BOCAH WIZARD BERAMBUT MERAH
(Translater : Zerard)
“Saya
tidak tahu. Saya rasa itu terlalu berlelbihan untuk satu orang…”
“Oh
yeah? Aku tahu ceritanya. Seperti bagaimana pahlawan kedua bertarung dengan
Demon Lord seorang diri beberapa tahun yang lalu!”l
“Benar,
tapi mereka tingkat Platinum. Saya rasa kamu lebih baik mulai membuat atau
mencari party.”
“Nggak
ada petualang hidup yang bisa menerima bantuanku.”
“……….Hmmmm
ini jadi cukup sulit.”
Gadis
Guild duduk di belakang meja resepsionis dari bangunan Guild yang saat ini
sedang kosong, dan sedang memutar kepangnya.
Matahari
telah lama terbenam, dan tidak ada petualang yang terlihat. Siapapun yang belum
pergi berpetualang tentunya sedang tidur ataupun menikmati hari libur. Gadis
Guild adalah satu-satunya pegawai yang masih berada di sana.
Dalam
keadaan biasa, Gadis Guild dapat—dan mungkin seharusnya—mengusir bocah
petualang yang berdiri di sana yang mencari sebuah quest.
“…Saya
rasa tidak ada lagi yang bisa di lakukan.” Gadis Guild berkata.
Kenapa aku bertingkah
seperti ini?
Gadis
Guild berdiri dari kursinya dengan helaan napas.
“Saya
akan membuat teh.” Dia memberikan sebuah kedipan dan berputar menuju ruang
persediaan di belakang. “Lagipula, aku juga lagi menunggu.”
*****
Malam
telah tiba ketika Goblin Slayer dan yang lainnya melewati gerbang kota
perbatasan.
Cahaya
telah berhenti menyinari jalanan yang sekarang kosong, satu-satunya pencahayaan
adalah bilan dan bintang.
“…Oh,
uh, ah, ki-kita sampai…?”
“Iya
Telinga Panjang, kita sampai.”
Nona
Cleric, Tampaknya kita telah sampai.”
“Hmm…
Ughh…”
Mereka
benar-benar terlihat lelah. Telinga High Elf Archer melemas terjatuh.
Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah menahan kelopak matanya agar tidak
tertutup.
Sedangkan
untuk Priestess, dia sudah tertidur beberapa kali selama perjalanannya di atas
punggung Lizard Priest.
Ketiga
pria, berlumuran dengan darah, keringat, dan lumpur dari pertarungan, saling
bertukar pandang dan mengangguk.
“Mungkinkah
saya dapat mempercayakan nona cleric kita kepada anda, tuanku Goblin Slayer?”
“Ya.
Bagaimana dengan archer kita?”
“Serahkan
padaku. Ayolah Telinga Panjang, tahan sedikit.”
“Mmph…
Ngantuk banget… Aku mau…rebahan bentar…”
“Tunggu
sampai kamu sampai kamarmu dulu. Tengah jalan bukan tempat untuk tidur.”
Dwarf
Shaman mengerahkan tubuhnya yang kecil untuk membantu sang elf berdiri.
Mereka
sedang menuju lantai kedua dari Aula Guild yang juga berperang sebagai
penginapan. Sungguh langka bagi para petualang untuk mempunyai rumanya sendiri.
Kebanyakan dari mereka tinggal di sebuah penginapan atau menyewa ruangan di
Guild.
“Jika
begitu sampai berjumpa besok.” Lizard Priest berkata dengan gerakan tangannya
yang aneh.
“Baik.”
Goblin Slayer mengangguk.
Sang
kadal raksasa itu berjalan mengikuti rekannya, sang gadis priestess sekarang berada
di punggung Lizard Priest.
“…Oh
Selamat…selamat…ma…lam,” Dia berkata pelan seperti sebuah bisikan. Goblin
Slayer menggelengkan kepalanya.
“Hrm.”
Rekan.
Ucapan
itu keluar dengan tiba-tiba dari pikirannya. Dia tidak membenci kata itu.
Dia
tidak mengenal orang-orang ini setahun yang lalu. Dia hampir tidak mempercayai
bahwa dia sudah mengenal mereka selama satu tahun penuh.
Apa
yang akan di lakukan oleh dirinya yang lama di saat seperti ini?
Bagaimana
dengan perlengkapannya? Strateginya? Waktunya? Persediaannya? Apa yang akan
terjadi dengan itu semua jika mereka tidak ada di sini?
Tanpa
mereka, berbagai macam pilihan Goblin Slayer akan sangat terbatasi.
Tak
di sangka semua akan sangat berbeda.
Adalah
pikiran itu yang mengambang di kepalanya seraya dia membuka pintu Guild.
“Erk…”
Sesuatu
tidak terasa benar.
Cahaya.
Para
pegawai seharusnya telah pulang sekarang, namun dia tetap kembali ke sini untuk
membuat laporan.
Goblin?
Secara
reflek, Goblin Slayer menarik sebuah golok yang dia masukkan ke dalam sarung
pedangnya. Dia menunduk mengambil postur rendah dan berjalan masuk ke dalam
bangunan hampir tanpa suara. Pintu tertutup di belakangnya.
Hampirlah
komikal, namun Goblin Slayer tidak menganggapnya seperti itu. Siapa yang tahu
jika bisa saja para goblin muncul di kota?
Tatapan
Goblin Slayer terpaku pada sebuah bangku yang berada di ruang tunggu, dia
tertarik ke sana di karenakan dia mengira telah melihat sebuah gerakan dari
sebuah sosok yang meringkuk di bangku.
Tidak—itu
bukanlah khayalannya.
Seseuatu
menggeliat di sana; hampir tampak seperti manusia yang tertutup selimut.
Goblin
Slayer mengambil langkah ke depan, menyebabkan sebuah decitan dari lantai.
“hr…
Hrn?”
Kemudian,
selimut di tarik, dan sebuat sosok secara perlahan duduk tegak.
Sosok
itu menggosok matanya dan menguap kecil. Adalah seorang bocah dengan rambut
merah.
Seraya
dia duduk tegak, dia menyenggol tongkatnya, yang sedang bersandar di bangku,
tongkat itu terjatuh ke lantai.
“…H-hey,
mbak…Lima menit lagi—Huh?”
Dia
mengedipkan matanya yang mengantuk dan melihat sosok yang berada di depannya.
Kini matanya terbuka lebar, dia dapat melihat Goblin Slayer yang berdiri di
kegelapan.
Apa
yang dia lihat adalah seorang pria yang berlumur dengan lumpur dan darah,
sebuah helm yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor dengan golok
berkarat di tangannya.
“Ah.”
Mulut bocah itu berucap, kemudian berubah menjadi jeritan. “Eeeeeeyaaaaahhh!”
“Hrm…”
Huh. Jadi bukan goblin.
Hanya
itulah pikiran yang menggema di kepala Goblin Slayer.
“Eek?!”
Pada saat yang sama, Gadis Guild memberikan teriakan kecil, dan terdengar suara
kursi yang terjatuh. Goblin Slayer menoleh untuk melihat apa yang membuat Gadis
Guild berlari ke dalam ruangan ini.
“Oh,
uh, ah! Pa-pak Goblin Slayer?! Saya tidak tertidur, sungguh saya tidak
tertidur!”
Dengan
terburu-buru di merluruskan rambutnya, merapikan bagian kusut pada pakaiannya,
dan tersipu malu sebelum terbatuk kecil. Akan tetapi, senuumnya, bukanlah
senyum tempel yang biasa dia gunakan, melainkan senyum murni yang begitu indah.
“Ahem.
Kerja bagus hari ini.”
Goblin
Slayer melemaskan jarinya satu persatu hingga akhirnya dia melepaskan goloknya.
*****
Tanpa
suara, Goblin Slayer mengambil sebuah cangkir teh yang di tawarkan dan meminum
isinya dengan sekali teguk.
Dia
bahkan mungkin tidak merasakan rasa dari teh itu, jika meminumnya seperti
itu—namun Gadis Guild tersenyum.
Gadis
Guild menjalani rutinitas kesehariannya: menyiapkan beberapa kertas, mengikis
ujung dari pena, membukan tutup tinta, dan siap untuk mencatat.
“Jadi
bagaimana? Apakah ada banyak dari mereka kali ini?”
“Ya,”
Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Ada goblin.”
“Berapa
banyak?” Gadis Guild bertanya, penanya berdansa di atas kertas. “Oh, dan tolong
jabarkan mereka sesuai dengan questnya ya.”
“Tiga
puluh empat untuk quest pertama.”
Tiba-tiba
dia terdiam. Gadis Guild berhenti dan mendengak ke atas melihatnya, dan Goblin
Slayer menambahkan dengan pelan, “dan sepuluh atau kurang sudah hilang.”
“Hilang?”
“Kami
masuk ke dalam, menyelamatkan tahanan, dan membanjiri sarangnya. Aku sudah
memastikan adanya tiga puluh mayat. Aku rasa nggak mungkin ada lebih dari
sepuluh yang masih tersisa.”
“Ah…”
Gadis
Guild tertawa kecil, pipinya melembut menjadi sebuah senyuman. Ini bukanlah
karena dia menyerah dengan quest yang di lakukannya—ini hanyalah sesuatu yang
tidak dapat di hindari. Malah, Gadis Guild secara diam-diam merasa senang
melihat pria ini masih seperti dirinya yang biasa.
“Dan
bagaimana dengan quest keduanya?”
