HARI
MUSIM SEMI YANG SEPERTI BIASANYA
(Translater
: Zerard)
Musim
semi telah tiba ketika angin yang begitu nyaman berhembus dari timur.
Udara
dingin telah tersingkirkan, meninggalkan hanya udara segar di udara, dan
matahari yang bersinar hangat dan lembut.
Lahan
akan aster sekitar setengah hari perjalanan dari kota perbatasan juga terlihat
begitu elok di pandang.
Adalah
lahan yang bergoyang, kaya akan rerumputan berdampingan dengan
semak-semak—bukan yang lain. Jalanan memanjang melewatinya, dan jika di hitung
jarak dari desa ke desa, kota ke kota, sangatlah melegakan untuk mengetahui
adanya tempat berkemah bagus yang tersedia.
Hanya
ada satu hal—atau lebih tepatnya satu orang—yang bergerak melewati lahan itu.
Adalah
seorang petualang yang aneh. Dia mengenakan armor kulit yang kotor dan sebuah
helm yang tampak murahan, pada pinggulnya sebuah pedang dengan kepanjangan yang
aneh, dan sebuah perisai kecil bundar yang terikat di lengan kirinya. Bahkan
seorang pemula akan mempunyai perlengkapan yang lebih baik dari yang pria itu
bawa.
Dia
berjalan di jalanan dengan diam: ketika dia telah tiba pada lahan, langkah
sigap dan tidak pedulinya membawanya melewati sema-semak. Langkahnya begitu
yakin, begitu percaya diri seolah sedang mengikuti sebuah tanda. Kanan, kiri,
melewati rerumputan—tidak sampai lima menit bagi pria itu untuk melewatinya.
Kemudian
dia berhenti.
Tampaknya
masih tidak terdapat apapun di sana.
Namun
di semak-semak, dia mendengar suara gemirisik di bawah sol sepatu botnya.
Dia
berlutut dan mengambil sumber suara itu. Sebuah abu akan sesuatu yang terlahap
api. Dia meremasnya di antara jarinya hingga abu itu menjadi tidak lebih dari
sebuah bekas goresan di sarung tangannya.
Sesuatu
telah terbakar di sini. Apakah sebuah pohon? Tulang manusia? Hal ini masih
belum jelas.
Mustahil
Dia
menggelengkan kepalanya seolah ingin menolak sebuah kemungkinan.
Sudah sepuluh tahun berlalu.
Tidak
ada tulang manusia, tidak ada abu yang akan masih dapat di ketahui setelah
tergeletak terpapar oleh elemen alam. Dan andaipun ada sesuatu yang bertahan
selama ini—milik siapakah sisa abu ini?
“…”
Angin
berhembus melewati lahan. Merupakan sebuah angin hangat dan lembut yang
menandakan perubahan musim, kedatangan musim semi.
Rumput
bergemirisik, riak kecil bergelombang melewati bukit. Dia mendengar suara samar
akan air yang mengalir. Ketika dia memutar kepalanya, dia dapat melihat sebuah
danau, tepat di mana dia mengingatnya.
Di
bawa oleh insting, dia mendengak. Langit sangatlah biru dan bersih; yang
tampaknya tersebar di keseluruhan dunia. Sebuah awan yang terlihat begitu
tipis, hingga tampak pudar.
“…Dan
memangnya kenapa?”
Dia
menepuk tangannya bersama, membersihkan sisa jelaga abu.
Dia
mengetahui bahwa ini bukanlah sisa-sisa dari kakak perempuannya.
Dia
mengetahui apa yang terjadi kepada kakaknya dan apa yang terjadi pada darah,
dagin, dan tulangnya.
Dia
mengetahui, bahwa dulunya terdapat sebuah desa di sini.
Dan
akhirnya dia mengetahui, bahwa terdapat sebuah rencana untuk membangun sebuah
bangunan pelatihan untuk para petualang di tempat ini.
“…Kurasa
aku akan kembali.”
Hanya
terdapat tiga orang lainnya yang mengetahui bahwa pria ini tinggal di sebuah
desa yang berada di tempat ini dulunya.
Tidak
pernah terlintas di pikiran Goblin Slayer untuk bertanya tentang perasaan yang
di rasakan pada dua orang lainnya di kebun tentang semua ini.
*****
“Hee-hee-hee!”
Priestess
tersenyum bersemangat. Guild Petualangan sangatlah sibuk setiap harinya, namun
kesibukan itu bertambah di masa musim semi. Monster terbangun dari hibernasinya
dan mulai mengancam desa-desa, sementara para petualang yang melewati musim
dingin dengan bermodalkan tabungannya, mulai bekerja kembali. Dan dengan cuaca
indah ini yang mengundang para petualang untuk berkelana mencari keberuntungan
mereka, Guild tidak akan kekurangan tenaga pria dan wanita mudanya.
“Berikutnya!
Pelanggan nomer lima belas, di mohon datang ke meja resepsionis nomer tiga!”
“Quest!
Aku punya quest di sini! Cess-eater di saluran air! Siapa yang berkenan untuk
datang dan membantu?”
“Punya
senjata dan perlengkapan? Potion? Sudah mengingat semua mantramu? Ada tongkat
1,5 meter? Bagus, ayo!”
“Permisi,
tapi seekor beruang sudah terlepas dan berkeliaran di desa kami. Yeah seekor
grizzly”
Para
pegawai berlari kesana kemari, para petualang saling berteriak satu sama lain,
dan pemberi quest menjelaskan apa yang mereka butuhkan. Bukanlah sebuah
atmosfir bergembira, namun tidak ada yang dapat menyangkal keriuhan yang terasa
di udara.
Di
kelilingi oleh lautan aktifitas, Priestess merasa sangat gembira, senyumnya
layaknya sebuah bunga yang sedang mekar. Dia duduk di sebuah bangku panjang
yang telah menjadi sebuah ruang tunggu bagi mereka, memegang tongkatnya dan
tidak berusaha menyembunyikan kegembiraan yang dia rasakan.
Di
sampingnya, High Elf Archer sedang mengistirahatkan dagu di tangannya dan
menunggu kerumunan untuk pergi. Dia memutar pandangannya pada Priestess.
“Sepertinya
seseorang lagi senang.”
“Itu
karena aku memulai tahun kedua berpetualangku sekarang. Aku rasa nggak akan
aneh bagi beberapa orang untuk memanggilku senior mereka!”
“Ahh.
Sudah selama itu ya?”
“Iya!
Di tambah lagi, aku rasa aku akan di promosikan dari peringkat Sembilan ke
delapan dalam waktu dekat ini.” Priestess membusungkan dada kecilnya dengan
bangga. Priestess adalah anggota termuda dalam party mereka. High Elf Archer
mengetahui perasaan yang di rasakan Priestess, menjadi yang termuda, oleh
karena itu telinganya mengepak bersimpati.
Aku rasa aku bisa sedikit
bersikap seperti kakak perempuan di sini.
“Mungkin,
tapi jangan biarakan itu membuatmu kendor. Barisan belakang mempunyai peranan
penting oke?” High Elf Archer mengayun jari telunjuknya dengan anggun seraya
dia menasehati Priestess.
“Ya
bu. Aku tahu.” Priestess mengangguk menuruti.
Tangan
High Elf Archer membelai rambut emas Priestess, melepaskan rambut yang kusut.
Priestess tertawa kecil, dan matanya bersinar bahagia. Dia benar-benar seperti
adik perempuan yang manis—walaupun High Elf Archer merasa jika dia mengatakan
hal itu secara terang-terangan, Dwarf Shaman tidak akan tinggal diam. Sebagai
gantinya, High Elf Archer membiarkan matanya berkelana memandang keriuhan Aula
Guild.
“Benar-benar
ramai banget ya?”
Tempat
ini penuh akan orang-orang yang berusaha mati-matian menjadi petualang.
Walaupun…
Mungkin mati-matian bukan
kata yang tepat.
Kata
itu tidak terdengar baik bagi High Elf Archer. Bagaimana jika orang-orang berharap untuk menjadi petualang? Ya,
itu lebih baik. Harapan adalah kata
yang bagus.
Mereka
yang berharap menjadi petualang berbaris panjang di meja resepsionis. Terdapat
wizard, warrior, monk dan scout, berbagai macam orang dari berbagai macam ras,
jenis kelamin, dan umur. Dua hal yang sama-sama mereka miliki adalah bara api
semangat yang terpancar dari mata mereka—dan perlengkapan yang mereka gunakan.
Dari
sebuah pelengkapan yang begitu baru dan tanpa goresan seolah label harga benda
itu masih tergantung, dan armor-armor tua yang berkarat, kualitasnya mungkin
telah menurun, namun setiap bagian armor itu telah di poles hingga berkilau
kembali.
“Hmm.”
High Elf Archer bergumam, mengepak telinga panjangnya. “Aku rasa mereka bisa
belajar satu atau dua hal dari Orcbolg.”
“Pak
Goblin Slayer bukan penggemar sesuatu yang berkilau kan?”
Dia kadang-kadang bisa
menjadi ribet sekali.
Dengan
gumaman itu, pipi Priestess tiba-tiba berubah merah, dan dia menggerakkan
tubuhnya tidak nyaman.
“Kenapa?”
High Elf Archer bertanya, namun Priestess hanya menjawab, “Nggak.” Dan
memalingkan pandangannya.
Sang
elf memiringkan kepalanya penuh tanda Tanya, namun tidak lama baginya untuk
menyatukan setiap bagian misteri itu. Mungkin, sudah sewajarnya.
Seorang
petualang tingkat tinggi, di temani oleh dua wanita yang sangat cantik. Dan
salah satu wanita itu adalah seorang high elf.
Barisan
antrian para calon petualang terpana oleh kecantikannya.
“Whoa…
buset mereka cantik banget…”
“Ketika
aku menjadi petualang, aku pasti akan dapat bertemu beberapa gadis seperti
mereka juga.”
