PRIA TANPA NAMA
(Translater : Zerard)
Kurang
lebih satu minggu kemudian, orang-orang mulai menggunakan tempat latihan,
walaupun pada dasarnya bangunan tersebut belum selesai.
Surya
mentari musim panas membanjiri bukit berumput dan angin sepoi-sepoi berhembus berlalu.
Apakah ada cuaca yang lebih baik yang dapat menggoda seseorang untuk bekerja
dan berkeringat?
“Yikes—ow!
Hati-hati, sekarang tanganku jadi keram!”
“Jangan
kamu jatuhkan tangan perisaimu! Kamu mau aku belah kepalamu?!”
“Yipes!
Ack! Waah—!”
Metal
dan metal saling berdenting pada lingkaran pasir putih.
Fasilitas
rumit (seseorang mungkin dapat mengiranya seperti bangunan sihir) masih dalam
pembangunan, namun bahkan seorang pemula sekalipun dapat memasang pagar.
Ruangan melingkar yang di pergunakan untuk pertarungan latihan adalah yang
pertama selesai, dan para pemuda dengan tidak sabar ingin memakainya. Itu
karena, area pada bagian belakang bangunan Guild terlalu sempit, dan
mendapatkan perlengkapan pinjaman untuk di pakai bukanlah sesuatu yang buruk.
“Tanganmu
keram? Aku nggak peduli walaupun tanganmu putus!
Jangan turunkan perisaimu! Perisaimu itu adalah rekan yang paling dapat
kamu andalkan dalam pertarungan!”
“Apa
kita nggak bisa, kamu tahulah, pelan-pelan dikit?!”
Pada
saat itu, adalah Knight Wanita dan Rhea Fighter—fighter muda itu menggunakan
armor kulit dan membawa sebuah perisai bundar—yang sedang beradu di dalam ring.
Yah,
beradu mungkin kata yang sedikit
berlebihan. Knight Wanita mendominasi duel ini dan dia menikmatinya. Sedangkan
untuk Rhea Fighter, yang dapat dia lakukan hanyalah menjerit dan mengangkat
perisainya untuk menghalau serangan yang datang.
Dan
dia juga perlu untuk: pedang latihan ini tidak memiliki mata, namun jika
terkena dengannya, tentunya akan tetap meninggalkan luka yang lebih parah dari
sekedar memar.
“Kenapa?
Berdiri! Kalau kamu nggak bisa berdiri cuma karena ini, bagaimana mungkin kamu
bisa berhadapan dengan gigi naga dan cakarnya?!”
“Aku
ini Cuma Porcelain! Aku belum mau memikirkan tentang naga!!”
“Apa
kamu nggak tahu perumpamaan tentang pertemuan acak dengan naga? Whoop—putus
sudah kakimu!”
“Eek!!”
Sebuah
ayunan dari Knight Wanita mengenai kaki Rhea Fighter, dan membuat gadis itu
terjatuh di pasir.
Tertawa
dengan begitu lantang, Knight Wanita memanfaatkan kesempatannya, menyerang
dengan hulu pedangnya. Satu serangan dari hulu pedang seperti ini, dengan
pedang yang di pegang secara terbalik dan di angkat di atas kepala, dapat
menjadi serangan mematikan.
Terkesiap
dan menjerit, Rhea Fighter mencoba untuk melarikan diri dari perangkap, hanya
untuk mendapati dirinya terjatuh kembali.
Knight
Wanita tidak kenal ampun, atau mungkin rasa simpatinya kurang: apapun itu, dia
datang tanpa belas kasih. Hampir melewati batasan kejam. Dan dirinya bingung
mengapa tidak ada seorangpun yang ingin menikahinya…
“Whoa…”
“Yeah,
gila.”
Rookie
Warrior dan wizard berambut merah memperhatikan, ekspresi mereka kaku, mencoba
untuk tidak memikirkan kenyataan bahwa giliran berikutnya adalah mereka. Mereka
tidak pernah menyadari bahwa duduk di luar lingkaran itu, mencoba untuk
memberanikan diri mereka untuk menghadapi apapun yang akan datang, merupakan
sebuah latihan tersendiri.
Di
manakah mereka pikir sedang berada—Labirin Besar yang tidak tertembus? Adalah
mustahil untuk pergi kesana atau kembali dari sana.
“Hei,
jangan melamun bocah kampret.”
Pantat
dari tombak memberikan masing-masing dari kedua petualang muda itu pukulan di
kepala. Dan siapa lagi yang memegang tombak itu selain Spearman, tidak
berpakaian seperti biasanya, dan hanya memakai pakaian sehari-hari dengan
kalung peringkat yang menggantung di lehernya.
“Perhatianmu
mudah teralihkan gara-gara perempuan. Percaya aku, aku paham banget. Tapi kalau
kamu nggak fokus, hal berikutnya yang akan terjadi adalah kematianmu.”
“Uh,
itu bukan yang lagi aku lakukan kok.”
“Yeah,
dan aku nggak punya masalah sepertimu , Spearman…”
Satu
menggeutu, sedangkan satunya tertawa kecil sendiri. “Dengar,” Spearman memulai
dengan dahi mengernyit. “Aku nggak tahu apa pendapat kalian tentang aku, tapi
kalian sepertinya nggak terdengar siap untuk mempelajari apapun.”
“Yeah,
tapi,” Rookie Warrior berkata seperti itu adalah hal yang paling wajar sedunia.
“Kamu selalu di tolak sama resepsionis itu kan?”
“Aku
juga baru datang kemari, dan bahkan aku juga tahu tentang hal itu,” sang wizard
menambahkan.
Sebuah
nadi di dahinya berdenyut dan tercetak jelas, namun tampaknya kedua bocah itu
tidak menyadarinya.
“Oh,
begitu.” Dia berkata dengan senyum yang kaku. “Pintar juga kalian ya? Yah,
bukan kalian saja yang bisa memainkan permainan itu.”
“?”
Kedua
bocah melihat kepada pria itu dengan penuh Tanya, yang di mana Spearman
menunjuk telunjuknya selurus sebuah tombak dan melanjutkan, “Di petualanganmu
sebelumnya, kamu terburu-buru masuk, menggunakan sihirmu, dan pada akhirnya
nggak bisa melakukan apapun.”
“Erk…”
“Dan
kamu selalu menghabiskan waktumu
berburu tikus raksasa, jadi kamu nggak mempunyai stamina yang cukup untuk
pertarungan panjang dan menggunakan semua hadiahmu untuk membeli Stamina
potion.”
“Guh?!”
Kedua
hal ini adalah benar. Rahasia memalukan para bocah yang dimana mereka ingin
agar tidak terlalu tersebar. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya terkecuali
anggota party mereka, dan…
“Re-resepsionis?
Dia memberi tahumu…?”
“Betul
banget. Dia memintaku untuk mengawasi kalian, memastikan kalian memiliki tenaga
fisik yang kalian butuhkan.” Spearman tertawa kecil dan kemudian berdiri dan
mengambil kuda-kuda. Rookie Warrior dan sang bocah wizard juga turut mengambil
kuda-kuda, terlihat takut seolah mereka akan bersiap untuk bertarung dengan
seorang warrior yang hidup kembali dari kematian.
“Ayo
main petak umpet. Aku akan jadi pencari dan kalian bersembunyi.”
Adalah
ketika Spearman memutar senjatanya dengan begitu lihai dan kembali
berkuda-kuda, para bocah menyadari betapa marahnya pria itu.
“Yikes,
ayo lari dari sini!”
“Ye-yeah,
ayo pergi!”
Alih-alih
memohon maaf atau merenungkan apa yang mereka telah lakukan, mereka berlari
secepat kuda yang ketakutan. Tidak di ragukan itu adalah pilihan yang tepat.
“Hei!
Kalian nggak akan bisa lari semudah itu!”
Para
bocah berlari di sekitaran area berlatih dengan begitu cepat hingga mereka
meninggalkan perlengkapan mereka (termasuk tongkat sang wizard) yang tergeletak
di tanah. Spearman mengejar mereka.
Pekerja
konstruksi, bersama dengan para petualang yang sedang beristirahat,
memperhatikan keributan tersebut dengan lelah. Tentu saja, semua orang
mengetahui bahwa Spearman itu tidaklah serius. Pria itu mempertahankan
kecepatan lari yang cukup untuk menangkap para bocah.
Semua
yang menonton secara pribadi menyetujui bahwa walaupun penampilan Spearman
seperti itu, Pria itu sangatlah ahli dalam mengawasi orang lain.
Instruksi
pada tempat ini akan di tangani oleh petualang tingkat tinggi yang telah
pensiun. Namun tidak ada yang melarang para petualang yang masih aktif untuk
memberikan sedikit pelajaran dengan caranya sendiri. Mungkin hanya untuk
melewati waktu, atau bahkan sebagai bentuk latihan diri mereka sendiri.
