PERTEMPURAN INDIVIDU
(Translater : Zerard)
Adalah salah satu pekerja
yang menyadarinya terlebih dahulu.
“Hrmph, baru saja ku pikir
pekerjaanku untuk hari ini sudah selesai.”
Dengan sekop pada pundaknya
dan matahari yang terbenam, dia menghela.
Dia adalah pekerja yang
tidak pemalas; dia tidak memiliki niatan untuk melayani kediaman seseorang,
ataupun dia memiliki uang untuk hidup dalam kemewahan. Oleh karena itu, dia
mendapati dirinya sendiri bekerja dengan sekop di tangannya dan hanya keringat
sebagai pendamping, namun walaupun begitu, dia masih merasa tidak senang.
Sial,
tapi aku memang suka lihat wanita-wanita petualang itu.
Mereka mungkin tidak
berpakaian dengan pakaian paling indah, namun mereka bergerak dengan begitu
bebas. Dan terdapat pula gadis dengan jubah longgarnya, sang wizard dan cleric.
Mereka sangatlah berbeda dengan wanita jalang yang hanya mengandalkan kosmetik
dan parfum.
Tentu saja, wanita penghibur
kelas tinggi sangatlah berbeda, namun mereka pun masih di luang jangkauan pria
seperti dirinya.
Dan terdapat beberapa
petualang, yang berbagi makanannya dan ranjangnya dengan wanita seperti itu.
Betapa mudahnya kehidupan
mereka. Hidup sesuka mereka, mati sesuka mereka. Sangatlah cukup untuk membuat
seorang pria iri.
“Mereka enak sekali. Sedikit
tebas dan libas membasmi monster, dan menjarah harta karun, dan bum, kamu
kaya.”
Benar, bahkan pria ini paham
bahwa semua tidak semudah yang terlihat. Namun semua orang ingin berpikir bahwa
para petualang itu spesial, dan kesuksesaan akan dapat mereka raih. Semua orang
ingin melihat kehidupan dalam cara yang paling menguntungkan diri mereka.
Pria ini, yang duduk di sana
bermimpi menjadi petualang, tidaklah berbeda.
Dia tidak harus sukses besar.
Dia tidak peduli jika dia tidak pernah menjadi warrior yang terkenal. Yang dia
butuhkan hanyalah perlengkapan yang cukup baik, kesempatan untuk menyelamatkan
satu atau dua desa dan mjngkin menerima ungkapan terima kasih dari gadis lokal
di sanall.
Ah, atau mungkin dia dapat
membeli gadis bangsawan yang terseret ke dalam perbudakan dan merawatnya. Hal Itu
mungkin bagus. Dia dapat mencari wanita wizard cantik untuk menjadi anggota
partynya dan secara perlahan mendapatkan rekan yang lebih banyak lagi. Tentunya
semuanya wanita yang cantik.
Dia akan mencari gua rahasia
yang tidak di ketahui siapapun (walaupun dia sendiri juga tidak mengetahui
keberadaannya), dan di sanalah di mana dia akan membuat peruntungannya. Dan
akhirnya, dia akan mendirikan rumah bersama wanita kegemarannya, pulang ke
rumah setelah perjalanannya dan mengajak wanitanya untuk pergi berpetualang.
“...Heh-heh!”
Pria itu tidak begitu
mempedulikan jika khayalannya akan “kesuksesaan sederhana” terlalu berlebihan. Dia hanya sedang tenggelam
dalam fantasinya sendiri.
Tidak ada seseorang yang
menunjuk dan mentertawainya karena itu. Layaknya waktu yang berlalu,
khayalannya tidak melukai siapapun.
Bekerja, meminum anggur,
makan, menikmati wanita dan teman, mengeluh tentang ketidakadilan, dan
terkadang sedikit bermimpi. Hidup. Itu sudah cukup.
“...Hmm?”
Dan sekali lagi, dia lah
yang pertama menyadarinya.
Dia melihat pada sebuah
sudut lapangan latihan, yang sebagian besar telah di pagar dan hampir selesai.
Dia melihat sebuah tumpukan
tanah yang tidak pernah dia lihat.
Tanah sendiri adalah sebuah
sumber daya alam, oleh karena itu, setiap kali mereka menggali bumi, mereka
harus menyimpan tanah itu pada tempat yang telah di tentukan.
“Sialan, siapa sih yang malas-malasan
kerjain itu?”
Adalah sesuatu yang dia sangat
pahami akan betapa merepotkannya hal itu. Dirinya sendiri sering terlihat,
meletakkan tanah pada tempat terdekat dan tidak pada tempat yang telah di
tentukan.
Namun karena dia yang
menyadari permasalahn ini, adalah tanggung jawabnya untuk memperbaikinya, dan
itu sangat mengesalkan.
Dia berpikir untuk
berpura-pura tidak melihat tumpukan itu, namun sayangnya, terdapat sekop pada
tangannya.
“...Apa boleh buat.” Dia
bergumam. Apa salahnya? Itu hanyalah sebuah tumpukan tanah kecil. Daripada
mengemban rasa bersalah keesokkan harinya, mengapa tidak melakukan pekerjaannya
dan tidur nyenyak malam ini?
Seraya pria itu mendekati
tumpukan tanah, dia mengira telah melihat sesosok figur manusia di sisi lain.
Sosok itu seukuran anak kecil—dan cahaya matahari yang samar tidak cukup untuk
menggambarkan detil kejam pada wajahnya seraya sosok itu menggerutu.
Goblin?!
Kenyataan bahwa dirinya
tidak langsung berteriak di saat itu sangatlah patut di puji. Tindakan
selanjutnya yang di ambil juga merupakan sesuatu yang cukup berani.
Dia meremas sekopnya, menyelinap
mendekati sang makhluk dengan senyap, dan mengangkat sekopnya.
“GROB?!”
Ujung sekop yang terasah
hingga tajam setajam kapak di karenakan kontak dengan bumi secara terus menerus
menghancurkan tengkorak goblin. Darah kental dan otak tersebar seraya makhluk
itu tumbang, dan pria itu menginjak mayatnya dengan riang.
“Ha-ha! Rasakan itu!”
Ketika dia menarik kembali
sekopnya dan melihat tetesan darah yang menggantung pada sekopnya, pria itu
mengernyit. Pikiran rasional melintas di kepalanya bahwa alat ini akan dia
butuhkan untuk keesokkan harinya. Akan lebih baik jika dia mencucinya.
Dengan gelombang rasa jijik
yang dia rasakan, datanglah rasa syukur atas perlatannya; di mana di saat yang
di butuhkan, sekop ini telah menghancurkan kepala goblin dengan begitu
tepatnya.
“...Dari mana mereka datang?
Apa mereka yang menggali lubang ini?”
Membersihkan darah pada
sekopnya, sang pria mengintip ke dalam lubang. Adalah sebuah jalan kecil yang
kokoh. Para goblin pasti telah menggalinya.
Pria itu tidak dapat melihat
dasar lubang. Bukan hanya karena gelap di bawah sana—matahari sedang terbenam
seraya dia berdiri di tempat ini.
“...”
Sang pria merinding. Sebuah
rasa takut menjalar di tulang punggungnya.
“Sudahlah. Luapakan saja.
Aku nggak oerlu turun ke bawah sana. Ini tugasnya petualang.”
Biarkan mereka menanganinya.
Ini bukanlah pekerjaannya. Akan tetapi, tetap saja dia akan melaporkannya.
Namun tepat pada saat itu...
“Ow...!”
Dia merasakan rasa sakit
menusuk menembus kaki kanannya, dan tiba-tiba pandangannya goyah seraya dia
terjatuh ke tanah.
Apa-apaan?
Dia memaksa dirinya sendiri untuk melihat kakinya, yang
di mana dia melihat darah mengalir keluar dari pergelangan kakinya.
“GROB! GROORB!!”
Kemudian dia melihat seekor
goblin menggenggam sebuah belati yang di lapisi dengan cairan yang tidak di
ketahui.
Tidak... tidak hanya satu
goblin. Sepuluh, dua puluh dari mereka, menyengir seraya mereka muncul dari
balik bayangan malam.
“...--------....”
Sang pekerja berusaha
membuka mulutnya seolah ingin berteriak meminta tolong, namun lidahnya tampak
terbelit; dia tidak dapat mengeluarkan suara.
Sebuah rasa sakit datang
dari kakinyanyang tertusuk. Tenggorokannya kering. Terdapat semacam cairan dari
mulutnya; dia merasakan darah. Dia tidak dapat bernapas. Pengelihatannya mulai
menghitam.
Mengapa dia tidak menyadari
bahwa terdapat lebih dari satu goblin di sana?
Jika dia tidak melihat itu,
maka tentu saja dia tidak menyadari belati beracun yang di bawa salah satu
makhluk itu.
Tidak lama kemudian, pria
tersebut mati.
Namun tentu saja, dia
bukanlah yang pertama mati malam itu, ataupun yang terakhir.
*****
“Topik ajaran malam ini
adalah ‘Delapan cara untuk membunuh goblin tanpa suara.’ Sekarang...”
Hanya sejauh itu ajaran
Goblin Slayer pada petualang pemula ketika mereka mendengar sebuah jeritan.
Para petualang harus
berhadapan dengan kegelapan berkali-kali, tidak hanya ketika kembali pulang di
sore hari.
Tidak ada jaminan, sebagai
contoh,bahkan di siang hari, reruntuhan, labirin, dan gua sering sekali redup
tanpa cahaya.
Sangatlah pantas untuk
berlatih pada jam malam, dengan bermodalkan cahaya dua bulan dan
bintang-bintang.
Paling tidak, itulah di
dipikirkan petualang yang berkumpul di sana—bocah berambut merah, gadis rhea,
Rookie Warrior, dan Apprentice Cleric. Mereka dan sepuluh petualang lainnya
yang berkumpul di lapangan latihan bahkan setelah seharian penuh berpetualang.
“A-apa itu?!”
“Tadi itu teriakan.... Kan?”
Para petualang muda berbisik
dengan cepat satu sama lain, wajah mereka menengang.
“...”
Akan tetapi, Goblin Slayer,
menarik pedang sari pinggulnya.
Dia bertindak cepat.
Menghiraukan percakapan
muridnya, dia mengintai wilayah sekitarnya, mencari sumber teriakan.
Ternyata itu bukanlah hanya
sekedar teriakan. Setelah beberapa
saat, teriakan kedua terdengar, kemudian ketiga.
“H-hei! Apa yang terjadi
sih—?!” sang bocah berambut merah bertanya dengan penuh keresahan, namum Goblin
Slayer menjawab, “Jangan panik. Berdiri dan bersandar pada dinding. Bentuk
setengah lingkaran mengelilingi pembaca mantra. Baris depan, siapkan
senjatamu.”
“Baik,” Rookie Warrior
berkata, wajahnya penuh cemas seraya dia bergerak untuk melindungi Apprentice
Cleric. “...Hei,” dia menambahkan, “ini bukan semacam...latihan atau semacamnya
kan?”
“Walaupun ini memang
latihan,” Goblin Slayer berkata pendek, “Kita nggak akan bisa mendapatkan
apapun kalau kita meremehkannya.”
“Ooh... Aku benci ini! Aku
bahkan nggak tahu apa aku ini ngerasa takut atau nggak!”
