PENYERBUAN DUNGEON
(Translater : Zerard)
“Aku
nggak pernah setuju dengan ini!”
“Ah…
Ah-ha-ha-ha-ha-ha…”
Pagi
berikutnya, High Elf Archer sedang berjalan menuruni pegunungan…terukurun di
dalam sebuah kerangkeng kayu. Priestess berada di sampingnya, tersenyum
canggung. Mereka berdua berpakaian lusuh.
Telinga
panjang sang elf mengepak marah; dia menggenggam jeruji kerangkeng dan
menggoyangkannya.
Jeruji
tersebut menyambung hingga ujung atas kerangkeng, agar kerangkeng ini dapat di
bawa, membuatnya tampak menjadi seperti seorang “tahanan” sungguhan.
“Kenapa
harus kami yang menjadi tahanannya?!”
“Karena
aku dan yang lain tidak akan bisa menjadi tahanan.”
Dengan
pria sebagai tahanan, acting ini tidak akan begitu meyakinkan. Goblin Slayer
sama sekali tidak berusaha menenangkan sang elf.
Goblin
Slayer telah mewarnai armornya yang selalu kotor dengan warna hitam dari kepala
hingga kaki; merupakan pemandangan yang aneh. Seseorang dapat salah mengira
dirinya sebagai pasukan yang telah wafat yang bangkit kembali dari kuburnya.
“Ho!
Oh! Petualang wanita bofoh ini mulai mengoceh lagi!” kata seorag dwarf yang
terlihat jahat yang membawa kerangkeng dari depan. “Master monk, mungkin kita
harus memberikan mereka pelajaran…”
“Heh-heh-heh!
Betapa bagusnya mereka untuk di jadikan tumbal Dewa Pengetahuan. Saya akan
membiarkan anda melakukan apapun yang anda ingingkan.” Jawaban itu berasa dari
seorang dark lizard monk yang berjalan di depan mereka, tersenyum jahat. Dia
sudah merasa senang sejak dia menggunakan penyamaran yang telah di siapkan dan
dia telah mengecat wajah dan sisiknya, menggunakan pigmen dengan bentuk pola
tertentu.
High
Elf Archer menggigit bibirnya dengan geraman dan mengubah sasarannya.
“Hei,
kamu tahu, nggak apa-apa buat sedikit lebih marah!!”
“Oh,
aku rasa…aku sudah lumayan terbiasa dengan hal seperti ini…” Priestess duduk di
salah satu sudut kerangkeng, memeluk lututnya, tersenyum pasrah. Ekspresi itu
bergabung dengan tubuhnya yang kurus dan indah, membuatnya tampak seperti
tahanan yang sesungguhnya. Sebuah akting yang sangat bagus. Tentu saja,
permasalahan utamnya bukanlah pada akting.
“…”
Kerangkeng
tersebut memilki satu lagi penghuni, seseorang yang tidak mengatakan apapun.
Adalah Noble Fencer.
Dia
juga, duduk di sudut kerangkeng dengan kakinya yang terangkat higga
dadanya—yang di mana dia manatap melamun dan tidak sedikitpun bergerak.
Akan
tetapi, kulitnya yang indah, telah kehilangan cahayanya; bibirnya yang berwarna
merah jingga kina telah berubah menjadi biru.
Priestess
mendatanginya perlahan, menggunakan tangan dan kakinya.
“Um,
apa kamu kedinginan…?”
“…Aku
baik-baik saja.” Noble Fencer berkata pendek.
Biasanya,
jawaban seperti itu sudah cukup untuk Priestess, namun kali ini dia hanya
tertawa kecil.
Adalah
jawaban yang jauh lebih baik di banding Ya
atau Benarkah? Atau Begitu.
Priestess
mengenang akan bagaimana sikap dia ketika
pertama kali mereka bertemu; pria itu hanya akan menjawab dengan salah satu
dari kata itu.
“Aku,
aku kedingingan… Jadi aku akan duduk dekat kamu ya, oke?”
“…..Terserah
kamu.”
Noble
Fencer mengalihan pandangannya. Priestess mengangguk, walaupun Noble Fencer
tidak dapat melihat anggukannya, kemudian Priestess memeluk lututnya seperti
gadis lainnya.
Jalan
bersalju tampak sangat panjang. Kerangkeng berayun ke kiri dan kanan di dalam
badai.
Mereka
berjalan menuju benteng yang berdiri di atas pegunungan bersalju. Adalah
sesuatu yang tidak akan mudah ataupun menyenangkan bagi para wanita jika mereka
harus berjalan kaki.
Jadi…mereka berusaha
memperhatikan kami dengan membuat kami berpura-pura jadi tahanan?
“Hachooo!” Seseorang
bersin di karenakan dingin.
Dia
berusaha menutupi wajah merahnya dengan mulutnya, namun sudah terlambat.
Telinga tajam elf telah mendengar arah suara tersebut, yang membuatnya terlihat
menyeringai. Noble Fencer menatap Priestess dengan tatapan yang tidak seperti
wanita sama sekali.
“Mau…mau
bagaimana lagi. Di sini dingin sekali.”
“……..Iya
benar.” Noble Fencer bergumam, namun terdapat tanda sebuah senyuman kecil pada
ujung bibirnya. Priestess yakin sekali.
Ohhhh…
Sebagian
dari dirinya bangga karena telah berhasil mengundang reaksi itu—namun Priestess
merasa malu jika menyebut itu sebagai keberuntungan.
“Kamu
memang benar,” High Elf Archer berkata, warna wajahnya sama pucatnya.
“Benar-benar dingin di sini, apalagi dengan pakaian seperti ini.” Telinga
panjangnya mengepak gelisah. “Aku rasa telingaku bakal membeku.”
“Mereka
nggak salah kalau menyebut ini gunung bersalju.” Goblin Slayer berkata dari
luar kerangkeng. Dia memberikan tanda kepada Dwarf Shaman untuk berhenti.
Kemudian dia merogoh isi tas peralatannya dan menarik sebuah selimut, walaupun
kegunaannya dalam menghalau dingin sangatlah minimal.
“Anginnya
memang menggigit,” Dwarf Shaman berkata. “Bagaimana menurutmu, Scaly—er, monk?”
“Saya
sendiri harus berpakaian hangat agar saya terus dapat bergerak.” Sang lizardman
menggunakan pakaian biasanya di lapisi dengan mantel yang sangat tebal. Dia
menyipitkan matanya. “Beberapa orang mengatakan bahwa naga yang menakutkan
telah punah di karenakan dingin.”
“Kelemahan
ras eh? Apa boleh buat kalau begitu. Bagaimana kalau kita nyalakan api dan
hangatkan tubuh kita?”
Dwarf
Shaman merogoh tas katalis miliknya, mencari korek, bersama dengan satu atau
dua batu besar.
“Dansa api, salamander
tersohor. Berikan kami sedikit bagian dari ketenaranmu”
Tidak
lama setelah dia melantunkan kalimat itu, batu di tangannya mulai bercahaya
samar dari dalamnya. Penyalaan api ini telah mengkonsumsi salah satu dari
mantranya—namun tidak satupun dari mereka yang menganggap ini sebagai percuma.
“Batu
ini nggak akan terbakar, Cuma menghangatkan saja, jadi—aduh! Panas, panas!
Nggak jelek buat hangatkan tubuh.”
“Aku
punya kenangan buruk dengan mantra itu.” High Elf Archer berkata, secara reflek
melindungi kakinya. Dwarf Shaman mendengus.
“Kalau
kamu nggak suka, aku nggak harus memberikanmu satu.”
Tidak
lama kemudian, batu itu telah menjadi panas; Dwarf Shaman membalut batu itu
dengan kain dengan gerakan yang terlatih dan meletakkannya di dalam kerangkeng.
Bahkan High Elf Archer yang tampak tidak begitu menyukainya sebelumnya,
menerima batu itu.
“Er,
terima kasih. Kamu cukup perhatian juga, untuk seorang dwarf.”
“Te-terima
kasih…!” Priestess berkata.
“…”
Masing-masing
dari mereka memiliki reaksinya sendiri. Dwarf Shaman hanya menepuk perutnya
dengan berkata ‘Nggak masalah!’,
membuat High Elf Archer menghela.
“Coba
kamu sedikit membuka perasaanmu,” sang dwarf berkata. “Beardcutter, punya
sesuatu buat kita?”
“Hmm.
Rencananya aku akan menggunakannya ketika kita sampai di benteng itu, tapi…”
Dia mengambil segenggam akan sesuatu dari dalam tas peralatannya dan menarinya
keluar. Dia melemparnya masuk ke dalam kerangkeng, yang di mana Priestesss
menangkapnya.
Di
tangannya adalah beberapa cincin kecil, masing-masing terhias dengan permata
biru.
“Cincin-cincin
itu mempunya mantra Breath di dalamnya,” Goblin Slayer berkata dengan tenang.
Mantra itu adalah mantra yang dapat membuat seseorang untuk bernapas dengan
lebih mudah. (TL Note: Breath = napas.)
Satu-satunya
pembaca mantra yang Priestess pikir dapat melakukan sihir ini adalah Witch.
Bahkan memikirkan penyihir montok tersebut membuat Priestess sadar akan betapa
kurus tubuhnya.
Priestess
mengesampingkan masalah itu, “Pak Goblin Slayer, kalau kamu memberikan kami
cincin untuk bernapas di bawah air, apa itu artinya…?”
Di
dalam pikirannya, Priestess membayangkan reruntuhan yang pernah mereka
kunjungi, reruntuhan yang di kuasai oleh ogre. Kala itu Goblin Slayer
menggunakan sebuah gulungan yang bertuliskan mantra Gate untuk meluncurkan
semburan air bertekanan tinggi yang berasal dari dasar laut mengarah pada
monster tersebut.
“Pastinya
kamu punya itu,” Priestess berkata.
“Cincin
itu nggak akan berfungsi lama,” Goblin Slayer berkata tajam. “Tapi cincin itu
akan membantumu menghalau dingin, walaupun di tempat bersalju ini.”
“Mantap!
Kenapa kamu nggak bilang dari tadi, Orcbolg?!”
High
Elf Archer menepuk tangannya, mengepak telinganya, dan dengan riang dia memakai
cincin itu di jarinya.
“Mmmm!”
dia berkata. Memang benar, cincin tersebut telah membantu menghalau dingin.
Cukup masuk akal: salju hanyalah air yang membeku belaka.
“Cincin
itu sendiri nggak terlalu banyak gunanya, tapi di gabungkan dengan batu dwarf
itu, rasanya cukup hangat” sang elf berkata.
“Oh,
uh… kalau begitu aku juga coba…” Dengan bimbang, Priestess memasang cincin di
jarinya. Ketika dia melakukannya, hawa dingin yang mengelilingi tubuhnya
menghilang, seolah tubuhnya terlapisi dengan selimut.
“Oh!”
dia tidak sengaja berteriak. “Ini luar biasa sekali!”
“Iya
kan?” High Elf Archer berkata, menutup matanya dan terlihat bangga seolah
dialah yang memberikan cincin tersebut.
Dwarf
Shaman mendengarkan semua ini, mendengus tertawa.
“Hei,
kenapa?” gerutu High Elf Archer, cemberut.
“Ya
ampun…” Priestess menghela dan melihat pada Noble Fencer yang duduk di
sampingnya. Priestess mendapatkan tatapan tajam dan dingin darinya. “Ini,
kenapa nggak coba kamu pakai juga?”
“……….Aku
nggak butuh,” Noble Fencer membalas, menggelengkan kepalanya dengan kuat hingga
membuat rambut emasnya berkibas. “……….Aku tidak kedingingan.”
“Ayolah,
kok bisanya kamu bicara seperti itu…?”
Tiba-tiba,
Priestess mengingat gadis-gadis muda di kuil. Adalah hal yang akan mereka
katakana secara langsung (apapun alasannya) ketika mereka keluar dalam musim
dingin dengan pakaian yang sangat tipis, bahkan seraya ingus menetes dari
hidung mereka.
Secara
perlahan Priestess memegang tangan Noble Fencer. Seperti dugaan, tangannya
dingin membeku.
“Sini,
biar aku bantu pasangkan.”
“…….Aku
sudah bilang, aku tidak—achoo!” Noble
Fencer bersin, dan kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya dari
Priestess yang terkejut. “…….Aku tidak kedingingan.”
“….Iya,
iya.” Priestess berusaha menahan tawa. “Nanti aku pastikan mereka semua tahu
kamu nggak kedinginan. Tapi aku akan tetap memakaikan cincin ini ke kamu.”
“…………Hrm.”
