di sini? Dia dapat menggunakannya
sekali atau dua kali dalam sehari; merupakan hal yang sudah sewajarnya untuk
menyalakan apinya untuk mendapatkan sedikit kehangatan. Namun merupakan suatu
kemewahan, untuk menggunakan kayu bakar yang telah di berikan penduduk desa
kepadanya.
“………”
Dia
memeluk lututnya, mencoba meringkuk menjadi sebuah bola untuk membuatnya
melupakan suara lolongan angin dan salju.
Hingga
beberapa hari yang lalu, dia memiliki tema.
Sekarang,
dia sendirian.
Rekannya
berada beberapa jam lagi di depannya. Mereka sedang menunggu dirinya. Mungkin.
Namun
Noble Fencer tidak memiliki tenaga lagi untuk mencapai mereka.
Aku lelah sekali…
Hanya
itulah yang dapat di pikirkannya.
Dia
melonggarkan ikat pinggangnya dan ikatan pada armornya. Adalah sesuatu yang
harus di lakukan yang pernah di dengarnya. Kehangatan api mulai menjalar pada
tubuhnya, membuat tubuhnya merasa lebih baik.
Dia
telah berpikir untuk membasmi goblin dengan cepat dan mudah. Dalam sekejap
mata, dia akan naik tingkatan hingga Gold atau bahkan Platinum. Dia akan
membuat namanya sendiri, tidak mengandalkan kekuatan orang tuanya. Namun betapa
sulitnya sebuah kenyataan!
Aku rasa…mungkin ini sudah
seharusnya.
Hal-hal
seperti ketenaran dan kekayaan tidak datang dalam semalam. Hal-hal itu
terakumulasi dalam beberapa decade bahkan abad. Apakah dia begitu mempercayai
bahwa, dia sendiri dan tanpa bantuan, dapat mendapatkan semua pencapaian itu
secara sekaligus?
Aku harus minta maaf.
Kepada
temannya atau kepada keluarganya? Dia tidak yakin, namun rasa malu yang dia
rasakan seraya menutup matanya sangatlah nyata.
Dia
mulai melamum, kesadarannya semakin menjauh. Dengan rasa lelah pada tulangnya,
akan begitu inginnya dia untuk berisitrahat.
Itulah
mengapa dia tidak menyadarinya dengan segera apa yang di dengarnya.
Splat. Suara
akan sesuatu yang lembab terinjak.
Entah
bagaimana ujung dari tenda telah terangkat—apakah angin meniupnya?—dan sesuatu
mendarat tepat di samping api.
Noble
Fencer duduk di tempat dia sebelumnya berbaring dan melihat benda itu dengan
terkantuk, bertanya. “Apa ini…ini…”
Adalah
sebuah telinga.
Bukan
telinga manusia, melainkan telingan akan seorang half elf, dengan kejam telah
di potong.
“Ee—eeyikes!”
Noble
Fencer terjatuh ke belakang. Masih berteriak, dia merayap ke belakang.
Pada
saat itu, terdengar suara tawa sesuatu yang mengerikan; tawa itu tampaknya
telah mengelilingi tenda.
Tepat
pada saat itu, sesuatu itu menggenggam
tenda dan menariknya.
“Ahh—oh!
Apa ini?! Kenapa kamu--?!”
Noble
Fencer menggeliat di bawah tenda yang rubuh, setengah marah. Api unggun
menyebar di dalam tenda, menciptakan begitu banyak asap yang mengumpal,
menyebabkan matanya berair dan terbatuk-batuk.
Ketika
Noble Fencer pada akhirnya berhasil keluar dari tendanya, dia sudah tidak
telihat seperti dirinya yang sebelumnya. Rambut emasnya berantakan, mata dan
hidungnya berair dan beringus, dan terdapat abu pada bokongnya.
“Ee-eek!
G-goblin…?!”
Dia
berteriak dan terhenyak melihat pemandangan akan makhluk kecil menjijikkan,
merayap menjauh dari suara tawa hina mereka. Noble Fencer telah benar-benar di
kepung oleh para goblin di kegelapan malam putih yang mencambuk, mereka membawa
pentungan dan senjata batu dan hanya menggunakan kulit binatang sebagai
pakaian.
Akan
tetapi, bukanlah penampilan para goblin yang membuat Noble Fencer ketakutan.
Adalah apa yang mereka genggam di tangan mereka : beberapa kepala yang tidak
asing akan seorang rhea, dwarf, dan manusia.
Di
bagian yang lebih jauh, seorang half elf sedang di seret tidak berdaya melewati
salju. Dia meninggalkan sebuah garis merah layaknya sebuah goresan kuas pada
sebuah kanvas.
“Oh…
Tidak…”
Tidak, tidak. Noble
Fencer menggelengkan kepalanya seperti anak kecil yang manja, gerakannya
membuat rambutnya berayun.
Apakan
para goblin menunggu dirinya untuk pergi menjauh sebelum melakukan penyerangan?
Apakah
rekan-rekannya telah memutuskan untuk menyerang gua di saat Noble Fencer tidak
ada di sana, yang mengakibatkan semua ini?
Noble
Fencer menggapai pedangnya dengan tangan yang tidak dapat berhenti bergetar,
berusaha menariknya dari sarung pedangnya—
“Ke-kenapa?
Kenapa tidak bisa keluar…?!”
Dia
telah membuat kesalahan fatal. Apa yang terjadi pikirnya? Pedangnya telah basah
oleh salju, kemudian dia telah meninggalkannya di samping api—dan sekarang
pedang itu telah terpapar dingin kembali. Salju itu telah meleleh masuk ke
dalam sarung pedang hingga sampai pada gagangnya. Apa lagi yang akan terjadi
jika bukan salju itu akan membeku kembali?
Beberapa
lusin goblin mendekati petarung yang ketakutan dari segala arah. Akan tetapi,
gadis itu, menggigit bibirnya keras. Memang benar dia tidak dapat menarik
pedangnya, namun dia mulai melantunkan sebuah mantra, udara yang dingin membuat
lidahnya berat.
“Tonitrus…oriens…!”
“grorra!!”
“Hrr—ghh?!”