Kemudian dengan tawaan
kering, Rhea Fighter mengambil pedang pendeknya dan perisai dan mengambil
kuda-kuda bertarung. Wajahnya tegang; bahkan di kegelapan malam, sangatlah
jelas betapa pucat dirinya. Takut, gugup—merupakan kombinasi dari dua hal
tersebut. Telinga runcingnya, yang tidak sepanjang elf, bergetar.
“Cih...” Jentikan lidah ini
berasal dari bocah berambut merah. Dia mengangkat tonglatnya dan memutar
wajahnya mengarah pemula lainnya, yang masih belum secara penuh memahami apa
yang terjadi. “Hei, apa kalian nggak dengar dia? Jangan cuma ngelamun! Bentuk
barisan!”
“Ba-baik...!”
“Yeah, oke...!”
Mungkin ucapan yang keluar
dari rekan sesama telah membantu mereka. Bahkan mereka yang beku tidak
bergerak, tidak dapat berpikir atau menyerap situasi yang terjadi, akhirnya mulai
bergerak. Masing-masing dari mereka mengambil senjata dah membentuk setengah
lingkaran di depan sebuah dinding, walaupun gerakan mereka cukup berantakan.
“Kamu, angkat perisaimu!
Lindungi orang yang ada di samping dan belakangmu!” Appremtice Cleric
berteriak, memberi arahan kepada grup yang masih belum terbiasa dengan gerakan
seperti ini.
Sangatlah mengejutkan,
ketika dia memikirkannya: walaupun dia dan Rookie Warrior hanya bertarung
melawan tikus raksasa, bisa di bilang mereka cukup berpengalaman. Rhea Fighte4
daj bocah berambut merah-pun juga sama. Mereka telah selangkah lebih maju di
banding dengan pemula yang sesungguhnya. Setelah itu mereka hanya perlu
mengambil langkah berikutnya, dan berikutnya....
“...”
Goblin slayer memperhatikan
mereka dan mendengus dengan sangat pelan sehingga tak seorangpun mendengarnya.
Apakah dia harus menyerahkan ini kepada para pemula untuk memeriksa keadaan,
atau haruskan dia tinggal di sini dan melindunginmereka?
Sebagian, dia merasa tidak
yakin... Dan sebagian, dia merasa tidak ingin meninggalkan mereka sendiri.
Pikiran
bodoh.
Adalah sebuah misteri
baginya. Untuk tidak mengumpulkan informasi dalam situasi seperti ini adalah
sama dengan menunggu kehancuran mereka. Daalam titik tertentu, bahkan
berpikirpun akan menjadi percuma. Terdapat beberapa hal yang tidak perlu untuk
di pikirkan.
Setelah mencapai kesimpulan
ini, Goblin Slayer berkata, “Tetap di sini.” Dia sekitarnya pada petualang muda
dan kemudian berkata, “Kalau aku nggak kembali dalam lima belas menit, kalian
harus bertindak sendiri.”
“Bertindak sendiri...?”
“Karena itu artinya aku
mati, atau paling nggak terluka parah.” Suaranya terdengar datar. Dia memaksa
dirinya untuk menghiraukan percakapan antara para muridnya. “Kembali ke kota
mungkin adalah pilihan terbaik, tapi sepertinya akan mustahil, tetap di sini
sampai pagi.”
Kemudian
lari. Secepat yang kalian bisa, tanpa melihat ke belakang.
Beberapa jeritan kembali terdengar.
Seruan perang, teriakan kemarahan. Suara akan senjata yang berbenturan dan
pedang beradu.
Tiba-tiba, suara itu
terdengar dari segala penjuru secara bersamaan. Dia menyadari bahwa malam musim
semi ini, masih segar dengan napas para peri es, dia tidak dapat mengetahui apa
yang terjadi.
Bayangan dari bangunan setengah jadi sangatlah besar.
Goblin Slayer menghela napas.
Nggak...
“...Satu.”
Berlari secepat yang dia bisa, mengangkat
tangan kanan dan melempar pedangnya.
Pedang itu terbang masuk ke
dalam bayangan benda-benda yang di tumpuk di samping bangunan, mengundang jeritan kematian. Goblin Slayer
mengikuti masuk ke dalam bayangan, yang di mana dia menginjak mayat goblin yang
tertusuk pedaang dengan sepatunya dan menarik senjatanya kembali.
Sebuah sekop berdarah
terlepas dari tangan mayat goblin itu, berdentang seraya sekop itu terjatuh.
“Goblin. Sudah ku duga.”
Goblin bersembunyi di
kegelapan malam, dua. Walaupun dia tidak dapat melihatnya dengannjelasm mata
membara mereka sangatlah tampak jelas.
Kemudian terdapat perasaan
lengket dan tebal yang terasa di dasar kakinya, dan aroma besi mulai
mengambang.
Adalah petualang pemula,
terjatuh di tanah. Dia tidak dapat mengetahui kelas, umur, atau ras petualang
itu.
Petualang itu tidak memiliki
wajah.
Sesuatu yang tajam telah
menghancurkan kepala petualang itu hingga ke wajahnya, namun tumpukan
dagingnyang membengkak di dadanya dan bentuk figur tubuhnya menandakan bahwa
petualang itu adalah seorang wanita.
“GOROROROB!!”
“GROOOORORB!!”
Para goblin menerjang dirinya
seraya berteriak. Tanpa kata, Goblin Slayer menyerang mereka dengan pedangnya.
Terdengar suara benturan
metal dengan metal, para goblin membawa beliung. Tidak di ragukan, perkakas
curian.
Tanpa rasa bimbang Goblin
Slayer bergerak maju, menekan beliung itu dengan satu tangan. Namun...
“GROB!!”
Terdapat goblin lainnya. Dia
juga memiliki beliung, dan dia mengayunkan beliung itu mengarah Goblin Slayer.
“Hrg...”
Beliung besi itu menggigit
tembus perisai yang di angkatnya. Senjata seperti ini selalu kuat jika
berhadapan dengan armor.
Goblin Slayer melipat lengan
kirinya, dengan paksa menarik beliung dari tangan sang goblin. Pada saat yang
sama, dia mengangkat kakinya mengarahngoblin yang berada di kanannya,
memberikan tendangan mengarah selangkangan makhluk itu sekuat yang dia bisa.
“GROOOOOOROROROROBB?!?!”
“Dua.”
Terdapat perasaan
menjijikkan akan sesuatu yang hancur di antara kakinya, namun dia tidak
mempedulikannya, dan dia tidak mempedulikan jeritan tertahan monster itu.
Dia menginjak kepala goblin
yang merintih. Di kirinya, goblin yang sekara tak memiliki beliung berusaha
untuk melarikan diri; dia membuang pedangnya.
“GOROORB?!”
“Dengan ini jadi...”
Makhluk itu mungkin tidak
langsung mati seketika, namun dengan tulang rusuknya yang patah, diantidak akan
bisa bergerak.
Goblin Slayer meletakkan
dasar sepatu botnya pada kepala goblin yang meronta dan menekan keras tanpa
ampun.
Perasaan itu seperti sedang
menginjak sebuah buah yang masak. Dia mengelap darah dan otak dan terus melangkah
ke depan.
Dia menarik pedang dari
monster yang kejang-kejang, terus menebas seraya dia bergerak, hingga masa
pedang itu telah berakhir.
“...Tiga.”
Dia menarik beliung yang
masih tertancap pada perisainya dengan paksa.
Terdapat tanah segar yang
menempel pada mata beliung tersebut. Para goblin pasti telah menggali sebuah
terowongan dari suatu tempat di sekitar lapangan latihan ini untuk melakukan
penyerangan.
Mengapa mereka sangat ingin
menyerang tempat ini? Untuk membunuh orang di sini?
Goblin.
Goblin.
Goblin.
Dia tidak menyukainya.
Dia sama sekali tidak
menyukainnya.
Surga dan bumi berputar.
Terdapat empat mayat. Tiga
goblin, satu petualang.
Seperti malam sepuluh tahun
yang lalu.
Dia tidak dapat lari menjauh
dari itu. Bukankah dia sudah mengetahui itu?
Dia adalah Goblin Slayer.
“...Apa ada orang di
sana...?!”
Itulah di mana saat sebuah
teriakan terdengar dan sebuah sosok muncul dari dalam bayangan—Seorang
petualang.
Yah, masuk akal: apa lagi
yang akan petualang lakukan ketika berhadapan dengan seseorang yang berdiri di
balik kegelapan dan menggenggam senjata, bersama dengan bau darah yang
mengambang di sekitarnya?
Butuh beberapa saat bagi
sang petualang yang membawa tongkat, untuk dapat melihat apa yang ada di
depannya, dan ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan—
“Pak Goblin Slayer!”
“Kamu baik-baik saja?”
“Iya!” Priestess meremas
tongkatnya erat dengan kedua tangan dan mengangguk senang. “Aku sedang dalam
tugas penyembuhan hari ini. Aku sudah menggunakan keajaibanku, jadi aku sedang
beristirahat di kamarku, tapi...”
Tatapannya melihat para
goblin yang tumbang...dan kemudian mayat para petualang. Alis cantiknya
mengernyit.
Priestess berlutut, tidak
mempedulikan darah yang menodai jubah putihnya, dan mendekati tubuh yang masih
terus kejang-kejang.
“Apa goblin?”
“Ya.” Goblin Slayer tidak
melihat mengarahnya namun hanya membersihkan darah dari pedangnya. “Kamu masih
punya keajaiban yang tersisa?”
“Berkat istirahat tadi, aku
bisa menggunakannya tiga kali lagi, seperti biasa.”
“Apa..”—Goblin Slayer hampir
tersendat dalam mengucapkan kalimatnya—“...teman kita lainnya akan datang?”
“Mungkin...”
“Bagus.”
Goblin Slayer
akhirnyanberputar mengarah Priestess. Gadis itu mendengak melihat dia, mata
biru gadisnitu tampak jelas di dalam cahaya bulan yang samar. Goblin Slayer
baru tersadar akan betapa beningnya mata gadis itu, seperti sebuah kaca.
“Apa kamu mau ikut
denganku?”
“...Iya, aku mau.” Priestess
menggigit bibirnya, suaranya bergetar. Dia tidak menggosok matanya, karena dia
tidak menangis. “Ayo...!”
“Ya,” Goblin Slayer
mengangguk. “Kita akan membunuh semua goblin.”
*****
Tidak lama setelah itu,
mereka berdua tiba pada bangunan yang akan berfungsi sebagai pusat
admisnistratif lapangan berlatih ketika telah selesai di bangun.
Walaupun di maksudkan
sebagai bangunan pusat, tempat ini masih belum rampung di bangun dan masih
terasa seperti di abaikan. Terdapat banyak celah di dinding dan atap, dan sosok
banyak petualang yang berkumpul di tempat ini lengkap dengan perlengakan
mereka, dapat terlihat.
Syukurnya, sepertinya
terdapat cukup banyak petualang yang berhasil mencapai tempat ini.
“Hei, lihat! Bukannya itu
Goblin Slayer! Apa semua baik-baik saja?”
Orang pertama yang menyambut
mereka adalah petualang yang berdiri berjaga di pintu—Spearman. Jika mengingat
betapa dia selalu siap untuk terjun beraksi, cukup mengejutkan untuk melihatnya
berdiri di sana.
“Ya.” Goblin Slayer berkata
dengan anggukan. Dia menjawab pertanyaan
yang di tujukan kepadanya. “Orang yang aku cari semua selamat.”
“Yeah? Kebanyakan anak kecil
pulang ke rumah mereka karena ini sudah larut.”
“Sebelum...gelap...benar?”
