MAJU MENUJU LEVEL BERIKUTNYA
Pengalaman Dan Pertumbuhan
(Translater : Zerard)
“Bagaimana
menurutmu?” Sang rhea buruk rupa bertanya. “Kalau kamu sudah menjadi seorang
bocah yang sempurna?” Es gua yang redup sangatlah dingin. “Oh, tapi kamu salah.
Aku tahu: Kamu pasti berpikir bahwa kamu bisa melakukan apapun dan di manapun
dengan apa yang telah kamu miliki.”
Makhluk
tua itu, berlapis dengan baji mithril, mengayunkan belati berkilaunya dengan
mengejek dan melebarkan tangannya. “Aku
benci kegagalan! Aku nggak ingin kalah! Dan aku nggak butuh latihan khusus!”
Ejekannya
bergema, memantul pada dinding es gua.
Sebuah
stalaktit es yang bergantung di langit-langit bergetar dan kemudian patah,
terjatuh ke bawah.
Pria
tua itu menghindarinya dengan acuh ketika es itu mendarat di dekat kakinya,
kemudian dia mengambilnya.
“Mungkin
kamu punya ide luar biasa di sini
yang belum pernah ada orang yang memikirkannya sebelumnya?”
Sang
rhea mengangkatnya ke situ dan mengayunkannya, menghantamkannya pada dahi dia.
Darah menggumpal, udara dingin ruangan menyebabkannya menguap putih.
“Jangan
sok sombong dan kuat, ketika membicarakan orang lain. Preman jalanan paling
rendahpun lebih pintar darimu.”
Snag
rhea tua melempar e situ ke samping seolah sudah tidak tertarik lagi pada bocah
itu, kemudian dia berjongkok dengan cara yang cukup tidak pantas.
“Dengar.
Aku akan mengajarimu kalau semua yang kamu pikirkan itu salah.”
Bocah
itu, sekarang terbaring di lantai, tidak dapat menjawab. Dia bahkan dia dapat
duduk.
Alasannya
adalah tangannya telah terikat, dan dinginnya udara telah menyebabkan kulitnya
menempel pada es.
Akan
tetapi, pria tua itu, sama sekali tidak mempedulikan ini. Rhea tua itu
menggenggam kepala sang bocah dan mengangkatnya dari lantai.
“Lebih
baik kamu bersiap. Mengerti?”
“Ya,”
sang bocah berkata, akhirnya dapat berbicara. “Master.”
“Sempurna!”
Sang rhea tua meyengir begitu lebar dan menyeretnya.
Mereka
telah tiba pada kanal bawah tanah—atau lebih tepatnya sebuah sungai—tidak,
mungkin lebih seperti gletser. Lelehan salju dari pegunungan yang membeku di
atas turun menetes kemari dalam bentuk cairan.
Tanpa
berkata apapun, sang rhea menarik bocah itu menuju aliran air beku dan
menendangnya ke dalamnya.
“—?!”
Teriakannya
tidak terdengar. Rasa sakit tersebar di keseluruhan tubuhnya seolah tubuhnya
seperti sedang di tusuk oleh banyak paku. Paru-parunga membeku di karenakan
dingin, jantungnya terasa seperti di pukul dan di cungkil.
Dia
menendang dan menggeliat namun hanya membuatnya semakin tenggelam. Itulah di
mana ketika pria tua itu memberikan sebuah tendangan pada kepalanya.
“Tenggelam
yang dalam! Terus tendang!” kemudian
rhea itu meraung, memberikan gerakan marah dengan belatinya.
“Lakukan
itu, dan kamu bisa mengambang! Terus lakukan lagi dan lagi! Kalau tidak, yang
menunggumu hanyalah kematian!”
Bocah
itu menghirup udara dengan susah payah, kemudian tenggelam. Kakinya menyentuh
es pada dasar sungai. Dia menendang.
Masternya ternyata benar.
*****
Dengan
demikian, kegagalan telah menjadi mesin yang membimbingnya dalam perubahan
secara bertahap.
Dia
telah menukar perisai bundarnya dengan sesuatu yang lebih kecil, melepaskan
gagangnya, dan memastikan perisai itu memiliki lingkaran metal.
Dia
sudah tidak menggunakan pedang panjang. Sekarang dia menggunakan sebuah senjata
dengan panjang yang tidak biasa, beberapa kali lebih pendek dari senjata biasa.
Tas
perlengkapannya telah berpindah, dari punggungnya berpindah menuju pinggulnya.
Armor
yang sebelumnya bersih tidak bernoda kini telah berlumur dengan lumpur dan
cipratan darah, menjadi sangat kotor.
Satu
dari tanduk helmnya telah patah, yang membuatnya semakin menyedihkan.
Tidak
ada lagi seorangpun yang ingin mengundang dirinya untuk berpetualang.
Goblin,
goblin, goblin, goblin, goblin, goblin.
Hanya
itu yang sepertinya dia ucapkan, dan kebanyakan dari petualang lainnya
memperhatikan dirinya dari kejauhan dan bergumam pelan di antara kumpulan
mereka sendiri.
Terkadang,
bahkan, terdapat sedikit pertaruhan untuk mengetahui siapa atau apa yang ada di
balik armor itu, dan para pemula yang melihat dirinya cenderung tertawa.
Tidak
seorangpun yang berusaha untuk berasosiasi denganya lagi. Ataupun dia yang
berusaha berasosasi dengan seseorang.
Akan
tetapi, selama seseorang merupakan bagian dari dunia kehidupan, beberapa
hubungan, tidak peduli seberapapun jeleknya, akan terbentuk, tidak peduli
apakah seseorang itu mau atau tidak mau.
*****
Hal
pertama yang pemilik kebun itu katakan kepadanya
ketika sang pemilik membuka mulutnya adalah: “kamu nggak melakukan apapun pada
gadis itu kan?”
Adalah
hampir subuh, matahari masih memberikan goresan sinar ungu di langit. Sang
pemilik kebun berdiri di depan gudang di dalam dinginnya udara pagi, membawa
sebuah garpu rumput.
Dia kemungkinan
sedang dalam perjalanannya menuju Guild Petualang. Dia keluar dari gudang dan
menutup pintu di belakangnya. Kemudian dia berhadapan dengan sang pemilik dan
berkata dengan kaku, “Apa maksudmu dengan…’apapun’?”