“Seorang
elf! Aduh, andai aku kenal seorang elf…”
High
Elf Archer memberikan dengusan kecil. Apa mereka pikir mereka dapat melakukan
sebuah percakapan yang tidak dapat di dengar oleh seorang elf? High Elf Archer
berharap mereka tidak terlalu memperhatikan wanita itu yang berasal dari ras
nya dan sedikit menunjukkan rasa kagum mereka, mengetahui bahwa wanita itu
adalah petualang tingkat Silver.
“Tahun
kemarin, aku ada di antrian itu…”
Tidak
seperti High Elf Archer, yang membusungkan dada datarnya dengan harapan untuk
menunjukkan kalung peringkat yang bergantung di sekitar lehernya, Priestess
menempelkan tangan pada dadanya. Dia juga memiliki kalung peringkat itu—yang
menunjukkan bahwa dia telah naik dari Porcelain ke Obsidian, dari peringkat
sepuluh ke sembilan.
“Waktu
itu orangnya nggak sebanyak ini.”
Priestess
seperti mereka dulunya, mendengarkan dengan takjub percakapan yang ada di
sekelilingnya.
Sebuah
tempat berlatih yang sejak lama di bangun akhirnya telah selesai. Bangunan ini
pada awalnya adalah sebagai bentuk respon antisipasi setelah penyerangan yang
di lakukan oleh goblin lord, namun perencanaan berjalan lambat, dan sekarang
pertarungan itu sudah satu tahun yang lalu.
Kedua
gadis berdiri di sana mengetahui bahwa banyak hal yang secara tiba-tiba mulai
bergerak dengan cepat kembali.
“Apa
kamu baca suratnya?” Priestess bertanya.
“Iya
dong!” High Elf Archer menarik sebuah lipatan kertas dari dalam kantongnya.
Lipatan itu sudah begitu lecek, dia pasti sudah membacanya berkali-kali.
“Kamu
membawanya?”
“Iya
dong? Ini kan surat dari seorang teman.”
“Punyaku
ada di kamar. Aku mempercayakannya kepada Ibunda Bumi.”
Terutama di karenakan itu
dari seorang teman. Priestess menambahkan secara internal,
tersenyum malu.
Seorang
teman. Bernama Noble Fencer, seorang petualang wanita yang telah menyerang
benteng goblin di utara beberapa bulan sebelumnya bersama mereka. Ingatan itu
masih segar di pikiran Priestess: Noble Fencer telah kehilangan temannya dan
dirinya di siksa oleh para goblin, akan tetapi dia menolak untuk menyerah. Dan
dalam masa berhadapan dengan kematian, sesuatu telah berubah dari dirinya.
Setelah petualangan mereka, Noble Fencer kembali pulang menuju rumah yang dia
tinggalkan dan memberi tahu orang tuanya tentang semuanya.
Sejak
saat itu, mereka telah bertukar surat beberapa kali.
“Dia
bilang dia memulai penggolongan dana untuk membantu petualang yang baru,” kata
High Elf Archer. “ Gadis itu nggak main-main.”
“Iya
benar.” Priestess menjawab.
Surat
Noble Fencer memberitahukan mereka bahwa dirinya akan menjadi bagian dari
sebuah pertarungan tidak sebagai petualang melainkan sebagai pendukung.
Tulisan
yang rapi pada surat yang mereka terima begitu menggambarkan gadis itu. Adalah
mustahil untuk tidak menghargainya. Noble Fencer menulis bahwa dia sudah dapat
berbaikan kembali dengan keluarganya dan dia ingin bertemu dengan Priestess,
High Elf Archer, dan yang lainnya suatu saat.
“Masih
keras kepala seperti biasanya ya?”
“Ha-ha…”
Walaupun
dengan ejekan High Elf Archer, perasaan yang di rasakannya dapat di lihat dari
betapa hati-hatinya dia melipat surat
yang dia terima. Dia tidak perlu mengatkannya, karena Priestess
merasakan hal yang sama.
Priestess
dan Noble Fencer telah sama-sama merasakan kekejaman para goblin secara
langsung. Karena masing-masing dari mereka, telah berhasil menghindari lemparan
sebuah dadu yang berada di antara keselamatan dan kehancuran. Oleh karena itu
ketegaran Noble Fencer adalah sebuah penyemangat terbesar bagi Priestess.
Itu
artinya dia Noble Fencer masih belum menyerah. Begitu juga dengan mereka.
“…Beberapa
pelajaran sebelum kamu memulai petualangan dapat membuat perbedaan yang besar.”
Priestess bergumam.
“Aku
nggak tahu juga, menurutku semua itu nggak akan terlalu membuat banyak
perbedaan.”
Priestess
mengernyit mendenagrnya, dan High Elf Archer membuat sebuah gerakan mengayun
kecil sebelum menambahkan. “Maksudku, beberapa orang akan tetap melakukan hal
bodoh, nggak peduli sebanyak apapun pelajaran yang kamu berikan kepada mereka,
kan?”
“Tapi
tanpa instruksi, bagaimana mereka bisa tahu kalau yang mereka lakukan itu
salah?”
Sebagai
contoh…banyak sekali contoh akan pemula yang dapat salah dalam bertindak.
Mereka
dapat terlalu terbawa dengan percakapan hingga membuat mereka lupa untuk terus
menjaga jarak antara barisan depan dan belakang.
Atau
mereka berasumsi bahwa mereka tidak
perlu menjaga belakang mereka hanya karena mereka berada di dalam sebuah
terowongan.
Dan
terutama, mereka terlalu meremehkan goblin.
Mengingat
itu, Priestess dapat melihat seberapa banyak pelajaran yang telah dia dapatkan
pada petualangan pertamanya.
“Iya,
aku nggak akan mendebat itu.” High Elf Archer berkata. “Cuma…” Dia melambaikan
tangannya kembali, mungkin tidak yakin bagaimana untuk menanggapi ekspresi
murah Priestess. “Beberapa orang benar-benar nggak mau mendengarkan sama sekali. Seperti…para dwarf contohnya.”
“Oh,
aku dengar loh, Telinga Panjang.” Suara menggerutu terdengar dari belakang
bangku.
High
Elf Archer memberkan sebuah senyuman dan dengusan bangga. “Aku berharap kamu
memang mendengarnya. Nggak akan seru kalau kamu nggak dengar.” Dia menoleh dari
balik pundaknya kepada Dwarf Shaman yang memegang bagian belakang bangku dan
melotot kepadanya. Pipinya yang sedikit merah menandakan bahwa dia sudah
memulai meminum anggurnya walaupun masih di pagi hari ini—walaupun itu
merupakan hal yang normal bagi para dwarf.
Mencium
aroma napasnya. High Elf Archer terbatuk lemah.
“Lagipula,
kalian juga sama saja.” Dwarf Shaman berkata. “Nggak ada orang lain di dunia
ini yang lebih cuek nggak mau mendengar selain para elf.”
“Apa?
Siapa di antara kita yang mempunyai telinga lebih besar?”
“Heh!
Sarkasmemu nggak akan bisa mengubah fakta kalau dadamu kayak papan.”
“Siapa
yang kayak papan…?”
“Pegang
dadamu sendiri dan itu akan menjawab pertanyaanmu.”
“Kamu—!”
Adalah
keributan biasa mereka. Priestess biasanya menjadi panik melihat ini, namun
sekarang dia sudah terbiasa, bahkan terasa begitu menyenangkan baginya melihat
ini. Priestess tidaklah yakin apakah berdebat dapat membuat orang-orang menjadi
lebih dekat, namun dia mengetahui bahwa dia berada di dalam party yang bagus.
Terlebih
lagi, banyak wajah di dalam Guild Petualang yang menjadi akrab baginya. Setiap
kali dia melihat salah satu orang yang dia kenal di tahun sebelumnya, dia
menundukkan kepala memberikan salam kecil.
“Heh-heh-heh.
Ramai, sekali, ya?”
“Jangan
kelihatan terlalu tertarik. Kita harus terlihat bagus bagi para pemula itu.”
Adalah
Witch dengan senyumnya yang menggoda, di temani oleh Spearman yang berbicara
kepadanya seraya dia memamerkan wajahnya. Heavy Warrior sedang berjalan di
aula, dan sedang berdebat dengan seorang Knight Wanita….
“Sudah
aku kasih tahu kan? Sedikit percakapan akan membuat kita menjadi lebih dekat…”
“Itu
cuma alasan untuk orang mabuk sepertimu. Kamu seharusnya itu taat pada
peraturan!”
…Sementara
Bocah Scout dan Gadis Druid, dan Half Elf Light Warrior mengikuti mereka dari
belakang, berusaha untuk tidak terlibat.
“Hullo!”
“Selamat
pagi semuanya.”
“Semoga
beruntung pada questmu hari ini!”
Kemudian
datanglah sebuah salam yang santai dari Rookie Warrior, yang di ikuti dengan
Apprentice Cleric.
“Hei,
itu kumpulannya anggota Gobber!” (TL Note = Gobber = slang-nya goblin.)
“Oh,
ya ampun! Kamu harusnya bisa lebih sopan dari itu! Bagaimana aku bisa
menunjukkan mukaku kalau kamu berbicara seperti itu?”
Merupakan
hal yang sama seperti biasanya.
“Ah,
bagus. Bersahabat seperti biasanya.” Sebuah sosok besar membayangi mereka.
Adalah Lizard Priest. Tubuhnya penuh dengan sisik dan dia mengenakan pakaian
yang tidak biasa. Dia memutar matanya melihat perdebatan sang elf dan dwarf.
Tampaknya dia merasa senang, tidak akan melerai mereka dan membiarkan mereka
untuk tetap berdebat.
Lizard
Priest berputar mengarah pada Priestess dan menggabungkan kedua tangannya
seperti biasa memberikan sebuah salam.
“Cuaca
yang hangat tampaknya telah mengembalikan energi semua orang. Sesuatu yang
sangat saya pahami.”
“Musim
dingin sepertinya sulit untukmu ya?” Priestess tertawa kecil, bahkan seraya
Lizard Priest mengangguk merespon.
“Benar.
Bahkan naga yang menakutkan tidak berhasil melampaui jaman es. Alam di dunia,
dapat menjadi hal yang mengerikan.”