Tentu
saja, para goblin tidaklah cukup baik hati untuk membiarkan Noble Fencer
menyelesaikan mantranya. Noble Fencer telah di pukul di kepalanya dengan sebuah
batu; pukulan itu membuat Noble Fencer berlutut.
“Simpati”
goblin hanya memiliki satu tujuan: untuk menghujat mangsa mereka yang menangis
ketakutan.
Hidungnya
berbentuk indah telah hancur, darah yang menetes mewarnai lahan salju.
“GROOOOUR!!”
“Ti-tidak!
Hentikan—hentikan, ku mohon! Ah! H-hrggh! Tidak, tolong--!”
Dia
berteriak seraya mereka menjambak rambutnya,
menjerit ketika mereka mengambil pedangnya.
Hal
terakhir yang dia lihat adalah kakinya sendiri yang menendang udara. Noble
Fencer telah tertimbun oleh banyak goblin yang melebihi jumlah jari kedua
tangannya.
Jadi
siapa sebenarnya telah di buat kelaparan di sini? Apakah ini yang mereka
dapatkan karena telah menantang goblin pada wilayah kekuasaan mereka? Atau di
karenakan kegagalan dalam mempersiapkan persediaan yang cukup untuk menjalankan
strategi mereka?
Apapun
itu, tentunya kita tidak perlu menjelaskan lebih jauh lagi perihal apa yang
akan terjadi padanya.
Itulah
akhir dari petualang-petualang itu.
*****
Mata
Noble Fencer terbuka mendengar denture percikan api yang terbang. Dia merasakan
kehangatan yang samar,namun rasa sakit pada lehernya—sebuah sensai
terbakar—memberitahukannya bahwa ini adalah realita.
Apa
yang terjadi? Apa yang telah menimpanya? Arus ingatan melintas di kepalanya.
“…”
Noble
Fencer mendorong selimutnya dan berdiri. Tampaknya dia sedang berada pada
sebuah ranjang.
Ketika
dia melihat sekitarannya, dia menyadari bahwa dia berada pada sebuah bangunan
kayu. Sebuah aroma menggelitik hidungnya—anggur? Merupakan sebuah
ketidak-beruntungan, indra penciumannya tidak terputus setelah dirinya terkubur
di antara tumpukan kotoran-kotoran.
Dia
berada di lantai kedua pada sebuah penginapan. Di dalam salah satu kamar tamu,
dia berpikir. Jika dia tidak berhalusinasi.
Pada
saat yang sama, dia dapat melihat sesosok manusia yang berjongkok di salah satu
sudut gelap ruangan, yang hanya di sinari dengan api.
Sosok
itu menggunakan helm yang terlihat murahan dan armor yang kotor. Pedang yang di
bawanya memiliki panjang yang aneh dan sebuah perisai bundar kecil di sandarkan
pada dinding di dekatnya. Sosok itu tidak terlihat menakjubkan—terkecuali
kalung peringkat silver yang berada di sekitar lehernya.
Suara
Noble Fencer telah berhenti bergetar. “Goblin,” Dia berkata. Dia berbicara
dengan berbisik.
“Ya.”
Pria itu menjawab dengan bisikan yang sama, suaranya pelan dan blak-blakan.
“Goblin.”
“…Begitu,”
Noble Fencer berkata, kemudian kembali berbaring pada ranjangnya. Dia menutup
matanya, melihat ke dalam kegelapan di balik kelopak matanya, dan kemudian
sedikit membukanya. “Bagaimana dengan yang lainnya?” dia bertanya setelah beberapa
detik.
“Semua
mati,” datanglah jawaban yang datar. Keterusterangannya begitu dingin namun
juga penuh perhatian, dengan hanya memberikan fakta.
“Be…
Begitu…”
Noble
Fencer berpikir sejenak. Dia merasa kagum akan riak yang melintasi hatinya. Dia
mengira dirinya akan menangis, namun jiwanya saat ini begitu tenang.
“Terima
kasih sudah menolongku.” Jeda. “Apa…apa sudah berakhir?”
“Nggak.”
Lantai kayu berdecit seraya pria itu berdiri. Dia mengikat perisainya pada
lengan kirinya, memerika helmnya, kemudian mendekati Noble Fencer dengan
langkah sigap, tidak pedulu. “Ada beberapa hal yang aku ingin tanya darimu.”
“…”
“Beritahu
saja aku apa yang kamu bisa.”
“…”
“Kamu
keberatan?”
“…”
Mungkin
menganggap diamnya Noble Fencer sebagai tanda persetujuannya, pria aneh itu
melanjutkan : Berapa banyak goblin yang dia temui? Bagaimana latar sarang
mereka? Tipe goblin apa saja yang ada di sana? Di mana dia bertemu dengan
mereka?
Noble
Fencer menjawab tanpa emosi.
Aku tidak tahu. Aku tidak
tahu. Mereka semua terlihat sama. Di dekat gua. Sebelah utara.
Pria
itu hanya mendegus, “Hmm,” tidak menambahkan apapun lagi.
Momen
percakapan mereka di iringi dengan denturan api pada perapian.
Pria
itu berdiri dan mengambil sebuah tusukan di tangannya, menusuk-nusuk api. Pada
akhirnya, dia berbicara, masih menghadap perapian da dengan nada pelan seperti
sebelumnya.
“Apa
yang sudah kamu lakukan?”
“…Berusaha
membuat mereka kelaparan,” Noble Fencer berkata, ujung bibirnya tertarik.
Merupakan sebuah gerakan kecil, begitu kecil sehingga tidak ada yang
menyadarinya terkecuali dirinya sendiri. Namun dia mengira dirinya sendiri
sedang tersenyum. “Aku yakin sekali itu akan berhasil.”
“Aku
mengerti.” Noble Fencer mengangguk mendengar jawaban datar ini.
Tutup
jalan keluar gua, tunggu hingga para goblin mulai kelaparan, kemudian habisi
mereka. Dia dan rekan-rekannya dapat melakukannya bersama,cepat dan tepat.
Mendapatkan beberapa pengalaman, meningkatkan peringkat mereka. Dan kemudian…
Dan kemudian…
“Aku
yakin sekali….”