“Jangan
pura-pura bodoh. Kamu tahu apa maksudku.”
Beberapa
hari telah berlalu sejak kejadian itu.
Sang
petani sedang sibuk dengan pekerjaannya, namun dia juga sangat mempedulikan
keluarganya. Sang pemilik dapat mengetahui bahwa keponakannya sedang penuh
dengan kegundahan semenjak gadis itu mengunjungi pria muda ini di gudang pada
pagi hari itu.
Gadis itu merupakan keluarga terakhir sang
pemilik, peninggalan yang tidak ternilai dari adik perempuannya yang telah
tiada, dan sang pemilik memperlakukannya layaknya anaknya sendiri.
Tentu
saja, sang pemilik mengetahui, bahwa suatu hari nanti gadis itu akan jatuh
cinta, menikah, dan pergi meninggalkan rumahnya.
Tapi biarpun begitu.
“Kalau
kamu sudah melakukannya, yah—Aku rasa kamu sudah siap dan bersedia bertanggung
jawab.” Snag petani berbicara dengan suara yang rendah, hampir seperti sebuah
erangan, dan menatap seksama pada pria muda itu.
Adalah
mustahil bagi dirinya untuk dapat mengetahui apa yang di pikirkan pria muda itu
di balik helm bajanya.
Jika
pria muda itu berusaha untuk mengambil keuntungan dari gadis itu, sang petani
tidak akan ragu untuk memberikannya pelajaran dengan garpu rumput yang ada di
tangannya. Sang petani merasa bahwa itu adalah haknya sebagai penjaga dan orang
tua asuh gadis itu.
“Nggak.”
Helm itu bergeleng ke kiri dan kanan. “Aku nggak melakukan apapun.”
Suara
itu pelan dan acuh, dan begitu blak-blakan. Jika ucapannya adalah sebuah
kebohongan, maka pria muda ini merupakan seorang bajingan yang sudah terbiasa
melakukan hal seperti itu.
Sang
petani menatap helm baja itu, kemudian pada akhirnya mengalihkan pandangannya
seolah tidak mengetahui harus kemana dia memandang. “Begitukah?”
“Ya.”
Ayam
jantan berkokok di kejauhan. Matahari akan segera terbit tidak lama lagi, dan
hari yang baru akan di mulai. Sang petani menyipitkan matanya pada terangnya
cahaya dan menghela.
“Kamu
nggak berniat mengambil pekerjaan yang lebih baik?”
Sang
petani mengartikan bahwa dia tidak akan pernah menyerahkan keponakannya kepada
seorang petualang.
Akan
tetapi juga, jika gadis itu dapat hidup bersama dengan seseorang yang selamat
dari desanya, mungkin itu akan sangat ideal.
Namun
kemudian pria muda itu berkata, “Nggak,” dan menggeleng kepalanya, “Karena ada
goblin.”
“…”
Dan
kemudian ini. Sang petani tidak berbicara. Dengan cepat dia mulai menyesali
khayalannya. Sang petani mengira bahwa keponakannya sudah mulai sembuh semenjak
lima tahun terakhir ini; tidak mengherankan mengapa gadis itu sedang marah
sekarang.
“Yah,
kalau begitu lekas kamu pergi bekerja.”
Pria ini sudah benar-benar
gila…
Merupakan
hal yang sudah sangat jelas, bukan hanya karena dia muncul merayap keluar dari
genangan lumpur.
Seraya
pemilik kebun mulai berjalan menjauh, garpu rumput pada tangannya dan pikiran
pahit mengiang di kepalanya, dia mendengar pria muda itu berkata, “Baik.” Dari
belakangnya.
Kemudian
timbullah pertanyaan: “…Di mana gadis itu?”
Hal
ini menyebabkan sang petani berhenti dan mengangkat alisnya.
Di
sini sang pemilik kebun mengira bahwa pria ini sama sekali tidak tertarik
dengan gadis itu.
Sang
pemilik kebun berputar dan melihat pria muda itu berdiri seperti sedang bosan.\
“Dia
sedang pergi keluar. aku rasa dia akan pulang telat hari ini.”
“Begitu,”
gumam sang pria muda, dan kemudian dia melangkah pergi menuju kota. Terdapat
sesuatu yang janggal dalam langkahnya; bagi sang pemilik kebun, pria itu tampak
seperti anak kecil yang telah di tinggalkan sendirian.
*****
“Ah…!”
Pada
akhirnya Gadis Guild mendengak ke atas dari meja yang sekian lama di tatapnya,
kesibukan pagi hari telah di mulai.
Dia
mendengar suara pintu terbuka, dan kemudian sebuah langkah berani, hampir
berbahaya, namun santai mulai mendekati dirinya.
“Goblin.”
Tidak
ada lagi seseorang yang menoleh ketika suara itu terdengar dari meja
resepsionis. Ketika seorang petualang dengan perlengkapannya yang kotor muncul,
semua orang berpura-pura menyibukkan diri mereka dengan hal yang lain.
Dan
siapa yang dapat menyalahkan mereka? Semua orang mengetahui bahwa dia sangat mencurigakan.
Apakah
takdir atau nasib yang mengatur jalannya dunia, para petualang merupakan
kumpulan orang-orang yang percaya dengan takhyul. Menghindari untuk terlibat
dengan “tipe aneh” adalah bagian dari menjaga diri mereka.
Namun
semua itu tidak berpengaruh pada Gadis Guild. Terdapat senyum cerah pada
wajahnya dan dia mengeluarkan beberapa kertas yang telah dia siapkan
sebelumnya.
Kertas
itu, tentu saja, merupakan quest membasmi goblin.
Aku merasa tidak enak dengan
menyerahkan semua quest ini kepadanya, tapi…
Gadis
Guild menghiraukan rasa gundah di hatinya. Seseorang harus melakukan pekerjaan
ini. Petualang tingkat menengah menolaknya mentah-mentah, dan bahkan para
pemula tidak selalu mau mengambil pekerjaan ini. Siapa lagi yang dapat membantu
orang-orang yang membutuhkan ini?
Bukan berarti pekerjaan yang
di lakukan orang lain itu tidak penting juga.
Oleh
karena itu, Gadis Guild memberikan quest sisa kepadanya. Petualang yang datang
pada pagi hari telah mengambil quest yang di tempel pada papan, dan ini adalah
quest yang tersisa.
