SUMBER SIHIR
(Translater : Zerard)
Pertama,
kita harus menjelaskan kesalahan yang mereka buat.
Party
mereka memiliki peralatan yang lengkap. Party mereka sangat seimbang.
Mereka
siaga dan penuh persiapan dan mereka tidak membiarkan apapun mengacaukan formasi
mereka.
Akan
tetapi, mereka semua telah di binasakan? Mengapa?
Dewa
Kejujuran, bersemayam di surga, tidak di ragukan akan tersenyum dan berkata:
“Karena
aku memang lagi ingin mengancurkan sebuah party hari ini.”
*****
Quest
yang mereka ambil adalah untuk membersihkan monster yang ada di sekitar wilayah
di mana fasilitas latihan akan di bangun.
Pertarungan
dengan mereka yang tidak berdoa tidak ada habisnya sejak jaman para Dewa dahulu
kala. Kebanyakan dari benteng dan kastil di bangun dalam masa itu sekarang
menjadi tidak lebih dari sekedar reruntuhan.
Mereka
berlima menantang tempat kuno persis seperti itu.
Mereka
merupakan campuran dari tingkat Sembilan Obsidian dan tingkat sepuluh
Porcelain, mereka semua adalah petualang pemula. Mereka berhasil menjalani
beberapa petualangan, dan mereka mendekati reruntuhan ini seolah ini adalah
quest mereka berikutnya.
Mereka
menyerang goblin yang sedang beristirahat di sana.
Membentuk
barisan tempur, mereka mempersiapkan mantra mereka, dan masuk melewati pintu.
Pedang mereka berkilau, petir menyambar, bola api membara terbang, mayat
terinjak dan peti harta karun di buka. Sebuah tebas dan libas yang standar.
“Heh!
Sudah ku bilang kan, goblin itu nggak memuaskan.” Seorang lizardman berkata,
menyarungkan pedang gergaji gigi hiunya dan menghela napas. Ototnya yang kekar
di balik sisiknya, merupakan sebuah tanda jelas akan sebuah tubuh seorang
warrior. “Selama kamu menjaga mereka tetap di depanmu, nggak mungkin kamu akan
kalah.”
“Oh?”
terdengar tawaan dari seorang gadis manusia muda. “Menyenangkan sekali.” Dia
terlihat sehat dan rapi, namun cukup feminim: dia berpakaian dengan armor yang
bisa di anggap sebagai pakaian dalam. Kapak raksasa yang ada di kakinya
mengindikasikan bahwa gadis ini memiliki sesuatu yang lebih dari yang
kelihatannya. Seorang warrior priest dan pelayan dari Valkrie, tampaknya dia
sengaja memamerkan tubuhnya dengan bangga.
Anggota
party lainnya melirik kepada sang gadis dan menghela. Dia adalah pria paruh
baya manusia wizard. Dia menggosok kepalanya yang mulai rontok dan memfokuskan
matanya mengarah kepada wanita muda itu.
“Aku
senang kalau kamu senang, tapi tolong jangan menerjang masuk ke dalam barisan
musuh seperti itu. Aku jadi sulit untuk membidik mantraku.”
“Aw,
apa jendral kita lagi marah?” Warrior Priest tampak tidak terusik dengan
tatapan menegus sang wizard; senyumnya tidak layu sedikitpun. “Memangnya apa
salahnya? Kamu bisa menyimpan mantramu dan aku bisa melakukan keahlianku.”
“Itu
bukan—yah, sudahlah. Aku simpan ceramahnya buat nanti. Yang lebih penting,
bagaimana dengan status kita?”
“Tunggu.”
Jawaban
itu datang tidak dari Warrior Priest melainkan dari seorang pria berpakaian
hitam, yang berjongkok di depan sebuah peti harta karun yang di tinggalkan para
goblin dan pria itu berbicara dengan nada pelan dan suram.
“Makhluk
licik kecil itu sudah meninggalkan kita sebuah perangkap.” Dia berkata.
Keseluruhan tubuhnya tertutup dari kepala hingga kaki, dan jika di lihat dari
kemampuannya dalam membuka kunci dari peti, sangatlah mudah untuk mengetahui bahwa
dia adalah seorang thief.
Kemampuannya
di luar jangkauan manusia—benar, dia bukanlah seorang manusia. Telinga hitam
terlihat dari balik ikat kepalanya. Dia adalah seorang dark elf yang menjadi
makhluk yang berdoa.
“Apa
kamu bisa buka?” sang pemimpin bertanya.
“Jangan meremehkan aku,” sang dark elf
mendengus. “Di bandingkan dengan pekerjaan kaumku yang lain, ini mudah sekali
seperti permainan anak kecil.”
“Yah,
aku harap isinya lebih dari sekedar mainan anak-anak.”
Terdengar
suara klik lembut dan petipun terbuka. Seorang cleric yang taat mencondongkan tubuhnya mencoba
melihat.
Bergantung
di lehernya adalah sebuah lingkaran emas yang terikat rantai, symbol dari Dewa
perdagangan, yang melindungi para pengelana dan pedagang.
Sang
cleric tersebut mengernyit tidak menyukai dan menempelkan tangan pada pipinya,
ekspresinya tampak tidak bersemangat.
Keseluruhan
isi dari peti itu hanya terdiri dari koin kuno. Akan sangatlah merepotkan untuk
mengeluarkannya dari sana.
“Kalau
saja kamu nggak membawa banyak senjata, barang, dan persediaan pangan, uang ini
nggak akan menjadi masalah.” Cleric berkata.
“Hei,
cuma orang bodoh aja yang mengejek makanan.” Sebuah tangan besar bersisi
menepuk pundaknya. “Bagaimana mungkin kita bisa bertarung dengan perut yang
kosong?”
“Ya,
aku mengerti itu.” Cleric berkata, menyentuh tangan lizardman itu dan tersenyum
intim. “Itulah kenapa kita harus mendapatkan uang lebih dari pengeluaran kita.”
“Ahh,
dasar yang lagi di mabuk cinta…” Warrior Priest mempunyai ekspresi jijik dan
berkata. “Ayo, lanjut yang berikutnya. Masih ada tiga pintu lagi di makam ini.”
“Iya.”
Sang mage berkata. “Ayo cek pintunya. Mulai dari yang paling utara.”
“Nggak
ada jebakan,” sang dark elf menjawab, dengan cepat menempelkan telingannya pada
pintu dan merabanya dengan jari. Dia tidak perlu mendengarkan dengan seksama
untuk mengetahu napas kasar yang ada di balik pintu itu. “Sasaran kita yang
berikutnya ada di balik pintu ini.”
Mata
dari setiap party berkilau mendengarnya.
Bertarung
dengan monster, harta karun, kemenangan. Segalanya yang mereka inginkan dari
petualangan. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari ini di dunia.
Mereka
membentuk posisi tempur mereka. Lizardman dan Warrior Priest berada di barisan
depan, Jendral dan Acolyte berada di tengah, sedangkan Thief berdiri pada
barisan belakang, bersiap dengan belatinya, menjaga adanya serangan dari
belakang.
“Ini
dia!” dengan teriakan lantang, Lizardman mendobrak masuk ke dalam pintu busuk
kuno. Pintu itu terlempar ke depan dan party mereka membanjiri ruangan.
Sebuah
bayangan besar berdiri di tengah ruangan makam yang redup. Beberapa monster
yang tidak di kenal.
Seraya
monster itu berdiri perlahan, pentungan di tangan, Jendral menyadari makhluk
apa yang ada di depannya. Matanya
terbelalak lebar, dan pria yang biasanya selalu tenang itu, kini berteriak
sekuat tenaganya:
“Trolllllll!”
Troll.
Monster tersebut adalahg troll. Bodoh namun kuat. Pelan namun perkasa. Monster
itu tidak memiliki sisik, tidak memiliki kulit berbatu. Namun setiap luka yang
di deritanya akan dengan cepat sembuh, terkecuali dengan api.
Bagaimana mungkin ada troll
di sini…?!
Dalam
sekejap, Jendral tidak dapat berpikir dengan jernih. Memang benar terkadang
goblin menyewa seorang pengawal. Apakah ini hal seperti itu?
Apa kita bisa
mengalahkannya?
Seekor
troll tidak bisa di samakan dengan seekor ogre yang dapat menggunakan sihir,
namun itu bukan berarti mereka dapat meremehkannya juga.
Tidak—kita bisa menang. Kita
akan menang!
Jendral
menyingkirkan rasa takut dan heran yang menyerangnya dengan paksa dan mulai
memberikan perintah seperti pertarungan lainnya.
“Barisan
depan, halau dia. Acolyte, perkuat barisan depan kita. Thief, siapkan
penyergapan. Aku akan mempersiapkan api.”
“Kalau
begitu kamu nggak mau aku menjaga bagian belakang kita?”
“Kalau
kita tidak mengerahkan segala yang kita miliki, kita akan menerima
ganjarannya!”
“Aku
mengerti.” Thief menyelam ke dalam bayangan ruang makam ini, sementara Warrior
Priest berteriak. “Aku akan menyeranggg!” dan pertarunganpun di mulai.
“Bawakan kita kemenganan!”
“OLRLLLLLRT?!”
Serangan
dari kapak perang, di perkuat dengan Holy Smite, mengenaik batang kaki sang
monster, dan troll tersebut terhuyung seperti pohon di dalam badai.
“Heh!
Kamu nggak suka itu kan?”
“Yaaaaaaah!”
Lizardman tidak memanfaatkan kesempata itu untuk membawa pedangnya bergabung
dalam pertarungan. terbuat dari taring monster laut, pedang itu mengigit masuk
ke dalam kulit abu-abu troll. Namun kemudian—
“H-huh?!
Kulitnya keras!” Lengan Lizardman mati rasa, sensasi sama seperti ketika dia
menghantam batu dengan pedang kayu.
“Kenapa
kamu nggak pernah menunggu aku?” Acolyte mengeluh.
“Itu
salahmu sendiri karena lambat.” Lizardman berteriak seraya dia mengambil
langkah mundur, pentungan troll menghantam lantai tempat dia berdiri beberapa
detik yang lalu.
“Tooooooorllll!”
Ruangan
makam, yang telah berdiri selama ribuan tahun, kini terancam; ruangan bergetar
dan kerikil batu menghujani dari langit-langit.
“Hrh…
Makhluk ini cuma menang otot!” Acolyte berkata. Dengan campuran kecewa dan
kebencian, dia menggabungkan kedua tangannya dan menutup matanya. Doa ini akan
mengikis sebagian dari jiwanya, namun hal ini akan dapat membuatnya memohon
sebuah keajaiban secara langsung kepada dewa yang ada di surga.
“O dewa angin yang datang
dan pergi, berkahilah jalan kami dengan senyummu!”
Terdengar
suara whuuush seraya angin suci
keajaiban menghembus mengisi ruangan. Pedang lizardman menjadi lebih tajam
dengan angin suci dan kekuatan para dewa.
“Ini
baru mantap! O Leluhurku Yinlong,
saksikanlah aksiku dalam pertarungan!”
“Kalau
kamu mau berteriak kepada seseorang, seharusnya itu untuk Dewa Perdagangan!”
Sebuah
serangan dari Lizardman dengan ototnya yang di perkuat, berbenturan seimbang
dengan pentungan troll.
“OLLLLT?!”
“Aw
yeah!”
Kedua
senjata itu beradu dengan suara krak, momentum
itu membuat mereka saling terlontar menjauh. Pada saat troll tersebut
terhuyung, sebuah serangan kecil beruntun menyerang lututnya, sebuah serangan
kejutan dari dark elf.
Terdengar
suara yang tidak mengenakkan di saat serangan itu menyayat lututnya. Apapun
itu, serangan itu akan menyelesaikan pertarungan ini.
“TOOORRROOOO!!”
“Yikes!
Awas, awas, awas! Aku rasa kita semakin membuatnya marah!”
Akan
tetapi, mereka, sedang berhadapan dengan seekor troll.
Warrior
Priest terjatuh dan berguling dengan teriakan, berusaha menghindari pentungan
yang menyerang.
Kulit
monster itu bergelembung, luka yang di deritanya mulai tertutup kembali. Adalah
sebuah pemandangan yang paling di takuti bagi para warrior. Sebenarnya seberapa
banyak kerusakan yang mereka hasilkan? Dan ini ketika mereka masih memiliki
keajaiban di sisi mereka—sebuah keajaiban yang tidak akan bertahan selamanya.
“Mana
sihirnya?!” Acolyte meminta, keringat bercucuran pada dahinya.
“Sedang
aku usahakan!” Jendral berteriak kemudian kembali berkonsentrasi.
Dia
mengucapkan kata dari kekuatan sejati yang tercetak di ingatannya, menggunakan
kata itu untuk mengubah tatanan dunia itu sendiri.
“Carbunculus… Crescunt…
Iacta!!”
Oleh
karena itu dia adalah yang pertama mati di antara mereka.
Fireball yang di gunakannya terbang ke arah yang acak,
membakar batu dan menghilang dengan siraman percikan api. Apa menurut kalian
sang Jendral menyadari momen kematiannya, di saat sebuah suara tumpul yang di
iringi dengan sebuah pukulan di belakang kepalanya?
Kapak
batu para goblin membuat otak cerdas Jendral terburai di keseluruhan lantai
ruangan makam.
“GROORB!!”
“GORR!”
“Sergapan?!”
Siapakah
yang berteriak itu?
Sekarang
mereka melihat para goblin yang membanjiri masuk melewati pintu di belakang
mereka. Sangatlah terlambat untuk mengutuk para dewa. Menutup pintu hanyalah
akan memutus satu-satunya jalan keluar mereka. Adakah hasil lainnya yang akan
terjadi selain ini?
“GORBBO!!”
“OOOTLTLTL!!”
Lizardman,
melihat betapa cepatnya medan tempur ini berubah, menghantam mundur pentungan
troll dan berteriak. “Kami berdua akan menghadapi ini, Mundur!”
Alih-alih
jawaban, dia melihat sesosok bayangan gelap yang menyelinap di sekitar ruangan
makam. Sang dark elf telah berhasil berada di belakang troll dan melompat maju,
tampaknya berusaha untuk melindungi Acolyte.
“Kamu
juga mundur! Kamu bakal mati kalau cuma bermodal armor yang kamu pakai!”
“Nggak
mungkin! Aku nggak bisa, aku nggak bisa, aku nggak bisa!” Warrior Priest
berteriak. Wanita itu mengayunkan senjatanya sekuat yang dia bisa, namun
situasi mereka tetap tidak terlihat bagus.
Grup
yang beranggotakan tiga orang yang sebelumnya bertarung dengan sang monster
kini harus puas bertarung dengan hanya dua anggota dan harus memperhatikan
punggung mereka. (TL Note : saya agak kurang paham di sini, bukannya mereka
berempat? Apa dark elf tidak di hitung karena dia bersembunyi di dalam bayangan
untuk bersiap menyerang?)
Para
goblin telah membiarkan sang troll untuk mengalihkan perhatian para petualang
kemudian menyergap mereka dari ruangan makam lainnya. Betapa cerdas dan keji.
“…Hrg…”
Acolyte
berusaha memalingkan pandangannya dari Jendral, yang di mana otaknya masih
menetes di lantai; dia menggigit bibirnya keras hingga berdarah, tragedy
sesungguhnya adalah mereka telah kehilangan sumber sihir. Dia harus memikirkan
medan tempur yang sedang dia jalani. Jika dia ingin selamat, jika dia ingin
meraih kemenangan, maka dia harus mengesampingkan kematian rekannya saat ini.
Acolyte
mengulangi hal ini berkali-kali di kepalanya seraya dia menggabungkan kedua
tangannya dan mulai berusaha berdoa kembali.
“GRORORORB…!”
Itu
karena, dia sendiri belum keluar dari bahaya. Terdapat beberapa goblin yang
datang mendekatinya dari belakang—benar, hampir selusin. Dan para goblin
sangatlah terkenal akan kekejian mereka yang tidak kenal ampun kepada
tahanannya.
Goblin
membagi dunia menjadi tiga katagori: mainan untuk mereka, barang untuk di curi,
dan musuh. Persis seperti petualang yang akan membantai setiap goblin yang
mereka temukan, para goblin tentunya tidak akan membiarkan seorang petulangpun
hidup.
“Ah—
Ahh!” Acolyte tersandung ke depan seraya dia berusaha menghindari sebuah belati
berkarat.
