PETUALANGAN SOLO
(Translater : Zerard)
Guru gadis itu mengatakan
kepadanya untuk tidak pergi keluar pada hari itu, namun rasa penasarannya jauh
lebih persuasif di banding instrukturnya.
Terdapat bagian luar dari
dinding kuil yang telah rusak, dan ini akan menjadi kesempatan sempurna untuk
melihat apakah dia dapat keluar melalui celah itu.
“Hrm...ahh... Itu dia! Heh-heh! Gampang.”
Pakaiannya penuh akan debu,
namun dia tidak mempermasalahkannya seraya dia mengeluarkan suara bangga dan
membusungkan dadanya yaang belum berkembang.
Di balik lubang itu adalah
sebuah lahan rumput dan langit biru. Mentari yang begitu menyilaukam menandakan
musim panas akan segera datang.
Gadis itu mempunyai rambut
panjang berwarna hitam mencolok. Bajunya terikat dengan sebuah ikst pinggang,
memiliki banyak tambalan, dan di tambah dengan debu saat ini.
Dia mengibaskan bajunya, dan
kemudian mulai berlari, menyeret kakinya yang memakai sandal kebesaran.
Dia pergi menuju gerbang
desa, yang menghubungkan dunia luar dengan sebuah jalan, walaupun dia tidak
mengetahui apa yang berada di luar sana.
Aku
harap aku nggak ketahuan mereka!
Dia berlari menuju pagar dan
sekitarnya, namun dia tidak melihat siapapun. Syukurlah aku tepat waktu. Dia duduk di pagar. Mengayunkan kakinya,
menggaruk kuku kakinya dengan sendal. Hembusan angin lembut terasa begitu
nyaman ketika membelai kulitnya yang berkeringat.
Mungkin
nanti aku pergi berenang di sungai.
Gurunya tidak membiarkan
mereka banyak bermain akhir-akhir ini, dan sang gadis tidak menyukai itu. Gurunya
selalu mengatakan—“Lebih baik belajar daripada bermain”—namun akhir-akhir ini,
sikapnya benar-benar spesial.
Goblin ada di dekat sini,
ucap gurunya. Gurunya tidak mengatakan kepada mereka apakah terdapat sebuah
sarang di sekitar sini; mungkin dia sendiri tidak mengetahuinya. Jika dia tidak
mengetahuinya, mengapa dia tidak langsung saja mengatakannya?
Mungkin
dia berpikir kalau dia bilang ada sarang dekat sini, aku akan pergi mencarinya.
Namun gadis itu tidaklah
cukup bodoh untuk melakukan hal seperti itu seorang diri. Dia akan membutuhkan
dua atau tiga teman dari kuil untuk menemaninya.
“Huuaa... Ahh.. Hmm...”
Seraya pikiran ini melintas
di kepalanya, dia menguap. Matahari awal musim panas sangatlah sempurna untuk
sedikit tiduran. Dia akan menunggu sebentar lagi, dan jika seseorang yang dia
tunggu tidak datang, maka dia akan memejamkan matanya selama beberapa menit.
“Tapi...”
Jika dia melarikan diri
hanya untuk tidur dan bermain, apa yang akan dia katakan ketika gurunya
memberikan ceramahan tiada akhir? Tapi
aku cuma—sang gadis akan berkata, namun alasannya melarikan diri akan
segera menghilang.
“Mungkin aku bisa bilang
kalau ada anak kecil yang menangis, jadi aku pergi keluar untuk mengambil buah
buat mereka? Ahh, nggak, aku sudah pernah pakai alasan itu...”
Hmm.
Dia melipat tangan berpikir, hingga dia mendapati dirinya
terlalu condong ke belakang.
“Uuuppss!” Dia mengayunkan
lengannya, mencari keseimbangan, hingga akhirnya dia mendarat dengan sedikit
gedebuk. Merupakan pendaratan sempurna, bahkan dalam standar gadis itu, dan dia
pun tersenyum puas. Tak seorangpun di kuil yang dapat melakukan hal yang sama
seperti dirinya.
Sebenarnya
cukup mudah kok... gumaman itu terlepas dari bibirnya.
Itulah di mana ketika dia menyadari sebuah sosok hitam di kejauhan. Sosok itu
berjalam di jalan, mendatangi dirinya. Seorang pria.
“Apa ini desa tempat di mana
goblin muncul?”
“Yap!” dia membalas, namun
kemudian dia memiringkan kepala mengarah pria itu: “Hmm?”
Untuk pertama kalinya, sang
gadis memperhatikan seksama pria itu dari kepala hingga kaki dan tercengang
dengan apa yang di lihatnya. “Pakaianmu aneh...”
“Benarkah?”