“Ada
goblin,” dia melaporkan. “Dua puluh tiga dari mereka…”
Dan
berlanjutlah, percakapan mekanikal tentang membasmi goblin. Membanjiri mereka,
membakar mereka, mengubur mereka, atau hanya sekedar menyerang masuk dan
membantai mereka. Senjata di lempar dan di tusukkan, di curi, di tukar, di
paksa menggunakan peralatan apapun yang telah mereka siapkan sebelumnya.
“…”
Sang
pria muda itu berada di belakang mereka, namun tampaknya dia mendengar setiap
percakapan mereka.
Pria
itu pastilah kurang lebih lima belas tahun. Dia memiliki rambut yang begitu
merah yang seolah seperti terbakar api—namun rambut itu tercukur dengan rapi,
dan jubahnya tampak baru juga. Tongkatnya tidak mempunyai sebuah permata yang
menandakan sebuah kelulusan, karena itu, kemungkinan dia adalah salah satu mage
yang pergi meninggalkan akademinya sebelum menyelesaikan pendidikannya.
Terlihat
tertarik, dia merogoh barang miliknya seolah teringat oleh sesuatu. Dia
mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan pensil arang. Apakah dia akan mulai
mencatat? Tampaknya dia murid yang cukup rajin.
Namun
Goblin Slayer, tanpa menoleh ke belakang pada sang bocah, berkata, “Jangan.”
“?!”
Sang
Wizard Boy hampir melompat dari kursinya. Dia tidak begitu merasa takut; dia
memberikan tatapan marah pada Goblin Slayer dan menggerutu. “Aw, kenapa? Aku
tahu semua orang berpikir kalau goblin itu monster kelas teri, dan mencatat
sesuatu nggak akan melukai siapapun, kan?”
“Bisa
saja.”
Goblin
Slayer menjawab keluhan sang bocah dengan datar, dingin, dan pelan.
“Bagaimana
kalau catatan itu jatuh ke tangan goblin?”
Dahi
bocah itu berdenyut, dan lekukan alisnya terlihat cukup jelas walaupun dengan
kurangnya pencahayaan.
“Apa
kamu mengira aku akan kalah dengan goblin?!”
“Kemungkinan
itu selalu ada.”
“Lancang
sekali kamu—?!”
Sang
bocah melompat dari kursinya tanpa pikir panjang. Goblin Slayer berputar
mengarahnya dengan ekspresi lelah yang tampak jelas.
Mungkin ini waktu yang
tepat?
Gadis
Guild memberikan senyum yang di paksa dan menunjuk pada teh pria muda itu.
“Apa
anda perlu teh lagi?”
“Oh,
uh, nggak, Aku…” Terjerat oleh amarahnya, sang bocah menggaruk pipinya merasa
bersalah. “Aku rasa… Iya aku mau.”
“Ini
dia.” Terdengar suara cairan yang mengalir seraya Gadis Guild menuangkan teh
yang mengepul masuk ke dalam cangkir sang bocah. Sang wizard muda itu
memperhatikannya dengan seksama. Ya, Gadis Guild dapat melihatnya sekarang:
bocah ini terlihat seperti lima belas tahun.
Yah, aku rasa dia akan
menjadi petualang.
Apakah
mimpi atau harapan? Uang atau ketenaran? Beberapa alasan itu sangat layak,
sedangkan beberapa adalah keserakahan dan ambisius.
Gadis
Guild menuangkan teh lagi ke dalam cangkir Goblin Slayer.
“Terima
kasih.”
“Jangan
di pikirkan! Tidak perlu berterima kasih.”
Wiard
Boy berkedip melihat ekspresi Gadis Guild yang bersemi. Adalah ekspresi yang
sama dengan eskpresi sebelumnya ketika dia menyambut petualang berarmor yang
aneh ini. Sang wizard tidak dapat terlalu mengutarakannya, tetapi senyum itu
jelas berbeda dengan apa yang di berikan Gadis Guild kepadanya ketika pertama
kali sang bocah mendaftar.
Dia
menelan liurnya kemudian dengan ragu membuka mulutnya.
“Jadi
kamu…yang di panggil…Goblin Slayer?”
“Beberapa
orang memanggilku seperti itu.” Dia mengangguk. Wizard Boy mencondongkan
tubuhnya lebih dekat. Di balik kacamatanya, mata hijaunya berkelip dan semali
melebar, memantulkan sosok Goblin Slayer.
Gugup,
tegang, kesenangan, ketidaksabaran, dan kebimbangan semua terlihat di wajah
Wizard Boy dan dia berkata, “Kalau begitu ajari aku cara membunuh goblin!”
“Nggak.”
Goblin Slayer menjawab datar.
“Kenapa?!”
“Kalau
kamu nggak berusaha melakukan apapun sampai kamu di ajari, maka ajaranku nggak
akan merubah apapun.”
“Huh?!”
Dengan
itu, Goblin Slayer mengangkat cangkir teh baru, menegunya dengan sekali teguk. Gluk.
Dia
menaruh cangkir itu dengan Kling dan
beroutar mengarah Gadis Guild. Dia bahkan tidak melihat ekspresi bingung pria
muda itu seraya Goblin Slayer mengambil kertas yang di berika Gadis Guild.
Laporannya telah selesai; Goblin Slayer hanya tinggal membubuhi tanda tanganya.
Dia
mengambil pena dan menuliskan namanya. Kemudian dia memberikan tatapan tanda
Tanya kepada Gadis Guild. Mengapa Gadis Guild berada di sini hingga begitu
larut? Butuh waktu dua sampai tiga detik baginya untuk menemukan jawabannya.
“Maaf.
Terima kasih bantuannya.”
“Jangan
risaukan itu. Anda selalu bekerja keras demi kami. Oh, hadiah anda…”
“Bagi
secara merata. Berikan saja bagianku.”
“Baik!”
Gadis
Guild berputar dengan gerakan lincah yang tidak menandakan kelelahan atau rasa
kantuk. Dia membuka brangkas, mengambil kantung penuh dengan koin, dan
menimbangnya dengan sebuah timbangan. Goblin Slayer memperhatikan kepangnya
berayun di punggungnya dan bergumam. “Ah. Ada party yang baru-baru saja
mendaftar.” Dia berpikir sejenak kemudian menambahkan, “Party itu mempunyai
gadis rhea.”
“Oh,
mereka?” Sebuah tawa kecil terlepas dari
bibirnya. Gadis Guild merasa senang Goblin Slayer tidak dapat melihat wajahnya.
“Mereka baik-baik saja, yah mereka mendapatkan satu atau dua gigitan tikus
raksasa. Tapi mereka punya anti racunnya.”
“Begitu.”
“Apa
anda merasa lega?”
“Ya.”
Gadis
Guild berputar ke belakang dengan gembira di wajahnya dan meletakkan sebuah
nampan dengan kantung kulit penuh koin emas di depan Goblin Slayer. Dia
mengambilnya tanpa repot-repot menghitungnya. Kantung itu menimbulkan suara
berat dari dentingan emas di dalamnya.
Pembasmian
goblin tidak menghasilkan banyak uang, bahkan hasilnya semakin kecil jika di
bagi dengan lima orang. Namun bagaimana jika seseorang mengkalikan jumlah itu
dengan sepuluh? Adalah sama dengan jumlah dua pembasmian quest goblin. Dua kali
lebih banyak dari tabungan penduduk desa perbatasan yang mereka kumpulkan
dengan membanting tulang.
Seraya
dia memasukkan kantung itu ke dalam tasnya, Goblin Slayer mengangkat dagunya
mengindikasikan. “Siapa dia?”
“Dia
baru saja mendaftar menjadi petualang.”
“Kenapa
dia di sini?”
“Yah,
dia…” Gadis Guild melihat sekitarnya dan kemudian memiringkan badannya di atas
meja respsionis, mendekati helm baja itu seolah dia ingin membisikkan suatu
rahasia. Kain bajunya tertarik, semakin membuat daerah dadanya terlihat. “Dia
bilang dia hanya ingin membunuh goblin…”
“Apa
dia mempunyai party?”
Kepangnya
berayun dari samping ke samping seraya Gadis Guild menggelengkan kepalanya.
“Sepertinya
tidak ada.”
“Bodoh.”
Gadis
Guild melihat Goblin Slayer seolah tidak mengetahui harus berkata apa. Apa kamu sendiri tidak seperti itu? Adalah
yang ingin dia katakan. Gadis Guild memijat dahinya.
“Jadi
apa yang akan kita lakukan, pak Goblin Slayer?”
“Hrm…”
Tatapan
memohon, suara meminta.
Gadis
Guild terdiam, hanya terdengar suara napas yang lembut dan gesekan armor. Sumbu
lampu membara redup. Dari lantai dua terdengar lantai yang berdecit. Apakah
jeritan bocah itu sebelumnya telah membangunkan seseorang, atau seseorang hanya
sedang berjaga malam? Apapun itu, suatu hal yang akan menggangu waktu istirahat
para petualang adalah sesuatu yang darurat atau sesuatu yang bodoh.
“Kamu.”
Sang pria muda, yang terus manatap lantai, mendengak ketika Goblin Slayer
berbicara kepadanya. “Kamu punya kamar?”
“Er,
uh…” Dia tidak yakin bagaimana menjawabnya. Dia membuka dan menutup mulutnya,
lagi dan lagi, dan membenarkan posisi kacamatanya.
Goblin
Slayer menunggu jawaban.
“…Aku
nggak ngerti apa hubungan itu dengan semuanya.” Sang bocah akhirnya berkata.
“Begitu.”