Tempat
latihan ini bahkan masih belum selesai, dan para petualang sudah dengan senang
hati menggunakannya untuk berkumpul dan berbicara.
“…”
Goblin
Slayer memperhatikan semua ini tanpa berkata-kata, tangannya bergerak tanpa
henti. Dia duduk di sebuah lahan terbuka, bukan pada area latihan yang telah
selesai di bangun ataupun bagian yang masih dalam pembangunan.
Burung-burung
bernyanyi di langit biru, dan hembusan angin membelai rerumputan.
Jika
seseorang melihat mengarahnya, seseorang tersebut akan melihat dua wanita muda
sedang menunggu pria itu menyelesaikan apa yang dia lakukan dengan gelisah.
Satu
adalah seorang rhea druid, sedangkan satunya lagi adalah seorang cleric
apprentice yang melayani Supreme God.
“Begini
cara kamu melakukannya.” Dia berkata, pada akhirnya menunjukkan kepada para
gadis, produk hasil buatannya. Mereka berkedip melihatnya.
Adalah
sebuah ketapel sederhana, sehelai kain di ikatkan pada sebuah batu kecil agar
dapat di lempar.
“Huh?
Gitu doing?”
“Benar-benar
sederhana sekali.”
“Ya.”
Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Pengembala terkadang membawanya untuk
menakuti serigala.”
“Sepertinya
ini bisa di buat dengan cepat di saat yang mendesak.”
“Yang
kamu butuhkan cuma sebuah tali. Amunisi mudah di capi. Nggak ada salahnya untuk
mempelajari cara menggunakannya.”
Semua
ini terjadi ketika mereka melihat Goblin Slayer melempar sebuah batu pada
sebuah festival. Bagi mereka, ini merupakan sebuah kemampuan sempurna untuk
mereka berdua yang berdiri di baris belakang dan memerlukan sesuatu untuk
melindungi diri mere sendiri.
Sekarang
Goblin Slayer berdiri. “Pedang sering di anggap sebagai senjata terbaik untuk
manusia, tapi ketapel jauh lebih baik.” Dia berkata, secara perlahan memutar
ketapelnya. Dia memastikan gerakannya tampak jelas untuk dapat di perhatikan
oleh kedua pemula. Dalam pertarungan, angkat, putar, dan tembak biasanya di
lakukan dalam satu gerakan, kali ini dia menunjukkannya secara perlahan kepada
mereka.
“Manusia
hebat dalam melempar, entah itu batu atau tombak. Tubuh kita tercipta untuk
melempar.”
Dia
mengangkat ketapelnya tinggi, secara perlahan mempercepat putarannya, mencari
sasaran. Berusaha untuk menghindari kemungkinan adanya kecelakaan, dia membidik
pada arah berlawanan dari tempat latihan.
Di
balik semak-semak, sebuah boneka menggunakan armor dan helm—rakitan dari
bengkel Guild. Tidak begitu tinggi—yang melambangkan tinggi dari goblin.
“Inilah
hasilnya.”
Seraya
dia berbicara, Goblin Slayer menembakkan batu; batu itu bersiul di udara dan
menghantam pelindung kepala boneka. Helm itu berguling jatuh di rumput, yang di
mana Goblin Slayer mendekati dan mengambilnya, dengan santai melemparnya kepada
kedua gadis.
“Wow!”
“Eek!”
Kedua
gadis tersebut menjerit. Namun itu adalah hal yang wajar: batu tersebut telah
menghantam telak helm metal dan kepala boneka berguling di dalam helm itu. Apa
yang akan terjadi kepada tengkorak seseorang yang menggunakan helm ini ketika
terhantam oleh batu itu, mereka tidak berani membayangkannya.
“Dengan
cara seperti ini, bahkan seseorang yang lemah seperti rhea pun dapat menghadapi
paling tidak satu musuh yang mendekat.”
“Guruku sendiri juga seorang
rhea.” Bisikan pelan ini menyebabkan Gadis Druid berkedip.
Goblin
Slayer mendekati mereka dengan langkah sigapnya, mengambil batu yang ada di
dalam helm. Batu itu telah di asah seperti mata panah. Sesuatu yang dia lakukan
khusus untuk melempar seperti ini, memfokuskan pada tenaga di banding dengan
stabilitas saat di udara. Persiapan seperti ini terkadang cukup efektif.
“Kalau
kamu bisa menjaga jarak dengan musuh pertama, kemungkinan besar rekan partymu
akan datang dan menolongmu.”
“Cuma…kemungkinan?”
Apprentice Cleric bertanya penuh keraguan.
“Ya.”
Nada Goblin Slayer sangat serius. “Ini hanya sebagai salah satu cara yang bisa
kamu gunakan di saat kamu membutuhkannya. Kalau bagimu ini sudah cukup maka
berlatihlah.”
“Pak.
Goblin Slayer. Aku benar-benar merasa cara penyampaian kata-katamu kasar
banget.” Gadis Druid berkata. Pantas saja
gadis imut priestess itu selalu terlihat stress.
“Benarkah?”
Goblin Slayer bertanya, asli tidak memahaminya. Kedua gadis itu mengabaikan
masalah ini, kemudian mengambil ketapelnya. Mereka menarik ketapel tersebut
dengan “Apa benar seperti ini?” dan “Gimana kalau begini?” sebelum pada
akhirnya mereka menembakkan batu mereka mengarah kepada boneka.
Beberapa
dari tembakkan mereka mengenai sasaran, dan beberapa lainnya meleset. Beberapa
bahkan tidak terbang pada arah yang benar. Namun Goblin Slayer tidak mengatakan
apapun pada usaha mereka. Jika mereka memiliki pertanyaan, mereka akan bertanya
kepadanya. Karena itu, akan lebih baik membiarkan mereka fokus pada latihan
mereka. Seperti itulah Goblin Slayer di ajarkan, dan dia merasa bahwa dia harus
melakukan hal yang sama.
Mereka yang tidak mencoba
tidak akan bisa melakukannya.
Sekarang,
pada akhirnya, dia mengira bahwa dia telah memahami apa yang
masternya—Burglar—maksudkan.
Dan
apakah dia, pada akhirnya dapat melakukannya?
Dia
tidak memiliki jawaban. Tidak mungkin dapat menjawabnya.
Goblin
Slayer menghela, duduk di tempat di mana dia terlihat lelah.
Pada
saat yang sama, sebuah suara membuyarkan pikirannya. “Heh-heh-heh! Kalian rajin
sekali.” Sebuah sosok membayangi dirinya.
“Oh…”
Goblin Slayer berputar untuk melihat Gadis Guild, memegang sebuah payung dan
tersenyum.
“…Jadi
kamu datang.”
“Tentu
saja. Hanya untuk mengamati, atau mungkin…yah, bukan menginspeksi. Tapi ya, aku
datang.”
Gadis
Guild duduk di samping pria itu, lengannya bertumpu pada lututnya. Dia
mengenakan pakaian kerjanya yang biasa. Mungkin baju itu terasa sedikit panas
pada awal musim panas ini, karena tetesan keringat mengalir dari dahinya.
Sangatlah
jelas bahwa pekerjaan birokrasi seperti yang dia lakukan, tidak dapat di
lakukan dengan memakai pakaian sembarangan. Dan mungkin dia juga merasa sedikit
malu, apapun itu, dia tidak akan mencoba membuka kerahnya atau berbaring di
atas rumput.
“…Apa
kamu tidak kepanasan , Goblin Slayer?”
“Nggak.”
Dia berkata dengan gelengan kepala. “Nggak terlalu.”
“Yang
benar?”
“Apa
untungnya aku berbohong?”
Jawaban
itu tampaknya tidak terlalu membuat Gadis Guild merasa senang, dia mendengus
dan bergumam. “Lupakan saja.” Setelah beberapa saat, dia bertanya. “Bagaimana
menurutmu tentang petualang Obsidian dan Porcelain kami?”
“Hmm.”
Goblin Slayer berkata, memperhatikan para gadis berlatih dengan ketapelnya.
Mereka
terlihat begitu antusias dan serius. Mereka adalah gadis yang baik.
Namun
itu bukanlah sebuah jaminan bahwa mereka dapat selamat.
“Aku
nggak tahu.”
“Oh,
kamu ini…” Gadis Guild menggembungkan pipinya dan mengangkat jari telunjuk,
mengoyangkannya perlahan seraya menegus. “Kamu seharusnya menjawab pertanyaan
seperti itu dengan cara penuh percaya diri dan pasti!”
“Begitukah?”
“iya.