Armor kulit kotor, helm yang
terlihat murahan dengan satu tandukmpatah. Pada pinggulnya, sebuah pedang
dengan kepanjangan yang tidak biasa. Pada lengannya sebuah perisai bundar
kecil.
Dia adalah petualang pertama
yang pernah di lihat gadis berumur sepuluh tahun ini.
*****
“Masyaallah! Sudah ku bilang
berkali-kali untuk nggak pergi keluar!”
“Tapi aku pikir... aku pikir
mungkin aku harus membantu petualang itu berkeliling desa...”
“Dia nggak membutuhkan
bantuanmu dalam desa sekecil ini!”
Tangisan sang gadis bergema
di sekitar kuil. Dia mendapatkan beberapa pukulan di kepalanya.
“Kembali ke kemarmu,” Sang
guru berkata. Sang gadis mengangguk lemah, dan sang instruktur mengusirnya
pergi. Kemudian dia membersihkan tenggorokannya. “Saya minta maaf karena anda
telah melihat pemandangan tadi...”
“Nggak masalah,” pria itu berkata dengan gelengan
kepalanya. “Dia sudah mengantarkanku ke sini.”
“Anda baik sekali. Gadis itu
memang benar-bernar bersemangat sekali.”
Sang intruktur sekolah kuil
ini adalah seorang wanita berwajah tegang, tidaak lagi muda; namun ketika dia
melihat anak-anak, matanya melembut.
Pria itu melihat sebuah
kincir angin, lambang dari Dewa Perdagangan. Dewa ini mengawasi para pengelana
dan keberuntungan, begitu juga dengan para pedagang. Dan juga, dia adalah
seorang dewa yang mengikat. Mungkin sudah sepantasnya bahwa kuil ini menampung
psra yatim piatu, dan wanita ini terlihat sangatlah berkualifikasi untuk
menjalankan sekolah ini.
“Sebuah pertempuran telah
merenggut kedua orang tuanya, namun dia tidak merasa sedih. Dia membantu di
sekitar kuil di saat dia bisa.”
“Begitu?”
“Jika anak-anak itu
kehilangan rumah mereka kembali di karenakan monster....”
“...”
Pria itu diam, berpikir,
kemudian mengangguk. “Itulah tujuanku ke sini.”
Sang instruktur tampaknya
menganggap ucapannya sebagai penyemangat hati. Sebuah pertanyaan melintas di
benaknya. Tanpa kehilangan senyumnya, dia berkata. “Dan di manakan rekan anda
berada?”
“...”
Pria itu tidak menjawab dan
hanya berdiri di sana, menatap ke depan.
Sebenarnya, sang instruktur
tidak mengetahui jika pria itu sedang memperhatikannya. Adalah mustahil untuk
dapat melihat di dalam helm itu.
“Halo?” Sang instruktur
berkata curiga, dan helm itu bergerak seolah baru menyadari keberadaannya.
“Apa?”
“Oh, tidak, saya hanya
penasaran...tentang rekan party anda yang lain. Jika mereka—“
“Nggak.”
“Apa anda bermaksud bahwa
mereka akan datang nanti?”
“Aku sendirian.”
Hal ini menyebabkan mata
sang guru terbelalak.
Tidak lama setelah jawaban
singkatnya, dia merogoh isi kantung peralatannya dan mengeluarkan sebuah dompet.
Dia menarik sebuah koin silver dari dalam dan mengadahkannya.
“Ini seharusnya cukup untuk
membayar kamarku. Aku mungkin juga butuh bantuanmu untuk hal lainnya.”
“Ma-masyaallah...”
Bahkan Guild-pun belum dapat
menuntaskan permasalahan ini. Sang pemohon quest telah menawarkan hadiah, oleh
karena itu tidak seharusnya mereka menyediakan papan dan pangan. Sedangkan di
sisi yang lain, apakah para petualang harus membayar untuk tinggal di manapun
tempat quest itu berada?
Akan sangatlah mudah untuk menambahkan
papan dan pangan di dalam hadiah tersebut, namun karena secara definisi hadiah
di bayarkan setelah quest yang berhasil di selesaikan, sangatlah sulit untuk
memberikan papan dan pangan sebagai uang muka.
Di sisi yang lain, jika
pengeluaran ini di anggap sebagai kewajiban para pemohon quest, maka akan ada
petualang yang menerima quest, mendapatkan makanan gratis, dan langsung pergi.
Setelah perdebatan yang
sangat lama, pembayaran sewa kamar dan makanan akan di tentukan dengan
negosiasi antara petualang dan tuan rumah.
“Baiklah, terima kasih
banyak.”