Hanya
itulah jawabannya kepada ucapan sang bocah, setelah itu Goblin Slayer berputar
menuju Gadis Guild. Gadis Guild membentuk sebuah X dengan kedua jari
telunjuknya dan menggelengkan kepalanya. Sangatlah jelas apa yang Gadis Guild
maksud.
“Nggak
ada ruangan yang tersedia?”
“…”
“Sekarang
musim semi. Dia tidak akan masuk angin kalau di luar, tapi…”
Goblin
Slayer berdiri. Sang bocah mendapati dirinya sendiri menatap sang petualang
seraya dia pergi dengan langkah sigapnya. Akan tetapi, Goblin Slayer, tidak
sedikitpun melirik pada sang penyihir muda itu seraya dia membuka pintu berayun
Guild.
“Ikut
denganku.”
Satu
perintah pendek. Dengan itu, Goblin Slayer pergi menuju kegelapan kota,
meninggalkan pria muda itu dibelakang.
Sang
penyihir muda melirik cepat dari pintu menuju Gadis Guild, kemudian bergegas
menuju pintu keluar.
“H-hei,
tunggu aku! Apa sih yang dia pikirkan, menyuruhku mengikutinya seperti ini…?!”
Tiba-tiba
dia berhenti. Dia berputar dan memberikan anggukan kecil kepada Gadis Guild.
“…Terima
kasih. Atas tehnya.”
Kemudian
dia berlari keluar. Terdengar decitan pintu ketika dia membukanya, membawa
udara dingin masuk ke dalam.
“…Phew.”
Gadis Guild menhela kembali dan berdiri. Dia mengumoulkan semua berkasnya dan
memastikan berkas tersebut aman terkunci. Ya, para pegawai pada bar di lantai
satu berada di sini, dan penjaga ruangan berada di lantai atas, namun dia
adalah pegawai terakhir yang berada di meja saat ini.
Ini
memberikan arti baru dari kata Lembur,
namun dia tidak mengeluh. Dia mengambil sebuah jaket (sebuah jaket tipis yang
dia bawa, karena sekarang adalah musim semi) dan memasukkan barang pribadinya
ke dalam tas.
“Aku
rasa sudah saatnya pulang.”
Dia
tertawa kecil dan mematikan lampu dengan meniupnya seolah sedang memberikan
sebuah ciuman.
*****
Hampir
seolah terdapat sebuah lautan di luar pintu. Angina berhembus melewati
rerumputan, bintang-bintang dan dua bulan bersinar di langit.
“Hmph.”
Goblin
Slayer memberikan lirikan pada bulan hijau kemudian dengan cepat kembali
melangkah. Sang bocah bergegas mengikutinya.
“H-hei,
apa-apaan sih? Kamu mau bawa aku kemana…?” Suaranya terdengar tegang—mungkin di
karenakan gugup atau takut.
“Ikut
aku, nanti kamu tahu.” Goblin Slayer berjalan mengikuti jalanan, namun tidak
sedikitpun melihat pemandangan di sekitarnya. Tidak mempedulikan cahaya bintang
dan jalanan yang tertata rapi, adalah menakjubkan melihat dia yang tidak pernah
memperlambat jalannya.
Pria
muda itu, tidak terlihat senang, menendang sebuah batu kecil yang kebetulan
berada di dekatnya, dan membuat suara kesal.
Akhirnya,
mereka dapat melihatnya.
Jika
lahan tersebut adalah lautan, maka ini adalah sebuah mercusuar, sebuah titik
terang di kejauhan yang secara perlahan semakin mendekat.
Berbagai
macam rupa bentuk mulai muncul dari dalam kegelapan. Sebuah gerbang kecil.
Sebuah pagar, yang kemungkinan terbuat dari kayu. Beberapa bangunan tampak di
balik baying-bayang. Sang pria muda, yang matanya mulai terbiasa dengan
kegelapan malam, mengira dia telah mendengar lenguhan samar para sapi.
“Apa
ini…kebun?”
“Memangnya
apa lagi?”
“Hei,
Aku kira… Maksudku, dari cara kamu berbicara, aku kira kita akan pergi ke suatu
peginapan atau semacamnya.”
“Kamu
salah.” Goblin Slayer membuka pagar seraya dia berbicara.
“Oh!
Kamu pulang!” Walaupun gelapnya malam, suara yang menyambutnya hampir tampak
seperti matahari yang bersinar.
“Whoa?!”
Sang bocah terkejut, menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan mencari asal
sumber suara itu.
Adalah
seorang wanita muda, tubuhnya yang semok berlapis pakaian kerja. Wanita itu
berlari dari suatu tempat.
Gadis
Sapi memberikan tepukan bersahabt pada pundak Goblin Slayer, kemudian menghela.
“Selamat
datang kembali.” Dia berkata.
“Ya.”
Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Aku pulang.”
Sebuah
kata “Bagus” terucap dari Gadis Sapi yang di ikuti dengan anggukan. “Kamu sudah
berpergian cukup lama kali ini,” dia berkata. “Bagaimana? Kamu nggak terluka
kan?”
“Ada
goblin. Tapi nggak ada masalah lain selain itu.” Kemudian dia menggerakkan
helmnya sedikit. “Kamu belum tidur?”
“Heh-heh.
Aku bergadang akhir-akhir ini.” Dia berkata dengan sedikit kebanggaan. Dadanya
bergotang, dan sang mage muda itu menelan liurnya.
“Whoa,
besar banget…”
“Hmm?”
Dia
telah ceroboh, membiarkan ucapan itu terlepas dari bibirnya. Gadis Sapi
mendengar gumamannya, dan sekarang mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk
dapat melihatnya bocah itu lebih seksama.
“Wah,
siapa ini?”
“Ee—yipes!”
Sang bocah tersandung dan terjatuh ke belakang. Dia merasakan darah mengalir
deras di wajahnya. Mulutnya terbuka dan tertutup.
“A-aku
seorang petualang!”
Wajah
dari wanita yang lebih tua itu begitu dekat dengan wajahnya. Aroma manis dari
keringat bercampur dengan aroma rumput yang baru tercium olehnya.
“Dia
masih baru.” Goblin Slayer berkata pendek, mewakilkan sang bocah, yang
tampaknya tidak dapat mengucapkan namanya sendiri. “Sepertinya dia nggak punya
tempat untuk tinggal.”
“Oh,
yang benar?” Gadis Sapi berkata. “Begitu, begitu.” Dia mengangguk beberapa
kali, seolah senang di karenakan sesuatu. “Yah, Aku nggak keberatan.”
“Terima
kasih,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Itu sangat membantu.”
“Serius,
nggak usah di pikirin. Kamu memang begitu.”
“Aku
mau berbicara dengan pamanmu juga. Apa dia masih bangun?”
“Mungkin.”
“Begitu.”
Goblin
Slayer melewati Gadis Sapid an berjalan masuk ke dalam rumah. Dia benar-benar
tampak seperti telah pulang.
Sekarang
hanya tinggal pria muda itu yang tersisa. Dia melihat Gadis Sapi dari balik
pagar kebun beberapa kali.
“…Dan
siapa kamu? Istrinya?”
“Iya
dong!”
“Nggak,
kamu bukan.” Sebuah suara menyela dari belakang Gadis Sapi.
Gadis
Sapi menjulurkan lidahnya seolah kecewa Goblin Slayer sudah mendengar
ucapannya. Sang pria muda itu memberikan lirikan curiga.
“Yah,
jadi apa sih yang terjadi?”
“Kamu
nggak tahu?” Gadis Sapi tertawa. “Dia mau kamu tidur di sini.”
“Aku
nggak ngerti sama sekali!”
“Aw,
nggak usah khawatir. Ayo, masuk ke dalam.”
“Hentikan.
Hei, lepaskan aku!”
“Ayolah,
nggak usah keras kepala!”
Seorang
mage pemula melawan petani veteran: dalam kontes kekuatan, pemenangnya sudah
jelas.
*****
“Nggak.”
Terlebih
lagi seorang petani tua yang jauh lebih berpengalaman.
Seorang
pria berotot kuat duduk di meja pada ruang makan di rumah utama menolak
permintaan Goblin Slayer dengan satu kata.
Di
depannya adalah Goblin Slayer, dengan bocah berambut merah di belakangnya dan
keponakan sang petani.
Adalah
Gadis Sapi, bibirnya manyun, adalah pertama yang mendebat. “Oh, ayolah paman.
Cuma satu malam aja. Kenapa nggak biarkan dia tinggal?”
“Sekarang,
kamu dengar…” Sosok pria yang coklat terbakar matahari sedikit terkejut melihat
wajah keponakannya yang tidak gentar. Bagaimana mungkin dia masih bertingkah
seperti anak kecil? Tidak, dia meralat dirinya sendiri, teman kecilnya sudah di curi dari dia. Paman
menghela besar. “Seorang petualang yang baru mendaftar itu nggak berbeda dengan
preman lainnya yang berkeliaran.”
“Hei!”
Hal ini membuat marah sang bocah. Dia memukul meja dengan tinjunya, menyebabkan
perkakas melompat, dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata, “Apa
maksudmu pria tua?! Apa kamu bilang aku cuma sekedar pengemis?!”
“Diam.”
Hanya
satu kata, yang di ucap secara datar dan lembut, akan tetapi ucapan itu
memiliki kekuatan yang besar. Ucapan itu bahkan cukup kuat untuk mendiamkan
seorang pria yang telah berhasil melewati neraka peperangan.