Dan
dengan itu, tidak lagi menerima jawaban tidak, Priestess menyelipkan cincin itu
pada tangan Noble Fencer.
Batu
biru itu berkelip pada tangan gadis itu.
“Heh!
Aku rasa aku nggak akan melarikan diri lagi setelah memakai ini.” Bahlan High
Elf Archer tampaknya mulai menikmati perjalanan ini, tertawa kecil seraya dia
berbicara.
“……”
Noble
Fencer tetap terdiam dan tidak bergerak, tidak mempedulikan mereka, namun
mereka bertiga terkurung bersama dengan batu hangat di dalamnya. Efek
menghangatkan yang di berikan cincin mereka dengan batu biru cantik ini mungkin
tidak akan bertahan lama—namun cincin itu sendiri tidak akan menghilang.
“Heyo,
gadis-gadis. Sudah cukup bicaranya. Kembali bearkting terlihat ketakutan lagi.”
Dwarf Shaman berusaha terlihat sekejam yang dia mampu dengan harapan untuk
memperkuat akting mereka.
“Ayolah
dwarf, kamu nggak harus merusak
suasana juga!”
“Suasana?
Ngaca Telinga Panjang. Budak macam mana yang tertawa-tawa dan bergosip?”
Jika
sang dwarf berkata seperti itu, High Elf Archer tidak dapat mendebatnya. High
Elf Archer memanyunkan bibirnya dengan kesal dan terdiam.
“Ambil
garis depan,” Goblin Slayer berkata. “Pengelihatan malamku terlalu jelek.”
Bahkan,
akan sangat tidak biasa bagi agen kekacauan untuk membawa sebuah obor. Goblin
Slayer memapah gagang kerangkeng pada pundaknya, mengikuti Lizard Priest
sekarang.
“Serahkan
pada saya. Akan sangat baik jika anda tetap berada di dekat saya, wahai knight
pengelanaku.” Dengan sebuah desisan, dan tawaan kecil, Lizard Priest bergerak
ke depan dengan langkah yang lebar.
Gerbang
hitam besar benteng sebentar lagi berada di depan mereka, adalah mustahil untuk
melewatinya dalam pegunungan penuh akan salju ini.
*****
“Kami
memohon ijin untuk masuk!”
Suara
lantang Lizard Priest dapat terdengar bahkan di antara lolongan badai.
Benar-benar sebuah raungan naga. Adalah mustahil bagi penghuni benteng untuk
tidak mendengarnya.
“Tamu
anda adalah pelayan dewa pengetahuan eksternal, seorang priest dari mata akan
bulan hijau! Saudaraku, apakah kalian tidak akan membuka gerbangmu untuk
saya?!”
Lizard
Priest adalah (memang benar) seorang cleric, dan seseorang yang rajin dan taat hingga
dapat mencapai tingkat Silver. Lizard Priest memiliki kualitas untuk
menjadikannya anggota tingkat tinggi dari agama manapun.
Seraya
gema terakhirnya menghilang di telan badai, Dwarf Shaman menarik sikut Goblin
Slayer.
“Sulit
di percaya kalau dia cuma berakting ya? Aku rasa gadis-gadis kecil kita nggak
akan bisa sebagus dia.”
“Benar.”
“Berhubung
biasanya perawan kuil akan dewa kejahatan biasanya sangat jarang, ini cukup
menarik loh.”
“Benarkah?”
“Kok?
Aku kira kamu suka melihat penampilannya pada waktu festival? Kamu nggak mau
mendandaninya?”
“Aku
nggak tertarik.”
Mereka
berdua berbicara cepat dan pelan, menghadap ke depan agar mereka masih dapat
tampak seperti murid setia Lizard Priest.
Setelah
beberapa saat, Dwarf Shaman berkata, “Aku penasaran apa benar ini goblin
paladin atau makhluk kuat lainnya. Bagaimana menurutmu Beardcutter?”
“Aku
nggak tahu,” dia bergumam. “Tapi kita harus beroprasi dengan asumsi bahwa dia
lebih kuat dari kita.”
“Jadi
maksudmu apapun kenyataannya, kita akan sudah siap?”
“Ya.”
“Aku
rasa kalau kita menganggap dia bodoh dan dia mengalahkan kita, itu artinya
kitalah yang bodoh.”
Goblin
sangatlah bodoh, namun mereka tidak tolol. Adalah hal yang di pegang teguh oleh
Goblin Slayer. Goblin Slayer mengangguk mendengar Dwarf Shaman.
“Hmmm.”
Tidak ada jawaban balasan dari sahutan Lizard Priest. Gerbang masih tertutup
rapat, satu-satunya yang menjawab hanyalah hembusan angina.
Lizard
Priest melipat lengan baju dari mantelnya yang penuh akan warna dan
mengeluarkan sesuatu dari dalamnya: sebuah mata yang terukir dari kayu,
merupakan buatan tangan dari Dwarf Shaman, imitasi dari lambang yang mereka
temukan. Inilah yang di pegang oleh Lizard Priest.
“Mata
biru akan dewa pengetahuan eksternal melihat anda! Saudaraku, kalian yang
berbagi akan pengetahuan, bukalah gerbang ini sekarang!”
Pada
akhirnya, sesuatu terjadi.
Sebuah
celah kecil muncul di antara gerbang. Di ikuti dengan decitan tuas, dan roda
gigi yang berputar, dan erangan pintu yang mulai terbuka.
Goblin
Slayer memperhatikan gerbang dengan konsentrasi penuh. Berapa banyak Goblin
yang di butuhkan untuk membuka pintu ini? Berapapun jumlahnya, musuh mereka
adalah pasukan yang besar. Sekarang semuanya menjadi menarik.
“Um…
Ini akan berjalan lancar…kan?”
Mendengar
suara lembut namun tak terduga dari belakangnya, Goblin Slayer hanya
menggerakkan matanya dari balik helmnya. Dari sisi lain jeruji, Priestess
melihat padanya dengan penuh kebimbangan.
“Apa
menurutmu mereka…bakal langsung melempar kami masuk ke dalam dungeon atau…atau
yang lainnya?”
“Kemungkinan
besar.” Goblin Slayer sedikit mengangguk—para goblin dapat melihat dirinya.
“Lebih baik daripada di jadikan tumbal.”
“Be-benarkah?”
“Ya.”
“Tapi…kamu
akan menyelamatkan kami, kan?”
“Itu
memang tujuanku.”
Mulut
Priestess terbuka untuk mengatakan sesuatu, namun kemudian tertutup kembali.
Ekspresinya melemas seolah dia telah pasrah.
“Yah…
Baiklah kalau begitu.”
Dengan
itu, Priestess menghela lembut. Bahkan dengan berbagai macam pemanas sihir di
dekatnya, hela napasnya menjadi kabut seusai keluar dari mulutnya.
Goblin
Slayer bisa saja berkata Semua akan
baik-baik saja, atau Kamu bisa
percaya padaku, atau Aku nggak akan
membiarkan goblin menyentuhmu—apapun yang dapat memberikan ketenangan pada
para gadis. Namun dia tidak mengatakannya. Tidak satupun.
Tentu
saja, jika Goblin Slayer secara tiba-tiba menjadi penuh perhatian, Priestess
akan mengira bahwa seseorang telah mencuri armor pria itu. Namun tetap saja…
Dia ini benar-benar terlalu,
Priestess
berpikir. Priestess tidak mengetahui mengapa ini membuatnya ingin tersenyum,
namun dia menahan rasa itu. Priestess dapat merasakan Noble Fencer di
sampingnya, tubuhnya kaku; dari kegugupan atau ketakutan, Priestess tidak
mengetahuinya.
“Nggak
apa-apa,” Priestess berkata. “Goblin Slayer ada di sini. Semua ada di sini.”
“Mereka
datang,” High Elf Archer berkata tajam, telinganya berdiri.
“GROOOBR!”
Makhluk
yang muncul di samping gerbang sangatlah kecil, dan teriakan makhluk tersebut
tidak bisa di bandingkan dengan Lizard Priest.
Adalah
seekor goblin, berpakaian dengan jubah priest yang usang. Goblin itu berusaha
terlihat mengintimidasi sebisa yang dia mampu, namun langkah kecilnya terlihat
cukup komikal. Akan tetapi, walaupun dengan penampilan yang konyol, seolah
dirinya seekor high priest yang bangga, membuatnya terlihat cukup mengesankan.
“GORARO!
GORBB!!”
Sang
goblin berhenti di depan Lizard Priest dan memberi tanda dengan angkuh,
melambaikan tangannya dan berteriak akan sesuatu. Lizard Priest, masih
menggenggam lambang suci itu, mengangguk mengikuti.Goblin Slayer dan Dwarf
Shaman menundukkan kepala mereka layaknya murid yang baik, diam tidak
berkata-kata.
“Apa
yang dia bilang?” High Elf Archer berbisik pada Priestess.
“Aku
nggak tahu,” Priestess bergumam menjawab, menggelengkan kepalanya. Bagaimana
mungkin dia dapat mengetahui bahasa goblin? “Apa kamu pikir dia itu goblin
paladin?”
“Dia
lebih kelihatan seperti high priest bagiku.”
“……..Kalian
salah.” Suara Noble Fencer menghalau bisikan mereka. “…………..Itu…..bukan dia.”
Api
kemurkaan membara di mata Noble Fencer; Priestess dapat melihatnya.
Oh….
Sebuah
pikiran kecil membuat semuanya menjadi jelas tentang dari manakah goblin itu
mendapatkan jubah priest itu.
“Semua
akan baik-baik saja…” dia berkata, memeluk Noble Fencer. Priestess tidak yakin
apakah perasaannya telah tersampaikan, namun dia berharap perasaannya dapat di
rasakan Noble Fencer.
Sekarang.
“Jika
begitu, dapatkah kami mengajukan permintaan untuk bertemu dengan penguasa
benteng ini? Dengan sang paladin?”
“GORA!
GORARARU!”
“Oh,
mereka? Mereka adalah pelayan setia saya. Dan sedangkan yang lainnya
adalah…hadiah dari saya.” Lizard Priest melebarkan tangannya di depan
kerangkeng; dia tampak begitu agung. “Kami telah berhasil menangkap beberapa
petualang gadis bodoh. Dan salah satunya, telah memiliki lambang untuk di
jadikan tumbal.”
“ORRRG!
GAROOM!”
“Ah, benar sekali, saya mengerti. Bimbinglah
kami mengarah penjaranya. Kita harus memotong kaki dan tangan mereka agar
mereka tidak dapat melarikan diri.”
Sang
goblin priest mengangguk, dan dengan gerakan imitasi meniru Lizard Priest, yang
membuatnya terlihat komikal, dan kemudian memberikan arahan pada party untuk
masuk ke dalam.
Tentu
saja, Lizard Priest tidak dapat memahami bahasa goblin, seperti rekan lainnya.
Namun bahasa goblin sering terdengar seperti anak kecil yang mengambek, dan
memiliki arti yang kurang lebih sama:
Aku mau itu, berikan ke aku.
Dia berhasil. Itu salah dia.
Jika
begitu, apa yang harus di lakukan? Lidah lenturnya mendesis sebuah doa:
“O Mapusaurus, penguasa
bumi. Ijinkanlah kami bergabung dengan kelompokmu, seberapapun singkatnya.”
Adalah
sebuah keajaiban komunikasi, sebuah telepati. Dengan meminjam sedikit kekuatan
dari leluhurnya, yang berburu secara berkelompok, Lizard Priest dapat memahami
bahasa mereka.
“Semua tidak aka nada
gunanya jika kedua sisi tidak dapat saling memahami, Biasanya mantra ini di
gunakan untuk penginjilan, namun….”
Adalah
apa yang Lizard Priest katakan kepada rekannya pada meja di penginapan malam
sebelumnya, duduk di samping Dwarf Shaman, yang sedang menjahit.
“Aku rasa ini akan di
perlukan bagi kita untuk mempelajari beberapa kata dari lidah goblin.”
Adalah
apa yang di katakan Goblin Slayer sebagai jawaban. Dan sekarang….
“Phew!
Sepertinya semuanya berhasil.” Dwarf Shaman berkata.
“Kita
baru melewati gerbang. Jangan lengah.”
“Kamu
nggak perlu beritahu aku dua kali.”
Sang
dwarf menghela napas pendek. Goblin Slayer memandanginya, dan kemudain melihat
sekitarannya.
Goblin.