Terdapat orang lain. Seorang
witch yang aduhai muncul di samping Spearman, muncul layaknya sebuah bayangan;
sebuah bola cahaya samar melayang di udara di dekatnya. A will-o’-the-wisp?
Tidak, itu bukanlah sebuah roh. Mungkin adalah sebuah mantra cahaya. (TL Note :
will o the wisp = https://en.m.wikipedia.org/wiki/Will-o%27-the-wisp
)
Tidak seorangpun yang ingin
mengambil resiko menggunakan api, bahkan api sihir, di daerah sekitar. Angin
musim semi malam sangatlah kuat. Jika api itu melahap sesuatu yang berada di
sini, akan menjadi sebuah bencana.
“Kalian berdua selamat...”
Priestess, mungkin merasa lega melihat sepasang wajah akrab, dan menghela
napasnya.
Dia akhirnya berhasil
menghentikan lututnya yang terus bergetar, menggenggam erat tongkatnya dengan
kedua tangan dan terlihat begitu lega.
“Kami di sini juga!” suara
bening itu terdengar seperti penyemangat, dan suara itu membawa senyum di wajah
Priestess.
“Kalian semua di sini!”
“Ahh, anda juga berhasil
mencapai kemari. Walaupun tempat ini benar tempat untuk berlatih tempur, saya
tidak menyangka bahwa ini akan menjadi medan tempur sesungguhnya.”
“Aku jadi nggak makan malam
gara-gara bajingan kecil itu!”
Datanglah Lizard Priest,
yang tampak seperti biasanya, bersama dengan Dwarf Shaman, yang menggosok
perutnya.
Priestess berlari mendekati
mereka dengan sendirinya, yang kemudian High Elf Archer menahannya.
“Kamu benar nggak apa-apa?
Kamu nggak terluka? Goblin itu nggak melakukan apapun kepadamu kan?”
“Nggak apa-apa. Aku
baik-baik saja. Syukurlah kalian semua selamat...”
Syukurlah
semua nggak terjadi seperti waktu itu.
Di kelilingi temannya,
Priestess mendapati matanya berlinang. Tidak ada yang mengatakan apapun perihal
itu. Siapa yang dapat menahan rasa pedih kehilangan temannya dua kali, atau
bahkan tiga kali?
“...”
Goblin Slayer memperhatikan
rekannya selama beberapa detik dan kemudian secara perlahan memutar helm
bajanya.
Kuncinya adalah untuk selalu
berpikir—tentang apa yang harus di lakukan, dan apa yang dapat di lakukan.
Bangunan ini masih belum
selesai dan rapuh. Mereka tidak akan dapat berrlindung di sini dalam jangka
waktu yang lama.
Apapun itu, mereka
membutuhkan tenaga. Mereka bukanlah para pemula yang bersembunyi ketakutan di
sudut ruangan. Pada saat itu—
“Hei. Berhasil sampai kesini
dengan selamat ya, Goblin Slayer?”
Matanya bertemu dengan
warrior yang kekar.
Heavy Warrior tampaknya
sudah melewati beberapa pertarungan; aroma samar akan darah tercium di sekitar
tubuhnya.
Kemungkinan, tentunya,
adalah goblin yang dia bunuh. Apa lagi yang ada selain itu?
Goblim Slayer melirik
sekitar ruangan untuk memastikan apakah ada orang lainnya yang dia kenal.
“Kamu sendiri hari ini?”
“Dia memang mungkin seorang
knight, tapi dia masih seorang wanita. Ada waktunya di mana dia halangan. Para
bocah sedang menemaninya di penginapan.” Ekspresi Heavy Warrior mengandung
tampak yang sulit di jabarkan. Dia mengangkat pundaknya, menyebabkan armornya
berderik. “Pemimpin party harus memikirkan kesehatan anggotannya.”
Merupakan sebuah
keberuntungan sebenarnya. Mendapatkan halangan telah membuat mereka tinggal di
rumah dan tidak terlibat dengan masalah ini.
“Tapi dengar,” Heavy Warrior
berkata, menyengir layaknya hiu kelaparan. “Ketika ketiga ter—apapun di
perbatasan ada di satu tempat, keadaan akan menjadi sangat menarik.” (TL Note:
yang di maksud ter—apapun di perbatasan dari heavy warrior itu adalah julukan
mereka.)
Terdapat, tentunya, ruang
untuk kesalahan di dalam situasi ini. Kematian para petualang yang gagal dalam
melakukan perisapan dasar, akan terdengar oleh setiap orang. Setiap kali seekor
goblin melolong menembus gelapnya malam, para pemula saling bertukar pandang
dan merinding.
Para petualang terbiasa
menjadi penyerang. Benar, terkadang merekapun di sergap, dan terkadang mereka
melakukan melakukan misi mengawal. Namun entah bagaimana, jauh di dalam lubuk
hati mereka, mereka terus percaya bahwa mereka tidak akan pernah di buru.
Priestess bisa di bilang
tidak beruntung karena telah salah besar dalam mempercayai asumsi ini. Namun
juga, ini dapat di anggap srbagai keberuntungan pula.
Apapun itu, jika mereka
tidak keluar dari—atau lebih tepatnya, membasmi goblin—mereka tidak akan hidup
untuk melihat mentari kembali.
Semua yang ada di sini
memahaminya. Spearman melirik keluar dengan ekspresi muram.
“Apa kita akan membiarkan
mereka mengurung kita? Membosankan. Aku nggak mau berdiam di sini dan mati.”
“Apa...pun...itu,
mungkin...akan...lebih...baik...jika...semuanya...bersiap...terlebih...dahulu...”
“Ya.” Goblin slayer
menyetujui.
“Butuh pembawa pesan kalau
begitu.” Heavy Warrior berkata cepat. “Keadaan
sudah di ketwhui—goblin. Cepat bergabung dengan kami. Hal semacam itu. Kita
harus memberitahu semuanyang masih selamat dan menyuruh mereka kemari secepat
mungkin.”
“Aku aja yang pergi!” High
Elf Archer berkata dengan segera, mengangkat tangannya. “Aku pelari tercepat di
sini!”
“Mantap, bersiaplah.”
“Serahkan saja padaku!”
Dan dia-pun berlari layaknya
angij berhembus di kegelapan malam.
Heavy Warrior
memperhatikannya pergi dan kemudian melirik di sekitarannya. Goblin Slayer dan
partynya. Kemudian terdapat Spearman dan Witch, dan dirinya sendiri.
Tergantung dari berapa
banyak pemula yang dapat di hitung dalam pertarungan, mereka mempunyai sekitar
sepuluh orang yang akan bertarung untuk mereka. Dia tidak menghitung mereka
yang bersembunyi di sudut ruangan ketakutan. Heavy Warrior membuat keputusan:
dia tidak akan melibatkan mereka.
“Jadi, Goblin Slayer,” dia
berkata. “Kita berhadapan dengan goblin. Menurutmu siapa yang memimpin mereka?”
“Kemungkinan goblin
lainnya.” Goblin Slayer berkata tanpa keraguan. “Goblin tingkat tinggi aku
rasa, tapi aku ragu kalau ada lord lainnya yang terlahir. Mungkin shaman yang
pintar...”
“Punya bukti?”
“Kalau ada monster lain yang
memimpin goblin, para goblin akan diperlakukan sebagai pasukan buangan, bukan
pasukan utama.”
Adalah benar. Tidak ada
monster lainnya selain goblin yang akan berpikir untuk menggali sebuah
terowongan untuk menyerang lapangan latihan.
Heavy Warrior mengangguk.
“Kita harus menghadapi monster kacangan, tapi kita juga harus memastikan untuk
membunuh ikan yang lebih besar.” Dia berkesimpulanl “Dan ada di mana ikan besar
itu...?”
“Perkiraan saya, para iblis
kecil itu memiliki lebih dari satu lubang.” Lizard Priest berkata, rahangnya
terbuka. Dia menepuk ekor pada lantai dan mengacungkan salah satunjari
bersisiknya. “Kemungkinan terdapat satu di setiap arah, solusi tercepat adalah
untuk memasuki salah satu lubang, daan mengikutinya hingga mencapai sumber
tersebut.”
“Tentang itu,” Spearman
berkata, memperhatikan daerah luar seraya dia berbicara. “Dari mana kita bida
tahu kalau salah satu lubang itu menuju markas mereka?”
“Aku mempunyai pertanyaan
yang sama. Tapi kemungkinan besar semua lubang itu terhubung menjadi satu di
dalam.”
Dalam urusan bawah tanah,
tidak ada yang dapat mengalahkan seorang dwarf.
Dwarf Shaman meneguk botol
anggur yang ada di pinggulnya kemudian melepaskan sebuah sendawa berbau alkohol
dari mulutnya.
“Kemungkinan awalnya mereka
menggali satu terowongan kemudian membuat percabangan sebelum melakukan
serangan. Karena Itu cara termudah.”
“Kedengarannya bagus. Kita
akan memasuki lubang terdekat. Kamu setuju Goblin Slayer?”
“Aku nggak keberatan.”
“Kalau begitu...masalah
berikutnya...adalah...anak-anak...itu.” Witch memberikan gerakan penuh arti
menujuk kepada para pemula. “Masih...ada...yang...lain...kan?
Apa...yang...kita...lakukan...kepada...mereka?”
“Tinggalkan mereka, bawa
mereka, atau suruh mereka lari menjauh.” Gumam Heavy Warrior.
Akan tetapi, Spearman
menyeringai kepada Heavy Warrior dan menepuk pundaknya. “Aku rasa pedang
besarmu nggak akan berguna di dalam terowongan...”
“Aw, ribut!” Pengingat akan
kegagalan masa lalu Heavy Warrior telah membuatnya marahl “Tapi, aku memang
lebih suka di atas tanah di banding di bawahnya. Aku akan membawa para anak
kecil. Kalian tangani lubangnya.”
“Baiklah.” Spearman
mengangguk.
“Nggak masalah.” Goblin
Slayer menambahkan.
Para veteran telah
memperhitungkan semua ini dalam sekejap mata. Walaupun dia bukanlah seorang
pemulai sejati, Priestess tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara.
Priestess tidak akan dapat berbicara juga walaupun dia menginginkannya.
Adalah berbagai macam
variasi akan pendapat dan persepektif yang mengarah kepada sebuah kesimpulan.
Keberatan dan dialog tidaklah sama dengan menolak apa yang di katakan oleh
orang lain. Namun sekarang, persepektif—sesuatu yang berdasarkan pengalaman
murni—adalah sesuatu yang sanggat kurang di miliki Priestess.
Tapi...
Apakah itu? Kegelishan yang
tidak berdasar?
Walaupun dia tidak dapat
menjabarkannya, ini mungkinlah suatu petunjuk dari para dewa.
Dia mengingat alarmn yang
bergerumuh dalam hatinya ketika partynya memasukin gua pada petualangan pertama
mereka. Rasa panik yang membesar pada dada kecilnya—perasaan bahwa dia harus
melakukan sesuatu.
Hal akan berakhir dengan
buruk jika dia hanya membiarkan mereka begitu saja. Dia harus melakukan
sesuatu.
Tapi,
apa?
“Oh.”
Suara itu terlepas dari mulutnya
di saat sebuah kemungkinan melintas di benaknya.
Tatapan para petualang
menembus dirinya, membuatnya sedikit tersipu.
“Ada apa?” Goblin Slayer
adalah yang pertama berbicara. “Goblin?”