Seperti
apa yang terlihat dari penampilan sang lizard. Lizard Priest sangat rentan terhadap
dingin. Ini kemungkinan di karenakan dia berasal dari hutan di selatan atau
mungkin karena dia memiliki darah reptil yang begitu kental yang mengalir di
nadinya. Apapun itu, petualang mereka sebelumnya di pegunungan bersalju
merupakan sebuah cobaan berat baginya.
“Tapi
aku dengar ada naga es yang mempunyai napas es,” Priestess bertanya. “Bagaimana
dengan mereka?”
“Mereka
bukanlah saudara saya.” Lizard Priest menjawab. Apakah dia bercanda atau
serius? Terdengar nada yang ringan samar di dalam suaranya yang serius.
Kemudian
Lizard Priest memutar lehernya, melihat sekliling Aula Guild yang penuh dengan
petualang pemula.
“Bagaimana
dengan tuanku Goblin Slayer? Di manakah dia?”
“Oh,
um, dia bilang dia akan sedikit terlambat hari ini. Sepertinya dia sedang pergi
ke suatu tempat kemarin.”
“Oh-ho.
Itu benar-benar tidak biasa.”
“iya.”
Priestess
menambahkan dengan pelan bahwa dia berpikir jika pria itu akan kembali sebentar
lagi.
Goblin
Slayer.
Adalah
mustahil untuk membayangkan petualang aneh ini sedang pergi berlibur. Gadis
yang merawat kebun tempat tinggal pria itu mengatakan bahwa bahkan di hari
liburnya, pria itu selalu di sibukkan dengan perawatan senjata dan
perlengkapannya. Akhir-akhir ini, Gadis Guild dan Gadis Sapi pernah mengundang
pria itu untuk pergi ke festival, akan tetapi pria itu berhasil menghabiskan
waktunya untuk berpatroli di kota. Jika dia di biarkan sendiri, dia akan
menghilang untuk membunuh goblin. Mereka tidak dapat melepaskan pandangan
mereka dari pria itu.
Puji tuhan. Sebuah
helaan terlepas dari bibir Priestess. “Dia memang terlalu ya?”
Pada
saat itu, sebuah gumamam mulai mengisi keseluruhan aula. Seorang petualang
telah mendorong membuka pintu berayun.
Dia
berjalan dengan langkah sigap, tidak peduli. Dia menggunakan ahelm baja yang
terlihat murahan dan armor kulit yang kotor. Sebuah pedang dengan panjang yang
aneh menggantung di pinggulnya, dan sebuah perisai bundar kecil terikat pada
lengannya. Bahkan para pemula memiliki perlengkapan yang lebih baik dari pria
itu.
Namun
sebuah kalung peringkat kecil menggantung pada lehenya adalah silver. Peringkat
ketiga.
“Pak
Goblin Slayer!” Priestess memanggil, mengundang sebuah kumpulan tawa kecil di
antara para pendatang baru. Seseorang yang membasmi goblin? Monster paling
lemah?
Tentunya,
terdapat beberapa dari mereka yang tidak tertawa. Selama masa lima tahun,
Goblin Slayer telah menjadi sebuah keselamatan untuk banyak desa-desa. Dan
beberapa dari mereka yang pergi untuk menjadi petualang sekarang merupakan
penduduk desa itu. Mereka sangat mengetahui tentang petualang yang membasmi
semua goblin sendirian. Beberapa lainnya mungkin telah mendengar pria ini dari
sebuah lagu. Penyair cenderung memutar balikan fakta, namun reputasi pria ini
masihlah nyata.
Walaupun
begitu, tawaan mereka tidak dapat di maafkan. Kebanyakan dari petualang yang
ada di Aula Guild pernah memiliki pengalaman membasmi goblin; mereka yang telah
memiliki pengalaman mengusir satu atau dua goblin yang berkeliaran di desa
mereka. Mungkin beberapa dari mereka bahkan pernah memasuki sebuah gua di suatu
tempat, namun satu hal yang tidak pernah berubah: adalah fakta bahwa goblin
merupakan monster terlemah.
Goblin
Slayer menghiraukan mereka semua, dengan tenang menjawab “Ya.” Menjawab
mengangguk pada sang Priestess, helmnya bergerak perlahan melihat High Elf
Archer, Dwarf Shaman, Lizard Priest, dan kemudian kembali kepada Priestess,
satu persatu.
“Kalian
semua sudah di sini.”
“Kamu
telat, Orcbolg!” High Elf Archer berkata dengan suara jernih dan bermartabat.
Dia telah berhenti berdebat dengan Dwarf Shaman, menunjuk dengan jarinya yang
elegan kepada pendatang baru. Alis matanya mengernyit, dan telinga panjangnya
menegang ke belakang; telinganya mengepak. Segalanya yang terlihat pada sang
elf menunjukkan akan betapa lamanya dirinya menunggu.
High
Elf Archer memberikan sedikit dengusan dan melipat tangannya. “Jadi apa yang
akan kita lakukan hari ini?”
“Membasmi
goblin.”
“Yah!
Sudah nggak heran lagi.” Dwarf Shaman berkata, tertawa dan membelai jenggot
putihnya. “Kalau kamu menyerahkannya pada Beardcutter, kamu pasti tahu
petualangan macam apa yang akan kamu dapatkan.”
“Hrm…”
“Kalau
kamu punya saran, aku akan mendengarkan.”
Priestess
menjadi sedikit merah mendengar ucapan Goblin Slayer. Bagi Priestess pria itu
memiliki kesan bahwa pria itu menjadi semakin terasah dalam tahun terakhir. Dan
bagaimana dengan diri Priestess sendiri? Apakah dia berubah? Apakah dia tumbuh?
Bukanlah hal yang mudah untuk menilainya.
“Secara
pribadi, apapun yang dapat memberikan kontribusi baik kepada semua orang, dapat
kita lakukan.” Lizard Priest berkata, ekornya mengayun di lantai. “Saya rasa
pembasmian goblin sangat memenuhi kriteria tersebut. Tentunya akan banyak dari
iblis kecil itu yang muncul dengan bergantinya musim.”
High
Elf Archer memberikan gerutu panjang dan pelan kemudian mengangkat tangannya
menyerah. “Iya, iya. Aku mengerti. Baguslah goblin saja kalau begitu. Aku ikut,
demi dirimu!”
“Terima
kasih,” Goblin Slayer bergumam, dan kemudian memutar kakinya melangkah meja
resepsionis di mana semua petualang menunggu. Kumpulan para petualang yang
terhenyak melihat dirinya, sepertinya tidak membuat Goblin Slayer terganggu
sama sekali.
Para
petualang yang mengenal dia memiliki reaksi yang berbeda, memanggilnya dengan
riang. “Yo, Goblin Slayer! Mau membasmi goblin lagi?”
“Ya.”
Dia berkata dengan anggukkan.”
“Kamu
nggak pernah bosan melakukannya ya?”
“Kami
akan melakukan sedikit perjalanan, memeriksa beberapa reruntuhan tua.”
“Benarkah?”
“Kamu
hati-hati ya?”
“Baik.”
Ini
akan sangat sulit di pahami bagi para pendatang baru, yang belum mengerti
dinamika permainan mereka. Para pemula saling bertukar pandang seraya berbisik
pelan.
High
Elf Archer, menunggu di sebuah bangku Goblin Slayer, mengernyit. Priestess
mencondongkan tubuhnya untuk berbicara mengarah telinga panjang sang elf.
“Apa
yang mereka bicarakan?” dia berbisik.
“Kamu
nggak mau tahu.”
Cukup
adil. Priestess tidak perlu mendengar
mereka untuk mengetahui percakapan apa yang mereka bicarakan. Priestess
menggembungkan pipinya kesal dan memanyunkan bibirnya, namun itu semua tidak
membuat perbedaan. Kenyataan bahwa Lizard Priest dan Dwarf Shaman tampak tidak
merasa terusik dengan ini semakin membuatnya kesal.
*****
“Berikutnya!”
Seraya
rekan Goblin Slayer menunggu, petualang yang antri di layani satu persatu.
Akhirnya Gadis Guild mendengak dengan penuh wibawa memanggil orang berikutnya
untuk melihat sebuah helm baja yang kotor.
Senyum
tempel yang terus di pakai sebelumnya, kini berubah menjadi wajah bahagia yang
murni.
“Goblin
Slayer!”
“Quest
Goblin. Kamu punya?”
“Tentu
saja! Saya menyimpannya untuk anda…er, karena terlalu banyak untuk di pajang di
papan.” Gadis Guild menyembunyikan mulutnya di balik lapisan kertas seraya dia
menjulurkan lidahnya menggoda, kemudian Gadis Guild mengeluarkan sebuah
lembaran kertas quest dari rak. Gerakannya yang terlatih dan dokumen yang
tersusun rapi, membuktikan seberapa banyak pengalaman Gadis Guild sebagai
pegawai. Dia mengeluarkan beberapa helai kertas dengan jari kurus, ter-manikur
dengan rapid dan meletakkannya di depan Goblin Slayer.
Lima
halaman secara keseluruhan.
“Tidak
satupun dari insiden ini yang cukup besar, tapi—“
“Tapi
mereka berjumlah banyak.”
“Tepat
sekali. Saya rasa begitulah musim semi. Para goblin menjadi sama aktifnya
seperti orang lain.”
“Setiap
tahun selalu terjadi.”
“Kami
mempunyai semua quest ini, dan ini merupakan sisa dari quest goblin yang belum
di ambil oleh pemula sebelumnya.”
“Apa
mereka sanggup?”
Gadis
Guild menjawab pertanyaan Goblin Slayer dengan lengkungan salah satu alisnya
dan keheningan. Mungkin itu artinya dia tidak mengetahui jawabannya.
Bagi
kebanyakan party, kembali pulang hidup-hidup bergantung kepada lemparan dadu.
Dadu yang di lempar oleh para dewa di surge menentukan takdir dan kemungkinan,
dan terkadang bahkan para dewa kecewa dengan hasilnya.
Gadis
Guild melirik pada pundak Goblin Slayer dan melihat barisan petualang baru di
belakangnya. Apakah dia harus mempercayakan beberapa quest ini kepada mereka?