“Aku
mengerti.” Pria itu mengulangi dan mengangguk. Dia kembali menusuk-nusuk api,
kemudian meletakan tusukannya. Lantai berdecit seraya dia berdiri. “Ya, aku
mengerti bagaimana itu bisa terjadi.”
Noble
Fencer melihatnya dengan melamun. Helm itu telah menghalangi dirinya untuk bisa
melihat wajah pria itu. Tampaknya kalimat itu merupakan kalimat pertama dari
pria itu katakan yang telah menenangkannya.
Mungkin
pria itu telah kehilangan rasa penasarannya pada Noble Fencer, karena pria itu
berjalan menuju pintu. Sebelum pria itu sampai ke sana, Noble Fencer
memanggilnya.
“Hei,
tunggu!”
“Apa?”
Sesuatu
melintas pada pikiran Noble Fencer, sebuah gambaran samar dari suatu tempat
jauh di dalam ingatannya.
Armor
kotor itu, helm murahan itu. Pedang aneh dan perisai bundar itu. Seseorang yang
keras kepala dan aneh, dengan status Silver di sekitar lehernya. Seseorang yang
membunuh goblin. Semua hanya gambaran samar.
Namun
itu semua mengingatkannya pada sebuah sajak lagu yang telah dia dengar dari
suatu tempat. Merupakan ingatan yang dulu, dulu sekali, ketika dia dan
teman-temannya sedang tertawa bersama di kota.
Seorang
petualng yang di kenal sebagai petualang paling baik hati di perbatasan.
“Apa
kamu…Goblin Slayer?”
“…..”
Dia
tidak menjawab dengan segera; terdapat jeda keheningan.
Kemudian,
tanpa berputar, dia berkata, “Ya. Beberapa orang menyebutku seperti itu.”
Suaranya,
seperti biasanya, tidak menunjukkan emosi sama sekali, dan dengan itu, dia
pergi meninggalkan ruangan.
Terdengar
suara pintu yang tertutup. Tusukan yang tergeletak di lantai adalah sisa bukti
dirinya pernah berada di sana.
Noble
Fencer menatap langit-langit. Seseorang telah membersihkan tubuh dan
pakaiannya, dan menukarkan pakaiannya dengan pakaian sederhana. Dia meletakkan
tangannya pada dadanya, yang kembang-kempis seirama dengan napasnya. Apakah
pria itu yang telah membersihkan tubuhnya? Sejujurnya, Noble Fencer tidak
peduli.
Tidak
ada yang tersisa dari dirinya sekarang. Tidak ada sama sekali.
Dia
telah meninggalkan rumahnya, temannya telah tiada, dan keperawanannya telah di
curi. Dia tidak memiliki uang dan tidak ada perlengkapannya.
Itu tidak benar.
Dia
menemukan sesuatu di sudut ruangan, sudut di mana pria itu—Goblin
Slayer—sebelumnya duduk. Armor kulit, hancur dan bolong, dan kantung
peralatannya, yang sekarang telah kotor.
Rasa
sakit pada lehernya timbul kembali.
“Goblin Slayer… Seseorang
yang membunuh goblin.”
Tampaknya
para goblin tidak menyadari bahwa Noble Fencer memiliki lubang rahasia yang
terjahir di bawah kantung peralatannya.
Pada
umumnya, ketika seseorang menggunakan rapier, seseorang tersebut seharusnya
membawa sesuatu pada lengan sebelahnya yang dapat membantunya untuk melakukan
pertahanan.
Yang
Noble Fencer sembunyikan pada dasar kantung peralatannya adalah permata kedua
dari rumah keluarganya. Adalah belati aluminum yang di tempat dengan palu petir
di atas sebuah permata merah.
*****
“Bagaimana
keadaan dia?”
“Sadar.”
Seraya
Goblin Slayer menuruni tangga, Priestess bertanya kepadanya dengan nada
khawatir, namun Goblin Slayer membalas acuh.
Tidak
seperti diskusi mereka sebelumnya, tidak terdapat penduduk desa di penginapan
ini sekarang.
Malam
telah larut di saat Goblin Slayer dan yang lainnya kembali. Jika para goblin
telah mati semua, maka tidaklah perlu bagi para penduduk desa untuk menjalani
malam dengan rasa takut dan penuh siaga. Hari-hari mereka tersiksa oleh
kegelapan, dingin, dan ketakutan kini telah berakhir.
Satu-satunya
pengecualian adalah kepala desa. Dirinya mendapatkan ketidakberuntungan akan
menyambut para petualang dan menjadi orang pertama yang mendengar laporan
mereka.
“Para goblin yang muncul
sepertinya membuatnya sarang yang terpisah.”
Tidak
ada yang bisa menyalahkan rahang kepala desa yang menganga. Bagaiman desanya
yang berada di utara ini dapat menyiapkan persediaan untuk musim dingin
sekarang? Mereka hanya mempunyai persediaan yang sangat sedikit. Dan sekarang
keadaan semakin memburuk. Para goblin yang berada di gua telah terbantai;para
petualang mempunyai hak untuk mengangap bahwa quest mereka telah selesai. Para
penduduk desa harus kembali ke Guild, dan melakukan permohonan quest lainnya,
dan hadiah lainnya.
Jika
mereka tidak melakukannya, maka desa mereka akan hancur.
Oleh
karena itu, betapa leganya perasaan kepala desa ketika Goblin Slayer
mengumumkan bahwa partynya akan terus melanjutkan pekerjaan mereka membasmi
goblin. Namun ini tentu saja tidak menyelesaikan permasalahan pangan desa
mereka. Meja di mana party ini duduk hanya memiliki makanan sederhana,
kebanyakan hanyalah sayuran yang di garami.
Di
antara piring-piring, selembar kertas kulit domba terpapar. Adalah sebuah peta
pegunungan salju yang di berikan oleh pemburu sebelum mereka melakukan
penyerangan pada gua. Goblin Slayer mengatur peta itu agar bagian utara dari
peta itu menghadap kepadanya.
“Hei,”
High Elf Archer berkata dari matanya yang setengah tertutup. “Apa nggak masalah
membiarkan gadis itu sendiri?”
“Aku
nggak tahu.”