Terutama ketika jawabanmu akan di catat.”
“Aku
akan mengingatnya.” Goblin Slayer berkata dan berdiri. Dia dapat merasakan
Gadis Guild memperhatikannya.
Sudah
waktunya.
“Hei,
semuanya! Mau makan siang?”
“Segar
langsung dari kebun!”
Decitan
sebuah gerobak dapat terdengar, di iringi dengan suara dua orang wanita:
Priestess dan Gadis Sapi.
Mereka
tidak memutuskan secara spesifik tentang ini. Ini bukanlah sesuatu yang formal.
Mereka tidak memiliki kewajiban untuk membawakan makan siang.
Hanyalah
sebuah tindakan tenggang rasa yang sederhana.
Goblin
Slayer merasa berterima kasih bahwa paman Gadis Sapi melakukan sesuatu seperti
ini untuk para petualang. Pikiran dangkal bahwa itu semua mungkin saja untuk
dirinya sendiri tidak pernah terlintas di benaknya.
“Ups,
sebaiknya aku pergi dan membantunya.” Gadis Guild berkata. Dia membersihkan
rumput dan tanah dari rok seraya dia berdiri. Dia menguap kecil, melipat paying
dan menggenggamnya. Kemudian dia berlari kecil melewati rerumputan layaknya
burung kecil.
“Oh,
benar juga,” dia berkata, berputar dengan senyuman. Angin bertiup menghembus
kepangnya. “Apa kita perlu menganggap ini sebagai ‘Mengunjungi para petualang
yang sedang bertugas’?”
Goblin
Slayer tidak menjawab. Dia berputar mengarah para gadis yang sedang berlatiha
keras dengan ketapelnya dan berkata. “Istirahatlah.”
Wajah
kedua gadis itu merah karena kelelahan. Mereka mengangguk cepat dan bergegas
menuju gerobak. Dia memperhatikan mereka pergi dan kemudian berpaling dari para
petualang yang semakin berkumpul di sekitar makan dan mulai melangkah pergi.
Dia
merasakan sedikit penyesalan karena telah di minta untuk membantu latihan
seperti ini dan menerimanya.
“Hei,
Goblin Slayer!”
Adalah
Spearman yang menghentikannya. Dia tidak menyadari petualang itu mendatanginya.
Spearman
memperhatikan Gadis Guild pergi dengan kepangnya yang berayun, kemudian dia
menghela napas dan menatap helm Goblin Slayer.
“Mana
orang gede itu?” dia bertanya, artinya Heavy Warrior. “Kemana dia?”
“Dia
membawa anak kecil lainnya ke dalam gua hari ini.”
Half
Elf Fighter dan Bocah Scout telah pergi bersamanya. Tidak ada satupun
petualangan yang tidak memiliki resiko, tetapi dalam ekspedisi seperti itu,
seharusnya semua akan baik-baik saja.
Goblin
Slayer terdiam beberapa saat dan kemduan bertanya pelan. “Apa pendapatmu
tentang bocah itu?”
“Ahh,
bocah wizard tengik itu?” Spearman tersenyum sadis.
Bocah
itu sedang pergi menuju gerobak, mengambil sebuah botol air lemon yang telah di
dinginkan di dalam sumur. Kecepatan dia meminumnya, menandakan betapa kerasnya
sang Spearman mengejar dirinya.
“Dia
punya nyali. Tapi aku nggak tahu soal kemampuan sihirnya sih.”
“Begitu?”
“Kamu
kesurupan apaan?” Spearman berkata seraya melirik helm baja kotor itu.
“Mengajar di tempat latihan ini? Aku kira kamu berfokus pada gadis clericmu
itu.”
“Itu
nggak sepenuhnya benar.” Goblin Slayer berkata acuh, dan kemudian mulai
melangkah pergi.
Tampaknya
dia berniat untuk meninggalkan area ini secepat mungkin. Hal ini membuat
Spearman menatap langit, tidak yakin apa yang harus di lakukannya.
“Haaaa…”
Matahari
telah begitu tinggi. Tampaknya akan menjadi musim panas yang seperti biasanya.
“…Hey,
kamu nganggur malam ini?” Spearman bertanya.
“Hrm…”
Goblin Slayer mendengus. Dia melirik mengarah Gadis Sapi; Gadis Sapi melirik
membalas mengarahnya. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangannya. Entah
mengapa, mereka berdua tampak seperti sedang berbicara.
Kemudian
Goblin Slayer mengangguk. “…Ya. Aku rasa aku bebas malam ini.”
“Kalau
begitu, ayo pergi minum.”
“….Maksudmu
alkohol?”
“Apa
ada minuman lainnya yang di minum seorang pria?”
Goblin
Slayer merasa sulit memahami maksud dari Spearman, ataupun niat pria itu. Apa
untungnya bagi pria itu untuk mengundang dirinya minum?
“Kamu
mengundangku?”
“Kamu
lihat ada orang lain di sekitar kita? Ayo ajak orang gede itu. Tiga pria. Nggak
ada tapi-tapian.”
“…Begitu.”
“Ayolah.
Ikut saja.”
Goblin
Slayer menatap langit tak bersuara. Matahari telah melewati puncaknya,
menyinari tempat ini dengan cahayanya. Di tempat ini, sangatlah mudah baginya
untuk melihatnya jalannya waktu, tidak peduli musim apapun itu.
Adalah
kakak perempuannya yang mengajarinya hal ini.
Dia
tidak dapat melupakannya.
“…Baiklah.”
“Mantap.”
Spearman berkata, memukul pundak Goblin Slayer dengan kepalnya.
*****
Langit
biru yang begitu cerah tampak memanjang tanpa batas.
Sang
bocah terbaring di rerumputan; dia dapat merasakan helaian rumput yang menempel
pada punggung dan pipinya yang berkeringat.
Dia
terlentang, melebarkan tangan dan kakinya, menghirup oksigen masuk ke dalam
paru-parunya. Adalah kurangnya oksigen yang menyebabkan seseorang
terengah-engah. Jika kamu bernapas, kamu akan mendapatkan oksigen. Itulah
mengapa napasnya menjadi tidak beraturan.
Angin
musim panas menghembus lembut di wajahnya seraya satu pikiran mengambang di
kepalanya secara terus menerus: dia bukanlah seseorang yang payah.
Mantra
menguras tenaga penggunanya, dan petualang sering sekali berjalan melewati
lahan dan pegunungan.
Mengapa?
Yah, kuda sangatlah mahal. Kuda harus di beri makan dan kandang. Kuda
memerlukan sepatu dan perlengkapan.
Jika
kamu hanya pergi dari kota ke kota, pos k epos, mungkin semua itu tidak akan
berpengaruh banyak. Namun para petualang sering sekali berpergian menuju
labirin bawah tanah yang terpelosok, atau lahan supranatural yang belum pernah
di jelajahi kaki manusia.
Akan
sangatlah sulit membawa kuda ataupun barang bawaan pribadi, dan juga, merental
kuda akan jauh lebih buruk. Petualang pemberani dengan banyak pengalaman
berkata bahwa petualang adalah pedagang berjalan, dan itu sepenuhnya benar.
Oleh karena itu, seorang wizard membutuhkan stamina yang sama banyaknya dengan
warrior manapun. Dia memahami itu.
Ya,
tentu saja dia memahaminya—akan tetapi… Akan tetapi…
“Ini
sama sekali….”
“…Ca-peeeeeeekknya….”
Benar,
musuh mereka tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Namun terdapat perbedaan
besar antara Porcelain dan Silver. Antara tingkat sepuluh dan tiga.
Suara
kedua, yang ikut mengeluh, berasal dari Rhea Fighter, berbaring di sampingnya.
dia begitu berantakan, karena sudah di latih habis-habisan oleh Knight Wanita
beberapa menit sebelumnya. Dia melemparkan armor, perisai, dan pedangnya,
mungkin dia tidak sanggup menahan hawa panas, dan kini berbaring terlentang di
rerumputan. Dadanya (tidak begitu besar, namun cukup besar untuk ukuran seorang
rhea) kembang-kempis.
Sang
bocah meliriknya, namun di saat dia melihat baju gadis itu yang penuh keringat,
dia memaksakan kepalanya untuk mendengak ke atas menatap langit, dia merasa
sedikit malu, dan sedikit merasa bersalah.
Kepalanya
berdenyut di arenakan rasa panas dan napasnya yang terengah-engah, namun dia
masih dapat menggerakkannya. Ketika gadis itu telah selesai, giliran bocah itu
dengan Knight Wanita akan di mulai.
“Ja-jadi…
Apa kamu…sudah bisa…?”
“…Nggak
tahu.”