“Terus
berikan bantuan!” sang dark elf berkata seraya dia datang untuk melindungi
gadis itu. Dia menangkis sebuah senjata goblin kemudian mendaratkan serangan
keduannya untuk menyayat tenggorokan monster itu. Terdengar suara cipratan
darah yang terlontar; sang dark elf memberikan sebuah tendangan kasar pada
makhluk itu.
“Kita
nggak akan bertahan lama di sini!”
“Baik!
Keajaiban, segera datang—!”
Acolyte
menggenggam lambang suci yang telah menggantung di antara dadanya yang
bergoyang, keringat mengaliri pipinya yang tidak berdarah seraya dia mengumbar
kalimat keajaibannya sekali lagi. “O dewa
angin yang datang dan pergi, berkahilah jalan kami dengan senyummu!”
Uang
membuat dunia berputar, begitu pula para pengelana. Dewa Perdagangan mengawasi
kedua hal itu. Beliau mengirimkan angin baru yang menghembus masuk ruang makam,
mengusir aroma barjamur yang mengisi ruangan.
“H-hraaaahhh!
Graaahhh!” Lizardman berteriak.
“TOOTLOR!!”
Sang
troll mengangkat pentungannya. Senjata mereka berdua saling berbenturan.
Warrior
Priest, rambutnya telah menjadi berantakan, menyiapkan senjatanya untuk
menyerang kaki sang troll.
“Te-terima
ini! Ayo sama-sama sekarang!”
“Ayo!”
Kapak
suci dan pedang bergerigi yang menyayat daging dan otot tanpa ampun.
“TOORL?!”
Terdapat
cipratan darah dan jeritan yang memekikkan telinga dari sang troll, dan
teriakan dari kedua warrior yang terdengar di keseluruhan ruangan.
Tidak
satupun dari ini yang dapat mengubah fakta yang sangat menyuramkan dari situasi
mereka.
Semua
luka yang mereka hasilkan pada sang troll merupakan luka yang sangat kecil. Dan
tiga melawan dua telah berkurang menjadi dua melawan satu—atau mungkin lebih
tepatnya, lima melawn satu telah menjadi empat melawan sebelas.
Tanpa
seorang mage, party mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan
mematikan. Akan tetapi, pada saat yang sama, jalan keluar mereka telah
terpotong dan mereka tidak dapat melarikan diri. Dapatkah mereka melakukan
sesuatu untuk merubah keadaan saat ini?
“Sial…
Sial! Sialan!”
Air
mata mulai membasahi mata Warrior Priest dan mengaliri wajahnya. Dia dan
Lizardman bertarung layaknya seekor singa, namun pada akhirnya mereka akan
mencapai batasan mereka.
Tidak
ada rasa takut. Hanya penyesalan.
Jika
mereka memiliki dark elf itu untuk menjaga belakang mereka, mungkin mereka
tidak akan di sergap. Akan tetapi, jika mereka melakukan itu, maka mereka tidak
akan mempunyai cara yang bagus untuk menyerang sang troll. Pada akhirnya,
warrior wanita itu berpikir, hasilnya akan sama saja.
Warrior
Priest sangat mengerti bahwa tidak ada jika
di dalam pertarungan. namun entah mengapa rasa penyesalan itu semakin
terasa pedih. Di manakah mereka telah salah? Mengapa semua menjadi seperti ini?
Dia membenci semua pertanyaan yang tidak dapat dia jawab.
“Grr…!”
Korban
kedua yang gugur dalam pertarungan adalah sang dark elf thief. Dia menghentikan
goblin yang pertama, membunuh goblin yang kedua, mengubur yang ketiga—namun
kemudian sebuah belati goblin menggesek pipinya. Kenyataan bahwa dia menyadari
sebuah cairan yang tidak di kenal yang melapisi belati itu adalah racun,
mungkin adalah sebuah bukti bahwa dia adalah seorang dark elf.
Dengan
tangan yang bebas, dia meraih ke belakang untuk mengambil sebuah botol dari
ikat pinggangnya. Sebuah antiracun.
“GRORB!”
“GROB!
GRRRORB!!”
Para
goblin, tentunya, tidak akan memberikannya kesempatan untuk meminumnya.
Mengandalkan jumlah mereka, mereka menerjang tanpa kepadanya tanpa gentar.
Gerakan sang dark elf mulai melambat, dan kemudian…
“Grgh—hagh!”
Dia
di kerumuni, di seret di lantai, dan di sana para goblin membedahnya nyawanya
melayang.
“Ahhh!”
Lizardman tentunya mendengarkan jeritan sang Acolyte.
“Hei,
kamu tidak apa-apa?!”
Adalah
sebuah tindakan yang ceroboh. Akan tetapi, siapa yang dapat menyalahkannya?
Kecantikan sang acolyte itu menjadi bahan bakar untuk menyemangati kegemaran
bertarung para lizardman.
Dalam
sekejap, dia melihat sebuah pentungan di angkat, dan turun mengarahnya, dan
tidak mungkin dapat di hindari.
Seekor
troll terlahir dengan kekuatan yang dapat merobohkan sebuah pohon; kemampuan
penyembuhan mereka juga begitu kuat. Sedangkan untuk senjata, pentungan cukup
kuno—namun sangatlah kuat.
Makhluk
ini sangatlah kuat, seekor musuh yang patut di takuti. Apakah hal itu tidak
cukup? Mereka memiliki rekan yang bagus, dan ini adalah musuh yang bagus.
Sungguh indahnya kehidupan.
Apakah
troll ini akan memakan jantungnya?
Hanya
itulah penyesalannya. Namun walaupun juga troll tersebut tidak memakannya,
mayatnya akan membusuk dan kembali dalam putaran besar.
Jika
begitu, apa lagi yang dapat dia katakan pada penghujung kehidupannya?
“—Luar
biasa!”
Tengkorak
warrior lizardman itu terbenam di dalam armor dadanya, dan dia telah mati.
Kematiannya seolah tampak seperti kepalanya telah di penggal, namun mayatnya
terjatuh tanpa banyak cipratan darah. Senjatanya terlepas dari tangannya dan
berdenting di lantai.
“Ti—“
Acolyte
melihat semuanya. Dia berdiri terbengong dengan matanya yang melongo, dan
dengan segenap jiwanya, sebuah jeritan memekikkan keluar. “Tidaaaaaaaak! Ini
mustahil! Nggak mungkin…!” Dia berniat berlari menuju rekannya yang telah
gugur.
“Jangan
bodoh! Sudah terlambat sekarang!”
Itu
hampir membuatnya berlari mengarah troll tersebut.
Jeritan
itu sangatlah cukup untuk mendapatkan perhatian dari sang monster dan para
goblin juga. Senyum hina pada wajah mereka sangat jelas menggambarkan imajinasi
mereka dalam pikiran dangkalnya.
“Ba-bajingan—!”
Warrior
Priest memberikan teriakan terbata-bata sebelum dia menerjang musuh.
Jika
dia memiliki niatan untuk melarikan diri, dia mungkin bisa saja melakukannya.
Jika dia berniat meninggalkan Acolyte, dia dapat kembali pulang dengan selamat.
Namun,
semuanya menjadi sia-sia: segalanya, dari saat dia terlahir hingga saat ini.
Semua latihan itu. Semua temannya. Mimpinya. Masa depannya.
Dia
sangat memahami itu semua. Akan tetapi, di dalam pikirannya, pilihan untuk
tidak melakukan apapun itu tidak pernah ada.
“Minggir!”
“Ah!”
Dia
mendorong Acolyte ke samping. Ekspresi terakhir yang di lihat wanita muda itu
pada wajah Warrior Priest adalah ekspresi seorang gadis yang telah kehabisan
tenaga.
Kemudian
dengan suara remuk, Warrior Priest menghilang, satu-satunya yang di tinggalkan
Warrior Priest adalah cipratan darahnya yang menempel pada pipi Acolyte. Pada
bagian bawah pentungan yang sekarang tergeletak di lantai, hanya terlihat
beberapa helai rambut dan sesosok tubuh yang menggeliat.
Pada
bagian atas pentungan, beberapa cipratan darah, dan beberapa cuil daging yang
menempel.
“Ah—ahh—ah—ah—“
Kaki
Acolyte bergetar, dan tenaganya menghilang. Dia bahkan hampir tidak sanggup
berdiri kembali. Dia merasakan sesuatu yang hangat dan lembab mengalir di
antara kakinya.
“GRRROR…!”
“GROB!
GROB!”
Satu
persatu, langkah demi langkah, para goblin mendekati secara perlahan. Mata
kuning hina mereka membara dengan niat-niat jahat; Tatapan menjijikkan mereka
menatap tubuh Acolyte secara keseluruhan, yang sekarang terduduk, dan hanya
bisa mengayunkan tangannya mengarah para monster yang mendekat.
“Ja-jangan!
Hentikan—tolong hentikan…!”
Dia
melawan dan melawan.
Salah
satu goblin memberikan lambaian tangan jengkel kepada penjaga mereka, troll.
“GROB!”
“TOOOORLL!”
Whuuush. Satu
ayunan pentungan. Semudah mematahkan sebuah ranting.
Terdengar
suara retak pada kaki Acolyte yang patah, bengkok pada arah yang tidak
sewajarnya.
“Eeeyyaaaaarrrrrgggghhhh!!?!?!?”
Jeritan
menyedihkannya bergema di keseluruhan ruang makam.
Hanya
butuh waktu sekejap bagi para goblin untuk menyeret Acolyte.
Betapa
menyedihkan bagi dia dan temannya, petualangan mereka berakhir di sini.
*****
Mari
kita ulangi kembali. Kita harus menjelaskan kesalahan yang telah mereka buat.
Mereka memiliki
peralatan yang lengkap. Party mereka sangat seimbang.
Mereka selalu waspada
dan siaga, dan mereka tidak membiarkan apapun merusak formasi.
Akan tetapi, mereka
telah dihancurkan. Mengapa?
Sang dewa Kebenaran,
bersemayam di surga, tersenyum dan berkata:
“Karena aku sedang
ingin menghancurkan sebuah party hari ini.”
*****
O petualang, O kisah
perjalananku
Apakah naga atau
seekor golem yang menungguku
Ataukah mungkin hantu
dari seorang knight?
Dan tentunya terdapat
benda legendaris di suatu tempat
Dengan hanya
bermodalkan obor dan sebuah tombak
Dan sebuah tongkat,
kehidupan sangatlah mudah.
Timur maupun
barat, daku menyebrangi jembatan
Mungkin untuk dapat
mati di sisi yang lain
Namun daku hanya
mencari cinta
Seorang permaisuri
akan daku syukuri, namun daku tidak berharap lebih
Hanya satu malam yang
penuh kenyamanan
O petualang, O kisah
perjalananku!
Sebuah
party beranggotakan enam orang, pergi menuju sebuah tempat yang berfungsi
sebagai fasilitas latihan, di temani oleh Priestess yang bersenandung sebuah
lagu. Dulu, terdapat sebuah desa kecil di sini, namun tempat ini sekarang telah
di penuhi dengan tenda dan orang-orang yang sedang menyibukkan diri.
Beberapa
dari mereka yang ada di sini memiliki sebuah tanda akan luka lama dalam tubuh
mereka; mereka pastinya adalah seorang petualang yang telah pension. Apakah
mereka bahagia bahwa masih terdapat pekerjaan untuk mereka bahkan setelah
mereka berhenti berpetualang? Ataukah mereka merasa frustrasi karena harus
bekerja walaupun telah pension?
Priestess
tidak dapat mengetahuinya, dia menoleh dari satu orang menuju orang berikutnya.
Kemudian dia melihat seorang wanita yang datang mengarah padanya, dan Priestess
berkedip.
Adalah
seorang elf. Seorang elf yang sungguh cantik, tubuhnya yang sensual di lapisi
dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya. Sebuah aroma samar akan parfum
yang mengambang seraya wanita itu lewat, menandakan bahwa wanita itu adalah
seorang pelacur.
“Whoa…”
Seorang bocah menghela. Tampaknya, Priestess bukanlah satu-satunya yang
terpukau pada elf itu.
Satu
lirikan kecil mengarah High Elf Archer memperlihatkan wajah sang elf yang
memerah; High Elf Archer mengalihkan pandangannya dan berusaha untuk
berpura-pura tidak mengetahui.
Priestess
merasa lega mengetahui bahwa Goblin Slayer tampaknya tidak memiliki reaksi yang
khusus; Priestess berusaha menekan pipinya yang tersipu.
“Ka-kamu
tahu. Aku mendengar rumor, tapi…”
“Ha-ha-ha-ha.
Pria itu sungguh makhluk sederhana, bukankah begitu?” Lizard Priest berkata
dengan tawaan lebar, menepuk ekornya pada tanah. “Ketika ada suatu cara untuk
menghabiskan uang, maka mereka akan menghabiskannya layaknya meminum air. Dan
mereka akan bekerja untuk dapat menghasilkan uang yang lebih banyak, dan
menghabiskannya kembali.”
“Yeah,”
High Elf Archer berkata, melirik pada sang Dwarf Shaman yang berada di
sampingnya. Hampir tampak seperti sebuah sihir, Dwarf Shaman mengeluarkan
sebuah sate daging dari suatu tempat dan mengunyah dengan lahap. “Aku paham apa
maksudmu…”
“Sikap
sok bangsawanmu itu yang membuatmu sulit untuk menikmati makanan pinggir
jalan.” Dwarf Shaman berkata seraya mengunyah. Dia menghabiskan keseluruhan
sate dengan begitu lahap dan kemudian mematahkan tusuk sate itu menjadi dua.
Dia menjilat minyat yang menempel di jarinya kemudian menghela dan menatap
tubuh High Elf Archer yang kurus. “Aku tahu elf tidak suka gemuk, tapi apa kamu
nggak bisa tambah sedikit daging di tulangmu, kalau kamu tahu maksudku…”
“…Hmph!”
Aku benci itu! Asal tahu saja ya, para elf itu—“
Dan
merekapun kembali berdebat seperti biasanya. Anggota party yang lain menganggap
ini adalah hal yang sudah lumrah, namun Wizard Boy belum terbiasa dengan semua
ini. Dia menarik lengan baju Priestess, terlihat sedikit panic. “Er, uh, h-hei.
Apa nggak sebaiknya kita melerai mereka?”
“Oh,
mereka teman baik kok.” Priestess berkata dengan senyuman.
Wizard
Boy melihat kepada perkelahian mereka, dan tidak mempercayainya. Orang yang
berlalu lalang melihat mereka namun tampaknya mereka tidak begitu
mempedulikannya; adalah hari yang biasa bagi kebanyakan petualang.
Wizard
Boy melihat kepada Goblin Slayer, namun Goblin Slayer tampak tidak terpengaruh
sama sekali, dan Lizard Priest pun juga sama.
“Benar
sekali. Ah tolong berikan saya ini.” Lizard Priest berkata. Tampaknya dia
sedang membeli sesuatu dengan keju di atasnya. Dia memakannya dengan satu teguk
dan berkoar, “Madu! Mm, madu manis. Jika seseorang bertanya kepada saya tentang
apa yang saya nikmati di hidup ini, saya tidak akan ragu menjawab : Ini dia.”
Benar-benar
berkilau (ya, kaum lizardmen dapat berkilau), dia mengangguk dengan riang.
“Saya rasa, seperti lagu yang sering terdengar, sebuah malam yang mencintai
seorang petualang, bukanlah sekedar malam biasa.”
“Yah,
uh, aku mengerti itu, tapi…”
Ibunda
Bumi adalah dewi panen dan berhubungan dekat dengan pernikahan dan persalinan.
Priestess menghela dan menggeleng kepalanya, mencoba untuk menjernihkan
pikirannya untuk sesaat.
Itu
karena, terdapat pekerjaan serius yang harus di lakukannya. Dia harus fokus.
Dia
menggenggam tongkat dengan kedua tangannya dan menghela napas dalam. Dia
mengulangi kembali prosedur yang harus di lakukan di kepalanya. Baiklah.
“Er,
kalau begitu, pak Goblin Slayer, ayo pergi?”
“Ya.”
Dia mengangguk singkat, mengundang sebuah senyum kecil dari Priestess.
Tampaknya Priestess telah benar: tidak ada masalah dalam langkah pertamanya.
“Mantap!
Jadi kita akan pergi langsung mencincang pantat goblin ya?” Priestess tidak
mengetahui secara pasti apa yang di pikirkan Wizard Boy, bocah itu mengetuk
lantai bersemangat dengan tongkatnya.
“Erm,
sayangnya masih belum…” Priestess berkata.
“Jangan
bodoh.” Goblin Slayer berkata, lebih blak-blakan di banding Priestess. “Kita
harus mengumpulkan informasi. Kita akan pergi menemui pemohon quest.”