Mereka
berada di halaman kastil tua ini. Dahulu kala, sebuah mata air telah membawa
air pada tempat ini, dan sebuah pesta munkin di selanggarakan pada plaza marmer
ini. Namun sekarang, mata air telah mengering; dan tertutupi oleh salju, semua
rumput dan pepohonan sirna dari halaman ini, tidak ada satupun tanda akan
seorang kbight ataupun bangsaawan. Sekarang tempat ini menjadi rumah para
goblin, dan dengan itu, tempat ini telah menjadi penuh dengan tumpukkan kotoran
yang bercampur dengan darah dan tahi.
“Ini
benteng dwarf dari Jaman para Dewa? Lihat sekarang apa jadinya…”
Bagi
seseorang yang mencintai petualangan dan tempat misterius seperti High Elf
Archer, rasa perih pada bisikannya dapat di mengerti.
“Mereka
nggak tahu seberapa berharganya tempat ini…”
“Coba
lihat mereka semua,” Priestess berkata, menggigit bibirnya mencoba menahan
getaran pada suaranya. “Kita harus melakukan sesuatu terhadap ini…”
Adalah
sebuah keberuntungan bahwa goblin yang melihat mereka hanya menganggap mereka
sebagai tumbal menyedihkan. Monster kecil ini mengetahui secara pasti akan
bagaimana cara untuk membuat tahanan seperti ini menjadi menangis dan memohon
ampun, tidak peduli seberapa angkuhnya mereka terlihat atau terdengar.
Gerombolan
goblin berjumlah beberapa lusin.
Goblin
tengik berada di keseluruhan tempat ini: taman, dinding, dan dalam menara
pengawas. Masing-masing dari mereka menggunakan perlengkapan yang
menyedihkan—walaupun bagi goblin perlengkapan mereka tampak seperti
perlengkapan tingkat tinggi—dan masing-masing dari mereka memperhatikan
pendatang baru dengan seksama.
Tatapan
mereka mengandung rasa penasaran dan hasrat, namun kebanyakan dari mereka
mengandung rasa lapar yang sangat. Mata akan para hewan dari binatang tidak
berotak akan jauh lebih baik dari ini. Paling tidak binatang liar tidak akan
menatap mereka dengan penuh kemurkaan dan niat jahat.
“…..”
Priestess
secara reflek berusaha melindungi Noble Fencer dari tatapan mereka; dia memeluk
gadis itu dengan kuat. Priestess mengetahui dari pengalaman bahwa ini hanya
akan membuat para goblin semakin menjadi, namun dia tetap melakukannya.
“…..”
Sedangkan
saat ini, Goblin Slayer secara hati-hati memperhatikan lingkungan sekitar dari
balik helmnya. Geografi tempat ini, arsitekturnya tempat ini; jika dia tidak
menyerap semunya, maka hampir dapat di pastikan dia akan mati ketika mencoba
melakukan rencananya.
Kematian
sama sekali tidak mengusiknya; namun apa yang tidak dapat dia biarkan adalah
pikiran akan para goblin ini yang terus melakukan pekerjaan jahat mereka.
“GORARA.”
“Mm.
Ayo. Dia meminta kita untuk mengikutinya.” Sang Lizard berkata, mengikuti di
belakang sang goblin.
“Baik,
master priest. Ayo, manusia kaleng.”
Mendengar
Dwarf Shaman. Goblin Slayer mengangkat gagang dari kerangkeng.
Mereka
meninggalkan halaman penuh akan goblin, menuruni sebuah tangga yang penuh akan
sampah yang membusuk. Langkah kaki mereka bergema mengerikan di dalam ruang
bawah tanah berbatu. Ruangan ini sangatlah remang dan suram, dan sebuah aroma
busuk yang sulit di jelaskan tercium dari suatu tempat. Mereka ragu jika ini
adalah gudang para goblin. Mengapa menyimpan makanan dalam sebuah kurungan?
Mereka
berada di dalam dungeon.
Palang
dan gembok yang di buat kaum dwarf sangatlah kokoh nan indah. Rantainya pun
juga sama indahnya. Mengkin benda-benda ini pernah di gunakan di jaman dahulu,
untuk mengikat agen kekacauan, atau para pelaku kejahatan yang mengancam
benteng ini.
Namun
sekarang, tempat ini sudah berada di bawah kendali goblin, dan ruangan ini
merupakan tempat tinggal terakhir seorang wanita muda yang tidak beruntung.
Bayangkan jiwa menyedihkan itu di rantai di sini, berusaha menahan hidungnya
untuk tidak mencium aroma mayat yang membusuk…
“…”
Priestess
mendengar sebuah suara. Adalah Noble Fencer, yang mengeratkan giginya dan
mengeluarkan geraman kecil. Tubuhnya terasa kaku di lengan Priestess.
“ORAGARR.”
Sang
goblin membuka gembok yang telah berkarat, dan pintu sel-pun terbuka.
Lantainya
sangat licin dan di penuhi oleh beberapa cairan yang tidak di ketahui.
Rantainya hampir menjadi merah di karenakan karat.
Berada
di bawah tanah, hawa udara terasa dingin, walaupun masih lebih baik di banding
berada di luar. Aroma membusuk mengambang bersama hawa dingin.
Hanya
terdapat satu lubang untuk buang air besar, dan lubang itu sudah di penuhi oleh
tahi. Dan jika itu masih belum cukup, sebuah lengan manusia telah di buang
begitu saja masuk ke dalam lubang itu.
High
Elf Archer tersedak nyaring. Kita tidak perlu membahas perihal indra tingkat
tinggi kaum elf bukan…?
Walaupun
mata manusia tidak dapat melihat sebaik para elf, aroma dan hawa tempat ini
mengingatkan kembali pengalaman Priestess. Priestess menghirup sedikit udara.
Dia sudah terbiasa dengan ini—mungkin, mudahan,
atau itulah apa yang dia pikir—namun walaupun begitu…
“…Eugh…”
Walaupun
begitu, dia tidak dapat menghalau ingatan akan petualangan pertamanya. Warrior
muda yang berjalan di depannya, kemudian racun mematikan yang berada tepat di
depan matanya. Wizard yang dia telah
bantu bunuh. Dan sang fighter, di
kerumuni oleh goblin, di nodai dengan cara paling keji.
Dan
semua itu menimpa dirinya. Mereka semua telah mati sedangkan dirinya selamat.
Walaupun dirinya hidup sekarang, namun bukankah gilirannya untuk mati akan tiba
suatu hari?
Nggak apa-apa. Nggak
apa-apa. Semua…baik-baik saja.
Priestess
mengulangi nama Ibunda Bumi di balik napasnya untuk menjaga agar giginya
berhenti bergetar. Priestess melirik kepada pria
itu.
Atau
paling tidak, Priestess mencoba.
“GAROU!”
“Hh—ahh!”
Priestess
merasakan sesuatu menggenggam kepalanya; dia menjerit. Sang goblin priest telah
mendekati kerangkeng dan menarik rambutnya dengan kasar.
“ORAGARAO!”
Buka kandangnya dan masukan
gadis ini ke dalam sel!
Dewa
manapun yang meminta mereka untuk di jadikan tumbal, tampaknya semua akan di
mulai dari Priestess.
Dwarf
Shaman dan Goblin Slayer bertukar pandang dan mengangguk, kemudian menurunkan
kerangkeng.
Lizard
Priest berkata serius, “Baik, tentu saja. Namun, jika anda ingin untuk…menikmati persembahan ini, pertama saya
harus bertemu dengan sang paladin, dan—“
“Hrrraaaaaahhhhhh!”
Seraya
pintu kerangkeng di buka, Noble Fencer melakukan hal yang tidak terduga sama
sekali: dia memaksa keluar dari kerangkeng, mendekati goblin yang sedang
bersenang-senang dengan Priestess dan melilitkan tangannya di sekitar goblin.
“OGA….?!”
“Hraah!
Haaaaahhhhh!” Melolong layaknya binatang liar, keuntungan tubuh Noble Fencer
yang besar membuatnya dapat membanting monster itu.
“GORARA…?!”
“Eep!”
Priestess menjerit. Goblin priest yang marah menarik sebuah pisau batu dari
ikat pinggangnya dan menyayat Priestess. Sebuah garis merah tipis muncul pada
pipinya, dan Priestess memundurkan tubuhnya. Ketika dia melakukan itu, Noble
Fencer mementalkan pisau itu dari tangan makhluk itu.
“ORAGAGAGAGA?!?!”
“Goblin…
Goblin! Goblin!!”
Noble
Fencer menindihnya, melancarkan tinjunya. Setiap kali dia berteriak dan
meninju, sebuah memar baru tampak pada kulit pucat Noble Fencer, namun dia
tidak mempedulikannya.
“Aaaaagh!
Mampus! Mampus kamu tai anjing!”
Hidung
patah; mata hancur. Gigi bengkok. Dan dagu retak.
“GARAO?!”
Bahkan
para goblin-pun tidak mungkin membiarkan kekacauan seperti ini. Makhluk lainnya
yang berada di ruang bawah tanah ini, yang tengah menunggu dengan antisipasi
untuk bersenang-senang dengan tawanan mereka, meneriakkan suara mereka.
Kemudian
sang goblin penjaga melakukan hal layaknya goblin biasanya; daripada menyerang
musuh, dia berlari ke atas tangga untuk memanggil rekannya.
“Feh.”
Goblin Slayer menjentikkan lidahnya. Gerakannya cepat dan tepat.
Membuang
kerangkeng ke lantai—dan menghiraukan keluhan dari High Elf Archer—dia menarik
pedang dari pinggulnya dan menerbangkannya.
Mata
pedang itu memotong udara tanpa suara sebelum akhirnya tertanam pada kepala
goblin yang berada di tangga.
“ORAG?!”
Makhluk
itu berguling kembali ke bawah tangga, kejang-kejang, tidak mengetahui apa yang
terjadi padanya. Goblin Slayer dengan segera menerjang padanya.
“Hmph”
Dia memberikan putaran pada pedangnya, mematahkan saraf tulang belakangnya, dan
ketika serangan terakhir ini selesai di lakukan, dia mencabut pedangnya dan
menendang tubuh itu menjauh. Tubuh itu kembali berguling ke bawah tangga,
mendarat pada genangan kotoran dan tenggelam masuk ke dalamnya. Dengan itu
tubuhnya akan tersembunyi.
Akan
tetapi, Goblin Slayer tidaklah pernah lengah, memperhatikan dengan seksama pada
atas tangga, jalan mereka menuju permukaan.
“GORA?”
Seperti
dugaannya. Seekor goblin yang berpatroli mendengar keributan di tangga dan
datang untuk memeriksa.
Goblin
Slayer dengan cepat mengatur genggaman pada pedangnya dan memanggil rekannya.
“Kita sudah ketahuan. Ada satu lagi yang datang.”
“Aaaaaaghhh!
Aaahhhhhh!”
Noble
Fencer masih menghajar mayat goblin priest yang telah mati. Gigi yang tidak
rata makhluk menjijikkan ini telah meluaki kepal tangan Noble Fencer, namun dia
tidak mempedulikannya sama sekali. Hanya dalam hitungan detik, kedua tangannya
berlumuran dengan darah.
“Hen-hentikan!
Tolong berhenti!” Priestess memeluk punggung Noble Fencer.
Batu
dingin yang menyentuh bokongnya terasa cukup meyakitkan, namun Priestess
mengesampingkan sensasi itu dan berkata, “Er, ah apa aku perlu memakai
Silence…?”
“Ah,
gadis, nggak ada suara sama sekali sama mencurigakannya dengan kebanyakan
suara,” Dwarf Shaman berkata. “Kalau begitu, ahem…”
Dwarf
Shaman mulai merogoh isi tasnya, bergumam seraya dia mencari.
“Sepertinya
nggak ada pilihan,” Goblin Slayer bergumam, menggenggam pedangnya lebih erat.
Pada saat dia mengurus goblin yang datang mengarah mereka, keadaan sudah di
pastikan akan menjadi lebih buruk. Apakah dia perlu menghadapi goblin sekarang?
Tidak… kemungkinan mereka menang masihlah tipis.
Seraya
dia memikirkan semua ini dengan cepat, Lizard Priest, yang dari tadi tidak
berkata apa-apa, berbicara. “Nona ranger, menjeritlah!”
“Hah?
Er, siapa, a-aku?”
High
Elf Archer, yang sedang berusaha menghentikan Noble Fencer, terhenyak karena
namanya di sebut tiba-tiba, telinganya memantul terkejut.
Lizard
Priest memukul ekornya di lantai dengan sedikit merasa kesal. Terdengar nada
marah pada suaranya seraya dia berkata. “Lakukan seperti apa yang saya bilang
dan menjeritlah! Kita tidak mempunyai waktu lagi!”
