LAPANGAN LATIHAN DI PINGGIR KOTA
(Translater: Hikari)
“...Apa tadi?”
Dwarf Shaman sedang berada
di rumah makan Guild, memasukkan kentang yang telah di haluskan ke dalam
mulutnya. Sedikit terlalu cepat untuk makan siang—makanan yang ada di depannya
bisa di anggap sebagai sarapan pagi yang telat. “Kamu mau aku?”
“Ya.”
Di seberangnya adalah
seorang pria dengan armor kulit kotor dan helm yang terlihat murahan : Goblin
Slayer. Tidak ada tanda bahwa dia sudah makan atau sedang memakan apapun.
Goblin Slayer memegang helmnya
seolah dia sedang mempunyai sakit kepala dan meminum beberapa air dari balik
celah helmnya.
“Apa kamu mau melakukannya?”
“Nggak masalah, aku nggak
keberatan, tapi...”
Dwarf Shaman kembali memakan
sesendok penuh kentang lumat. Bangsa dwarf terkenal akan kerakusannya, yang di
mana mereka akan mencoba apapun dan sangat di sambut pada rumah makan manapun. Makanannya
harus terasa cukup enak dan berjumlah banyak. Jika rasa makanan itu sangatlah
lezat, maka itu adalah sebuah bonus.
High Elf Archer, jika di tanya
pendapatnya, mungkin akan menganggap sikap ini sebagai tidak punya kontrol
diri, namun Dwarf Shaman mungkin akan menjawab bahwa kaum elf tidak mempunyai
imajinasi.
Apapun itu, pembaca mantra
ini cukup senang untuk memakan segunung kentang lumat dengan hanya sedikit
garam sebagai perisa.
“Kentang?”
“Mmf, mmf... Ya! Aku lagi ngidam
kentang hari ini.” Dia menjawab, terbatuk-batuk seraya menelan sesendok penuh
lagi. “Nggak mau?”
“Ada pembasmian goblin yang
harus di lakukan.”
“Begitu?” Dwarf Shaman
mengambil gelas Goblin Slayer, mengisinya hingga penuh dengan anggur, dan
mendorongkannya kembali mengarah pria itu. “Yah, minumlah. Kamu bisa habiskan
sedikit waktu bersamaku kan?”
“Mm.” Goblin Slayer meneguk
isi gelas itu. Dwarf Shaman memperhatikannya dengan senyuman.
“Aku punya firasat kalau aku
dan teman csroboh kita itu mempunyai latihan sihir yang sedikit berbeda.” Dwarf
Shaman berkata.
“Aku nggak tahu secara
spesifiknya, tapi aku rasa kurang lebih begitu.” Goblin Slayer menjawab.
“Dan aku pikir lebih baik kamu
meminta ini kepada orang lain selain aku.”
“Nggak bisa.” Goblin Slayer
menggeleng kepalanya perlahan. “Kamu pembaca mantra paling jago yang aku
kenal.”
“...”
Tangan Dwarf Shaman terhenti
ketika dia berusaha mengambil kentang lainnya. Dia memutar sendoknya (yang
sebelumnya telah keluar masuk mulutnya) ke dalam tumpukan makanan, dengan
sedikit tidak sopan.
Setelah beberapa saat, dia
menghela.
“Yah, sepertinya nggak bisa
berkata tidak soal itu ya?” dia berkata. Dia melirik Goblin slayer dengan tatapan
tajam. “Aku yakin kamu akan mengatakan hal yang sama pada wanita witch itu.”
“Tentu saja tidak.” Goblin
Slayer berkata pelan. Bahkan Dwarf Shaman dapat menebak apa yang dia maksud
dengan itu.
“Maaf. Walaupun bercanda
tapi tadi agak kelewatan ngomongnya.”
“Kalau seandainya terlalu
merepotkan, silahkan menolak.”
“Jangan bodoh. Satu-satunya
pekerjaan yang aku tolak itu berasal dari orang yzng nggak suka dengan dwarf.”
Kemudian Dwarf Shaman
kembali makan dengan rakus. Dia bahkan tidak ingin repot-repot membersihkan jenggotnya
dan terus memasukkan kentang lumat kedalam mulutnya, layaknya anggur ke dalam
gentung.
Ketika pada akhirnya dia
telah membuat makanannya habis, dia melempar sendoknya ke samping.
“Tapi, Beardcutter, aku mau tahu
satu hal.”
“Apa?”
“Kamu dapat ide ini darimana?”
Goblin Slayer terdiam.
Bukanlah cerita yang tidak
biasa. Dia adalah seorang warrior; kemampuan sihirnya dangatlah kecil. Ketika
dia membutuhkan seseorang yang bertalenta dalam sihir, mengapa tidak meminta
bantuan seorang shaman?
Namun bukanlah itu yang di
tanyakan oleh sang dwarf. Bahkan Goblin Slayerpun memahami itu, seraya mereka
saling bertukar pandang.
“Aku Goblin Slayer.” Dia
meneguk anggur untuk membasahi bibirnya, “Dan dia adalah petualang.”
“Okelah.” Dwarf Shaman
mendengus dan menyandarkan punggung pada kursinya. Kursinya berdecit karena
perubahan beban. “Kalau teman telinga panjang kita dengar soal ini, aku rasa dia
akan membahas ini secara terus menerus.”
“Benarkah?”
“Harusnya sih.”
“Begitu.”
Dwarf Shaman mendorong
piring kosongnya mengarah Goblin Slayer dan melambaikan tangannya.
Sekarang terdapat lima atau
enam tumpuk piring kosong, dan sang pelayan—kali ini seorang padfoot—datang dan
membawa piring itu untuk di cuci.
“Baiklah. Aku terima. Tapi
mungkin...aku perlu kamu untuk menunggu sebentar.”
“Aku nggak keberatan. Aku
memberi tahunya untuk datang siang ini.”
Goblin Slayer menuangkan
beberapa air seraya dia berbicara. Dia memutar air yam memperhatikan gelombang
kecil yang bergejolak dalam gelasnya.
“...Apa menurutmu dia akan
datang?”
“Heh! Kita bisa bertaruh
kalau kamu mau.” Dwarf Shaman menyeringai dan menggosok tangannya. Adalah
sebuah gerakan yang dramatis, seperti seorang pesulap yang bersiap menunjukkantrik
berikutnya. “Kalau begitu, Aku rasa aku perlu minum lagi sebelum pergi. Dan
jalan santai sedikit.” Dia menepuk perutnya senang. “Makanannya sudah cukup.
Nggak terlalu lapar, nggak terlalu kenyang!”
Goblin Slayer tidak
mengatakan dan meletakkan gelas kosongnya di atas meja.
*****
“......”
Sang bocah berdiri di lapangan
latihan; tempat ini masih dalam tahap pembangunan, oleh karena itu masih banyak
bagian daerah ini yang terlihat seperti lahan berumput.
Dirinya adalah gambaran akan
seseorang yang di paksa melakukan sesuatu yang tidak di kehendakinya. Pipinya
menggembung, dia terlihat cemberut, dan tangannya menopang dagu seraya dia
melihat seorang pria yang memanggilnya.
“...Apa, nggak pergi
membunuh goblin?”
“Nggak.” Pria dengan armor
kulit kotor dan helm baja menggeleng kepalanya. “Aku berniat pergi setelah
menemuimu.”
“Aku nggak pernah minta kamu
buat jagain aku.”
“Benarkah?”
“Yeah!”
“Maaf.”
Sikap acuhnya membuat sang
bocah marah.
Orang
yang aneh banget!
Jika saja dirinya yang
meminta mssuk ke dalam grup ini—yah dia tidak akan bisa menolaknya, ealaupun
dengan rasa enggan. Bagaimana priestess itu melakukannya? Atau elf itu, atau
lizardman itu? Atau—
“Ah, di sana kau rupanya.
Mantap, itu tanda kalau kamu menjanjikan.”
Atau sang dwarf, yang
sekarang sedang melangkah melintasi rerumputan.
Dia sedang menyeringai,
walaupun sang bocah tidak bisa membayangkan apa yang begitu lucu, dan meneguk
botol anggur yang berada di pinggulnya.
Ya, dia adalah tingkat
Silver. Tidak di ragukan bahwa dia adalah pembaca mantra yang handal.
Namun tetap saja, itu bukan
berarti sang bocah ingin belajar di bawah asuhannya.
Dia tidak ingin, akan
tetapi...
“...”
Sang bocah tersadarkan
ketika mendengar suara gesekan giginya sendiri.