Dengan
kata lain. Semua itu tidaklah lebih dari sekedar sesi di hajar habis-habisan
dan terjatuh.
Wizard
Boy meringis dan mengeluarkan dengusan, namun Knight Wanita tampaknya tidak
menganggap bahwa dirinya terlalu kejam kepada petualang muda. Paling tidak,
latihan ini dapat memberikanmu pelajaran untuk selalu menjaga pertahananmu
bahkan ketika berhadapan dengan musuh yang banyak.
Tidak
di ragukan Spearman-pun akan merasa hal yang sama jika seseorang menanyakan
pendapatnya. Kekuatan dan daya tahun adalah lebih penting dari pada berpikir
dengan cepat, ketika keadaan memaksa. Petualang yang berburu naga dan ogre
dengan serius tentu saja akan mengalahkan beberapa Porcelain.
Karena
itu, ya, para mentor tidak mengerahkan semua tenaganya. Tetapi…
“…Apa
mereka nggak kepanasan seperti itu?” sang gadis rhea berkata.
“Entahlah.”
Tidak
jauh darinya, Rookie Warrior merebahkan kepalanya di atas lutut Apprentice
Cleric. Semua orang terlihat begitu kelelahan. Mungkin Gadis Druid pergi dengan
Bocah Scout, karena mereka tidak terlihat di sekitar area ini.
Rhea
Fighter menggerutu karena gadis itu seharusnya ikut berlatih menggunakan
ketapel juga, namun Wizard Boy menjentikkan lidahnya.
“Nggak
ada hal apapun yang bisa kamu pelajari dari pria seperti itu.”
“Menurutmu
begitu? Dia tingkat Silver loh.”
“Tapi
dia nggak pernah melawan apapun selain goblin.”
“Dia keras kepala dan
terlalu terobsesi pula, dan kamu nggak akan pernah tahu apa yang dia pikirkan.”
Sang
bocah menambahkan dengan gumaman cemberut. “Goblin? Seorang petualang
seharusnya dapat membunuh goblin dengan satu serangan.”
“Bahkan
aku juga nggak akan kalah dalam pertarungan satu lawan satu dengan goblin.”
Sang rhea menyetujui.
“Iya
kan? ‘Goblin Slayer’ apaan!”
“Mereka
menyebutnya seperti itu karena dia membunuh goblin kan?” Kalimat itu tidak
berasal dari Rhea Fighter melainkan dari Apprentice Cleric. “Dengar, aku nggak
bermaksud kalau aku nggak ada rasa curiga dengan pria itu.” Dia membelai rambut
Rookie Warrior seraya berbicara. “Tapi aku rasa seseorang yang nggak melakukan
apapun nggak berhak mengkritik seseorang yang benar-benar melakukan sesuatu.”
“…”
“Aku
dengar kamu bahkan gagal dalam pembasmian goblin.”
“Ah
bacot!” sang bocah meludah ke udara.” Aku sendiri dengar kamu nggak pernah
berburu apapun selain tikus raksasa.”
“Yah…untuk
saat ini cuma itu yang kami bisa lakukan.” Rookie Warrior berkata, hampir
terdengar seperti kelihan. Tidak seperti sang rhea fighter, dia masih
menggunakan armor, pedang, dan pentungan. Dia hanya melonggarkan pengikat
perlengkapannya untuk membiarkan tubuhnya bernapas.
“Kita
sudah memahami bagaimana cara menyerang dan bertahan melawan tikus raksasa.
Tapi kalau tikus itu menyerang lebih dari tiga secara bersamaan, kami akan
mati.”
“Tapi
tikus itu beracun kan?” Sang gadis rhea berkata. “Bukannya bertarung melawan
mereka terus-terusan itu berbahaya?”
“Yah,
itulah kenapa anti racun dan potion selalu menguras dompet kami…”
“Lain
kali kalau levelku sebagai cleric naik, aku berencana untuk memohon kepada dewa
untuk di berikan keajaiban Cure.”
Kemudian,
dia berkata kepada mereka berdua untuk menabung uang mereka agar dapat membeli
perlengkapan yang lebih baik. Mengganti pedangnya dengan sesuatu yang memiliki
mata pedang yang lebih lebar, mungkin membeli beberapa baju besi untuk
perlindungan yang lebih baik. Helm membuat sulit untuk melihat, namun paling
tidak mereka dapat membeli topi keras atau semacamnya…
“…Pfft.”
Sang bocah menganggap semua ini tidak menarik. Dia menjentikkan lidahnya, yang
di mana Rhea Fighter melototinya “Terserahlah.” Gumamnya, memalingkan wajahnya
agar dia tidak dapat melihat matanya.
“Halo
semuanya! Mau air lemon?” Priestess muncul, berkeliling bukit, tersenyum dengan
lebar. Dia membawa sebuah keranjang besar penuh dengan beberapa botol kecil dan
makanan. “Aku juga punya beberapa camilan…”
Priestess
tidak begitu di sambut, mungkin karena tidak seorangpun dari mereka memiliki
nafsu makan setelah berlarian atau mengayunkan senjata mereka. Rookie Warrior
hanya mengeluh, “Urrrgh,” dan Rhea Fighter berkata. “Ku rasa aku bakal muntahin
apapun yang akan aku makan…”
Apprentice
Cleric menggeleng kepalanya diam, mungkin karena dia tidak ingin makan seorang
diri.
“Er,
tapi… Kalau kamu nggak makan, kamu nggak akan bisa bertahan sampai siang.”
Priestess berkata, mengernyitkan alisnya. Akan tetapi tentu saja, dia tidak
dapat memaksa mereka untuk mengambil makanannya.
Wizard
Boy tentunya tidak memiliki niatan khusus untuk membantu Priestess, yang
berdiri di sana dengan kebingungan, namun walaupun begitu, sang bocah
mengangkat tangannya dan berkata. “Aku mau makan.”
“Apa,
yang benar?” Rhea Fighter bertanya.
“Yeah.”
Sang bocah berambut merah menjawab, berdiri dari rerumputan. “Aku pernah dengar
kalau…kamu nggak makan setelah berlatih…kamu nggak akan bisa berotot.”
“Ancok,
serius? Kalau begitu aku makan juga.”
“…Oke…
Aku juga…”
“Kalau
begitu aku mau juga. Terima kasih.”
Makan
siangnya terdiri dari roti lapis sederhana: sepek, daging, sayuran, dan
beberapa keju di antaranya. Rasa asin
gurih memberikan tenaga baru pada tubuh lelah berkeringat mereka.
Pada
awalnya, grup mereka ingin mencari minuman untuk mendampingi makannya, namun
tidak lama kemudian, mereka meneguk persediaan air mereka dengan rakus.
Gadis itu benar-benar
mengerti sekali ya? Priestess mendapati dirinya sendiri berpikir
mengagumi.
Gadis
kebun itu telah membantu Goblin Slayer selama beberapa tahun sekarang. Dia
sangat mengetahui apa yang di butuhkan para petualang setelah latihan keras di
pagi ahri.
Apa yang mereka butuhkan…
“Kakakku itu hebat! Kalau
goblin itu nggak menggunakan racun, dia akan mengalahkan mereka semua!”
“Baiklah.”
Priestess berkata pelan, memperkuat tekadnya. Kemudian dia duduk di samping
bocah itu.
“Gimana
keadaannya? Maksudku…gimana keadaanmu?”
Secara
serentak dia mempertanyakan itu kepada semua orang yang berada di sana dan
bocah itu.
“Capeeeek
banget!” Rhea Fighter menjawab dengan segera.
“Yeah!”
Rookie Warrior menambahkan.
“Kurang
lebih aku masih sanggup.” Apprentice Cleric berkata dengan terdengar sedikit
bangga.
“…”
Akan
tetapi, bocah berambut merah, tidak mengatakan apapun, dia hanya mendengus.
“Um…”
Priestess berkata.
Dia cuekin aku.
Alisnya
mengernyit dengan canggung, dan Priestess memutuskan untuk mengganti topic
pembicaraan. Daripada berdiri di sana terdiam menunggu inspirasi datang, akan
lebih baik untuk bertindak dengan segera. Itu adalah sesuatu yang dia pelajari
dari Goblin Slayer.
“Hei.”
Priestess berkata, menatap Rhea Fighter. “Sepertinya aku nggak melihat anggota
partymu yang lain…”
“Oh,
Pemimpin kami itu anak kedua atau ketiga dari seorang bangsawan di suatu
tempat,” Rhea Fighter berkata, menggigit besar roti lapisnya dan mengunyah
dengan berisik. “Tapi tiba-tiba kakak pergi dan terbunuh, dan tidak ada pewaris
yang menggantikannya, karena itu keluarganya menginginkan pemimpin kami
kembali. Dan seperti itulah akhir dari party kami.”