“Apa
maksudmu kamu nggak tahu?”
“Bagaimana
aku bisa tahu?” Goblin Slayer berkata, terdengar sedikit kesal. Perkataannya
memang singkat, dan acuh, dan dingin. Namun dia hampir tidak pernah membentak.
“Aapa yang harus aku katakana padanya? ‘Maaf temanmu semua mati, tapi paling
nggak kamu selamat’?”
Ini
membuat High Elf Archer tidak dapat berkata apa-apa. “Yah… Yah…” Dia membuka
mulutnya, kemudian menutupnya kembali, sebelum pada akhirnya berkata. “Ada cara
yang lebih baik untuk mengatakan sesuatu kan.”
Jawaban
Goblin Slayer sangatlah singkat: “Itu nggak merubah fakta yang ada.”
Kalau di pikir-pikir lagi…
Priestess
menggigit bibirnya lembut. Goblin Slayer tidak berusaha melipur hati gadis itu
yang lara. Ataupun mereka menyelamatkan petualang elf yang terluka itu dari
reruntuhan. Dia hanya selalu….
Rasa
samar akan darah begitu terasa pahit hingga membuatnya hampir menangis.
Dia
melirik mengarah Goblin Slayer, namun tampaknya Goblin Slayer tidak
menyadarinya.
“Bagaimana
lukamu? Apa akan mempengaruhi pergerakanmu?”
High
Elf Archer mengerucutkan bibirnya. Perubahan topik tiba-tiba seperti ini adalah
spesialitas Goblin Slayer. Namun juga, pria ini sedang mengkhawatirkan dengan
dirinya (walaupun perhatiannya hampir selalu tentang goblin!), dan High Elf
Archer tidak akan mengeluhkan itu.
“…Nggak
apa-apa. Biarpun sakit sedikit. Kaki-ku sudah di sembuhkan.”
“Begitu.”
Sebuah anggukan. Helmnya berbunyi seiring gerakannya. “Kalau begitu, sekarang
masalah untuk persediaan perlengkapan. Bagaimana perkembangannya?”
“Mm.”
Lizard Priest mengangguk serius dan menepuk kantung serat rami yang duduk di
sampingnya. Kursinya, yang entah bagaimana dapat memuat ekornya, berbunyi.
“Saya berhasil mendapatkan persediaan—walaupun persediaan ini tampak sangat
berharga, di karenakan saya harus meminta persediaan dari gudang penduduk
desa.”
“Melayang
sudah hadiah kita….lagi-lagi.” High Elf Archer berkata dengan helaan. Dia
berusaha untuk terdengar frustrasi, namun sebuah senyum tampak pada ujung
bibirnya. Mereka telah bersama selama kurang lebih satu tahun, dan dia sudah
terbiasa dengan ini. Dan tujuan utama dia untuk mengajak Goblin Slayer pergi
berpetualang yang sesungguhnya semakin menguat karena ini.
“Apa-apaan?
Cemas soal uang Telinga Panjang? Kamu nggak bisanya seperti itu.” Dwarf Shaman
tertawa, entah apakah dia memahami apa yang sebenarnya High Elf Acher pikirkan.
Tidak puas dengan hanya anggur yang dia gunakan sebagai katalis, dia mengambil
satu gelas lagi di tengah-tengah perbincangan. Anggur itu hambar, tidak berbau,
dan memiliki roh yang kuat; botol itu telah di kubur di bawah salju dan berubah
menjadi mead. Dwarf Shaman meneguknya. (TL Note: Mead = alcohol madu.)
High
Elf Archer mengira dia akan dapat mabuk hanya dengan melihat tingkah laku Dwarf
Shaman. “Pastinya dong,” dia berkata, melotot pada dwarf. “Hadiah dari membunuh
goblin itu kecil banget!”
“Walaupun
begitu, Kita telah berhasil menyelamatkan seorang petualang kali ini,” Lizard
Priest berkata.
“Yah,
nggak setiap hari juga kamu akan lihat lima atau enam petualang tingkat silver
pergi membasmi goblin kan?” Dwarf Shaman berkata.
“Er…
Aku baru Obsidian.” Priestess bergumam, dan tersenyum ambigu.
Priestess
sangat memahami bagaimana perasaan menjadi satu-satunya seseorang yang selamat
dalam party yang terbantai. Priestess ingin mempercayai bahwa dia tidak
memaksakan interpretasi ini—namun Priestess tidak dapat menahan pikirannya akan
betapa berbedanya dia dengan Noble Fencer.
Priestess
tidak mengetahui apakah itu takdir atau kemungkinan… Namun setiap kali dia
berpikir akan dadu tak kasat mata yang di lempar oleh para dewa. Dia merasakan
sesuatu seperti ampas yang terakumulasi di dalam hatinya.
“Hei,
aku berhasil mendapatkan beberapa obat.” Dwarf Shaman berkata. Dia menghabiskan
gelasnya, menuangkannya, dan meneguknya kembali.
“Kakak
perempuan gadis itu…” Goblin Slayer terdiam beberapa saat. “Wanita obat. Dia
bilang bahwa dia tidak berpengalaman.”
“Mungkin
dia nggak bisa buatkan kita potion, namun dia bilang dia akan memberikan kita
herba sebanyak apapun yang kita mau.” Dwarf Shaman berkata dengan menyeringai.
Kemudian membelai jenggotnya. “Apa menurutmu dia tipe yang cocok buatmu? Dia
bisa jadi istri yang baik untukmu.”
“Aku
nggak tahu.”
“Um…”
Priestess menyela, tidak dapat menahan dirinya.
Percakapan
Dwarf Shaman dan Goblin Slayer yang terpotong, melihat kepada Priestess, dan
Lizard Priest dan High Elf Archer melihat kepada Priestess juga.
“Um,
yah…” Dia mengecilkan tubuhnya di bawah tatapan mereka. “Aku…cuma penasaran apa
yang akan kita lakukan berikutnya.” Dia berkata.
“Bunuh
para goblin, tentunya.” Jawaban Goblin Slayer selalu dingin seperti biasanya.