Dia
adalah seorang pria yang memperhatikan bumi setiap harinya, yang hanya
memikirkan keluarganya dan bekerja di kebunnya. Ucapannya memiliki weweang akan
seorang yang telah melakukan ini bulan demi bulan, tahun demi tahun.
“Er…”
Sang bocah menelan liurnya. Sang pemilik kebun memperhatikan sang bocah seolah
dia adalah seekor gagak atau rubah.
“Amarah
seperti itulah yang membuat aku nggak bisa dan nggak akan mempercayaimu.”
Tujuan
dari sistem petualang dan Guild adalah persis di karenakan ini: para petualang
adalah kumpulan orang-orang kasar, dan Guild akan memberikan mereka
kredibilitas, sementara di waktu yang sama mencegah mereka melakukan kejahatan
apapun. Hal ini di maksudkan untuk melindungi ketertiban publik.
Ya,
tujuan mereka yang utama adalah pembasmian para monster, namun mengumpulkan
para pengelana yang tidak mempunyai rumah dalam satu tempat adalah ide yang
bagus. Dan benar, hal ini juga berfungsi untuk membatasi gossip…
Namun
jika para petualang dapat mengikuti hukum, mendapakan uang, dan mungkin meraih
reputasi, siapa yang dapat mengeluhkan hal itu? Tidak seperti pekerjaan
lainnya, seberapapun berbahayanya berpetualang, paling tidak usaha mereka
mendapatkan hadiah secara langsung.
Lalu
bagaimana dengan pemula, pendatang baru, dan Porcelain, tingkat terbawah dari
sistem peringkat? Kita tidak perlu membicarakannya; atau lebih tepatnya mereka
jarang menjadi pembicaraan.
Adalah
hal yang sudah sewajarnya, karena petualang itu masih belum mendapatkan
kepercayaan siapapun. Menjadi petualang, bukanlah karena mereka preman tak
berhukum. Namun seseorang harus mempunyai sopan santun untuk membuat semua
perbedaan. Bagaimana mungkin seseorang dapat mempercayai pemuda yang sangat
berdarah panas ini?
Dan
ada sesuatu lainnya yang di pikirkan sang pemilik kebun.
“Aku
punya wanita muda yang tinggal di sini bersamaku. Apa yang akan kamu lakukan
kalau sampai terjadi sesuatu dengannya?”
“Paman,
aku sudah bilang sama kamu, kamu terlalu khwatiran…”
“Kamu
diam juga.” Dia memerintahkan, dan Gadis Sapi menutup mulutnya untuk mencegah
ucapan lainnya keluar dari mulutnya. Aww,
tapi—! Oh, ayolah—! Tidak ada rajukan yang akan menggoyahkan sang pemilik
kebun.
“Kalau
begitu,” Goblin Slayer memotong. Dengan lembut, dia mengindikasikan sebuah
bangunan kecil di luar, yang sekarang telah terselimuti kegelapan. Adalah
sebuah bangunan tua tempat di mana sang pemilik kebun menginjinkannya untuk
tinggal. “Bagaimana dengan gudang yang aku sewa?”
“Kalau
sesuatu terjadi kepadanya,” sang pria berkata, mengindikasikan keponakannya.
“Apa kamu mau bertanggung jawab?”
Tidak. Goblin
Slayer menjawab dengan gelengan kepala pelan. Kemudian dia berkata dengan
tenang. “Itulah mengapa aku akan berjaga sepanjang malam.”
Sang
petani menggerutu.
Apa
yang harus dia katakan untuk menanggapi ini?
Apa
yang sudah pria ini—bocah menyedihkan, yang tidak di kenal—telah lihat dan
lakukan? Sang pemilik kebun tidak dapat menghiraukannya begitu saja.
Gadis
Sapi dengan lembut meletakkan tangannya pada kepal sang pemilik kebun yang
tidak menyadari dirinya sedang mengepal keras tangannya, dan berbisik
kepadanya.
“Paman…”
“…Aku
mengerti. Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya,
dia telah menyerah. Adalah hal yang tidak dapat di hindari. Apa yang harus dia
lakukan, mengusir bocah itu ke dalam gelapnya malam? Memaksa bocah yang sudah
jelas kelelahan untuk pergi tanpa tidur?
Sang
petani tidaklah sekejam itu untuk membuat keputusan seperti itu.
Dia
melepaskan tangan keponakannya dan menempelkan kedua tangannya pada dahi seolah
sedang berdoa.
“Sebagai
gantinya, kalian semua tidur yang nyenyak.”
“Maaf.”
“Jangan
minta maaf. Kesehatan para petualang itu asset terpenting mereka kan?”
“Ya.
Terima kasih banyak.” Goblin Slayer mengangguk tulus. Dia mengerti secara penuh
bahwa permintaan maaf ataupun ucapan terima kasihnya tidak akan membuat sang
pemilik kebun merasa gembira. Namun dia tidak ingin menjadi seseorang yang
tidak berterima kasih atas pemberian seseorang kepada dirinya.
”Ah.
Satu hal lagi.” Itulah mengapa Goblin Slayer merogoh isi tasnya, mengeluarkan
sebuah kantung koin emas dan meletakkannya di atas meja. Kantung itu
menimbulkan suara denting dari koin yang berbenturan di dalamnya. “Ini untuk
bulan ini.”
“Uh-huh…”
Uang
adalah benda yang sederhana. Uang jauh lebih berguna di banding barang lainnya
yang di miliki seseorang. Namun apakah baik untuk menyelesaikan segalanya
dengan uang? Merupakan sebuah pertanyaan yang sangat sulit.
Sang
petani, masih tidak yakin untuk berkata apa, menghela dan mengambil kantung
koin. Goblin Slayer memperhatikannya.
“Baiklah.”
Goblin Slayer mengumumkan, berdiri dari kursinya. “Ayo,”
“Huh?
Oh, y-yeah.” Sang bocah tidak mempunyai pilihan lain selain turut mengikutinya.
Gadis
Sapi juga berdiri, dan menarik lengan Goblin Slayer.
“Hei,”
dia berkata, “Apa yang akan kamu lakukan besok?”
“Tergantung
dari questnya, tapi kita semua baru saja kembali. Aku rasa semuanya pasti ingin
istirahat.”
“Aku
nggak bertanya tentang semua orang, aku bertanya tentang kamu.”
Ihhh. Gadis
Spai sudah terbiasa saat ini; dia menggaruk pipinya dan tidak berusaha lebih
keras untuk mendapatkan jawaban darinya.
“Yah,
nggak jadi.” Gadis Sapi bergumam dan tersenyum kecil, melepaskan lengan Goblin
Slayer. Dia menggeleng kepalanya perlahan “Aku akan menyiapkan sarapannya
untukmu besok. Tidur yang nyenyak ya!”
“Baik.”
Goblin Slayer mengangguk. “Selamat malam.”
Kemudian
dia membuka pintu, dia dan sang bocah pergi meninggalkan rumah.
Gudang
Goblin Slayer berada di belakang kebun.
Gudang itu sudah cukup using, namun dia telah melakukan beberapa
perbaikan yang di perlukan.
“Jadi
mereka itu kenapa sih?” sang bocah bertanya dengan cemberut.
“Maksudmu?”
Sang
pendatang baru melihat sekitaran gudang. Sebuah lampu berdebu menyinari merah
menerangi ruangan yang berantakan. Rak penuh dengan benda yang tidak dia
ketahui; udaranya penuh akan debu dan aroma samar dari obat-obatan. Sangatlah
mirip dengan ruangan dari salah satu instruktur Akademi, pikir bocah itu. Dan
dia membencinya.
Dan
sebagai penambah rasa tidak sukanya, adalah sebuah tumpukan jerami yang di
tawarkan Goblin Slayer sebagai penganti ranjang tidur. Ketika sang bocah
bertanya akan bagaimana dia dapat tidur di atas jerami itu, Goblin Slayer
berkata. “Pakai jubahmu sebagai alas.”
Sang
bocah bergumam kalau itu akan membuat jubahnya penuh dengan jerami, namun dia
tetap melakukannya.
“Jadi
dia bukan istrimu. Dia bukan bagian dari keluargamu kan?”
“…Benar.”
Sang
bocah berbaring di atas jerami dan terkejut mendapati jerami tersebut sangatlah
empuk.
Dan
yang menambahkan rasa kejutnya, dia melihat Goblin Slayer duduk di depan pintu.
“Tapi
aku nggak pernah tahu apa yang di pikirkan dia.” Lanjut Goblin Slayer.
“Masksudmu
apa?”
“Mereka
adalah kenalanku dulu sekali. Seorang tuan tanah dan keponakannya. Secara
obyektif, seperti itulah hubungan kami.”
Kemudian
Goblin Slayer terdiam. Sang bocah menatapnya dari atas tumpukan jerami, namun
tidaklah mungkin untuk mengetahui ekspresi yang ada di balik helm itu.
Sang
bocah berhenti mengira-ngira dan melamun menatap langit-langit, kemudian dia
berputar kembali dan melihat rak-rak yang penuh dengan berbagai macam benda.
Tengkorak dari makhluk yang tidak di ketahui, botol penuh dengan cairan
obat-obatan, dan tiga pisau lempar yang tidak biasa. Apa yang dia lakukan
dengan semua ini? Adalah di luar kemampuan bocah untuk di bayangkan.
Setelah
beberapa saat, dia berputar kembali dan melihat Goblin Slayer, yang tidak
sedikitpun bergerak semenjak dia duduk. Sang bocah menghela napas.
“…Apa
kamu nggak mau tidur?”