“...Um—um!” Suaranya
bergetar. Tatapan para petualang semakin berfokus padanya. Sangatlah cukup
untuk membuatnya ingin melarikan diri. “Petualang baru lainnya, mereka sudah
pulang kan?”
“Yeah.” Spearman mengangguk.
“Terkecuali mereka yang ingin berlati bertarung di malam hari. Sisanya pulang
di saat matahari terbenam.”
“Menurutmu di mana...mereka
sekarang berada?”
“Maksudmu apa?” Heavy
Warrior berkata, menatap kepadanya. Tentunya dia tidak berusaha untuk menakuti
gadis itu, namun keseriusan matanya, niatnya untuk tidak melewatkan satu ide
atau informasi apapun itu, sangatlah mengintimidasi.
“Yah, um...”
Priestess bergeming.
Apakah pendapat yang akan di
berikannya mempunyai sebuah nilai?
Bagaimana jika itu tidak
lebih dari sekedar deretan kemungkinan?
Apa haknya yang membuat
dirinya dapat berpikir pendapatnya mempunyai nilai—?
“Katakan saja.” Suara Goblin
Slayer pelan, dan datar. Benar-benar seperti biasanya. Priestess menelan liur;
dia meremas tongkatnya lebih erat untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar.
Dia menarik dan menghela
napas.
“...Para goblin... Aku rasa
mereka juga mengincar para pemula yang sedang pulang.”
“Apa?!” Heavy Warrior berteriak. Armornya berderik, menyebabkan
Priestess bergeming dalam sesaat. Namun Priestess tidak berhenti berbicara. Dia
tidak boleh berhenti.
“Apa nggak aneh? Aku tahu
goblin itu makhluk pengecut yang suka berbuat onar.”
Karena
seseorang sudah mengajariku itu.
Mengajarinya untuk berpikir
seperti goblin. Bagaimana cara mereka hidup. Apa yang mereka takuti.
“Kalau aku jadi goblin,
tempat terakhir yang akan ku serang adalah bangunan penuh dengan petualang
kuat.”
Dan juga, akan bagaimana
mereka menggunakan pasukan besar sebagai pengalih...
Itu adalah sesuatu yang
telah pria itu katakan ketika dia bertarung dengan goblin lord—sudah berapa
lama sejak saat itu?
Priestess masih belajar. Dia
masih mempunyai pengalaman untuk di raih. Namun dia memang mempunyai beberapa pengalaman.
Hanya saja dirinya tidak
menyadari akan hal itu.
“...Aku yakin dia benar,”
Goblin Slayer berkata, menggerutu kecil. “Aku melupakan itu.”
“Dan aku...aku punya ide.”
Sekali Priestess mulai
berbicaranya, sisanya sangatlah mudah.
Namun bukan berarti
menyatakan idenya dengan jelas dan lantang itu mudah, melainkan uraian kata
yang sudah siap di gunakan dirinya, dan dia tidak ragu.
“Kalau begitu—aku akan
menjelaskannya.”
Dengan semua orang yang
berfokus kepadanya, Priestess menjelaskan rencanannya.
“Teman petualang kita
termasuk, um, dua warrior, cleric, wizard...”
Dia menghitung dengan
jarinya. Rookie Warrior, Rhea Fighter. Apprentice Cleric dan Wizard Boy.
“Aku rasa dengan adanya aku,
sebagai tambahan cleric, bisa mengubah arus pertempuran. Jadi...”
Aku
ingin menolong mereka. Aku ingin pergi.
Kejujuran ucapan itu membuat
petualang tingkat silver saling bertukar pandang.
“...Waktu...sangatlah...sempit...kan?”
Witch melirik keluar dan memberikan sebuah tawaan menggoda seraya berkata.
“Aku sama sekali nggak tahu
apa kemampuan gadis ini. Jadi aku nggak ikutan.” Spearman menambahkan dengan
cepat.
“...Masuk akal.” Heavy
Warrior berkata. Kemudian menatap Priestess, memperhatikan figur mungilnya dari
atas sampai ke bawah. “Selalu ada kemungkinan kalau mereka ingin memisahkan
kita dan mengalahkan kita. Apa kamu bisa menangani itu?”
“Saya sendiri, percaya akan
kemampuan gadis ini,” Lizard Priest berkata dengan anggukan dan putaran
matanya. Dia berkedip kepada Priestess. “Kita harus menyerang jantung musuh,
namun itu bukan berarti kita harus mengabaikan petualang muda kita di saat kita
melakukannya. Saya rasa ini adalah rencana yang baik.”
“Sempurna untuk tes promosi
juga menurutku.” Dwarf Shaman tertawa kecil, membelai jenggot putih panjangnya.
“Kamu setuju Beardcutter? Suatu saat kita harus mendorongnya keluar dari
sangkar kan?”
Pak
Goblin Slayer...
Priestess menatap memohon
pada pria dengan armor kotor itu.
Sekarang setelah dia
memikirkannya kembali, Priestess menyadari bahwa ini akan berkemungkinan untuk
menjadi petualang pertamanya tanpa pria itu semenjak petualangan pertamanya di
waktu dulu.
Dapatkah dia melakukannya?
Sendiri?
Priestess tidaklah
sendirian, namun dia harus mengandalkam kekuatannya sendiri.
Dapatkah dia bertarung
melawan goblin.
Semua orang mengatakan
padanya bahwa mereka percaya dia dapat melakukannya. Bahkan High Elf Archer,
yang sedang tidak berada di sini, tentunya akan menyetujui.
Hal ini membuat dirinya
bahagia; apa lagi yang dia harapkan selain ini?
Akan tetapi...
Kalau
orang ini bilang jangan...
Maka dia harus menerimanya. Demi
kebaikan semua orang, Priestess yakin.
Namun apa yang pria itu
katakan adalah bukan yang dia takutkan.
“Kamu bisa?”
“Aku...”
Pertanyaannya begitu pendek,
begitu sederhana. Seperti biasanya.
Hal itu membuatnya untuk
dapat membuktikan kepercayaan yang telah ddi berikannya kepadanya. Dia harus
membuktikannya.
Priestess menelan setengah
ucapannya yang telah terucap, menggigit bibirnya, dan kemudian menjawab dengan
hampir teriak.
“....Aku bisa!”
Goblin Slayer menatapnya
dengan seksama. Tatapannya tersembunyi di balik helmnya; Priestess tidak dapat
melihat ekspresi pria itu, tetapi...
“Begitu?” Dia mengangguk
pelan kemudian menyatakan keputusannya. “Kalau begitu, sudah di putuskan.”
“Hraah!!”
“GROBR?!”
Pada jalan sempit di dalam
guw, ujung tombak mithril menembus tenggorokan goblin. Senjata panjang,
berbentuk batang pada tangan Spearman menyerang bersamaan dengan suara sihir,
bunga kematian bermekaran di sekitar dirinya.
Satu tusukan, satu kematian.
Emat tusukan, empat kematian.
Para goblin menggunakan
sebuah kayu jabuk sebagai perisai, namun kayu tersebut tidak begitu berguna.
Hanya seorang pemula yang
akan berpikir bahwa sebuah tombak tidak dapat di gunakan pada tempat sempit
seperti ini; bahkan, Spearman membuat senjata itu tampak seperti dapat
melakukan apapun.
Serangan bertubi-tubi yang
di lakukannya sangatlah cukup untuk mengatur apa yang ada di depannya.
Tombak perkasa itu bergerak
secepat topan, mewarnai dindingnsekitar dengan darah dan otak goblin.
Jalanan menurun yang mereka
lalui sama sekalintidak mengganggu pijakan para petualang berpengalaman ini.
“Jangan pikir kalian bida
melewatiku!”
“Di dalam! Aku lihat
rman—nggak tiga!”
Seraya Spearman
memperlihatkan pose yang mengagumkan, menghalampara monster, High Elf Archer
berdiri di sampingnya dan menembakkan rentetan panah. Tiga panah terbang
secepat sihir, menembus bola mata ketiga goblin yang bersemayam di dalak gua.
“GORRB?!”
“GROB! GROORB!!”
Bukan enam, melainkan tiga
yang tersisa. Sebuah perhitungan sederhana. Jika kamu tidak mempunyai
kepercayaan diri bahwa kamu dapat mengenai mereka, maka kamu tidak dapat
menembak.
“Satu...!”
Itulah di mana Goblin Slayer
tampil.
Pedangnya sudah terbang dari
tangannya seraya dia menyerang, Membenam pada tenggorokan goblin.
“GRRRO?!”
Sang monster mencakar
tenggorokannya seolah dia sedang tenggelam, namun Goblin Slayer
menghiraukannya, mengambil sebuah belati dari salah satu mayat dengan sebuah
panah yang menembus matanya. Kemudian dia menyayat tenggorokan mosnter yang
masih dalam keadaan kaget setelah melihat ke empat rekannya di bunuh dalam
sekejap.
Darah menciprat bersiul dari
makhluk itu; Goblin Slayer memukulnya ke samping dengan perisainya dan melempar
belatinya.
Lemparan itu mungkin sedikit
terlalu kuat; belati itu meleset dari sasaran dan tertancap pada pundak goblin
itu.
“GORB!!”
“Tiga.”
Goblin Slayer, dengan acuh,
mengambil sebuah kapak kecil dari goblin yang tenggelam dalam lautan darah.
Kemudian dia menanamkan kapak itu pada tengkorak goblin terakhir dan pertemuan
acak-pun telah berakhir.
Sebuah party petualang
berpengalaman hanya membutuhkan satu putaran untuk membunuh sepuluh goblin.
Spearman menyandang
senjatanya—dia bahkan tidak bernapas berat—dan melihat kepada Goblin Slayer
dengan lelah. “Hei, kamu,” dia berkata. “Kamu itu harus berhenti melempar semua
senjatamu. Sayang banget!”
“Senjataku itu sekali
pakai.”
“Coba kamu lihat-lihat. Kamu
tahu kan mereka menjual pisau lempar sihir yang akan kembali padamu setelah
kamu melemparnya?”
“Para goblin juga dapat
menggunakan senjata itu juga.” Goblin Slayer berkata. “Bagaimana kalau senjata
itu tercuri?”
“Kita nggak punya waktu buat
ini!” High Elf Archer berteriak. “Bisa nggak kalian jangan ribut dan bantu aku kumpulkan
semua panahku?” Spearman terlihat jengkel, dan Goblin Slayer mencari senjata di
antara para mayat.
Mereka bertiga terlihat
cukup santai, namun mereka tidak membuat satupun gerakan yang tidak di
perlukan. Mereka memeriksa daerah sekitar tanpa henti, memeriksa senjata mereka,
mempersiapkan apa yang akan mereka butuhkan berikutnya.
Goblin Slayer menggerutu
pelan. Para goblin tidak merawat senjata mereka; semua yang mereka miliki tidak
dapat di perbaiki. Tidak ada senjata yang bagus di sini.
“Puji Tuhan,” Lizard Priest
berkata dengan anggukan ketika dia melihat pemandangan di depannya. “Betapa
perasaan yang sungguh melegakan jika seseorang mempunyai dua penjaga baris
depan.”
“Kamu sendiri juga suka
berdiri di garis depan.”
“Benar...” Witch bergumam.
“Satu warrior...untuk...masing-masing...kan?”
Mereka telah meninggalkan
para pemula di tangan Heavy Warrior pada lapangan latihan dan mereka sedang
menuju jalan bawah tanah melalui salah satu lubang.