Walaupun begitu, ini adalah
kuil Dewa Perdagangan. Para biarawati tidak dapat hidup hanya dengan menghirup
udara, begitu juga para anak yatim piatu. Biarawati itu mengambil koinnya
dengan gerakan tangan yang terlatih, menggaruk ujung koin itu dengan satu kuku.
“Kami sangat bersyukur atas berkah ini.” Dia berkata, dan memasukkan koin
tersebut ke dalam kantungnya. “Maafkan kelancangan saya,” dia menambahkan.
“Akhir-akhir ini begitu banyak koin dengan kualitas rendah yang beredar.”
Tersenyum manis, dia berkata. “Semoga amukan dewa akan menimpa mereka semua.”
“Jadi,” Pria itu berkata
tenang dan acuh. Suaranya bagaikan getaran di dalam bumi. “Di mana goblinnya?”
*****
Desa ini merupakan pemukiman
perbatasan di kaki gunung, kurang lebih beberapa lusin rumah berdempetan dekat
sebuah tebing. Sebuah desa kecil yang akan kamu temukan di manapun.
Tidak terdapat reruntuhan
tua yang dapat mereka manfaatkan, tidak ada jalan raya yang melewati desa
mereka. Hanyalah sebuah titik kecil tempat di mana orang-orang berusaha
bercocok tanam dan menggali pegunungan untuk mencari penghasilan hidup.
Satu pria, seorang
petualang, melangkah sigap melewati desa. Dia tampak aneh dan janggal, dan
banyak orang yang memperhatikannya dari jauh.
“Hei, bukannya itu petualang
yang mereka bicarakan?”
“Aku dengar dia seorang
warrior. Bukan pemula kalau di lihat dari armornya.”
“Tahu dari mana kamu? Bisa
saja dia mengambil armor itu dari bekas medan tempur.”
“Cuma dia sendirian? Aku
kira para petualang selalu berkelana dalam grup lima atau enam.”
“Aku harap dia datang kesini
bukan untuk memohon seperti itu...”
“Dia nggak akan—kamu
tahulah. Dia nggak akan menyerahkan ini pada kita kan? Mengubah kita menjadi
kekuatan tempur atau sesuatu?”
“Entahlah.”
Bisikan-bisikan yang
terdengar sama sekali tidak memihak kepada petualang itu. Mungkin itu adalah
hal yang sudah sewajarnya. Para penduduk desa sudah mengetahui bahwa
kemungkinan besar mereka akan mendapatkan amatiran, namun setidaknya mereka
mengharapkan satu party penuh akan lima atau enam orang, termasuk seorang scout
dan warrior.
Namun, mereka malah mendapatkan
satu warrior ini dengan perlengakapan usang, dan mereka sulit untuk mempercayainya.
Sudah sewajarnya bagi mereka
untuk mengikuti petualang ini yang sedang berkeliling ketika dia mengatakkan
bahwa dia ingin melihat sekitaran desa.
Tiba-tiba dia berhenti
berjalan ketika dia telah selesai melakukan satu putaran mengelilingi desa,
mengikuti alur pagar yang mengitari desa.
“Jadi gunungnya ada
dinutara,” dia bergumam, sangat pelan hingga penduduk desa tidak yakin apakah
pria itu sedang berbicara pada dirinya sendiri atau bertanya pada mereka.
Para penduduk desa saling
bertukar pandang hingga seseorang, di antara kerumunan berkata, “Benar.”
Pria itu kembali terdiam
setelah mendengarnya.
Setelah beberapa saat, orang
yang berada paling dekat dengannya bertanya: “Memangnya kenapa?”
“Seberapa terjal?” Petualang
itu bertanya.”
“Kurasa nggak terlalu
terjal.”
“Ada gua atau semacamnya?”
“Aku nggak yakin, tapi kami
punya seorang woodsman. Kamu bisa tanya sama dia.”
“Aku ingin bertanya
padanya.”
Seorang penduduk desa
berlari kecil. Masih berdiri di sana, pria
itu mendengus pelan.
Mereka mengatakan bahwa
mereka tidak mengetahui dari arah mana para goblin menyerang. Hanya saja setiap
malam, makhluk-makhluk itu menyelinap melewati penjaga dan melintasi pagar,
berlari di sekitar ladang sebelum akhirnya mereka melarikan diri.
Pada mulanya, para penduduk
desa mengira bahwa itu adalah ulah bandit. Namun ide tersebut terhempas ketika
mereka menemukan jejak kaki yang jelas bukan milik manusia.
Seberapa banyak mereka? Para
penduduk desa hanya dapat mengatakan, “Banyak.”
Dengan kata lain, murapakan
quest yang sama yang selalu berakhir di Guild.
Setelah beberapa menit,
penduduk desa datang kembali. “Aku tanya sama dia, dan dia bilang di sana nggak
ada gua atau reruntuhan tua.”