*****
Pertama, kita harus
memperhatikan kemampuan mereka.
Kekuatan
Wizard Boy dan kemampuan Priestess untuk memberi perintah. Adalah kesempatan
sempurna untuk mengetahui kedua hal tersebut.
Tidak
ada yang keberatan dengan proposal Goblin Slayer, dan tidak lama kemudian party
mereka berangkat dengan bocah berambut merah yang mengikuti.
Quest
kali ini datang dari seorang mandor yang mengetuai pembangunan fasilitas
latihan, seorang sosok penting di dalam Guild Tukang kayu. Dia duduk di sebuah
tenda di ujung area pembangunan, seorang dwarf dengan jenggot hitam yang tampak
sangar seraya dia memahat sebuah batu.
Dia
menuangkan sesuatu dari sebuah gelas cantik ke dalam suatu mangkuk dan
menawarkannya kepada mereka sang petualang. Adalah sebuah anggur dingin, dan
terasa begitu nikmat di tenggorokan mereka yang kering setelah banyak
berbincang-bincang.
“Mane
fire winenye, kawan?” Dwarf Shaman berkata.
“Bloon.
Cume pare dwarf nyang bise minum di tengah hari dan tetap bekerje. Temanmu itu
manusie kan ye, kawan?”
Setelah
pertukaran ini, Dwarf Shaman dan mandor bertukar salam dengan bahasa dwarf.
Semua terjadi dengan tiga sulang gelas. (TL Note : Di dalam translate inggrisnya,
percakapan dwarf shaman dan mandor menggunakan logat Australia atau british,
jadi saya di sini coba pake logat betawi. Walaupun saya sendiri bukan betawi
hehehe…)
“Untuk jenggot panjang para
dwarf,
untuk dadu para dewa,
untuk petualang dan monster!”
Mandor
mengelap beberapa tetesan dari jenggot hitamnya dan berkata, “Baiklah kalau
begitu. Beberapa hari yang lalu, sebuah party yang cukup terkenal mengambil
quest ini.”
Goblin
Slayer meneguk anggur dan menyela, “Dan mereka nggak pernah kembali.”
“Benar.”
Sang mandor menjawab datar.
Dia
sedang berhadapan dengan petualang tingkat Silver, dan lagi dirinya sendiri
adalah seorang dwarf, kaum yang di cintai oleh besi dan api. Sangatlah tidak
mungkin untuk tidak mengenal pria yang ada di depannya, dengan semua
perlengkapan unik petualang itu.
“Kamu
yang mereka panggil Beardcutter,” dia berkata.
“Ya.”
Goblin Slayer mengangguk pelan. “Beberapa orang menyebutku seperti itu.”
“Goblin
Slayer…” sang mandor berkata pelan, kemudian dia tersenyum dan menghabiskan
gelas yang di genggamnya dengan satu tegukan seolah sedang meminum air. “Apa
yang mau kamu ketahui?”
“Goblin.”
“Yeah,
mungkin nggak Cuma goblin aja, walaupun mereka berjumlah banyak sekali.” Sang
mandor melipat kaki dan tangan berototnya, mendengus, menunjukkan sebuah gigi
taring yang tajam. Goblin terkutuk itu. “Untuk
saat ini mereka cuma mencuri peralatan… yah walaupun nggak ada sekedar ‘Cuma’
dalam lokasi konstruksi, tapi, akan menjadi masalah kalau mereka mulai melukai
seseorang.”
“Jadi
memang goblin.”
“Aku
kenal banyak pekerja yang tidak berpenghasilan banyak. Dan aku juga tahu bahwa
pekerjaan goblin tidak menghasilkan banyak uang.”
“Ya.
Kurang lebih seperti itu.” Goblin Slayer mengangguk.
“Hei,
Orcbolg…” High Elf Archer menyikutnya dengan siku. Sang mandor mengernyit
karena pecakapannya telah di ganggu oleh seorang elf, namun dia tidak berkata
apa-apa. Dia sangat memahami bahwa setiap petualang memiliki caranya sendiri.
“Kenapa?”
Helm itu berputar kepada sang elf dengan pertanyaannya yang datar.
Sang
elf mengepak telinganya dan berbisik. “Semua baik-baik saja sih, tapi kamu
nggak lupa kalau gadis itu yang memberikan perintah hari ini kan?”
“Aku
nggak lupa.”
“…Kamu
yakin?”
“Tetapi,
aku akan ambil alih jika keadaan mendesak.”
“Ya,
tolong. Aku sangat menghargai itu.” Priestess berkata dengan senyuman dan
kepala menunduk. “Itu akan jauh lebih aman.”
Ini
adalah benar-benar apa yang di rasakan oleh Priestess. Dia akan jauh lebih
senang dirinya di anggap tidak kompeten di bandingkan harus melihat partynya
terbantai karena kesalahannya. Kemampuan akan meningkat seiring pengalaman,
namun rekan yang telah gugur tidak akan dapat di hidupkan kembali.
Memperhatikan
Goblin Slayer dan Priestess, sang mandor dwarf menghela kagum.
“Kalau
begitu, um.” Priestess memulai.
“Ahem.
Apa yang bisa aku lakukan untukmu, gadis?”
“Terima
kasih pak. Kalau kamu nggak keberatan, sekarang aku yang akan bertanya.” Dia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap matanya.
“Goblin
ini…er, monster apapun mereka. Bisakah kamu menjelaskan reruntuhan yang mereka
tinggali?”
“Bisa.
Salah satu dari orang bodoh yang barangnya telah di curi, merasa marah dan
berusaha mengikuti mereka, tapi aku menghentikannya.” Sang mandor mendengus,
tampaknya dia lebih marah kepada tukang kayu yang telah kehilangan barangnya
ketimbang goblin yang mencurinya.
“Para
dwarf memang seperti itu.” Dwarf Shaman berkata dan berbisik kepada Priestess.
“Kami tidak suka dengan seseorang yang tidak bisa menjaga peralatannya.”
Masuk
akal. Priestess mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mengembalikan peralatan
apapun yang kita temui.” Dia berkata.
“Aku
hargai itu,” sang mandor berkata, wajahnya melembut menjadi senyuman. “Dan
mungkin orang bodoh itu akan lebih hati-hati di kedepannya.”
Ah, bagus. Priestess
bersorak bangga di dalam hatinya. Kamu harus memiliki hubungan yang baik dengan
pemohon quest dan warga lokal lainnya. Adalah sebuah pikiran yang terlintas di
kepalanya, dan itu juga salah satu pedoman party Goblin Slayer. Para petualang
tidak akan bisa berhasil tanpa adanya dukungan dari orang lain.
“Tempatnya
arah utara sedikit dari sini. Aku bisa buatkan peta untukmu. Aku rasa tempat
itu adalah—“
“Mausoleum.”
Goblin Slayer memotong. Dia meneguk satu gelas anggur lagi dan melanjutkan.
“Aku dengar itu tempat penguburan umum, sebuah kumpulan ruang makam yang di
hubungkan dengan jalan.”
“Kamu
tahu?”
“Dulu.”
Goblin Slayer berkata pelan. “Aku di peringati untuk nggak mendekatinya.”
Kemudian
dia terdiam kembali. Priestess berkedip melihat Goblin Slayer.
Dulu.
Jika
sekarang Priestess memikirkannya, dia telah menghabiskan setahun penuh di sisi
Goblin Slayer, akan tetapi, dia hampir tidak mengetahui sama sekali masa lalu
pria itu.
Dia punya kakak perempuan.
Dia telah menjadi petualang selama lima atau enam tahun. Dia membasmi goblin.
Priestess
sudah mengenal beberapa karakteristik pria itu, seperti bagaimana baik dan
perhatiannya pria itu kepada orang lain, namun sebenarnya seberapa banyak yang
Priestess ketahui tentang pria itu?
“…”
Nggak, sekarang bukan
waktunya. Priestess menggeleng kepalanya. Dia tidak boleh
melalaikan tugasnya sebagai ketua dari quest pembasmian goblin yang sedang
mendekat.
“Ahem.”
Priestess berkata. “Jadi apa ada hal yang aneh tentang pintu masuk ke dalam
mausoleum itu? Tulang atau lukisan atau apapun itu?”
“Orang
bodoh itu nggak bilang hal semacam itu, itupun kalau kita berasumsi dia lupa
untuk melihatnya.”
Nggak ada totem kalau
begitu.
Priestess
mengetuk jari telunjuknya pada bibir dan bergumam, “Baik, baik.”
Itu
artinya tidak ada kehadiran shaman apapun, sebuah kelas yang lebih tinggi.
Tentu saja, setahun berpetualang telah membuatnya sangat menyadari bahwa mereka
bukanlah satu-satunya ancaman. Adalah sangat penting untuk tidak meremehkan
musuh.
Jadi
sekarang, apa yang terpenting adalah…
“Apa
kamu mengetahui tingkat dan komposisi party yang pergi sebelum kami?”
“Aku
nggak ingat siapa yang tingkat apa, tapi mereka campuran dari Porcelain dan
Obsidian. Untuk kelas mereka, ini cuma berdasarkan apa yang aku lihat—“
Sang
mandor melipat tangan dan menatap langit-langit tendanya. Dia menggali
ingatannya, seraya dia menghitung dengan jarinya.
“Seorang
lizardman warrior dan cleric—warrior priest. Kemudian ada wizard, cleric lagi,
dan semacam thief atau assassin.”
“Apa
ada wanita di antara mereka?”
“Ada
dua. Warrior Priest dan cleric—atau, er, mungkin dia apa yang kalian sebut
acolyte?”
Sesuatu
yang dingin menghembus perut Priestess: itu
artinya ada kemungkinan mereka berdua masih hidup…paling nggak.
Priestess
menggigit bibirnya, tidak mempunyai pilihan lain selain menerima fakta yang ada.
“Apa
kamu memiliki potion cadangan yang bisa di berikan?” Priestess bertanya. “Tentu
saja, kami akan membayarnya.”
Mereka
telah melakukan persiapan sebelumnya, tentu saja, tidak ada salahnya untuk
memiliki lebih banyak benda penyembuh. Kemampuan untuk menyembuhkan tanpa
menggunakan sebuah keajaiban sangatlah di perlukan.
“Oke,
nggak masalah,” sang mandor merespon dengan baik. “Ada lagi yang kalian
butuhkan?”
“Hmm…
Yah, kalau ada dokter di sekitar sini, tolong minta mereka untuk tunggu di
sini…”
Seraya
mereka terus berbicara, Goblin Slayer bergumam pelan “Hrm” dia berputar
mengarah Lizard Priest. “Bagaimana menurutmu?”
“Saya
rasa keputusan beliau sangat tepat,” jawab Lizard Priest, yang tidak ikut
campur dalam percakapan hingga detik ini. “Dua jika memungkinkan. Namun saya
cukup yakin mereka semua telah di hancurkan.”
“Ap—?!”
Wizard Boy menganga mendengar deklarasi Lizard Priest yang sangat fasih. Mata
reptile Lizard Priest berputar dan menatap pada sang wizard.
“Ada
apa?”
“Ng-nggak…”
“Mm.
benarkah? Oh puji Tuhan ada keju. Sungguh orang-orang yang sangat baik. Mohon
permisi.”
Lizard
Priest menghiraukan tatapan terheran sang bocah dan menjulurkan tangan
bersisiknya. Dia mengambil sebuah piring di dekat Priestess dan dengan senang
hati mengunyah apa yang ada di atasnya. Adalah keju, tampaknya di hidangkan
dengan anggur sebagai sampingan. Sebuah senyum menghias rahang besarnya.
“Ahh,
madu, madu manis! Mmmm. Apakah keju ini juga berasal dari kebun anda, tuanku
Goblin Slayer?”
“Kemungkinan.”
“Sempurna!”
Dia
tampak sungguh tidak terusik. Bagi kaum lizardman, adalah hal yang sewajarnya
bagi semua makhluk hidup untuk mati di suatu hari. Cepat atau lambat, momen
tersebut akan datang. Mereka mungkin memiliki jalan hidup yang berbeda;
beberapa mungkin lebih kuat dari yang lainnya; dan beberapa akan mati dengan
caranya sendiri. Namun hanyalah itu perbedaannya.
Lizard
Priest menelan sebongkah keju dan kemudian menjilat ujung hidung dengan
lidahnya.
“Mungkin
kita harus waspada dengan adanya kemungkinan makhluk lain selain goblin di
sana.” Lizard Priest berkata.
“Ya.”
Goblin Slayer menyetujui. “Tapi kalau nggak ada totem, itu artinya kemungkinan
besar nggak ada shaman.”
“Biarpun
begitu, para petualang itu nggak berhasil kembali. Aku harap nggak ada Paladin
lainnya.”
“Hob
akan lebih mudah untuk di atas.”
“Atau
makhluk Tak Berdoa lainnya.”
“Apapun
itu, jebakan adalah yang paling berbahaya.”
“Mausoleum
tentunya terbuat dari batu. Mungkin mereka tidak akan muncul dari balik dinding
kali ini.”
“Mereka
mencuri beberapa peralatan konstruksi, tapi bukan alat untuk menggali tanah.
Aku rasa kita akan berhadapan sekitar dua puluh goblin.”
“Namun,
Saya pikir kita dapat berasumsi bahwa jumlah mereka telah berkurang. Saya rasa
tidak mungkin bagi petualang sebelum kita untuk tidak dapat membunuh satupun
goblin.”
“Walaupun
begitu, kita nggak punya waktu. Kalau mereka sudah bosan dengan tangkapannya,
mereka akan datang menyerang.”
“Kalau
begitu, kita harus menghabisi mereka secara sekaligus. Apa menurutmu kita bisa
melakukannya?”
“Itu
akan tergantung dari keputusan gadis cleric kita.”
“Biarpun
begitu.”
Percakapan
yang terjadi di antara mereka berlalu dengan begitu cepat hingga membuat sang
bocah berkedip bengong.
Ketangguhan
warrior lizardman sudah sangatlah terkenal, namun sang bocah tidak pernah melihatnya
secara langsung. Dan kemudian terdapat petualang lainnya yang sedang berbicara
kepada sang lizardman, dengan armor kotor dan helm yang terlihat murahan. Dia
adalah apa yang mereka sebut sebagai orang paling baik di perbatasan.
Namun
terdapat perbedaan besar, antara mengetahui sesuatu dan melihatnya secara
langsung. Oleh karena itu ketika sang bocah mendengar High Elf Archer menguap
mengantuk, sang bocah melotot mengarah sang elf.
“…Kamu
ini kenapa sih?” Tanya sang bocah. “Apa kamu nggak menyumbang sesuatu di sini?”
“Kalau
waktunya tiba.” High Elf Archer berkata. Dia mengelap air mata di ujung
matanya, dan telinganya berkedut. “Aku ini seorang scout dan ranger. Aku akan
biarkan orang lain tangani hal lainnya.”
“Dia
benar soal itu, bocah.” Dwarf Shaman memotong. Dwarf Shaman tampak sedang
memegang cangkir; dia menuangkan fire wine dari botol yang ada di pingguolnya.
“He-hei,
kita ini akan memulai petualangan tahu!”
“Jangan
bodoh bocah. Seorang dwarf yang nggak mabuk itu bagaikan batu yang ada di pinggiran
jalan.” Kemudian dia batuk. Bahkan dari tempat Wizard Boy berdiri, dia dapat
mencium bau alkohol dari napas sang shaman. “Sekali-sekali, aku setuju dengan
Telinga Panjang. Pembaca mantra harus dapat mengatur emosinya.”
“Kamu
nggak perlu bilang sekali-sekali,”
High Elf Archer berkata dengan dengusan. “Aku selalu berkata hal-hal yang
paling cerdas dan mutakhir.”
“Serius?”
“Serius.”
Tiba-tiba,
Dwarf Shaman tampak kehabisan kata-kata. Dia membuka mulut untuk menjawab namun
kemudian menyadari ekspresi tidak percaya sang bocah.
Dwarf
Shaman membersihkan tenggorokannya sekali. “Bagaimanapun juga, kita semua punya
peran masing-masing.” Dia berkata.
“Peran?”
sang bocah berkata, penuh curiga. “Maksudmu seperti dia yang warrior dan aku
yang wizard?”
“Nggak!
Nggak begitu juga!” Dwarf Shaman berkata, mengayunkan tangannya seolah seperti
mengusir lalat. “Beardcutter dan Scaly di sana adalah petarung baris depan
kita, jadi mereka yang akan memutuskan strategi terlebih dahulu.”