Tidak seperti fomasi lima
dan dua biasanya, kali ini mereka membentuk satu grup yang terdiri dari enam
orang. Itu artinya mereka membutuhkan formasi yang berbeda dari biasanya juga.
Goblin Slayer dan Spearman berdiri di depan dengan High Elf Archer di belakang
mereka, sedangkan pembaca mantra berdiri paling belakang.
Yang mana yang lebih
penting? Panah High Elf Archer atau mantra Lizard Priest? Jawabannya sangatlah
jelas.
“Aku sudah mengumpulkannya.”
Goblin Slayer berkata, memberikan panahnya.
High Elf Archer melihat
panahnya dan menjentikkan lidahnya. “Oh, yang— mata panahnya nggak ada!” Dia memasukkannya
kembali dengan marah ke dalam tempat panahnya. Tidak ada yang bisa di lakukan
lagi tentang hal ini. “Bagaimana denganmu Orcbolg? Dapat senjata bagus?”
“Pemulung nggak bisa
pilih-pilih.”
“Kenapa kamu membiarkan
gadis itu pergi tanpaku?”
“Kamu marah?”
“Nggak juga,” High Elf
berkata, memalingkan pandangannya. “Tapi apa kamu nggak khawatir dengannya?”
“Kalau rasa khawatirku dapat
membantu keadaan menjadi lebih baik untuk dia, maka aku akan melakukannya.”
Ihhhh...
Namun tidak lama setelah
High Elf Archer menghela, telinganya mengepak mendengar sesuatu.
“Mereka datang.”
“Arah dan jumlah?” Goblin
Slayer bertanya dengan segera, mengeluarkan sebuah kantung kulit kecil dari tas
perlatannya.
Adalah dompet miliknya: koin
di dalamnya berdenting. Dompetnya memiliki pola bunga dan tampak sudah cukup
tua. Dia mengikat mulut kantung itu
dengan kuat, kantung itu menimbulkan suara tajam di saat dia melakukannya.
“Aku nggak tahu... suaranya
bergema di segala arah...!”
“Yah, kita nggak punya waktu
untuk membicarakan ini!” Spearman berkata, mengayunkan senjatanya untuk
membersihkan kotoran yang menempel. “Apapun itu, kita nggak bisa membiarkan
mereka sampai ke permukaan.”
“Nggak banyak pilihan. Mau
aku yang melakukannya?”
Sebagai petualang yang
berpengalaman, mereka dengan cepat merespon situasi. Bahkan seraya Dwarf Shaman
berbicaram dia sudah menggapai tas berisi katalis miliknya, mempersiapkan
mantranya. Witch dengan tenang mengangkat tongkatnya dan mulai memfokuskan diri
untuk melantunkan mantra. Lizard Priest menepuk kedua tangannya.
“Puji Tuhan, membasmi goblin
sungguh melibatkan dua hal terburuk akan merepotkan dan tidak terduga, benar?”
dia berkata.
“Kamu...cukup...benar...”
Witch berkata dengan tawaan kecil, dan bibir indahnya mulai membisikkan kalimat
akan kekuatan sejati. “Sagitta...sinus...offero.
berkah lengkungan pada sebuah panah!”
Mantra seorang wizard yang
dapat mengubah tatanan logika dunia.
Sebuah aliran tak kasat mata
melindungi party mereka, High Elf Archer dan Spearman berteriak.
“Mereka datang! Dari kedua dinding!”
“Mundur!”
Hujan batu dan tanah datang
dari kedua sisi petualang. Pada hampir bersamaan, mereka semua melompat ke
belakang.
“GRORB!! GROOROOBB!!”
“GROOBRR!”
Apakah ini adalah arti
sesungguhnya dari sebuah kata gerombolan?
Petualang biasa mungkin
tidak akan pernah menduga untuk dapat melihat sepuluh atau dua puluh goblin di
dalam kehidupannya.
Goblin yang mereka temui
berjumlah lebih dari itu, jauh melebihi itu, sekarang membajiri mereka. Para
goblin melolong layaknya binatang, dan sangatlah mudah untuk menerka apa arti
teriakan mereka.
Bunuh
mereka. Curi dari mereka. Balas dendam. Balaskan dendam kematian saudara kita.
Mati petualang, mati!
Mereka akan membantai para
pria dengan segera. Sedangkan untuk para wanita, mereka akan merenggut setiap tetes
dari harga diri mereka sebelum membunuh mereka.
Mereka akan menculik wanita
dengan tongkat itu, mengikat kakinya, dan membuat dirinya mengandung anak
goblin hingga dia mati dan tidak berguna lagi. Mereka mengetahui bahwa daging
elf sangatlah empuk dan dapat bertahan lama. Mereka akan memotong lengan dan
kaki elf itu sedikit demi sedikit dan memakannya.
Para wanita akan menangis;
mereka akan memohon amounan; namun para goblin akan menghiraukan mereka.
Bunuh
mereka seperti mereka membunuh kita!
“Minum
tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan para roh menuntunmu! Bernyanyi
dengan lantang, melangkah dengan cepat, dan pada saat kau tertidur mereka akan
melihatmu. Semoga sebotol fire wine menyambutmu dalam mimpi!”
Tidak di ragukan nyawa
beberapa iblis kecil itu habis tanpa pernah terbangun dari mimpi itu.
Tertangkap kabut putih dari anggur yang di cipratkan Dwarf Shaman , mereka
mendapatkan diri mereka terpengaruh mantra Stupor.
Tersandung pada barisan
depan mereka yang sekarang tertidur, para goblin mulai berjatuhan layaknya
domino. Beberapa dari mereka terinjak hingga mati seraya goblin di belakang
mereka memaksa untuk maju ke depan.
Terdengar jeritan dan
teriakan. Merupakan sebuah malapetaka.
“Bodoh.” Tanpa keraguan,
Goblin Slayer memutar kantungnya, menyerang monster terdekat. Kecepatan dan
kekuatan sentrifugal dari koin di dalam kantung kulit kecil itu sangatlah cukup
untuk membelah tengorak goblin.
Demikianlah uang yang telah
secara tekun di kumpulkan semua penduduk desa untuk membayar petualang agar
mereka dapat menyelesaikan permasalahan goblin yang mereka alami, sekarang
telah di gunakan untuk membunuh goblin secara harfiah. Keadilan puitis
tertinggi.
“GRB?!”
“GRORB?!”
Satu monster mendapati bola
matanya pecah layaknya sebuah gelembung, dan masuk ke dalam otaknya, yang terus
berlanjut hancur di dalam kepalanya.
Menghentikan satu atau dua
goblin cukuplah mudah.
Goblin Slayer menendang goblin
pertama ke damping, mengambil pedang makhluk itu dalam satu gerakan.
“Hrgh...!”
Goblin lain memanfaatkan
kesempatan ini untuk menerjang mengarahnya dengan belati beracun. Goblin Slayer
menyambut makhluk itu dengan perisainya, menyebabkan makhluk itu terbang.
Panah semakin banyak
menghujani, namun seraya para goblin semakin terdorong oleh kekuatan tak
terlihat, Goblin Slayer menghiraukannya, mereka bukanlah urusan dia.
“Aku mengirim beberapa dari
mereka ke arahmu!”
“Aw, jangan bikin kerjaanku
tambah banyak!”
Walaupun mengeluh, Spearman
menampilkan teknik yang luar biasa. Dalam satu ayunan, dia menusuk beberapa
makhluk yang berada di depannya, dan seraya dia menarik senjatanya kembali, dia
menghantamkan pantat tombak ke belakangnya. Ujung belakang tombak itu
menghantam tengkorak goblin yang terlempar karena perisai, menghancurkan
kepalanya dan membunuhnya.
“Kita nggak akan membiarkan
satu goblinpun melewati kita!”
“Itu memang tujuanku.”
Punggung kedua warrior itu
bertemu, para goblin membanjiri mereka layaknya sebuah ombak hitam.
Jika di lihat dari
ketangguhan dan kekuatan, Spearman jelas jauh di atas Goblin Slayer. Dia
membasmi goblin layaknya sebuah gandum dengan setiap ayunan tombaknya.
Goblin Slayer, tentunya,
mencoba untuk memastikan agar Spearman tidak di serang dari belakang. Dia
menghabisi setiap monster yang terlewatkan oleh Spearman, menghadapi apa yang
berada di depannya, dan melemparkan kepada Spearman apa yang tidak dapat di
habisi sendiri.
Mereka sama sekali tidak
berpikir tentang pertahanan, mereka hanya menggunakan Deflect Missile untuk
menghalau batu yang terbang ke arah mereka.
Mereka hanya berfokus pada
senjatanya masing-masing.
Namun tentu sajam bahkan
bagi Goblin Slayer, semua tidak akan berjalan semua itu begitu saja.
“Shaman!”
Teriakan High Elf Archer
terdengar oleh barisan depan mereka. Di belakang barisan formasi goblin berdiri
satu monster dengan tongkat, melantunkan sebuah mantra.
Cahaya bersinar dari tongkat
yang di angkatnya dan kemudian terbang.
Adalah sebuah mantra
menyerang yang paling sederhana, Magic Arrow.
Mantra ini mungkin tidak
begitu kuat, namun jika terkena, dalam beberapa kasus, dapat memutar balik arah
pertempuran. Terlebih, karena ini adalah sebuah sihir, Deflect Missile tidak
dapat menghalaunya.
Cukup cerdas, bagi seekor
goblin. Namun Spearman berteriak dengan lantang. “Halau!”
“Magna...remora,,,restinguitur! Akhir dari sebuah sihir!”
Witch tersenyum dan
mekantunkan sebuah mantra yang hampir terdengar seperti lagu. Adalah sebuah
Counterspell, dan mantra ini akan melawan kata kekuatan sejati yang telah di ucapkan
shaman itu.
Di kala sihir itu bertemu
dengan kata Witch, kebanyakan panah sihir menghilang, hanya meninggalkan
beberapa dari panah sihir itu mencapai Spearman dan Goblin Slayer.
“Bisakah...kalian...tidak...menambah...pekerjaanku...?”
“Itu memang pekerjaanmu!”
Perdebatan demi perdebatan.
Spearman maju menuju pusat para goblin bahkan seraya darah menetes dari luka di
pipinya; tampaknya dia sama sekali tidak mempedulikan hal itu.
“Mereka mau panah? Aku akan
berikan mereka panah,” High Elf Archer menggerutu, membiarkan busur bertali
sutra laba-laba yang berbicara.
Salah satu panahnya terbang
melintasi debu dan tebalnya udara, menancap pada leher shaman seperti yang dia
harapkan.
“Tuh!”
“Ada luka?” Pertanyaan itu
datang dari Lizard Priest, yang tampak bosan di barisan belakang; menepuk
ekornya di tanah dengan tidak sabar. Tanpa Priestess di sana, dia adalah
satu-satunya cleric di party ini, satu-satunya yang mampu menggunakan keajaiban
penyembuhan. Dia tampak merasa tidak puas karena harus berada pada garis
belakang dan menyimpan mantranya.
“Nggak masalah,” Goblin
Slayer menjawab singkat, memeriksa dirinya sendiri. Terdapat sebuah tempat di
mana armor kulit dan baju besi usangnya telah tertembus; darah mengalir di sini
dan di sana, dan dia merasakan sakit.
Dengan
kata lain, aku masih hidup.