Jawaban
dari pertanyaan itu datang dengan ucapan pelan yang mengerikan.
“Aku
bisa tidur dengan satu mata terbuka.”
“Ihhh.
Kamu yang menyuruhku untuk tinggal di sini, dan kamu masih mencurigaiku.”
“Nggak.”
Helm Goblin Slayer sedikit bergerak. Sang bocah menyadari bahwa pria itu sedang
menggelengkan kepalanya. “Ini untuk berjaga-jaga kalau goblin datang.”
“Apa?”
“Aku
tidur di luar rumah utama. Akan sangat bermasalah kalau aku nggak bisa segera
bertindak.”
“…Apa-apaan?”
“Kalau
kamu mau membunuh goblin, paling nggak kamu harus melakukan ini.”
Sang
bocah terdiam. Beberapa saat kemudian, dia berputar kembali. Lampu yang
bergantung pada langit-langit menyinari sinarnya yang samar, berdecit pelan
terhembus angin. Sang bocah menutup matanya, namun sinar merah yang samar
menembus kelopak matanya. Walaupun sianr itu tidaklah begitu terang.
Memperhatikan
api kecil itu, sang bocah memanyunkan bibirnya. “Kita nggak perlu ini.”
“Begitu,”
Goblin Slayer berkata. “Matikan saja.”
“…”
“Tidur.
Besok, Aku akan bawa kamu kembali ke Guild.”
Dengan
itu, petualang aneh dengan armor anehnya ini terdiam.
Apa sih yang dia pikirkan? Sang
bocah melihat curiga pada helm kotor itu, petualang itu begitu tegas hingga
membuat sang bocah tidak mempunyai pilihan lain selain mengikutinya hingga saat
ini, namun semua terlihat begitu janggal. Siapa yang ingin mengundang petualang
pemula yang tidak pernah di kenalnya untuk tinggal di dalam kamarnya? Bahkan
sampai berdebat dengan istri atau keluarga atau semacamnya karena ini?
Jika
pria itu adalah seorang bangsawan tak berotak yang mempunyai banyak uang—jika
dia adalah seorang wanita muda—maka semua akan lebih masuk akal. Namun apa yang
akan pria itu dapatkan dengan menawarkan tempat tinggal untuk dirinya?
Atau
dia adalah pria ini adalah salah satu dari orang-orang yang pernah dia dengar?
Orang yang membujuk seorang petualang baru dan menghajar mereka untuk
mendapatkan perlengkapannya?
Tapi dia tingkat Silver…
Tampaknya
sangat tidak mungkin bahwa Guild akan mempertaruhkan reputasinya untuk
berkonsipirasi dalam bisnis seperti itu. Sang bocah bahkan pernah mendengar di
saat Guild belum di dirikan, para petualang terkadang akan lebih senang
membunuh para petualang baru ketika mereka datang ke kota.
Tapi coba lihat armor orang
ini. Helm itu. Kotor dan mengerikan banget.
Sang
bocah membalikkan tubuhnya di atas jerami seolah ingin menjauh dari helm itu
yang tampaknya menatap mati di dalam keremangan.
Apa orang yang kelihatannya
seperti itu orang yang…baik?
“…Nggak
mungkin.” Dunia tidak bekerja seperti itu. Sang bocah mengangguk pada dirinya
sendiri, memegang sebuah pisau yang tersembunyi di balik bajunya.
Sial! Jangan pikir aku akan
diam dan mati begitu saja…
Sang
bocah tidak melonggarkan kewaspadaannya. Apapun yang di rencanakan petualang
ini, dia tidak akan membiarkan dirinya terbunuh dalam tidurnya.
Merasa
yakin, sang bocah tidak menyadari bahwa dirinya secara perlahan mulai tertidur.
*****
“…Hng…
Huh?”
Ketika
kesadarannya telah kembali, sang bocah mendengar suara Puound, pound, pound. Suara datar yang tidak biasa.
Hal
pertama yang dia rasakan seraya dia duduk adalah suara jerami yang
bergemerisik. Ruangan yang mengisi seluruh pengelihatannya yang buram tentunya
bukanlah ruangan asrama Akademi.
Mereka nggak punya ranjang
jerami di sana.
Dia
mencari kacamatanya, yang dia letakkan di samping bantalnya—atau lebih
tepatnya, di samping jerami di sebelah kepalanya—dan memakainya.
Matahari
tersaring masuk di dalam gudang yang penuh dengan barang yang tidak di ketahui,
butir debu berdansa di dalam kilaunya.
“Ahh…
Benar…”
Oh yeah.
Dia
telah tertidur di tempat “Goblin Slayer” atau siapapun itu.
Petualang
aneh yang tidur di depan pintu telah menghilang. Walaupun, jika di lihat dari
arah cahaya matahari. Subuh masih belumlah berlalu sepenuhnya.
“Sheeesh.
Pria itu nggak ada masuk akalnya sedikitpun. Aw, sial… Sudah ku duga jeraminya
bakal banyak yang nyangkut.”
Dia
menjentikkan lidahnya. Dia berdiri dan mengambil jubahnya yang telah dia
gunakan sebagai selimut.
Dia
melirik sekitarannya dan kemudian—tanpa keraguan—mengibas jubahnya untuk
membersihkan jerami yang tersangkut. Ketika dia memakainya kembali, dia masih
dapat merasakan sensasi menggelitik di sini dan di sana, namun dia
menghiraukannya dan pergi meninggalkan gudang.
“…Yikes.
Dingin banget di luar.”
Musim
semi barulah di mulai, namun angin terakhir dari musim dingin masih dapat
terasa di pagi hari. Sang bocah mengangkat kerah jubahnya dan menggigil.
Sebuah
kabut putih tipis mengambang di atas tanah, seperti sebuah susu yang tertumpah
di keseluruhan kebun. Dia merasan seperti berada di tengah-tengah semua kabut
itu.
Karena
telah tiba pada malam hari, dia tidak mengetahui geografi kebun ini, namun dia
memilih sebuah arah yang paling memungkinkan dan mulai berjalan.
Sesuai
dugaannya, tidak lama baginya untuk tiba pada sebuah sumur dengan atap di
atasnya. Sebuah batang kayu terpasang di atas mulut sumur, sebuah ember terikat
dengan tali di satu sisi dan sebuah pemberat di sisi lain. Sebuah sumur
sederhana.
Sang
bocah menurunkan ember itu masuk ke dalam sumur, dengan menarik pemberatnya,
kemudian dia melepaskan tangannya dari tali, dan membiarkan pemberat itu
tenggelam kembali, membawa ember itu naik ke atas.
Dia
melepaskan kacamatanya dan mencelupkan wajahnya ke dalam air yang dingin.
“Hrrrrrr…
Fwah!”
Dia
berbasuh dengan air yang begitu dingin dan kemudian mengangkat kembali wajahnya
dan menggelengkan kepalanya, mencipratkan air ke segala arah. Kemudian dia
menggunakan sebuah timba untuk mencuci mulutnya, meludah di atas rumput di
dekat kakinya dan akhirnya, mengelap wajahnya dengan jubahnya.
Bukanlah
sebuah cara yang baik untuk membuat dirinya pantas di pagi hari, namun ini
sudah cukup.
“…Hmm?”
Suara
itu terdengar kembali dari balik kabut putih. Pound, pound.
Suara
tersebut tidak terdengar seperti suara orang yang sedang memasak, ataupun suara
pekerjaan konstruksi, atau bahkan suara memotong kayu.
Untuk
mengarungi jalan menjadi seorang wizard, rasa penasaran yang tinggi adalah
sebuah keharusan. Sang bocah memutuskan untuk mengikuti arah suara itu—namun
pada saat itu, dia menyadari bahwa dia tidak membawa apapun.
“Oh,
sial!”
Dia
kembali ke dalam gudang dan mengambil tongkatnya, yang masih tergeletak di
samping ranjangnya.
Suara
datar itu terus berlanjut, dan tampaknya tidak terlalu jauh.
Tidak
lama setelah itu, dia telah tiba pada sebuah bayangan yang bergerak di dalam
kabut. Matahari pagi semakin menguat, dan dia tidak membutuhkan sebuah mantra
untuk dapat melihat jelas apa yang ada di depannya.
“Oh…”
Adalah
Goblin Slayer.
Dia
masih memakai armor kotor dan helm yang terlihat murahannya; berkuda-kuda
rendah. Tampaknya dia sedang berhadapan dengan bagian pagar yang mengelilingi
kebun. Sebuah sasaran bundar terpasang di pagar dengan posisi yang rendah.
Pisau
yang yang menancap pada sasaran itu kemungkinan hasil lemparan dari Goblin
Slayer. Sang bocah akhirnya telah mengetahui apa yang menyebabkan suara itu
jauh lebih mudah daripada memecahkan teka-teki pada Akademi.
“…Apa
yang kamu lakukan?”
“Berlatih.”
Goblin Slayer melangkah ke depan dan dengan santai menarik senjatanya.
Bagi
sang bocah, pisau itu tidak tampak seperti senjata untuk di lempar: adalah
sebuah belati yang benar-benar biasa.
Yah—bukan
hanya pisau itu. Sekarang dia melihat dengan lebih seksama pada sasarannya, dia
dapat melihat sasaran itu telah tertancap dengan sebuah pedang, tombak, kapak,
dan…apa itu golok?
Dengan
semua latihan itu, Goblin Slayer dapat dengan mudah melempar batu yang dia
temukan di rerumputan.
Melempar.
Kata
itu terngiang di kepalanya.