“Y-yeah,
baik, oke. Teriak… teriak…”
Dia
menarik napas dalam, membuka mulutnya, dan…
“Ti-tidaaaaaaaak!
Hentikan! Hentikaaaaaaaaaaannnn!”
Suaranya
begitu bening.
Suara
elf itu terbawa udara. Teriakannya bergema di keseluruhan ruang bawah tanah,
naik ke tangga, dan mencapai permukaan.
“GORARA.”
Sang
goblin yang berada pada puncak tangga tampaknya memahami apa yang sedang
terjadi. Dia berhenti, membayangkan wanita itu sedang di siksa. Dia membuat
gerakan yang vulgar dan melirik pada Goblin Slayer yang berdiri di tangga.
“GORARURU?”
Goblin
Slayer mengangguk, dan goblin itu hanya memberikan tawaan hina dan melambaikan
tangannya pergi manjauh.
“Kamu
akan mampir nanti, kan?”
Goblin
Slayer melototi makhluk itu seraya goblin itu pergi dengan senyum menjijikkan
yang masih menempel di wajahnya.
Mereka
telah berhasil mengulur sedikit waktu yang telah mereka sia-sia kan. Goblin
Slaye tidak akan menyia-nyiakannya lagi.
Rencana
aslinya adalah untuk membawa “tumbal” kepada master dari benteng ini untuk di
periksa. Jika ada kesempatan untuk membunuh goblin paladin—jika benar ada!—maka
di situlah mereka akan melakukannya.
Namun
sekarang rencana itu telah kacau balau.
“Yah,
kurang lebih seperti perkiraanku.” Goblin Slayer bergumam datar seraya dia
menutup pintu, memasang kuncinya, dan kembali menuruni tangga.
Tubuh
sang penjaga mengapung kembali di atas genangan kotoran; tanpa ragu dia
menendangnya masuk ke dalam lagi.
Goblin
Slayer melihat tempat di mana Noble Fencer masih menghajar mayat goblin priest.
“Bawagoblin itu ke sini juga. Walaupun nggak seberapa, tapi kita sembunyikan
dia juga,” gumpalan daging berat itu telah berubah menjadi lenyek. (TL Note :
Lenyek = hancur sampai lembek.)
“Ayolah…sudah
cukup!” High Elf Archer berkata, menarik Noble Fencer dari mayat. Dia
menggenggam pundak gadis itu dan menariknya menggunakan berat tubuhnya. High
Elf Archer mungkin terlihat kurus, namun
seperti itulah perbedaan kekuatan di antara tingkat Silver dan Porcelain
yang membuatnya mampu melepaskan warrior itu.
“Maaf
ya, tapi apa sih yang kamu lakukan?”
High Elf Archer bertanya. “Aku kira kita sudah menjelaskan bagaimana jalannya
rencana kita!”
Noble
Fencer, sekarang terduduk di lantai yang kotor, menatap sang archer dengan mata
yang gela. “….Aku harus bunuh para goblin.”
“Awww,
astaga…!”
Akan
percuma untuk mencoba menyakinkan Noble Fencer untuk tidak melakukannya. High
Elf Archer memanyunkan bibirnya, membuat rasa tidak senangnya tampak jelas.
Telinganya berdiri kesal di antara rambutnya yang berantakan. Hal-hal tidak
terduga seperti inilah yang sangat dia sukai tentang manusia. High Elf Archer
mengakui bahwa dia cukup menyukai ketika dia mengeluh tentang semua keputusan
aneh Orcbolg. Paling tidak terkadang. Sedikit saja…!
Petualang
yang duduk di depannya—kedua tangannya berlumur dengan darah namun ekspresi
tentram pada wajanya—sangatlah berbeda. Bagaimana bedanya dia, High Elf Archer
kurang memahaminya juga.
“Itulah
kenapa aku nggak setuju dengan ini…!”
“Kurasa
aku sudah senang kita bisa lepas dari ini tanpa harus memakai mantra…” Dwarf
Shaman berkata, menghela dan mengocok botol anggur pada pinggulnya. Mendengar
guncangan dari dalamnya, dia membuka tutupnya dan meneguk panjang. Kemudian dia
mengelap tetesan anggur dari jenggotnya dan bersendawa sekali. Roh anggur
terasa nyaman dari bahaya yang baru saja mereka hindari.
“Ini
bukanlah apa yang kita rencakan, tapi kita harus melanjutkannya dengan apa yang
ada.”
“Ya,
saya itu benar. Akan lebih baik untuk membawa dia bersama kita di banding
meninggalkannya sendiri untuk membuat keributan yang tidak di perlukan.” Lizard
Priest terdengar sangat tenang.
High
Elf Archer mengangkat alisnya. “Dan gimana kalau dia membuat kita terlibat
sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih buruk?” dia meletakkan tangan pada
pinggulnya dan melotot pada Noble Fencer. Kemarahannya pada wanita muda itu,
yang masih berdiri di sana dengan tangan yang berlumur darah seolah dia tidak
mempedulikannya sama sekalu, tampaknya mulai membara lagi.
Priestess,
sensitive dengan apa yang sedang terjadi, berusaha untuk menenangkan keadaan.
“Te-tenang, tolong, tenangkan diri! Ini
bukan waktunya untuk marah…!”
“Kamu
yang seharusnya paling marah di antara kita!”
“Apa?!”
High
Elf Archer tiba-tiba menjulurkan tangannya dan membelai pipi Priestess. Gadis
itu menggeliat tidak sengaja di karenakan rasa sakit yang mnusuk. Senjata
goblin mungkin memang usang, namun senjata tetaplah senjata.
Garis
merah pada pipinya masih meneteskan darah.
“Gadis itu memutuskan untuk melancarkan
serangan kejutan, dan kamu yang kena imbasnya!”
Mata
Priestess berkedip. Dia menekan pipinya dengan tangannya.
“Aku
baik-baik saja.” Dia berkata. Setelah beberapa saat, ekspresi pada wajahnya
menjadi sebuah senyuman, sebuah senyuman yang mengatakan bahwa ini hanyalah
goresan kecil. Walah berani Priestess tampak semakin membuat marah High Elf
Archer.
“Kamu
nggak baik-baik saja, kamu terluka—!”
Paling nggak—ya, paling
nggaK, petualang itu harus minta maaf pada Priestess.
hIgh
Elf Archer menjulurkan tangannya seolah ingin menarik Noble Fencer, yang
berdiri melamun—
“Tenang.”
“Orcbolg…!”
—dan
menadapati sebuah pelindung tangan kotor menghentikannya.
Air
mata kecil muncul pada ujung mata High Elf Archer. Adalah emosinya yang gelisah
lah yang menyebabkannya. High Elf Archer tidak dapat menenangkan dirinya hanya
karena mereka menyuruhnya untuk tenang.
“Tapi—tapi
dia bilang dia mau ikut dengan kita, dan sekarang lihat—!” High Elf Archer
berkata, menujuk pada Noble Fencer. Dia hanya ingin dirinya di mengerti.
Namun
Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “Aku bilang tenangkan dirimu.”
Dia
meraih goblin yang telah terbunuh dan menyeretnya, masuk ke dalam genangan
kotoran. Dengan suara yang menjijikkan, mayat itu masuk ke dalam genangan.
Goblin
Slayer mengalihkan pandangannya dari High Elf Archer, yang pundaknya menegang
di karenakan amarah.
“Hei.”
“Oh,
y-ya!” Priestess berkata, dengan cepat berdiri.
“Obati
dirimu sendiri, kemudian berikan gadis itu P3K. Tangan itu akan membusuk
nantinya.”
Terdapat
momen keheningan, di ikuti dengan sebuah dengusan. Goblin Slayer tampaknya
menyuruhnya untuk melakukannya.
Kemudian:
“Bekas lukanya akan ada juga nanti.”
“…Baik.
Apa aku perlu memakai potion…?”
“Mulai
dari herba.”
Priestess
mengangguk dengan “Baik, pak,” kemudian berlari kecil menuju Noble Fencer.
Antiseptic dan herba penghilang rasa sakit tidak akan memberikan efek drastic
layaknya sebuah potion, namun kedua benda itu masihlah berfungsi. Goblin Slayer
memastikan Priestess telah mengoleskan salep pada lukanya dengan benar,
kemudian dia mengangguk.
“Maaf
merepotkan, tapi tolong periksa apakah ada yang masih selamat di antara para
tahanan.”
“Langsung.”
Dwarf Shaman meneguk anggur seraya dia menjawab. Dia selalu cepat untuk
menanggapi sebuah perintah. “Ikut denganku, Scaly. Aku akan butuh bantuan kalau
aku harus menyeret seseorang keluar dari selnya.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha!
Ya, tampaknya memang benar bahwa konon pembaca mantra memiliki kemampuan fisik
yang lemah, bukan!” Lizard Priest berkata. Hanya sebagai gurauan kecil: untuk
melawan atmosfir menekan penjara yang ada di sekitar mereka.
Menyentuh
ujung hidung dengan lidah panjangnya, Lizard Priest berkata kepada Goblin
Slayer, “Saya rasa anda tidak akan keberatan jika kamu merawat siapapun yang
kami temukan terluka?”
“Simpan
keajaibanmu,” Goblin Slayer berkata. “Nggak peduli apapun yang kamu lakukan,
nggak akan ada satupun tahanan yang mempunyai kondisi cukup baik untuk
bergabung dalam pertarungan.”
“Benar,
saya paham maksud anda,” sang lizrd berkata, membuat gerakan aneh pada
tangannya.
Seraya
dia pergi, dia berbisik, “Saya memahami perasaan anda, namun mungkin sudah
saatnya bagi anda untuk mengesampingkan emosi itu.”
Telinga
elf berdiri mendengar gumamnya.
“Aku
rasa kita memang nggak punya pilihan dan harus mengesampingkan ini.” Dia
berkata setelah beberapa saat, wajahnya masih cemberut. Goblin Slayer berdiri
di depannya tanpa berkata-kata, tangan terlipat.
Goblin
Slayer merasakan sesuatu yang janggal—sebagian di karenakan “goblin priest,”
makhluk menjijikkan dan kontradiktif, jika makhluk itu memang nyata—namun para
tahanan lebih mengkhwatirkan. Seharusnya, tidak ada gadis yang di culik dari
desa. Yang artinya bahwa mereka telah di bawa kemari dari suatu desa lainnya
yang telah di serang oleh goblin.
“…”
Apakan
para goblin telah memaksa tahanannya
untuk berjalan melewati salju? Apakah itu mungkin?
Seberapa
besar daerah di mana para goblin beroperasi? Dan apakah “goblin paladin” ini
memimpin mereka?
“Aku
nggak suka ini.” Goblin Slayer berkata.
Dia
hanya berbicara pada dirinya sendiri, namun High Elf Archer menjawab dengan
merajuk, “Sama.” Maka, tidak berusaha untuk menyembunyikan perasaan tidak
senangnya, dia menatap pada helm pria itu dan berakta, “Kenapa kamu bawa gadis
itu sama kita?”
Seperti
biasa, helm itu membuat ekspresinya tidak dapat di baca, namun dia menjawab
datar, “Karena kita butuh dia.”
“Oh,
kita butuh dia kah?” sang ranger berkata, mengeluarkan sedikit tawaan mengejek.
“Yah, kalau begitu mungkin kamu bisa kasih dia sedikit pelajaran.”
“Apapun
itu, kalau kita nggak keluar dari sini, kita nggak akan bisa kembali pulang. Dan,” dia menambahkan, dengan tenang
seperti biasanya, “selalu ada goblin untuk di basmi. Kita sudah menerima
tantangan ini. Kita bisa saja berhasil, atau gagal.”
“Ini…
Ini bukan waktunya untuk berbicara seperti itu…!”
“…Aku
tahu.”
Tapi.
“Aku
tahu…percaya aku, aku tahu.”
Suaranya
terdengar begitu lelah. High Elf Archer tiba-tiba tidak dapat berkata apa-apa.
“…….”
Orcbolg? Dia
bergumam pelan.
Mungkin
ucapannya tidak terdengar oleh pria itu. Pria itu menghela napas. “Aku akan
berjaga. Kalau kalian sudah selesai memeriksa tahanan dan menolong siapapun
yang terluka, siapkan perlengkapan kalian.”
“…Di
sini?”
“Ya.”
“………”
“Aku
rasa kamu nggak akan bisa bertarung baik dengan pakaian seperti itu.” Dia
berkata kepada elf.
Terutama,
di penjara bawah tanah yang di kelilingi dengan kotoran dan mayat busuk.