Gadis
Guild berpikir sejenak kemudian mendengak ke atas mencari Goblin Slayer.
“Bisakah
saya meminta anda melakukan sesuatu untuk saya?”
“Aku
nggak keberatan.” Goblin Slayer menjawab dengan segera. “Tunjukan padaku quest
yang di ambil party lainnya.”
“Terima
kasih banyak. Saya minta maaf karena selalu merepotkan anda dengan hal ini.”
Petualangan
memerlukan kandidat untuk bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan Guild
Petualang bukanlah asosiasi amal seperti kebanyakan organisasi lainnya. Guild
tidak memiliki sistem pengawasan, dan juga tidak memiliki kuasa untuk memaksa
para petualang untuk melakukan apapun. Guild hanya memverifikasi identitas para
petualang yang bergabung, membantu menghubungkan mereka dengan pekerjaan. Dan
akan menghukum mereka jika mereka terlalu banyak melakukan masalah.
Bekerja
dalam organisasi ini tidaklah mudah.
Sebagai
contoh, sangatlah tidak mungkin untuk mengawasi masing-masing dari setiap
pendatang baru yang melewati pintu Guild. Apa yang dapat mereka lakukan
terhadap quest membasmi goblin yang semakin menumpuk? Ekspresi stress yang
tersirat pada wajah Gadis Guild sangatlah dapat di pahami.
“Di
kala fasilitas pelatihan telah selesai, mungkin anda tidak akan sering
melakukan ini.”
Goblin
Slayer tidak berkata apapun selain membalik kertas questnya.
Konten
dari quest itu begitu normal baginya. Terdapat
sebuah sarang goblin di dekat desa kami. Tolong musnahkan.
Di
beberapa tempat, ternak dan tanaman tengah di hancurkan. Sedangkan di tempat
lainnya tidak di hancurkan. Di beberapa tempat lainnya orang-orang telah di
culik.
Goblin
Slayer memindahkan quest yang berisi tentang wanita yang di culik ke atas
tumpukan kertas. Kertas yang sudah di ambil para petualang lainnya di letakkan
di bawah. Kasus dengan kerusakan minimum di letakkan di tengah.
Sekitar
sepuluh quest secara keseluruhan. Namun Goblin Slayer berkata dengan tenang.
“Aku akan mengerjakannya dengan urutan ini.”
“Baik,
saya mengerti. Berhati-hatilah! Oh—ingin potion, atau…?”
“Ya,
tolong.” Goblin Slayer melirik ke belakang pada rekannya sejenak. Dia akan
membutuhkan luma—tidak enam, untuk amannnya.
“Potion
penyembuh, antirancun, dan stamina potion. Masing-masing enam.”
“Baik!”
Goblin
Slayer mengeluarkan delapan belas koin emas dari kantung peralatannya dan
meletakkannya di atas meja seraya Gadis Guild mengeluarkannya barang-barangnya.
Delapan
belas potion untuk pembasmian goblin kecil! Berita itu dengan cepat tersebar
pada keseluruhan pemula yang melihat, bisikan mereka bergelombang layaknya
ombak. Apakah ini kewaspadaan, atau pengecut? Apapun itu, hal ini dengan cepat
menjadi bahan ejekan. Beberapa orang tertawa dengan jelas—namun beberapa
terlihat iri. Itu di karenakan, di saat mereka telah membeli perlengkapan yang
di butuhkan, banyak dari mereka yang tidak mampu membeli benda-benda mahal
seperti potion. Mungkin jika keseluruhan party mereka mengumpulkan uang mereka
bersama, mereka mungkin dapat membeli satu botol potion.
Dan
di sini, pria ini membeli delapan belas potion! Masing-masing satu untuk
anggota partynya, dan bonus satu hanya untuk lebih amannya! Pria itu terlihat
begitu tenang dengan semua ini. Apakah dia berusaha untuk pamer? Sangatlah
cukup untuk membuat para penonton ribut.
“Ahh,
ini. Keseluruhan ada delapan belas. Mohon di hitung untuk memastikan.”
“Baik.”
“Hati-hati
ya!”
Goblin
Slayer, menghiraukan percakapan dan tatapan para petualang lainnya.
*****
Hal
pertama yang di lakukan Goblin Slayer ketika dia pergi meninggalkan Gadis Guild
yang tersenyum menuju partynya adalah untuk mengeluarkan beberapa tali. Dia
duduk di atas bangku dan kemudian menjejerkan kedelapan belas potion,
masing-masing enam dari tiga warna yang berbeda. Pertama, dia mengikat beberapa
tali pada potion penyembuh.
Berikutnya
antiracun. Di sini, dia menambahkan beberapa ikatan pada talinya. Untuk stamina
potion, dia menambahkan dua ikatan, tiga secara keseluruhan.
Sekarang
sangatlah mudah untuk membedakan tipe potion berdasakan jumlah ikatan talinya.
Aku nggak pernah melihat
seseorang melakukan itu sebelumnya, High Elf Archer berpikir,
dia mencondongkan tubuhnya untuk melihat dengan telinganya yang naik dan turun
dan matanya yang berkilau.
“Uh,
Orcbolg? Apa yang kamu lakukan?”
“Akhir-akhir
ini kita perlu untuk memakai potion kita dengan cepat.” Dia berkata. Tangannya
terus bergerak secara mekanikal; gerakan itu sealami belaian angina di dalam
hutan. “Aku memastikan supaya kita dapat membedakan potion jenis apa
berdasarkan sentuhkan.”
“Oh,
biar aku bantu!” Priestess berkata.
”Tolong.”
Goblin Slayer berkata.
Priestess
duduk di atas bokong kecilnya dan mulai mengikat tali dengan rapi. Ketika
ketiga botol telah siap, High Elf Archer menggenggam botol itu dengan “Oke.”
“Dengar
Telinga Panjang,” Dwarf Shaman berkata menggerutu. “Kamu harusnya bisa sabaran
sedikit.”
“Oh,
menurutmu?” Dia mengepak telinganya, wajahnya polos tak berdosa. “Ucapan yang
keluar dari seorang dwarf—perwujudan dari keserakahan.”
Dengan
satu gerakan, High Elf Archer meraih kantung uangnya dan melempar tiga koin
emas, meletakkannya di atas bangku dan mengetuk koin itu dengan jarinya.
“Hrm,”
Sang dwarf berkata, ikut mengeluarkan tiga koin miliknya sendiri dan
meletakkannya.
“Aku
nggak butuh itu.” Goblin Slayer berkata tanpa mengangkat kepalanya (atau lebih
tepatnya, helmnya) dari apa yang sedang dia lakukan.
“Nggak
bisa begitu,” Dwarf Shaman berkata dengan gelengan kepala. “Jangan biarkan uang
atau perlengkapan datang memecahkan persahabatan.”
“Begitu.”
“Selain
itu, kamu punya ide yag menarik ya?” Dwarf Shaman berkata.
“Ini
sederhana tapi efektif.”
“Ah—aku
akan bayar kalau aku sudah selesai.” Priestess menambahkan.
“…Oke.”
“Mari
kita lihat…” Lizard Priest berkata, mengeluarkan beberapa uang. Namun pada saat
yang sama dia meletakkannya di atas bangku, sesuatu yang cukup aneh terjadi.
“Uh…
Permisi,” sebuah suara yang bimbang memanggil party mereka.
Lizard
Priest menoleh untuk melihat seorang warrior—terlihat jelas seorang pemula, jika
di nilai dari peralatan baru gadis itu. Gadis itu merupakan wanita muda dengan
postur tubuh yang kecil. Jika di lihat dari telinganya yang cukup runcing
membuktikan bahwa gadis ini merupakan salah satu dari masyarakat rumput,
seorang rhea.
Perlengkapannya
terlihat begitu baru. Dia menggunakan sebuah legging untuk menutupi kaki
kurusnya, namun dari pergelangan kaki ke bawah, dia tidak menggunakan apapun,
yang merupakan ciri khas kaumnya.
Sang
gadis rhea tersebut terlihat cukup gugup; di belakang gadis itu berdiri
partynya, yang sama gugupnya. Dia mendekat party Goblin Slayer dan kemudian,
untuk beberapa alasan, tampaknya dia memutuskan bahwa Lizard Priest adalah yang
tampak paling mudah di ajak berbicara.
“Um,
apa…? Apa yang kamu lakukan?”
“Hmm.”
Lizard Priest menyipitkan matanya dengan maksud sebagai tanda persahabatan.
Gadis rhea itu bergetar sedikit lebih luat. “Kami sedang menyiapkan potion.”
Lizard Priest berkata. Mengangkat salah satu botol dengan tangan bersisiknya.
Cairan bergelombang di dalam botolnya. Sebuah potion penyembuh. “Botol ini
sedang di berikan tanda agar kami tidak salah dalam mengambilnya jika kami
memerlukannya dengan cepat.”
“Di
tandai…”
“Tidak
ada jaminan bahwa akan terdapat waktu untuk melihat potion mana yang kami
butuhkan.”
Ide
itu tampaknya terserap oleh sang gadis; dia menganggu mengagumi.
“Aku
peringatkan kamu,” Goblin Slayer berkata, tanpa melihat para petualang muda
itu, “Kalau kamu berusaha memberi tanda pada seluruh barang yang ada di dalam
tasmu, kamu nggak akan pernah ingat semua tanda itu.”
“Oh—uh,
te-tentu saja. Aku nggak akan pernah melakukan itu… Ha-ha.” Wajah gadis itu
membeku. Kemungkinan itulah apa yang dia pikir untuk lakukan. High Elf Archer
tertawa, sebening sebuah lonceng, menyebabkan gadis itu tersipu dan menatap ke
lantai.
“Hanya
tandai barang yang mungkin kamu butuhkan dengan cepat. Dan—“
Goblin
Slayer menyelesaikan ikatan terakhir potionnya. Dia memasukkannya dengan
hati-hati ke dalam tasnya, memastikan botol itu benar-benar terlindungi.
“—berhati-hatilah
terhadap goblin. Mulai dari membasmi tikus atau semacamnya.”
“Oh,
uh, baik! Tentu saja!”