“Ah…”
Yah,
hal seperti itu biasa terjadi. Anak kedua atau ketiga—yang tertua—dapat
mendapati diri mereka terjebak dalam situasi sosial yang tidak nyaman. Jika
mereka menginginkan peran lain selain sebagai cadangan jika sesuatu terjadi
pada anak tertua, maka mereka harus pergi dan mendapatkan peran itu sendiri.
Orang tua mereka mungkin akan memberikan mereka sedikit lahan, atau jika tidak,
maka meraih reputasi dengan seni bela diri juga merupakan suatu pilihan, atau
mungkin menikah dengan keluarga bangsawan lainnya…
Keluarga
Knight sangatlah ketat akan hal ini, knighthood pada umumnya merupakan gelas
untuk satu generasi. Orang tua tidak dapat mewariskannya kepada anak mereka.
Seorang anak tertua mungkin dapat menerima kesempatan untuk menjadi knight dan
berlatih, kesempatan untuk membuat namanya, namun anak berikutnya setelah orang
itu memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk mendapatkan hal yang sama. (TL
Note :Knighthood = kekesatriaan/ seseorang yang di lantik menjadi knight.)
Oleh
karena itu banyak petualang yang berasal dari keluarga seperti itu. Tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita di sini. Anak perempuan kedua atau ketiga
merupakan tingkat copper dari banyaknya petualang yang ada.
Dan
kemungkinan bertahan hidup mereka-yang-menyatakan-dirinya-knight sangatlah
tinggi. Mereka memiliki perlengkapan, mereka mengetahui harus berbuat apa, dan
terkadang mereka sangatlah piawai menggunakan pedang, yang di mana semua hal
itu berkontribusi akan keselamatan mereka.
Namun
terkadang, sesuatu akan terjadi pada anak tertua, dan para petualang ini akan
di panggil kembali oleh keluarganya yang telah mereka tinggalkan. Bagi pemimpin
party ini… Yah, jalan untuk menjadi kepala keluarga telah terbuka, dan pada
saat ini dia tidak terluka sama sekali, oleh karena itu dia dapat menganggap
dirinya beruntung.
Perihal
koneksi keluarga, kualitas perlengkapan, pengetahuan, pengalaman, kemampuan,
ataupun kematian masihah tidak begitu penting.
“Aku
rasa itu bukan berarti kehidupan dia akan jadi mudah.”
Bangsawan juga punya
permasalahannya sendiri, Rhea Fighter berpikir kepada dirinya
sendiri. Dia berbicara dengan begitu sok hingga terlihat lucu, dan Priestess
tidak dapat menahan tawa kecilnya.
Pada
saat yang sama, Priestess merasa sedikit khawatir. Ini artinya bahwa wanita
muda tersebut akan memulai petualangannya menuju tempat yang berbahaya
sendirian. Sejauh Priestess dapat mengingat, kaum rhea di anggap dewasa ketika
berumur tiga puluh tahun, karena itu kurang lebih, Rhea Fighter mungkin lebih
tua dari Priestess.
“Bukannya
pergi sendiri itu sulit?” Priestess bertanya.
“Memang
nggak mudah, tapi hei—Aku punya mimpi!” Rhea Fighter menjawab, membusungkan
dadanya bangga. “Aku akan menjadi besar! Begitu besar hingga tak seorangpun
akan peduli kalau aku kecil!”
“Yah,
aku paham itu,” Rookie Warrior berkata, memasukkan potongan terakhir roti lapis
ke dalam mulutnya. “Saat aku bilang aku akan menjadi pria terkuat, mereka
mentertawaiku. Mereka bilang aku terlalu ndeso untuk itu!”
“Iya,
bener banget!” sang gadis rhea berkata, menepuk tangannya.
“Tentu
saja mereka tertawa.” Apprentic Cleric berkata. “Kalau kamu menjadi yang
terkuat, coba kamu pikirkan seberapa buruknya orang-orang dari kota lain akan
terlihat!” Dia tersenyum dengan sedikit kebanggaan; melihat bocah itu bersemangat
seperti ini membuat dirinya girang. “Heh-heh! Aku yakin sekarang kamu senang
karena sudah memutuskan ikut denganku untuk berlatih!”
“Aku
senang karena aku nggak harus meninggalkanmu sendirian. Karena itu pasti akan
berbahaya buatmu.”
“Bentar
dulu, siapa yang meninggalkan siapa?”
“Guh?”
“Apa,
kamu nggak mau ngaku?”
Dan
merekapun berdebat.
Priestess
menyipitkan matanya senang; dia merasa telah melihat sesuatu yang
menggembirakan. Kedua anak kecil yang berdebat mengingatkannya kepada anggota
partynya sendiri.
“Kalian
akrab sekali,” Priestess berkata.
Akrab apaan!—adalah
sesuatu yang katakana.
Mereka
berdua saling bertukar pandang; masing-masing bergumam sesuatu kemudian menutup
mulut mereka.
Percakapan
merekapun terhenti di saat itu.
Sebuah
hembusan angina membelai pipi.
“………Aku
cuma nggak ngerti,” sang bocah mengeluh. “Apapun itu, aku cuma harus berfokus
membunuh beberapa goblin, dan membunuh mereka dengan benar. Itu prioritasku.”
Biar para bajingan yang
mentertawai kakakku tahu.
Priestess
merasa tidak yakin harus berkata apa, mendengar perkataan pedas sang bocah
wizard. Priestess belum genap setahun menjadi petualang. Dia masih belum
memiliki pengalaman yang cukup untuk memberikan sebuah saran. Terutama, ketika
dia berusaha memikirkan apa yang di rasakan bocah itu.
Itulah
mengapa—
“Aku
dulu—“
Itulah
mengapa dia menggigit bibirnya seraya berbicara.
“Aku
dulu pernah kenal dengan seorang wizard.”
Tenggorokannya
kencang, dan suaranya bergetar. Dia harus dapat memberanikan dirinya.
“Dia
berkata kalau…dia ingin bertarung melawan naga suatu hari.”
“…Naga?”
Naga—naga
yang sesungguhnya—adalah musuh yang mengerikan. Mereka tidaklah seperti makhluk
yang terkadang berkeliaran di sekitar lahan atau pegunungan. Mereka kaya akan
kekuatan. Mereka memiliki tenaga dan stamina, kecerdasan dan sihir, wewenang
dan kekayaan.
Itulah
mengapa pembasmi naga sangatlah di puja-puja dan di kenang.
“Itu…mungkin
hanyalah sebuah mimpi. Itu mustahil.”
“Tentu
saja itu cuma sebuah mimpi,” Priestess berkata dengan senyuman. “Tidak lebih
dari itu.”
Ya—ya,
Priestess yakin akan hal itu.
Waktu
itu, momen ketika mereka mengunjungi gua ppertama, masih terngiang di benaknya.
Hanya
karena party mereka terbantai dengan seketika…
…bukan berarti nilai dari setiap ucapan
mereka ikut menghilang.
Sekarang
Priestess mengira bahwa dia dapat memahami hal itu, paling tidak sedikit
memahaminya.
Adalah
hal yang berharga—bukan sesuatu untuk di ejek dan di hina.
Tidak
peduli seberapa mustahilnya, tidak peduli seberapa jauhnya, tidak peduli akan
betapa mereka akan gagal.
Mimpi
adalah mimpi.
Bukanlah
sesuatu yang harus di wujudkan.
Adalah
sesuatu yang tidak pantas untuk di injak-injak para goblin.
“…”
Sang
bocah merasa tidak Ingin berkata apapun lagi. Atau mungkin dia berniat
mengatakan sesuatu, namun sebelum dia dapat membuka mulutnya kembali:
“Halo,
juniorku yang imut-imut! Kalian sepertinya benar-benar sudah bekerja keras!”
Sebuah
suara bening, tinggi dan elok di dengar, mendekati dari arah rerumputan.
Mereka
melihat mengarah kota untuk menemukan tiga sosok yang tidak asing datang
mendekati mereka.
“Di
siang hari ini, elf favorit kalian akan mengajak kalian tur ke dalam beberapa
gua!”
“Favorit
apaan, Telinga Panjang?” dari samping ranger itu, Dwarf Shaman menyikut rusuk
elf itu. “Aku tahu ini hari libur kita, tapi kamu ketiduran terus sampai hampir
tengah hari.”
“Kamu
tahu apa yang mereka sebut sebelum tengah hari? Pagi hari. Paling nggak bagi para elf.”
“Aku
yakin banget itu nggak benar.”
Perdebatan
mereka berlanjut seraya mereka semakin mendekat. Priestess melirik kepada
Rookie Warrior dan Apprentice Clerici seolah ingin mengatakan, tuh kan? Namun tidak satupun dari mereka
yang memperhatikan lirikannya.