“Begitu,” Sang petualang
berkata, mengangguk berpikir. “Pengelana kalau begitu.”
Mereka telah terusir dari
tempat di mana mereka hidup sebelumnya dan sedang mencari rumah baru. Mereka
menetap di desa ini sebagai tempat untuk mendapatkan makanan, begitu juga
wanita, dua hal yang dapat menghabiskan waktu mereka dan menambah jumlah mereka
dengan goblin baru.
Apapun itu, mereka tidak
dapat di biarkan begitu saja. Itulah mengapa dia berada di sini.
“Kalau kamu nggak keberatan,
aku punya permintaan.”
“Heh?”
“Aku akan membayarmu. Aku
butuh kayu sisa dari pembuatan pagar ini, dan beberapa alat tukang kayu.” Dia
mengeluarkan beberapa koin silver dari dompetnya dan memberikannya kepada
penduduk desa.
“Bisa saja sih, tapi koin
ini...koin ini nggak di kikir kan?”
“Aku menerima koin itu
sebagai hadiah dari Guild,” dia berkata datar, bahkan ketika penduduk desa
menggores koin itu dengan kuku dan memberikan tatapan mencurigai.
“Kalau begitu, baiklah.”
Sang penduduk desa berkata dan memasukkan koin ke dalam ksntung bajunya.
Mengikir ujung sebuah koin
akan mengurangi beban dari koin itu, dan menyimpan serat kikir dari koin itu
adalah istilah umum akan “Menabung uang.” Tentu saja, ini ilegal, karena ini
telah mengurangi nilai harga dari mata uang, namun tidak sedikit orang yang
terus tetap melakukannya. Jika dia adalah seorang berandalan jalanan dan bukan
seorang petualang, para penduduk desa mungkin akan lebih bersikeras akan hal
ini. Dan juga, ini adalah hal yang sangat janggal: petualang seharusnya
menerima uang, akan tetapi di sini dia membayar untuk membasmi goblin!
“Makasih, aku akan kembali
dengan barangnya.”
“Apa kalian berjaga di malam
hari.”
“Kami punya beberapa pemuda
yang berjaga.”
Sebagai pengganti seseorang
yang tengah memenuhi permintaan petualang itu, jawaban ini datang dari seorang
pria yang lebih tua yang tampaknya merupakan kepala desa ini.
“Tapi nggak semuanya,” dia
melanjutkan. “Mereka bergilir....”
“Terus lakukan. Kita nggak
ingin para goblin menyadari adanya perubahan.”
“Baik pak.” Kepala desa
berkata dengan anggukan. Dia tidak dapat menyembunyikan setitik rasa ragu di
dalam suaranya, namun ekspresinya segera melembut setelah dia melihat koin
silver itu berpindah tangan. Seseorang bersedia memberikan suatu bayaran
adallah seseorang yang telah mendapatkan cukup banyak kepercayaan.
“Aku akan melakukan
persiapan.”
“Persiapan?”
“Ya.” Sang petualang
mengangguk , melihat seksama sekitaran desa.
Dia berpikir bahwa
kemungkinan terbesar adalah para goblin akan muncul dari gunung di belakang.
Namun tidak ada salahnya untuk tetap waspada pada tiga arah lainnya.
Ladang petani biasany
terbagi menjadi tiga: satu di panen pada musim semi, satu pada musim gugur, dan
satu di biarkan kosong. Tanaman pada ladang musim semi masih belum tumbuh
sepenuhnya, namun tanaman pada musim gugur sudah mulai mendekati masa panen.
Ketika dia melihat kubis, gandum, dan lobak ranum, dia mengetahui bahwa itulah
incaran para goblin.
Ladang kosong memounyai
bahayanya tersendiri. Saat ini, hanya semanggi putih, makanan untuk ternak,
yang tumbuh di sana, dan untuk dapat mencapai ladang itu sangatlah mudah. Untuk
saat ini, para goblin hanya mencuri sayuran, namun tidak akan lama lagi, mereka
akan berpi dah pada binatang, dan kemudian gadis desa.
Mereka tidak mempunyai
banyak waktu. Namun apakah mereka bisa mendapatkan sedikit hasil?
“Apa memungkinan untuk
memanen lebih awal?”
“Aku rasa kami bisa
melakukannya.” Kepala desa memutar matanya coklat terbakar matahari mengarah
ladang, berkedip melawan cahaya. “Kalau kita mulai sekarang, dengan semua mencangkul
berbarengan, kita mungkin akan selesai besok siang.”
“Kalau begitu, lakukan.”