High
Elf Archer bergumam menyetuji. Dia menekan alis dengan jarinya seraya untuk
menahan rasa sakit kepalanya. “Aku mau pastikan lagi tentang ini: di sini?”
“Ya.”
“Dan
kamu mau kami untuk ganti pakaian kami?”
“Ya.”
Argh, ya ampun. Orcbolg sama
sekali nggak berubah sedikit pun ya?!
“Maaf
ya,” sang archer berkata dengan helaan, “tapi kami para elf mempunyai sesuatu
yang di sebut sopan santun…”
“Kalau
kamu nggak suka, gunakan ini sebagai penutup.”
“Ergah?!
….Gah! Kamu!”
Goblin
Slayer mengambil sebuah selimut dari kerangkeng dan melempar kepada sang elf;
selimut itu mendarat di kepalanya.
Ekspresi
marah High Elf Archer hanya tampak sesaat belaka; dengan cepat dia ingin
membalasnya, namun sudah terlambat. Goblin Slayer sudah membalikkan punggungnya
menjauh.
High
Elf Archer berusaha mengikat selimut itu di sekitar lehernya, kemudian
mengganti pakaian dari balik selimut itu. Dia merasa keadaannya sungguh
menyedihkan.
Dengan
lincah dia membuang pakaian kotor yang sebelumnya dia gunakan sebagai samara,
menggantinya dengan pakaian berburu biasanya. Dia mengenakan armornya untuk
tetap menjaganya aman dalam pertarungan; menggantung busur di punggungnya; dan
untuk pakaian dalamnya…yah lupakan saja. Lagipula dia tidak dapat memahami
mengapa ada orang yang mempedulikan pakaian dalam.
Astaga… aku ini marah karena
apa sih?
Ini
tidaklah seperti dirinya. Sama sekali tidak seperti dirinya. High Elf Archer
mulai merasakan amarahnya mulai padam.
Huh?
High
Elf Archer terdiam, terbengong seraya dia memeriksa armornya. Orcbolg bersikap
ketus kepadanya, akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa marah tentang itu.
Sebagian alasannya mungkin di karenakan di sudah terbiasa dengan ini, namun…
Kalau itu saja, aku nggak
akan peduli kalau dia menghiraukanku perihal gadis itu juga.
“Hrmm…”
Telinga High Elf Archer berkedut berpikir seraya dia memikirkan teka-teki ini.
Jadi…ada sesuatu yang beda
tentang gadis itu dan Orcbolg.
Apakah
itu? Apakah yang berbeda?
Dia
memikirkan ini lagi dan lagi di kepalanya hingga membuat kepalanya pusing.
High
Elf Archer masih tidak menemukan jawabannya—yang hanya dia dapatkah hanyalah,
mereka berdua memiliki sesuatu yang sama.
“Goblin.”
Goblin,
goblin, goblin,goblin,goblin,goblin!
High
Elf Archer mendapati dirinya sendiri merinding: kata itu mengiang di kepalanya
layaknya sebuah kutukan.
“Ahhh,
ihhh! Ini nggak asik…!” Dia menepuk pipinya dengan kedua tangan, menggosok
ujung matanya. Tampaknya dia tidak dapat menenangkan dirinya.
Dia
tidak dapat mengusir perasaan ini menjauh.
Dia
tidak dapat menemukan jawaban.
Keadaan
benar-benar sangat buruk.
Ya,
namun.
“…….Memang
benar-benar cuma ada satu yang bisa di lakukan ya?” Sang archer mendengus,
telinga berkedut, kemudian memunculkan kepalanya dari balik selimut.
Goblin
Slayer sedang berdiri di atas tangga, memperhatikan seksama pintu yang berada
di sana, dengan perlengkapan yang telah siap.
High
Elf Archer berbicara dengan pelan pada punggungnya. “Maafkan aku, Orcbolg.” Dia
membuka mulutnya namun merasa tidak dapat mengutarakan apa yang ingin dia
katakana. Dia berusaha mencari kalimatnya, kemudian mencoba kembali. “Aku…sudah
sedikit berlebihan.”
“Itu
pasti terjadi,” Goblin Slayer berkata, tidak memutar tubuhnya. “Padamu, pada
gadis itu, padaku.”
Ucapannya
begitu tenang seperti biasanya, bahkan terdengar sedikit dingin. High Elf
Archer merasakan pipinya hampir melemas menjadi senyuman.
“Bahkan
kamu, Orcbolg?”
“Ya.”
“Aku
rasa aku nggak pernah melihatnya.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Begitu,”
dia bergumam tanpa rasa tertarik, kemudian memutar kepalanya.
Dalam
sekejap. High Elf Archer mengingat sesuatu yang pernah di katakan oleh
Priestess kepadanya. Akan bagaimana ketika pria itu sedang berpikir, ketika
pria itu akan mengatakan sesuatu—dia akan terdiam lebih dulu.
“Aku
akan beritahu yang lain,” pria itu berkata pelan. “Kalau kamu nggak keberatan.”
High
Elf Archer mengeluarkan tangan dari balik selimut dan memberikan lambaian
seolah ingin mengatakan, Nggak usah.
“Nggak
perlu. Aku yang akan kasih tahu mereka secara langsung.” Sang elf terdiam,
kemudian berkata, “Terima kasih.”
Dia
menarik selimutnya dengan kibasan, merasa senang bahwa gerakan itu telah
menyembunyikan wajahnya pada saat itu—menyembunyikan senyuman hangat yang
tercetak pada wajahnya.
“Ternya…kamu
perhatian juga, Orcbolg.”
“…Benarkah?”
Goblin Slayer bergumam. Kemudian dia berkata, “Cepat selesaikan. Aku mau gadis
lainnya untuk ganti pakaian juga.”
“Yeah,
yeah.”
Sang
elf tidak dapat melihat wajah pria itu—akan tetapi, High Elf Archer merasa dia
mengetahui seperti apa ekspresi pria itu.
Dan
itu sudah cukup bagi dirinya.
*****
“Nggak
ada siapa-siapa di sana.”
“Baiklah.”
Ketika
High Elf Archer telah memasukkan kepalanya kembali ke dalam pintu dan
memberikan laporannya, party mereka dengan cepat bergerak keluar dari penjara
bawah tanah.
Aroma
memualkan dari goblin bukanlah hal yang menyenangkan. Kasil batu ini pun tidak
sama menyenangkannya dengan ruangan bawah tanah itu, namun entah mengapa,
Priestess mengambil napas dalam, bersyukur.
“Apa
benar-benar…nggak masalah meninggalkan orang-orang itu di sana?” Priestess
berbisik.
“Mereka
akan jauh lebih aman di sana di bandingkan harus ikut dengan kita, saya rasa.”
Lizard Priest berkata.
Untungnya—atau
mungkin lebih tepatnya, sayangnya—mereka menemukan beberapa gadis yang di
tahan, penuh luka namun masih hidup. Mereka telah membebaskan wanita muda itu,
namun seperti ucapan Lizard Priest, adalah mustahil untuk membawa mereka.
Dan
waktu merupakan hal yang sama pentingnya seperti keajaiban bagi party ini,
hingga mereka tidak dapat menyembuhkan wanita muda itu…
“Kita
harus kembali lagi ke sana dan menolong mereka secepat mungkin,” Priestess
berkata, melihat ke belakang dengan penyesalan.
“Saat
ini aku lebih khawatir apa kita bisa menolong diri kita sendiri,” Dwarf Shaman
bergumam, berjalan mengikuti pada dinding batu.
Dwarf
Shaman adalah yang memimpin party mereka berjalan. Benteng batu ini tidak
memiliki celah ataupun keretakkan, sungguh benar-benar hasil pekerjaan dari
kaum dwarf. Ketika berhadapan dengan serangan bandit, hasil pekerjaan tangan
kaum dwarf inilah yang akan berbicara.
Party
mereka berjalan dengan formasi saat ini, dengan High Elf Archer yang memeriksa
keberadaan musuh dan Dwarf Shaman yang membuat bagan seraya mereka berjalan.
(TL Note : Bagan = bisa di bilang peta atau skema rancangan.)
“Ngomong-ngomong
Beardcutter, rencananya kita akan kemana? Apa kita akan langsung pergi ke
ruangan utamanya?”
“Nggak,”
Goblin Slayer berkata, menggelengkan kepalanya. “Masih terlalu dini untuk
menyerang pemimpin musuh.”
“….”
Noble
Fencer merinding mendengar deklarasi datar itu. Untuk menghindari kejadian yang
tidak di inginkan lagi dari gadis itu, saat ini gadis itu berada pada baris
kedua dari terakhir; Priestess berdiri bersamanya.
Semenjak
menerima permohonan maaf tulus singkat dari High Elf Archer, Noble Fencer
hampir tidak berkata apapun.
“Nggak
pernah lihat pedang yang seperti itu,” Dwarf Shaman berkata kepada Noble
Fencer. “Pedangnya kelihatan bagus—tapi metal apa itu?”
Kemudian,
dan hanya karena itu, Noble Fencer bergumam menjawab, “………Aluminium…… pedang
ini di tempa dari permata merah dengan palu petir.”
“Aluminium
ya? Aku belum pernah dengar. Bisa aku lihat?”
Alih-alih
jawaban, Noble Fencer memberikan lototan mata menolak. Dwarf Shaman hanya bisa
mengangkat bahunya.
“Hmm,”
Goblin Slayer mendengus. “Ayo kita pergi ke gudang mereka dulu.”
“Gudang
senjata, atau makanan?”
“Dua-duanya.
Tapi kita mulai dari senjata dulu.”
“Lewat
sini kalau begitu.”
Party
mereka berjalan melewati benteng layaknya bayangan, tanpa suara. Tidak satupun
dari grup mereka yang membawa barang yang dapat menimbulkan banyak suara. Hanya
Priestess dan Goblin Slayer yang memakai armor metal, dan dalam kasus Priestess
armor itu hanyalah sebuah baju rantai tipis. Sedangkan Goblin Slayer
menggunakan baju besi bersama dengan armor kulitnya.
Satu-satunya
suara yang ada di koridor ini hanyalah suara gesekan langkah kaki mereka, dan
napas mereka masing-masing.
Para
petualang berjalan dengan formasi berbaris. Mereka waspada akan jebakan,
memperhatikan daerah sekitar mereka dan juga rekan mereka, namun mereka tidak
gugup, dan mereka tidak pernah lengah.
Itu
karena, dari enam petualang yang berada di sana, empat dari mereka adalah
Silver, peringkat ketiga. Bernavigasi di dalam labirin sama normalnya seperti
mereka bernapas.
“….Ada
sesuatu yang mendekat,” High Elf Archer berkata, berhenti di tempat di berdiri
dengan telinganya yang naik dan turun. Dia berjongkok dan menarik busur
besarnya, mepersiapkan panahnya dan menariknya. Dia membidik pada sebuah sudut
tepat di depannya.
Tanpa
kata, Goblin Slayer meraih pedang pada pinggulnya, bergerak ke depan Dwarf
Shaman. Dari posisi barunya dalam barisan, sang pembaca mantra meraih tas
katalisnya, sementara Priestess menggenggam erat tongkatnya. Lizard Priest
mengayunkan ekornya dan melihat ke belakang dari balik pundaknya; Noble Fencer
mengeratkan giginya.
Pada
akhirnya mereka mendengar dua langkah kaki yang mendekati sudut itu.
“…”
Hanya
terdengar suara sama dari bisikan tali busur ketika di tarik. Panah High Elf
Archer terbang melintasi udara, menembus satu goblin tepat di matanya dan
menancapkannya di dinding.
“GROAAB?!”
Melihat rekannya yang tertancap di dinding, goblin kedua berteriak kebingungan.
Sebelum
dia dapat memproses apa yang telah terjadi, sebuah pedang terbenam pada
tenggorokannya. Goblin Slayer telah melemparnya tanpa sedikitpun rasa ragu.
“Kita
harus sembunyikan mayatnya,” dia berkata.
“Kalau
kita sampai harus melakukan itu, kenapa kita nggak sembuyi aja dari awal?” High
Elf Archer berkata.
“Ini
lebih baik daripada mereka menemukan kita dan suara pertarungan membuat mereka
menyadari keberadaan kita.”
Goblin
Slayer mendekati mayat dengan langkah sigapnya; dia menekan sepatu boot pada
mayat itu dan menarik pedang dan panah, melempar panahnya kepada High Elf
Archer.