Dengan
cara ini, Gadis Guild dapat menugaskan pembasmian gobblin tanpa merepotkan
orang lain (merepotkan?)
“Ahem,
hari ini kita mempunyai lima quest. Semua orang saat ini sedang menghadapi
kejadiaan yang sedang terjadi pada tambang…”
Gadis
Guild membalik halaman demi halaman, tetap bersikap sopan seraya dia
menjelaskan. Dulu dirinya sering terbata-bata dan ragu, tapi sekarang tidak
lagi—paling tidak, tidak begitu sering. Dan itu juga, berkat pria ini.
Bukanlah
karena Gadis Guild mengangap interaksi dengannya sebagai latihan atau
menganggap pria itu sebagai bahan latihan, namun…
“…?”
Gadis
Guild terdiam, melihat pria itu dengan kebingungan. Pria itu tidak merespon
ataupun bertanya kepadanya.
Di
sana, di depan Gadis adalah helm yang terlihat murahan yang sudah biasa di
lihat oleh Gadis Guild. Helm itu sedikit miring ke samping—mungkin di karenakan
tanduk di sebelahnya telah patah—namun itu adalah salah satu bagian menawan
dari pria itu menurut Gadis Guild.
Gadis
Guild mengira, mungkin, dia melihat helm itu goyah ke samping.
“Er…
Apa kamu baik-baik saja?”
“…”
Dia terdiam beberapa saat, kemudian dia berkata, “Nggak,” dengan gelengan
canggung kepalanya. “Aku baik-baik saja,” dia menambahkan.
Hmm, Gadis Guild bergumam
pada dirinya sendiri. Baginya “baik-baik
saja” terdengar rancu.
Aku harap paling tidak aku bisa melihat
wajahnya.
Seraya
pikiran itu melintas, Gadis Guild menyadari bahwa pertama kalinya dia dapat
melihat dengan jelas wajah pria ini adalah ketika pertama kali pria ini
mendaftar. Kali ini Gadis Guild berharap supaya dia dapat melihat kembali
dengan lebih seksama, namun sudah sangata terlambat untuk itu.
“…”
Hening.
Gadis
Guild berpura-pura batuk.
“Maafkan
saya,” dia berkata, mengetuk jarinya pada meja. Sebuah senyum masih menempel di
wajahnya. Melihat pada helm baja yang tidak dapat di baca, dia mendapati
dirinya merasa marah. “Apa anda pikir saya dapat mempercayakan pekerjaan
seperti ini kepada seseorang yang tidak enak badan sampai-sampai susah untuk
berdiri?”
“Aku
baik-baik saja.”
Jawaban
yang di ulang mengundang sebuah benturan kepal tangan Gadis Guild pada meja.
Rekannya memberikan tatapan melotot kepada Gadis Guild, namun dia
menghiraukannya. Kalimat itu sudah
keluar dari mulutnya sekarang, dan dia sedang menjalani perangnya sendiri.
“Apa anda benar-benar merasa seperti
itu?” Masih tersenyum, Gadis Guild mencondongkan tubuhnya
hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajah pria itu.
Gadis
Guild mengira dia mendengar sebuah gumaman dari dalam helmnya, dan akhirnya
sebuah kata nggak keluar dengan
jelas.
“Istirahat
yang cukup itu sangat penting dalam berpetualang!” Tidak ada istirahat, tidak ada quest, Gadis Guild memberitahunya,
dan merasa senang melihat pria itu mengangguk sebagai jawaban.
“Baiklah.”
Ha! Tuh kan? Gadis
Guild duduk dengan sedikit lebih tegak, merasa sedikit bangga.
Mungkin aku akan membiarkannya kali ini,
dia berpikir dan melembutkan suaranya seraya
dia berkata, “Oke. Untuk kali ini saja… saya berikan anda ini.”
Gadis
Guild menggapai belakang mejanya dan mengambil salah satu barang yang di simpan
Guild di sana. Adalah sebuah cairan di dalam botol yang berwarna samar. Sebuah
stamina potion.
Tentu
saja, Gadis Guild di larang untuk memberikan benda seperti ini kepada petualang
secara cuma-cuma. Hal itu akan mengurangi pemasukan dana yang penting untuk
Guild. Namun solusinya sangat sederhana: Gadis Guild akan membayarnya nanti
dengan gajinya sendiri. Dengan begitu semua akan baik-baik saja, pikir Gadis
Guild.
“Rahasia
kecil kita, oke?” Gadis Guild berkedip kepadanya.
Dari
dalam helmnya, terdengar suara erk, dan
kemudian dia berkata, “…Maaf.”
“Harusnya
adalah terima kasih,” Gadis Guild
menjawab. “Kalau anda benar-benar ingin mendapatkan penilaian baik.” Dia
tertawa kecil. “Dan juga, terdapat lima quest di sini, tapi…semua petualang
lain sedang keluar…”
“keluar?”
pria itu bertanya, suaranya terdengar rendah.
“Hmm?”
Gadis Guild berkata, memiringkan kepalanya sebelum menjawab. “Ya.”
Tadi sedikit aneh juga…
Jika
Gadis Guild tidak salah dalam mendengarnya, suara pria itu terdengar…marah.
“Ya.
Mereka pergi menuju tambang. Terdapat kejadian yang cukup serius di sana.
Apakah anda ingin bergabung dengan mereka?”
“Nggak.”
Dia menggeleng kepalanya, kemudian mengambil salah satu kertas quest. “Aku akan
membasmi goblin.”
“Yang
itu adalah—“
Gadis
Guild membaca cepat kertas quest itu. Adalah sebuah lembaran quest dari seorang
pionir desa di perbatasan. Permasalahan
goblin. Tolong singkirkan mereka. Sebuah quest yang benar-benar biasa.
Tapi jumlah mereka lebih banyak dari
biasanya…
Jumlah
dari para goblin yang telah di klaim telah di lihat para penduduk desa tampak
mengusik Gadis Guild.
“Apa…anda
yakin akan baik-baik saja?”
Gadis
Guild mencoba banyak bertanya. Kesehatan pria itu. Kenyataan bahwa dia bekerja
sendiri.
Sebuah
firasat buruk bahwa ini akan menjadi saat di mana pria itu tidak akan kembali
terngiang di benaknya. Gadis Guild tiba-tiba merasa sakit pada hatinya, dan
tanpa di sadarinya, Gadis Guild sedikit mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada
pria itu.