Dia mencondongkan tubuhnya di atas meja, memperhatikan gelas dan piring yang bertumpuk
di dekat peta. “Pinggirkan piring-pringnya.”
“Baik,”
Dwarf Shaman berkata; dia mengambil sebuah kentang rebus dari salah satu piring
dan menggigitnya.
“Hei!”
kata High Elf Archer, yang sudah mengincar makanan itu. Dia membersihkan
piringnya dengan wajah kesal.
Khawatir
anggur miliknya terikut dengan piring yang lain, Dwarf Shaman mendekap
melindungi botol dan gelasnya.
Lizard
Priest memperhatikan tingkah laku mereka berdua sebagai “Sangat mnenghibur,”
menjulurkan lidahnya dan menuang anggur pada gelas kosongnya.
“…..”
Ketika
semua telah selesai. Priestess mengelap bersih meja tanpa berkata-kata.
“Bagus,”
Goblin Slayer berkata, mengangguk dan mengatur peta di atas meja. Kemudian dia
mengambil peralatan menulis—hanya sebuah arang yang di ikatkan pada sebuah stik
kayu—dari dalam kantung peralatannya dan menandai lokasi gua dengan sebuah X.
“Sangat
jelas bahwa gua mereka bukan ruang tidur mereka.”
“Yeah,
tempat itu pasti semacam kapel atau yang lainnya,” High Elf Archer berkata,
menyeruput sedikit dari anggurnya. “Walaupun aku masih sulit untuk
mempercayainya.”
“Percaya
atau tidak, fakta tetap tidak akan berubah. Saya rasa kita menganggapnya
seperti itu. Tapi…” Lizard Priests mendesis, menutup matanya. Beberapa detik
kemudian, dia membuka salah satu matanya dan melihat kepada Priestess.
Priestess bertukar pandang dengan Lizard Priest dan bergetar. “…Saya penasaran
dengan apa yang di pikirkan Cleric kita.”
“Oh!
Uh… Um, ya…” Priestess dengan cepat duduk tegak di kursinya, meremas
tongkatnya, yang terbaring pada lututnya. Adalah jelas bahwa Lizard Priest
berusaha menunjukkan perhatiannya pada Priestess.
Aku harus menjawab.
Priestess
meneguk anggurnya, menjilat bibirnya yang sekarang telah lembab. “Aku setuju
dengan Goblin Slayer. Mereka ada…tiga puluh?”
“Tiga
puluh enam,” Goblin Slayer berkata. “Itu jumlah yang kita bunuh.”
“Aku
rasa nggak mungkin tiga puluh enam dari mereka bisa tidur di sana semua.”
“Benar,
tempat itu sepertinya nggak punya makanan atau anggur atau apapun yang di sukai
para goblin,” Dwarf Shaman berkata.
Kata
goblin hampir sama saja dengan
sinonim kata bodoh, namun itu bukan
berarti mereka tidak punya otak sama sekali. Alasan mengapa mereka tidak
mempunyai teknologi untuk menciptakan sesuatu adalah karena mereka menganggap
mencuri akan dapat memenuhi kebutuhan mereka. Namun itu tidak dapat di samakan
dengan gua tempat mereka tinggal. Jika mereka telah mencuri sebuah rumah, atau
reruntuhan, semua mungkin akan berbeda. Namun sebuah gua…
Goblin,
dengan cara jorok mereka sendiri, akan menyiapkan gudang, ruang tidur, dan
ruang sampah. Paling tidak, seseorang akan pasti menemukan potongan-potongan
dari pesta daging mereka yang bergeletakan di tanah, namun para petualang ini
tidak menemukan sesuatu yang seperti itu. Mereka hanya menemukan sebuah altar
batu, sebuah tempat yang seperti kapeel, dan seorang wanita yang akan di
persembahkan…
“Itu
artinya habitat utama mereka ada di tempat lain.” Goblin Slayer berkata,
mengarahkan jarinya pada sebuah lingkaran di peta yang menandatakan sebuah
bukit di balik pegunungan. “Menurut penduduk local, ada beberapa reruntuhan tua
di beberapa tempat yang lebih tinggi dari yang sudah kita daki.”
“Kemungkinan
besar goblin itu bermarkas di sana.” Lizard Priest mengangguk. “Apakah anda
mempunyai perkiraaan di reruntuhan mana mereka berada?”
“Benteng
kaum dwarf.”
“Hmm,”
Dwarf Shaman bergumam mendengar kaumnya di singgung; dia meneguk kembali mead
miliknya. “Salah satu benteng kaumku berasal dari Jaman para Dewa, kan? Itu
artinya penyerangan secara langsung akan beresiko, Beardcutter. Apa perlu kita
coba dengan api?”
“Aku
punya sedikit bensin,” Goblin Slayer berkata, mengeluarkan sebuah botol yang
berisi cairan hitam dari tasnya. “Tapi aku memperkirakan benteng itu terbuat
dari batu. Serangan api dari luar tidak akan membakarnya.”
“Dari
luar…” Priestess mengulangi, mengetuk jari di bibirnya. “Bagaimana kalau dari
dalam?”
“Rencana
yang bagus,“ Lizard Priest berkata dengan segera, membuka rahang besarnya dan
mengangguk. Dia menelusuri peta kulit domba dengan cakarnya, mencari sebuah jalan
dengan hati-hati. “Kastil yang telah di selundupi oleh musuh akan selalu
rentan.”
“Tapi
bagaimana cara kita masuk ke dalam? Aku yakin kita nggak akan bisa masuk dari
pintu depan begitu saja.” Priestess berkata dengan sedikit kebingungan.
Mendengar
itu, telingan High Elf Archer berdiri tegak, dan dia mencondongkan tubuhnya ke
depan. “Jadi kamu mau menyenlinap ke dalam benteng!” Dia tampak begitu senang.
Dia terus bergumam, “Sip, sip,” pada
dirinya sendiri, telinganya mengepak
seraya gumamnya. “Sip! Ini sudah hampir terasa seperti petualangan yang
sesungguhnya. Asik!”
“I-ini…petualangan?”
“Iya
dong,” High Elf Archer berkata dengan ceria, dan girang. Dia memang biasanya
selalu riang, walaupun ada kemungkinan dia hanya berpura-pura tampil kuat.