“Gadis
itu yang bertanya sekarang karena kami keputusan kami.” High Elf Archer
berkata, menggambar lingkaran di udara dengan jari telunjuknya. “Biasanya gadis
itu yang mengurus barang bawaan, memastikan persediaan kami, dan semacamnya.”
“Kamu
seharusnya bisa sedikit lebih rajin juga, Telinga Panjang.”
Telinga
High Elf Archer menegang kebelakang, dan menggerutu marah, namun Dwarf Shaman
hanya menyentuh pundak sang bocah.
“Lihat
baik-baik, bocah,” dia berkata. “Ingat ini.”
“…”
Wizard
Boy memperhatikan Dwarf Shaman tanpa berkata-kata kemudian menyingkirkan tangan
yang ada di pundaknya. “Membawa barang bawaan artinya melakukan semua tugas
kecil kan?”
High
Elf Archer tertawa kecil melihat Dwarf Shaman di kucilkan, namun Dwarf Shaman
Tertawa terbahak-bahak.
Ketika
Priestess telah selesai melakukan percakapannya, party mereka pun saling
bertukar pikiran dan berdiskusi. Sang bocah memperhatikan mereka dengan seksama
dari salah satu sisi tenda.
“…Kalau
kamu bisa membantai beberapa goblin, apa itu nggak cukup bagus?” dia bergumam,
begitu pelan sehingga tidak satupun dari mereka yang mendengar.
*****
Mausoleum
terkubur di antara beberapa bukit kecil dengan mulut pintu yang menganga lebar.
Di atas pintu masuk adalah sebuah bukit kecil yang di penuhi dengan rumput dan
pepohonan; apakah bukit tersebut di buat di atas pintu masuk atau pintu masuk
itu di gali dari bukit, adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat di jawab.
Mausoleum ini sudah begitu usang di makan oleh waktu.
Adalah
lewat tengah hari ketika para petualang tiba. Mereka telah kehilangan cahaya
[aginya, matahari telah melewati puncaknya, kini cahayanya menyinari lahan
dengan miring. Senja akan segera datang, dan kemudian semua akan di telan oleh
kegelapan.
Kesempatan
sempurna.
“Aku
mengerti sekarang.” High Elf Archer berkata kepada Goblin Slayer dengan tawaan,
telinganya berayun penuh rasa ingin tahu. “Ini pasti tempat yang anak kecil
suka datang untuk bermain.”
“Ya.
Itulah kenapa aku di larang datang ke tempat ini.”
“Tapi
kamu pasti tetap mendatanginya.” Dwarf Shaman berkata sambil menyengir, seolah
mengharapkan sebuah kisah kenakalan masa muda Goblin Slayer. Dia menyikut
Goblin Slayer untuk menegaskannya.
Goblin
Slayer berusaha menggali ingatannya yang kabur, berusaha mengingat hari yang
telah lampau. Adalah lebih dari sepuluh tahun yang lalu—tidak, tepat sepuluh
tahun yang lalu, dan dia bukanlah orang yang sama.
“…”
Apakah
dia pergi ke sana? Dia tidak dapat mengingatnya.
Namun
dia meragukannya. Jika dia melakukannya, dia akan mendapatkan omelan dari kakak
perempuannya. Dia paham bahwa merepotkan kakaknya adalah perbuatan yang salah.
Oleh karena itu dia tidak pergi ke dalam mausoleum. Mungkin.
“Lupakan
saja.” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala.
“Baiklah.”
Dwarf Shaman berkata pendek. “Kalau begitu kamu nggak bisa memberi tahu kami
apa yang ada di dalam ya?”
“Aku
di beri tahu di bangun banyak jalan dan ruang kubur.” Ya. Goblin Slayer mengangguk. Dia mengingatnya sekarang. “Itu apa
yang di katakan kakakku.”
Kakaknya
memberi tahu dirinya karena dia ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya.
Kakaknya mencari tahu makan siapa yang ada di dalam dan memberi tahunya.
Itulah
mengapa dia tidak pergi ke dalam ataupun berada di dekatnya.
Goblin
Slayer sangat berharap untuk dapat mengingat semuanya. Dia tidak ingin
melupakannya.
Namun
sekarang ingatannya layaknya sebuah baju penuh lubang. Detil terperincinya
telah hilang, dan semuanya menjadi ambigu.
Sepuluh
tahun—siapa yang menyangka dulunya terdapat desa di sana.
“Apapun
itu, itu sudah lama sekali.” Goblin Slayer berkata. Kemudian mengganti subyek
pembicaraan dengan paksa. “Jadi bagaimana menurutmu?”
“Hmm…
Yah, nggak ada totem, dan nggak ada penjaga juga.” Priestess menjawa. Dia
mengetuk bibir dengan jarinya, memperhatikan reruntuhan yang berada di
depannya.
Di
dekat pintu masuk, dia melihat tumpukan sampah yang merupakan karakteristik
dari lubang goblin. Namun hanya itu saja. Dia tidak melihat adanya simbol
binatang yang para goblin sembah.
Paling nggak kita bisa cukup
yakin nggak ada shaman sama sekali…
“Ayo,
tunggu apa lagi! Petualang lainnya di sandra mereka kan?!”
Priestess
merasakan degupan kecil di hatinya ketika mendengar terikan sang bocah.
Dia persis seperti aku
setahun yang lalu.
Priestess
sudah begitu merasa siap untuk ikut ketika sang bocah, monk, dan wizard
berkata. “Ayo cepat dan selamatkan orang-orang itu!”
Priestess
masing mengingat hasil akhir yang terjadi. Walaupun dia sendiri ingin
melupakannya. Kenangan itu menghantui mimpinya.
Lalu
bagaimana dengan dirinya yang sekarang? Dia masih cemas, pengecut dan penakut,
namun…
“Mohon
tunggu.” Adalah Lizard Priest yang menyodorkan tangan bantuan kepada Priestess
seraya Priestess berdiri di sana hanyut dalam pusaran pikirannya sendiri.
Tangan bersisi, dan bercakar menepuk pundak Priestess. “Pepatah mengatakan
‘Takkan lari gunung dikejar, hilang kabat tampaklah dia’.” (TL Note : Mungkin
pribahasa ini tidak 100% cocok dengan apa yang ada pada LN inggrisnya, tapi ini
pribahasa yang menurut saya paling dekat artinya.)
“Baik…”
Priestess mengangguk. Tenang. Jangan
terburu-buru. Harus tepat.
Pertama,
mereka harus…melakukan pemeriksaan terakhir pada perlengkapan mereka.
“Semuanya,
apa perlengkapan kalian baik-baik saja?” dia bertanya, memeriksa
perlengkapannya sendiri seraya bertanya.
Priestess
memiliki tongkatnya, dan dia menggunakan baju besinya. Di dalam tasnya terdapat
beberapa potion, begitu juga perlengkpan petualangannya. Tidak boleh melupakan
itu.
Terdapat
berbagai macam benda yang terdapat di dalamnya. Baju, tali, paku, palu, kapur,
lilin dan lain-lain.
Nggak boleh ketinggalan.
Ini
adalah bagaimana cara dia selalu memulai, namun Priestess merasa senang karena
tidak ada yang mempertanyakan pemimpin sementara mereka.
Armor
kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan, pedang dengan kepanjangan yang
aneh, dan sebuah perisai bundar, bersama dengan tas yang berisi berbagai macam
barang.
Seraya
Goblin Slayer memeriksa perlengkapannya sendiri, High Elf Archer mengikat
kembali benang laba-laba pada busurnya. Dwarf Shaman memeriksa tasnya yang
penuh dengan katalis, dan Lizard Priest menghitung berapa banyak taring naga
yang dia miliki.
Hanya
sang bocah yang melakukan pemeriksaan seadaanya: dia hanya melihat tongkat dan kemudian
jubahnya, itu saja.
“Dan
apa yang anda ingin kami lakukan berikutnya, nona pemimpin?”
“Oh,
sudahlah. Kamu pasti menikmati ini semua, aku yakin.” Priestess menggembungkan
pipinya.
“Ha!
Ha! Ha! Ha! Ha!” Lizard Priest tertawa, rahang besarnya terbuka lebar.
“Ya ampun,” Priestess
bergumam, adalah benar waktu sangatlah penting. Mereka harus memutuskan formasi
mereka.
“Kita
mungkin akan merubahnya berdasarkan seberapa besar jalan yang ada di sana,”
Priestess berkata, “tapi karena kita berjumlah enam orang sekarang, aku rasa
dua baris bertiga, atau tiga baris berdua adalah pilihan yang baik.”
Kedengarannya bagus. High
Elf Archer mengangguk. Kemudian dia menunjuk pada pintu masuk, memperhatikan
ukurannya. “Perkiraanku—itu kalau berasumsi jalan di dalam sama lebarnya dengan
pintu masuk—tiga baris bakal bisa.”
“Hmm.
Oke, kalau begitu tiga baris berdua.” Priestess berkata, kemudian menepuk
tangannya. Jika jalan di dalam ternyata sedikit lebih lebar, semua akan menjadi
lebih muda. “Jika terdapat ruang yang cukup untuk berjajar tiga baris, kita
bisa mengubah formasi kita kalau keadaan membutuhkan.”
“Sempurna,”
High Elf Archer membalas. “Nggak boleh memprotes pemimpin kita, ya kan?” Dia
mengedipkan matanya dan tertawa kecil.
“Oh,
sudahlah…” Priestess menghela napas. “Untuk susunan barisan kita…”
Priestess
berpikir sejenak, namun pada akhirnya, memilih formasi biasa mereka. Goblin
Slayer dan High Elf Archer akan berada di depan. Priestess sendiri dan bocah
wizard berambut merah akan berada di tengah, sedangkan Lizard Priest dan Dwarf
Shaman akan berada di belakang. Jika mereka menemui musuh di depan, High Elf
Archer dan Lziard Priest akan bertukar tempat. Jika terdapat serangan dari
belakang, Dwarf Shaman dan Goblin Slayer akan bertukar tempat.
Ini seharusnya bisa… Aku
yakin…
“Kamu
nggak akan menaruh pengguna sihir di belakang?!”
“Musuh
nggak cuma menyerang dari depan tahu.” Priestess berkata, tersenyum ambigu dan
menggelengkan kepalanya. Dia dari semua orang yang berada di sini, tidak dapat
membiarkan bagian belakangnya begitu saja.
“Oh,
dan…” dia menambahkan.
“…Apa?”
“Kita
harus menyamarkan bau tubuh kita.”
Dia
menepuk tangannya kembali. High Elf Archer mengernyit. Sang bocah mengeluarkan
suara tidak memahami.
Terdapat
tiga orang yang menggunakan pakaian yang bersih. Kebalikannya, hanya terdapat
dua orang yang membawa parfum.
Dan
kedua wanita itu tidak sedang ingin memberikannya.
*****
“GROB?!”
“GROOROB!!”
Para
petualang memasuki mausoleum layaknya sebuah tanah longsor. Tempat beristirahat
para pahlawan yang begitu rumit ini, sekarang menjadi tidak lebih dari sekedar
tempat persembunyian bagi para goblin. Peti mati di balik, persembahan di curi,
dan berbagai macam kotoran tersebar di lantai marmer.
Sang
warrior berada di depan. Armor kulit kotor, sebuah helm baja yang terlihat
murahan, pedang dengan kepanjangan yang aneh, dan perisai bundar bersama dengan
obor.
“Goblin.”
Goblin Slayer berkata. “Ada lima.”
Dia
bahkan belum selesai mengucapkan kalimatnya ketika pedangnya terbang melayang.
Bidikannya tepat; menembus tenggorokan salah satu goblin.
“GORB?!”
Mulut
makhluk tersebut menganga lebar, mencoba untuk memanggil rekannya, namun
alih-alih teriakan, sebuah buih darah menggelembung di dalam mulutnya. Goblin
tersebut menjerit tersedak karena darahnya sendiri, mengirim beberapa cipratan
darah terbang ke segala arah.
Kecepatan
adalah kunci penting dalam tebas dan libas.
“Satu.”
Tentu
saja, ke empat goblin lainnya tidak akan tinggal diam di hadapan pembunuh
rekannya.
“GROOR!!”
“GROB!
GOORB!!”
Apakah
mereka memanggil bala bantuan? Tidak, adalah murni niat membunuh. Balas dendam.
Mereka ingin mengeroyok para petualang, menghajar mereka, dan menodai tubuh
mereka. Kepala kecil para goblin terisi penuh dengan kebencian, dan dengan
belati, tombak, pentungan di tangan, mereka maju menuju para petualang…
“Jadi
dua!” Tidak lama setelah suara bening itu terdengar, salah satu makhluk itu tertancap
di dinding dan terkulai lemas. Tengkoraknya telah tertembus dengan panah
bermata kuncup; dengan batang panah yang menancap pada otaknya, goblin tersebut
kejang sekali dan kemudian mati.
Kita
tidak perlu repot-repot membicarakan bahwa adalah High Elf Archer yang
menembakkan panah itu. Sang archer melompat ke belakang dengan begitu anggun
seraya menyiapkan panah berikutnya.
“GORO?!”
“Hrmph.”
Goblin
Slayer mengangkat perisai untuk melindungi lompatan mundur sang elf,
menggunakan perisainya untuk menghalau goblin yang mendekat pada saat yang
sama, dia mengambil sebuah pentungan yang di jatuhkan monster itu dan menyerang
tengkorak makhluk yang kurang beruntung ini.
“Tiga.”
Sang
goblin mati tanpa menjerit. Goblin Slayer mengibas senjatanya untuk
membersihkan otak yang menempel.
Tiga
goblin mati dengan begitu cepat. Mereka telah memanfaatkan kesempatan mereka
dengan begitu baik.
“Bajingan!”
Salah satu anggota party mereka, jubah barunya ternoda dengan berbagai macam
kotoran, berpikir bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk ikut bergabung.
Dia mengangkat tongkatnya. “Carbunculus…
Crescunt…”
“Jangan
gunakan mantramu sekarang!” Priestess berkata tegas.
“Ap—?!”
sang bocah berteriak, namun ini bukanlah waktu untuk berdebat. Menghemat
sihirmu adalah sesuatu yang paling mendasar. Priestess berpikir cepat, keringat
bercucur dari dahinya.
Telah
lama bersama dengan grup ini, dia tidak menyangka harus memberikan instruksi
terperinci di tengah-tengah pertarungan.
Mengamati
keseluruhan situasi. Bahkan jika medan perang begitu kacau tidak terkendali,
adalah jauh lebih baik melakukan sesuatu sekarang di banding memikirkannya
nanti.
Imajinasi adalah senjata
juga…seperti kata pria itu.
Semua
pengetahuan yang di dapatkan Priestess hingga titik ini, banyaknya pengalaman
yang dia miliki, mengiang di dalam pikirannya. Terdapat lebih dari dua goblin,
mendekati mereka dengan senjata tumpul di tangan. Tidak termasuk dengan salah
satu pintu yang mereka lewati, ruang kubur ini memiliki tiga pintu, satu pada
masing-masing arah.
“Pintunya!”
“Siap!”
High Elf Archer berkata. Seraya sang elf melewati Priestess pada saat dia
mundur, sang pemimpin memberikan Perlengkapan Petualang miliknya. Baji yang
terdapat di dalamnya dapat mengganjal pintu agar tetap tertutup. Adalah sesuatu
yang hanya dapat di lakukan oleh High Elf Archer dengan semua kelincahannya.
“Dengan
mereka berdua saja, aku rasa kita akan baik-baik saja sekarang.” Dia berkata.
Itu karena, Dwarf Shaman dapat menggunakan empat mantra. Mereka akan
membutuhkannya untuk menyimpan beberapa mantra untuk berjaga-jaga.
Sang
bocah di beritahu sebelumnya, bahwa terkadang hal terbaik yang dapat di lakukan
pembaca mantra adalah tidak melakukan apapun.
“Jika
begitu sekarang, Saya harap saya mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam
pertarungan.” Lizard Priest berkata, mengayunkan ekornya.
“Musuh
masih ada banyak,” Goblin Slayer menjawab.
Adalah
pada momen ini mereka membutuhkan kekuatan tempur dari warrior mereka.
Goblin
Slayer berkuda-kuda rendah, perisai bersiap; dia memegang pentungan di tangan
kanan.
Mereka
sedang bertarung melawan goblin, tidak ada satupun di dalam ruangan ini yang
berniat untuk tertawa.
“Jika
begitu, kita tidak dapat membuang waktu lagi di sini.” Lizard Priest berkata,
dan dia sangatlah benar. Dia melebarkan lengannya, dan kemudian dengan cakar,
taring, dan ekor, dia menghancurkan dua goblin yang masih tersisa, merobek
setiap bagian tubuh mereka.