“Bagus. Kalau bisa aku bisa
serahkan ini padamu?” Goblin Slayer tertanya kepada Dwarf Shaman.
“Bisa dong. Dan jangan
sampai kamu terlibat bahaya karena kamu nggak punya pembaca mantra bersamamu.”
“Tentu saja.”
“Dan traktir aku anggur
kapan-kapan.”
“Baiklah.”
Seraya sang bocah
memperhatikan, kedua pria itu melakukan percakapannya dengan cepat, seolah
mereka saling membaca pikiran masing-masing. Dia menatap mereka dengan melotot,
tidak dapat ikut bergabung dalam percakapan.
Goblin Slayer berputat
mengarah sang bocah. “Turuti apa yang dia perintahkan, jangan buat masalah, dan
jangan main-main.”
Goblin Slayer terdengar
seperti seorang kakak yang memberikan instruksi kepada adiknya. Sang bocah
hanya mendengus. Goblin Slayer tampaknya menganggap ini sebagai tanda bahwa
bocah itu mengerti, karena dia berpaling. Kemudian mulai melangkah dengan
langkah sigap biasanya.
“Hei, tunggu—!”
“Lihat aku bocah, aku yang
seharusnya kamu khawatirkan.”
Sang bpcah tidak dapat
menepis perasaan bahwa dia sedang di tinggalkan, namun Dwarf Shaman menggenggam
pundak bocah itu. Tangan kecil dan kasarnya cukup kuat hingga genggamannya
terada sakit.
“Duduklah bocah. Ada
perbedaan antara belajar dengan duduk atau berdiri. Kamu nggak akan menggunakan
kepalamu dengan cara yang dama.”
“...Baik.” dia merespon,
menambahkan pada dirinya sendiri, Aku
cuma perlu duduk huh? Dan mulai duduk di atas rumput.
Dari kejauhan terdengar
suara bersemangat dan dentingan benturan senjata. Di tambah dengan para pekerja
yang membawa alat dan bekerja.
Langit begitu biru, matahari
cukup terasa hangat hingga dapat membuat seseorang berkeringat. Sang bocah
menghela kecil.
Dwarf Shaman menyadarinya:
dia mulai duduk bersila dan menyeringai.
“Baiklah. Aku bukan
pakarnya, tapi... Berapa banyak mantra yang bisa kamu gunakan dan berapa kali
sehari?”
Itu adalah pertanyaan yang
sang bocah paling tidak ingin jawab.
“Fireball. Dan...cuma
sekali.” Dia berbicara pelan, menjulurkan lidahnya. “...Tapi kamu sudah tahu
itu kan?”
“Dasar bego.” Sebuah kepal
tinju menghajar sang bocah.
“Gah?!”
“Kamu itu benar-benar
salah.”
Sang bocah menggerutu,
memegang kepala berdenyutnya di tempat di
mana dia menerima pukulan. Bukankah pembaca mantra seharusnya lemah fisik?
Tidak, tunggu dulu, orang
ini adalah seorang dwarf. Sialan. Gerutu sang bocag. Perbedaan antara ras tidak
dapat di remehkan.
“Er,,, Errgghh. Sakit
banget... kamu bisa-bisa pecah kepalaku jadi dua!”
“Kepalanya pembaca mantra
memang seharusnya nggak keras! Mungkin lebih baik kalau kepalanya terpelah
dua.”
“...Aku kira dwarf biasanya selalu
warrior.”
“Kalau kamu nggak tahu, kami
juga seorang monk. Dan apa salahnya? Kami punya semangat dan roh yang
membantu.”
“A-aku rasa aku pernah
dengan tentang Dwarf Sage...”
“Itu Cuma dongengm” Dwarf
Shaman berkata, menghela dalam. “Dengar,” dia berkata, berbisik seolah sedang
memberitahu sebuah rahasia. “Fireball bukan satu-satunya mantra yang kamu
punya.”
“Huh?”
Sang bocah secara tiba-tiba
melupakan rasa nyeri di kepalanya, wajahnya terkejut. Tiga jari muncul di depan
matanya.
“Carbunculus—batu api. Crescunt—bangkit
atau menjadi. Iacta—tembak atau
lepaskan. Itu kan?”
“Uh.”
“Kamu mengucapkan tiga kata
kekuatan sejati itu bersama dan mereka menjadi Fireball. Paham maksudku?”
“Yeah, aku tahu itu,
tapi...”
Dia menelan sisa kalimat
yang ingin di katakannya.
Sangatlah
begitu jelas.
Mantra yang telah dia
pelajari terdiri dari tiga kata akan kekuatan sejati, di rajut bersama untuk
menciptakan satu mantra.
Itu artinya setiap kata
mengandung kekuatan. Apakah bisa lebih sederhana lagi dari ini?
Setiap kata mungkin
mengandung kekuatan yang lebih kecil dari pengucapan yang lengkap. Namin tetap
saja, siapapun yang bereaksi pada ajaran baru namun jelas ini dengan
mengatakan “Yeah, terserahlah...”
...hanyalah
seorang yang tolol.
Dwarf Shaman memperhatikan
wajah sang bocah yang menegang, di mana dirinya sendiri tersenyum lebar.
“Mantap! Sepertinya retakan pertama muncul di tengkorak kepalamu itu. Sekarang
apa implikasinya? Katakan apa yang kamu pikirkan.”
“...Ciptakan api.
Kembangkan. Lempar.”
“Kan! Sekarang kamu punya
empat pilihan.”
“Empat?”
“Kamu bisa gunakan
Fireball-mu, atau kamu bisa membakar sesuatu, atau kamu bisa membesarkan
sesuatu, atau menembak sesuatu.”
Walaupun
aku rasa menembak bola api besar masih bagian utamanya.
Sang bocah menatap telapak
tangannya. Dia menghitung dengan jarinya.
Empat...
Dia selalu percaya bahwa
Fireball adalah satu-satunya yang dapat dia lakukan—akan tetapi selama ini dia
punya empat mantra?
“Hey...”
“Hrm?”
“Apa memang sesederhana
ini?”
“Nggak mudah kalau untuk
mengganti cara pandangmu pada dunia— Yah, aku rasa bukan itu yang kita lakukan.
Kita cuma memastikan seberapa banyak kartu yang bisa kita mainkan.”
Dengan itu, Dwarf Shaman
mengeluarkan satu tumpuk kartu bermaim yang tampaknya muncul dari udara.
Apakah ini—tipuan tangan?
Jari tebal itu bergerak begitu cepat hingga hampir tidak terlihat seraya dia
membagi kartu dan menebarkannya.
“Kartu kecil tetaplah sebuah
kartu kan?”
“Ku rasa...”
“Nggak usah mengira-ngira! Mereka
tetap kartu!”
Dia menyusun tumpukannya
kembali dan kemudian, layaknya sihir, kartu itu menghilang.
Dia tidak berhenti sedetik
dalam aksi sulapnya, dan kemudian dia berbisik, “Hei bocah, apa kamu tahu
pengguna sihir yang cantik itu? Si witch?”
“....Yeah,” sang bocah
berkata, tersipu seraya dia membayangkan pembaca mantra yang seksi itu. “Aku
tahu dia.”
“Dia menggunakan inflammarae untuk menyalakan pipa rokoknya.”
“...Yang benar?”
Adalah benar-benar reaksi
jujur yang di perlihhatkan sang bocah sepanjang hari ini, dan tidak
mengherankan. Jika seseorang melakukan itu di akademi, sang professor akan memarahi
mereka.
Mantra sihir terdiri dari
kata-kata berkekuatan sejati, yang dapat megubah logika dunia dan memanipulasi
segala yang ada. Sihir bukanlah untuk di gunakan secara sembarangan—bukankah
petualang berpengalaman selalu berkata demikian?
Jangan lengah. Jangan ragu
untuk membunuh. Jangan habiskan mantramu. Dan menjauhlah dari naga...
“Pokoknya, Aku rasa kamu
mengerti kalau menggunakan mantra sesuka hati itu nggak bijaksana, tapi coba
kamu pikir.” Dwarf Shaman melipat tangannya dan membuat suara berpikir; sang
bocah masih tidak dapat memahaminya. “Anggap saja kamu kehujanan di luar, dan
kamu nggak punya batu api, dan semua bahan bakarmu kebasahan, tapi kamu harus
membuat api unggun. Di situlah saat kamu harus menggunakannya.”
“...Yeah, pastinya.”