“Saya…
Saya yakin jika anda menunggu sebentar, beberapa petualang lain akan muncul…”
“Goblin-goblin
ini,” dia berkata datar. “Aku akan menghadapinya sendiri.”
*****
“Kamu
lagi huh?” Sang bos workshop mendengak dan mengernyit, kakinya berhenti
mengayuh batu asahnya.
Hal
seperti ini harus selalu di lakukan secara bertahap untuk menjaga sebuah pedang
tetap tajam. Mata pedang itu di letakkan pada batu asah yang berputar,
mengirimkan percikan terbang. Mengasah sebuah pedang secara harfiah mengikis
beberapa bagian mata pedang. Hingga akhirnya akn mencapai batasnya.
Beberapa
pedang yang telah di perkuat dan benda sihir mungkin akan menjadi pengecualian,
namun untuk benda lainnya, kehancuran benda itu tidak dapat di hindarkan.
Bahkan para elf, yang bisa di bilang tidak berumur, tidak dapat lepas dari
aliran waktu.
Tapi biarpun begitu…
Mata
bos melongo ketika dia mengambil pedang yang telah di beli oleh pria yang
terlihat aneh ini. Pria itu meletakkan pedangnya di atas meja sang bos, dan
pedang itu tidak dalam kondisi yang baik.
Kondisi
pedang itu begitu buruk hingga pedang itu telah menjadi pendek. Dan terdapat
permasalahan penting lainnya.
Pedang
itu telah tercuil dengan begitu parah, berlumur dengan lemak dan darah. Pedang
ini bisa saja di anggap sebagai sebuah gergaji sekarang, dan sang bos pernah
melihat pisau daging yang jauh lebih bersih dari ini.
Seolah
itu semua belum cukup, hulu pedang itu telah bengkok seakan di gunakan untuk
memuluk sesuatu.
“Feh.
Mereka yang nggak pernah merawat perlengkapannya nggak akan bisa hidup lama di
dunia ini.”
“Aku
yakin, aku merawat baik perlengkapanku.”
Suara
pelan itu mengundang jawaban lelah “Apa kamu benar-benar berpikir seperti itu?”
dari sang bos.
Pengetahuan
umum mengatakan bahwa sebuah pedang dapat memotong lima musuh. Seorang amatiran
yang bersemangat untuk menunjukkan betapa cerdasnya dia, mungkin saja akan
mendebat bahwa hal ini adalah salah, hanya sedikit takhyul dari rakyat. Namun
tidak perlu di katakan, adalah rakyat itu yang benar dan sang amatiran yang
salah.
Mungkin
ini bisa sedikit masuk akal bagimu: seorang master swordman dapat menilai
kondisi mata pedangnya, menjaganya agar tidak rusak dan mencegah darah untuk
menempel pada pedangnya.
Akan
tetapi, ketika pedang itu di gunakan di tengah-tengah panasnya pertarungan?
Terdapat armor dan kulit. Terkadang sebuah senjata akan menyerang tulang atau
di gunakan secara sembarangan. Jika salah satu dari serangan itu mengenai armor
musuh, sebuah pedang dapat menjadi rusak. Seraya pedang itu menebas pembuluh
darah, pedang itu akan berlumur dengan darah.
Terlebih
lagi, hulu dan gagang pedang akan menjadi senjata palu perang yang sempurna.
Sebuah
pedang dapat memotong lima musuh.
Untuk kebanyakan orang. Tapi kalau dia…?
Sang
bos menjulurkan jarinya di sekitaran mata pedang, memberikan sebuah gelengan
kepala kecewa.
“Benda
ini sudah nggak bisa di perbaiki lagi. Aku akan mengambilnya darimu. Beli saja
yang baru.”
“Aku
mengerti.”
Sang
bos melempar pedang itu masuk ke dalam keranjang besi, kemudian memberitahi
pria muda itu berapa banyak yang bisa di tukarnya dengan pedang ini.
Tanpa
ragu, sang petualang mengeluarkan dompet dan dalam tas peralatannya dan
meletakkan koin di atas meja. Jika di lihat dari penampilannya, dompet itu
terlihat cukup berat.
“Wah,
wah, sepertinya hidupmu mewah juga. Apa yang kamu lakukan?”
“Membasmi
goblin.”
“Hrm?”
sang bos menyipitkan sebelah matanya dan memberikan tatapan curiga. “Jadi kamu
dan partymu mempunyai satu tabungan untuk membeli perlengkapan?”
“Aku
sendirian.”
Ini
mengundang sebuah dengusan dari bos workshop.
Dengan
kata lain, pria ini telah memotong lebih dari lima musuh dengan sebilah pedang.
Tidak ada salahnya jika dia menggunakan sesuatu dengan kualitas yang lebih
tinggi…
“Apa
kamu sudah menyelesaikan apa yang aku minta?”
“Tentu
saja.”
Tidak.
Sang bos akan meyimpan pikiran itu untuk dirinya sendiri.
Sang
bos memberikan pria muda itu sebuah pedang baru, lengkap dengan sarung pedang
dan lain-lain, dan sang petualang mengikatnya pada pinggulnya. Sang bos
menggelengkan kepalnya. Sang bos menggapai ke belakang meja dan mengambil
sebuah bungkusan berlapis kertas minyak,
membukanya dengan jari tebalnya.
Terdengar
sebuah suara berdenting halus dari sebuah baju besi yang di letakkan di atas meja.
Baju besi itu telah di minyaki secara hati-hati; di bandingkan dengan suara
berisik plat metal, baju besi ini hampir tidak bersuara. Baju besi ini dapat
gunakan di bawah armor kulit pria muda ini dan memberikannya perlidungan
menegah dengan kemampuan menyelinap yang cukup baik.
Akan
tetapi celah pada sambungan baju besinya cukup besar dan tipis yang akan cukup
bagi sebuah pedang untuk dapat menembusnya. Baju ini bukanlah baju mithril,
hanya kawat yang di sambung sedemikian rupa.
Akan
tetapi, adalah lebih baik di banding tidak memilikinya sama sekali. Adalah
sangat cukup untuk dapat menyelamatkan nyawa.
“Ini
bukan barang terbaik yang ada di sini,” sang bos berkata.