Aku kira warrior itu
seharusnya mengayunkan senjata mereka dan bukan melemparnya.
“Bagaimana
kamu bisa bertarung kalau kamu melempar semua senjatamu? Bego.”
“Aku
tinggal mencurinya saja.” Goblin Slayer menyusuri jarinya pada mata pisau,
memeriksanya. “Dari para goblin.” Dia menambahkan.
Sang
bocah mendengus mendengarnya. “…Kalau begitu mending kamu mempunyai senjata
berkualitas tinggi saja dari awal.”
“Begitu?”
“Kamu
seharusnya dapat mengalahkan beberapa goblin itu dengan satu mantra.”
“Begitu?”
“Dengar,
aku kira kamu hari ini mengambil hari libur. Bukannya itu yang kamu bilang sama
gadis itu?”
“Dulu
aku pernah mengambil libur panjang. Dan setelah itu reaksi tubuhku terasa
kaku.”
Dengan
santai dia melempar senjata itu ke tanah seraya dia berbicara. Kemudian,
menenangkan pernapasannya, dia membalikkan punggungnya dari sasaran.
“Kamu
nggak akan pernah tahu jika tindakanmu yang berikutnya akan dapat membunuh
musuhmu.”
Seusai
dia berbicara, dia berputar. Dia mengambil salah satu senjata yang ada di dekat
kakinya, tanpa mempunyai waktu untuk membidik, dia melemparnya.
Belati
itu terbang melintasi udara, berputar sekali, dan mendarat tepat di tengah
sasaran dengan suara thump.
“Hmph.”
Dia
mengambil senjatanya satu persatu dan melemparnya.
Diam
tanpa berkata-kata, dia melempar semua senjatanya satu persatu, mengambilnya kembali
dan melemparnya lagi.
Ini membosankan. Sang
bocah duduk di rumput dan menguap. Dia menggosok matanya, mencoba mencari
jerami terakhir yang masih tersisa di jubahnya.
“Apa
bagusnya buatmu untuk mempelajari cara mengenai sasaran yang nggak bergerak?”
“Aku
nggak tahu.”
“Dan
sasaranmu rendah banget juga.”
“Itu
karena sesuai dengan tinggi goblin.”
Sang
bocah terdiam. Dari kejauhan terdengar suara yang memanggil, “Sarapan!”
Sang
bocah menyadari bahwa kabut telah menghilang, dia dapat melihat keseluruhan kebun
yang di mana Gadis Sapi sedang mencondongkan tubuhnya keluar dari jendela dan
mengayunkan tangannya.
Goblin
Slayer berhenti dan melihat ke arah Gadis Sapi, dan mengangguk.
“Baiklah,”
dia berkata. Kemudian helmnya berputar mengarah sang bocah. “Ayo.”
Ugh. Aku nggak berharap
banyak dari makanan ini.
Sang
bocah mengangguk tidak menyukai, kemudian berdiri dan mengikuti Goblin Slayer.
Kalau makanannya nggak enak,
aku bakal pukul mejanya.
*****
Terdapat
rebusan sebagai sarapan.
Sang
bocah pada akhirnya tambah tiga piring.
*****
“Erggg…”
“Kamu
kebanyakan makan.”
Mereka
telah pergi meninggalkan kebun dan sedang menuju Guild, namun sang bocah
berjalan terhuyung mengikutinya. Dia menopang dirinya dengan tongkatnya seraya
dia berjalan. Seperti inilah rasanya, dia berpikir, setelah petualangan yang
melelahkan dan meremukkan hati.
Mungkin
seperti inilah yang di rasakan para petualang setelah mencari jejak di lahan
yang tak berbatas hanya untuk menemukan sebuah kastil di depannya.
Ketika
mereka melewati pintu berayun dan masuk ke dalam ruang tunggu yang berisi, sang
bocah jatuh duduk di sebuah kursi.
Sekali
lagi terdapat banyak petualang yang mengunjungi Guild. Beberapa ada yang
mendaftar hari ini, sementara yang lain berusaha mencari pekerjaan.
“Hrggg…”
“Kok
bisanya kamu bersemangat sekali setelah menemukan elevator di reruntuhan tua
yang kamu jelajahi dan sekarang malah bermabuk-mabukan? Sebarapa begonya sih
kamu?”
“Aku
pikir beberapa roh akan menyembuhkan jiwaku…”
“Seberapa begonya sih kamu?”
Petualang
yang mabuk bukanlah pemandangan yang tidak biasa, bahkan beberapa dari mereka
ada yang terbaring di atas bangku saat ini. Orang-orang tidak terlalu
memperhatikan bocah muda itu seraya dia masuk; mungkin mereka berpikir bahwa
bocah itu adalah salah satu dari pemabuk.
“Kalau
begitu, aku pergi.” Goblin Slayer berkata, melihat ke bawah mengarah pada sang
bocah muda, yang sedang duduk di sebuah bangku. “Kamu harus mulai dari saluran
air. Bunuh tikus—apa itu namanya?—Tikus raksasa.”
“Alu…akan…bu-bunuh goblin…!”
“Begitu.”
Dengan
itu, Goblin Slayer berpaling dari sang bocah muda. Memangnya siapa diri Goblin
Slayer untuk berhak menganggu keinginan sang bocah itu? Goblin Slayer melangkah
sigap menjauh, menuju tempat baiasanya: sebuah bangku di sudut ruangan tunggu
Guild.
Lima—tidak,
enam tahun yang lalu, ketika dia pertama kali menjadi petualang, hanyalah dia
seorang yang berada di bangku itu.
Namun
sekarang keadaan telah berbeda.
Rekannya
juga berada di sana, dan mereka yang memiliki bisnis dengannya juga, dan bahkan
beberapa orang yang hanya ingin mengucapkan halo.
Hari
ini juga sama. Terdapat Lizard Priest yang mengayunkan ekornya. High Elf Archer
dan Dwarf Shaman duduk di antara Priestess. Akan tetapi…
“Paaak
Goblin Slayer…”
Entah
mengapa semua terasa berbeda dari biasanya.di tengah-tengah semua wajah itu,
tangan Priestess meremas lututnya sendiri, dan suaranya sangatlah lemah.
“Kenapa?”
“Sepertinya
mereka sedang membahas untuk mempromosikan gadis ini.” High Elf Archer
menjawab.
“Ah.”
Goblin Slayer mengangguk. “Sudah waktunya.”
Petualang
di bedakan menjadi sepuluh tingkat, dari Porcelain hingga Platinum. Walaupun
tingkat Platinum tergolong spesial, perbedaan divisi tingkat tersebut
berdasarkan apa yang popular di sebut dengan “poin pengalaman.” Dengan kata
lain, hadiah yang telah di dapatkan, di gabungkan dengan seberapa banyak
seseorang tersebut berbuat kebaikan untuk sekitarnya, bersama dengan tingkah
lakunya.
Satu
tahun telah berlalu semenjak Priestess telah di promosikan menjadi Obsidian
karena telah mengalahkan apapun-nama-monster-itu di reruntuhan bawah tanah.
Kemudian mata raksasa yang mereka temui di kota air, dan pemimpin dari pasukan
goblin yang menyerang kota mereka.
Dapat
bertahan hidup dari peratrungan dengan goblin paladin di Utara, Priestess sudah
memiliki hadiah dan kontribusi yang cukup.
Ya,
adalah sudah sepantasnya untuk pengajuan kenaikan tingkat.
Namun
jika Priestess terlihat begitu lesu, itu artinya…
“Dia
nggak lulus?”
“Kurasa
begitu.”
“Dan kamu bahkan punya surat
rekomendasi huh?” High Elf Archer berbisik kepada Priestess,
yang hanya menjawab, “Ya.”
Priestess
terlihat begitu menyedihkan layaknya seekor anak anjing yang di biarkan begitu
saja di tengah hujan dan terlihat akan menangis kapan saja.
“Aku
rasa—mereka pikir—mereka bilang aku masih belum cukup berkontribusi.”
“Saya
rasa saya paham.” Lizard Priest berkata. “Itu karena kami semua adalah tingkat
Silver.”
Dwarf
Shaman mendengus tidak menyukai dan membelai jenggotnya. “Apa, jadi mereka
pikir gadis ini numpang dengan kita? Siapa yang akan percaya itu?” Adalah hal
yang tidak pantas namun juga hal yang sering di lakukan oleh petualang yang
sudah berpengalaman.
“Hrm.”
Goblin Slayer mendengus pelan.
Party
pertama Priestess telah tiada. Orang-orang yang seharusnya tumbuh dan dewasa
bersama dari Porcelain hingga naik tingkatan selanjutnya telah tiada.
Goblin
Slayer melirik kepada Gadis Guild, namun dia sedang di sibukkan dengan
petualang lain, berlari kesana kemari layaknya tikus ketakutan. Gadis Guild
menyadari Goblin Slayer sedang melihat mengarahnya dan membentuk sebuah gerakan
dengan kedua tangannya memohon maaf. Itu artinya tidak banyak yang dapat di
lakukan Gadis Guild. Lagipula, bukanlah Gadis Guild yang mengatur Guild.