“Tapi kalau kamu benar-benar
pintar, kamu dapat membuat api dengan cara lain dalam situasi seperti itu dan
menghemat mantramu.”
Jika kamu memngkombinasikan
ranting dan aÄ·ar pohon kamu dapat membuat sebuah api, dan ranting yang kamu
gali dari tanah sering sekali dalam
keadaan kering. Dan tergantung dari seberapa hati-hatinya kamu menumpuk kayu
bakarmu, terkadang ranting basah dapat mengering seiring api membara,
menjadikannya bahan bakar yang berguna.
Berpikir dengan otakmu
adalah cara terbaik untuk menghemat mantra. Kemampuan yang tinggi sulit di
bedakan dengan sihir.
“Satu-satunya perbedaan cuma
metode.”Kata Dwarf Shaman.
Setiap metode adalah
alternatif, dan alternatif berarti—
“Lebih banyak kartu yang
bisa di mainkan.”
“...”
“Dan satu hal lagi...” Dwarf
Shaman menghiraukan Wizard Boy, yang melipat tangannya dan bergumam. Dwarf
Shaman menarik tutup botol yang ada di pinggulnya. Sebuah bau alkohol mahal,
aroma unik dari firewine kaum dwarf tersebar. “Pekerjaan pembaca mantra bukan
untuk melantunkan mantra.”
Ucapan ini membuat sang
bocah berkedip kebingungan.
“Tapi untuk menggunakannya.”
“....? Apa bedanya?”
“Kalau kamu nggak bisa
memahaminya, kamu nggak akan bisa maju.”
Teka-teki seperti ini adalah
ujian sesungguhnya untuk menjadi seorang wizard.
Seberapa berat beban bobot ucapan
mereka yang selalu berkata bahwa mereka memiliki kebenaran?
Dan apakah terdapat nilai di
setiap kebenaran yang di miliki seseorang itu?
Oleh karena itu, seorang
wizard akan tertawa. Tertawa dan berkata, mungkin,
mungkin tidak.
“Cuma amatiran yang hanya
akan berpikir kalau wizrd itu nggak lebih dari sekedar seseorang yang
melmparkan bola api atau kilat pada musuhnya.”
Dan kemudian Dwarf Shaman
menyeringai layaknya seekor hiu.
*****
Goblin Slayer memukul sebuah
batu api, menyalan obor dengan percikannya. Aroma getah pinus bercampur dengan kelembaban
dan lumut, begitu juga dengan aroma yang mengambang di keseluruhan gua.
Hal ini tampaknya akan
membuat para goblin tersadar bahwa seorang petualang telah tiba, namun anehnya
para goblin gagal menyadari aroma dari obor ini. Aroma akan wanita atau
anak-anak akan jauh lebih memikat perhatian mereka dan memprovokasi
penyerangan.
Hipotesa Goblin slayer
adalah bahwa goblin tidak dapat membedakan aroma obor dengan keseluruhan aroma
busuk pada rumah mereka. Pada saat yang sama, dia percaya tidak ada yang hal
yang lebih baik lagi untuk menyamarkan bau metal dari armornya.
“Ugh... ini nggak adil
bangeeeeeet...”
Dan seseorang tidak boleh
lupa untuk menyamarkan aroma dari seorang elf.
Wajah High Elf Archer
belepotan dengan lumpur, dan dia mengeluh penuh pilu. Dia terlihat begitu tidaak
menyukai seraya dia menggosok lumpur di keseluruhan pakaian rangernya. Telinga
panjangnya melemas turun dengan begitu menyedihkan.
“Kenapa cuma aku
satu-satunya yang harus belepotan dengan semua ini?”
“Karena kamu akan mengundang
para goblin itu.”
Jawabannya pendek. High Elf
Archer memeluk dirinya sendiri dan merinding. Semenjak dia bergabung dengan
petualang terobsesi ini, dia telah melihat banyak korban dari “goblin yang
terundang ini.” Dia bahkan mengingat bahwa dirinya sendiri pernah hampir
terbunuh oleh mereka, sebuah posisi di mana dia tidak ingin terulang kembali.
Jika dia ingin menghindari
takdir itu, dia harus mengambil tindakan yang tepat.
Oleh karena itu, walau
terlihat menyedihkan, dia terus menggosokkan lumpur pada tubuhnya sendiri di
depan pintu masuk gua.
“Bagaimana dengan sekantung
herba yang kamu pakai waktu itu?”
“...Aku kehabisan.” Ekspreai
High Elf Archer terlihat tidak jelas, dan dia mengalihkan pandangannya
menghindari. “...duit.”
Tampaknya bahkan kaum High
Elf, yang memiliki garis darah dari Jaman para Dewa, menjadi korban akan
permasalahan sehari-hari ini. Mungkin itu adalah sebagian alasanya untuk bergabung
sebuah party yang di mana dia membasmi goblin, sebuah pekerjaan yang dia benci.
Tidak sekalipun terlintas di
pikirannya untuk berterima kasih pada Goblin Slayer.
“Seperti panahmu,” Goblin
Slayer berkata pelan. “Sangat penting untuk mengatur semua persediaanmu.”
“Aku sudah bilang, aku benci
uang!”
“Benarkah?”
“Sekali kamu pakai, uangmu
langsung melayang!”
“Iya, benar.”
“Terus uangmu nggak akan
bisa tumbuh lagi!”
“Benar.”
“Aku nggak pernah paham sama
sekali...!”
“Begitu.”
Telinga naik dan turun
marah, Goblin Slayer mendengarkan dengan tanpa ekspresi.
Apa yang terpenting baginya
adalah gambar di dinding gua yang di tinggalkan oleh para goblin. Gambar
seadanya, kartunis membentuk sebuah binatang yang tidak di ketahui dengan warna
merah kehitaman.
Dia melihat gambar itu,
memastikan bahwa apa yang di lihatnya tidak ada sangkut pautnya antara gambar
ini dengan lambangnyang sebelumnya pernah di gunakan oleh goblin paladin.
“Totem biasa.” Goblin Slayer
menggosok salah satu simbol, yang di mana di lukis dengan darah makhluk hidup.
Darah kering yang menempel di dinding, meninggalkan goresan merah pada telapak
tangannya. “Ada shaman di sini.”
“Hmm.” High Elf Archer tidak
terdengar tertarik. Dia mengambil busur yang ada di punggungnya dan menyiapkan
sebuah panah. “Berapa banyak?”
“Ku rasa kurang dari dua
puluh.” Goblin Slayer berkata, menebak jumlah polusi di dalam gua. “Kamu siap?”
“Ayo lakukan,” High Elf
Archer menjawab, membusungkan dada datarnya. “Kalau mereka berpikir bisa
menganggap remeh kita cuma karena kita berdua, mereka salah besar.”
Hanya
berdua.
Ya, kali ini hanyalah
sepasang petualang yang menantang sarang goblin: Goblin Slayer dan High Elf
Archer.
Dwarf Shaman sedang menolong
sang bocah, sementara Lizard Priest dan Priestess tampaknya memiliki urusan yang
harus di jalani bersama.
Jika berhadapan dengan dua
puluh goblin, seorang warrior dan seorang ranger bukanlah pasangan yang baik.
Namun walaupun begitu,
goblin telah muncul.
Dan dia adalah Goblin
Slayer.
Wuest kali ini sangatlah
sederhana—beberapa goblin telah muncul di tepi sebuah desa. Para penduduk desa
berpikir untuk membiarkan mereka begitu saja, namun hal ini telah membuat para
goblin berkembang biak.
Panen telah di curi. Ternak
telah di ambil. Seorang gadis yang sedang memetik herba di serang dan di culik.
Tolong,
tolong gadis itu. Hadiahnya adalah sekantung koin
berkarat, yang setidaknya berasal dari dua generasi yang lalu.
Namun tidak ada alasan untuk
menghiraukan mereka.
Kasus stereotip. Hadiah yang
meyedihkan. Namun memangnya kenapa?
Musuh adalah goblin. Alasan
apa lagi yang dia perlukan?
Goblin Slayer tentunya tidak
dapat menjawab pertanyaan itu.
“Kamu ini perhatian juga ya
Orcbolg.” High Elf Archer berkata, melirik ke belakang dengan senyuman. “Aku
sadar kalau setiap ada kemungkinan kita bisa menyelamatkan seseorang, kamu
nggak pernah menggunakan gas beracun, air, atau api.”
Tetapi, jika keadaan sudah
terlalu terlambat, atau setelah mereka sudah menolong korban itu, dia menjadi
tidak kenal ampun. High Elf Archer tertawa kecil.