Namun
walaupun dengan semua kekuatan yang mereka miliki, keadaan masih tidak berubah.
Masih
terdapat begitu banyak goblin.
*****
“Apa
kita benar-benar bisa pelan-pelan seperti ini?”
“Kalau
kita nggak memeriksa setiap ruangan, kita bisa terancam bahaya.”
Mereka
telah menghabisi para goblin di dalam dua atau tiga ruangan. Di dalam mausoleum
ini, yang di mana ruangannya terkadang menyambung satu sama lain, sangatlah
mudah untuk di ikuti, namun itu artinya terdapat banyak ruangan yang harus di
periksa. Pekerjaan mencari dan menghabisi para goblin secara terus menerus
membuat mereka lelah.
Wizard
Boy memukul batu di lantai penuh kekesalan dengan tongkatnya, membuat Priestess
harus memberi teguran halus.
“Tapi
coba pikir,” sang bocah berkata, menggerutu. “Tahanan itu bisa dalam bahaya…”
Adalah
benar. Priestess juga mengkhawatirkan tentang petualang yang datang sebelum
mereka. Terdapat jejak-jejak—darah kering di sini, seekor mayat goblin di sana.
Tapi tidak lebih dari itu. Sulit untuk mengetahui kemungkinan bahwa para
tahanan itu masih hidup atau tidak.
Tapi…kemungkinan besar
tidak, sebuah suara dingin berbisik di dalam hatinya.
Tapi… Priestess
menggigit bibirnya lembut. Tidak ada alasan untuk kehilangan harapan.
“Ruangan
lainnya gimana kelihatannya?” dia memanggil High Elf Archer, mengesampingkan
pikiran mengerikan yang melintas di kepalanya.
Sang
elf menempelkan telingannya pada sebuah pintu kayu, mencari suara; dia
mengintip dari lubang kunci dan akhirnya menyimpulkan, “Nggak terkunci dan
kosong.” Akan tetapi kemudian, dia menunjuk pada salah satu ujung atas dari
pintu dengan jari kurusnya. “Tapi lihat itu.”
Apa
yang tampak di sana adalah sehelai benang yang tersangkut di antara sebuah celah.
Jika mereka membuka pintunya, benang itu akan terjatuh, dan sesuatu akan
menimpa mereka.
“Jebakan?”
Goblin Slayer bertanya.
“Sepertinya.”
Dia menjawab.
Goblin
Slayer Hmmm secara pelan. Dia
membuang obornya yang telah terbakar habis, menukarnya dengan yang baru, yang
di mana dia nyalakan dengan sebuah batu api. Dia menarik sebuah tombak yang
tertancap pada mayat goblin, memeriksa matanya, kemudian membuangnya. Belati
yang terdapat pada pinggul makhluk itu akan jauh lebih berguna.
Dia
mengambil senjatanya dan memasukkannya ke dalam sarungnya. Belati itu sedikit
berkarat, namun kamu masih dapat menusuk sesuatu dengannya. Lagipula, dia
menganggapnya sebagai senjata sekali pakai.
Dan
terakhir, dia mengubrak-abrik tumpukan barang curian dan mendapatkan sebuah
kapak perang yang dia sukai. Adalah senjata satu tangan, namun entah mengapa
terasa sangat berat.
“Merepotkan,”
dia berkata, seraya memikul kapak itu di pundaknya.
“Begitulah.”
High Elf Archer berkata dengan mengangkat bahunya yang elegan.
Priestess
mendekati mereka, berjinjit untuk melihat bagian atas pintu. Benang itu tidak
terlalu tebal. Dan perakitannya cukup sederhana. Namun itu bukan berarti mereka
dapat bersantai. Benang itu mungkin dapat terhubung pada sesuatu yang tajam
seperti paku berkarat, dan jika paku itu menancap pada wajahmu, kamu akan mati
karenanya. Atau mungkin paku tersebut terlumasi dengan racun.
Priestess
mengernyitkan alisnya. Dia dapat memikirkan beberapa kemungkinan.
“Kalau
di pikir lagi… mandor itu bilang para goblin telah mencuri beberapa peralatan
kan?”
“Biarpun
begitu aku nggak tahu apa yang akan goblin lakukan dengan peralatan tukang
kayu.” Dwarf Shaman menggerutu, lengannya di lipat. Dia membelai rambutnya yang
putih kemudian memeriksa benang itu. “Menurutku sepertinya benang itu nggak
terhubung dengan sesuatu yang berat. Apapun yang terhubung dengan benang itu,
pastinya nggak akan menyenangkan.”
“Kita
juga dapat mempertimbangkan untuk mencari jalan lain.” Lizard Priest menepuk
ekor pada lantai batu. “Terdapat dua pintu lain di samping yang terhubung
dengan ruangan itu. Para goblin tampaknya belum mengetahui keberadaan kita di
sini.”
“Hmm…”
Apa
yang harus di lakukan? Ke arah manakah mereka harus pergi?
Dengan
tatapan party yang mengarah kepada Priestess, Priestess merogoh isi tas dan
mengeluarkan sebuah peta. Adalah sebuah peta sederhana yang di gambar dengan
tangan di atas sebuah kulit domba. Party ini tidak memiliki spesialis
kartografer. Jika mereka pergi melewati beberapa ruangan terkunci untuk
memutari ruangan berperangkap…
Pikirannya
terganggu oleh teriakan sang bocah. “Arrrgh! Aku nggak tahan lagi!!” Dia tidak
dapat menyembunyikan lagi kekesalannya seraya dia menunjuk pintu dengan
tongkatnya. “Ini tempat para goblin itu hidup kan?! Mereka bahkan nggak
mengetahui cara memesang perangkap yang sesungguhnya!”
“Oh!
Tidak, tunggu! Jangan—“
“Minggir!
Aku akan buka pintunya!” (TL Note : Pingin saya tabok rasanya si Wizard Boy ini
:D )
High
Elf Archer mungkin memang tingkat Silver, namun sang bocah masih dapat dengan
mudah mendorong sang elf ke samping.
“Ap—?
Oh, uh, ummm—!”
Priestess
harus menghentikan sang bocah. Akan tetapi, Priestess tidak dapat mengutarakan
kalimatnya secara penuh. Apa yang harus dia katakan, dan bagaimana cara dia
mengatakannya? Jika dia memikirkannya sekarang, dia menyadari bahwa semua
anggota partynya patuh mengikuti perintahnya hingga detik ini. Dia tidak
mengetahui cara untuk menangani seseorang yang menolak untuk mendengar.
“…”
Priestess
melihat memohon kepada Goblin Slayer, tetapi dia tidak berkata apapun. Priestess
tidak mengetahui ekspresi apa yang tersembunyi dari balik helm bajanya. Apakah
dia tampak tidak tertarik? Atau…
Kalau… Kalau dia pasrah sama
aku…!
Pikiran
itu cukup untuk menggetarkan hati Priestess. Sebuah suara dingin nan pelan
mulai mengejeknya dari suatu tempat di dalam hatinya.
Apa yang harus aku lakukan?
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus
akulakukanapayangharusakulakukanapayangharus…?
Kepalanya
berpikir, namun dia tidak dapat mengatakan apapun. dia menjulurkan tangannya,
berharap paling tidak dapat menahan sang bocah, namun bocah tersebut sudah
mulai membuka pintu…
“Eeyaaaahhhhh?!”
dia menjerik seolah melihat sesuatu yang berguling jatuh.
Jeritannya
menggema di keseluruhan ruang kubur; suara itu sangat lantang hingga dapat
terdengar jauh di kedalaman mausoleum. Wizard Boy terjatuh ke belakang, merayap
menjauh dari benda yang terjatuh.
“Ap-ap-a-a-ap-ap-apa-apaan
itu…?!”
Adalah
sebuah tangan dan sebuah lengan. Kedua benda itu terlihat sangat mengenaskan
hingga hampir tampak baru keluar dari penggilingan daging. Tangan dan lengan
itu dulunya adalah milik seorang wanita.
Tangan
dan lengan tersebut sangatlah indah dengan otot yang terbentuk secara merata,
namun sekarang tangan dan lengan tersebut terlihat begitu tragis. Adalah hampir
mustahil untuk mengetahui apa yang menimpa sang pemilik tangan tersebut.
“Sedikit
ulah dari goblin.” Goblin Slayer berkata dengan jentikan lidah. “Mereka cuma
ingin menakuti kita.”
“U-ugh…”
Priestess melenguh. Dia dapat merasakan sesuatu yang pahit dan asam yang menaiki
tenggorokannya; dengan air mata pada matanya, dia menelan semuanya kembali.
Ini
bukanlah waktu untuk takut. Bukankah dia sudah sering melihat hal serupa
seperti ini sebelumnya?
Priestess
berusaha untuk tetap tenang. Dia meremas kuat tongkatnya dengan tangannya yang
bergetar.
“Aku
punya firasat buruk dengan semua ini.” High Elf Archer berkata, memberikan
Priestess tepukan keberanian pada pundaknya. Sang elf sendiri tidak terlihat
lebih baik dari pemimpinnya; dia mengangat lipatan kerahnya untuk menyembunyikan
wajah dan bibirnya yang pucat. “Dengan jeritan seperti itu, itu sudah sama saja
seperti alarm.”
“Aku
rasa memang seperti itu tujuannya.” Goblin Slayer bergumam tanpa ada tanda
panic; dia mengambil kuda-kuda bertarung dengan kapak di tangannya. “Aku yakin
kita akan kedatangan tamu sebentar lagi.”
“Aku
nggak begitu yakin, tapi—“
“——–GY-GYAAAH…!!”
High
Elf Archer baru saja mengepak telinga panjangnya ketika sebuah jeritan bernada
tinggi seorang wanita bergema di dalam mausoleum.
Semua
petualang tidak bergerak, namun dengan sekejap; satu detik kemudian,
masing-masing dari mereka mempersiapkan senjatanya.
Satu-satunya
pengecualian adalah Wizard Boy.
“…Suaranya
dari sana!”
“Jangan!
Kamu nggak boleh pergi sendi—“
Sang
bocah bergegas pergi, tidak mempedulikan suara yang berusaha menghentikannya.
Dia menendang pintu ruang kubur, memasuki ruangan berikutnya, berputar ke sana
dan kemari dan hingga akhirnya dia menemukan apa yang dia cari.
“Ini
pasti tempatnya…!”
Dia
mendobrak pintu dengan pundaknya, memaksanya terbuka.
Ketika
dia melakukannya, sebuah aroma mencekik dan basah menyerangnya. Sebagian dari
aroma itu berasal dari kotoran para goblin yang tercecer di segala arah.
Beberapa dari darah dan muntahan.
Kemudian
sang bocah melihat mereka.
Goblin.
Dan
sang wanita.
Sang
wanita, terikat pada sebuah kursi dengan kawat yang menggigit kulitnya yang
pucat nan lembut.
Matanya,
terbuka selebar mungkin, penuh dengan air mata.
Kapak
yang berada di tangan goblin, penuh dengan noda merah kehitaman.
Dan
di tambah dengan kepala sang wanita yang berdarah.
Cairan
merah mengalir pada kursi.
Dan
di dalam genangan darah, terdapat beberapa…
“Ee-yaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh!!”
sang bocah berteriak.
Dia
masih berteriak seraya dia menghantam goblin dengan tongkatnya. Hati dan
pikirannya terbakar dengan amarah, dan amarahnya terus membakar emosinya yang
mengundang kata berkekuatan sejati mengalun dari bibirnya.
“Carbunculus… Crescunt… Iacta!!, Terbanglah,
O bola api!”
Bola
api melesat di udara, meninggalkan jejak api di belakangnya, bola api tersebut
mengenai tengkorak goblin. Otak, darah dan pecahan beberapa tulang terlempar ke
segala penjuru, dan sekarang goblin yang tidak berkepala terbujur kaku di
lantai.
“Hah…hah, hah… Rasakan…itu…!”
Mereka…mereka nggak ada
apa-apanya.
Dia
telah membunuh makhluk hidup lainnya bahkan tanpa menyentuhnya. Terasa begitu
tidak nyata.
Dia
telah mengirim seekor goblin pada akhir riwayatnya dengan satu serangan,
seperti yang dia inginkan—terasa begitu nyata.
Keseluruhan
ruang interogasi, pemandangan yang mengerikan itu, semua mengelilinginya; dia
tidak dapat memahami semuanya secara keseluruhan.
“Pokoknya,
aku harus menolong gadis itu… Hei, kamu nggak apa-apa?!”
Namun
dia seharusnya lebih memperhatikan apa yang dia telah lakukan.
Satu-satunya
mantra yang dapat dia gunakan adalah Fireball, dan dia hanya dapat
menggunakannya sekali dalam sehari.
“Ahhh…hhh…
Err…g….”
“Bertahanlah!
Aku akan mengeluarkanmu dari sini!”
Sang
bocah terlalu terfokus memotong kawat yang mengikat tubuh sang wanita pada
kursi.
Itulah
mengapa dia tidak menyadari. Sang bocah tidak menyadari sebuah fakta yang
begitu jelas bahwa pasti terdapat sesuatu di sana yang berhasil membantai party
petualang sebelumnya.
“…Errgh…
Nngh… Ah…”
“—?!”
Bukanlah
kemampuan dari dirinya, melainkan keberuntungan belaka, yang membuatnya
berguling ke belakang, menghindari sebuah pentungan yang akan dapat melumat
dirinya dalam sekejap.
“Wh-whoa—?!”
Darah
terkuras dari kepalanya. Dia menyadari bahwa di dalam keadaan yang begitu
genting, kaki seseorang menjadi sulit di andalkan.
“OLRLLT…?”
Dia
dapat melihat sosok besar dan gemuk penuh dengan bekas luka lama. Dia mencium
bau tubuh yang sangat kuat hingga dapat membuatnya mual.
Kepala
botak makhluk itu merupakan gambaran sebuah kebodohan, dan sebuah seringai
bodoh tampak di wajahnya.
Makhluk
itu memiliki lengan sebesar batang pohon, dan membawa sebuah pentungan besar.
Dan banyaknya jumlah paku yang tertancap pada pentungan itu untuk mencabik
daging, mengkisahkan pembunuhan yang telah di lakukan monster ini.
Seekor
troll.
Makhluk
itu menggerakkan pentungannya seolah tidak yakin mengapa serangannya telah
meleset. Sang bocah melihat sebuah noda merah kehitaman pada senjata itu, dan
beberapa helai rambut yang tampaknya milik seorang wanita…
“Errg…
Ugghh…!”
Sang
bocah mengeratkan rahangnya untuk mencegah giginya bergetar. Bertumpu pada
tongkatnya, dia berdiri.
Di
belakangnya, adalah tahanan wanita yang terluka dan nyaris tidak sadarkan diri.
Dia
tidak dapat melarikan diri walaupun dia menginginkannya. Apa yang dia akan
lakukan?
Sebagai
seorang wizard yang masih dalam masa latihan, tentu saja sang bocah sangat memahami
troll dari sisi akademik.
Mereka
sangat besar. Kuat. Bodoh. Dan mereka memiliki kekuatan regenerasi—berhadapan
dengan mereka memerlukan api atau asam.
Namun
terdapat masalah.
Dia telah kehabisan
mantranya.
:GRORB!”
“GRB!
GROBRORO!!”
Dan
tidak hanya itu saja.
Dia
mendengar banyak gema suara para goblin yang memantul di sekeliling ruang
kubur, dan dia mengetahui bahwa keadaan telah menjadi semakin memburuk.
Mereka
telah memberikan umpan, dan dia telah terumpan.
Mengapa
mereka repot-repot menyiksa tahanan mereka di tempat seperti ini? Dan (seraya
berlangsung) terlebih setelah penyusup bodoh menjerit dengan kuat!
Pintu
dari setiap sisi ruang kubur terbuka. Goblin membanjiri ruangan, seraya
tertawa.
Seharusnya aku mendengarkan
saran dari elf itu untuk mencari jalan lain…!
Namun
penyesalan sudah terlambat.
Ini
adalah sebuah perangkap. Yang di desain untuk menangkap para petualang yang
memeriksa setiap ruangan.
Ketika
dia menyadari ini, pria muda yang tidak mempunyai mantra ini hanya mempunyai
satu pilihan.
Dia
menjilat bibirnya yang kering. Dia menarik napas dan berteriak sekuat tenaga:
“Jangan
mendekat! Ini jebakan—!”
Hal
ini bisa menjadi tindakan terakhir sang bocah.