Pimpinannya lah yang terlibat, begitu juga berkas, inspektur, dan juga
birokrasi pita merah. Seperti itulah jalannya dunia. Usaha pribadi juga di
perlukan, namun itu tidak selalu cukup. (TL Note : Birokrasi pita merah = https://id.wikipedia.org/wiki/Pita_merah
)
“U-um,
tolong ng-nggak usah di pikirkan.” Priestess berkata setegar dia bisa untuk
menenangkan Goblin Slayer dan rekan lainnya. “Aku yakin kalau aku kerja lebih
keras, pada akhirnya mereka akan mempromosikan aku…”
“Itu
baru semangat,” Dwarf Shaman berkata. “Kamu punya banyak kemampuan, dan kamu
sudah banyak membantu lebih dari yang seharusnya. Mereka hanya harus mengerti
itu.”
“Mm.”
Lizard Priest mendesis dari tempat dia bersandar di dinding dengan tangan di
lipat dan berpikir. Ekornya berayun. “Di antara warga kami, kami selalu berbicara
betapa pentingnya untuk menurunkan teknik pertarungan kepada generasi
berikutnya.”
“Itu
dia!” High Elf Archer berkata, berusaha untuk menjentikkan jarinya namun hanya
dapat menghasilkan suara yang pelan. Kemudian dia memanyunkan bibirnya kembali:
Dwarf Shaman berusaha untuk menahan tawanya melihat upaya gagal sang archer.
“…Apa?”
“Oh,
nggak apa-apa. Aku cuma penasaran apa yang kamu lagi pikirkan.” Dia membalas,
sama sekali tidak terusik dengan lototan mata High Elf Archer.
“Aku
nggak bakal lupain ini.” Sang elf berkata seraya sang dwarf berdiri tertawa dan
membelai jenggotnya. “Sudahlah, tapi kalau peringkat adalah masalahnya, kenapa
kita nggak cari beberapa Porcelain atau Obsidian untuk berpetualang bersama?”
“Bisa
saja.” Sang dwarf berkata. “Ini kan memang Guild. Perlihatkan mereka kalau kamu
dapat membimbing seseorang, kamu paham?”
“Um…”
Priestess melihat di sekelilingnya, bingung. Matanya sedikit berair. Dia
membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya kemudian mengangkat jari
telunjuknya untuk memastikan bahwa dia memahami ucapan mereka. “Itu
artinya…pergi berpetualang tanpa kalian semua?”
“Ya.”
Goblin Slayer berkata datar.
“Itu
bukanlah ide yang buruk.” Tambah Lizard Priest.
“Yah,
kalau begitu selesai sudah.” High Elf Archer berkata, telinganya mengayun
riang. High Elf Archer dapat di bilang abadi, perbedaan kecil tidak terlalu
membuatnya khwatir. “Pilih saja Porcelain secara acak—yah, mungkin acak bukan kata yang tepat, tapi—“
Partynya
tampak baru akan menyelesaikan permasalahannya ketika suara yang mengejek
terdengar:
“Heh!
Aku tahu kamu barisan belakang, tapi nggak mungkin seseorang cengeng sepertimu
bisa di promosikan!”
Hal
ini membuat High Elf Archer berdiri dan mulai mencari antagonis mereka. Sang
pemilik suara itu datang terhuyung dari salah satu bangku.
Adalah
bocah berambut merah—berpakaian dengan jubbah, memegang tongkat, memakai
kacamata. Wizard Itu.
Priestess
membuka mulutnya terkejut, kemudian matanya memandang marah.
“A-aku
nggak cengeng!”
“Masa
sih. Yang aku dengar cleric itu gampang nangis.” Dia mendengus dan bahkan tidak
membuka matanya sama sekali ketika dia berbicara dengan Priestess. Mungkin dia
berpikir tindakannya ini akan membuatnya terlihat lebih keren.
Tampaknya
dia tidak menyadari bahwa perbuatannya hanya membuatnya terlihat seperti orang
jahat.
“Kalau
kamu lagi dalam masalah, kamu pasti O
Dewa, tolong selamatkan aku! Huu-huu-huu!, ya kan?”
“Hei—!”
Priestess sama sekali tidak mengetahui harus berkata apa untuk membalas
tindakan mengejek ini, namun wajah pucatnya secara perlahan mulai menjadi
merah. Dia terlihat—yah, sudah seharusnya—marah. “Itu sama sekali nggak benar!
Aku punya berbagai macam—“
Berbagai macam apa? Apa
ada cara lain yang dapat membuatnya menyelesaikan kalimat itu dengan bangga,
penuh percaya diri?
Priestess
mengikuti instruksi dan menggunakan keajaiban, berdoa untuk keselamatan semua
orang. Berdoa kepada dewa. Namun apakah dirinya sendiri dapat melakukan apapun?
Jika iya, lalu apa?
Priestess
mendapati dirinya tidak dapat berbicara. Dia melihat ke lantai, mengepal kuat
tangannya.
Pria
muda itu membusungkan dadanya bangga. Namun denagn ragu dia mengambil satu
langkah mundur, kemudian langkah kedua, seraya Lizard Priest mendekatinya
dengan agresif. “Jika anda mengkritik seseorang, maka anda juga patut untuk di
kritik,” sang lizardman berkata. “Anda menghina seorang cleric, maka anda
menghina mereka semua.”
Lizard
Priest membuat gerakan mengancam dengan kepalanya. Sang bocah melihat
sekitarnya dan hanya setelah itu dia baru menyadari: dari petualang terbaru
hingga yang paling berpengalaman, setiap petualang di dalam ruangan sedang
melihat mengarahnya dan Priestess, yang tersipu begitu malu.
“Saya
rasa anda akan merasakan betapa sulitnya untuk dapat bertahan hidup di dunia
ini tanpa bantuan dari para dewa.” Lizard priest melanjutkan. Siapa yang dapat
menyalahkan dengusan kecil yang terlepas dari bibir sang bocah? Dia telah
berteriak di depan semua orang ini tanpa pikir panjang.
“Hei
kamu! Coba kamu katakan itu di depan mukaku!”
“Sudahlah
bego. Kita punya tikus raksasa untuk di buru. Itu akan jadi latihan yang bagus
buat kita.”
“Lepaskan!
Lepaskan aku! Aku akan beri orang itu pelajaran! Lepaskan aku!”
Apprentice
Cleric mengayunkan tongkatnya, seraya Rookie Warrior menyeret Apprentice Cleric
menjauh.
Reaksi
sang apprentice cukup terbilang ekstrim, namun seluruh ruangan ini memiliki
respon yang sama. Mungkin beberapa dari mereka memihak kepada Priestess di
karenakan dia seorang gadis, yang lainnya karena mereka lebih mengenal
Priestess di banding wajah baru itu. Namun kebanyakan dari tatapan menusuk yang
tertuju pada sang bocah itu termotivasi oleh hal lain yang lebih dari itu.
Beberapa
petualang mencemooh para cleric di karenakan mereka tidak berdiri di garis
depan, dan hanya berlagak seperti mesin penyembuh. Namun terdapat banyak
petualang yang telah terselamatkan oleh cleric-cleric itu. Semua orang pasti
akan terluka. Mengerang kesakitan, teracuni, terkutuk, di tinggalkan, tidak
satupun seseorang yang mengalami hal ini akan merasa senang.
Jika
kamu memiliki cleric dalam partymu, maka kamu berada di dalam party yang bagus,
dan tentunya, siapapun yang memberikan zakat, dapat menerima perawatan di kuil.
Bagaimana mungkin seseorang dapat meremehkan mereka yang bekerja untuk mereka,
berdoa untuk mereka, membuat keajaiban terjadi untuk mereka?
“H-hei,
Aku—“ Namun tidak ada petualang yang akan mundur begitu saja. “Aku petualang
juga!”
Sang
bocah mengumumkan dengan berani, walaupun dia mengetahui bahwa dia sedang dalam
kondisi yang tidak menguntungkan di sini. Semangatnya membuat beberapa mata
yang memandang terbuka lebar mengagumi.
Bisnis
berpetualang pada dasarnya adalah di mana semua orang harus bertanggung jawab
atas diri mereka sendiri. Oleh karena itu jika ada seseorang yang mempunyai
keberanian untuk berdiri sendiri tanpa adanya bantuan cleric, maka mereka bisa
saja mengejek para cleric sesuka mereka.
“Goblin?
Hah! Mereka nggak ada apa-apanya!”
Dia
menujuk tongkatnya mengarah Goblin Slayer seolah dia akan menggunakan mantra
pada petualang itu, sebuah pose klasik dari seorang wizard.
“Jangan mencatat! Aku nggak akan mengajarimu rahasia membasmi
goblin! Coba berburu tikus raksasa
saja! Semuanya omong kosong!”
Semua
emosi yang di tahannya hingga momen itu tumpah keluar.
“Aku
pasti akan membunuh goblin!”
Di
hadapan teriakan agresif ini, Goblin Slayer hanya sedikit memiringkan helmnya
penuh Tanya. Di sampingnya, High Elf Archer berkedut dan melipat tangannya
seraya dia melihat Goblin Slayer. “Siapa dia Orcbolg? Adikmu?”
“Bukan,”
Goblin Slayer berkata tegas. “Aku cuma punya kakak perempuan.”
“Oh?”
Sang archer menghela dan mengangkat bahunya dengan keanggunan yang hanya di
miliki oleh kaum elf. “Aku rasa aku sudah terlalu sering mendengar percakapan
seperti itu akhir-akhir ini, jadi aku sudah nggak kaget lagi.”
“Begitu?”
“Jadi
siapa sebenarnya bocah ini?”
“Pendatang
baru.” Goblin Slayer berkata. “Seorang wizard, sepertinya.”
Goblin
Slayer tidak melihat tindakan bocah itu yang melampaui batas, melainkan kepada
sang Priestess. Dia masih menatap lantai, pundaknya kaku, benar-benar terdiam.