Tapi seharusnya cukup untuk memenuhi
permintaannya. Sang bos memberikan tatapan pada helm baja
itu.
Suara
yang menjawabnya, seperti biasa, datar dan pelan. “Aku tahu,” dia berkata.
“Nggak masalah.”
“Apa
yang nggak masalah?”
“Nggak
akan masalah kalau goblin menggunakannya.”
Dengan kata lain, kalau goblin
mencurinya ya?
Petualang
menggunakan peda tipis. Cukup tipis sehingga mereka dapat menusuk seekor goblin
yang menggunakan baju ini.
Sang
bos melihat ini sebagai dasar untuk para petualang dalam memilih
perlengkapannya : yang mungkin akan dapat di curi para goblin dan bukanlah
menjadi kerugian bagi petualang itu.
*****
“Aku
butuh persediaan.”
“Baik!
Untuk berapa hari?”
“Satu
minggu.”
“Segera
datang!”
Pelayan
Padfoot beranjak pergi. Dia
menghiraukan pelayan gadis itu dan melihat sekitarannya.
Dia
berada pada rumah makan Guild Petualang. Dia jarang sekali datang kemari,
terkecuali di saat dia akan membeli persediaan. Dia merupakan pengunjung yang
langka, bahkan, dia baru-baru saja menemukan tempat yang mempunyai padfoot
sebagai pelayan ini.
Satu
hal yang dia sadari di tengah hari ini, adalah rumah makan ini memiliki hawa lesu.
Para petualang yang duduk di sini dan di sana di sekitar ruangan sedang dalam
hari liburnya atau baru kembali dari tamasya. Beberapa memesan minuman,
sementara lainnya sedang mengunyah camilan, namun tidak satupun dari mereka yang
tampak bersemangat.
Salah
satu dari mereka terlihat menonjol bagi pria itu.
“…Sialan…
Apa-apaan…? Argh…!”
Dia
mengenali petualang itu yang sedang bersandar di meja, bergumam pada dirinya
sendiri. Adalah seorang pria muda yang bertemu dengannya pada quest membasmi
goblin, seorang petualang yang mendaftar pada hari yang sama dengannya.
Tidak
tampak kehadiran partynya di sekitarnya, dan petualang itu sendiri terlihat
sedang mabuk. Tidak ada orang lain di bar itu yang melihat dirinya; semua orang
tampaknya sengaja menghindari kontak dengannya.
Dia berpikir sejenak,
kemudian tetap diam dan menunggu persediaannya datang. Bahkan dia menyadari
akan ada waktu di mana seseorang ingin di biarkan sendiri.
Namun
mengetahui merupakan satu hal…
“Hei.
Ada apa? Sedang bersiap untuk berpetualang?”
…dan
di biarkan sendiri merupakan hal lainnya. Seseorang duduk dengan kasar di depan
dirinya seraya dia menunggu.
Dia
mendengak dan melihat pria tinggi, tampan, dan berotot. Dia mengenakan armor
kulit dan membawa sebuah tombak pada punggungnya. Seringai yang di tunjukkan
pria ini kepadanya terlihat bersahabat.
“Apa
yang akan kamu lakukan? Kelabang raksasa? Ghoul?” (TL Note : ghoul = semacam
hantu.)
Menjelajah dungeon kecil nggak jelek
juga.
Akan
tetapi, dia, hanya menatap pembawa tombak yang terus mengoceh, sebelum akhirnya
menjawab, “Goblin.”
“Guh!
Goblin?!” Spearman berkata dengan drama berlebihan. Matanya melongo dan
pundaknya terangkat, mulutnya menganga terbuka.
“Aku,
aku ada di pertambangan hari kemarin membasmi blob!” (TL note : Blob = Semacam
lendir, seperti slime.)
“Benarkah?”
“Benarlah!
Lumayan keren kan?”
Akan
tetapi, Goblin Slayer, tidak mengetahui apa itu yang di sebut Blob. Dengan
pemikiran singkat telah membuatkannya sebuah jawaban bahwa itu bukanlah seekor
goblin.
“Apa
sekeren itu?”
“Iya
dong!”
“Begitu.”
Goblin Slayer mengangguk. “Aku kagum.”
“Kamu
mengejek aku?!” Kali ini, Spearman mencondongkan tubuhnya ke depan untuk meraih pria itu, wajahnya berkerut
marah.
Dia diam berpikir untuk
sesaat, kemudian helm bajanya berayun miring ke samping secara perlahan. “Jadi
nggak keren?”
“AW,
sia—! Kampret, apa-apaan sih ini orang?!”
Spearman
sangatlah supel dan sangat nyaring. Dia berteriak frustrasi, kemudian duduk
kembali ke kursinya seolah untuk mengatakan, aku menyerah. Punggung kursinya berdecit di bawah tekanan tubuhnya.
Spearman
mengerucutkan bibirnya tidak senang, kemudian mengangkat tombak kesayangannya
dan mulai memutar-mutarnya. Tiba-tiba, matanya menyipit dan dia menunjuk pada
tas yang ada pada pinggul pria itu.
“Hei,
apa itu?”
Ada
sebuah botol yang terlihat pada mulut tas pria muda itu. Pria itu pasti lupa
untuk menutupnya. Hanyalah kecerobohan yang sederhana. Pria itu menjentikan
lidahnya.
“Ini
stamina potion.” Dia mengeluarkan botolnya, mengatur kembali isi dari tas
peralatannya, dan memasukkan botolnya kembali. Sekarang bahaya akan botol itu
terjatuh telah tiada. “Aku menerimanya dari meja resepsionis.”
“Apaaaaaaa?!”
Spearman melonjak ke depan kembali. Teriakannya menggetarkan bagian dalam helm
bajanya. “Sialan! Aku perlu tampil lebih baik lagi di hadapan Gadis Guild…
Membasmi blob!”
“Blob.”
“Yeah
mereka gumpalan cairan yang hidup. Kamu nggak bakal tahu harus kemana kamu
menusuk mereka! Jadi aku mengambil tombakku dan—“
“Baiklah…itu…sudah…cukup.”
Kisah
maha berani Spearman telah di potong oleh seorang wanita yang sangat cantik.
Yang di mana pinggulnya berayun seraya dia berjalan mendekati meja dan duduk.