“Gua!
Apa itu artinya…goblin” Priestess bertanya.
“Oh
ayolah. Apa kamu berusaha meniru Orcbolg?” High Elf Archer melambaikan
tangannya seolah dia sedang mengusir serangga.
“Maksudku
itu sarang beruang—yah bekas sarang beruang. Musim hibernasi sudah selesai dan
beruang itu sedang pergi keluar untuk mempersiapkan musim semi, jadi seharusnya
Ini kesempatan yang baik untuk menjelajahinya.”
Priestess
mengangguk memahami. Tidak seperti saluran air atau lahan, terdapat keunikan
tersendiri untuk bergerak dan menggunakan senjata di dalam gua. Jika anak-anak
kecil ini dapat berlatih menggunakan senjatanya di dalam gua tanpa monster, hal
ini mungkin akan membantu mereka.
“Er,
Namun janganlah lupa bahwa kami belum menyantap makan siang kami.” Lizard
Priest berkata, menyatukan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh. Napasnya
menyembur dari lubang hidung yang berada di atas rahang besarnya. “Dan
tampaknya anda telah menyediakan makan siang. Dengan ijin anda, dapatkah kami….?”
“Oh,
tentu saja. Ini roti lapis.” Priestess berkata. Dia merogoh keranjangnya dan
mengeluarkan beberapa bungkus menu makan siang. “Isi rotinya daging, sepek,
sayuran… Oh, dan keju.”
“Ah!
Sungguh sebuah berkah dari surga! Madu! Betapa membahagiakannya!”
“Kami
juga punya beberapa yang cuma berisi timun dan keju, kalau kamu mau. Dan ada
anggur juga.”
“Asik!”
“Ho-ho-ho!
Benar-benar lengkap. Terima kasih, kalau begitu aku nggak akan
sungkan-sungkan!”
Priestess
meletakkan keranjangnya, dan ketiga temannya menyerbu keranjang itu,
masing-masing bersemangat untuk menjadi yang pertama mendapatkan makanannya.
Priestess tsrsenyum melihat pemandangan di depannya. Seraya dia memperhatikan
mereka, hembusan angin musim panas kembali membelai.
Priestess
memegang topinya agar tidak terbang, menutup matanya menikmati belaian sejuk
angin di pipinya.
“Oh,
bagaimana dengan Goblin Slayer—?”
Apa dia mau makan siang?
Sebelum
Priestess dapat menyelesaikan pertanyaannya, dia memperhatikan sekelilingnya:
dia tidak melihat pria itu di manapun.
Huh?
Kemudian
dia melihat pria itu—di kejauhan, berbicara dengan dua petualang lainnya,
Spearman dan Heavy Warrior.
“Hrm,”
Priestess menghela, seolah meniru pria itu. Priestess merasa sedikit
kesepian—namun juga sedikit senang.
“…Heh-heh.”
Ya,
tidak di ragukan: ini adalah hal yang bagus.
*****
“Kalau
begitu, aku pergi.” Goblin slayer berlata kepada Gadis Sapi. Dia sedang berada di dalam ruangannya, melakukan
pemeriksaan cepat terhadap perlengkapannya. “Aku akan telat malam ini. Aku
nggak perlu makan malam.”
Dia
memasang pedang pada pinggulnya dan mengencangkan perisai pada lengannya,
memakai pelindung kaki dan menggantung tas peralatan pada ikat pinggang, dan
akhirnya memakai helmnya.
Dia
telah selesai berpakaian dan bersiap untuk pergi berpetualang, namun Gadis Sapi
sudah terbiasa dengan semua ini. “Oke, baik,” hanyalah itu jawabannya.
Goblin
Slayer telah membantu melatih beberapa petualang pemula, akan tetapi, hal
inilah yang dia lakukan ketika dia pulang. Kenyataan bahwa dia mau pulang—apakah
ini adalah caranya dia untuk memberikan perhatiannya?
“Paman
bilang dia punya urusan, jadi dia akan telat juga. Kurasa aku akan di sini aja
sendirian…”
“Jangan
lupa kunci pintu. Tutup pagar dan tutup tirai jendela.”
“Aku
tahu. Kamu ini khawatiean banget.” Gadis Sapi tertawa kecil dan Goblin Slayer
terdiam. Gadis Sapi menggunakan kesempatan ini untuk membersihkan debu pada
armor pria itu.
Goblin
Slayer bergumam “Hrm”—apakah dia tidak menyukai hal ini?—dan kemudian dia
memutar kepalanya dari samping ke samping, memeriksa pergerakan helmnya.
“Aku
ini sudah siap,” Gadis Sapi berkata. “Tapi kamu gimana? Apa kamu bawa dompetmu?
Itu benda paling penting loh.”
“Erm…”
Dia
merogoh isi tasnya menuruti. Kantung kecil berisi koin itu berada di sana.
“Aku
bawa.”
“Baguslah!”
Gadis Sapi memegang pundak pria itu dan memutarnya. Dia membenarkan ikatan yang
berantakan pada helm pria itu. “Aku bisa datang menjemputmu kalau kamu mabuk
banget,” dia berkata, “Tapi jangan sampai membuat masalah pada temanmu ya?”
Kata
teman membuat Goblin Slayer sedikit
memiringkan kepalanya, namun setelah beberapa saat, dia menjawab. “Oke,” Dan
mengangguk. “Aku nggak akan membuat masalah.”
Goblin
Slaher tidak membawa sedikitpun cahaya seraya dia berjalan di jalanan dari
kebun ke kota, kemudian dari kota menuju rumah makan. Melintasi lahan gelap
adalah bagian dari latihannya, dan ketika dia mencapai kota, dia tidak akan
membutuhkan cahaya.
Rasa
heran yang berbeda melihat keramaian kota di senja hari yang menyambutnya:
adalah sesuatu yang asing baginya, dan dia terus melangkah melewatinya.
Orang-orang
saling mendorong dan berdesak-desakan. Tidak hanya petualang, namun juga
pengelana dan juga pekerja yang membangun fasilitas bangunan latihan, mereka
terdapat di segala arah.
Goblin
Slayer terus melangkah, melirik ke sini dan ke sana, hingga dia melihat sebuah papan
tanda yang mereka minta dia untuk mencarinya.
“…Hmph,”
Dia mendengus seraya dia merajut langkahnya di keramaian, akhirnya berhasil terpisah
dari keramaian. Pada saat yang sama, dia merogoh tas peralatannya, memastikan
bahwa dia tidak menjadi korban pencopetan juga.
Sebuah
tulisan KAPAK BERSAHABAT tertulis
pada papan tanda itu, dan bentuk papan itu sendiri seperti sebuah golok.
Goblin
Slayer membuka pintu berayin dan dalam sekejap di serang dengan ramainya suara
yang memekikkan telinga. Ruangan ini di terangi oleh cahaya kemerahan dari
banyak lampu, dan banyak dari meja yang ada di sini telah penuh.
Bangunan
ini sendiri lebih kecil di banding dengan kantor cabang Guild, tetapi juga,
bangunan Guild merupakan tiga bangunan yang menjadi satu. Berdasarkan sudut
pandang sistem lama, yang di mana tempat ini memiliki rumah makan pada lantai
pertama dan sebuah penginapan pada lantai kedua, kapak bersahabat ini cukuplah
besar.
Tempat
ini dulunya merupakan penginapan para petualang yang berfungsi juga sebagai
tempat mencari kerja—namun sekarang itu semua hanyalah bagian dari sejarah.
Sistem Guild sudah di terapkan secara luas, dan para petualang yang sebelumnya
tidak lebih dari sekedar preman jalanan, kini telah mendapatkan status publik.
Bahkan
hari ini, terdapat beberapa toko yang bekerja sama dengan Guild untuk
menawarkan quest, namun walaupun begitum penginapan para petualang terus
merosot.
Namun
juga, konon katanya rumah makan legendaris The Golden knight tidak pernah
sekalipun menawarkan satu quest, tetapi tetap saja…”Hei, Goblin Slayer! Kamu
datang!”
Seraya
petualang berarmor ini berdiri di depan pintu, sebuah suara kuat memanggilnya.
Helmnya berputar, memeriksa bagian dalam rumah makan seolah sedang mengawasi
debuuah gua yang baru saja dia masuki. Dia sana—di sanalah sumber suara itu.
Di
sebuah sudut rumah makan, di sebuah kursi di mana dia dapat melihat keseluruhan
ruangan, duduklah seorang pria tampan dan tangguh, yang saat Ini sedang
melambaikan tangannya.
“Di
sini, di sini!”
“Kamu
telat cok! Kami sudah mulai duluan!”