Sang
gadis rhea menundukkan kepalanya beberapa kali dan kembali ke dalam grupnya
dengan cepat. Dengan segera mereka membentuk sebuah lingkaran dan mulai
berbisik; tampaknya mereka mulai menjadi akrab, mereka bahkan cukup
terkoordinasi untuk membentuk dua grup, satu untuk mengikat barang-barang
mereka dan grup lainnya mencari sebuah quest.
“Domba
agung yang berjalan di atas jalan berkapur, bimbinglah mereka menjadi bagian
kecil dari pertarunganmu yang akan melegenda.” Lizard Priest membuat gerakan
misterius, berdoa untuk kesuksesan, keberanian, dan kematian terhormat para
petualang.
Benar,
beberapa petualang lebih memilih untuk bergosip dan mengejek, namun yang
lainnya berusaha untuk menyerap pengetahuan yang akan mereka butuhkan untuk
dapat bertahan hidup. Bukan berarti satu lebih baik dari yang lainnya; satu
lebih benar dari yang lainnya. Mengikuti sebuah saran bukanlah sebuah jaminan
akan kesuksesan, ataupun menolak sebuah saran akan menjerumuskan kepada
kegagalan.
Akan
tetapi, walaupun seperti itu.
“Saya
berharap mereka dapat selamat.”
“…Siapa
yang tahu?” Ucapan itu terdengar seperti terpaksa dari Goblin Slayer.
Kematian
seseorang akan tiba pada saatnya, walaupun jika mereka sedang berhadapan dengan
tikus raksasa. Dan jika mereka selamat, quest akan semakin bertambah mengerikan
seraya mereka naik tingkatan berikutnya dan berikutnya.
Jika
petualangan adalah pekerjaan yang aman, maka tidak ada gunanya menyebutnya
sebagai petualangan.
Goblin
Slayer telah selesai meletakkan potion yang telah dia siapkan, kemudian secara
perlahan berdiri.
“Oh,
pak Goblin Slayer, uangmu.” Priestess berdiri mengikutinya, dengan buru-buru
merogoh kantungnya mencari koin.
“…Baik.”
Goblin Slayer menukar pemberian Priestess dengan sehelai kertas di tangannya,
dan berkata. “Aku menerima pekerjaan ini.”
“Wow…”
dari ketebalan ikatan itu, Priestess mengira bahwa pria ini pasti telah
mengambil semua quest goblin yang tersisa. Priestess menahan senyum yang
tersirat di wajahnya, memaksa dirinya untuk focus pada kalimat pada kertas itu.
‘Mulai dari membasmi tikus
atau semacamnya,’ hehe!
Tidak
aka nada quest membasmi goblin yang tersisa, walaupun anak-anak itu ingin
mengambilnya. Priestess tidak mengetahui apakah ini di sengaja oleh pria itu
atau tidak. Ya ampun!
“Bagaimana?”
Dalam
konteks ini, itu berarti, Aku akan pergi,
bagaimana dengan kalian?
Priestess
telah menerima ini semua sebagai bagian dari kebiasaan Goblin Slayer yang
tampaknya tidak akan pernah berubah. Priestess menghela dan menggeleng
kepalanya. “Kamu sendiri bagaimana. Kamu tahu aku akan pergi—itulah kenapa aku
di sini.”
“Hrk…”
“Kamu
bakal pergi sendiri kalau kami biarkan,” Priestess menambahkan. “Dan kami nggak
akan membiarkannya.”
“Seseorang
bisa saja bersikap cuek tentang apa yang di pikirkan orang lain, Orcbolg,” High
Elf Archer berkata, mengendus kesal. “Tapi apa kamu nggak merasa kesal, orang
lain membicarakan kamu seperti itu?”
“Nggak.”
Goblin Slayer berkata pendek. Dia menggelengkan kepala berhelmnya. “Aku nggak
begitu mengerti apa yang mereka harapkan dari aku.”
“Itu
baru temanku, Beardcutter. Goblin kalau begitu!”
“Tidak
di ragukan lagi.” Lizard Priest berkata, memberikan Goblin Slayer tepukan riang
dengan ekor besarnya. Dwarf Shaman tertawa terbahak-bahak.
Sekarang
telah jelas bagaimana bertepuk sebelah tangannya opini High Elf Archer. “Ya
sudah, siapa yang peduli?” dia berkata, berputar dan mulai mengambek.
“Sudah,
sudah,” Priestess berkata menenangkan, dan kemudian dia memutar perhatiannya
untuk memeriksa cepat perlengkapannya.
Peralatan, cek, barang, cek,
persediaan pangan, cek. Nggak lupa perkakas petualang. Dan baju ganti.
“Baiklah.
Aku rasa aku siap untuk pergi.”
“Kalau
begitu ayo pergi.”
Seorang
warrior manusia, seorang elf ranger, dwarf pembaca mantra, cleric manusia, dan
seorang monk lizardman.
Kelima
petualang, berbeda ras, kelas, dan kelamin, meninggalkan Guild di belakang
mereka.
Sebuah party petualang yang
juga rekan perjalanan.
Seraya
ucapan itu terlintas di benak Priestess, dia sedikit memperlambat langkahnya.
Bahkan walaupun dia berjalan dengan pelan, dia dapat merasakan kedekatan yang
aneh bersama orang-orang ini.
“Hei!
Minggir kalau kamu nggak mau terluka!”
“Eek?!”
Seorang
bocah berlari melewati mereka, mendorong Priestess ke samping, jubahnya
terbuka, menunjukkan sebuah tongkat besar di tangannya—bocah itu pastilah
seorang wizard.
Priestess,
terjatuh setelah terdorong, merasakan tangan Goblin Slayer yang menangkapnya.
“Te-terima
kasih. Maaf.”
“Nggak
masalah.”
Priestess
meluruskan topinya. Goblin Slayer mulai berjalan menjauh seolah kejadian itu
tidak menarik perhatiannya sama sekali. Akan tetapi, Dwarf Shaman tidak sesabar
itu, mengepal tangannya dan berteriak kepada bocah itu, “Hei, hati-hati kalau
jalan!”
“Persetan!
Itu salah dia sendiri karena berdiri melamun di tengah jalan! Lain kali biar
Fireball-ku yang berbicara!” Bocah itu tidak berhenti berlari menuju Guild
seraya dia berteriak membalas.
“Grr…Anak
kecil jaman sekarang.” Dwarf Shaman menggerutu.
“Udh
merasa tua kek?” High Elf Archer bertanya.
“Bukannya
kamu lebih tua dari aku!” sang shaman menyipitkan matanya dan melotot pada sang
archer. Lebih tepatnya dia melotot pada dada kecilnya yang di lapisi pakaian
berburu. “Apa seharusnya kamu memakai sesuatu yang cocok dengan usiamu, papan?”
“A-apa—kamu—gentung!”
Wajah High Elf Archer menjadi merah dan telinganya menengang.
Perdebatan
yang biasa telah membawa senyum kembali ke wajah Priestess. Namun…
Priestess
melirik kembali mengarah Guild Petualang. Bangunan besar itu masih terlihat
jelas walaupun dengan ramainya kerumunan orang di luar.
“Dengan
banyaknya pendatang baru, tentu saja akan ada beberapa dari mereka yang
mempunyai sikap kasar.” Lizard Priest menoleh kepada Priestess. “Apa ada yang
salah?”
“Oh,
uh, nggak.” Priestess berkata, mengayunkan tangannya untuk menepis
pertanyaannya. “Nggak apa-apa.” Kemudian dia menatap ke depan kembali.
Terus
berjalan. Ikuti rekanmu. Tetap bersama partymu.
Dia
bergegas mengikuti yang lain, namun dia tidak dapat membuyarkan wajah pembaca
mantra berambut merah itu dari pikirannya.
Mungkin aku cuma
berimajinasi saja, tapi…dia kelihatannya nggak asing.
*****
“ORAGARARA?!”
“Tujuh
goblin di depan kita! —Enam sekarang!” Sebuah suara menggema di dalam gua, di
ikuti dengan jeritan seekor goblin. High Elf Archer melepaskan panah seraya
mereka berlari di dalam lorong gelap dan sempit.
Masing-masing
dari party mereka melompati sebuah mayat goblin, yang tewas tertembus panah di
matanya, dan mereka terus berlari.
“Bagus.”
Goblin Slayer bergumam. Seraya dia memimpin mereka, dia membalik genggaman
pedang di tangannya hingga terbalik kemudian melemparkannya dengan satu
gerakan.
“GRAB?!”
“GRROB!
GRARB!!”
Pedang
itu menancap pada tenggorokan goblin, menyebabkan makhluk itu tersedak dengan
darahnya sendiri. Di sampingnya, salah satu rekannya yang menggenggam sebuah
pedang berkarat tertawa; Dasar petualang bodoh. Melempar senjata mereka
sendiri!
Pedang
goblin berkelip sinar obor Goblin Slayer. Monster itu memberikan sebuah
teriakan dan melompat ke depan.
“GRAAARBROOR!!”
“Hmph.”
Goblin
Slayer memblokir pedang goblin dengan perisainya. Dengan cepat dia mengantarkan
obor pada tangan kanannya menuju kepala sang monster.
“GRAB?!”
Sebuah
jeritan terdengar. Rasa sakit dari hidung yang patah masuk menusuk otak, rasa sakit
dari wajah yang terbakar denagn api. Kematian goblin itu jauh lebih ringan di
banding dengan kematian orang lain yang telah goblin itu bunuh sepanjang
hidupnya.
“Dua,
tiga.”
Menendang
mayat baru itu ke samping, mengambil pedangnya, dan terus berjalan.
Empat
lagi, atau lebih tepatnya—
“KREEEEEEYYAAHHHH!!”
Dari
samping Goblin Slayer datanglah teriakan Lizard Priest dan doanya. Bahkan
seraya dia berteriak, dia mengayunkan pedang taringnya dengan kekuatan yang
luar biasa, menghancurkan goblin di depannya. Tidak ada goblin yang dapat
bertahan hidup setelah mendapatkan tebasan pada batang tenggorokannya.
“GROAROROB?!”
“Empat.