Priestess berumur lima belas tahun—tidak, enam belas sekarang. Dia telah
menjadi petualang selama setahun penuh, namun dia masihlah muda. Apa yang
Goblin Slayer dapat katakana kepadanya, ketika pekerjaannya gadis itu selama
satu tahun telah di tolak seolah dia tidak melakukan apapun yang penting?
“Yah,
kalau begitu semuanya jadi mudah kan?” sebuah suara riang, dan bersemangat
menyela. Semua orang mengalihkan pandangannya pada suara baru itu. “Aku dengar
semuanya. Dan sebagai seorang Knight yang sah, Aku tidak bisa membiarkannya
begitu saja!”
Knight
Wanita berdiri di sana, mendengus bangga. senyum lebarnya membuat semua tampak
jelas bahwa dia ingin ikut terlibat hanya untuk bersenang-senang. Di
belakangnya, Heavy Warrior bergumam, “Aku nggak bisa menghentikannya.” Dan
mengangkat tangannya meminta maaf.
“Apaan
sih? …Siapa kamu? Ini nggak ada sangkut pautnya denganmu.”
“Heh-heh!
Suatu hari nanti aku akan jadi paladin yang terkenal, tapi aku nggak
menyalahkanmu kalau kamu belum mengenalku sekarang, pria muda. Aku punya ide
yang bagus!”
Knight
Wanita bukanlah sosok yang paling cerdas di ruangan ini, dia menjentikkan
jarinya, dan suaranya dapat terdengar di keseluruhan Aula Guild. Tampaknya dia
tidak menyadari ekspresi tidak menyukai yang tersirat di wajah High Elf Archer.
Knight Wanita menunjuk pada pria muda itu. “Kalau kamu sebegitu percaya
dirinya, pergi sana membasmi beberapa goblin.”
“Me-memang
itu yang mau aku lakukan!”
“Kalian
semua dengar dia,” Knight Wanita berkata, matanya berkilau berbahaya. “Tetapi!”
dia mengarahkan jari telunjuknya layaknya ujung pedang. “Yang akan jadi
pemimpinmu adalah gadis cleric itu!”
“Apaaa?!”
Priestess melamun melihat jari itu, tersadarkan kembali dengan jeritan. Dia
hampir tidak dapat memahami apa yang terjadi, seraya dia melihat Knight Wanita
dan bocah wizard itu. “A-a-aku harus memberikan—perintah—sama bocah ini?”
“Apa
maksudmu, ‘bocah ini’? Dan hei, nggak adil kalau ada syaratnya!”
“Jangan
naïf, pria muda. Lebih baik kamu menyalahkan dirimu sendiri karena sudah memulai
semua ini!”
“U-um,
aku belum bilang aku menerimanya…”
“Dan
kamu nggak perlu menerimanya!”
Usaha
Priestess untuk menolak terlihat sangat lucu. Heavy Warrior melihat
langit-langit tanpa berkata-kata. Tidak ada petir yang menyambar. Tampaknya
sang Supreme God telah mengakui bahwa Knight Wanita adalah bagian dari
ketertiban. Mereka membiarkan siapa saja
menjadi agen Ketertiban akhir-akhir ini…
“Hrm,”
gumam Goblin Slayer, yang menjaga jaraknya dari keramaian. “Bagaimana
menurutmu?”
“Saya
merasa bocah itu akan gagal di karenakan kurangnya pengalaman.” Lizard Priest
merespon dengan anggukkan. Dia memutar matanya sekali. “Saya tidak mengetahui
seberapa banyak mantra yang dapat dia miliki, ataupun berapa banyak yang dapat
dia gunakan, namun saya menyukai semangatnya.”
“Kita
nggak mengetahui tentang mantra miliknya.” Goblin Slayer menyetujui, dan
setelah beberapa saat dia menambahkan. “Aku rasa dia bisa menggunakan satu,
atau mungkin dua.”
“Bagaimana
menurut anda master pembaca mantra?”
“Apapun
itu, dia masih hijau.” Dwarf Shaman merespon tanpa adanya kebimbangan, membelai
jenggotnya dengan riang.
Tenggelam
dalam perdebatannya, sang bocah tidak mengetahui bahwa dia sedang di nilai oleh
orang-orang yang ada di sampingnya seperti ini.
“Dia
seperti batu,” sang dwarf melanjutkan. “Yang baru saja di gali, dan masih ada
tanah yang menempel. Kita nggak tahu apa yang ada di dalamnya sebelum dia di
asah sedikit.”
“Apakah
kita akan melakukan sedikit pengasahan?”
“Aku
mau saja.”
“Kalau
begitu sudah di putuskan.”
Sebuah
tangan mendarat pada pundak Goblin Slayer. Tangan itu milik seorang
raksasa—Heavy Warrior.
“Kamu
biasanya bukan tipe yang akan memuji petualang lain, Goblin Slayer.”
“Aku
nggak berusaha memujinya…” Adalah mustahil untuk mengetahui Goblin Slayer
bertingkah ironis atau memang jujur. Karena Heavy Warrior tidak dapat
menerkanya. Goblin Slayer memiringkan kepalanya. “Apa aku memujinya?”
“Iya.”
“Begitu…
Dan aku kira nggak biasanya kamu mengkhawatirkan orang lain.”
“Hei,
bukan aku yang khawatir. Salahkan wanita itu.” Heavy Warrior mengangkat dagunya
menunjuk kepada Knight Wanita yang membawa Priestess dan bocah itu bersamanya.
Secara
sekilas, mungkin mereka tampak seperti sedang berdebat. Namun pada akhirnya
Goblin Slayer tidak dapat mengatakan apapun pada Priestess.
Mengapa
Priestess menjadi bagian partynya sekarang, dan apa yang terjadi pada party
pertamanya: adalah hal yang hanya di ketahui oleh mereka berdua.
Adalah
Lizard Priestess yang menjadi perantara bagi pria muda itu, dan Knight Wanita
mengubah subyek pembicaraannya.
Goblin
Slayer tidak dapat melakukan kedua hal itu.
“….Maaf
merepotkan. Ini sangat membantu.”
“Nggak
usah di pikirkan,” Heavy Warrior menjawab dengan blak-blakan. Dia mengalihkan
pandangannya, menggaruk pipinya. “Hutangku sama kamu lebih banyak dari ini. Aku
akan bayar sedikit demi sedikit.”
Hal
ini membuat Goblin Slayer berpikir. Dia tidak memiliki ingatan akan perihal
hutang. Namun tampaknya hal ini sangatlah penting bagi Heavy Warrior.
“…Benarkah?”
“Yeah.”
“Begitu.”
Goblin Slayer berkata pendek. Di dalam helmnya, dia menatap Heavy Warrior. “Aku
yakin aku juga punya hutang denganmu.”
“Kalau
begitu, bayar sedikit demi sedikit juga.”
“Begitu.”
“…Jadi.
Apa yang kamu pikirkan?”
“Aku
berpikir tentang cara membunuh goblin.”
Heavy
Warrior mengernyit dan tersenyum kecil.”Sudah ku duga.” Dia bergumam. Adalah
reaksi yang sewajarnya bagi petualang manapun yang akrab dengan pria ini.
Goblin
Slayer ini.
Orang-orang
menganggap pria ini aneh dan janggal karena terus menerus berbicara tentang
goblin, namun mereka memanggilnya seperti itu karena keakraban mereka. Karena
mereka sudah sangat mengenal pria ini.
“Tapi.”
Goblin Slayer berkata pelan seraya dia melihat sekitaran Guild.
Terdapat
Knight Wanita dan bocach baru itu, masih berdebat, sementara High Elf Archer
sudah menyerah untuk menjentikkan jarinya dan mengeluh.
Terdapat
Lizard Priest dan Dwarf Shaman, memperhatikan ruangan ini dan tertawa seraya
mereka membuat rencana.
Terdapat
berbagai macam petualang, beberapa dia kenal, beberapa lainnya tidak, berdiri
di pinggiran grup dan terkadang memberikan pukulan bermain.
Seorang
inspektur di meja resepsionis tertawa kecil, sementara Gadis Guild tidak dapat
menahan senyum di wajahnya.
Terdapat
Spearman, yang baru saja menerima sebuah pekerjaan, berteriak “Yahuuu!” dan
melompat, yang membuatnya mendapatkan ceramah dari sang Witch.
Dan
di tengah-tengah semua itu, terlihat begitu kebingungan, adalah Priestess.
Priestess
juga berkata, “Aku bisa melakukannya juga.” Dan menjentikan jarinya untuk
memperlihatkannya pada High Elf Archer. Sang cleric tampak sedikit panik,
sedikit bingung, dan canggung, namun dia tampak seperti sedang menikmati
dirinya sendiri—untuk benar-benar menjadi bahagia.
Adalah
hal yang selalu terlihat di isni. Orang-orang, wajah-wajah, mungkin akan
berubah, namun pemandangan ini akan terus berlanjut.
“Tapi,”
Goblin Slayer berkata sekali lagi. “Akan baik sekali kalau semua berjalan
lancer.”
“Kamu
benar.” Heavy Warrior berkata dengan senyuman, dan menepuk pundak Goblin Slayer
dengan kuat.
5 Comments
mantapsss semangat min
BalasHapusHehehe... terima kasih mas.
Hapusakankah little-red brat ini bakal mati dipentung oleh goburin ? akwaokoaw
BalasHapusCampur aduk nih baca chapter 😅
BalasHapusSEMANGAT minnnn
BalasHapusPosting Komentar