“Ugh,”
Sang archer berkata seraya dia menangkapnya, seolah panah itu telah membuanya
tidak nyaman; dia membersihkan darah yang menempel dengan cepat. Darah dari
binatang liar mungkin merupakan hal biasa, namun darah goblin merupakan hal
yang tidak dapat di tolerir.
“Berapa
banyak mantra dan keajaiban yang kalian punya?” Goblin Slayer bertanya, melirik
pada rekannya.
“Um…”
Priestess menempelkan jari pada bibirnya berpikir. “Aku belum menggunakannya
sama sekali, jadi aku masih punya tiga.” Dia menghitung dengan jarinya: Kindle
yang mereka gunakan di jalan, dan Communicate yang mereka perlukan untuk dapat
memasuki benteng. “Yang lainnya masing-masing sudah memakai satu, jadi mereka
berdua masih punya tiga, jadi…. Semuanya Sembilan?”
“Hey,
ayolah,” Dwarf Shaman berkata dengan riang. “Kamu belum menghitung teman baru
kita di sini.” Dia menunjuk kepada Noble Fencer.
Noble
Fencer tengah berdiri di kejauhan, menghiraukan percakapan mereka seraya dia
melototi mayat goblin dengan seksama, namun sekarang dia bergumam, “…Dua lagi.”
Itu saja? Priestess
berpikir—bukan mantranya, melainkan ucapan yang akan dia gunakan.
Priestess
mengernyit namun berkata, “Terima kasih banyak,” dengan se-antusiasme yang
dapat dia lakukan. Akan tetapi, Noble Fencer, hanya mengalihkan pandangannya,
tidak sedikitpun melirik mengarah party mereka.
“Hmmmm…”
Gumam kecil terlepas dari bibir Priestess. Gerakan itu mengingatkannya pada
seorang murid gadis yang ada di Kuil—dan terutama, dia menginggatkannya pada
gadis yang paling bermasalah di Kuilnya.
“Jadi,
semua ada sebelas, kan?”
“Hmm.
Tampaknya kita persediaan kita masih jauh dari habis,” Lizard Priest berkata.
“Saya rasa anda tidak akan keberatan jika kami membuat sebuah jimat di sini
atau di sana?”
“Jangan,”
Goblin Slayer berkata. “Anggap saja kita punya sembilan mantra.”
“Mengapa?”
Lizard Priest berkata, berkedip. “Dari manakah anda mendapatkan nomer itu?”
“Kita
harus menyimpan dua mantra petir kita.”
Noble
Fencer merinding mendengar ini. Matanya, sebening sebuah kaca, menatap pada
Goblin Slayer. Suaranya begitu pelan dan sangat samar.
“…………..Apa
aku….bisa bunuh goblin?”
“Kalau
semuanya lancar.”
Ucapannya
begitu singkat. Noble Fencer terus menatap pada helm tidak berekspresi itu,
hingga akhirnya, dia menganggu kecil.
“Kita
nggak bisa bunuh goblin lainnya sampai
kita selesai menyingkirkan goblin yang kita incar kan?” High Elf Archer, tampak
menghiraukan diskusi perihal mantra dan keajaiban, menepuk salah satu monster
yang mati dengan panah yang masih di genggamnya. Walaupun dengan hawa yang
dingin, monster itu hanya memakai bulu pada pinggul dan kaki mereka. Tombak
usang adalah senjata mereka. Mereka tampak seperti tidak mempunyai apapun di
dunia ini.
“Apa
kamu punya ide untuk melakukannya?” Goblin Slayer bertanya, merogoh isi tas
peralatannya seraya dia berbicara.
“Ide?
Hmmm…. Yah… Oh!” Telinganya melompat girang. Dia melirik pada Dwarf Shaman
dengan kilau cahaya di matanya layaknya seorang anak kecil yang nakal. “Dwarf,
kemarikan anggurmu. Satu botol penuh.”
“Oh-ho.”
Dwarf Shaman tersenyum, seolah itu adalah sebuah lelucon. “Tumben Telinga
Panjang? Mencoba cari inspirasi dengan minum?”
“Kasih
saja sini.”
“Yeah,
baiklah. Masih tersisa sedikit. Jangan di minum semua.”
“Nggak
usah khawatir. Aku nggak akan meminumnya.” Dia menarik tutup botolnya dan
mengendus aromanya, mengernyit mencium aroma tajam dari para roh. “Aku janji
aku nggak akan minum setetespun.” Dan kemudian dia membalikkan botol itu dari
atas ke bawah dan menumpahkan isinya pada lantai.
“Oh
tidak!” Dwarf Shaman mengerang seolah dunia telah berakhir. Kenyataan bahwa dia
tidak berteriak adalah sebuah bukti instingnya sebagai seorang petualang.
Akan
tetapi, Dwarf Shaman tampak akan segera melompat dari lantai hingga setinggi
dada kecil High Elf Archer untuk mengambil kembali botolnya.
“Lihat
apa yang kamu lakukan, dasar dada papan bodoh—“
“Aku
minta baik-baik kan? Ayolah, ini di perlukan—kita harus melakukan apa yang
harus di lakukan.”
“Bagaimana
bisa ini di perlukan?! Bagaimana mungkin ini yang harus kita lakukan?!
Ang—anggurku!”
“Nggak,
dia membantu kita.” Goblin Slayer sudah bergerak. Dia sudah menebak apa yang di
pikirkan oleh High Elf Archer; sekarang Goblin Slayer mengelap bersih darah
yang menetes dengan sebuah kain dan mendudukkan kedua mayat itu dengan
bersandar pada dinding. Dia menundukkan kepala mereka agar luka mereka tidak
tampak jelas, dan menendang salah satu tombak yang di jatuhkan goblin agar
mendekat pada sisi mereka.
“Hrrrrrrgh….!”
Dwarf Shaman mengeluh.
“Heh!
Lihat? Aku membantu. Oh, jangan khawatir. Aku belikan kamu botol baru nanti.”
Terlihat bangga akan dirinya sendiri, High Elf Archer meletakkan botol anggur
di samping kedua goblin tersebut.
“Oh…!”
Priestess berkata. Matanya mulai bercahaya, dan dia mengangguk memahami. “Nggak
ada satupun goblin hidup yang bekerja dengan serius ya?”
“Begitulah
idenya.” Sang ranger membalas. Dia berkedip dan membuat tawa kecil pada
tenggorokannya.
Sekarang
kedua mayat itu tampak tidak lebih dari sekedar dua goblin yang mabuk. Aroma
tajam dari para roh akan membantu menyamarkan aroma darah.
Beberapa
goblin yang minum dalam kewajiban tugas jaganya dan kemudian tertidur—tentunya bukanlah
hal yang luar biasa.
“Kalau
kita nggak bisa merahasiakan mereka, kita bisa menyembunyikan mereka di tempat
terbuka,” High Elf Archer berkata.
“Tapi
kenapa kita harus menggunakan angguku
untuk melakukannya?” Keluh Dwarf Shaman, menggigit kukunya dengan penyesalan
seraya dia melihat tetesan cairan yang mengalir lantai batu.
Lizard
Priest memberikan tepukan bersahabat pada punggungnya. “Jangan biarkan ini
membuat anda gundah, saya juga akan mentraktir anda. Kita perlu bersulang untuk
kecerdikan rekan ranger kita.”
Dwarf
Shaman melihat pada sang lizrd dengan dengusan tidak senang, namun Lizard
Priest memutar mata di kepalanya.
“Bukankah
anda berpikir demikian pula, tuanku Goblin Slayer?”
“Ya.”
Dia mengangguk. “Minumannya biar aku yang bayar.”
Setelah
penawaran ini, tidak ada lagi celah untuk mengeluh. Dwarf Shaman mendengus dan
bergumam kembali dan akhirnya mengela napas panjang.
“Hrm.
Erm. Yah… kalau Scaly dan Beardcutter merasa seperti itu…”
“Benar,”
Lizard Priest berkata. “Namun sekarang, kita harus bergegas. Di manakah gudang
senjatanya?”
“Ya,
baik. Sebelah sini.” Dwarf Shaman memimpin party dengan lambaian tangannya.
High
Elf Archer berada di sampingnya dengan cepat, tertawa kecil bangga.
“Dasar
telinga panjang berdada papan…! Kalau kita kembali ke bar, kamu akan traktir
aku sampai kepalamu pusing!”
“Yeah,
terserah. Kamu minum sepuasnya nanti, jadi jangan marah.”
Syukurlah.
Di
ruang bawah tanah sebelumnya, telah terjadi agurmen yang sesungguhnya. Adalah
hal yang tidak baik untuk melihat rekanmu berkelahi. Karena itu sekarang…
Aku benar-benar senang.
Dengan
pikiran itu, Priestess berlutut tepat di mana dia berdiri. Dia memegang
tongkatnya dengan kedua tangan. Lizard Priest melihatnya dan mengangguk. Kami akan duluan, dia tampak berkata.
Kemudian
Priestess menutup matanya, seperti yang selalu dia lakukan.
“…….Apa
yang kamu lakukan?”
Suara
pelan, datang secara tak terduga dari sampingnya.
“Oh,
uh, a—yah…” Priestess merasa jantungnya berdebar lebih kencang, namun dia
mengangguk tanpa berdiri. “Aku mendoakan jiwa mereka untuk berisitirahat…
Walaupun aku melakukan dengan cepat, karena kita nggak punya banyak waktu.”
Tiba-tiba,
Priestess merasakan tangan dia, melilit di sekitar tongkatnya, di genggam oleh
Noble Fencer. Priestess terlihat bingung, namun Noble Fencer menggeleng
kepalanya.
“…..Itu
tidak perlu.”
“Huh?
Tapi….”
Sebelum
dia dapat mengatakan bahwa kematian adalah adil bagi semua, Noble Fencer
memberikan sebuah tendangan pada salah satu mayat itu. Goblin yang tengah bersandar pada
dinding, terjatuh ke lantai.
“…………Itu
tidak perlu. Tidak untuk….makhluk …….bajingan seperti mereka….!”
Noble
Fencer tampak akan memaksakan dirinya berbicara lagi ketika dia mendengar:
“Ayo.”
Pelan
dan tajam dan datar—seperti biasanya.
Mereka
mendongak dan melihat party mereka telah berjalan lebih dulu; hanya Goblin
Slayer yang tinggal bersama mereka. Pedang dan perisainya di siapkan, dan
helmnya berputar pelan, memeriksa sekitarannya.
Apa dia…menunggu kita?
Tentu
saja, Priestess tidak mempertanyakan itu secara terang-terangan. Dia tidak
perlu melakukannya.
Goblin
Slayer selalu menunggu mereka. Dia telah memahami itu dengan baik dalam tahun
terakhir.
“Oke….
Kami akan ke sana.” Cepat namun hati-hati, Priestess menutup matanya dan berdoa
agar goblin yang telah mati dapat tenang di kehidupan selanjutnya. Dia berdiri,
membersihkan debu dari lututnya, kemudian tersenyum pada Noble Fencer.
“Ayo
pergi?”
“………..”
Noble
Fencer tidak berkata apapun dan hanya mengalihkan pandangannya, dan kemudian
dia pergi menuju party mereka dengan langkah yang kaku.
Yah,
sekarang. Ekspresi Priestess telah berubah menjadi senyum kebingungan,
Priestess menggaruk pipinya dan menggeleng kepalanya. “Apa dia…nggak suka sama
aku?”
“Aku
nggak tahu.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya, namun kemudian memiringkan kepalanya
penasaran. “Apa kamu mau berteman dengannya?”
“Hmm…”
Karena sekarang pertanyaan itu telah muncul, Priestess menempelkan jari pada
bibirnya dan melihat ke tanah dan berpikir.
Aku cuma…nggak bisa
membiarkan orang seperti itu sendirian.
Pikiran
itu cukup, walaupun tidak seluruhnya, mirip dengan apa yang dia rasakan pada
petualang yang ada di depannya sekarang.
Priestess
tersenyum, Ekspresinya layaknya bunga yang mekar.
“Kamu
tahu, kurasa aku mau.”
“Benarkah?”
Dia mengangguk. “Kalau begitu kamu harus berteman dengannya.”
Hanyalah
itu yang di katakana Goblin Slayer sebelum dia berputar dan berjalan. Ucapan
“Baik!” dari Priestess mengikuti setelahnya.
Di
depan mereka, di dalam terowongan yang gelap, rekan mereka tengah menunggu
mereka.
Gudang
senjata sudah tidak begitu jauh lagi sekarang.
*****
Bahkan
goblin cukup pintar untuk mengunci sebuah pintu. Termasuk sebuah pintu metal
besar yang mereka temukan di salah satu sudut labirin batu. Bahkan terdapat
sebuah anak tangga kecil yang di tempatkan di dekatnya, di karenakan gagang itu tidak akan sampai di
raih para goblin yang kecil.