Tiga lagi.”
Goblin
Slayer membiarkan Lizard Priest menyelesaikan goblin itu; dia telah menemukan
musuh lainnya. Jauh di dalam kegelapan pada ujung terowongan, sesuatu yang samar memantulkan cahaya obornya. Tanpa
keraguan, Goblin Slayer mengangkat perisainya ke depan wajahnya.
Beberapa
bunyi twang datar terdengar, dan
beberapa objet terbang melintasi kegelapan. Dengan cepat Goblin Slayer
merasakan sebuah benturan pada lengan kirinya seolah terhantam sesuatu. Dia
menjentikan lidahnya.
“GRORB!”
“GRAROROBR!”
Goblin
Slayer tidak perlu melihat untuk mengetahui apa yang membenturnya: adalah
sebuah panah yang tertancap pada perisainya. Dua tertantap pada perisainya,
sedangkan satu panah terbang melewati kepala Goblin Slayer dan menuju partynya,
walaupun Lizard Priest telah berhasil menangkis panah ketiga. Sangatlah jelas
bahwa terdapat goblin archer yang bersembunyi dalam kegelapan.
Musuh
bersenjatakan dengan busur silang patut di takuti, namun untungnya,
makhluk-makhluk ini hanya membawa busur biasa. (TL Note : Busur silang =
Crossbow https://id.wikipedia.org/wiki/Busur_silang
)
“Tsk…”
Goblin Slayer menjentikan lidahnya terlambat menyadari ini. Kemudian dengan
santai dia menggenggam panah itu dan menariknya. Tampaknya dia tidak
mempedulikan kerusakan yang terjadi pada perlengkapannya sendiri jika mencabut
panah itu. Dan dia hanya berfokus kepada kegelapan, sebuah cairan tidak di
ketahui menetes dari mata panahnya.
“Racun!”
Dia berteriak kemudian membuang panahnya.
Sebuah
jawaban terdengar dari belakangnya. “Serahkan padaku!” High Elf Archer sudah
menarik busurnya. Suara akan benang yang di tarik hampir terdengar seperti
musik seraya dia melepaskan tembakannya, menembus tenggorokan seekor goblin
archer. Menantang seorang elf dalam kontes memanah merupakan tindakan yang
sangat bodoh. Dengan begitu mayat goblin menjadi lima.
“Enam!”
Goblin Slayer telah berlari menerjang terowongan, membuat kontak dengan musuh.
Dengan mudah dia berhasil menancapkan sebuah pedang pada leher goblin yang
meraung. Dia menendang mayat itu menjauh, membebaskan pedangnya, kemudian
mengangkat perisainya untuk bertahan seraya dia mengambil langkah mundur dari
musuh lainnya yang mendekat.
“Hrrrooooooh!!
Lizard Priest melompat denagn pedangnya, menebas makhluk-makhluk itu hingga
tujuh goblin tergeletak di tanah.
Untuk
beberapa saat, satu-satunya suara yang terdengar di dalam terowongan yang gelap
dan bau adalah suara napas yang meninggi dari kelimat anggota party.
“A-apa
sudah—semuanya?” Priestess bertanya, mencoba mengatur napasnya.
“Kemungkinan.”
Goblin Slayer berakta, membuang obornya. Obor itu telah terbakar habis hingga
ke panggkalnya, mungkin sebagian di karenakan betapa kasarnya obor itu di
gunakan.
Tiga
dari anggota party mereka dapat melihat di dalam kegelapan, namun itu bukan
berarti mereka harus pergi tanpa adanya sumber cahaya.
“Oh,
pak Goblin Slayer, ini…” Ketika priestess melihatnya mengeluarkan obor baru
dari dalam tasnya, Priestess dengan cepat menyediakan batu api.
“Terima
kasih.”
“Nggak
masalah.” Priestess menjawab dengan sedikit senyuman. Dia membuat beberapa
percikan dengan abut api, menghela napas seraya percikan itu menyalakan obor.
Dia
mengambil kesempatan ini untuk melihat sekelilingnya. Gua batu ini sangat
sempit, dan aroma akan darah dan jeroan bergabung dengan aroma busuk yang
merupakan ciri khas dari sarang goblin.
“Ugh…”
Benar,
Priestess sudah terbiasa dengan semua ini, namun itu bukan berarti dia
menyukainya. High Elf Archer menutup hidungnya dan terlihat muram. Walaupun
begitu, dia terus memegang busur pada satu tangannya, dan telinga panjangnya
mendengarkan segalannya yang ada di sekitar mereka.
“Aku
tahu kita sudah berjalan cukup dalam, tapi apa kita masih belum sampai ke
permukaan?”
“Apa
yang akan kita lakukan? Jumlah mereka terus bertambah…”
Suara
mereka terdengar lelah. Priestess menawarkan sebuah air kepada High Elf Archer,
yang menerimanya dengan syukur dan meneguknya.
Mereka
telah memasuki gua ini dari sebuah sungai yang berada di dekat desa. Mereka
sedang berusaha mencari jalan keluarnya, akan tetapi mereka merasa tidak ada
kemajuan sama sekali.
Jawaban
dari pertanyaan High Elf Archer sudah semakin mendekat.
“GROOORORB!”
“GRAAARB!
GROB! GRORRB!!”
Suara
hina menggema di dalam gua. Gua ini bagaikan sebuah sarang semut; adalah
neraka, labirin, penuh lika-liku. Goblin yang tidak ada habisnya sangatlah
cukup untuk mematahkan semangat petualang pemula manapun.
Party
mereka telah berjalan tanpa istirahat selama kurang lebih beberapa jam. Enam
atau tujuh goblin yang baru saja mereka hitung adalah grup goblin yang
baru-baru saja mereka temui. Berapa banyak goblin yang telah mereka musnahkan
secara keseluruhan? Lusin. Berlusin-lusin.
“….Masih
ada yang datang.” Kulit pucat alami Priestess menjadi semakin pucat seraya
darah terkuras dari wajahnya; dia menggigit bibirnya. Tangannya, menggenggam
tongkatnya dengan begitu erat.
“Apa
kamu bisa bertarung?” Goblin Slayer bertanya dengan tenang.
“I…iya.”
Priestess menjawab, mengangguk. Walaupun Priestess menjawab Aku nggak bisa, tidak akan ada yang
berubah…namun tetap saja, sangatlah menenangkan bagi Priestess mengetahui bahwa
setidaknya pria itu berkenan bertanya kepadanya.
Dia
menarik napas dan menghembuskannya kembali. Jarinya terasa seperti bukan
mliknya seraya dia melonggarkannya dan mengatur kembali genggamannya.
“Sungguh
beruntung adalah kita yang menerima quest ini.” Lizard Priest berkata,
memperhatikan Priestess seraya dia mengelap darah dari pedang taringnya.
Langkah
tidak teratur dari para goblin semakin mendekat. Suara itu menggema dari dalam
kegelapan, sempit terowongan ini, seolah ingin menelan para petualang.
“Dan
ada berapakah musuh yang akan kita hadapi kali ini?”
“Nggak
lebih dari tiga puluh menurutku,” High Elf Archer berkata, mengepakkan
telinganya. “Tapi nggak kurang dari sepuluh.”
“Jika
begitu mari kita anggap dua puluh,” Lizard Priest berkata “Pembasmian goblin
biasanya di anggap sebagai pekerjaan untuk pemula, namun dengan jumlah para
goblin ini, tentunya para pemula tidak akan sanggup.”
Walaupun
begitu, jumlah party mereka hanyalah berjumlah lima orang. Lizard Priest
membuat suara menggerutu yang rendah dari tenggorokannya, menjulurkan lehernya
untuk melihat ke bawah terowongan. Dia menepuk ekornya pada lantai. Berpikir
apakah tepat untuk memanggil Dragontooth warrior atau tidak? Untuk memakai
mantra atau tidak? Adalah sebuah pertimbangan yang patut di pikirkan.
“Hrm.
Yah, ini bakal merepotkan.” Dwarf Shaman menggerutu, meletakkan sebuah beban
pada punggungnya. Adalah seorang wanita muda, yang kotor, penuh dengan luka,
dan tidak sadarkan diri. Dwarf Shaman menyandarkan gadis itu pada sebuah
dinding seraya dia berkata, “Kita harus memastikan dia tetap aman juga.”
Ini
adalah, bagaimana semuanya biasanya berjalan. Namun semua hal biasa ini adalah
yang dapat membinasakan kehidupan banyak orang.
Pada
dasarnya, ini adalah yang terjadih: Beberapa goblin telah membuat sarang di
dekat sebuah desa. Para pemuda telah bersiap siaga, namun para wanita
muda—sedang mengumpulkan tanaman herba atau mengembala domba—telah di culik.
Dan desa mereka sangat ingin goblin ini di basmi.
Pergilah
ke empat pelosok dunia, dan kamu akan mendengarkan cerita yang sama. Goblin
adalah sebuah masalah yang berada di manapun dan kapanpun.
Dalam
kasus ini, kejadian ini terjadi di sebuah desa di pinggir sungai yang di tuju
Goblin Slayer, korban mereka adalah anak perempuan seorang nelayan. Sangatlah
sulit untuk mengatakan apakah gadis itu beruntung atau tidak: menggunakan
tongkat panjang untuk mengarahkan perahu maju dan mundur di sungai setiap hari,
gadis itu telah menjadi lebih kuat di banding dengan kebanyakan pria lainnya.
Oleh karena itu, gadis itu memiliki kekuatan untuk menahan kebrutalan dan
siksaan yang di berikan oleh para goblin. Gadis itu masih dapat menjaga
kewarasannya. Bagaimana dia dapat menjalani kehidupannya setelah ini?
“Kalau
mereka berkembang biak lebih banyak lagi, mereka dapat melakukan penyerbuan ke
permukaan dengan sangat mudah.” Penilaian Goblin Slayer sangatlah tegas: “Kita
akan membunuh semua goblin.”
Respon
apa lagi selain ini?
Ya,
ini semua adalah hal yang sangat biasa.
Paling
tidak, bagi Goblin Slayer.
“Bagaimana
menurutmu tentang keadaan ini?”