Ucapannya membuat kepala
desa mulai mengayunkan lengan berkeriputnya, memberikan instruksi kepada
penduduk desa yang berkumpul. Beberapa pria dan wanita bergegas mengambil
perkakas dari gudang, kemudian pergi menuju ladang.
Pria itu tidak mengetahui
apakah masing-masing dari petani itu memiliki ladang itu, atau apakah penduduk
desa itu mempunyai budak. Apapun itu, akanlah lebih baik bagi penduduk desa
untuk memanen lebih awal daripada panen mereka tercuri. Bahkan , walaupun
orang-orang itu adalah budak, mereka tentunya akan bersemangat untuk memanen.
“Itu tempat di mana kalian
menimba air, kan?” dia bertanya, memutar matanya mengarah sungai yang mengalir
melewati desa. Adalah sungai yang dangkal, tidak cukup untuk menjadi halangan
psra goblin walaupun dengan tubuh pendek mereka.
Permasalahannya adalah kanal
irigasi itu menghubungkan sungai menuju kota.
“Naikkan tingkat air di
kanal. Aku ingin menggunakannya sebagai parit.”
Mendengar ini, kepala desa
mengangkat alisnya.
“Saya rasa kanal itu cukup
dalam hingga anak kecilpun dapat tenggelam di dalamnya.”
“Er, benar. Teknisnya pemilik
tanah lokal sini yang memiliki air ini...” Dia melirik pada kincir air yang
berdiri di samping sungai. Kincir itu mengemban lambang dari gubernur; tidak
ada bangunan lain di sekitar daerah ini yang cukup besar untuk menggiling
tepung.
Dengan kata lain, sungai ini
adalah hak milik sang gubernur, dan jika mereka ingin menggunakannya, maka
mereka harus membayar pajak. Karena mereka membayar pajak, sang gubernur akan
melindungi daerah ini; kenyataan bahwa gubernur tidak dapat melakukan itu,
membuktikan betapa sulitnya kehidupan di perbatasan. Mereka tidak dapat
mengharapkan pasukan militer untuk hanya sekedar mmenghalau goblin. Bahkan
andaipun mereka datang, berapa hari yang akan di butuhkan hanya untuk
mengumpulkan pasukan itu?
“Akhir-akhir ini hujan, jadi
sungai sedang pasang.”
Petani adalah orang yang
pintar, dan mereka akan melakukan apapun untuk dapat bertahan hidup. Dia sangat memahami itu. Dia sendiri
berasal dari sebuah desa—walaupun bukan desa ini.
Di balik helmnya, dia
memejamkan mata, menenangkan pengelihatanya yang bergetar dan pikiran yang berputar.
Dia menarik satu napas dalam.
Jika dia seekor goblin, apa
yang akan dia lakukan? Apa yang akan dia incar? Apa yang akan dia benci?
Jika
kamu membenci seseorang, kami menjadi goblin.
Adalah benar, dia yakin akan
hal itu.
“Lakukan persiapan untuk
festival.”
“Festival?”
“Ya,” Dia mengangguk. “Aku
benci mengatakannya, tapi kita harus membisrkan makhluk-makhluk itu melakukan
apa yang mereka mau malam ini. Tapi malam lusa, akan berbeda cerita.” Dengan
gerutu, dia memperhatikan sekitar desa sekali lagi.
Apa yang akan di lakukan
seseorang, ketika dia dapat di serang dari berbagai arah?
“Pertama, pasak.”
Terdapat begitu banyak hal
yang perlu dia lakukan.
*****
“Baiklah—ayo lakukan!”
Gadis Sapi memukul pipinya
dan sedikit berteriak untuk menyemangati dirinya. Dia membuka pintu gudang
dengan sedikit tenaga lebih.
Dia masuk, sedikit terbatuk
karena debu yang berterbangan.
Ruang kosong menyambut
dirinya. Lain cerita jika seseorang tinggal di sini untu, satu malak, namun
siapa yang ingin tinggal di tempat seperti ini setiap hari?
“Jujur aja, dia itu terlalu
banget!” Gadis Sapi meletakkan tangan di pinggul dan membuat suara lelah.
Hampir tidak ada satupun
barang berkepemilikam pribadi; satu-satunya yang pria itu miliki di sini adalah
tubuhnya sendiri. Gadis Sapi berpikir apa yang di lakukan pria itu dengan baju
gantinya. Tentunya sesuatu yang tidak semestinya.
Kalau
dia pikir aku akan membiarkannya terus selamanya...
Dia mulai menutupi mulut
dengan sebuah kain dan kemudian mengambil sapunya dan menyapu semua sampah
keluar. Gudang ini sendiri terlihat dalam kondisi yang cukup baik; mungkin dia
telah melakukan beberapa perbaikan.
“Gah! Dia itu
selalu...selalu...!”
