AKAN KEDUA WANITA
(Translater : Zerard)
“Selesai
sudah.”
Kehangatan
samar yang dia rasakan pada lehernya menghilang, bersama dengan kelembutan
punggungnya.
Noble
Fencer bergetar, menyayangkan perasaan yang telah pergi itu, dan secara
perlahan membuka matanya.
Dia
sedang bermandikan terangnya cahaya matahari di sebuah halaman, sebuah hembusan
angin bertiup melewati. Dia sedang berada di Kuil Hukum, dalam kota air.
“…Ini
nggak akan pernah bisa menghilang ya?” dia berkata.
“Kutukan memanglah selalu seperti itu.”
Jawabannya
datang dari seorang wanita paruh baya yang berdiri di belakang Noble Fencer,
seseorang yang telah merawat dirinya hingga detik sebelumnya. Wanita ini
memiliki tubuh yang begitu aduhai, dengan hanya berlapis pakaian dengan kain
yang tipis.
Di
tangannya adalah sebuah pedang dan timbangan. Satu-satunya yang tampak seperti
noda di dalam kecantikkannya yang tiada tanding adalah sebuah kain yang
menutupi matanya.
“Saya
sungguh memohon maaf. Jika saja saya memiliki kekuatan yang lebih…”
“…Nggak
apa-apa. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku.” Noble Fencer menundukkan
kepalanya kepada Sword Maiden, sang archbishop dari Supreme God.
Melihat
sebuah kain yang menutupi mata wanita itu, Noble Fencer merasa malu untuk
mengeluhkan lukanya sendiri.
“…Semuanya
berkat kamu, Archbishop. Aku hidup dan dapat bertemu dengan keluargaku, itu
semua karena kamu.”
“Saya
tidak layak menerimanya,” Sword Maiden berkata, bibirnya membentuk sebuah
lengkungan yang sempurna. “Bukanlah saya yang menyelamatkan dirimu…”
“…Kamu
berpikir tentang dia.”
“Benar.”
Sword Maiden menyentuh dadanya yang besar dan menghela napas seolah dirinya
akan meleleh. “Dia yang membunuh goblin. Yang hanya aku lakukan adalah meminta
bantuannya.”
“…Ya.
Benar.” Noble Fencer berkata, bibirnya sedikit melengkung ke atas menjadi
sebuah senyuman. Tangan kirinya bergerak untuk menyentuh belati silver yang
menggantung pada ikat pinggangnya, seperti membelainya.
Satu
bulan telah berlalu semenjak pertarungannya pada gunung bersalju—dan bukan
hanya karena kekuatannya sendiri yang membuatnya dapat kembali kemari.
Bahkan,
hal itu juga berlaku hampir di keseluruhan hidupnya. Berapa banyak hal yang
benar-benar dia lakukan seorang diri? Orang tuanya, anggota partynya, Goblin
Slayer—dan tentu saja, semua temannya yang dia temui di kota perbatasan. Sang
priestess yang sudah seperti kakak perempuan baginya: elf yang riang itu; sang
resepsionis dan gadis kebun. Semua pikiran itu membuat hatinya bernyanyi.
Dan
dengan kehangatan itu di dalam hatinya, dia yakin dia akan baik-baik saja.
“…Itulah
kenapa aku ingin melakukan sesuatu dengan tanganku sendiri lain kali.”
“Maksudmu
demi orang lain?”
“Nggak,”
Noble Fencer berkata. “…Aku nggak tahu apakah itu akan berujung demi semua
orang atau nggak.”
Sword
Maiden mengangguk, seolah itu adalah hal yang sangat baik.
Mempunyai
harapan untuk dapat melakukan sesuatu yang menguntungkan bagi dunia adalah
sesuatu yang baik. Namun tidak ada jaminan bahwa apa yang dia akan lakukan akan
berpengaruh baik pada dunia.
Kebenaran
juga merupakan bahaya. Itulah mengapa Supreme God telah mewasiatkan hukumnya.
Noble
Fencer sangat memahami ini semua. Apa yang dia pikir sebelumnya benar adalah
sebuah kesalahan. Lambang pada lehernya adalah sebuah bukti.
Apa
yang dia dapat lakukan untuk dapat menebus jiwa partynya yang telah gugur? Dan
bagi mereka semua yang baru saja menjadi petualang?
“…Tapi
pastinya aku akan mengerahkan seluruh jiwa ragaku.”
“Tentu
saja. Saya pastinya akan memberikan semua dukungan yang saya dapat lakukan,
sekecil apapun itu.” Noble Fencer merasa senyum Sword Maiden memberikannya
semangat baru. Inilah pahlawan yang telah mengakhiri perang sepuluh tahun yang
lalu, dan benar, sang Archbishop yang memiliki telinga para raja dan
semacamnya. “Kecil”? Mustahil. Namun Noble Fencer juga tidak ingin memaksakannya.
“Dan
juga…” Hanyut dalam pikirannya, tepat di saat sebelum Noble Fencer menyadari
bahwa Sword Maiden begitu dekat dengan dirinya. “Bagaimana pendapatmu tentang
pria itu?”
“…Maaf?”
Noble Fencer berkata, berkedip. Mata yang tersembuyi milik Sword Maiden tampak
terpaku kepada dirinya. Noble Fencer merasa dirinya seperti terkena dengan
Sense Lie seraya dia berkata. “Maksudmu bagaimana…? Apa…?”
“Seperti
yang saya katakan sebelumnya.”
“…Aku
berhutang nyawa padanya.” Noble Fencer menjawab tanpa keraguan. Menyentuh
belati pada pinggulnya sekali lagi, dia berkata, “…Bukan Cuma dia. Partynya dia
juga. Aku bahkan mendapatkan beberapa teman berkat mereka.”
“Apakah
itu benar?” Sword Maiden tampak enggan untuk berbicara namun juga merasa
senang.
Tanpa
ragu, Noble Fencer menatap kepada Sword Maiden dan mendapati wanita itu
mengangguk dan tersenyum kepadanya.
“Begitu.
Sungguh suatu berkah kamu dapat bertemu dengan mereka.”
“…Ya,
bu!” Noble Fencer menjawab gembira, membusungkan dadanya yang kalah besar.
Terdapat
beberapa dari perbuatannya yang dia banggakan, namun pertemuan itu, terasa
berbeda.
Terdapat
ayunan pada setiap langkah Noble Fencer seraya dia berjalan melewati aula kuil,
Sword Maiden mengikuti di belakangnya.
Di
belakangnya, sang priestess tersenyum gembira, namun Noble Fencer tidak
mengetahui alasan senyum itu.
8 Comments
sepertinya si priestes make sense lie dan tau kalo noble fencer..... ah sudah lah 😋
BalasHapusPriestess nggak punya keajaiban Sense lie mas.
Hapusmaksud saya priestess yg selalu sama sword maiden
HapusKalau itu, mungkin mas :)
Hapusterima kasigh banyak min, semoga dimurahkan rezekinya, ga sabar nunggu updatetan di sini, lanjut admin yang tampan
BalasHapusAmin mas, terima kasih.
HapusAh ni milf emang menggoda 😋
BalasHapusMILF emang the best mas 🤣
HapusPosting Komentar