“Jika
kita berhadapan dengan mereka di terowongan yang sempit, jumlah mereka akan
menjadi tidak berarti,” Lizard Priest berkata. “Tetapi…” dia menggaruk cakarnya
pada dinding terowongan. “Jika iblis kecil itu dapat menembus dinding yang ada
di sekitar kita, maka kita tentu akan sangat kesulitan. Saya percaya jika
berpindah tempat adalah pilihan yang bijak.”
“Oke.”
Goblin Slayer berkata, memeriksa senjatanya. “Kita masih mempunyai mantra yang
tersisa kan?”
“Oh,
Iya.” Priestess adalah yang pertama menjawab. “Sepertinya ini akan menjadi
pertarungan yang panjang, jadi aku menyimpan ketiga keajaibanku.”
“Sedangkan
saya, saya hanya baru menggunakan sebuah Pedang Taring.” Itu artinya masih
tersisa tiga lagi. Goblin Slayer mengangguk. Itu sudah cukup.
“Aku
sendiri, masih punya empat.” Dwarf Shaman berkata, menghitung dengan jarinya.
Dia membuka tas dan melihat ke dalamnya, dan mengernyit. “Tapi seingatku, kamu
bilang tadi ada sekitar sepuluh tempat rawan kan?”
“Gila
juga ya?”
Menghiraukan
celotehan kecil High Elf Archer, Goblin Slayer menggelengkan kepalanya. “Kita
bisa beristirahat.”
“Bukan
itu masalahnya.”
Cleric
atau mage, keajaiban atau mantra, mengubah tatanan logika dunia adalah hal yang
sangat menguras tenaga. Setiap orang hanya dapat melakukannya beberapa kali
dalam sehari. Jika kamu bukan seorang pengguna sihir tingkat Platinum, mungkin
itulah hal terbaik yang dapat kamu harapkan. Oleh karena itu, adalah sebuah
prinsip sederhana dari petualangan untuk memberikan pengguna sihir dalam
partymu istirahat yang banyak. Mereka yang menghiraukan aturan ini dapat
menyebabkan diri mereka sendiri dalam keadaan berbahaya (walaupun setiap orang
tetap waktu pada waktunya, tidak peduli sebanyak sehatnya seorang pembaca
mantra.)
Lizard
Priest, berdiri di samping Goblin Slayer, memahami apa yang di maksud oleh
Dwarf Shaman. “Permasalahannya ada pada katalisnya bukan?”
“Betul.
Aku akan mencoba sebisaku, tapi benda sihir itu cukup—kamu tahulah.”
“Baiklah.”
Goblin Slayer mengambiil sebuah pedang berlumur dengan darah dan
membersihkannya dengan cepat memakai kain goblin. Jika dia dapat menggunakannya
untuk membunuh satu atau dua musuh dengan ini, itu akan cukup. Lagipula Musuh
Goblin Slayer akan membawa senjata mereka kepadanya. Tidak ada yang perlu di
khawatirkan.
“Kalau
begitu gunakan mantra Tunnel. Yang nggak memerlukan sebuah katalis.”
“Benar
juga. Tapi kenapa memakai—ahh, apa itu yang kamu pikirkan?” Dwarf Shaman
membelai jenggotnya, dia tidak perlu repot-repot berpikir untuk mengetahui apa
yang di inginkan Goblin Slayer. Wajahnya tersenyum.
“Bagaimanapun
juga hasilnya, Beardcutter, sepertinya kamu melimpahkannya semua ke aku, Hei
Scaly, pinjamkan tanganmu—er, pundak.” (TL Note : Disini Dwarf Shaman
mengatakan “gimme a hand—er a shoulder” yang arti sederhananya “Bantu aku” tapi
karena pada akhir kalimatnya ada “shoulder” maka saya pakai “Pinjamkan
tanganmu” supaya lebih nyambung.)
“Ha-ha.
Baik, masuk akal. Ini. Apakah punggung saya akan cukup?”
Dwarf
Shaman menghela kemudian memanjat punggung kekar Lizard Priest. Dia
mengeluarkan sebuah botol hitam dan sebuah kuas dari tasnya dan mulai
menggambar sebuah pila pada langit-langit dengan gerakan tangannya yang lincah.
High
Elf Archer masih belum memahami semuanya. Dia mengepakkan telinganya curiga dan
menggerutu seraya Dwarf Shaman menggambar.
Gambar
itu tidak bisa di terka. “Apa ini masuk akal bagimu?” Sang elf bertanya kepada
Priestess, namun gadis lainnya hanya menjawab, “Nggak juga.” Dan terlihat malu.
“Hei
Orcbolg, apa yang di lakukannya?” dia bertanya. “Beritahu kami apa yang
terjadi!”
Di
depan wajah yang memohon penjelasan, Goblin Slayer menjawab dengan datar
seperti biasanya. “Aku peringatkan kamu.” Dia berkata.
“Tentang
apa?”
“Ini
rute pelarian darurat.”
“Apanya?”
“Kita
menyelamatkan tahanannya. Sudah tidak ada lagi masalah.”
Hanya
itulah yang dia katakana, kemudian dia melempar sesuatu kepada High Elf Archer.
Bahkan di dalam kegeelapan, sang elf dapat melihat benda apa itu; dia
menangkapnya di udara.
“Aku
akan menunjukkan padamu cara untuk menggunakan…yah.”
High
Elf Archer terus tampak terlihat bingung, namun Priestess berkata. “Oh,” seolah
sedikit kecewa. “Jadi begitu.” Dia menambahkan.
Di
tangan sang archer adalah cincin untuk bernapas di bawah air.
*****
Adalah
hal yang sangat biasa bagi para goblin juga: para petualang. Makhluk tengik yang
selalu berusaha masuk ke dalam rumah para goblin tepat ketika mereka sedang
berusaha untuk bersantai.
Kali
ini mereka berjumlah lima. Dan betapa beruntungnya: dua dari mereka adalah
wanita. Mereka berdua muda, dan salah satunya adalah seorang elf.
Entah
mengapa, bau tubuh mereka tidak seperti biasanya, namun itu sudah cukup untuk membakar
birahi para goblin.
“GRAORB!”
“ORGA!”
Di
dalam lubang gelap mereka, para goblin tertawa hina dan mengobarkan harsat
kegelapan mereka.
Betapa beruntungnya kami!
Dua wanita. Kami bisa bersenang-senang sesuka kami dan juga memperbesar
keluarga kami.
Di
dalam peperangan antara mereka yang dapat berbahasa, pria adalah tahanan dan
Sandra yang paling berharga. Itu, tentu saja di karenakan mereka adalah pekerja
yang terbaik. Dengan cara yang tepat, para tahanan dapat di berikan sebuah
pekerjaan.
Akan
tetapi, bagi para goblin, hal tersebut sangatlah berbeda. Pria sangatlah
berbahaya; mereka mudah menjadi marah dan kasar, membuat para goblin takut
dengan mereka. Mereka dapat saja memotong kaki dan tangan pria itu dan
melemparkannya ke dalam penjara, namun setelah itu, hanyalah pilihan antara
memakannya atau menyiksanya yang tersisa. Begitu banyak pekerjaan dengan
sedikitnya hadiah.
Dalam
hal itu, wanita—perempuan—menawarkan hal yang cukup berbeda. Menghamili mereka
akan sangat cukup untuk mencegah mereka melarikan diri. Kamu dapat melakukan
apapun yang kamu mau dengan mereka; seorang wanita tanpa tangan dan kaki
masihlah berguna.
Dan
terlebih lagi, wanita itu menyenangkan. Mereka sangat berharga. Dan mereka juga
dapat membuat goblin lebih banyak lagi. Semua nilai ini dalam satu kemasan
wanita.
Jika
kamu sudah bosan dengan mereka, atau mereka mati, maka kamu dapat memakan
mereka. Jauh lebih berguna di banding dengan pria.
“GROB!
GROAB!”
“GROOORB!”
Para
goblin berteriak bersama seraya mereka berjalan melewati tanah yang lembek
dengan keinginan jahat tertinggi.
Berikan
gadis kecil itu satu atau dua pukulan, tentunya dia akan mulai menjadi penurut.
Sang elf itu terlihat sedikit lebih tangguh. Mungkin, akan lebih baik jika di
mulai dengan mematahkan kakinya.
Tidak,
tidak. Menghancurkan jarinya agar dia tidak dapat menggunakan busurnya lagi.
Itu adalah yang terbaik.
Sedangkan
yang gemuk, sang dwarf. Sepertinya dia dapat menjadi bahan makanan selama
berhari-hari. Daging perut yang gemuk dan lezat.
Cabut
sisik dari lizardman itu. Jahit menjadi satu dengan benang dan sisik itu akan
menjadi armor yang bagus. Tulang, cakar, dan taringnya akan sempurna untuk
menjadi sebuah tombak juga.
Dan
kemudian manusia berarmor itu. Semua yang dia bawa, pedang, perisai, dan semua
perlengkapannya, tampak terlihat seperti buatan para goblin.
Betapa
bodohnya petualang-petualang ini!
Tidak
sekalipun terlintas di pikiran mereka bahwa mereka akan terkalahkan.
Goblin
tidak memiliki kekuatan, kecuali jumlah mereka. Mereka memahami itu secara
insting; itu yang membuat para goblin, goblin. Jika mereka di berikan sedikit
saja kecerdasan, tidak di ragukan mereka akan punah sejak dahulu kala.
Pada
akhirnya, mereka merasakan dinding tanah yang mulai berubah. Mereka
mendengarkan dengan seksama; mereka dapat mendengar suara yang samar.
Inilah
tempatnya.
Para
goblin melihat satu sama lain dan mengangguk. Senyum buruk rupa tersirat di
wajah mereka.
Mereka
semua memiliki senjata pada tangan mereka—benda yang sama yang mereka gunakan
untuk menggali tanah. Kebanyakan dari senjata mereka terbuat dari tulang atau
batu atau cabang, walaupun sebagian dari benda terdapat sebuah sekop yang
berhasil mereka curi.