Keadaan struktur yang
membaik ini membuat dirinya menjadi sedikit ceroboh dalam menyapu; dia menyapu
penuh semangat tanpa takut tempat ini runtuh.
Mengayunkan sapu itu
mengingatkan dirinya kepada pria itu.
Tampaknya mereka selalu
bersama di saat mereka kecil. Terdapat beberapa anak kecil lain yang seumuran
di desa mereka; mungkin itu semua hanyalah karena rumah mereka bersampingan.
Dia gemar sekali berlari
melewati ladang, mengayunkan batang kayu, berpura-pura menjadi petualang. Namun
dia tidak pernah mengetahui apa yang terdapat di balik pegunungan atau bahkan
wujud sebuah kota.
Itulah
kenapa waktu itu kami berkelahi.
Ketika semua sampah telah di
bereskan, Gadis Sapi mulai membersihkan lantai.
“Paling nggak aku harus
kasih dia handuk kecil...”
Atau mungkin meneriakinya
untuk tidur dalam kamarnya sendiri.
“Yeah, itu dia. Yeah. Aku
akan tanya apa sih yang salah dengan kamar yang sudah ku siapkan.”
Gadis Sapi dapat
membayangkan kakak perempuan pria itu dengan kedua tangan pada pinggulnya,
memarahi pria itu.
Aku
rasa nggak adil untuk bawa kakak perempuannya ke dalam ini...
Karena itu dia akan
menanggalkan bagian itu.
“Phew...”
Setelah dia menggosok lantai
hingga bersih, dia memeras kain ke dalam ember air, yang dengan segera berubah
menjadi hitam. Sangatlah jorok. Mungkin itulah yang akan mereka dapatkan karena
telah membiarkan tempat ini begitu saja dalam jangka waktu yang lama.
Dia menatap ruangan ini
tanpa kata. Tidaklah mudah, dia memahaminya. Hati seseorang terkadang bisa sangat rumit dan sederhana pada waktu
yang sama...tapi lebih sering rumitnya.
Dia tidak dapatmengusir
perasaan bahwa membersihkan semua ini adalah perbuatan sia-sia.
Dia begitu membenci pikiran
gelap seperti itu mengiang di benaknya.
“Lupakan saja, kerja saja
lah!” dia berkata pada dirinya sendiri. “Mungkin ruangan yang bersih dan nyaman
akan merubah perasaannya.” Dia kembali menggosok lantai.
Sesuatu menetes jatuh ke
pantai. Apakah keringat atau air mata? Bahkan Gadis Sapi-pun tidak
mengetahuinya.
*****
O Dewi, Ibunda Bumi.
Dewi yang menabur angin berderu
Dadamu bernilai seribu keping emas
Walaupun seseorang akan menghabiskan uang
layaknya air,
Apapun yang datang adalah kehendakmu
Kami, kami tidak memiliki uang, namun
Dewi, O Dewi, keluarlah
Keluarlah
menuju lautan emas
Rakyat awam bernyanyi penuh
makna seraya dia bekerja mengumpulkan panen. Sabit mengayun, memotong gandum;
kubis di cabut dan lobak di tarik dari bumi; kacang-kacang di kumpulkan di
dalam sebuah keranjang.
Panen adalah pekerjaan
darurat, namun terlihat bukti kegembiraan di setiap wajah mereka. Biji di tanam
pada musim gugur, terbaring diam melewati musim dingin, dan sekarang dapat di
kumpulkan sebagai makanan. Mungkin kegembiraan itu adalah sesuatu yang dapat di
pahami.
Para petani telah membanting
tulang untuk menumbuhkan panen ini, menyiapkan tanah, memperhatikam matahari,
angin, dan hujan. Beberapa hasil panen dapat di ubah menjadi uang untuk
membayar pajak mereka, namun tidak di ragukan masih akan ada banyak yang
tersisa untuk mereka.
Mustahil bagi mereka untuk
membiarkan goblin cecungut untuk masuk dan mencuri panen mereka.
Engkau datang, engkau datang, Ibunda Bumi
Dewi yang menabur angin berderu
Bokongmu layaknya empat mata arah
Walaupun seseorang akan menghabiskan uang
layaknya air,
Jika mereka tidak mempunyai cintamu, Dewi,
engkau tidak akan datang.
Kami, kami tidak memiliki uang, namun
Ini, O Dewi, adalah prosesi pernikahanmu
Kami membimbingmu menuju lautan emas.
Surya mentari hangat, angin
di rerumputan, sajak lagu yang mengalun ke telinga.
Suara ceracau lembut dari
kanal irigasi, tempat di mana tingkat ketinggian air secara perlahan semakin
tinggi; decitan berkala dari kincir angin.