“Maaf,”
Goblin Slayer mendengus.
Gelas
yang sudah di tuangkkan hampir setengah kosong, dan beberapa camilan telah di
habiskan. Namun petunjuk terbesar adalah wajah kedua petualang itu sudah
terlihat mabuk.
Goblin
Slayer duduk dengan sedikit canggung pada meja bundar itu.
Kedua
pria itu menggunakan pakaian sehari-hari; hanya Goblin Slayer sendiri yang
menggunakan armor. Adalah mustahil untuk menganggap ini sedikitpun tidak lucu.
Tidak seperti banyak orang-orang muda yang penuh dengan mimpi, petualang tidak
selalu pergi berkeliling kota dengan armor lengkap.
Ya,
Spearman dan Heavy Warrior sudah cukup berpengalaman, hingga sekarangpun mereka
masih membawa pedang pendek di pinggul mereka. Lirikan kecil yang mengarah
mereka kemungkinan berasal dari pengelana yang tidak terbiasa dengan adat para
petualang.
Ketiga
pria ini cukup terkenal dengan : Perbatasan terkuat, Spearman. Perbatasan
paling baik, Goblin Slayer, dan pemimpin party perbatasan paling keren, Heavy
Warrior. (Alasan mengapa mer3ka tidak dapat fi sebut dengan “Tersohor” adalah karena salah satu dari
mereka…)
“Kenapa
kita nggak pergi ke rumah makan Guild?” Goblin Slayer bertanya.
“Karena
aku nggak mau ada rumor yang tersebar kalau aku mengadakan pesta dengan
seseorang yang bahkan nggak mau melepas armornya.” Spearman melotot kepadanya.
“Ngarang
aja dia itu,” Heavy warrior berkata dengan segera. “Dia cuma malu kalau ada orang
lihat dia minum bareng kamu.”
“Benarkah?”
“Terutama nona resepsionis itu, kalau
kamu paham maksudku.”
“Ah,
banyak bacot!” Spearman menggerutu. Kemudian dia menujuk menu yang ada di
dinding dengan jempolnya. “Buruan pesan sesuatu.”
“Ya,”
Goblin Slayer berkata, mempelajari menu. Terdapat setidaknya selusin jenis
alkohol, dari bir putih, fire wine, hingga anggur.
“…….Hmmmm.”
Goblin Slayer bergumam.
“Dengar,”
spearman berkata dengan helaan lelah. “Di saat seperti ini kamu itu nggak perlu
pikir panjang. Pilih aja bir putih!”
“Kalau
begitu, bir putih.”
“Bagus!
Hei, nona! Tiga bir putih!”
“kamu
yang mimpin, huh?”
Heavy
Warrior tidak dapat menahan senyuman dan tawaan kecil.
“Apa?”
Spearman melotot, namun Heavy Warrior menjawab dengan tenang, “Nggak apa-apa.”
Seorang
pelayan membawakan tiga gelas yang terisi penuh dengan bir putih. “Ini dia,
tiga bir putih! Selamat menikmati!”
Sang
pelayan adalah seorang centaur yang masih muda. Seseorang harus berhati-hati di
kala dirinya mabuk untuk tidak memanggilnya seorang Padfoot. Centaur adalah kaum
dengan harga diri tinggi dan tidak memiliki telapak lembut di kaki mereka.
Kemungkinan
sama dengan minotaurs, yang beberapa dari mereka menjadi ber-doa. Walaupun kaum
minotaur biasaanya tidak mempedulikan hal seperti itu…
Namun
mari kembali pada cerita kita.
Sang
pelayan meletakkan gelas, dadanya yang besar berayun, kemudian dia melngkah
pergi (dengan keempat kakinya), ekornya berayun. Adalah mengagumkan untuk
melihatnya bergerak dengan begitu lincahnya di tengah keramaian.
Memperhatikan
bagian belakangnya yang berotot dengan seksama, Heavy Warrior menghela. “Aku
tahu tetek itu bagus, tapi bokong lebih bagus.”
“Huh,
jadi itu alasannya kenapa kamu suka banget sama teman knightmu itu—dia itu
kayak kuda!”
“Dia
nggak ada hubungannya dengan ini.” Heavy Warrior terdiam beberapa saat dan
kemudian berkata, “Aku rasa kita nggak akan bisa membicarakan hal seperti ini
di rumah makan Guild ya?”
Kamu
tidak akan pernah mengetahui kapan seorang wanita akan memperhatikan—atau
mendengarkan. Heavy Warrior menghela dan memegang bir putihnya, membuat birnya
bergejolak.
“Bagaimana
kalau bersulang?”
“Untuk
apa?” Goblin Slayer berkata pelan. Dia juga memegang birnya.
“Er…
Ah, entahlah. Terlalu merepotkan untuk di pikirkan. Yang seperti biasanya saja.”
Spearman
mengangguk, mengikuti arahan rekannya dan mengangkat gelasnya.
“Untuk
kota kita!”
“Untuk
dadu para dewa!”
“Untuk
pentualang.”
“Bersulang!” mereka
berteriak dan meneguk gelasnya.
*****
Seseorang—tidak
satupun dari mereka yang mengetahui siapa—menyarankan untuk berjalan keluar
untuk menghilangkan sedikit rasa mabuk.
Jalanan
penuh dengan khalayak yang menikmati beberapa anggur dan sekarang memenuhi
kota. Ketiga petualang melewati keramaian, hingga akhirnya mereka telah tiba di
tepi sungai.
Sungai
bergemerisik di samping mereka dan bintang yang menyinari dari langit. Dua
bulan menerangi mereka.
Angin
malam terasa sangat lembut pada tubuh mereka yang hangat karena alkohol. Adalah
mustahil untuk bersedih hati dalam malam seperti ini.
Sangatlah
wajar untuk bersenandung satu atau dua lagu.
Biarlah bumi porak-poranda
dan angin semakin kencang
Dan biarkanlah dunia menjadi
gelap selamanya
Tidak ada sedetikpun bagi
permata berkilau ini
Dengan empat cahaya terangnya
untuk tidak bersinar
Karena aku berjalan pada
jalan yang engkau hendaki
Seraya daku bersumpah,
bersama dengan temanku ini.
Dari ujung bumi hingga
kembali menuju angin berkumpul,
Walaupun semua hanya mimpi,
daku tetap pergi
Ke empat cahaya terang permata
ini yang tidak pernah redup
Ataupun melemah ataupun
sirna
Dan kami, tidak akan pernah
melupakannya
Teman kami seraya kami
melangkah.
Adalah
sebuah lagu keberanian militer yang hampir terlupakan dari jaman dulu sekali.
Seorang penyair dengan kecapinya membuat lagu ini terdengar indah dan berani,
namun ketiga petualang mabuk ini cukup beruntung jika nada lagu mereka bisa
selaras.
“Apa-apaan?”
Spearman tampaknya telah lelah setelah menyanyikan beberapa sajak, karena dia
berhenti bernyanyi.
Tatapannya
mengarah pada Goblin Slayer. Sesuatu mengusiknya.
“Apa
yang akan kamu lakukan?”
“Apa
maksudmu?”
“Kamu
tahu maksudku!”
Ahh, dia sudah terlalu
mabuk. Heavy Warrior berpikir, menatap bintang-bintang.
Haruskah
mereka membawa Witch itu bersama mereka? Bah. Wanita itu haanya akan melamun
menatap kejauhan. Mungkin tersenyum ambigu. Tidak, kamu tidak dapat
mengandalkan wanita itu di saat seperti ini.
“Maksudku
resepsionis itu bego! Di tambah lagi kamu punya elf itu dan gadis kebunmu dan
priestess itu! Kamu ini bermandikan wanita!”
“…”
Goblin
Slayer tidak berbicara selama beberapa saat. Akhirnya, dia berkata pelan. “Aku
rasa nggak akan ada sesuatu yang terjadi sampai semua goblin musnah.” Dia
memberikan jeda sesaat. “Aku…”
Kemudian
dia terdiam. Spearman melototinya dari samping.
Adalah
hal yang dapat di mengerti.
Tidaklah
sulit untuk menerka masa lalu apa yang telah di lewati pria bernama Goblin
Slayer ini.
Oleh
karena itu, Spearman menghela dengan dramatis.
“Itu
dia.”
“Goblin?”
“Bukan
bego.” Spearman mendengus. Heavy Warrior tertawa terbahak-bahak.
Kemudian
petarung berotot itu mengangguk dan berkata, “Yah, bukannya aku nggak ngerti
sih.”
“Oh
yeah?”
“Yeah.
Itu seperti…” Heavy Warrior melebarkan tangannya mengarah langit, seolah
mencari sesuatu yang tak kasat mata. “Seperti, seorang pria ingin bebas kan?