Strategi
tidak memainkan peranan kali ini. Sementara rekan mereka terbunuh, mereka akan
membuat serangan kejutan dan membantai musuh mereka.
Para
petualang tolol ini tampaknya sedang merencanakan sesuatu, namun para goblin
tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Makhluk-makhluk ini benar-benar sudah
melupakan apa yang telah mereka lakukan kepada anak perempuan kapten nelayan
itu. Yang ada di pikiran mereka saat ini
hanyalah kemurkaan yang mereka rasakan atas dua puluh rekan mereka yang terbunuh.
Mereka akan membayar semua
ini karena sudah memporak-porandakan ruma kami!
Bunuh! Perkosa! Curi!
“GOROROB!!”
“GRAB!
ORGRAAROB!!”
Dengan
seruan bersama, para gerombolan goblin menerobos melewati dinding dan melompat.
Gelombang goblin menerjang para petualang.
“Bodoh.”
Tepat
pada saat itu, sebuah scroll di lepaskan, dan gelombang yang sesungguhnya
datang menghajar goblin dan menelan mereka hidup=hidup.
*****
Sebuah
getaran dahsyat terdengar di bawah tanah, dan sebuah pilar putih menyembur di
lahan.
Tidak—adalah
aroma akan garam yang datang bersama dengan aroma musim semi yang membuatnya
jelas bahwa ini adalah air laut, yang di panggil dari dalam dasar lautan.
Semburan
air itu semakin naik di dalam terowongan hingga ke permukaan—dan, tentu saja,
membawa para petualang bersamanya.
“Ahhhh?!
Aku benci ini! Aku benci, aku benci, aku benci!!”
“Ha!
Ha! Ha! Ha! Ha! Puji Tuhan, ini benar-benar sesuatu!”
Jeritan
High Elf Archer dapat terdengar bersamaan dengan tawa riang dari Lizard Priest.
Telinganya menegang ke belakang, dan matanya tertutup rapat; dia sudah
benar-benar melupakan kehormatannya sebagai seorang High Elf. Bahkan tidak
berlebihan jika kehormatannya telah terbuang dari dirinya….
“Saya
rasa ini dapat di pahami.”
“Bagaimana
bisa kamu begitu tenang?!”
“Masyarakat
kami mengajarkan bahwa kami adalah saudara jauh dari para burung.” Lizard
Priest menjawab.
Walaupun
begitu—bernapas adalah satu hal, namun jatuh ke bawah setelah terlempar di
udara? Sebuah luka tentunya akan terjadi. Jika Ibunda Bumi memang maha
pengasih, luka ini mungkin saja tidak berbahaya.
“Ki—kita
jatuh! Aku jatuh! Cepat…!” Priestess memohon dari dalam lubuk hatinya, bahkan
seraya dia mencoba menahan roknya agar tidak tertiup oleh angin.
Kalau saja kita mempunyai
keajaiban untuk membuat tanah menjadi lembek dan lembut—nggak adil!
Ini
adalah pikiran yang tidak semestinya melintas di kepala Priestess, dan angin
membawa terbang air matanya.
“Baiklah!
Serahkan padaku!”
Untungnya aku tahu ini akan
terjadi.
Dwarf
Shaman, tampak tenang dan dengan gadis tahanan pada punggungnya, mulai membaca
sebuah mantra rumit seraya mereka melambung di udara.
“Keluarlah kalian, gnome,
Dan lepaskan! Ini dia, lihat di bawahmu! Putar balikkan semua ember
itu—kosongkan semua yang ada di tanah!”
Dan
parah petualang, yang hampir saja terlihat akan menghantam pada tanah,
mengambang secara perlahan menuju permukaan seperti sehelai bulu. Priestess
menghela, merasa lega karena telah berhasil terhindar menjadi gumpalan daging
di tanah.
“Se—sekarang
sudah nggak apa-apa kan?” Priestess berkata bimbang.
“Tentu
saja ini apa-apa!” High Elf Archer berteriak. “Ini benar-benar nggak oke sama
sekali! Aku nggak tahu apa aku bisa membuka mataku lagi!” Telinganya bergetar
dengan hebat, di iringi dengan kepalanya yang juga bergetar.
“Memang
benar, Falling Control bagus untuk pergi ke atas atau ke bawah,” Dwarf Shaman
berakta. (Walaupun mantra ini sebenarnya di tujukan untuk meraih tempat yang
tinggi, atau ketika terjebak di dalam sebuah lubang.) “Tapi Beardcutter, bagaimana
kamu bisa selamat kalau kamu belum bertemu dengan kami?”
“Aku
mengikat tubuhku, dan ketika aku sudah di bawah air, aku jalan.”
“Apaan
itu!” sang dwarf mengejek.
“Untuk
kali ini, sudah nggak ada waktu.”
Lirikan
curiga Dwarf Shaman tidak mengusik Goblin Slayer sama sekali. Gravitasi secara
perlahan membawa party mereka kembali menyentuh tanah.
Ledakan
akan air laut itu telah mengubah daerah sekitar mereka menjadi lumpur, dan
aroma garam di udara terasa begitu aneh. Akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum
garam itu telah benar-benar terserap oleh tanah dan lahan ini akan menjadi
bagus untuk menjadi lahan pertanaman.
“Oh,
yang…. Seharusnya aku membawa baju ganti,” Priestess menghela, secara hati-hati
menjaga kakinya untuk tidak tersangkut di dalam lumpur. Dia mengangkat kain
roknya , yang sekarang telah menjadi basah dan memerasnya. Hal itu menyebabkan
kakinya yang pucat terpapar hingga pahanya, namun terdapat banyak hal yang jauh
lebih penting di bandingkan rasa malu.
“Oh,
tapi…jangan melihat ke sini oke?”
“Baik.”
Goblin
Slayer, tentu saja, tidak sedikitpun melirik mengarah Priestess, dan akan
bohong jika mengatakan itu tidak membuat
Priestess sedikit kesal.
“Tentu
saja kamu nggak akan melirik,” Priestess bergumam, dan kemudian dengan
dengusan, dia menarik lapisan atas pakaiannya. Tidak hal lain yang dapat di
lakukan—jika tidak di lakukan, air laut akan membuat baju besinya berkarat.
“Oh,
ah, g-grr…nggak! Nggak! Ini di larang. Nggak boleh. Aku nggak akan pernah
membiarkannya melakukan ini lagi…” High Elf Archer telah kembali menjadi
dirinya sendiri. Priestess melirik pada sang elf. Seingat Priestess, High Elf
Archer sama sekali tidak memiliki perlengkapan yang mengandung metal.
Jadi seharusnya dia
baik-baik saja kan?
Lagipula
Priestess belum mendapatkan anugrah keajaiban Calming, tidak baik untuk terlalu
berlebihan dalam penggunaan bantuan supernatural. Dengan waktu yang cukup, High
Elf Archer akan tenang dengan sendirinya. Dan itu adalah hasil yang terbaik.
Dengan
itu, Priestess memutuskan untuk membiarkan High Elf Archer tenang dengan
sendirinya. Mentari musim semi telah terbit; tentunya ini akan dapat
menenangkannya.
“Baiklah,
kalau begitu…” Ketika Priestess meluhat ke belakang pada Goblin Slayer, pria
itu sedang kembali melakukan pekerjaannya. Membunuh goblin.
Seraya
efek dari Tunnel telah memudar, lubang kembali terisi kembali dengan tanah. Air
laut secara perlahan akan masuk ke dalam mulut gua, dan para goblin akan
kebanjiran.
Tepat seperti yang di
inginkan para petualang.
Goblin
Slayer mengencangkan genggamannya pada pedangnya, yang tidak pernah dia
lepaskan walaupun di tengah-tengah semburan kuat itu. Dia melangkah di antara
lumpur, bergerak maju dengan pasti.
Beberapa
goblin, yang telah terlempar dari gua bersama dengan mereka kini terbaring di
tanah.
“Hmph.”
“ORGAR?!”
Satu.
Tanpa ragu, Goblin Slayer menancapkan pedangnya menembus otaknya. Makhluk itu
menjerit dan kejang-kejang. Goblin Slayer mengoyak pedangnya, dan ketika dia
telah yakin goblin tersebut tidak bergerak, dia menarik kembali pedangnya.
“Oh-ho.
Masih hidup ya?” Lizard Priest berkata.
“Keberuntungan
dari dadu,” Goblin Slayer menjawab.
Terkadang memang terjadi, Dia
menambahkan pada dirinya sendiri, dan melanjutkan kembali pekerjaannya tanpa
berkata-kata.
Ketika
dia menemukan seekor goblin, dia menusuknya dengan pedangnya. Dia memeriksanya
untuk memastikan bahwa makhluk itu benar telah mati, dan jika belum, dia akan
menunggunya hingga mati.
Tidak
lama bagi pedangnya untuk menjadi tumpul, karena itu dia membuangnya. Lagipula,
terdapat banyak sekali senjata di sini. Dia mengambil sebuah pentungan dari
seekor goblin, dan sebagai rasa terima kasihnya, dia menghancurkan tengkorak
goblin itu.
Kebanyakan
dari para goblin telah mati. Namun satu atau dua masih dapat di temukan hidup.
Hanyalah sebuah kemungkinan. Akan tetapi, Goblin Slayer tidak mempunyai niatan
untuk mengacuhkannya.
“Kalau
amarahnya sudah meredam, bersihkan perlengkapan dia dan kita akan bergerak
kembali ke rencana berikutnya.”
“Oke.”
Dwarf Shaman membuka tutup botol fire winenya. “Puji Tuhan. Ini pasti hari
terburuk seumur hidup para goblin ini.”
Ini , Telinga Panjang. Dwarf
Shaman memaksakan sedikit alkohol untuk masuk ke dalam tenggorokan High Elf
Archer,untuk meredamkan amarahnya, yang di mana sang elf membalas dengan
jeritan. Telinganya menegang ke belakang, wajahnya memerah, dan dengan cepat
dia mulai memberikan bacotan pada sang dwarf.
Goblin
Slayer benar-benar menghiraukan keributan rekannya, namun dia bergumam, “Itu
nggak sepenuhnya benar.”
0 Comments
Posting Komentar