Pakaiannya menunjukkan lika-liku tubuhnya, dan dia mengenakan sebuah topi yang
yang mencolok: tidak salah lagi wanita ini adalah seorang witch.
“Sebaiknya
kamu ikut menceritakan ini. Blob-blob itu hamper membuatmu dan aku—Owwwww!”
Terlihat
tidak tertarik sama sekali, wanita itu menurunkan tongkatnya menuju kepala
Spearman. Wanita itu memeriksa apakah pria itu benar-benar tidak sadarkan diri,
kemudian menghela kecil.
“Maafkan,
dia.” Witch memberikan tatapan menggoda.
Goblin
Slayer menggeleng kepalanya. “Nggak masalah.”
“Lain
kali… Aku, akan, menggunakan, Spider Web, atau, seseuatu, untuk, menutup,
mulutnya…”
“Aku
mengerti.” Dia mengangguk. Kemudian seolah pikiran itu terlintas di benaknya,
dia mengarahkan tatapannya pada petualang mabuk yang dia lihat sebelumnya. “Dia
kenapa?”
“Ah…”
Witch menutup rapat matanya yang beralis panjang, lidahnya berdansa di dalam
bibirnya yang mempesona. “Salah, satu, dari, rekannya, di makan, yang, lainnya,
sedang, mengantarkan, jenasah, rekannya, rekannya, yang, ketiga,
tangannya….yah.”
Pria itu meninggalkan party mereka
setelah itu. Witch tidak terdengar tertarik dengan semua
ini. Dia mengeluarkan sebuah pipa dari suatu tempat misterius, menggunakan
sebuah batu api untuk menyalakannya—klik—dengan
tangannya yang terlatih.
Dia
menarik napas panjang, asap yang beraroma wangi mengambang mengelilinginya.
“Sekarang,
hanya, tersisa, satu. Cerita, yang, sudah, biasa… Benarkan?”
“…Begitu.”
“Dan,
seperti, itulah, ceritanya. Sampai, jumpa…”
Witch
memberikan lambaian cepat dan menarik kerah Spearman. Spearman bergumam sesuatu
tentang ketidakadilan, namun dia tidak melawan seraya Witch menyeretnya
menjauh.
Wanita
itu cukup kuat untuk seseorang yang berdiri di baris belakang, atau mungkin dia
dan Spearman memiliki suatu hubungan.
Setelah
beberapa saat, Goblin Slayer memutuskan bahwa dia tidak peduli dan mengusir
pikiran itu dari kepalanya.
“Maaf
membuat anda menunggu!”
Pelayan
Padfoot dating dari dapur dengan momen yang tepat. Dia mengeluarkan tujuh
bungkus bekal yang dia dekap di dada dan menaruh semuanya di atas meja.
Goblin
Slayer memeriksa semuanya dan kemudian memasukkannya ke dalam tas peralatannya,
mengeluarkan beberapa koin silver dari dompetnya sebagai bayaran.
“Terima
kasih! Senang berbisnis dengan anda!”
Tasnya
mulai membesar. Dia mengatur beberapa barang untuk membuat ruang untuk persediaan pangannya, dan dia melangkah
pergi.
Dia
sedang memegang gagang pintu ketika dia berhenti dan melihat ke belakang. Sang
petualang yang dia perhatikan sebelumnya memberikan tatapan kosong kepadanya.
Goblin
Slayer melihat pria itu untuk sesaat, kemudian dia mendorong pintu dan
melangkah keluar.
Pintu
itu terbuka dan tertutup dengan decitan yang entah mengapa terdengar cukup lama
baginya.
*****
Wssh. Wssh. Wssh. Angina
berhembus lembut melewati semak-semak, membuat suara seperti ombak di pesisir.
Tidak
ada apapun di sana. Hanya sebuah jalan setapak, benar-benar sesuatu yang biasa,
seperti jalan lainnya.
Gadis
Sapi menahan rambutnya dari hembusan angina, menyipitkan matanya. Dia dapat
melihat pohon yang terbakar di antara lautan jamrud.
“Ini
dia. Sesuai dengan yang tertulis di quest itu, nona.” Adalah seorang petualang
dengan tombak di sisinya yang berbicara, duduk pada kursi pengemudi dari sebuah
kereta kuda yang mereka sewa.
“Mm.
Terima kasih…”
Gadis
Sapi menundukkan kepalnya dari balik gorden, mengundang sebuah senyum dari
rekan Spearman, Witch. Witch tidak terlihat jauh lebih tua dari Gadis Sapi,
namun wanita itu memberikan sebuah aura seperti wanita dewasa.
“Baiklah,
kalau, begitu, kami, akan, di sini….menunggumu.”
“Oke.”
Gadis
Sapi berterima kasih kembali dan melompat turun dari kereta kuda. Rumput di
kakinya di mana dia mendarat membuatnya hampir terjatuh, namun dengan cepat dia
menyeimbangkan dirinya.
“Kamu
baik-baik saja?” Spearman bertanya.
“Aku
baik-baik saja, terima kasih.” Gadis Sapi berkata.
Aku nggak sangka aku akan mengingat
tempat ini.
Di
dalam kereta kuda lainnya, di hari yang lampau, dia telah melihat tempat yang
sama ini yang semakin mengecil di kejauhan.
Dia
sedang berada di tempat yang sama, melihat pada arah yang sama.
Nggak apapun di sini.
Hanya
angin yang menghembus rerumputan. Gadis Sapi mulai berjalan perlahan.
Dulu
dia sering bermain di jalanan ini. Hingga lima tahun yang lalu, dia biasa
bermain di tempat ini setiap hari.
Pemandangan
tempat ini, masih segar dalam ingatannya, berbenturan dengan apa yang di
depannya sekarang. Perasaan ini membuatnya merasa hampir pusing, dan dia
merasakan langkahnya menjadi lunglai dan tidak pasti.
“….Hmm.”
Melewati
beberapa semak-semak. Gadis Sapi pergi menuju tempat tujuannya. Jika di
perhatikan dengan seksama, terdapat sebuah tempat di mana rumput-rumput tumbuh
lebih sedikit di banding tempat lainnya. Adalah sesuatu yang dulunya merupakan
sebuah jalan.
Pada
akhirnya, dia telah tiba pada lapangan yang penuh rumput. Seperti dugaannya,
tidak ada apapun di sana. Hanya beberapa tiang ynag di karbonisasi, tertimpun
dengan rumput.