“Oke,
saatnya gantian,” Dwarf Shaman berkata.
High
Elf Archer maju ke depan berusaha berhadapan dengan pintu. “Oke, serahkan aja
padaku…itu yang mau aku bilang sih, tapi aku nggak begitu percaya diri…”
Pertama,
dia menggosok permukaan pintu dengan panah bermata kuncup yang dia tarik dari
tempat panahnya. Memastikan tidak terdapat apapun di sana, dia mengepakkan
telinganya, mencoba mendengar suara apapun yang berada di dalam ruangan.
Dia
tidak mendengar apapun yang bergerak. Jika di nilai dari betapa lembab dan
berpolusinya tempat bersembunyi goblin ini, sangatlah mengejutkan bahwa tidak
terdengar sedikitpun suara tikus yang berkeliaran. Tentu saja, Goblin pasti
menganggap tikus sebagai camilan yang enak—sebuah subyek yang tidak ingin di
pikirkan High Elf Archer, walaupun dia harus mengakui bahwa dia sedikit
bersyukur akan hal itu.
“Aku
lumayan yakin nggak ada siapapun di dalam…kayaknya,” dia berkata.
“Buka,”
Goblin Slayer menginstruksikan. “Hancurkan pintunya kalau perlu.”
“Jika
keadaan mengharuskan kita menghancurkannya,” Lizard Priest berkata. Membuat
gerakan aneh pada tangannya, kemudian mengeluarkan sebuah taring naga yang
berfungsi sebagai katalis. “Kita tidak ingin ada goblin yang menyelinap di
belakang kita, oleh karena itu kami akan berjaga.”
“Baiklah,”
Dwarf Shaman menjawab, dan ketiga pria mengelilingi para wanita.
High
Elf Archer menarik sebuah cabang setipis jarum dari suatu tempat pada
pakaiannya dan mulai mencari lubang kunci. Gerakannya kecil dan tidak cekatan.
Dia adalah seorang ranger, bukanlah seorang scout ataupun thief. Seorang
petualang di kota telah mengajarinya cara melepaskan perangkap sederhana dan
cara menjebol sebuah kunci—bersama dengan sedikit cara berjudi. Memang benar,
semua ini telah berguna dalam memuaskan rasa penasarannya…
“Hati-hati
oke?” High Elf Archer melirik ke samping seraya dia bekerja, menjentikkan
lidahnya. “Kalau kamu berdiri di sampingku seperti itu, kamu bisa saja kena
perangkap apapun yang jadi aktif setelah ini.”
“Tapi
aku juga bisa langsung memberikanmu P3K dengan segera,” Priestess berkata
dengan senyum yang riang. Dia duduk di lantai di samping High Elf Archer. Dia
menggenggam erat tongkatnya agar dia dapat berdoa di saat yang di butuhkan.
“Sejujurnya,
aku berharap aku punya Precog atau Keajaiban Luck.” (TL Note: Precog = semacam
ramalan, atau “pengelihatan”, Luck = keberuntungan.)
Kekhawatiran
perihal temannya High Elf Archer hanyalah sebagian dari alasannya. Sebagiannya
lagi adalah di karenakan kekecewaannya atas ketidakberdayaannya dirinya
sendiri.
“Yah,
itu bukan salahmu. Adalah dewa yang menentukan keajaiban mana yang kamu terima,
kan?”
Adalah
baik sekali bagi High Elf Archer untuk berkata seperti ini, namun tidak dapat melakukan
apapun untuk membantu tetap terasa pedih di hati.
Mungkin
elf itu merasakan apa yang sedang di pikirkan oleh Priestess, karena dengan
tetesan keringat gugup, dia berkata, “Kita benar-benar butuh seorang scout
sungguhan ini…”
“Mm,”
Priestess berkata, “Tapi kamu tetap saja berbaik hati mencari perangkap dan
menjebol kunci untuk kita…”
Kami berharap padamu, oke?
Dengan
itu, telinga High Elf Archer mengepak senang.
Sekarang,
dia harus berkonsentrasi. Goblin mungkin tidaklah cukup cerdas untuk membuat sebuah
perangkap yang tersembunyi, namun sebuah benteng dwarf peninggalan dari Jaman
para Dewa mungkin menyimpan lebih banyak trik di banding dengan apa yang di
pasang oleh iblis kecil ini.
Sebuah
lubang kunci yang menyemburkan gas beracun, atau gagang pintu yang menjadi
panas adalah perangkap terbaik yang mereka harapkan. Beberapa pintu dapat
menghapuskan ingatan siapapun yang membukannya bahkan tanpa menggunakan kalimat
mantra sama sekali.
Dan
apakah takdir mengerikan tengah menunggu mereka ataupun tidak, kekejaman goblin
adalah hal yang sudah sangat terkenal…
“…….”
High
Elf Archer melirik dari balik pundaknya. Noble Fencer sedang melamun.
Apa dia baik-baik saja?
Tidak,
tentu saja dia tidak baik-baik saja. High Elf Archer mengetahui bahwa dia tidak
dapat membayangkan hal mengerikan seperti apa yang gadis itu telah lalui.
Adalah sebuah keajaiban bahwa akal sehatnya tidak menghilang.
Ahh, bukan saatnya untuk
itu. Konsentrasi, konsentrasi!
Sang
elf menggigit bibirnya, berfokus pada jarinya seraya dia memeriksa lubang
kunci.
Setelah
beberapa menit, dia merasakan sesuatu yang bergerak, dan kunci terbuka dengan
sebuah klak.
“….Phew.
berhasil.”
“Kerja
bagus” hanyalah ucapan Goblin Slayer. Bahkan seraya elf itu tertawa kecil dan
membusungkan dadanya, Goblin Slayer mengangkatkan kakinya dan memberikan pintu
itu sebuah tendangan.
Tidak
ada reaksi.
“Tampakknya
aman.” Lizard Priest merayap masuk ke depan barisan grup. Menendang pintu
hanyalah untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu di dalam ruangan, adalah taktik
sekuno-kunonya waktu.
“Yah,
pastnya aman. Aku memeriksanya, kan?”
“Kamu bilang sama kami kalau kamu nggak
tahu apa yang kamu sedang lakukan.” Dwarf Shaman menggerutu, mengikuti High Elf
Archer yang berbangga.
Goblin
Slayer, yang terus berjaga di lorong setelah menjebol pintu, mengangguk pada
Priestess.
“Oh,
cahaya,” Priestess berkata. “Baik.”
“Terima
kasih.”
Priestess
mengambil sebuah obor dari dalam tasnya dan menyalakannya seperti apa yang
sering dia lakukan sebelum-sebelumnya.
Sebuah
benteng goblin. Larut malam, sebuah badai salju yang melolong di sekitarnya;
bahkan cahaya bintang-bintang tidak dapat mencapai mereka. Goblin dapat melihat
dengan baik di kegelapan, oleh karena itu kondisi ini tidak mengusik mereka
sama sekali, namun tidak bagi manusia. Paling tidak, mereka akan membutuhkan
api sementara mereka mengeksplorasi gudang…
“Ini,
sudah.”
“……”
Priestess
menghela napas, sebuah api merah berdansa pada obor di tangannya. Api itu
bergoyang seraya hela napas Priestess mengenainya.
Kemudian
Priestess berputar dan berjalan menuju Noble Fencer, yang sedang mencari dengan
seksama.
“Pegang
ini oke?”
“Pegang
pada….apa?”
Noble
Fencer terkejut karena seseorang berbicara padanya; Noble Fencer tampaknya
berpikir bahwa Priestess tidak bermaksud jelek kepadanya. Namun Priestess
memaksa, dengan tenang dan pelan, “Obornya, jagain obornya, oke?”
“……”
Noble
Fencer tidak berkata apapun, hanya menatap pada cahaya yang di tawarkan
kepadanya, namun Priestess mengambil tangan gadis itu dan melilitkannya di
sekitar gagang obor.
Noble
Fencer merinding melihat api yang berada di depannya. Seraya Noble Fencer
melihat sekitarannya dengan ragu, Pada waktu yang sama, Priestess mengira bahwa
dia melihat seorang gadis kecil yang ketakutan.
“……”
Wanita
muda itu membuka mulutnya; sebuah suara kecil terlepas darinya seolah dia
inging mengatakan sesuatu, dan kemudian dia memegang obor itu dengan kedua
tangannya, melihat pada api.
“……..Aku
mengerti.”
Hanyalah
itu yang di ucapkannya, dengan berbisik, dan kemudian dia berkeliaran di
sekitar gudang.
Lorong
menjadi gelap sekali lagi. Akan tetapi Priestess, dan merasakan sebuah senyuman
yang merayap pada wajahnya.
Goblin
Slayer berjalan ke sampingnya dengan langkap sigap biasanya.
“Kenapa
kamu menyuruh dia untuk memegangnya?”
“Hanya…sebuah
firasat.”
Pertanyaan
itu cukup terdengar tajam, namun jawaban Priestess sangatlah lembut. Sekarang
Priestess dapat mengetahui dari suara pria itu bahwa dia tidaklah marah.
“Aku
pikir dia pasti merasa…yah, bosan, dan aku nggak mau dia merasa seperti itu.”
“Benarkah?”
Lagipula aku yakin kamu
pasti punya rencana lain juga…
Adalah
apa yang di pikirkan Priestess namun tidak di utarakannya.
Untuk
secara tiba-tiba masuk ke dalam suatu tempat yang baru, berkeliling dari satu
tempat ke tempat yang lain. Berdiri melamun, tidak yakin harus melakukan apa.
Itu—itu adalah sesuatu yang sangat di pahami oleh Priestess. Itu karena
Priestess adalah seorang yatim piatu yang telah di besarkan di Kuil. Seorang
anak yang tidak di inginkan.
“Apa
kamu nggak menyadarinya?”
“Menyadari
apa?”
“Ketika
aku memberikannya obor, dia kelihatan sedikit malu.”
“Benarkah…?”
Dengan
gumam itu, Goblin Slayer dan Priestess masuk ke dalam gudang.
Aroma
lumut yang menggelitik hidung, dan debu yang mengancam mereka untuk bersin.
Mereka menutup pintu di belakang mereka. Dengan cepat, Dwarf Shaman mendekati
engselnya, dan memukulkan sebuah pin pada engsel.
“Biasanya,
aku akan membiarkannya terbuka,” Dwarf Shaman berkata, mengganti pasak dan palu
di tasnya. “Tapi kita nggak mau ada monster kecil menjijikkan ini menyelinap di
belakang kita sekarang kan?”
“Sungguh
benar sekali, namun sekarang jika musuh muncul di depan kita, jalan keluar kita
akan terblokir.”
Seseorang
mengeluarkan tawaan, namun apakah itu Lizard Priest ataupun Dwarf Shaman, tidak
ada yang mengetahuinya.
“Sudahlah.”
High Elf Archer mengernyit, namun Priestess bergabung dalam tawa canda itu.
Hanya
Goblin Slayer dan Noble Fencer yang terdiam. Wanita muda itu masih menggenggam
obor, mengangkatnya perlahan ke atas kepalanya. Setiap gerakan dari api
menghasilkan bayangan yang berdansa. Dalam cahaya yang tidak menetap, Goblin
Slayer memeriksa perlengkapan yang ada di gudang ini.
“Untuk
gudang senjata…” Seraya dia berbicara, dengan santai dia meraih sebuah drum
terdekat dan menarik seseuatu keluar dari dalamnya. Adalah sebuah beliung
usang, terlihat murahan, berlumur dengan lumpur dan karat, tentunya sudah
sering di pakai. Jika di lihat dengan cepat terdapat sebuah sekop yang juga
terdapat di dalamnya, dan perlatan lainnya yang berfungsi untuk menggali.
“…Nggak ada terlalu banyak senjata dan armor di sini.”
“Apa
menurutmu mereka menggali lubang saja? Mereka kan goblin.” High Elf Archer
tampak tidak tertarik. Dia tidak begitu mempedulikan perihal senjata ataupun
armor. Sebagai gantinya, dia menggunakan telinga, mendengarkan dengan seksama,
mencari suara langkah kaki dari luar.
“Atau
mungkin mereka menggali untuk menambang.” Lizard Priest menjulurkan tangannya,
ekornya mengayun di udara. Dia mengangkat sebuah tombak yang telah di letakkan
secara sembarangan di antara beliung dan berkata, “Jika apa yang di sebut
sebagai goblin paladin ini benar ada, saya berasumsi bahwa dia memiliki niatan
lebih dari sekedar memperbesar sarangnya.”