Dalam
sekejap, sebuah kapak terbang, sebuah panah bersiul di udara, dan sebuah Pedang
taring berkilau.
“GRBRR?!”
Jeritan dan teriakan, para goblin tumbang layaknya gandung yang di pangkas.
“Mereka
ada dua puluh. Tujuh belas lagi.”
Suara
itu terdengar sangat tenang layaknya sebuah angin yang bertiup di bawah tanah,
dan dengan itu, Goblin Slayer menerjang masuk ke dalam medan tempur. Tangan
kanannya yang kosong bergerak seperti mesin, menarik belatinya dan memberikan
serangan cepat mengarah leher goblin yang kebingungan.
“GROORORB!!”
“Hmph…
Empat. Enam belas lagi.”
Belati
yang berkarat, tidak dapat menahan beban benturan, patah dan terpental, namun
itu sudah cukup untuk memberikan serangan kritikal pada rusuk goblin.
Goblin
Slayer menjentikkan lidahnya dan membuang gagang belatinya, mengambil sebuah
pedang yang di bawa oleh goblin yang telah tumbang. Dia menariknya dengan cara
memberikan tendangan pada mayat goblin itu. Dia memutar pergelangan tangan dan
mengambil posisi bertarung.
“Masih
hidup?”
Wizard
Boy mengangguk berkali-kali. “Uh, y-yeah… Aku—“
“Bukan
kamu,” Goblin Slayer berkata dingin, memotong ucapan sang bocah.
“Saya
yakin tuanku Goblin Slayer ingin mengetahui keadaan wanita muda yang ada di
sana.” Lizard Priest berkata, mendekat dan mengambil posisi bertahan di depan
sang bocah yang merasa lega.
“Yeah!”
sang bocah berteriak, menelan liurnya. “Dia hidup! Tentu saja dia hidup!”
“Begitu,”
Goblin Slayer berkata, dan dari balik penutup helmnya, dia menatap sang bocah.
Walaupun sang bocah tidak yakin ke arah mana pria itu melihat dari balik
helmnya. Namun dia merasa bahwa pandangan pria itu mengarah pada dirinya. Dia
menutup matanya dan mencoba mencari alasan.
“Aku
cuma… Aku ingin menolong wanita ini secepat mungkin—“
“Ada
wanita juga dalam party kita.” Goblin Slayer berkata, suaranya tajam dan
dingin. “Dan ada dua.”
Hal
ini membuat sang bocah menarik napas cepat dan melihat mengarah sang wanita.
“Ugh.
Inilah kenapa aku benci goblin…”
“…Hrk…”
High
Elf Archer tampak pucat setelah melihat pemandangan ruang penyiksaan, namun dia
terus menembakkan panahnya satu persatu untuk mencegah sang troll mendekat.
Di
samping sang elf, Priestess terengah-engah; tangannya meremas erat tongkatnya
yang bergetar halus.
“Tapi…!”sang
bocah ingin membalas, namun Dwarf Shaman datang dan berteriak marah, “Ini bukan
saatnya untuk berbicara bocah! Angkat wanita itu sekalian sama kursinya, dan
kita pergi dari sini!”
Kedia
warrior dan sang ranger membuka jalan, dan sang shaman serta Priestess
mengikutinya.
“Kita
sudah nggak punya waktu lagi!”
Benar,
mereka telah kehabisan waktu.
“GROROB!
GROB! GROORB!!”
“OOOORLLLT!!”
Rute
pelarian mereka telah sirna.
Enam
belas goblin. Satu troll. Para petualang telah terkepung.
Perlahan
namun pasti, para monster mendekat, senyum hina tampak di wajah mereka seraya
mereka semakin yakin akan kemenangan mereka.
Para
petualang membentuk lingkaran untuk melindungi sang bocah, acolyte yang telah
menjadi tahanan, dan Priestess.
“Tapi
bagaimana cara kita membawa wanita ini…?” Sang bocah dengan ragu memegang
kursi; beberapa desahan halus terdengar dari mulut sang wanita. Tangan sang
bocah, berlumur dengan darah yang lengket dan licin. Sangatlah cukup untuk
membuat perutnya mual; dia merasa seperti ingin muntah saat ini.
Lizard
Priest, mengamati sang bocah, memutar mata di kepalanya, jarak pandang yang
luas merupakan ciri khas khusus kaumnya. Lidahnya menjulur keluar.
“Jangan
lupakan jarinya. Jika semua berjalan lancer, kita mungkin dapat
menyembuhkannya.”
“Oh…!”
Sang
bocah dengan cepat melihat lantai, mencari dengan cepat di antara genangan
cairan merah.
Kapak
yang berkarat telah mencabik kasar daging dan tulang. Namun tidak mempunyai
waktu. Jari sangatlah mudah untuk di lupakan, namun dia telah menemukannya,
menghitungnya, dan melapisinya dengan sebuah kain.
Dia
mencoba untuk mengelap keringat pada dahinya dengan tangan yang basah dan
bernoda darah. Dia mengigit bibirnya keras.
“Aku
dapat!”
“Sempurna!
Anda ambil sisi sebelah sana—benar yang itu!” Lizard Priest memerintahkan.
Terdengar
suara decitan seraya kursi di angkat, bercampur dengan desahan sang wanita.
High
Elf Archer berada di depan mereka, melindungi mereka, busur di tarik dan
telinga mengepak.
“Mereka
masih datang dari bagian dalam!” Dia melirik kepada Priestess. “Apa yang akan
kita lakukan?!”
“Oh—ah—!”
Priestess
mendapati dirinya sendiri tidak dapat segera berbicara. Tangannya membeku pada
tongkatnya, yang di mana di genggamnya begitu keras sehingga tangannya menjadi
sakit dan kepalnya menjadi putih.
Apa
yang harus di lakukan? Apa tindakan yang harus di lakukan? Melawan mereka di
sini? Atau berusaha menerobos mereka?
Dia
harus mendapatkan jawaban, segera. Ya, namun—
Kita sudah kena jebakan
goblin.
Tidak
hanya terkena, namun masuk ke dalamnya.
Adalah
dirinya yang mengatakan , Ayo ikuti dia!
Tentu
saja, tidak ada penyesalan. Namun ini sudah cukup untuk membuat kakinya merasa
goyah.
Dia
dapat melihat Female Wizard, dengan belati beracun yang tertanam di tubuhnya.
Fighter,
di nodai hingga tak tersisa oleh iblis kecil itu.
Female
Monk terperangkap, di hajar tanpa ampun, di perkosa dengan cara paling keji.
Jangan panik. Ingatan
itu terus terbayang walaupun dia berusaha untuk tidak memikirkannya.
Di
kala goblin champion hampir meremukkan tubuhnya—teror, sakit, keputusasaan.
Bagian
pada lehernya, tempat dia pernah di gigit sebelumnya terasa berdenyut.
“Uh…
Um…um…!”
Para
goblin, datang mendekat. Bersama troll raksasa itu.
Priestess
ingin sekali berbicara, akan tetapi lidahnya menolak untuk bergerak.
Air
mata mulai terbentuk di ujung matanya; giginya tidak bisa terdiam, bergetar
dengan begitu nyaring.
Dan
dia sangat memahami bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk semua hal ini…!
“Tuanku
Goblin Slayer!”
Bantuan
datang dari Lizard Priest, yang dengan cepat menganalisa situasi dan berteriak.
“Baik.”
Goblin Slayer menjawab datar. “Bolehkah?”
Bahwa
hingga saat ini Goblin Slayer berusaha meminta persetujuan dari Priestess.
Priestess mengangguk lemah. Dia tidak mengetahui harus melakukan apa lagi.
Instruksi
Goblin Slayer sangat cepat dan singkat. “Gunakan Holy Light. Kita akan menerobos.
Aku akan serahkan baris depan kepada kalian semua. Aku akan berjaga di belakang
dan menghadapi raksasa menggerutu itu.”
“Sempurna!”
Lizard Priest menjawab cepat.
“Ba-baik!”
Di sisi yang lain, Priestess berusaha untuk menekan rasa ketidak-bergunaan dirinya.
Wizard
Boy, berusaha keras untuk membawa kursi itu dengan antusias. Dia akan menghadapinya?!
“Kamu
warrior kan?! Makhluk itu seekor troll!”
“Bodoh,”
High Elf Archer berkata, membusungkan dada kecilnya dengan sok. “Orcbolg paling
ahli di saat-saat seperti ini.”
Lizard
Priest tertawa kecil. Pria ini tidak akan di kalahkan oleh para goblin.
Akan
tetapi, Priestess tidak tertawa. Jika dia tidak akan melakukan hal yang lain,
maka paling tidak dia akan melakukan tugas yang telah di percayakan kepadanya.
Dia
memegang tongkat dengan kedua tangan. Berdoa memohon secara langsung kepada
dewa yang ada di surge.
“O Ibunda Bumi yang maha
pengampun, berikanlan cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dan
dengan begitu, dia di berikan keajaiban.
“GGRORRRROOOB?!”
“TOOOLR?!
OORTT?!”
Terdapa
kilau cahaya biru keputihan, seperti ledakan matahari. Cahaya itu membakar mata
para goblin dan troll.
Priestess,
dada kecilnya terengah-engah di karenakan doa pengikis jiwa, berteriak, untuk
menyemangati dirinya sendiri dan rekannya. “Ayo!”
Seraya
dia mulai berlari, tongkat di junjung tinggi, Lizard Priest tampak di
sampingnya.
Banyak
goblin keluar dari ruang kubur, memenuhi jalan, memenuhi pandangan mereka.
Lizard Priest menyerang dengan cakar, cakar, taring, ekor, menyapu mereka tanpa
ampun.
Mengikuti
di belakangnya adalah Dwarf Shaman dan Wizard Boy, membawa tahanan bersama
mereka. Mereka tidak mempunyai peluang untuk menggunakan mantra mereka.
High
Elf Archer dengan panahnya yang selalu siap, menghujani jalan di depan dengan
tembakan perlindungan seraya dia berlari.
Dan
kemudian—
“Troll?”
Gumam Goblin Slayer, di tinggalkan di belakang. “Bukan goblin kalau begitu.”
“OOOORLLT!!”
Paku
yang ada pada pentungan monster itu berkelip seraya dia mengayunkan. Goblin
Slayer melompat ke belakang. Dia mencari sesuatu pada tas peralatannya dan
menarik sebuah botol kecil.
Ketika
wadah itu di benturkan mengarah kulit troll, yang mengakibatkan banyak pecahan
yang terlempar ke segala arah, namun botol itu sama sekali tidak melukai makhluk
itu.
Tentu
saja, botol itu tidak harus melukainya.
Hal
yang terpenting adalah apa yang ada di dalam botol itu.
“TOOORL?!
TOOORRL?!”
Sebuah
cairan hitam yang tidak di ketahui melumasi tubuh besar sang troll. Cairan itu
mengeluarkan aroma yang menusuk hidung. Sang troll merasa tidak nyaman,
berusaha untuk membersihkan cairan yang menempel, mencipratkannya ke segala
arah.
Monster
itu sama sekali tidak mengetahui bahwa cairan itu adalah minyak Medea, Bensin
berdasar pertrolum.
“Sampai
jumpa.”
Tanpa
keraguan, Goblin Slayer melempar obor mengarah kepada makhluk itu.
“TOOOOOROOOOOROOOOOORRRT?!?!”
“GROROOB?!”
Raungan
dan jeritan datang dari troll, yang benar-benar terlahap oleh api, dan goblin
yang ikut terkena api.
Goblin
Slayer sudah berlari kea rah lain seraya dia mengambil sebuah senjata dari
salah satu mayat goblin yang di tinggalkan rekannya. Adalah sebuah tombak. Dia
memegang pedang di tangan kiri dan tombak di tangan kanan, merunduk serendah
mungkin seraya dia berlari.
“Api
itu memakan setidaknya setengah dari mereka. Itu artinya…”
Tombak
itu terbang. Menembus tepat di perut goblin yang berusaha melawan api, dan
membunuhnya.
“GGRORR?!”
“Jadi
lima belas.”
Goblin
Slayer berputar dengan cepat, mengejar temannya sekali lagi.
Rute
yang di ambil tidak mungkin salah. Pintu di biarkan terbuka; mayat goblin
berserakan di mana-mana. Dia hanya perlu mengikuti suara pertarungan.
permasalahan sesungguhnya yang harus dia hadapi adalah goblin yang terus
menerus muncul dari pintu samping.
“GBGOR?!”
“GRORB!
GORORRBB?!”
Panah
datang dari kejauhan, membunuh mereka. Terdapat tiga lagi. Delapan belas.
Goblin
Slayer berlari ke depan, melompati tubuh yang terjatuh di depannya.
Tidak
lama kemudian dia melihat High Elf Archer, rambut kepangnya berayun layaknya
sebuah ekor.
“Orcbolg,
apa yang terjadi? Aku dengar suara seperti wuuuushh
di belakang sana!”
“Situasinya
darurat.”
“Kamu
paling nggak bisa kasih kami peringatan!”
“Aku
belum berpikir sejauh itu.” Seraya Goblin Slayer berlari, dia berputar,
membunuh seekor goblin yang berusaha menyergap. “Sembilan belas.”
Sang
goblin yang akhirnya berhasil mengejar dia, terkejut dengan Goblin Slayer yang
setengah berputar. Sebuah pedang terbenam di tenggorokan sang monster. Goblin
itu berbuih darah dan mati. Sebuah tendangan pada dada monster itu melepaskan
pedangnya kembali.
“Bagaimana
di depan?”
“Seperti
biasa! Yargh! Blargh! Semua kegilaan
itu.” High Elf Archer menembakkan dua atau tiga panah lagi seraya dia
berbicara, mempercayakan kepada keburuntungan untuk mengenai sasaran. Tiga
goblin tumbang di lantai, menggeliat, panah tertanam pada mata mereka. Dua
puluh dua.
“Jadi
kamu punya rencana?” sang ranger bertanya.
“Tentu
saja.” Goblin Slayer berhasil mengejar sang elf ketika elf itu membunuh ketiga
monster itu: sekarang dia berlari tepat High Elf Archer. “Aku selalu punya
rencana.
*****
Hanya
terdapat satu pintu di dalam ruang kubur ini yang di mana para petualang lewati
ketika melarikan diri. Ketiga sisi lain dari ruangan hanyalah sebuah dinding.
Semua yang tersisa di sana adalah goblin-goblin yang sudah tidak bernyawa.
Ruangan
ini sama sekali tidak ada hubungannya bagi para goblin, yang hanya berpikir
untuk memanfaatkan apa yang mereka miliki pada saat itu juga.
Seraya
mereka menurunkan sang wanita, yang masih terikat di kursi, Wizard Boy tiba-tiba
berteriak, “Kita membiarkan mereka mengepung kita—!”
“Oh,
itu tidak sepenuhnya benar,” Kata Lizard Priest di samping pintu masuk, siaga
berjaga. Dia memegang Pedang Taring, yang dia telah pertajam dengan Sharp
Tooht. Dia berdarah: secara harfiah dia telah membawa mereka melarikan diri
dengan darahnya.
“Tapi
di mana Goblin Slayer dan—?” Priestess, bersandar pada dinding bagian paling
dalam, terengah-engah. Terus menggunakan keajaiban Holy Light, bahkan ketika
mereka berlari melewati labirin, sangatlah menguras tenaga fisik wanita muda
rapuh ini. Wajahnya pucat, putih karena kelelahan.
Dwarf
Shaman menggosok kedua tangannya yang berdarah kemudian mengambil sebuah potion
dari kantungnya.
“Aku
yakin Telinga Panjang dan Beardcutter akan menyusul kita di sini.”
“Terima
kasih…”
Memegang
potion dengan kedua tangan, Priestess membuka botol dan meminumnya secara
perlahan, membiarkan setiap tetes membasahi bibirnya. Setiap kali dia menelan,
dia merasakan sedikit kehangatan yang kembali ke tubuhnya. Ini bukanlah penyembuhan
seperti keajaiban para dewa,namun manfaat dari potion tidak dapat di remehkan.
Priestess
menutup mata dan menghela napas. Ya, dia merasa lebih baik sekarang. Priestess
mengatur genggaman pada tongkatnya.
“…Kita
harus merawat luka wanita ini segera…” dia berkata, namun ketika dia akan
menggunakan Minor Heal, Dwarf Shaman menghentikannya.
“Tenang
dulu. Kamu perlu istirahat. Dia nggak akan mati dalam waktu dekat ini karena
lukanya.”