Suara, suara yang hanya
dapat terdengar di desa pertanian seperti ini, terdengar bagaikan berasal dari
dunia lain.
Jika seseorang sedang duduk
di antara jalan sawah padi untuk mendengarkan, akan sangatlah mudah untuk dapat
terhanyut dalam kelelapan.
Tiba-tiba dia tersadar bahwa
dia sedang berdiri tidak bergerak, dan dengan cepat mulai menggerakkan pisaunya
kembali.
Tidak ada waktu; tentunya
tidak ada waktu untuk tidur-tiduran.
“...”
Pertama, buat pasak.
Itulah deklarasinya, dan
tangannya sedang memegang sebuah pasak kayu biasa, bersama dengan sebuah pisau
kikir. Pasak itu cukup panjang hingga dapat dinkira sebuah tombak, namun itu
hanyalahnsebuah kayu yang telah di kikir hingga menjadi runcing pada kedua
sisinya.
Dia menggosok serbuk kayu
dari kakinya yang bersila dan meletakkan pasak yang telah selesai ke sampig.
“Hey, kenapa kamu tajamin
kedua sisinya?”
Di balik helmhya, dia mengernyit
mendengar pertanyaan itu.
Dia melirik dan melihat
seorang anak gadis yang memperkenalkan diri kepadanya ketika dia tiba di desa
ini. Terakhir kali pria itu melihatnya, dia sedang menangis tersedu akibat di
marahi oleh biarawati, namun sekarang di kembali tersenyum riang.
Dia berpikir sesaat,
kemudian memiringkan helmnya penasaran.
“Apa kamu nggak membantu
yang lain?”
“Aku rasa mereka nggak butuh
bantuanku.” Herannya, gadis itu membusungkan dadanya bangga ketika mengatakan
itu.
“Begitu.”
Dia menghiraukan gadis itu
dan mengambil kayu berikutnya. Sreek,
sreek. Di setiap pisaunya bekerja, gadis itu memperhatikan dengan seksama.
“.....”
“.....”
“.....”
“.....”
Setelah beberapa saat, dia
menghela dan berkata, “Ini untuk di pasang pada kanal irigasi.”
“Semuanya?”
“Cukup untuk membuat musuh
berpikir dua kali untuk menyebranginya.”
Alasan mengapa pasak itu
panjang dan runcingnpada kedua sisi adalah agar pasak ini dapat di pasang pada
kanal.
Hasil surver geografis yang
di lakukannya di sekitar perbatasan desa
telah menandakan bahwa sebuah pagar tidak akan dapat di bangun—dengan kata
lain, di sekitar ladanh—satu-satunya pilihan adalah untuk memanfaatkan kanal.
“Yang lebih penting lagi,”
dia berkata, melirik menjauh dari sang gadis, yang memandangnya dengan kagum,
“Biarawati itu mencarimu.”
“Oh, sial!”
Hampir ketika ucapan itu
keluar dari mulutnya, sang gadis melaju kencang layaknya kuda. Dia mencoba
mengikuti gadis itu dengan matanya, namun hanya tampak rambut hitam gadis itu
yang berkibas di ujung pengelihatannya. Gadis itu cukup cepat. Sang biarawati
tiba dengan berlari, terngah-engah, namun tampaknya dia tidak akan mempunyai
kesempatan untuk menangkap gadis itu.
“Oh, ya ampun—tolong maafkan dia. Saya sudah
memberitahunya untuk tidak mengganggu anda.”
“Nggak usah di pikirkan,”
dia berksta, menggeleng kepalanya, “Aku nggak merasa terganggu.”
Dia meletakkan pasak yang
telah selesai ke samping dan kembali membersihkan serbuk dari lututnya. Dia
bekerja secara mekanikal, berkewajiban; dia merasa bahwa dia harus terus
bersikap acuh.
Mulai
dengan apa yang ada di depanmu. Tidak akan ada dan tidak akan pernah ada waktu
untuk memikirkan tentang masa depan.
Sang rhea tua meneriaki
sesuatu kepadanya juga, : tapi jangan
pernah berhenti berpikir!
Jika mengingatnya kembali,
proklamasi berkontrakdiksi itu mungkin hanyalah masternya yang mengucapakan
apapun yang sedang terpikir di kepalanya pada saat itu.
“Mungkin ada goblin yang
berpatroli. Mereka nggak akan mencurigai apapun selama semua berlanjut seperti
biasanya.”
Tetap saja, dia terus
melanjutkan pikirannya untuk bekerja bersama dengan tangannya, seperti yang
telah di ajarkan kepadanya.
“Apa benar?” sang biarawati merespon.
“Kemungkinan besar.” Dia
berkata, dan helmnya mengangguk.