“Ini, ambil ini. Sesuatu
buat isi perutmu.”
Sang archer melempar sesuatu
: beberapa dari makanan rahasia para elf, camilan gorengan kecil.
High Elf Archer sendiri
sedang mengunyah beberapa camilan layaknya seekor tupai atau binatang kecil
lainnya. Helm Goblin Slayer berputar mengarahnya.
“Setiap bersamamu...”
“Apa?”
“Setiap bersamamu, keadaan
selalu ramai.”
“...Apa itu pujian?” Dia
melotot kepada Goblin Slayer penuh curiga, mengintainya layaknya seekor burung
kecil. Dia menatap penutup helm itu, telinganya melemas seiring dengan alisnya
dalam sesaat. “Itu bukan caramu untuk mengatakan kalau aku perlu tutup mulut
kan?”
“Ucapanku nggak mempunyai
arti lain.”
“...Yah.” Berputar dengan
tumit sebagai tumpuan, rambutnya berayun di belakang kepalanya layaknya sebuah
ekor.
Dia melangkah masuk ke dalam
gua, bebas bagaikan angin, namun tetap saja...
“Heh-heh!”
Telinganya mengepak bahagia,
sesuatu yang dapat terlihat dengan begitu jelas bahkan dari belakangnya.
Tentu saja, mereka berdua
tidak sesantai seperti yang terlihat. Seseorang yang bukan pemula akan
mengetahui bahwa mereka berada di dalam wilayah musuh.
Goblin Slayer memasukkan
camilan goreng ke dalam helmnya, menarik pedangnya seraya dia mengunyah.
Indra tajam High Elf Archer
menyebabkan telinganya menyentil setiap kali dia mendengar suara.
Percakapan ringan
itu—sekalipun High Elf Archer yang selalu mengoceh—adalah cara mereka menjaga
kewarasan mereka.
Sebuah bukti datang dalam
beberapa saat, ketika High Elf Archer tiba-tiba berhenti.
“Mereka cepat.”
“Yeah, tapi aku nggak merasa
kalau mereka memperhatikan kita.”
Mereka tidak perlu berkata
apapun. Goblin Slayer sudah menyiapkan senjatanya, dan High Elf Archer menarik
busurnya.
“Kalau kamu menculik gadis
muda, sudah sewajarnya kalau petualang akan datang.”
Pertarungan antara goblin
dan petualang sudah berlansung sejak dahulu kala. Melewati beberapa jaman,
bahkan para goblin-pun dapat mempelajari sesuatu: petualang akan datang.
Mereka selalu datang dan
membunuh apa yang menjadi hak milik para goblin. Oleh karena itu, para goblin
akan membunuh mereka.
Merenungkan perbuatan mereka
sendiri adalah sesuatu kegagalan yang membuat goblin, goblin.
“Arah mana?”
“Kanan.” High Elf Archer
menutup matanya, telinganya mengepak. “Lima atau enam, mungkin. Aku juga
mendengar beberapa senjata.”
“Di depan bagaimana?”
“Nggak ada untuk saat ini.”
Dengan kata lain, tidak ada
usaha untuk mendesak mereka dalam serangan dua arah. Goblin Slayer mendengus,
kemudian memegang pedangnya secara terbalik, mengangkat pedangnya dan mengambil
kuda-kuda.
“Mereka selalu berpikir
kalau sergapan itu adalah kemampuan yang hanya mereka miliki.”
Dalam detik berikutnya,
Goblin Slayer menghajar pedangnya pada dinding gua seolah sedang memotong kayu
bakar.
“GROOOORB?!”
Tanah, yang telah
tercungkil, longsor dan menghujani terowongan samping. Para goblin penggali
membuka matanya lebar, benar-benar terheran.
Mereka seharusnya mengepung
petualang bodoh ini, menghajar mereka, mempermalukan sang wanita, membuat sang
wanita mengandung anak—
Goblin Slayer mendaratkan
hantaman lain pada kepala sang makhluk, mengakhiri rencananya—dan nyawanya.
“Satu. Kita serang mereka
dari arah ini. Ayo.”
“Tempatnya sempit banget.
Sulit buat menembak.” Tentu saja, walaupun dia mengeluh, High Elf Archer menembakkan
tiga panah secara bersamaan melewati pundak Goblin Slayer, menembus tiga
goblin.
“GROR?!”
“GOOBBR?!”
Satu terkena panah pada
tenggorokannya; monster yang berada di kedua sisinya terkena di matanya, satu
di kiri, satu di kanan. Mereka tumbang, dan Goblin slayer menghajar mayat
mereka.
“Empat...”
Sebuah pedang berlumur otak
hingga ke hulunya tidak akan banyak berguna. Dia menendang seekor goblin yang
sekarang mempunyai pedang yang mencuat dari tenggorokannya, mengambil sekop
yang di gunakan monster itu sebagai senjata.
“...Lima.”
Goblin kelima menyerangnya,
dia menghalau serangan dari beliung monster itu, dan dalam gerakan yang sama, menghajar
wajah goblin dengan obor yang dia pegang pada tangan perisainya.
“GROORRORBRO?!”
Terdengar suara desisan akan
daging busuk terbakat. Goblin Slayer memperhatikan monster yang menjerit itu
dengan wajahnya yang terbakar. Sergapan yang gagal secara cepat atau lambat
akan di sadari goblin lainnya. Namun jeritan itu mempercepat prosesnya.
Goblin slayer tidak kenal
ampun: dia membenamkan sekop pada leher goblin itu.
“GROORB!!”
Goblin terakhir meraung
walaupun masih belum terjadi apa-apa pada dirinya. Dia melempar golok yang
selama ini di pegangnya dan mengangkat tangannya ke atas kepala. Meringis dan
tersedu, dia bersujud di hadapan para petualang.
Makhluk
yang kita lewatkan di mausoleum?
Goblin Slayer melepaskan
obor yang patah dan mengambil golok bernoda hitam kemerahan. Dia memasukkannya
ke dalam ikat pinggangnya, mengeluarkan obor baru, dan menyalakannya dengan api
obor lama.
“Kalau begitu, sekarang.”
“GOR?!”
Goblin Slayer memberikan
sebuah tendangan pada sang makhluk; makhluk itu menjerit dan terguling. Namun
dengan cepat kembali mengambil posisi bersujud menyedihkannya, mengesekkan
kepalanya pada tanah.
Dia sedang memohon untuk di
ampuni. Apakah dia memiliki kecerdasan yang cukup? Apakah fia sedang
mengkalkulasi keputusan terbaiknya? Apakah dia memiliki niatan untuk menyerah?
Jika di lihat pada posisi
makhluk itu yang berada di belakang grup, mungkin makhluk ini mempunyai status
tertentu di antara para goblin.
Namun juga, makhluk itu
adalah yang paling kecil. Anak kecil, mungkin...?
“Orcbolg...”
“Ya.”
Suara High Elf Archer
bergetar. Goblin Slayer mengangguk tak bersuara.
Sang goblin muda sedang
mencoba menarik sebuah belati beracun dari ikat pinggangnya.
Di sekitar lehernya terdapat
sebuah kalung.
Sebuah kalung yang dia
dapatkan dengan mencuri.
Benda yang ada di kalung
tersebut telah di tusuk dengan sebuah jarum dan di jahit menjadi satu. Benda
itu telah di potong dengan sebuah golok. Sepuluh jari segar dari seorang wanita
muda.
Bagi goblin ini yang
meringis dan memohon, seraya menyembunyiksn sebuah belati dinpunggungnya,
Goblin Slayer hanya mempunyai satu hal untuk di ucapkan.
“Kita bunuh mereka semua.”
*****
“Kalau di pikir-pikir...”
“Hmm?”
“Ini mungkin pertama kalinya
kita berdua saja.”
“Ah, benar, Saya rasa anda
benar tentang itu.” Lizard Priest berkata, ekornya berayun pelan.
Adalah siang hari di tempat
latihan. Walaupun fasilitas ini baru setengah selesai, tempat ini masih
terpapar dengan alam.
Petualang pemula, begitu
juga dengan para pekerja, berkumpul di sini dan di sana pada rerumputan,
memakan makan siang mereka.
Tidak ada jaminan bahwa
makanan akan di siapkan untuk mereka, dan walaupun di siapkan, aktifitas fisik
membuat tubuh menjadi lapar.