Dia terus mengayunkan
pedangnya melawan goblin yang berada di depannya seraya merogoh kantung
peralatannya, menggunakan ikatan tali untuk membimbingnya. Dia menarik sebuah potion dan meneguknya kemudian
melempar botol kosong itu dengan tangan kiri.
“GROORB!!”
“Mati.”
Sang goblin terhuyung ke
belakang di karenakan hantaman tiba-tiba itu; Goblin Slayer menyayat
tenggorokannya tanpa belas kasih. Darah membuih pada leher makhluk itu; Goblin
Slayer menendangnya menjauh dan menarik pedangnya dari mayat itu.
“Kamu masih punya mantra?”
Dia bertanya, menenangkan pernapasannya.
“Syukurnya...iya.” Witch
membalas dengan senyuman.
“Kami juga.” Dwarf Shaman
berkata.
“Haruskah saya menciptakan
seekor Dragontooth Warrior?”
“Jangan.” Goblin Slayer menjawab
pertanyaan temannya, menggelengkan kepalanya penuh arti. Dia mendengus halus,
mendengak menatap langit-langit terowongan yang telah di gali goblin.
“Orcbolg,” High Elf Archer
berkata dengan nada lemas. “Kamu berpikir sesuatu yang nggak menyenangkan lagi
kan?”
“Ya,” Goblin Slayer
mengangguk dengan anggukan. “Nggak menyenangkan untuk goblin.”
*****
Para petualang pada bangunan
kantor setengah jadi mulai bersantai ketika suara pertarungan semakin terdengar
menjauh.
“...Menurutmu mereka pergi
ke sana?”
“Kayaknya.”
Mungkin
kita akan di selamatkan. Ibu, ayah, mungkin kami akan selamat.
Seraya mereka saling
bertukar pandang dan berbisik, setiap kata yang terucap dari mereka adalah rasa
takut atau sebuah keluhan.
Ini
nggak akan membantu sama sekali.
Heavy Warrior menghela
seraya dia berdiri di pintu masuk, memandang keluar. Dia sedang gundah, dan dia
membenci hal itu.
Bukanlah karena dia tidak
mengerti apa yang di rasakan para pemula.
Setiap orang, ketika mereka
gagal, ketika mereka menghadapi sesuatu yang sulit ataupun menyakitkan, mereka
akan mendapati dirinya merasa takut. Dan mungkin mereka akan kaku tidak
bergerak di karenakan frustasi.
Terlebih, semua anak kecil
ini tidak ingin di bunuh oleh goblin. Tak seorangpun yang menginginkannya.
Namun apalah arti seorang
petualang yang tidak pernah berpetualang? Tidak peduli walaupun mereka merasa
takut, seoraang petualang sejati tidak akan pernah menyerah hingga mereka mati.
Bahkan jika lemparan dadu
para dewa berikutnya mungkin akan sangat kritikal.
Di saat itu...
Fwump.
Terdengar suara langkah kaki
berat, yang menyebabkan tanah sedikit bergetar.
Para pemula merinding,
menelan liurnya dengan gugup; mereka menutup mata dan mulut dan berhenti
berbicara.
Sebuah bayangan besar.
Tingginya melebihi pentungan
raksasa yang berada di tangannya.
Heavy Warrior tidak perlu rwpot-repot
membongkar ingatan pengetahuan monster miliknya untuk mengetahui apa yang ada
di depannya.
“Kita dapat pengunjung besar
dan jelek. Hob.”
Hob.
Seejor hobgoblin.
Goblin tingkat tinggi yang terkadang
muncul. Mereka tidak memiliki kecerdasan dan mereka juga bukan petarung yang
cukup unggul, namun mereka memiliki tenaga yang tak terbatas. Di dalam banyak
sarang, mereka berperan sebagai pemimpin, atau terkadang di pekerjakan sebagai penjaga.
“Hey bocah-bocah. Mau lihat
sesuatu yang bagus?”
Heavy Warrior meludah pada
telapak tangannya, menyebarkannya pada gagang pedang besarnya, kemudian
menggenggam pedangnya dengan erat. “Aku nggak tahu apa yang di ajari mereka
kepada kalian, tapi aku punya satu pelajaran untuk kalian.”
Kemudian dengan santainya
dia berjalan keluar pintu.
“HHOOOORRBB!!”
Satu, dua, tiga langkah. Dia
berjalan lurus menuju goblin raksasa itu.
Adalah sekedar seekor
goblin. Namun tetap saja dia seekor goblin.
Goblin ini tidaklah
sebanding dengan goblin champion yang pernah dia hadapi sebelumnya.
Tetap saja, serangan telak dari
otot kekar itu tentunya tidak akan menyenangkan bagi Heavy Warrior. Tergantung
keadaannya, serangan itu dapat menjadi fatal.
“Nggak peduli makhluk
sebesar apapun yang kamu hadapi, sekali kamu mempunyai informasi yang cukup
tentangnya—“
Siapa yang akan percaya
bahwa senjata besar itu dapat di ayunkan berputar dengan begitu mudahnya?
Dia melangkah ke depan.
Dia membiarkan momentum dari
tubuhnya menggiring dirinya. Jika kamu cukup kuat, itu bukanlah hal yang
mustahil.
Tubuhnya mulai menekuk.
Pedang baja dua tangan ini
jauh lebih mahal di banding perlengkapannya yang lain. Dan Heavy Warrior—
“—maka, kalian akan dapat
membunuh segalanya—bahkan dewa!”
--mengayunkan pedangnya.
*****
Goblin selalu memikirkan
kejahatan di dalam otaknya.
Dongeng yang di ceritakan selalu
seperti itu, namun kemungkinan untuk dapat melihatnya secara langsung sangatlah
jarang.
“GROB! GROORB!!”
“GORROOR!!”
Bagaimana ini bida terjadi?
Kepalanya berpikir seraya
armor kulit baru yang masih kaku miliknya, mulai tertekan dan retak. Seharusnya
dia mempunyai sebuah pedang di tangannya, namun tampaknya dia telah
menjatuhkannya seraya dia berlari. Setiap kali dia melangkah, sarung pedang itu
mengenai kakinya, mengingatkannya bahwa kepalanya sama kosong seperti sarung
pedangnya.
Kegelapan malam tampak penuh
dengan tawaan para goblin.
Bayangan pepohonan di dalam
siraman cahaya bulan tampak begitu menyeramkan, dan sekumpulan pasang mata
membara layaknya bintang di kegelapan.
Adalah sesuatu yang kebanyakan
terlihat di dalam mimpi buruk. Mungkin para pemula—para pemula yang bahkan
tidak sempat menyelesaikan latihan mereka—tidak pernah memimpikannya.
Tidak satupun dari mereka.
Kebanyakan dari mereka,
ketika membayangkan dirinya di dalam keadaan genting, selalu berkhayal bahwa
mereka dapat keluar dari situasi itu dengan gagah berani. Jauh dalam lubuk gua,
di kelilingi goblin? Mereka akan mencari cara cerdas untuk dapat memutar arah
pertarungan.
Namun mereka tidak pernah
membayangkan bahwa mereka akan di kelilingi goblin pada sebuah lahan terbuka di
malam hari.
“...Si-sialan!”
“Lewat sini, cepat!”
seseorang berteriak dan merekapun bergegas memasukin hutan.
Mereka berpikir bahwa ini
akan dapat memberikan mereka keuntungan di bandingkan jika mereka harus
terperangkap di lapangan.
Pada awalnya, mereka mungkin
berjumlah lima belas. Mereka sedang berjalan di jalan setelah latihan, berjalan
kembali menuju kota.
Akan ada latihan lagi
keesokkan harinya. Namun mereka ingin ingin pergi berpetualang secepatnya. Dan
itulah yang selalu mereka perbincangkan.
Dan apa hasilnya?
Sebuah jeritan terdengar
dari ekor grup mereka. Mereka berputar untuk melihat seorang gadis. Di
kerubungi begitu banyak sosok gelap.
“Tidaaaak!
Tidak, hentikan, hen—ahh! Gghh... Hrrgh...?!”
Mereka masih dapat mendengar
jeritannya seraya nyawanya berakhir, suara gadis itu terdengar begitu menyayat
hati seraya dia menangis dan memanggil ibunya.
Ketika sia berusaha untuk
menyelamatkannya dan berhasil menarik gadis itu menjauh, semua sudah terlambat.
Gadis itu penuh dengan luka sayatan dan robek pada bajunya, tulang muncuat
keluar dan merobek daging. Tentu saja dia tidak hidup. Bagaimana mungkin dia
dapat hidup?
...setelah itu, semuanya
menjadi kekacauan.
“Goblin!”
Beberapa orang berteriak dan
berusaha melarikan diri; yang lain berusaha untuk menghadapi para monster, namun
satu menghilang, dan kemudian satu terpisah...
Sekarang hanya lima atau
enam dari mereka yang tersisa.
“Aku kira goblin selalu
menetap di dalam guanya...!”
“Sekarang mereka ada di
sini, jadi berhenti mengeluh!” sang warrior berlari mengikuti, melepas helmnya
yang terasa semakin panas. “Kita harus bisa kembali ke—“
Dia tidak sempat
menyelesaikan ucapannya.
Sebuah batu menimpa
kepalanya dari atas, menghancurkan tengkoraknya.
“Ap-apa—?!”
Di
atas kita?!
Petualang lain berusaha
untuk membersihkan ceceran otak yang menciprat di kepala mereka kemudian
mendengak melihat pepohonan, di mana mereka melihat: mata bersinar para goblin.
“Aku nggak pernah dengar
mereka bisa panjat pohon!!” Dia dapat menganggap dirinya beruntung karena dia
tidak langsung menangis tepat pada saat itj.
Dia masihlah lima belas
tahun. Bocah terkuat pada desanya. Dengan hanya bermodalkan itu telah cukup
membuatnya yakin untuk meninggalkan desanya.
Dia mengetahui cara mengayunkan
sebuah pedang. Pengintaian sederhana, bagaimana cara mendirikan tenda—Dan
lain-lain. Dia selalu mengira dirinya “Piawai.” Sudah begitu terlambat baginya
untuk menyadari betapa keliru dirinya.
Kelima petualang yang masih
hidup berkumpul bersama, mencoba menjaga lutut mereka untuk berhenti bergetar.
Mereka menggenggam senjata
mereka dengan gemetaran, berusaha melnatunkan mantra dengan lidah mereka yang
terbelit, mencoba berdoa di tengah rasa takut mereka yang sangat.
Raungan tawa para goblin
kembali terdengar.
“GOORORB!!”
“GROORB! GRORRB!!”
Mereka menunjuk para
petualang yang ketakutan, mendekat dan terkekeh dengan begitu lantang.
Jika para petualang dapat
memahami bahasa para goblin, rasa takut mereka akan semakin meningkat.
Dua
poin untuk lengan. Tiga poin untuk kaki. Sepuluh untuk kepala. Dan lima untuk
badan.
Tidak ada bonus untuk pria,
tetapi sepuluhnpoin tambahan untuk para wanita.
Cara terkeji untuk
menentukan siapa yang akan mereka incar.
Dan semua ini di tambah
dengan fakta bahwa ketapel dan tombak membuat mustahil untuk mengatahui siapa
yang membunuh siapa, dan tidak di ragukan bahwa mereka akan berdebat tentang
siapa yang memiliki poin terbanyak.
Para goblin memikirkan
permainan menyenangkan yang mereka ciptakan ini. Mereka mengusung senjata
mereka dengan riang.
Apakah ini akhirnya?