Tidak ada yang mengatakan bahwa kamu harus bersikap muram hanya karena kamu
berada di situasi suram.
“Pegunungan
kuno di tengah-tengah alam liar! Benteng kokoh yang di kendalikan penjahat
kuat! Dan kita akan menyelinap ke dalam untuk mengalahkannya!”
Kalau itu bukan petualang,
apa lagi?
High
Elf Archer memberikan penjelasannya dengan ayunan dan gerakan, kemudian melihat
kepada Goblin Slayer.
“Aku
rasa kita memang nggak berhadapan dengan Demon Lord atau semacamnya…tapi ini
juga bukan pembasmian goblin yang biasanya.”
“Ini
bukan sepenuhnya penyelinapan juga,” Goblin Slayer bergumam. “Musuh akan tahu
ada petualang di sekitarnya. Kita harus melakukannya dengan hati-hati.”
“Kamu
punya rencana?” Dwarf Shaman berkata.
“Aku
baru punya satu.” Goblin Slayer melihat mereka. Ekspresinya terhalang oleh
helmnya, namun tampaknya dia sedang melihat kepada dua clericnya.
“Apa
penyamaran bertentangan dengan agama kalian?”
“Hmmm.
Bagaimana ya,” Lizard Priest berkata, matanya berputar di kepalanya. Kemudian
mata reptile miliknya menatap kepada Priestess dan berkedip. Priestess memahami
arti ini dan tersenyum lembut.
Aku nggak bisa membiarkan
semua orang menjagaku setiap saat.
“A—aku
rasa itu tergantung dari waktu dan keadaan.”
“Baiklah.”
Goblin Slayer menarik kantung peralatannya dan pada saat yang sama mengeluarkan
sesuatu. Sesuatu tersebut berguling di sekitar meja, melewati peta, dan
kemudian berhenti.
Adalah
sebuah lambang akan mata yang jahat.
“Karena
mereka cukup berbaik hati untuk meninggalkan sebuah petunjuk buat kita, aku
nggak mungkin akan mensia-siakan ini.”
“Ha-ha.
Sungguh cerdas.” Lizard Priest berkata dengan tepukan tangan bersisiknya.
Tampaknya dia mengerti apa yang sedang terjadi. “Menjadi anggota dari sekte
jahat. Mm, baiklah.”
“Ya.”
“Saya
adalah lizardman yang menyembah Dewa Kegelapan. Murid saya adalah seorang
warrior, dan kami di temani oleh seorang tentara bayaran kaum dwarf…”
“Berarti
aku jadi seorang dark elf!” High Elf Archer berkata dengan menyeringai layaknya
seekor kucing.
Kemudian
dia berputar kepada Priestess. “Aku harus mewarnai badanku pakai tinta. Hei,
mungkin kamu bisa pakai telinga palsu! Kita bisa jadi kembar!”
“Huh?
Oh—huh? Apa aku—apa aku harus mewarnai badanku juga?”
Tiba-tiba
Priestess tidak mengetahui harus melihat kemana. High Elf Archer mendekatinya,
dengan tersenyum lebar.
“Lebih
baik dari isi badannya goblin kan?”
“Aku
rasa itu hampir sama saja…!”
Jika
di berikan kebebasan memilih, Priestess tidak akan memilih keduanya. Namun jika
keadaan memaksa…
Goblin
Slayer melirik pada kedua gadis yang berbicara, kemudian mengembalikan
pandangannya pada kedua pria lainnya. Lizard Priest tampak sedikit menyipitkan
matanya.
“Mereka
berdua sungguh wanita yang cantik.”
“Ya,”
Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Aku tahu.”
Jika
dia harus melakukan sesuatu yang di luar perkiraan atau yang sukar di percaya
untuk dapat meraih kemenangan, maka dia akan melakukannya. Jika dia harus
bersikap serius dan tegas untuk dapat bertarung secara efektif, maka dia akan
melakukannya.
Namun
kenyataan selalu berbeda. Tawa dan canda: keseluruhan party sangat memahami
akan betap pentingnya hal ini.
“Sekarang,
saya rasa kita harus memutuskan apa yang akan kita kenakan sebagi penyamaran,”
Lizard Priest berkata.
“Akan
sangat nggak bagus kalau goblin mengetahui bahwa kita adalah petualang,” Goblin
Slayer berkata. “Apapun yang akan kita lakukan, kita harus merubah apa yang
kita pakai.”
“Pfah,”
Dwarf Shaman berkata dengan tawaan, napasnya bau akan alkohol, “Kalau kamu
nggak keberatan memakainya, aku punya beberapa pakaian.”
“Oh-ho.
Sungguh anda adalah seorang dwarf dengan berbagai macam talenta master pembaca
mantra.”
“Makanan
enak dan anggur, music yang enak dan lagu, dan sesuatu yang indah untuk di
pakai. Kalau kamu mempunyai semua itu di tambah dengan wanita cantik yang
menemani, kamu mempunyai segalanya untuk bisa kamu nikmati di dunia.” Dwarf
Shaman meneguk kembali gelasnya dan menutup matanya. “Aku bisa memasak, bermain
music, bernyanyi dan menjahit. Untuk wanita, selalu ada pelacur di kota.”
“Puji
Tuhan. Anda tidak mempunyai istri?” Lizard Priest terlihat terkejut, namun
Dwarf Shaman menjawab. “Iya aku belum punya. Aku ingin menikmati beberapa ratus
tahun lagi untuk menikmati masa lajangku, menjadi bon viveur.” (TL NOTE : Bon
viveur = https://en.wikipedia.org/wiki/Bon_viveur
)
Lizard
Priest tertawa kecil, menjulurkan lidahnya dan menyeruput gelas dengan riang.
“Master pembaca mantra, betapa mudanya diri anda. Hingga dapat membuat lizard
tua ini iri.”
“Ah,
tapi aku yakin kalau aku lebih tua darimu.” Dwarf Shaman menjulurkan botol
anggur menawarkannya; Lizard Priest mengangguk dan menadahkan gelasnya.
Goblin
Slayer berikutnya. Dia mendengus, “Mm.” dan hanya menadahkan gelasnya, alkohol bergelombang
masuk ke dalam gelasnya.