“Bahkan dewa dan roh
sekalipun tidak dapat menyembuhkan perut yang kosong,” Lizard Priest berkata.
“Sepertinya kamu lupa
tentang keajaiban Create Water dan Create Food.” Priestess berkata.
Walaupun
aku sendiri belum punya keajaiban itu.
“Ho-ho,” Lizard Priest
tertawa menghargai. “Jika saya berpindah agama, maka mukjizat yang saya terima
juga akan berubah.”
“Itu benar. Walaupun aku
rasa aku nggak bisa melakukan doa lagi hari ini...”
Mengapa mereka berdua datang
ke tempat berlatih ini? Jawabannya adalah berlatih, di tambah dengan melaakukan
beberapa penyembuhan.
Bukan hanya petualang yang
kurang berpengalaman yang rentan akan resiko dalam latihannya. Orang-orang yang
bekerja pada bagian konstruksi fasilitas ini juga mempunyai resiko yang lebih
berbahaya.
Memear dan luka gores, tentu
saja dapat di rawat dengan P3K sederhana, namun tulang patah dapat memberikan
pengaruh besar dalam proses konstruksi. Memanggil dewa untuk mendapatkan Minor
Healing dapat membuat keadaan menjadi berbeda.
Dengan itu, kedua cleric
duduk di pinggiran lapangan untuk menyantap makanan mereka.
Priestess duduk dengan lutut
yang tertutup rapat dan membuka bungkusan makan siangnya. Adalah roti dan keju,
bersama dengan anggur yang telah di campur air dan beberapa buah kering.
“Wah,” kata Lizard Priest,
mengintip pada bekal gadis iti dari tempat dia duduk bersila. “Apakah itu akan
cukup untuk anda?”
“Ya,” Priestess menjawab.
Ini bukanlah diet; dia hanya memilih untuk tidak terlalu banyak makan. “Aku,
ahem—“ Dia memalingkan wajahnya dari sang lizard, pipinya menjadi sedikit
merah. “Sepertinya berat badanku sedikit naik semenjak jadi petualang.”
Lizard Priest membuka rahang
besarnya dan tertawa. “Ha-ha-Ha-ha-ha-ha-ha! Jangan takut! Tentunya itu berasal
dari otot yang terbentuk.”
“Aku rasa mungkin itu karena
banyak banget makanan enak yang bisa di makan di kota ini...”
“Gadis kecil, saya rasa
sedikit tambahan daging pada tulang anda akan sangat baik sekali. Anda terlalu
kurus.”
“Kepala Priestess juga
berkata hal yang sama...”
Pada umur tertentu, bahkan
gadis cleric-pun resah akan hal seperti ini. Dan banyaknya wanita menarik di
sekelilingnya seperti Gadis Sapi, Gadis Guild, dan Witch, semakin memperburuk
perasaannya.
Priestess menghela kecil dan
kemudian menawarkan sebuah doa ucapan terima kasih atas makanannya kepada
Ibunda Bumi.
Sedangkan Lizard Priest,
membuat sebuah gerakan aneh pada telapak tangannya dan membuka sebuah kantung
yang terbuat dari kulit binatang.
“Oh,” Priestess berkata.
Matanya sedikit melebar, dan kemudian dia tersenyum lembut. “Roti lapis ya?”
“Heh-heh-heh-heh-heh.”
Lizard Priest menyeringai
lebar dan kemudian memutar matanya dan mengangkat roti lapisnya dengan bangga. Roti
itu terdiri dari potongan roti tebal yang di oles mentega, dan beberapa potong
daging tipis.
Akan tetapi, apa yang
terlihat begitu menonjol adalah, keju yang begitu banyak, begitu melimpah
hingga roti itu hampir tidak sanggup menampungnya. Keju itu benar-benar
mengubur daging yang ada; tampak jelas bahwa kejunitu merupakan bintangnya di
sini. Merupakan roti lapis yang benar-benar berbeda dari yang biasanya, yang di
mana daging merupakan komponen utama dan keju sebagai tambahan.
“Bahan favorit saya, di susun
sesuka hati saya. Inilah kebebasan yang sesungguhnya.” Dia terdengar begitu bahagia,
dan Priestess tidak dapat menahan senyumnya.
“Aku rasa aku dapat memahaminya...”
“Mm. Makanan adalah budaya, seseorang
akan benar-benar membutuhkan peradaban muhtakhir untuk dapat menghasilkan ini.”
Seraya dia berbicara, Lizard Priest menggigit roti lapis itu. Setengah telah
menghilang dalam satu gigitan; gigitan keduanya, roti itu menghilang.
“Ahh madu! Sungguh lezat!”
“Heh-heh. Kamu benar-benar
suka keju ya?”
“Benar. Ini membuat saya
sungguh bersyukur karena telah berpergian ke dunia manusia.”
Smack,
smack. Ekornya memukul tanah sebagai tanda
kegembiraannya. Priestess mengamati pergerakannya.
Dia membuka mulutnya
sendiri, tidak lebih lebar di banding Lizard Priest, dan mulai menggigit
rotinya. Seraya dia mengunyah, sensasi kacang mengisi keseluruhan mulutnya. Di
iringi dengan anggur yang di minumnya.
“Makanan seperti apa yang
kamu makan di kampungmu?” Priestess bertanya.
“Kami adalah warrior dan
hunter. Kami memakan burung atau binatang yang kami tangkap.” Setelah
menghabiskam roti lapis pertamanya, Lizard Priest menggapai roti keduanya. “Warrior
muda makan bersama dengan warrior muda, sedangkan mereka yang lebih
berpengalaman makan dengan sederajat dengan mereka. Dan para petinggi bersama
dengan petinggi lainnya.” Menggenggam roti dengan satu tangan, dia menepuk
rumput dengan tangan sebelahnya. “Kami makan di tanah atau lantai seperti ini.”
“Kalian nggak makan
bersama?”
“Jika seorang raja atau
jendral mendatangi para prajurit biasa, bagaimana mereka bisa bersantai?”
“Begitu.”
“Namun berbeea halnya dengan
pesta. Jika kami meraih kemenangan dalam pertarungan, api akan di nyalakan di
pusat desa kami, dan semua orang akan duduk bersama.”
Dalam pikirannya, Priestees
dapat membayangkan sebuah pemandangan dari lahan yang belum pernah di
kunjunginya. Para lizardmen yang berkumpul pada kaki pohon besar di dalam hutan
hujan, mengangkat gelas dan meminum anggur mereka, merayakan bersama.
Di tengah-tengah semua itu, binatang liar besar meraung, warrior
pemberani memotong bongkahan daging dan berteriak. Entah mengapa, salahn satu dari lizardman itu kini
sedang begitu menikmati keju... namun kemungkinan itu hanyalah imajinasi detil
dari Priestess.
Walaupun seperti itu...
“Sepertinya ramai banget.”
“Benar sekali,” Lizard
Priest berkata penuh percqya diri. “Terkadang kami juga mencari jagung atau
kentang...”
“Ooh. Kentang cocok di
padukan dengan keju loh.”
“Oh-ho!” Lizard Priest tiba-tiba
condong ke depan, matanya berbinar dan rahangnya terbuka. Tidak heran mengapa
Priestess sedikit menarik tubuhnya mundur dengan jeritan ketakutan.
“Saya ingin mendengar lebih
banyak tentang hal itu!”
“Er, yah, Aku—dulu waktu di
Kuil, aku sering memasak keduanya bersama...”
Potong kentang, campur dengan
susu, tepung, dan mentega, kemudian taburi dengan keju di atasnya dan panggang
di dalam oven. Hasilnya adalah makanan lezat untuk festival di musim dingin
atau perayaan apapun.
“Semua orang berkumpul di
aula utama, berdoa dan makan bersama.”
“Sungguh sempurna...!”
Resep dan makanannya, yang
di maksud lizard itu.
“Berbagi santapan dengan
sesamanya,” Lizard Priest berteriak, “adalah untuk memperkuat hubungan satu
sama lain.”
“Ya,” Priestess mengangguk,
tersenyum. Kemudian dia teringat sesuatu dan memiringkan kepalanya menggarah
sang lizard. “Oh, kalau kamu mau, kita bisa masak bersama kalau ada kesempatan.”
“Mm, saya tentu saja.”
Lizard Priest membalas.
Itulah di mana ketika sebuah
suara riang terdengar di telinga mereka: “Hei, kayaknya kalian punya sesuatu
yang enak untuk di makan di sana!”
Priestess melihat pada arah
suara itu. Hal pertama yang di lihatnya adalah sepasang telapak kaki telanjang.