Cleric
mungil itu terhuyung sedikit dan kemudian bersandar di dinding, merosot jatuh
ke lantai.
“Terima
kasih,” Priestess bernapas kembali, namun Dwarf Shaman melambaikan tangannya
dengan “Nggak usah di pikirkan.”
Bagaimanapun
juga, Priestess akan merasa kesulitan untuk menyambung kembali jari yang telah
terputus dengan kemampuannya sekarang. Itu artinya akan jauh lebih baik untuk
menyimpan keajaibannya.
“Kamu
baik-baik saja bocah?”
“Yeah,
nggak masalah…!”
“Bagus.”
Dwarf Shaman berkata datar. Tidak di ragukan dia dapat melihat keberanian sang
bocah yang terpancar di matanya. Matanya menyipit. “Sekedar nasehat.” Dia
menambahkan. “Nggak ada seorangpun yang akan bisa menolong, kalau kamu terdesak
nanti, karena kamu terlalu kecapekkan.”
“…Aku
nggak capek!”
Nggak seperti gadis yang di
sana, tampaknya dia ingin berkata—namun bahkan bocah inipun
tidak dapat mengutarakan kalimatnya secara terang-terangan.
Dia,
juga, pergi dan bersandar di dinding, walaupun dia menjaga jaraknya dengan
Priestess. Dia menatap kedua tangannya. Darah telah mengering, meninggalkan
noda cipratan merah kehitaman, dia menggosok kedua tangannya untuk
menghilangkan noda itu.
Cleric itu seharusnya berada
di garis belakang dan mengucapkan doa mereka.
Sekarang
dia menyadari betapa bodohnya hal yang telah dia ucapkan. Gadis itu telah
memberikan perintah, mengusung tongkatnya tinggi dan memberikan mereka cahaya,
dan berlari secepat mereka semua.
Sang
bocah melirik ke samping, di mana dia dapat melihat Priestess, masih
terengah-engah dan meneguk potionya. Bahkan Wizard Boy dapat memahami bahwa
gadis itu sedang berusaha mengembalikan staminanya lagi agar dapat siap untuk
melakukan pertarungan berikutnya.
Bibir
sang bocah terbuka setengah dan tertutup kembali. Lidahnya terasa begitu besar
di dalam mulutnya. Dia menelan liur dan mencoba kembali.
“Aku…minta—“
“Mereka
datang!” Suara tajam dari Lizard Priest memotong sang bocah.
Wizard
Boy berkedip beberapa kali, berusaha untuk menatap kegelapan lorong yang mereka
lewati. Dengan cepat dia melihat cahaya obor yang semakin mendekati mereka.
“Sialan,
Orbolg—dia masih hidup!”
“Sepertinya
dia lebih tangguh dari yang aku kira.”
High
Elf Archer datang mendatangi ruangan seanggun seekor rusa. Goblin Slayer
berlari mengikutinya.
Dan
di belakang mereka…
“OOOOLRTTTTR!!”
Troll
raksasa dengan asap yang mengepul di tubuhnya, mengayunkan pentungannya.
Berat
tubuh memberikan para petualang keuntungan dalam kecepatan. Namun jika salah
satu dari mereka terpeleset dan terjatuh, maka itu akan menjadi akhir dari
mereka.
Goblin
Slayer dan High Elf Archer hanya dapat mendengar siara pentungan raksasa yang
menghancurkan dinding dan lantai tepat di belakang mereka.
“Aku
benar-benar muak dengan ini!” High Elf Archer berteriak seraya dia masuk ke
dalam ruang kubur. “Monster macam apa sih itu?! Aku muak dengan ini! Aku mau
melawan monster yang keren sekali-sekali!”
“Aku
rasa monster yang lebih keren itu semuanya lebih kuat di banding yang ini,”
Dwarf Shaman menambahkan.
“Saya
pribadi, ingin melawan seekor naga.” Tambah Lizard Priest.
Akan
tetapi, Dwarf Shaman mengetahu, bahwa selama mereka berdebat ataupun mengeluh,
maka tidak ada yang terlalu perlu di khawatirkan. Dia menghela napas. “Jadi.
Apa yang akan kita lakukan Beardcutter?”
“Aku
sedang memikirkannya.” Goblin Slayer berkata, memperhatikan partynya yang ada
di ruangan.
Lizard
Priest, Dwarf Shaman, dan bocah berambut merah tampak baik-baik saja. High Elf
Archer terengah-engah, dan Priestess kelelahan.
Goblin
Slayer meraih tas peralatannya dan mengeluarkan dua botol dengan hanya
berdasarkan sentuhan perasaan, dan memberikannya kepada para gadis.
“Minum
ini.”
“Ap…?
Ah…”
“Stamina
potion eh? Makasih.”
Priestess
tampak sedikit kebingungan, namun High Elf Archer dengan senang hati membuka
tutup botol dan meminum isinya.
Masing-masing
dari mereka memiliki persediaannya potionnya sendiri, namun pada saat ini,
tidak ada waktu untuk meributkan potion siapa yang mereka gunakan.
“O-oke,
kalau begitu… Terima kasih…” Priestess merasa lebih bimbang dari High Elf
Archer, namun pada akhirnya menggiring botol itu masuk ke dalam mulutnya. Ini
adalah Stamina potion keduanya. Warna cerah pipinya yang mulai kembali
berbanding terbalik dengan ekspresi gelap yang masih ada di wajahnya.
“Bagus,
kita semua sudah siap.” Goblin Slayer berkata, melihat perubahan Priestess dari
ujung matanya. “Aku ingin air. Apa kamu bisa membuatnya dengan mantra?”
Walaupun
pertanyaan itu tidak di tujukan kepadanya secara langsung. Wizard Boy membuat
suara tidak nyaman. Fireball adalah satu-satunya mantra yang dia ketahua, dan
dia telah menggunakan semua sihir yang dapat dia lakukan untuk hari ini. Entah
mengapa sang bocah merasa sangat malu karena pria itu mengetahui semua ini.
“Nggak
ada gunanya mempelajari mantra seperti itu…” sang bocah berkata, hampir
cemberut.
“Begitukah?”
Goblin Slayer menjawab.
Dwarf
Shaman dengan cepat memotong, “Air? Yah, kalau hujan sudah cukup buatmu, aku
bisa melakukannya. Tapi akan sedikit lemah, karena ada langit-langit di sini
dan semacamnya.”
Raungan
dan gemuruh sang troll semakin mendekat. “Bersiap.” Lizard Priest berbisik.
“Tapi
dengar, Beardcutter. Kamu nggak bisa memainkan salah satu trik biasamu
sekarang.”
“Nggak
masalah,” Goblin Slayer berkata acuh. “Siraman air sudah cukup.”
“Baiklah
kalau begitu.”
“Dan
kita akan butuh Holy Light lagi, kamu bisa lakukan?”
“Aku…”
Suara Priestess gemetar, dan dia harus menggigit bibirnya untuk memaksa
suaranya keluar. “Ya. Aku... Aku bisa!”
“Bagus.”
Dengan ini semua siap. Tidak lama
setelah Goblin Slayer berkata, musuh mereka telah tiba di hadapan mereka.
“OLTROOOOR!!”
Ruangan
dan jalan mausoleum cukup besar bagi troll untuk bergerak leluasa. Apakah
pembangun bangunan ini mengetahui bahwa troll akan tinggal di sini?
“Eeyah!”
“Awa—!”
Priestess
hampir tidak sempat menghindar, dan High Elf Archer melompat ke belakang untuk
melindunginya.
Duri
metal pada pentungan, mengenai rambutnya, memotong pita yang di gunakannya
untuk mengikat rambut.
“Kamu
nggak apa-apa?!” Priestess bertanya.
“Jangan
khawatirkan aku!” High Elf Archer berteriak, rambutnya berantakan. “Lakukan!”
“O Ibunda Bumi yang maha
pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dia
mengangkat tongkatnya setinggi yang dia bisa dari tempat di mana dia terjatuh
di lantai, menawarkan doa kepada dewi yang penuh ampunan. Dan tentu saja,
tidaklah mungkin bagi Ibunda Bumi untuk menolak permohonan pengikis jiwa dari pengikutnya
yang taat.
“RRLLRTTOOOT?!”
Terdapat
ledakan cahaya bak matahari. Kilauan mengisi ruangan, membanjiri putih di dalam
hitam.
Troll
terhuyung ke belakang, dan dengan segera, Goblin Slayer berteriak. “Air!”
“Siap!
Pergilah sekarang, kelpi, ini saatnya
untuk menyibukkan diri! Tanah dan air serta laut dan langit, semua mengamuk!”
Dwarf Shaman melantunkan, menggenggam sebuah figur kuda kecil yang dia
keluarkan dari dalam tas katalisnya. Tidak lama setelah dia melantunkan
mantranya, terdengar ringkikan bernada tinggi dan angin basah yang menghembus,
dengan cepat berubah menjadi gerimis.
Seperti
yang di ucapkan Dwarf Shaman, tindakan memanggil kelpie untuk menghasilkan
hujan, tidaklah lebih dari sekedar Call Rain.
“Sisanya
kamu Beardcutter!”
“Berikutnya…
Ini.” Seraya dia berkata, Goblin Slayer mengambil sebuah kantung kulit dari tas
peralatannya dan melemparkannya mengarah troll.
“ORLTLRRLR?!”
Sang
monster dengan segera meraung. Kulitnya yang abu-abu mulai retak dan pecah
seraya mereka memperhatikannya, di awali pada bagian yang sebelumnya terbakar.
Ketika
seseorang mencoba untuk perataan lahan dan perlu untuk menyingkirkan sebuah
batu besar, terkadang batu tersebut akan di panaskan, dan kemudian air dingin
akan di siramkan ke batu tersebut. Hal ini membuat batu tersebut retak, yang
setelahnya dapat dengan mudah di hancurkan dengan palu.
Dan
bagaimana dengan troll?
“TLRORL?!”
Sang
troll, tidak memahami apa yang terjadi. Dia tidak pernah menyangka adanya kabut
yang mengambang hanya karena dirinya telah tersiram air!
“TTLOOOTTTTL?!”
“Sederhana
tapi efektif,” Goblin Slayer berkata, memperhatikan troll seraya dia
menggenggam wajahnya dan mengamuk.
Tidaklah
begitu jelas apakah Goblin Slayer sendiri memahami sains yang telah dia
lakukan. Namun apa yang terpenting adalah hasil dari tindakannya.
Bubuk
api—yang di sebut para alchemist sebagai saltpeter—menyerab air dan panas dari
troll, meningkatkan proses pendinginan.
“…Dari
mana kamu belajar hal seperti itu?” High Elf Archer bertanya dengan sedikit
merasa kesal.
“…Oh!”
Priestess mendapati dirinya sendiri mengingat kunjungan mereka di kota air.
Aku ingat dia pernah
bertanya cara membuat es krim…
“ORLT?!
TOORLRLOT?!”
Mungkin
ini adalah bukti bahwa kekuatan penyembuhan ataupun bukan, di dinginkan dengan
segera setelah di panaskan, sangatlah berlebihan untuk monster ini. Sang troll,
merasa panik lukanya tidak menunjukkan tanda akan sembuh, mulai mengamuk dengan
mengayunkan pentungannya.
Dengan
desisan, Lizard Priest tersenyum. “Benar-benar tidak pantas untuk di lihat,
mungkin ini sudah waktunya untuk melepaskan penderitaan makhluk itu?” Dia
melompat mengarah sang monster, di ikuti dengan cepat oleh panah dari High Elf
Archer.
“Apapun
makhluk besar itu,” Goblin Slayer berkata, melemparkan senjatanya namun dengan
cepat mengambil senjata baru di antara mayat goblin. “Saat kita sudah
membunuhnya, kita akan membasmi semua goblin.”
Takdir
dari sang troll akan tidak berbeda jauh dengan apa yang akan terjadi pada
goblin yang tersisa. Di antara semua ini, sang bocah muda yang berada di baris
belakang, memperhatikan Goblin Slayer dengan begitu seksama.
Aku mengerti sekarang. Dia
benar!—apa yang aku katakan pada gadis itu jahat sekali.
Namun
siapakah pria ini, yang hanya menganggap troll hanya sebagai gangguan kecil dan
sangat berniat untuk memburu goblin?
Benar,
bocah muda ini sudah ceroboh. Dia bertingkah layaknya seorang pemula. Dia patut
untuk di salahkan.
Tapi aku nggak bisa begitu
saja mengakui kalau pria ini benar…!
*****
“Oh,
ayolah. Kalau seorang dwarf nggak bersulang sekarang, kapan lagi bisa
bersulang?”
“Benar,
baiklah kalau begitu. Untuk kita yang telah kembali pulang dengan selamat—untuk
masa depan acolyte itu—dan untuk banyaknya monster yang telah mati!”
Yeah, yeah! Suara
mereka terdengar, di ikuti dengan cepat oleh dentingan gelas dan anggur yang
tertumpah.
Terdapat
alasan mengapa petualang dan alkohol di mulai dengan huruf yang sama, mereka
tidak pernah terpisahkan. (TL Note : di sini sedikit tidak nyambung kalau di
artikan dalam bahasa Indonesia, karena petualang dan alkhol di mulai dengan
huruf yang berbeda.)
Banyak
party yang sedang bersantai di rumah makan Guild seusai bekerja.
Terlalu,
musuh hari itu kuat sekali. Yah, kalau begitu, siapa yang mau menggunakan
pedang sihir yang mereka temukan? Buset, gadis desa itu cantik banget.
Bagian
terburuk dari ketika serangan kamu meleset. Banyak kesempatan untuk menggunakan
mantra.
Perayaan
kemenangan mereka lebih di utamakan, kemudian perbincangan akan bagaimana cara
petualangan mereka kala itu dapat berjalan lebih baik. Mereka mentertawai
kesalahan rekan mereka dan membanjiri pujian akan keberhasilan mereka.
Mereka
membagi jarahan yang telah mereka dapatkan, mempertimbangkan apakah akan di
jual atau memakain peralatan yang mereka dapatkan, dan membicarakan petualang
mereka berikutnya dengan semangat.
Pada
dasarnya, para petualang tidak berdebat ataupun mengeluh tentang keadilan dalam
petualangan itu sendiri. Tidak ada seorangpun yang ingin tumbang di
tengah-tengah sebuah duengon. Hal-hal detil seperti itu akan di simpan untuk
“Sesi sesudahnya,” waktu di mana petualangan telah berakhir. Dalam masa ini,
sang party melepaskan semuanya, agar tidak ada sesuatu yang di pendam, supaya,
jika mereka akan mati di petualangan mereka berikutnya, mereka dapat mati tanpa
penyesalan.
Party
Goblin Slayer merupakan bagian dari tradisi tersebut.
“Kenapa
kamu, Orcbolg? Aku tahu kamu memang nggak banyak bicara, tapi paling nggak kamu
harus ngomong sesuatu di saat seperti
ini!”
“Benarkah?”
“Benar!”
Walaupun
High Elf Archer hanya menyeruput anggur bercampur airnya, dia dengan girangnya
menuangkan anggur pada gelas rekannya yang telah kosong. Merupakan sebuah
pelayanan sederhana di banding kepuasan pridadi—mungkin, bukan bagian terbaik
dari sifatnya; tetapi juga, mungkin itu di karenakan minumannya telah menghantui
kepalanya.
Sebaliknya,
Goblin Slayer dengan diam menuangkan anggur masuk ke dalam celah helmnya,
seperti biasa.
“Permisi
nona pelayan, dapatkah saya merepotkan anda untuk membawakan beberapa sosis?”
“Baik,
master lizard! Yang biasanya?” Pelayan Padfoot merajut langkahnya di antara
ramainya para petualang, bergerak dari meja ke meja. “Dan keju sebagai
atasannya kan?”
“Ah,
madu manis! Tentu saja!” Dan kemudian Lizard Priest memesan sebuah camilan
sebagai teman minumnya, dia menepuk ekor di lantai. Semua ini tampak seperti
biasanya, namun…
“Ahh,
ayolah, gelasmu kesepian itu! Minum!”
“Baik…”
Di
satu sisi, Priestess, tampak tidak seperti dirinya, duduk dengan bahu yang
melemas.
Padahal,
biasanya Priestess lah yang selalu melayani rekan partynya, memastikan gelas
mereka selalu penuh. Jika tidak, maka High Elf Archer berkemungkinan besar
untuk berfoya-foya memesan makanan dan minumannya.
“Aku
cuma… Kamu tahu, hari ini…” Priestess terdengar seperti akan menangis. Wajah
lesunya sangat tidak cocok bagi seorang cleric, terlebih dalam perayaan seperti
ini.