Gadis
Sapi melangkah menuju lapangan berumput. Suara retakan di bawah kakunya,
mungkin merupakan peninggalan terakhir dari batu ubin tua.
Apa yang terjadi dengan semua ini?
Ayahnya.
Ibunya.
Pakaian
kegemarannya. Boneka yang dia sayangi. Ranjang yang dia tiduri setiap malam.
Perkakas makan khusus miliknya.
Semuanya,
lenyap.
Gadis
Sapi berdiri menatap pada ketiadaan di depannya sebelum pada akhirnya dia
melihat sekitarannya.
Hampir
tidak ada orang yang mengingat sebuah desa yang berada di tempat ini dulunya.
Hanya
dia, pamannya, dan pria itu.
Semuanya
hanyalah masa lalu sekarang.
Tidak
di sangka bahwa semua ini terjadi hanya lama kurun waktu lima tahun, dalam
sepuluh atau dua puluh—setiap sisa-sisa dari desa ini tentunya akan hilang.
Otot-otot
di wajahnya tertarik, seperti meringis; dia menyandarkan punggungnya untuk
mengalihkan perhatiannya. Dia merasakan rumput pada punggungnya dan lehernya
terasa menggelitik.
Di
kajuahan, Spearman memanggilnya, di ikuti dengan Witch yang menyuruhnya untuk
diam.
Langit
di atas Gadis Sapi terlihat begitu biru, dan awan putih yang mengambang mengisi
matanya.
“…Selesai
begini saja ya?”
Gadis
Sapi tidak dapat menghabiskan setiap menitnya untuk berkabung. Dia harus makan
makanannya dan melakukan pekerjaannya. Dia ingin untuk dapat tertawa dan
bersenang-senang.
Adalah
hal yang sangat normal—siapa yang akan memarahi atau mengejeknya karena
melakukan hal itu?
Hal
yang sama terjadi di seluruh dunia.
Dia
mengedipkan matanya yang tersinari matahari, kemudian mengangkat lengannya ke depan wajahnya untuk
menghalangi sinar matahari.
Akan
sangat sederhana, dan mudah, untuk sekedar melepaskan semuanya dan tenggelam
dalam kesedihan.
Tapi aku nggak bisa melakukan itu.
Dengan
cahaya matahari yang menyinarinya, bayangan akan pria itu melintas di pikirannya.
Aku benar-benar nggak bisa kan?
Jika
begitu, apa yang dapat dia lakukan?
Apa
yang dapat dia lakukan untuk pria itu?
Langkah
apa yang harus dia ambil?
“…Oke!”
Gadis
Sapi berdiri. Dia menepuk bokongnya untuk membersihkan debu dan rumput yang
menempel, kemudian memberikan tepukkan pada kedua pipinya. Dia hanya perlu
menggunakan segala energinya dan berfokus ke depan.
Dia
pergi kembali menuju kereta kuda dengan langkah cepat. Witch melihat dirinya
datang dan memegang ujung topinya.
“Sudah,
se…lesai?”
“Yep!”
Gadis Sapi mengangguk riang, menaiki kereta kuda. Dia menundukkan kepalanya
kepada kedua petualang. “Maaf sudah meminta kalian mengantarkan aku ke sini…”
“Heh,
pekerjaan ya pekerjaan,” sang petualang pemegang tombak berkata dengan tawa
bersahabat. “Kita melakukan apapun yang di minta, selama kita di bayar. Jadi
nggak usah di pikirkan.”
“Pekerjaan…”
Aku penasaran apa dia berpikir apa yang
di lakukannya sebagai pekerjaan. Dan kalau memang iya…pertama, dia harus menyelesaikannya.
Gadis
Sapi mengepal tangannya. Witch tertawa terhibur melihatnya.
“Mungkin,
kamu…perlu, memotong, rambutmu.”
“Huh?”
Gadis
Sapi tidak menyangka ini. Matanya melebar. Jari pucat Witch membelai poni Gadis
Sapi.
“Potong,
untuk, menunjukkan, matamu. Apa, kamu, tidak, berpikir, akan, terlihat, lebih,
imut, seperti, itu?”
Apa iya…
Gadis
Sapi memegang rambutnya sendiri, mempertimbangkan saran itu.
Spearman
memberikan teriakan, dan kereta kudapun berjalan.
*****
Apa seharusnya aku memakai kereta kuda?
Pikiran
yang tidak biasa dari pria itu. Dia
berhenti berjalan.
Matahari
telah lewat dari puncaknya dan mulai menuruni langit pada jalurnya. Cahaya
terang masih menyinari jalannya, namun tidak akan lama hingga kegelapan
menyelimutinya.
Jika
dia akan berkemah untuk mala mini, maka dia harus segera melakukan
persiapannya.
“…”
Aku terlambat berangkat.
Jika
dia pergi di pagi hari ini, tentunya dia sudah akan tiba di desa saat ini.
Di
jalanan biasanya terdapat beberapa penginapan dan akomodasi lainnya—tetapi itu
hanya jika kamu pergi ke tempat yang di pedulikan orang-orang.
Kota
hantu pada perbatasan bukanlah tempat seperti itu.
Jika
dia berjalan melewati malam, tentunya dia akan tiba pada desa, namun ketika di
berpikir bahwa dia harus berhadapan dengan goblin tepat setelah itu…
Akan
tetapi, pikiran itu bukanlah yang menghalanginya. Dia dapat bertahan, namun
matahari tidak dapat; dia harus bertindak.
Dia
melihat ke kesana dan kemari di sekelilingnya, hingga akhirnya dia menemukan
apa yang dia cari. Dia berjalan menuju rerumputan, menyebabkan rumput itu
bergemerisik.
Dia
telah menemukan sisa-sisa semacam desa atau kota. Apakah tempat ini sebuah
medan pertempuran pada Jaman para Dewa? Atau hanya sekedar desa yang hancur?
Cangkang
rumah yang telah membusuk mengisi lahan, hampir tampak seperti tertidur di
antara rerumputan. Dia mendapatkan sebuah dinding batu yang masih menjaga
bentuknya seperti baru, namun ketika dia memberikannya sebuah tendangan,
dinding itu runtuh. Begitu juga dengan dinding lainnya, tetapi akhirnya, dia
menemukan satu yang dapat bertahan dari tendangannya.