Kecil namun berotot, telapak itu berujung pada sebuah kaki yang tertutup dengan
celana pendek, dan kemudian baju tipis. Gadis itu sedang kepanasan dan
berkeringat, menarik-narik kerahnya untuk membiarkan angin masuk. Adalah Rhea
Fighter.
“Roti lapis? Enaknya! Aku
boleh coba?”
Dengan dengusan, Lizard
Priest melempar sisa makanannya ke dalam mulutnya, mengayunkan ekornya dengan
mengintimidasi seraya mengunyah.
“Di antara ajaran yang telah
saya pelajari, tidak ada yang mengajarkan untuk membagi santapanmu.”
“Aww...”
Sang rhea tidak terlihat
kecewa, dan kemudian Lizard Priest memutar mata di kepalanya.
“Yah, bukan berartinaku
nggak membawa makan siangku sendiri sih!” gadis itu berkata. “Aku boleh
gabung?” Dia tertawa dan mengangkat sebuah bungkusan di tangannya. Bungkusan
itu terbungkus dengan rapi menggunakan kain merah dan terlihat begitu besar.
Priestess yang sedang
mengunyah beberapa kacang kering manis, menelannya dan mengangguk. “Oh, iya.
Aku nggak keberatan.”
“Saya juga demikian.”
“Kalau begitu aku nggak
sungkan-sungkan!” Sang rhea gadis duduk pada rumput di samping mereka, sibuk
membuka bungkusan makan siangnya. Adalah tumpukan serabi yang lembut, di masak
hingga berwarna coklat keemasan. Masing-masing dari serabi itu sebesar wajah
seseorang, dan terdapat satu, dua, tiga, empat—lima!—serabi.
Jika mengingat ukuran tubuh
seorang rhea, makanan ini sangatlah cukup untuk mengisi penuh perut seorang
dwarf.
Dia mengeluarkan sebuah
botol dan membukanya, menuangkan madu tebal dan kental di atas serabinya,
kemudian dia mulai memakannya.
Priestess mendapati dirinya
berkedip. “Kamu lahap juga ya?”
“Kami makan lima atau enam
kali sehari!” tapi nggak bisa makkan
sebanyak itu selama berpetualang sih... gadis itu menjilat jarinya yang
lengket dengan madu. “Jadi aku harus makan yang banyak supaya aku nggak
kelaparan sampai makan selanjutnya!”
“Ha-ha#ha...” Priestess
tertawa kering. Priestess merasa bahwa rhea itu makan sama banyaknya di setiap jadwal
makannya.
“Ngomong-ngomong,” Priestess
berkata, “Kamu sendiri saat ini kan?”
“Iya. Makanya aku berencana
untuk mungkin berburu tikus atau semacamnya.”
Membersihkan tikus raksasa
dari saluran air adalah tugas dasar dari petualang pemula. Bukan berarti itu
adalah pekerjaan yang terkenal—orang-orang merasa bahwa itu tidak memiliki rasa
petualangan yang cukup. Tidak seorangpun yang menjadi petualang hanya untuk
bertarung dengan tikus yang berukuran besar. Mereka ingin bertarung dengan
monster mengerikan, mengarungi dungeon, dan mendapatkan jarahan harta karun.
Itulah arti dari petualangan.
Namun itu bukanlah sesuatu
yang dapat di lakukan dengan mudah seorang diri.
“Di tambah lagi, tempat ini
penuh dengan warrior pemula.” Bukan party
untukku. Dia tertawa.
Tidak peduli seberapapun
baiknya untuk bergabung dengan beberapa orang yang akrab denganmu dan pergi
berpetualang bersama, sangatlah pedih ketika kamu di tinggalkan seorang diri.
Kalau
bukan karena Goblin Slayer...
Apa yang akan terjadi kepada
Priestess?
Itulah apa yang di benak
Priestess.
Adalah sebuah hal yang aneh.
Jika ketiga orang itu tidak memanggilnya pada hari itu, di manakah Priestess
saat ini akan berada?
Jika dia tidak pergi
berpetualang bersama mereka, dia tidak akan berada di sini sekarang.
Adalah karena petualangan
itu, dan semua pertarungan sesudahnya, yang semakin bertambah dari hari ke
hari. Keputusan kecil yang dia buat, satu persatu, telah membimbingnya hingga
sampai di tempat ini.
“Um...” Pikiran itu telah
membuat sebuah ucapan terlepas dari bibir denggan sendirinya. “Kalau kamu mau,
bagaimana kalau kamu...coba berpetualang bersama kami?”
“Berpetualang?” Sang rhea
melihat mereka, sedikit terkejut. “Bagaimana dengan teman berarmormu itu,
Goblin Slayer atau apalah? Rasanya aku nggak ada lihat dia di sekitar sini hari
ini...”
“Oh, umm...”
“Saat ini,” Lizard Priest
berkata, condong ke depan dan membantu Priestess yang lidahnya terbelit, “Untuk
dapat meningkatkan tingkatannya, gadis ini harus mendemonstrasikan
kemampuannya, oleh karena itu saat ini beliau sedang mencari rekan
berpetualang.” Seraya sang lizard berbicara, dia mengunyah dan menelan roti laoisnya.
“Kemungkinan besar, kita
cuma akan bersama untuk satu quest...” Priestess berkata memohon maaf.
“Hmm.” Rhea Fighter melipat
tangannya dan melihat di kejauhan.
Pemula pemula terkadang di
sebut dengan “massa,” dan dalam grup itu, manusia dan dwarf warrior sangatlah
banyak. Banyak dari mereka yang kuat dan tangguh, karena mereka berlatih keras
ataupun karena terlahir kuat.
“Aku peringatkan kamu, aku
ini bukan sesuatu yang spesial,” Rhea Fighter berkata dengan senyuman tipis.
Benar, dia berlatih, namun dia mengangkat salah satu lengannya untuk
membuktikan bahwa lengannya masih lebih kecil di banding seorang dwarf atau
manusia. “Aku ini Cuma seorang rhea. Aku nggak perlengkapan yang bagus. Dan aku
cuma seorang warrior.”
Armor kulit. Pedang dan
perisai. Perlengkapan yang cukup bagus, namun tetap saja berukuran kecil.
Jika di nilai dari kemampuan
dan kekuatan dan perlengkapan, kemungkinan terdapat banyak warrior yang lebih
baik dari dirinya.
“Kamu yakin sama aku?”
“Ah, tetapi,” Lizard Priest
berkata, mengangguk serius, “Anda mempunyai keberuntungan.”
“Keberuntungan...?”
“Anggap saja hubungan saling
menguntungkan dengan takdir, benar?”
“Benar banget!” Priestess
menyetujui Lizard Priest dengan cepat. Priestess membusungkan dada kecilnya
sebaik yang dia bisa. “Seperti saat kamu bertanya kepada kami tentang potion
kami? Karena itu...!”
Karena
itu aku bertanya padamu.
“Huh, jadi kamu ingat itu?”
Rhea Fighter berkata dan memgangguk. “...Yah, baiklah kalau begitu. Tapi ku
kasih tahu ya, aku rasa ini akan sedikiiiiiiit sulit kalau cuma kami dan aku.” Jadi—dia mengepal kedua tangannya dan
mengangkatnya tinggi. “Ayo undang yang lainnya juga! Serahkan saja padaku—aku
punya ide bagus!”
“Oh, aku ikut juga!”
Di kala ide itu muncul di
kepalanya, Rhea Fighter bergerak dengan cepat. Dia berlari layaknya seekor
kuda; Priestess dengan terburu-buru mengikutinya.
Seraya sang rhea berlari,
Priestess berputar dan menundukkan kepala kepada Lizard Priest.
Priestess sangat menyadari
bahwa cleric naga tersebut sudah merencanakan semua ini demi dirinya.
Satu tahun telah berlalu
semenjak mereka berempat menjadi party.
Lizard Priest memberikan
lambaian menyemangati seolah mengatakan, Tidak
perlu di pikirkan, dan Priestess mengangguk kepadanya kembali.
“Heiii, ayo! Semuanya akan
mulai latihan lagi kalau mereka selesai makan!”
“Baik! Oke! Maaf, dan terima
kasih...!”
“Yaaah!” jauh di depan
Priestess, Rhea Fighter memberikan bocah berambut merah sebuah tendangan.
Ketika Priestess berhasil
menyusul, dia menundukkan kepala berkali-kali dan menjelaskan apa yang terjadi.