Raja pada wilayahnya sendiri.”
“Raja,
huh!” Spearman menyeringai seraya mereka berjalan. Dia tidak bermaksud untuk
mengejeknya; itu adalah seringai memahami. “Kedengarannya bagus. Ada cerita
lama tentang tentara bayaran yang menjadi raja.”
“Sayangnya
aku nggak terlalu pintar,” Heavy Warrior berkata, memberikan sebuah tepukan
pada kepalanya sendiri.
“Kalau
kamu belajar, kamu akan bisa.” Goblin Slayer berkata. “Kamu juga punya uang.
Itu artinya kamu cukup cerdas.”
“Masalahnya
itu, Aku nggak punya waktu.” Heavy Warrior mengangkat bahunya, dan pedang pada
pinggulnya, yang di mana selalu dia pakai walau sedang mabuk sekalipun,
berderik. “Dan kamu nggak bisa mulai belajar setelah kamu menjadi raja. Itu artinya kamu raja yang bodoh, dan
rakyatnya akan bernasib jauh lebih buruk dengan pemimpin yang tidak berotak.”
“Ya.”
“Tapi
kalau aku mulai belajar sekarang, aku
nggak akan bida berpetualang, dan itu akan membuat keseluruhan partyku
kesulitan.”
“Begitu,”
Goblin Slayer berkata. Dia melipat lengannya dan bergumam penuh pikiran.
Akhirnya, dia mengambil kesimpulan: “Memang sulit.”
“Benar.”
Heavy Warrior berkata. Sulit untuk
membuatmu menggantungkan senjata dan perlengkapan dan segalanya. Akan
tetapi, suaranya, terdengar ringan dan ceria. Ujung bibirnya yang melipat ke
atas adalah bukti dari senyumnya.
“Tapi
itu bukan berarti keadaan sekarang itu membosankan.”
“Apalagi
kamu punya wanita knightmu itu kan?” Spearman menyela.
“Diam!”
Heavy Warrior menendangnya.
“Ow!”
Spearman berteriak. Otot para warrior yang terlatih sangatlah berkualifikasi
sebagai sebuah senjata.
Heavy
Warrior menghiraukan teriakan itu, bersandar pada pagar jembatan di mana mereka
berada. Goblin Slayer berdiri di sampingnya.
“Aku
rasa itu bukanlah hal yang jelek.”
“…”
“Benar.”
“Kurasa
mungkin memang benar.” Heavy Warrior berkata, menyambut ucapan Goblin Slayer
dengan senyuman.
“…Yeah.
Aku rasa aku nggak keberatan dengan keberadaannya.”
“Feh!
Kalian pria bebas ini beruntung sekali!” Spearman berkata dengan jentikan
lidahnya. Dia menyandarkan punggungnya pada pagsr dan menatap bintang-bintang.
Dia menyipitkan matanya untuk melihat cahaya, yang berada jauh di bbalik
angkasa.
“Kamu
itu terlalu serakah,” Heavy Warrior mengejeknya.
“Bego,”
Spearman membalas. “Sebagai pria, kamu terlahir dengan hasrat pada dua hal:
wanita cantik dan kekuatan tertinggi. Apa lagi selain itu yang dapat kamu kejar
dalam kehidupan?”
“Kamu
terdengar seperti salah satu anak kecil itu…”
Apakah
Rookie Warrior atau Scout Boy yang dia maksud? Tujuan untuk menjadi terkenal
sebagai petualang terkuat adalah impian para pemuda.
“Yeah,
yang terkuat.” Spearman berkata, hampir cemberut. “Karena aku percaya di saat
aku menjadi yang terkuat, aku akan bisa melakukan apapun.” Dia meludah mengarah
angkasa—walaupun itu tidak akan mengubah lemparan dadu para dewa. “Wanita akan
mencintaiku, orang-orang akan berterima kasih kepadaku, dan aku akan bisa
membuat dunia lebih baik. Nggak ada yang salah dengan itu kan?”
“Mencintaimu?
Wanita beneran?” Heavy Warrior mendengus. Mungkin sebuah balasan kecil dari
sebelumnya.
“Pastinya!”
“Hmm,”
Goblin Slayer bergumam. “Aku nggak bisa membayangkannya.”
“Ah,
kamu diam saja!” Spearman melirik mengarah Goblin Slayer seraya kepalanya terus
mendongak melihat angkasa. Seperti biasanya, petualang itu menggunakan topeng
besinyya. Helm bajanya. Tidaklah mungkin untuk mengetahui ekspresi apa yang
tersembunyi di balik helm itu.
Aku yakin gadis resepsionis
itu pasti tahu.
Adalah
sebuah bukti akan seberaba banyaknya dan seberapa seringnya mereka telah
berbicara bersama. Spearman berpikir: jika dirinya
memakai sebuah helm, apakah gadis itu akan mengetahui ekspresinya?
Dia
menghirup udara dalam dan menghembuskannya. “Terus bagaimana denganmu, Goblin
Slayer?” dia bertanya. “Mimpimu sewaktu kecil apa?”
“Aku?”
“Memangnya
ada orang lain di sini yang membunuh begitu banyak goblin sampai dapat julukan
seperti itu?”
“….Kurasa
kamu benar.”
Goblin
Slayer menjadi diam, menatap sungai. Bahkan di dalam cahaya dari bulan kembar,
sungai itu terlihat hitam dan kelam, layaknya sebuah tinta yang tertumpah. Dari
manakah asal sungai ini, dan ke manakah perginya? Dia mengingat bahwa dia
dulunya pernah bertanya hal itu kepada kakak perempuannya.
Kakaknya
mengatakan bahwa sungai berasal dari gunung dan mengalir menuju laut. Dulunya
dia berpikir untuk pergi mengikuti arusnya untuk mencapai sumber sungai ini,
agar dapat melihatnya secara langsung. Namun tampaknya dia tidak akan mempunyai
kesempatan itu lagi sekarang.
“…Aku
ingin menjadi petualang.”
“Huh!”
Spearman menyikut Goblin Slayer. “Berarti impian besarmu sudah terwujud kan?!”
“Belum,”
Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala. “Masih Sulit.”
“Sulit,
huh?”
“Ya,”
Goblin Slayer mengangguk. “Nggak mudah untuk di wujudkan.”
Benar Heavy
Warrior menambahkan pada dirinya sendiri. Dia menghela napas. “Apa yang kamu
ingin lakukan, apa yang kamu harus lakukan, dan apa yang kamu dapat lakukan
nggak selalu sejalan kan?”
“Itu
cukup untuk membuat orang jadi gila,” Spearman menyetujui.
Ketiga
pria kembali terdiam, melihat bulan kembar. Angin berhembus melintasi sungai,
penuh akan janji harapan musim panas.
Apa yang kita inginkan.
Untuk
menjadi warrior terkenal. Pahlawan besar atau raja; menjadi bagian dalam
sejarah dan legenda.
Untuk
mencari benda dari Jaman para Dewa, menyelamatkan permaisuri, melawan naga, dan
menyelamatkan dunia.
Mereka
ingin menjelajahi reruntuhan tersembunyi, menemukan rahasia dunia dan
membeberkan semua kepada khalayak.
Mereka
ingin di kelilingi oleh wanita-wanita cantik, di cintai, di kagumi.
Mereka
ingin memegang senjata yang telah benar-benar mereka kuasai, melakukan aksi
kekuatan yang akan di perbincangkan hingga beberapa generasi berikutnya yang
akan datang. Seseorang, tidak peduli apapun tugasnya akan berkata, Dia. Dia bisa melakukannya.
Kemungkinan
besar, pada titik ini, mereka menyadari, bahwa kisah seperti itu bukanlah milik
mereka.
Mereka
adalah Silver, peringkat ketiga, tingkat petualang tertinggi yang berkeliaran
di luar. Dan ini sungguh berarti bagi mereka. Mereka tidak pernah melupakan
pencapaian itu atau merasa bahwa menjadi Silver sangat merepotkan dan akan
lebih baik untuk tetap menjadi tingkat Bronze atau bahkan Steel.
Akan
tetapi.
Akan
tetapi, sungguh…
“Jadi…”
Dia
adalah Goblin Slayer.
Dia
bukanlah bocah berambut merah.
Dan
itu adalah alasan yang cukup.
“…Paling
nggak, aku ingin membiarkan gadis itu melakukan apa yang dia mau.”
Ketiga
pria mengangguk.
5 Comments
pertamaxxxx. mantap mimin semakin didepan
BalasHapusHahaha... :D
HapusUp min
BalasHapusTop
HapusCerita tentang trio ini ga pernah buat gua bosen
BalasHapusPosting Komentar