Gigi para petualang bergetar
seraya mereka memperhatikan para goblin maju.
Di antara ujung pedang
berkarat, mata tombak, batu kasar, tidak tampak sedikitpun belas kasih—
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, berkahilah cahaya sucimu kepada kami yang
tersesat di kegelapan!”
Itulah di mana ketika sebuah
keajaiban terjadi.
Sebuah kilauan meledak
layaknya matahari, menyerang para goblin dengan kekuatannya.
“GROOROROB?!”
“GORRRB?!”
Para goblin menjerit dan
terhuyung ke belakang; kemudian di antara mereka muncul sebuah sosok, dan satu
sosok lainnya.
“Terima—ini!!”
“Yaaaaahhhh!!”
Rhea Fighter menggenggam
pedang tangan satu, sementara Rookie Warrior mengayunkan pentungannya ke sini
dan ke sana.
Kekuatan mereka tidak
seberapa namun efektif. Hajar, hajar,
hajar.
Mereka seperti sebuah tornado
yang turun memporak-porandakan para goblin.
“GORB?!”
“GOROORB?!”
Mereka mungkin tidak dapat
membelah goblin menjadi dua, namun jika kamu menebas seekor makhluk dari pundak
turun hingga badan, mematahkan tulang dan daging bersamanya, maka musuhmu akan
mati.
Mereka tidak membutuhkan
serangan kritikal untuk melawan goblin.
“E-ergh, aku masih belum
terbiasa dengan perasaan ini!” Rhea Fighter mengeluh seraya dia menarik pedang
dari salah satu monster.
“Mereka masih datang!”
Rookie Warrior berteriak, menendang mayat goblin ke samping.
Dia sedang meniru Goblin
Slayer. Jika pria itu bertarung
pertarungan ini, dia akan menjatuhkan pedangnya dan mencuri senjata lain.
Tetapi juga, Spearman tentu
akan bertindak lebih rapi, mengincar titik vital dan menusuk mereka dengan
cepat sebelum bergerak menuju sasaran berikutnya.
Dan Heavy Warrior? Dia akan
menyapu semua goblin dengan satu ayunan besar pedang besarnya.
Tapi
kurasa aku nggak bisa melakukan satupun dari itu semua, jadi...!”
Memikirkan sebuah puncak
yang belum dapat di daki, mengobarkan semangat bertarungnya.
“Baiklah kalian monster,
maju...!”
“Oh, yang—! Kalau kamu
sampai kehilangan senjata lagi, kamu nggak akan dapat sangu sampai kita beli
senjata baru!” Apprentice Priestess menerikai Rookie Warrior, kemudian dia bergegas
mendekati para petualang, memegang rumbai rok jubahnya agar dia dapat berlari.
“Ada luka? Ngomong! Sini, aku akan merawatmu! Keajaiban hanya untuk luka yang
parah saja!”
Beberapa petualang datang
mendekatinya. Dia tidak melihat seseorang yang perlu membutuhkan perawatan
darurat. Ataupun seseorang yang terlihat
seperti teracuni.
Tetap saja, ini bukanlah
saat yang tepat untuk berkata Syukurlah
kita sampai tepat waktu!
Sepuluh petualang muda
terbunuh dengan begitu keji di jalanan.
Apprentice Cleric menggigit
bibirnya dan mengeluarkan beberapa perban dari dalam tasnya. Diz tidak dapat
mengunakan Minor Heal kepada semua orang.
“Ka-kalian...”
“Kami datang untuk—untuk
menolong kalian!”
Suara itu datang dari
Priestess yang mengusung tongkatnya, sumber dari Holy Light yang bersinar.
Wajah kurusnya berkilau karena keringat, dan dia menatap pada gerombolan
goblin; adalah kepercayaannya yang tidak pernah goyah yang membuat keajaibannya
terus berlanjut.
“Semuanya berkumpul!”
Priestess memerintahkan. “Kita akan keluar menuju lapangan! Dalam ruang
tertutup seperti ini, kita akan jadi santapan goblin!”
“Tapi... Tapi kalau mereka
mengepung kita di sana...”
“Aku akan melindungi kita
dengan Protection... pergi saja!” Priestess berteriak, dengan tenang memikirkan
bagaimana cara untuk menggunakan keajaibannya.
Kemungkinan terbesar, dia
harus menggunakan dua keajaiban secara sekaligus untuk menghalau serangan
goblin seraya mereka mundur. Dia masih dapat menggunakan tiga keajaiban per
hari, jadi akan sangat percuma jika dia menyia-nyiakan satu pun keajaibannya.
Nggak
ada Minor Heal hari ini juga ya?
Dia merasa pilu memikirkan
itu, namun ini adalah cara terbaik bagi dirinya untuk bertarung. Jika dia tetap
teguh pada kepercayaan itu, Ibunda Bumi yang maha pengasih akan selalu memberikan
cahayanya.
“___”
Di antara para petualang
yang datang untuk melakukan penyelamatan adalah seorang bocah dengan rambut
merah, yang sama sekali tidak mengatakan apapun.
Riuhnya pertarungan.
Teriakan dari kedua petarung baris depan mereka. Jeritan para goblin. Perlindungan
dari dua cleric. Respon dari para petualang.
Sang bocah menyerap semua
ini, mulutnya tertutup rapat, meremas tongkatnya dengan begitu keras hingga
jarinya menjadi putih.
Mengapa? Karena di dalam
party lima orang ini, adalah dirinya yang memiliki kekuatan tempud terbesar.
Aku
nggak bisa menggunakan mantraku sembarangan.
Dia tidak akan membuat
kesalahan sama seperti sebelumnya.
Terdapat begitu banyak
goblin. Dan hanya terdapat tiga petualang termasuk dirinya yang dapat bertarung
dengan benar, akan tetapi musuh mereka berjumlah lebih dari selusin.
Dapatkah dia mengalahkan
mereka semua dengan hanya satu Fireball? Tidak, mustahil. Musuh mereka terlalu
tersebar untuk bisa di bunuh dalam satu ledakan.
Namun menggunakan mantranya
untuk mengalahkan satu goblin sama sekali tidak masuk akal.
Tetapi dia tidak mempunyai
waktu untuk memikirkan ini. Terdapat goblin di segala arah, dan berdiri terdiam
hanya akan membuat menjadi sasaran yang mudah.
Seperti acolyte yang mereka
tangkap itu. Apa yang akan terjadi dengan gadis-gadis yang ada di sini?
Apa yang telah terjadi
kepada kakak perempuannya...?
Tiba-tiba, Wizard Boy merasa
pandangannya memanas seperti api, namun di saat yang sama dirinya sangatlah
tenang.
Petualang aneh itu, Goblin
Slayer—walaupun Wizard Boy enggan untuk mengakuinya, pria itu selalu tenang.
Jika kemarahan dirinya memicu cara bagaimana dia menggunakan mantranya, kali
ini dia akan benar-benar menjadi pria yang lebih rendah dari petualang itu.
Tidak-bukan berarti Goblin
Slayer akan mengatakan apapun. Namun dirinya tidak akan pernah memaafkan
dirinya sendiri.
Jadi
apa yang akan ku lakukan?
Wizard tidaklah hanya
sekedar melempar bola api dan memanggil kilatan petir.
Jadi apa yang dapat di
lakukan—?
Pada saat itu, sebuah
kilasan menyambar otaknya layaknya sebuah petir.
“Semuanya, tutup telinga
kalian!”
“Apa?! Kami—sedikit
sibuk—bertarung di sini—!”
“Buruan!”
“Aw, sial!”
Rookie Warrior dan Rhea
Fighter tidaklah senang dengan instruksi tiba-tiba itu, namun mereka tidak
mendebatnya.
Tidak ada waktu untuk di
buang percuma.
Bocah berambut merah melirik
pada Priestess, yang mengangguk serius kepadanya.
“Aku serahkan padamu!”
Seperti yang telah di
lakukam Goblin Slayer padanya kala petualang setelah festival, dan di
pegunungan bersalju.
Penggunaaan mantra, seperti
kebanyakan hal lainnya, membutuhkan perintah dan kepercayaan pemimpin party.
Dan bocah yang di percayai
Priestess—bocah wizard berambut merah—mengangguk dan mengangkat tongkatnya.
“Kamu juga! Lakukan apa yang
dia katakan dan tutup telingamu!” Apprentice Cleric berteriak kepada para
petualang yang di rawatnya.
Rookie Warrior dan Rhea
Fighter dengan cepat menghabisi goblin yang berada di depan mereka dan kemudian
bergegas mengambil jarak.
Aku
Cuma punya satu kesempatan.
Dari mulut bocah itu keluarlah
kata akan kekuatan sejati, mantra yang di lepaskan ke dunia ini.
“Crescunt!
Crescunt! Crescunt!”
Hanyalah tiga patah kata.
Sebuah kekuatan tak kasat mata membengkak, mengambang di udara, tumpah di depan
saang bocah.
Apa yang terjadi berikutnya
adalah satu suara.
HRRR
RRRRRRAAAAA AAAAAAAAAAAAAAAAAH HHH!!!!
Udara bergetar.
*****
Seperti membunuh semua
burung dengan satu batu.
Seperti itulah satu serangan
dari pedang besar Heavy Warrior, di iringi dengan teriakan darinya.
Dalam satu serangan dashsyat,
membelah setiap inci bagian hobgoblin—pentungannya, dagingnya, dan darah.
Darah hitam terciprat ke
segala arah; makhluk itu terbelah dua ke bawah dengan begitu rapi sebelum pada
akhirnya tergeletak di tanah.
Para pemula yang terpukau
hanya dapat melongo seraya Heavy Warrior membersihkan pedangnya dan memasangnya
kembali pada punggungnya.
“Oh-ho.”
Keseluruhan area terisi
penuh dengan sebuah suara yang mengancam gendang telinga mereka.
Teriakan seseorang? Dari
mana asal suara itu?
Dia mendengak mengarah langit,
walaupun dia tidak akan menemukan jawabannya di atas sana.
“Sepertinya seseorang lagi
bersenang-senang.” Heavy Warrior menyeringai seperti senyum seekor hiu.
*****
Tepat pada saat itu, ceceran
bumi menghujani dari langit-langit, dan kelembaban dari ceceran itu membuat
Goblin Slayer memberikan keputusan.
“Di atas.”
Dia membenamkam sebuah
tombak tangan pada tenggorokan goblin dan kemudian menendang mayat yang berbuih
itu menjauh, melepaskan senjata itu bersamanya. Sebagai gantinya dia mengambil
sebuah golok dari pinggul makhlukmitu.
Goblin Slayer menyadari
bahwa dia tidak sehebat Spearman dalam menggunakan tombak.
“Buka lubang di atas kita!”
Seraya teriakan itu
terdengar barisan belakang, Dwarf Shaman sudah menggali isi tas katalisnya. “Satu
lagi? Oke segera datang!”
“Lubang? Kamu mau ngapain
dengan lubang?” Spearman berteriak seraya dia mempekerjakan senjatanya untuk
menghalau gelombang murka para goblin. Tubuhnya penuh dengan luka kecil, bukti
bahwa dia tidaklahnkebal. Bahkan dengan beberapa petualang berpengalaman pada
baris depan, pada akhirnya jumlah akan menang. Rasa perih atau rasa lelah,
saling menumpuk secara terus menerus, yang akan menuju kematian pada waktunya.