Dwarf Shaman tertawa terbahak-bahak. Dalam jeda itu, Rhea Fighter menemukan
sasaran berikutnya, dan berlari mengarah Rookie Warrior dan Apprentice Cleric.
Apprentice Cleric memprotes
karena mereka sedang di tengah-tengah makan siangnya, ketika Priestess dan
Wizard Boy datang, sekaali lagi menundukkan kepala dan meminta maaf.
“Ahh, keberuntungan adalah
berkah, dan berkah adalah keberuntungan.” Lizard Priest berkata dengan riang
seraya dia makan dan memperhatikan apa yang terjadi.
Mereka telah bersama selama
satu tahun penuh. Dia sudah sangat memahami sikap gadis itu dengan kebaikan
hatinya.
Baiklah.
Kepalanya berpikir seraya
dia menyelesaikan roti lapis terakhirnya.
Bagaimana
dengan berkah tuanku Goblin Slayer, fanatik aneh pemimpin party kami?
*****
Cuit,
cuit, cuit, cuit, cuit, cuit.
Gadis Sapi terbangun dari
tidurnya karena cuitan kenari.
“Hrn... Hmm? Hmm?”
Dia menggosok kedua matanya
dan berkedip beberapa kali. Dia meregangkan tubuhnya dan menyadari bahwa dia
sedang duduk di kursi pada meja makan. Dia pasti sedang merebahkan tubuhnya di
atas meja dan kemudian ketiduran.
Matahari sudah terbenam,
membuat ruangan ini redup; satu-satunya cahaya adalah cahaya samar dari bulan
kembar.
Di atas meja adalah segelas teh
hitam, yang sudah menjadi dingin.
Dia pasti ketiduran menunggu
prianitu.
“Hmm... paling nggak, nggak
ada bekas bantal,” dia berkata, memijat pipinya yang kaki. Seraya dia
melakukannya, sebuah selimut terjatuh dari pundaknya.
Pamannya pasti meletakkannya
di pundak Gadis Sapil walaupun sekarang awal musim semi, malam masihlah terasa
dingin. Gadis Sapi mengambil selimutnya dan melipatnya.
“Aku harus berterima kasih
pada paman.”
Seraya dia melakukan ini,
sang kenari masih terus bercuit dengan berisik, mengepakkan sayapnya di dalam
sangkar. Gadis Sapi dengan cepat menyalakan lilin, memasangnya di tempat lilin
dan berjalam mendekati sangkar.
“Kenapa? Kamu kedinginan?
Atau lapar?”
Nada yang dia ucapkan,
seolah seperti sedang berbicara dengan anak kecil, kemungkinan adalah hal yang sewajarnya.
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat ke dalam sangkar; sang kenari
memiringkan kepalanya dan menatap balik.
Gadis Sapi dapat melihat
bayangannya sendiri dengan pakaian malamnya dalam pantulan kaca jendela.
Mungkin
aku harus tidur di kamar.
Pikiran itu sangatlah masuk
akal, namun dia merasa tidak ingin melakukannya.
Mungkin
aku harus mulai pergi bersama dia...
Dia melangkah menuju
jendela, menopang dagu dengan tangannya dan menghela.
Tidak, mustahil. Adalah
sebuah fantasi yang akan hancur di setiap detiknya.
Benar, Gadis Sapi cukup
berotot—walaupun dia tidak ingin mengakuinya, tubuhnya mempunyai bentuk yang
lebih baik di banding gadis seumuran dengannya. Namun walaupun begitu, itu
bukan berarti dia dapat menggunakan senjata atau mengjadapi para monster.
Dan kemungkinan besar, jika
dia mulai berpergian ke berbagai tempat juga, mungkin pria itu tidak akan
kembali pulang lagi...
“...Whoa, jangan besar
kepala dulu.” Gadis Sapi tidak dapat menahan tawa kecilnya.
Kemudian terjadilah: dengan
suara decitan dan gesekan, pintu terbuka. Udara malam masuk menghembus ke
dapam, bersama dengan sroma aneh. Sebuah aroma akan besi. Lumpur dan keringat
dan debu, bersama dengan darah.
Bahkan tanpa melihat
sekalipun, Gadis Sapi mengetahui dengan segera: itu adalah bau pria itu.
“Selamat pulang!”
“...Aku pulang.”
Balasan dari suara lemah
lembut sang gadis, adalah datar dan mekanikal.
Pria itu menutup pintu di
belakangnya seraya dia masuk, mencoba untuk tidak membuat suara. Namun suara
itu masih terdengar cukup nyaring. Gadis Sapi berputar, tersenyum lembut, dan helm
pria itu menggeleng penuh ragu.
“Kamu masih bangun selama
ini?”
“Nggak. Aku baru bangun.”
“Apa aku membangunkanmu?”
“Nggak, nggak. Nggak usah di
pikirkan. Sesuatu membangunkanku di saat yang tepat.” Dia menunjuk pada sangkar
burung dan menambahkan, “Ya kan, burung kecil?” yang di mana sang kenari
membalas, cuit!
“Burung ini sesuatu banget.
Dia tahu kamu pulang bahkan sebelum kamu masuk.”
“Hmm.” Dia mendengus,
menarik sebuah kursi dan duduk dengan kasar. Gadis Sapi berpikir bahwa
setidaknya dia dapat melepaskan senjata dan armornya, namun Gadis Sapi tidak
mengatakan apapun. Gadis Sapi menjauh dari jendela, mengambil sebuah celemek
yang menggantung di dapur dan memakainya.
“Makan malam?” dia bertanya,
melirik dari balik pundaknya kepada pria itu seraya dia mengikat ikatan celemek
di punggungnya.
“Hmm,” pria itu membalas,
dan kemudian, “Ya, tolong.” Akhirnya, dia menambahkan pelan, “Apa saja nggak
masalah.”
“Aku punya rebusan yang
sudah siap.”
Setelah beberapa saat, “...Benarkah?”
dia menjawab dengan anggukan.
Butuh waktu untuk menyalakan
api oven dan menghangatkan rebusan.
“Oh, coba kamu bersihkan
armormu sedikit.”
“Begitu?”
“Yeah. Ada handuk di sebelah
sana yang bisa kamu pakai.”
“Ah.”
Dia menuruti dan mulai
membersihkan noda-noda dari helm dan armornya, walaupun pergerakannya cukup
sembrono. Tentu saja, noda itu tidak akan hilang hanya dengan sedikit gosokan,
namun itu cukup untuk membuat Gadis Sapi puas.
Ketika Gadis Sapi meletakkan
rebusan di depannya, pria itu mulai memasukkan isi rebusan itu ke dalam helmnya
seperti orang kelaparan.
Adalah musim semi, dan tidak
perlu lagi untuk membuat makanan panas, akan tetapi Gadis Sapi masih tetap
membuat rebusan. Benar, sangat sederhana.
“Akhir-akhir ini sering
banget ya?”
Gadis Sapi duduk di
seberangnya, menopang kepalanya dengan kedua tangan di pipi.
“Apanya?”
“Kamu pergi keluar.” Gadis
Sapi mengambil sebuah kain lap dan mencondongkan tubuhnya di atas meja,
mengelap sedikit rebusan yang mengotori helm pria itu. “Semuanya melawan
goblin—atu, yah, kurasa kamu punya tempat latihan itu juga sekarang.”
“Ya.”
“Apa kamu sibuk?”
“...Nggak.” Goblin Slayer
menjawab setelah beberapa saat. Helmnya miring seolah dia tidak begitu yakin.
“...Entahlah.”
Hmmm.
Gadis Sapi, tertawa kecil. “Kamu nggak mau mereka
membangun sesuatu di sana kan?”
Tepat sasaran. Sendok pria
itu berhenti di tengah jalan dari mulutnya. “Itu bukan...berarti juga aku nggak
mau mereka melakukannya.”
Hrrrm.
Pria itu mencoba bertingkah seperti sedang berpikir.
Bahasa tubuhnya tidak
berubah sedikitpun dari ketika mereka masih muda. Dia selalu kesulitan untuk
menyembunyikan kenyataan jika dia sedang kesal.
“Rasanya sepi, kan?”
“...”
“Dan kamu khawatir tentang
gadis itu, kan?”
“....”
“Kamu khawatir, tapi kamu
nggakntahu cara yang bagus untuk menolongnya.”
“.....”
“Dan di saat seperti ini,
para goblin akan siap dengan rencana mereka...”
“.......”