Namun
juga, sulit untuk menyalahkannya. Adalah pengalaman pertamanya dalam memimpin
sebuah party, dan semua berjalan dengan begitu baik—hingga semua menjadi kacau.
Namun pada akhirnya semua dapat selamat, karena salah satu anggota partynya
dapat mengambil alih. Namun jika saja rekannya tidak mengambil alih, maka
mereka semua akan binasa.
Seperti
petualangan pertamanya.
“Aww,
ayolah! Kita masih di sini kan? Jadi nggak usah di pikirkan!” Elf yang hidup
selama dua ribu tahun, tidak mempermasalahkan sama sekali detil kecil seperti
itu. “Memangnya kamu bisa melompat masuk dan mengatasi semuanya dengan
sempurna?” Nada High Elf Archer serta ekspresinya (saksikanlah kepakkan
telinganya) membuat semua tampak jelas bahwa dia berpikir ini merupakan hal
sepele. “Bahkan para elf nggak dapat melakukannya. Kalau kamu ketemu elf yang
bilang dia bisa melakukannya, jewer telinga mereka, karena aku yakin telinga
mereka budeg.”
“Sekali-sekali
kamu ada benarnya Telinga Panjang!”
“Pfff!
Aku Selalu benar!” dia menjawab,
membusungkan dada kecilnya.
Namun
itu semua hanya berjalan sesaat. Matanya setengah tertutup, dan dia memutar
wajah merahnya pada sisi lain meja.
“Gimana
sama kamu?”
Selain
Goblin Slayer dan Priestess, terdapat satu orang lagi di meja yang tidak banyak
berucap. Adalah seorang pria muda, yang menopang dagu dengan satu tangan seraya
merajuk dan mendorong potongan kecil sosis yang ada di piringnya dengan garpu.
Masuk
akal: ini adalah petualangan pertamanya, dan dia tidak mempunyai sesuatu untuk
di banggakan. Dia bergegas maju dengan keberanian jenuh dan masuk ke dalam
perangkap. Sihirnya yang merupakan senjata andalannya, telah di gunakan pada
waktu yang salah.
Pengalamannya
begitu berbanding terbalik dengan petualangan yang selalu dia impikan.
Yah, aku rasa kenyataan
memang seperti itu. High Elf Archer menghela dan kembali
menuangkan minumannya, seolah rasa tertariknya telah menghilang.
“Tidak
perlu di risaukan,” Lizard Priest berkata. “Anda dapat kembali dengan selamat
pada petualangan pertama anda, dan itu merupakan alasan yang cukup untuk di
rayakan.”
“Dia
benar, bocah. Nggak semua orang yang bisa bertemu troll di petualangan
pertamanya. “Dwarf Shaman menepuk sang bocah yang mengambek dan meneguk
anggurnya.
“Kalau
troll bodoh itu nggak ada di sana,” Sang bocah berkata, “maka aku nggak akan
kerepotan sama sekali dengan semua goblin itu…”
“Pokoknya,
cuma ada satu hal yang harus di lakukan,” Sang dwarf berkata, mengisi gelas
sang bocah. “Minum! Ini anggur yang enak.”
Sang
bocah memperhatikan gelasnya, dan kemudian meminumnya dengan sekali teguk.
“Guh?!
Uhuk! Uhuk! Ugh!” Sang bocah terbatuk
terbakar alkohol.
“Tuh
kan? Nggak bisa masuk banyak di saat kamu coba pertama kali kan!” Tawaan Dwarf
Shaman sedikit jahat dan sedikit menyemangati. Sang bocah menatapnya dan
membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
Akan
tetapi, sebelum dia dapat berbicara, dia mendapati mulutnya penuh akan sosis,
yang di ambil dari piring yang mengepul penuh dengan berbagai macam hal.
“Ayolah,
manjakan lidahmu dengan kelezatan sosis bercampur kejuku.”
Daging
itu, begitu hangat hingga mengepul,terlumuri dengan keju cair. Lizard Priest
dengan riang mengambil beberapa bagian untuk dirinya (dengan ukuran yang lebih
besar dari yang lain) dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kulit sosis berderik
seraya dia mengunyahnya; mulutnya penuh dengan kenikmatan. Rasa asin dari bumbu bercampur dengan rasa
manis dari keju, sebuah kombinasi yang sempurna.
“Madu!”
dia berteriak, menepuk tangannya bersama seolah sedang menyembah. Kemudian dia
menawarkan piringnya kepada Priestess. “Ciciplah beberapa, sungguh lezat, saya
jamin. Dan lagipula, makanan yang lezat setelah pengalaman yang sulit,
sangatlah menenangkan hati.”
“Aku
rasa kamu benar…” Dengan banyak rasa bimbang, Priestess membimbing garpunya
mengarah sosis. Dia mengambil satu bagian dan membawanya ke mulutnya, yang
terbuka cukup lebar untuk satu gigitan kecil.
“Aku
juga…ingin melakukan hal yang lebih baik di sana.”
“Ha!
Ha! Ha! Ha!” Lizard Priest tertawa riang. Priestess melirik kepadanya. Lizard
Priest sedang berdiri; dia mengatakan bahwa ekor miliknya menghalaunya ketika
dia ingin duduk di sebuah kursi. Ini semakin membuktikan akan betapa tingginya
dirinya.
Priestess
mengembungkan pipinya sedikit, mendapatkan anggukkan menyetujui dari Lizard
Priest.
“Semangat
itu sungguh adalah hal yang sangat baik. Jika anda tidak mempunyai niatan untuk
melakukan hal seperti itu, maka anda tidak akan pernah berhasil. Apalah arti
kemajuan tanpa adanya keinginan untuk mencoba maju?” sang jari bersisik
terangkat, menggambar lingkaran di udara. “Para naga, leluhur menakutkan saya,
pertama merayap di rawa sebelum berjalan di tanah dengan keempat kaki, yang di
mana pada akhirnya mereka menjadi naga.”
Ini
adalah mitos para lizardman. Priestess sama sekali tidak mengetahuinya.
Lautan
menghasilkan ikan, kemudian ikan mulai berjalan di tanah, berlari di tanah,
berdiri, dan akhirnya menjadi naga yang menguasai segalanya.
Adalah
cara lizardman untuk menggambarkan sebuah kemajuan, atau mungkin evolusi,
budaya mereka selalu mengajarkan mereka untuk terus bergerak maju.
Walaupun
semua ini sangatlah menarik, Priestess sama sekali tidak yakin apakah semua ini
di maksudkan untuk dirinya, dan pada akhirnya dia hanya dapat tersenyum ambigu.
Paling nggak aku bisa
mengerti dia mencoba menyemangati diriku.
“Hey,
ngomong-ngomong,” High Elf Archer berkata, menyela tepat ketika Priestess
hendak mengigit besar sosisnya agar dia tidak perlu mengatakan sesuatu yang
berkomitmen. Tidak di ragukan bahwa sang elf tidak berusaha untuk menolong
gadis ini; dia hanya memiliki sikap untuk mengutarakan apapun yang ada di dalam
pikirannya. “Gimana dengan itu, kamu tahulah—gadis acolyte? Apa yang terjadi
dengannya? Apa dia akan baik-baik saja?”
“Oh,
ya,” Priestess berkata, mengangguk cepat dan mengelap jarinya yang sebelumnya
ada di mulutnya. “Mereka sepertinya berhasil menyambung jarinya kembali. Sekali
dia beristirahat, mereka akan berpikir tentang apa yang berikutnya harus di
lakukan.”
“Kedengarannya
bagus. Maksudku—aku tahu itu memang sulit, tapi selama kamu masih hidup, akan
selalu ada yang dapat kamu lakukan.”
Bagi
High Elf Archer, itu hanyalah sebuah komentar yang berlalu. Oleh karena itu,
sangatlah mengejutkan ketika sebuah jawaban kembali kepadanya.
“Terkadang
kamu hidup dan nggak ada apapun yang bisa kamu lakukan!”
Adalah
sang bocah.
Dia
menatap High Elf Archer dengan seksama seolah dia dapat menghancurkan sang elf
dengan kekuatan tatapan matanya.
“Dia
di kalahkan oleh para goblin, kan?
Dia nggak akan pernah melupakan itu. Mustahil.”
“Ap-apa
sih masalahmu?” sang elf berkata, memanyunkan bibirnya dan terlihat sedikit
takut. “Aku rasa itu masih bukanlah sesuatu yang pasti—“
“Yah,
itu sesuatu yang pasti untuk kakak perempuanku!” sang bocah berteriak, memukul
meja bundar dengan tangannya.
High
Elf Archer terduduk dengan terkejut, telinganya melemas di kepalanya.
Perkakas
bergoyang, makanan terjatuh, dan anggur tertumpah ketika sang bocah memukul
meja. Lizard Priest dengan cepat mengambil piring terbesar, Dwarf Shaman
menolangnya. Tampaknya mereka menunjuk diri mereka sendiri untuk menjadi
penjaga bocah muda yang sedang mabuk ini.
Eh, remaja memang sering
seperti ini kalau sudah kena anggur sedikit.
Ini
jauh lebih baik daripada memendam perasaannya. Paling tidak, itu menurut sang dwarf.
“Dia
di kalahkan oleh goblin! Dan para goblin melakukan—!”
“Kakak
perempuan?” sebuah suara berkata, dengan sangat pelan.
Secara
reflek, tatapan semua petualang yang duduk di meja berputar mengarah asal
suara. Adalah Goblin Slayer, yang hingga
sampai saat itu terus diam meminum anggurnya.
“Kamu
punya kakak perempuan?”
“Aku
Punya kakak perempuan!” Sang bocah
berteriak. Alkohol membuat emosinya meluap, dan sekarang kata-kata tumpah dari
mulutnya layaknya sebuah banjir. “Dan aku akan masih tetap punya dia, kalau
saja dia nggak mati setelah goblin menusuknya dengan pisau beracun!!”
“Huh…?”
Tampaknya
tidak ada yang menyadari darah yang terkuras dari wajah Priestess di kala dia
mendengar kalimat itu.
Pikirannya
bercampur dengan Tentu saja dan mustahil…
Tangannya
sedikit bergetar. Tenggorokannya menelan beberapa liur; liur yang tertelan,
terdengar begitu nyaring baginya.
Sebuah
pisau beracun. Di bunuh oleh seekor goblin. Rambut merah. Pembaca mantra.
Bagaimana
mungkin dia dapat melupakannya?
“Kakakku
itu hebat! Kalau saja goblin itu nggak menggunakan racun, dia akan mengalahkan
mereka semua!” sang bocah berkata dengan setengah menggerutu. Kemudian dia
melempar gelasnya sekuat yang dia bisa.
Oop. Lizard
Priest mengambilnya dengan ekornya.
“Tapi
para bajingan dari akademi itu, mereka cuma…!”
“Mati saja mereka ke
neraka.”
Dengan
ucapan terakhirnya, yang terdengar seperti sebuah bisikan, sang bocah terbaring
di meja.
Apakah
suara para petualang lainnya yang berada di rumah makan tampak sedikit lebih
hening untuk sesaat? Ataukah mereka tengah mendengarkan teriakan sang bocah?
Apakah ada orang lain di ruangan ini yang melihat dirinya?
Yah,
walaupun begitu, mereka tidak akan mengatakan apapun.
Menjadi
petualang berarti kamu harus bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Semua orang
memiliki beban yang mereka emban atau harapan yang mereka kejar. Mereka ingin
kaya, ketenaran, terkenal akan seni bela dirinya, disiplin, uang, mimpi,
harapan, atau keimanan.
Walaupun
tidak ada dua orang yang sama persis, berat dari apa yang ada di dalam hati
mereka adalah sama.
Bagaimana
kamu dapat membandingkan keinginan untuk meletakkan makan di atas meja untuk
hari berikutnya, dan keinginan untuk menelusuri kedalaman reruntuhan? Apa
perbedaan yang terdapat di antara seorang pemula yang bertarung dengan tikus
raksasa di saluran air, dan mereka yang sudah berpengalaman yang bertarung
dengan seekor naga?
Itulah
mengapa tidak ada seorangpun yang berkata apapun.
Terkecuali—satu-satunya
pengecualian—adalah seorang pria yang, walaupun seorang petualang
berpengalaman, namun terus memburu goblin.
“Begitukah…?”
Goblin Slayer berkata pelan, suaranya terdengar seperti gerutu sang wizard.
Dia
mengambil gelasnya dan meneguk isinya.
Kemudian
terdengar suara decitan di saat dia berdiri dari meja.
“Aku
akan pergi. Carikan dia kamar. Di manapun nggak masalah.”
Terdengar
suara pelan jentikkan lidahnya. Sang bocah belum mendapatkan kamar di
penginapan manapun.
Sang
petualang mengeluarkan satu koin emas dari kantung yang ada di pinggulnya dan
melemparnya di atas meja.
“Ini
seharusnya sudah cukup untuk biayanya.”
“Oke,
kami akan urus.” Dwarf Shaman mengangguk namun tidak mengatakan hal lainnya.
Dia mengambil koin dengan jari tebalnya.
“Oh…”
Priestess, terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu kepada pria itu seraya dia
berjalan melewatinya. Mulut Priestess terbuka, namun tidak ada satu katapun
yang keluar terkecuali, dengan suara yang begitu pelan, nama pria itu. “Pak
Goblin Slayer…”
“Istirahatlah.”
Priestess
mendapati sebuah sarung tangan kasar memegang pundaknya yang cantik.
Di
kala Priestess ingin menyentuh tangan itu, Goblin Slayer telah pergi.
Priestess
celingak-celinguk melihat pria itu; dia melihat pria itu pergi menuju pintu
dengan langkah tidak peduli biasanya.
“Tunggu
dulu Orcbolg!” High Elf Archer berteriak, suaranya terdengar begitu lantang di
antara ramainya rumah makan. “Gimana besok? Apa kita akan istirahat?”
Jawabannya
sangat pendek dan dingin. “Aku nggak tahu.”
Ketika
dia akan mendorong pintu berayun Guild, Goblin Slayer berpapasan dengan
petualang lain yang ingin masuk.
“Yikes!
Goblin Slayer ternyata!” Seorang pria tampan yang terlihat tangguh berteriak.
Adalah petualang pemegang tombak.
Mungkin
dia baru saja menyelesaikan petualangannya sendiri. Dia berlumur dengan tanah
dan debu, dan tercium bau samar akan darah.
“Jangan
muncul tiba-tiba seperti itu bro, kamu bikin aku kaget sa—“
Apapun
yang dia hendak katakana, dia menelannya kembali, sebagai gantinya, dia melihat
helm yang terlihat murahan Goblin Slayer dengan seksama.
“…Kenapa?”
dia bertanya. “Ada sesuatu yang terjadi?”
“Nggak
ada.”
Goblin
Slayer mendorong Spearman ke samping seraya dia pergi meninggalkan Guild.
Spearman
berdiri terdiam di pintu masuk, melihat Goblin Slayer seolah dia tidak percaya
dengan apa yang telah di lihatnya.
Dia
tidak pernah melihat Goblin Slayer mendorong seseorang sebelumnya.
*****
Tidak
satupun petualang yang tidak menyukai bermabuk-mabukan.
Pesta
pora dari dalam Guild menembus dinding dan jendela, memeriahkan malam.
Jika
seorang petualang terbaring di dalam sebuah gang yang gelap hingga cahaya dari
bulan kembarpun tidak dapat menjangkaunya, apakah ada yang akan menyadarinya?
Armor
kulit yang terlihat murahan, dan helm yang kotor. Bahkan petualang yang paling
terbarupun memiliki perlengkapan yang lebih baik.
Adalah
hal yang sangat lumrah: seorang petualang baru, merasa lega dapat bertahan
hidup dalam sebuah petualangan, mulai terhanyut dalam minumannya.
“…Kakak
perempuan katanya?” sang petualang berkata, melempar helmnya ke samping.
Apakah
dia pernah berpikir bahwa dia dapat menyelesaikan satu hal pun?
Apakah
dia pernah berpikir untuk dapat berhasil melakukan satu hal itu dengan benar?
“…Tolol.”
Dia
mengeratkan giginya dan mengepal telapak tangannya, namun itu tidak dapat
menghilangkan beban berat yang terasa di perutnya.
Tidak
dapat menahan gelombang rasa mual, dia muntah di dalam gang.
5 Comments
semngat min
BalasHapusterima kasih min
BalasHapustetap semangat min
BalasHapusWih GS inget masa lalu nih
BalasHapusYahaha ga kuat minum
BalasHapusPosting Komentar