“Aku punya rencana,” Goblin
Slayer berkata pendek dan menghantam ujung perisai yang telah di asahnya masuk
ke dalam dahi goblin. Melihat makhluk itu masih menolak ajalnya, Goblin Slayer
mengayunkan golok barunya seolah sedang memotong kayu bakar.
Terdengar suara splorch yang memuaskan, dan otak
berceceran ke segala penjuru dinding gua.
“Tapi pertama-tama, aku
ingin membuat mereka merasa lebih takut lagi di gua yang lebih dalam.”
“Menggunakan Fear dan Tunnel
secara bersamaan itu sedikit berlebihan bahkan bagiku!”
“Tuanku Goblin Slayer,
mereka hanya perlu di desak lebih ke dalam benar?”
Dwarf Shaman berdiri di atas
tas katalisnya agar dapat meraih langit-langit gua, yang di mana dia menggambar
sebuah sigil. Lizard Priest bergerak maju untuk melindunginya; Saat ini
menunjukkan taringnya yang mengerikan.
Tibalah waktu di mana
dirinya dapat menggunakan kekuatan spritualnya yang telah dia simpan hingga
saat ini.
Lizard Priest membuat sebuah
gerakan aneh dengan kedua telapak tangannya dan menarik nappas, mengisi
paru-parunya dengan udara. Dia terlihat seperti seekor naga yang mempersiapkan
senjata napasnya.
“Bao
long, leluhur terhormat, penguasa Cretaceous, ijinkan hamba meminjam kebringasan
anda!” (TL note : Creataceous = Salah satu jaman
masa purba.)
Ketika dia telah selesai
melantunkan doanya, Dragon Roar meledak menembus terowongam. Suara hembusan
nafas rahang Lizard Priest menggetarkan
udara.
Para goblin, mendengar
raungan naga besar dan mengerikan di dalam terowongan mereka, merasakan
keberanian mereka semakin menipis.
Dari awal goblin tidak
pernah mempunyai keberanian. Mereka bertindak begitu kejam ketika mereka berada
di posisi yang menguntungkan atau ketika sedang membalas dendam.
Dan ketika takut, mereka
tidak mempunyai konsep mundur secara teratur.
“GORRRRBB! GBROOB!!”
“GROB! GGROB!!”
Menjerit dan menjatuhkan
senjata mereka ke sini dan ke sana, mereka mulai berlarian. Witch menggunakan
Light untuk menerangi sosok goblin mereka yang berlari.
Lizard Priest mendengus
melihat pemandangan menyedihkan ini. “Mereka akan segera kembali,” dia
memperingatkan. “Bahkan kekuatan naga tidak akan bertahan selamanya.”
“Aku nggak peduli.” Goblin
Slayer menjawab, namun pada saat yang sama, menjaga postur berjaga rendah dan
menatap pada kejauhan.
High Elf Archer, mulai
tampak lelah, menepuk pundak Goblin Slayer. “Orcbolg, apa kamu berencana
menggunakan scroll lagi?”
“Aku cuma punya satu.”
“...Itu sama sekali nggak
membuatku lebih baik.”
Goblin Slayer mengangguk
seraya dia melihat Dwarf Sha,an melanjutkan menggambar sebuah pola.
“Ada danau di atas kita.”
*****
Teriakan sang bocah di
perkuat oleh sihir, menggema di keseluruhan udara dan pepohonan hutan.
Hanyalah sebuah suara yang keras.
Bukanlah hal yang istimewa untuk sesuatu yang di hasilkan oleh kata yang dapat
mengubah tatanan logika dunia.
Professornya di akademi
tidak akan berhenti memberikan omelannya—namun saat ini dia sedang tidak berada
di akademi.
Teriakan itu mungkin tidak
memiliki ancaman fisik dari sebuah Fireball, namun suara lantangnya begitu
berkumandang. Yang terpenting dari semua, area efeknya jauh leb8h besar dari
Fireball. Goblin yang berada dekat dengannya segera jatuh tidak sadarkan diri,
sementara yang lain terdiam terkejut, dan yang lainnya melupakan segalanya dan
mulai berlari.
“GOOROB?!”
“GROOB?! GRRO?!”
Sang bocah menggenggam
tongkatnya, menggigit bibirnya dengan begitu kuat hingga darah menetes darinya,
dan menatap mengarah punggung para goblin.
Dia ingin membunuh mereka.
Makhluk yang begitu egois.
Beringas dan gemar membunuh. Akan tetapi, sekarang mereka berlari. Dan dia
membiarkan mereka.
Ini tidaklah cukup.
Terdapat kakak perempuannya untuk
di kenang. Para petualang yang telah mereka bunuh. Sang acolyte yang dia dan
partynya telah selamatkan.
Kemudian rasa malu karena
mereka telah berhasil menjadi korban yang mereka semua rasakan.
Ketidakberdayaan. Kesedihan. Kemarahan. Semua itu membara di dalam hatinya.
Untuk dapat melampiaskan
semua itu—betapa menyenangkannya! Betapa memuaskannya!
Benar, tetapi...
“Kita pergi dari sini!”
Adalah teriakan Priestess
yang menyadarkan bocah itu kembali. Dia menggenggam erat tongkatnya, yang masih
bersinar dengan Holy Light, dan menggunakannya untuk menunjukkan arah mana
mereka harus pergi.
“Pergi keluar dari hutan dan
menuju kota!”
“Siap!” Rookie Warrior
berteriak membalas. Dia membenamkan oedangnya pada tenggorokan goblin yang
tidak sadarkan diri di sampingnya dan kemudian mulai berjalan maju. “Ini dia.
Untuk bisa mencapai ke rumah adalah prioritas utama! Ikuti aku!”
“Biarkan dia pimpin jalannya! Aku akan awasi grup ini—kamu
jaga belakang kita!”
“Oke!” Rhea Fighter membalas
Apprentice Cleric. Walaupun dengan semua pertarungan itu, rhea itu tidak tampak
lelah. Apakah itu ciri khas kaum rhea? Atau memang itu bakatnya?
Rhea Fighter melewati sang
bocah seraya dia menuju baris belakang. “Kerja bagus. Itu tadi benar-benar
sesuatu.” Dia hanya dapat tersenyum kepada sang bocah ketika dia melewatinya,
namun itu merupakan senyum yang tulus.
Setelah beberapa saat, sang
bocah mengangguk. “...Terima kasih.”
Seraya party mereka
mengelilingi para petualang dan mulai berlari, sang bocah melirik ke belakang.
Mantra yang dia gunakan
tidak di maksudkan untuk membunuh, hanya untuk memberikan mereka peluang agar
dapat melarikan diri.
Adalah benar: tujuannya kali
ini tidak untuk membunuh goblin.
Adalah untuk menolong orang
lain. Untuk mengeluarkan mereka ke tempat yang aman dan kembali ke kota.
Betapa memuaskannya jika dia
dapat membantai seluruh goblin itu.
Tetapi—ya, tetapi.
Aku
bukan Goblin Slayer.
Sang bocah melarikan diri
dari medan tempur dan menghadap ke depan, berlari dengan yang lainnya.
Dia tidak melihat ke
belakang kembali.
*****
Para goblin datang layaknya
sebuah gelombang, dan sekarang mereka mulai tersapu satu persatu.
Air danau yang datang
menyembur melewati langit-langit yang berubah menjadi longsoran lumpur, tumpah
mengisi terowongan goblin.
Tidak beruntungnya bagi
mereka, sarang mereka berada pada sebuah turunan. Para petualang telah sedikit
mendapatkan tempat yang sedikit tinggi, dan itu sudah cukup untuk membuat
mereka aman, namun untuk para goblin yang melarikan diri ke dalam terowongan...
“GORRRRBB?!”
“GBBOR?! GOBBG?!”
Para goblin timbul dari
balik banjir itu dan kemudian kembali tenggelam, tenggelam di dalam air
berlumpur. Adalah pemandangan yang begitu mengerikan.
“Aku rasa ini cukup bagus.”
Spearman berkata, memukul goblin di kepala dengan pantat tombaknya dan
memperhatikannya kembali tenggelam. “Tapi kita nggak bisa mengejar mereka kalau
seperti ini. Gimana kalau mereka akan menyerang lagi ketika airnya mulai
surut?”
“Ketika kita sampai dimujung
terowwongan, gunakan mantra es.” Goblin Slayer memberikan arahan berikutnya
kepada Witch, yang sekarang mempunyai ekspresi ambigu. “Es itu akan menjalar
ketika membekukan air, menghancurkan terowongan ini. Mereka nggak akan bisa
menggunakannya lagi.”
“Baik...aku...mengerti.”
“Kita harus mencari sarang
mereka dari permukaan dan menghancurkannya.”
Goblin Slayer telah
melakukan beberapa perhitungan mental. Para goblin hanya mencuri peralatan
konstruksi, dan tidak mencuri makanan. Quest sebelumnya juga kurang lebih sama:
mereka hanya menculik tahanan untuk membantu mereka meluangkan waktu.
Ini artinya jantung operasi
mereka tidak berada jauh.
Apa yang para goblin
pikirkan ketika mereka melihat sebuah bangunan yang sedang dalam tahap
pembangunan dan para petualang berkumpul di sana? Goblin Slayer tidak mungkin
dapat mengetahuinya.
“...Kurasa aku akan
membiarkan kalian menangani itu. Aku capek.” Spearman meremas senjatanya dengan
lemas kemudian duduk di samping terowongan. “Lain...kali...
jika...kamu...ingin...jencan...ganda... Aku...harap...sesuatu...selain...goblin...”
“Aku mengerti.”
Jika di ingat, tidak satupun
dari mereka yang beristirahat selama beberapa jam terakhir. Semua orang
bertarung melewati malam. Mereka ingin sekali untuk dapat tidur dengan begitu
nyenyak.
High Elf Archer, terlemah
secara fisik di antara ke enam petualang tingkat silver, mendapati telinganya
terjatuh lemas. “Aku capek banget...”
“Jangan perlakukan bumi
seperti itu,” Dwarf Shaman menegur sang archer seraya gadis itu bersandar pada
sebuah dinding. “Dia tadi bilang kalau kita harus mencari dan menghancurkan
sarang mereka.”
High Elf Archer memanyunkan
bibirnya. “Iya, aku tahu, tapi...!”
Dia sebenarnya tidak begitu
marah. Dia mengelap pipi berlumur lumpur dan bergumam, “Inilah kenapa aku benci
auest membasmi goblin.”
Kebanyakan petualang akan
setuju dengannya.
Air bergelembung dan meletus
seraya air naik dan turun. Apakah itu suara goblin yang sedang sekarat atau
hanyalah suara banjir yang berlalu?
“Saya cukup terkesan anda
mengetahui bahwa kita sedang berada di bawah sebuah danau.” Lizard Priest
berkata dengan tenang seraya dia memperhatikan air. “Apakah tuanku Goblin
Slayer pernah ke tempat ini sebelumnya?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata
acuh seraya dia memperhatikan para monster hanyut. “Dulu... Dulu sekali...”
Banyak goblin mati pada hari
itu, begitu pula petualang.
Namun para petualang menang.
Lapangan latihan telah
berhasil dipertahankan.
Akan tetapi, tampaknya
jumlah goblin di dunia tidak berkurang sama sekali.
5 Comments
terimakasih atas kerja kerasnya
BalasHapusSama2 mas :)
HapusUdh gede ya dedek priestess kita
BalasHapusBtw thanks buat translate.a
Terimakasoh
BalasHapusSemangat terus #shirou
BalasHapusPosting Komentar