“Kalian
semua harus menikmati hidup kalian,” sang shaman berkata, dan menambakan, “Mau itu dengan goblin, atau dewa, atau
apapun itu.” Kemudian dia bersandar kembali di kursinya untuk menikmati
alkoholnya.
Matanya
menatap pada dua wanita muda yang sedang berbincang.
“Tawa,
tangis, marah, dan bersantai—gadis telinga panjang itu jago dalam hal-hal itu
kan?”
“…”
Goblin
Slayer melihat ke dalam gelasnya, tidak berkata apa-apa. Sebuah helm yang
terlihat murahan menatap balik dari dalam gelas anggurnya, yang bercampur
dengan warna oranye akan sebuah lampu. Dia mengangkat gelas ke dekat helmnya
dan meminumnya dengan sekali teguk. Tenggorokan dan perutnya terasa seperti
terbakar.
Dia
menghela napas. Seperti apa yang di lakukannya pada perjalanan yang panjang,
melihat ke belakang, melihat ke depan, dan terus berjalan.
“Semua
nggak ada yang mudah,” dia berkata.
“Iya
aku rasa itu benar.” Sang dwarf membalas.
“Benarkah?”
Tanya Lizard Priest. “Saya rasa anda benar.”
Ketiga
pria tertawa tanpa suara.
Adalah
ketika mereka menyadari pada gadis memperhatikan mereka, melihat mereka dengan
penuh tanda Tanya.
“Ada
apa?” Tanya High Elf Archer.
“Ada
yang salah?” Tanya Priestess.
Dwarf
Shaman hanya melambai menjawab pertanyaan mereka, dan setelah memberikan
beberapa waktu untuk menenangkan keadaan, Goblin Slayer berkata:
“Sekarang.
Tentang goblinnya.”
“Ah-ha!
Akhirnya topic utama kita Beardcutter.” Dwarf Shaman mengelap tetesan anggur
dari jenggotnya dan membenarkan posisi duduknya. “Aku rasa paladin ini adalah
pemimpin mereka. Itupun kalau dia memang benar-benar ada, tentunya.”
“Ya”
Goblin Slayer mengangguk. “Aku belum pernah berhadapan dengan goblin seperti
itu juga.”
“Pertanyaannya
adalah, seberapa cerdasnya paladin itu?”
“Paling
nggak dia dapat meniru panah buatanku.” Goblin Slayer mengambil mata panah dari
dalam tasnya, dan berguling di atas tangannya. Mata panah itu ternoda dengan
darah High Elf Archer. Dan itu memberikannya perasaan yang suram. “Dan kalau
kita menghancurkan tiga puluh enam dari mereka dalam satu ekspedisi, itu
artinya jumlah musuh kita banyak.”
“Jadi
banyak makhluk berotak kecil? Kedengarannya seperti pekerjaan goblin biasanya,”
Dwarf Shaman berkata.
Hal
yang terjadi pada festival panen entah bagaimana dapat berpihak kepada para
petualang ini, namun itu di karenakan mereka mengetahui lahan dan sudah
melakukan persiapan. Walaupun jumlah musuh tidak sebanyak dengan apa yang
pernah terjadi di kebun, para petualang tetaplah hanya berjumlah lima orang.
Bertarung di dalam wilayah berbahaya tampaknya akan sangat sulit.
Lizard
Priest, yang telah mendengarkan dengan diam, membuat suara pada tenggorokannya,
kemudian berkata dengan serius, “Dan terdapat satu masalah lagi.” Dia menepuk
lantai dengan ekornya, menjulurkan tangannya, dan menepuk cakarnya pada sebuah
tanda baru yang Goblin Slayer buat pada peta. “Khususnya, jika kita memiliki
keberuntungan untuk dapat masuk ke dalam benteng musuh, apa yang akan kita
lakukan dari sana?”
“Ah,
soal itu,” Goblin Slayer berkata. “Kalau kita berhasil masuk—“
Kriiiik.
Tidak
lama setelah Goblin Slayer berbicara, terdengar suara kayu pintu yang berdecit,
para petualang semua menggapai pada senjatanya.
Mereka
semua menahan napas mereka. Sang pemilik penginapan sudah tidur terlebih
dahulu.
Secara
perlahan, decitan itu menjadi suara langkah kaki. Seseorang menuruni tangga,
kemudian menghela.
“Goblin…?”
Suara
itu begitu serak, hampir seperti sebuah helaan. Datang dari Noble Fencer, yang
berdiri memegang susur tangga, berdiri goyah. Dia mengenakan armor yang telah
usang di atas pakaian tidurnya, dan di tangannya sebuah belati silver berkelip
di dalam cahaya.
Mithril…? Nggak, warnanya
terlalu muda. Benda sihir atau semacamnya munkin…?
Dwarf
Shaman mendapati dirinya menyipitkan mata pada kilauannya. Bahkan dirinya, yang
seharusnya merupakan sahabat para metal, tidak pernah melihat metal seperti
itu.
“……Kalau
begitu…. Aku ikut juga.”
“Nggak
mungkin!” High Elf Archer adalah yang pertama merespon. “Kami datang untuk menyelamatkanmu
karena quest yang di pasang orang tuamu.” Dia melihat pada mata Noble Fencer
dengan tatapan ciri khas bangsa elf. Mata itu sangatlah dalam dan gelap,
layaknya sebuah dasar sumur—atau itu apa yang High Elf Archer pikir.
Orang
tuanya yang di singgu tampaknya tidak membuat Noble Fencer goyah.
Terdengar
suara tarikan napas yang begitu samar.
“Sebelum
kamu mempertaruhkan nyawamu lagi, apa kamu nggak setidaknya pulang ke rumah dan
berbicara pada mereka?” High Elf Archer berkata.
“…..Tidak.
Aku tidak bisa melakukan itu.” Noble Fencer menggeleng kepalanya, rambut
berwarna madunya berayun. “…..Aku harus mendapatkannya kembali.”
Lizard
Priest menyatukan tangannya dengan gerakan yang aneh, menopang dagu di atas
tangannya. Dengan mata yang tertutup, dia tampak seperti setengah berdoa,
setengah menahan rasa sakit. Secara perlahan, dia bertanya:
“Dan
apakah itu?”