“Masuk
akan buatku.” Dwarf Shaman berkata, melihat sekitarannya, namun dia tidak
terlihat senang. Tempat ini mungkin memang kotor, namun bangunan batu ini masih
menunjukkan sentuhan ahli dari kaum dwarf; tidak ada sembarang orang dapat
menirunya. “Ini adalah benteng dwarf. Pastinya setidaknya ada bijih besi yang
di simpan di sekitar sini.”
“Tapi,”
Goblin Slayer berkata, “apa goblin tahu cara menempa pedang?”
Apa
alasan mereka menggali? Tidak ada yang mempunyai jawabannya.
Bayang-bayang
goblin paladin, musuh yang belum mereka ketahui, membayangi mereka semua.
Bahkan
Goblin Slayer tidak mengetahui jawabannya. Siapa lagi yang dapat mengetahui
jawabannya jika dia saja tidak mengetahuinya?
“Apapun
itu….” Priestess bergumam, menggenggam tongkatnya seolah ingin menekan atmosfir
yang menekan ini. Ketika dia dapat mengucapkan beberapa kata awal itu dari
mulutnya, keberaniannya mulai bangkit. “Apapun itu, kalau goblin ini
merencanakan sesuatu, kita nggak bisa membiarkan mereka.”
Ucapannya
menghasilkan anggukan persetujuan dari petualang lainnya.
“Kita
juga harus melakukan sesuatu dengan senjata dan perlengkapan ini…”
“Ahh,
serahkan pada saya,” Lizard Priest Berkata. “Saya mempunyai mantra untuk
saat-saat seperti ini.”
Dia
melempar beberapa taring naga dan membuat gerakan aneh pada tangannya.
“Yah apa boleh buat kalau
begitu,” Dwarf Shaman berbisik mendengar itu. “Mm. hei kamu,
gadis.”
“…!
…?”
Noble
Fencer yang dari tadi berfokus membawa obor, terlompat terkejut. Noble Fencer
melihat pada jenggot Dwarf Shaman, yang sedang
di belainya; dia memberikan dengusan kecil dan kemudian mengindikasikan
perlengkapan terdekat dengan dagunya.
“Bantu
aku. Kita akan perlu membawa beberapa senjata itu.” Kemudian, seolah dia sudah
mengetahui apa yang dia cari, Dwarf Shaman menggapai masuk tumpukkan
perlengkapan yang bercampur dan menarik sebuah pedang. “Beardcutter suka main
lempar. Dan dia akan cukup hanya dengan belati itu saja.”
Terdengar
dengusan—dari Goblin Slayer tentunya. “Aku yakin aku menggunakan perlengkapanku
dengan benar.”
“Heh-heh!”
Tidaklah salah jika mengira tawa kecil itu sebagai tanda kekesalan, namun kenyataannya
High Elf Archer memang tertawa.
Bagi
Noble Fencer, dia memerlukan beberapa detik untuk memahami mengapa di minta
untuk membantu. Namun ketika dia memahaminya, dengan cepat dia mengumpulkan
perlengkapan goblin itu. Sebuah pedang, tombak, pentungan… Ini semua adalah
perlengkapan goblin. Namun walaupun begitu, terdapat sebuah batasan akan berapa
banyak yang dapat dia bawa. Dan terlebih lagi…
“Aku
rasa pelindung dada goblin nggak akan cukup untukmu,” Dwarf Shaman berkata.
Dada
ranum Noble Fencer lebih besar dari pelindung dada yang di temukan itu.
Melihat
dari samping, High Elf Archer sedikit menggerutu dan menyarankan dengan kesal,
“Tekan aja kan bisa? Paksa masuk ke dalamnya.”
“Dasar
kau telinga panjang ndeso! Seorang gadis berdada papan kayak kamu mungkin nggak
tahu, tapi armor yang tidak muat itu sama sekali nggak membantu!”
Dwarf
Shaman menghiraukan High Elf Archer yang menjawab Siapa yang papan?!, sebagai gantinya dia melihat kepada Noble
Fencer.
Noble
Fencer dapat menggunakan pedang dan sihir, dan dia menggunakan armor ringan
yang memberikannya kemudahan dalam melakukan dua hal itu. Pada saat ini,
satu-satunya senjata yang dia miliki hanyalah sebuah belati. Bukanlah suatau
benda yang akan menjadi senjata utama seseorang.
“Lebih
baik di mulai dari pedang kalau begitu…”
“…!”
Noble
Fencer tampak mengernyit dan mengambil
langkah mundur dari Dwarf Shaman.
“Hmm?”
“…..Aku
nggak…..”
“…..”
“…Aku
nggak butuh….senjata…!”
Suaranya
masih sangatlah pelan, namun tidak salah lagi terdapat nada marah pada suara itu.
Wajahnya yang sebelumnya tidak berekspresi mulai luntur.
“Hmm.”
Dwarf Shaman, mungkin sedikit terheran, berkedip dan membelai jenggotnya.
Kemudian tersenyum lebar, seolah seadng memakan makanan yang lezat. “Begitu,
begitu! Jadi kamu nggak tertarik dengan perlengkapan. Mantap! Sekarang itulah awal dari persahabatan!”
“……”
Kali
ini adalah giliran Noble Fencer yang terheran.
Seraya
Noble Fencer berdiri menatapnya, Dwarf Shaman terus mengoceh seolah ini adalah
hal yang paling wajar sedunia baginya: “Bagaimana kamu bisa berteman, kalau
kamu nggak mengatakan apa yang ingin kamu katakan? Hmm?” Kalau begitu, paling nggak pakaian lain. Dwarf Shaman bergumam,
mengubrak-abrik isi konten dari gudang.
Mungkin
memang hanyalah light armor goblin saja yang terdapat di sini, namun hampir
semuanya merupakan barang curian. Semuanya berlumur dengan tanah dan kotoran,
namun masih layak untuk di gunakan.
Sebuah
pakaian kulit. Sarung tangan berlapis baja. Mungkin sedikit metal untuk
melindungi kepala….
“…?
…?!”
Noble
Fencer mendapati dirinya di seret kesana kemari dan membuatnya kebingungan.
Dwarf Shaman memasangkan perlengkapan padanya satu persatu. Tidak ada ras lain
yang dapat mengalahkan seorang dwarf jika menyangkut masalah untuk mengevaluasi
kualitas dari senjata dan armor.
Ini,
kemudian itu, satu benda, kemudian benda lainnya. Perlengkapan di pasang,
perlengkepan di lepas, perlengkepan baru, Hingga kepala Noble Fencer menajdi
pusing.
“Hei,
ayolah, pelan-pelan, oke? Jangan melakukan semuanya sekaligus…” Priestess
menawarkan pertolongannya setengah tulus, mencoba untuk menolong Noble Fencer,
namun nadanya tidak terdengar meyakinkan.
Gadis
itu entah mengapa terasa seperti seorang kakak perempuan… Atau mungkin lebih
tepatnya, seseorang yang berusaha keras untuk dapat terlihat seperti itu.
Priestess meletakkan tangan pada pinggunya dan mengayunkan jarinya, mengulangi,
“Ayolah, hentikan.” Priestess berusaha untuk terdengar keras namun tidak begitu
berhasil. “Kamu cuma membuat masalah untuknya.”
“Hrm…”
Dwarf Shaman mendengus, kemudian melihat kepada wajah Noble Fencer. “Apa aku
menyusahkanmu?”
Untuk
beberapa saat, Noble Fencer tidak berkata apapun. Hanya mengalihkan
pandangannya. Hening. Kemudian lebih hening lagi. Kemudian akhirnya:
“………Sedikit.”
“Kan?”
Priestess berkata, mencoba menyembunyikan senyumannya.
“Yah,
astaga, maafkan aku,” Dwarf Shaman berkata, juga berusaha untuk tidak
menyengir. Dari cara mulutnya yang sedikit membengkok ke atas cukup terlihat
mempesona.
Dwarf
Shaman mengumpulkan semua perlengkapan dan mengangkatnya ke atas punggungnya
dengan gerakan yang lincah walaupun dengan tubuhnya yang kecil. Kemudian
melirik mengarah para wanita muda.
“Tapi
aku belum selesai mengutarakan apa yang ingin aku katakan. Beardcutter yang ada
di sana, dia lain dari yang lain, kamu mengerti?”
“Dan
itu belum termasuk sikap anehnya,” High Elf Archer berkata dengan sebuah tawa
kecil yang tidak dapat di tahannya. “Orcbolg nggak pernah mengatakan apapun
selain ‘Benarkah?’ dan ‘Benar’ dan ‘Goblin.’”
Sang
archer melirik pada Goblin Slayer yang sedang bersandar pada dinding, dan
memberikan sebuah senyum layaknya seekor kucing.
Priestess
memberikan salah satu tatapan Sungguh
terlalu darinya dan berkata, “Dia memang seperti itu.”
Pada
akhirnya, Goblin Slayer tidak dapat menahan dirinya untuk berkata, “Benarkah?”
Bukanlah
suatu hal yang jelek bagi grup petualang ini, untuk dapat tertawa walaupun
berada jauh di dalam jantung bahaya—Dan itu juga berlaku bagi party petualang
lainnya.
Kalau dengan serius adalah
cara untuk menang, maka dia akan serius, Priestess berpikir. Tapi kalau nggak, yah…akan lebih baik kalau
dia bisa sedikit lebih santai…
“Saya
yakin tuanku Goblin Slayer cukup sadar akan kebiasaannya sendiri. Kalau begitu
sekarang,” adalah Lizard Priest, desis napasnya menutup ruang canda ini dengan
waktu yang tepat. Dia menepuk ekornya sekali pada lantai, kemudian melihat
grupnya. “Apakah semua sudah siap?”
“Aku
rasa kita bisa simpan ejekan kita buat nanti. Semua siap, Scaly.”
“Mm.”
Lizard Priest mengangguk, kemudian membuat gerakan aneh pada tangannya.
“O para leluhur yang
tertidur di bawah lapisan batu, dengan semua waktu yang telah bertumpuk di
atasmu, bimbinglah semua benda ini.”
Tidak
lama setelah dia berucap, taring naga yang tersebar di lantai mulai meleleh.
Dan
kemudian, saksikanlah: senjata dan perlengkapan mulai berkarat dan hancur tepat
di depan mata mereka, di mulai dari senjata apapun yang terpapar udara.
“W-wow…”
Priestess pernah mendengar kemampuan ini, namun kemampuan ini di anggap sebagai
keajaiban jahat dan tidak sering terlihat. “Apa ini keajaiban Rust…?” (TL Note:
Rust = karat.)
“Ah,
anda mengetahuinya?” Lizard Priestes tampak terkejut dan tertarik dengan
pertanyaannya. “Benar sekali. Menghancurkan benda dengan keajaiban Weathering
akan terlalu makan waktu yang lama.” (TL Note: weathering = cuaca/pengendalian
cuaca.)
“Aku
belum pernah melihatnya. Bagaimana dengan peralatan kita?”
“Keajaiabn
ini tidak akan berpengaruh pada kita. Walaupun ini bukanlah doa yang akan saya
gunakan di sebuah pertarungan.”
Priestess
merasa lega mendengar itu. Baju besi tipis di bawah pakaiannya sangatlah
penting baginya.
Aku tahu ini barang sekali
pakai, tapi.
“Sangat
memerlukan waktu panjang untuk mempersiapkannya, namun sangat berguna untuk
saat-saat seperti ini.” Lizard Priest menjelaskan kepadanya, mengayunkan
ekornya seolah merasa senang dengan dirinya sendiri. “Ahem. Jadi kita telah
membebaskan tahanan di penjara dan menghancurkan perlengkapan musuh kita. Saya
percaya semuanya telah berjalan sesuai rencana, bukankah begitu, Tuanku Goblin
Slayer?”
“Ya.”
Goblin Slayer berkata, mengangguk perlahan. Dia mengeluarkan kantung air dari
tasnya, membukanya, dan meminumnya di antara celah helmnya. “Tapi, kita tetap
nggak boleh lengah. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi nantinya.”
Adalah
sesuatu yang sudah sangat di pahami oleh semua petualangan di sini. Tidak
seorangpun di dunia ini yang mengetahui apakah dadu yang di lempar oleh para
dewa mengontrol takdir atau kemungkinan.
Kemungkinan
akan yang tidak terduga adalah mengapa ini di sebut sebagai petualangan.
3 Comments
Mantap gan
BalasHapusTerima kasih mas :)
Hapusbenarkah?
HapusPosting Komentar