“Kamu selalu cemas ketika
kqmu nggak melakukan apapun.”
Dia meletakkan sendok di
tangannya, masih terdiam. Kemudian dia menghela dalam dan berbicara. “...Kamu
paham aku sekali.”
“Sudah seharusnya. Kita
sudah bersama selama bertahun-tahun.” Akhirnya, Gadis Sapi tidak dapat menahan
tawanya, dan dia berkedip pada pria itu.”
Dari dalam helmnya,
tatapannya terpaku pada Gadis Sapi. Hal itu membuat Gadis Sapi duduk lurus di
kursinya.
“Apa kamu nggak kepikiran
dengan semua itu?”
Pertanyaannya singkat, namun
kemungkinan hanya Gadis Sapi satu-satunya yang dapat memahami apa yang di pikirkan
pria itu ketika dia bertanya. Bahkan, Gadis Sapi sendiri tidak yakin apakah dia
benar-benar memahami pria itu.
Akan tetapi, pamannya,
bukanlah penduduk desa kecil itu. Yang tersisa dari desa itu hanyalah mereka
berdua.
“Aku nggak...bilang kalau
aku nggak kepikiran.”
“...”
“Aku ingat...bermain di
danau dan hal lainnya.”
Gadis Sapi mmengingatnya.
Suara akan orang tuanya, di
dalam rumah bata kecil mereka.
Kehangatan bersahabat
dinding batu yang memanas setelah seharian di sinari matahari.
Hembusan angin pada wajahnya
di kala dia berlari di jalan kecil melewati desa, suara cangkul orang dewasa
seraya mereka bekerja di sawah.
Decitan ember usang di kala ember
itu di tarik naik, penuh dengan air dingin.
Pohon kecil yang berdiri
dinatas bukit, dan akan bagaimana jantungnya berdebar di kala dia
menyembunyikan harta karun di dalam rongga pohon itu.
Perasaan yang dia rasakan
ketika mereka berdua menyaksikan merah matahari terbenam yang terbentang di
kejauhan horison.
Akan bagaimana rumput
menggelitik punggungnya di kala dia berbaring di tanah, menatap dua bulan
hingga tengah malam.
Rasa sakit dari tamparan
amarah ayahnya ketika Gadis Sapi pulang telat. Kesepian di atas loteng di mana
dia mengurung diri karena merasa marah.
Akan bagaimana aroma sarapan
pagi buatan ibunya, aroma yang mengambang sampai ke hidungnya bahkan ketika dia
tertidur di loteng.
Gadis Sapi mengingat
semuanya.
Adalah sebuah dunia yang sudah
tidak ada lagi di manapun, terkecuali di dalam hatinya dan pria itu.
“Tapi aku mulai kepikiran,
mungkin semua memang harus terjadi.” Gadis Sapi tersenyum lemah. “Jalannya
kehidupan memang seperti itu kan? Dunia terus berputar, kita terus melanjutkan
kehidupan. Angin terus berhembus dan matahari terus terbit dan terbenam.”
Fwip,
fwip. Gadis Sapi membuat lingkaran di udara dengan
jari telunjuknya.
Masa itu telah begitu lama
berlalu, akan tetapi semua itu masih terasa tidak begitu lama.
Sepuluh tahun, sebelas.
Waktu yang cukup untuk anak kecil tumbuh. Mencari tempat untuk perubahan.
Begitu pula dengan kota, orang-orang, dan segalanya.
Segala yang ada di dunia
terus berlanjut, berubah, tidak pernah berhenti. Begitu pula pikiran dan
ingatan.
Apakah ada sesuatu yang
tidak berubah? Mungkin perubahan itu sendiri yang tidak berubah sama sekali.
Aku
nggak yakin kalau perubahan itu bagus atau nggak.
“Itu artinya yang kita perlu
lakukan adalah menerimanya.”
“...Benarkah?”
“Ya benar.” Gadis Sapi
mengangguk seolah ingin menekan maksud ucapannya. “Aku yakin.”
“Begitu.”
Hanya itulah yang di
ucapkannya; kemudian dia terdiam.
Banyak hal besar yang telah
terjadi, dia berpikir.
Satuntahun—satu tahun telah
berlalu semenjak dia pergi dalam petualangan itu untuk menyelamatkan gadis
priestess itu, atau lebih tepatnya, membunuh goblin.
Dia telah bertemu dengan
High Elf Archer, Dwarf Shaman dan Lizard Priest. Dia telah bertarung melawan
monster yang namanya tidak dapat dia ingat.
Dia telah melakukan
pertarungan melawan pasukan goblin yang menyerang kebun. Spearman, Heavy
Warrior, dan banyak orang lainnya telah membantunya meraih kemenangan.
Kemudian terdapat goblin
yang muncul di saluran air di bawah kota air. Pertarungan dengan champion.
Sword Maiden.
Festival musim gugur adalah
pemandangan lainnya yang menunjukkan berapa banyak teman yang telah di buatnya.
Dan di musim dingin, mereka
telah pergi ke gunung bersalju dan melawan goblin paladin.
Terdapat perbedaan yang
begitu jelas antara dirinya yang sebelumnya dengan saat ini. Jika tidak begitu,
apakah dia akan berpikir untuk repot-repot membantu bocah itu?
Jalan kehidupan penuh dengan
percabangan dan lika-liku. Dia dapat memilih arah mana yang ingin dia tempuh
sekarang.
“...”
Namun.
Namun tetap saja...
Dan
aku nggak akannkehilangan gadis itu, andai saja dia nggak mati setelah goblin
menusuknya dengan pisau beracun!!
“...Masih belum mungkin,”
dia—Goblin Slayer—bergumam pelan.
“...Mm,” Gadis Sapi berkata.
Dia memgangguk, entah mengapa terlihat sedih. “...Begitu.”
“Aku nggak punya bukti, tapi
aku rasa para goblin mulai bergerak lagi.”
Goblin Slayer memilih
kata-katanya dengan hati-hati, berpikir keras sebelum berbicara.
Oara goblin telah mencuri
peralatan konstruksi. Mereka muncul tanpa rasa takut di dekat lapangan latihan.
Apakah mereka hanya penasaran
dengan pemandangan area latihan yang sedang di bangun?
Mustahil.
Adalah sebuah tanda,
peringatan.
Pikiran seperti itu mungkin
akan terlihat paranoid, namun di kepalanya, hal seperti ini memiliki kaitan.
Tidaklah jelas apakah ini
adalah hasil dari takdir atau kemungkinan.
Satu hal yang dia yakini
adalah bahwa dia harus bertarung melawan goblin.
“Itulah kenapa aku harus
melakukan ini.”
“Yeah. Yeah... Aku tahu.”
Mata mereka bertemu. Tatapan
Gadis Sapi bergetar dengan kecemasan. Pria itu, dari kedalaman helmnya, tidak
bergeming.
Tenggorokan Gadis Sapi
mengencang. Apa yang harus dia katakan, dan bagaimana cara dia mengatakannya?
Beberapa kali, dia membuka mulutnya dan kemudian menutupnya kembali.
“Aku...akan menunggumu,
oke?”
“Ya.”
Kemudian Goblin Slayer
berdiri dari kursinya. Dia meninggalkan mangkuk kosong di meja.
Gadis Sapi mendengar pintu
tertutup, dan dia-pun kembali sendiri di dapur.
Gadis Sapi memutar wajahnya
menjauh dari cahaya lilin yang berdansa, memegang wajahnya sendiri seolah dia
ingin meringkuk, namun, dia kembali merebahkan tubuhnya di atas meja.
Cuitan lembut dari kenari
tidak menenangkan dirinya.
*****
Daalam tiga hari berikutnya,
tidak ada yang terjadi.
Petualang menghabiskan waktu
mereka berpetualang, atau berlatih, atau mempererat persahabatan mer3ka.
Tidaak di ragukan, adalah
waktu yang sangat penuh arti.
Aliran waktu layaknya aliran
sungai, tidak dapat di putar kembali. Bahkan para dewa-pun tidak dapat menarik
kembali lemparan dadu mereka.
Itulah mengapa sangat
memungkinan bahwa para goblin akan muncul. Takdir? Atau kemungkinan?
5 Comments
mantaps mimin. kayaknya saya pertamax terus nih hehehe
BalasHapusKarena jarang memang yg mau komen mas. Wkwkwkwk
Hapuslanjoott slurrr
BalasHapussehat selalu min
Ketenangan sebelum badai
BalasHapusSemangat terus
BalasHapusPosting Komentar