Ini tempat yang bagus.
Beberapa
pukulan tidak menunjukkan tanda dinding itu akan runtuh, oleh karena itu dia bersandar
di depannya, menebarkan kain tahan air di tanah, agar terhindar dari dinginnya embun
malam yang dapat menghalangi kemampuannya untuk mendapatkan staminanya kembali.
Dia
melepaskan ikatan pada pedang di pinggulnya, menggunakannya sebagai parang
untuk memotong beberapa semak-semak, membuat sebuah ruang untuk api. Jika dia
akan membuat api dan kemudian api itu akan menyebar pada rumput di sekitarnya,
menyebabkannya mati di karenakan menghirup asap—yah, tidak ada cara mati yang
lebih konyol dari itu.
Berikutnya,
mendapatkan bahan bakar. Hal ini tidaklah begitu sulit. Dia hanya perlu mendapatkan
beberapa rumput kering. Jika kayu yang masih bagus tersedia, maka akan sangat
mudah baginya untuk mengeringkan kayu itu seraya malam berjalan.
Dia
mengambil beberapa batu dari bangunan yang hancur untuk membuat sebuah
penghalau kecil yang akan menghalau angin dan menjaga api, dan dia akan
memasukan bahan bakarnya ke dalam.
Akhirnya,
dia hanya perlu menyalakan sedikit dari rumput itu untuk memicu api dan
melemparkannya ke dalam. Maka dia pun telah selesai.
“…”
Dia
terdiam, dan dia masih belum menyalakan api.
Langit
di atasnya masihlah biru. Belum terdapat awan hitam di horizon, dan udara masih
terasa kering: kemungkinan tidak akan hujan. Tidak perlu untuk menyiapkan atap,
kemudian, dia berpikir; untuk tetap duduk bersandar pada dinding.
Keadaan
di sekitarnya hening layaknya sebuah kuburan. Awan berlalu di atasnya tanpa
suara; satu-satunya yang terdengar hanyalah gumaman rerumputan yang tertiup
angin.
Dia
mengambil botol minumnya, membukanya dan meneguk satu kali dan meneguk untuk
kedua kalinya. Dia terkejut akan gelombang rasa lelah yang menyerangnya ketika
dia duduk. Kelopak matanya terasa sangat berat.
Akan
tetapi, dia tidak dapat beristirahat sekarang. Jika dia tidak menyalakan api di
malam hari, maka dia akan mendapati binatang liar yang akan mengunyah dirinya.
Dia
meletakkan botol minumnya ke samping, kemudian mengambil sebuah gumpalan daging
kering dari tasnya dan memasukkannya ke dalam celah helm. Setiap kali dia
mengunyah daging keras itu, ledakan garam mengisi mulutnya. Dia berharap bahwa
rahangnya yang terus bergerak dapat menghalau rasa kantuknya, namun dia juga
merasa senang bahwa makanan yang dia bawa terasa lebih enak dari yang dia
bayangkan.
“…”
Ketika
dia melihat bungkusan yang mengelilingi daging, dia melihat sebuah symbol yang
tidak asing. Daging itu berasal dari perkebunan.
Dia
mengunyah tanpa suara, di selingi dengan beberapa tegukan air, duduk diam di
bawah bayangan. Cahaya musim panas tampak mengisi keseluruhan helmnya,
membuatnya merasa rasa sakit pada kepalanya. Rasa sakit itu pastilah dari hawa
panas.
Semenjak
dia menyadari adanya kemungkinan serangan kejutan dari seekor goblin, dia
menahan rasa untuk melepaskan helmnya.
Oleh
karena itu, dia hanya menunggu hingga matahari terbenam secara perlahan.
Di
kejauhan, horizon tampak berubah menjadi merah tua dengan kelap-kelip bintang
dan bulan kembar yang terbit menggantikan matahari di langit. Salah satu dari
bulan itu berwarna merah, seolah terbakar, sedangkan bulan hijau tampak dingin.
Dia menatap kedua bulan itu di langit.
Adalah
kakak perempuanya, sejauh dia mengingat, yang mengajarinya untuk menghubungkan
bintang-bintang itu menjadi gambaran seorang pahlawan.
Aku rasa sekarang waktu yang tepat.
Dia
menggosok batu api, percikan api terjatuh ke dalam lubang api dan menghasilkan
lidah api yang kecil. Asap putih tipis mengambang di udara.
“…”
Api
ini kemungkinan akan cukup untuk mengusir para binatang. Namun untuk goblin?
Dia tidak yakin. Apakah mereka akan datang? Mungkin.
Mereka
tidak takut pada api. Bahkan mungkin mereka tidak menyadari bahwa kebanyakan
dari makhluk hidup takut dengan api.
Mereka
pernah menyerang dirinya sekali pada saat dia berisitirahat, dia tidak boleh
melupakannya. Sebuah suara bergema di kepalanya. Suara seseorang.
Tenggorokannya
terasa begitu kering. Dia berusaha menjilat bibirnya, namun itu tidak cukup
untuk menghilangkan sensasi itu. Yah, dia akan tiba pada desa di keesokkan
harinya. Dia mengambil botol airnya dan meminum dengan rakus, cairan itu
mengalir melewati sisi samping helmnya.
Apa
yang terdapat di dalam tasnya, adalah sebuah anggur yang di campur dengan air.
Dan dia tidak begitu peduli dengan rasa minuman itu.
Pada
akhirnya dia menutup sebelah mata, membiarkan mata sebelahnya lagi terbuka
untuk mengintip ke dalam gelapnya malam. Di tangan kanannya, dia menggenggam
pedangnya, lututnya di tekuk hingga dadanya agar dia dapat langsung berdiri
kapanpun juga.
Dengan
satu mata yang terbuka, dia mengira dia melihat sesuatu di ujung bayangan yang
berdansa karena api.
“…!”
Dia
mengangkat pedangnya, menebas udara. Dengan helaan napasnya, dia
menyarungkannya kembali dan kemudian menariknya lagi.
Dia
akan menghancurkan tengkorak goblin, dia akan menusuk tenggorokan goblin. Tusuk
dan hancurkan. Hentikan napas mereka. Secara permanen.
Dengan
itu, dia menunggu goblin muncul hingga fajar.
Namun
tidak satupun dari mereka yang muncul.
0 Comments
Posting Komentar