“Segalanya,”
Noble Fencer berkata tegas. “Segalanya yang telah di renggut dariku.”
Mimpi.
Harapan. Masa depan. Keperawanan. Teman. Rekan. Perlengkapan. Pedang.
Semua
yang telah goblin curi dan renggut menjauh ke dalam lubang busuk mereka.
“Saya
tidak dapat mengatakan bahwa saya tidak memahaminya,” Lizard Priest berkata
setelah beberapa saat, napasnya mendesis. Noble Fencer sedang berbicara tentang
harga diri, tentang jalan kehidupan. Lizard Priest membuat gerakan aneh pada
telapak tangannya. “Seorang naga memiliki harga diri di karenakan dia adalah
seorang naga. Jika dia tidak memiliki harga diri, maka dia bukanlah lagi
seorang naga.”
“Tu-tunggu
dulu…!” High Elf Archer berkata. Lizard Priest begitu tenang dan berkepala
dingin—walaupun, jika di pikir kembali, tampaknya Lizard Priest begitu
menikmati sebuah pertarungan. Telinga sang elf melemas kasihan, namun
telinganya dengan cepat berdiri kembali. “Dwarf! Katakan sesuatu!”
“Kenapa
kita harus melarang apa yang mau dia lakukan?” sang shaman berkata.
“Guh?!”
Dan
satu suara yang tidak seperti elf sama sekali (tampaknya repertoar-nya semakin
lama semakin meningkat) datang dari tenggorokan High Elf Archer. (TL Note:
Repertoar = https://kbbi.web.id/repertoar
)
Dwarf
Shaman tidak menghiraukan sang elf, melainkan dia mengocok tetesan terakhir
dari botol mead miliknya, dan berkata, “Quest kita adalah untuk menyelamatkannya.
Terserah dia apa yang mau dia lakukan setelah itu.”
“Eh, uh, dwarf?! Kalau dia mati?! Terus
gimana?”
“Kamu
sendiri bisa saja mati. Atau aku. Atau salah satu dari kita.” Dia menghabiskan
tetesan terakhir gelasnya dan mengelap mulutnya. “Setiap makhluk hidup akan
mati suatu hari. Kalian para elf seharusnya mengetahui itu jauh lebih baik
daripada orang lain.”
“Yah…
Yah…, iya sih, tapi…”
Fwiiip Telinganya
melemas kembali. High Elf Archer melihat sekitarannya dengan ekspresi seperti
anak kecil yang tersesat yang tidak mengetahui apa yang harus di lakukan.
Priestess
bertemu dengan matanya, dan hampir mencegah apa yang Priestess ingin katakan
berikutnya. Priestess menatap lantai, menggigit bibirnya, meminum anggur
terakhirnya tanpa berkata-kata. Karena jika dia tidak melakukannya, dia
berpikir bahwa kata-katanya tidak akan dapat keluar dari dalam mulutnya.
“Ayo…ayo bawa dia juga.”
Jika
dia tidak mengatakannya, tidak akan ada orang lain yang akan melakukannya.
“Kalau…
Kalau kita nggak membawanya…”
Dia nggak akan bisa di
selamatkan.
Nggak salah lagi, nggak akan
ada yang bisa menyelamatkannya lagi.
Priestess
sendiri pernah mengalaminya, dulu.
Dan—Priestess
mengira—begitu juga dengan pria itu.
“Aku…”
dia—Goblin Slayer—mulai merangkai kata-katanya dengan hati-hati,”…bukan orang
tuamu, ataupun temanmu.”
Noble
Fencer tidak berkata apapu.
“Kamu
tahu apa yang harus di lakukan ketika kamu mempunyai sebuah quest.”
“Aku
tahu.”
“Hei!”
Namun
sebelum High Elf Archer dapat menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara sesuatu
robek yang tidak nyaman.
Rambut
emas berterbangan di udara.
“…….Hadiahmu.
Aku bayar di muka.”
Dia
mengenggam kepang rambutnya dan memotongnya. Dia memotong kepang satunya dengan
belati miliknya—suara robekan lainnya—dan meletakkannya di atas meja. Kedua
kepang yang sebelumnya terikat dengan pita, kini telah tercabik lepas.
“………..Aku
akan pergi juga.”
Rambutnya
kini sangatlah pendek, menggigit bibirnya penuh tekad—sebuah gambaran akan
seseorang yang di rasuki oleh nafsu membalas dendam.
Priestess
mendengar dengusan samar dari dalam helm Goblin Slayer.
“Pak….Goblin
Slayer…?”
“Apa
yang bisa kamu lakukan?”
Goblin
Slayer menghiraukan tatapan Priestess, dan melempar sebuah pertanyaan pada
Noble Fencer.
Tanpa
keraguan, gadis itu menjawab. “Aku bisa menggunakan pedang. Dan mantra petir.”
Helm
itu berputar, melihat kepada Dwarf Shaman.
“Memanggil
petir,” Dwarf Shaman berkata. “Sihir kuat, seperti meriam.”
“…Baiklah,”
Goblin Slayer berkata perlahan. Kemudian dia bertanya, “Kamu nggak keberatan?”
Helm
itu berputar kepada High Elf Archer, yang melihat kepadanya memohon. Sekarang,
High Elf Archer mengalihkan pandangnya; dia menggenggam gelasnya dengan kedua
tangan dan menatap lantai. Pada akhirnya, sang elf menggosok ujung luar matanya
dengan lengan dan terlihat begitu menyedihkan. Dia hanya berkata: “Kalau kamu
nggak masalah dengan itu, Orcbolg.”
“Bagus.”
Goblin Slayer menggulung peta dan berdiri.
Adalah
jelas apa yang harus di lakukan.
Adalah
hal yang sama yang selalu harus di lakukan.
Selalu
dan di manapun.
Tidak
peduli bagaimanapun juga.
Adalah
sesuatu yang dia telah lakukan selama sepuluh tahun terakhir.
“Kalau
begitu ayo kita pergi membasmi goblin.”
0 Comments
Posting Komentar