Dia menunjuk sesuatu
dinujung desa: sebuah bangunan batu besar, seperti struktur pemakaman.
“Apa itu gudang tempat
kalian menyimpan panen?”
“Ya. Dan walaupun itu
terbuat dari batu, bangunan itu tidak cukup kokoh...” Sang biarawati mengakui
bahwa betapa malunya dia untuk mengatakan kenyataan itu.
Dia menghiraukan biarawati
itu, bergumam pada dirinya sendiri.
Kalau
begitu, itu tempat di mana goblin sama sekali nggak boleh masuk.
Dan
di sisi lainnya, itu adalah tempat yang paling di incar para goblin.
“Apa aku bisa memintamu
untuk membersihkan pagar dan pasak ketika questnya selesai?”
“Saya yakin kami tidak akan
keberatan pak...”
Dia mengumpulkan pasaknyang
telah selesai, kemudian berdiri perlaham.
“Aku mungkin nggak akan bisa
menolongmu.”
*****
“Baiklah, semuanya, sekarang
kami menawarkan sebuah quest untuk membunuh Rock Eater!” Gadis Guild berteriak
sekuat tenaga agar dirinya dapat terdengar hingga ke ujung bangunan.
“Kami ikut!”
“Partyku akan pergi!”
“Baik!” Gadis Guild berkata
seraya para petualang mengangkat tangan mereka. Dia bergegas mempersiapkan
berkas yang di perlukan.
Dia secara perlahan mulai
terbiasa dengan pekerjaan sehari-harinya, namun ini adalah pertama kalinya dia berurusan
dengan sesuatu yang melibatkan beberapa aliansi party dan bekerja bersama.
Telah di berikan kepercayaan pada proyek besar, dia berusaha untuk melakukan
yang terbaik, tetapi...
Kalau
aku sampai salah karena aku tidak tahu apa yang aku lakukan, semua bisa menjadi
bencana...!
“Erm baiklah kalau begitu,
mohon tanda tangani kertas ini, dan ketika anda selesai—“
“Aku kira yang berikutnya
adalah—kamu tahulah, Peringatan bahwa Guild tidak bertanggung jawab atas
keributan yang terjadi di antara party.”
“Oh, benar! Maafkan saya!”
Rasa gugup telah merenggut
kemampuannya untuk berpikir; yang bisa dia lakukan adalah mendengarkan
petualang yang sedang berusaha membantunya. Dia mulai ragu apakah dia seharusnya
melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi begitu banyak orang...
Yah,
aku rasa sudah sedikit terlambat untuk itu.
Semenjak salah satu DarknGod
telah tertumpas lima tahun yang lalu, monster telah membanjiri masuk ke dalam
dunia.
Kisah ini berawal dari
sebuah pertambangan. Para penambang, menggali di dalam perut bumi, dan bertemu
dengan gumpalan cairan hitam mengerikan.
Adalah salah satu tipe dari
keluarga Slime, yang di kenal dengan Blob, dan mereka secara sekejap berkembang
biak, mengejar para penambang menjauh dari pertambangan.
Hal seperti itu merupakan
hal yang biasa, dan benarm adalah sebuah pekerjaan yang akan di ambil para
petualang dengan senang hati.
Namun itu bukanlah keseluruhan
dari kisah kali ini.
Seekor Rock Eater telah
muncul dari bawah tanah.
Walaupun sering salah di
sangka sebagai kelabang raksasa, Rock Eater jauh darinsekedar serangga biasa.
Kedua binatang ini sering di samakan karena tampilan Rock Eater memiliki banyak
kaki seperti serangga, dan itu sama seperti tidak dapat membedakan antara kadal
dan naga.
Mereka adalah makhluk
raksasa yang secara harfiah memakan batu, menggali masuk ke dalam perut bumi di
bawah pegunungan. Gua, lubang, dan terowongan di segala penjuru dunia adalah
peninggalan dari Rock Eater yang kelaparan...
Atau paling tidak, seperti
itulah mitosnya, walaupun para ahli filosofi menolak keras mitos itu.
Rock Eater yang selalu
mencari batu pertama, adalah sebuah tanda bahwa tambang ini kaya akan permata—namun
buyarlah harapan mereka karena telah terusir hingga ke permukaan oleh para
Blob.
Gumpalan lambat ini menjadi
mangsa yang bagus untuk makhluk yang memakan batu; seekor Rock Eater tidak akan
meleleh semudah itu. Dan cangkang
tipis dari Blob menyembunyikan cairan yang melimpah di dalamnya...
Sibuk
sekali.
Hanya sesaat, ketika
gelombang para petualang telah surut, Gadis Guild merebahkan kepalanya di atas
meja. Dia berputar, menempelkan pipinya pada meja kayu itu. Terasa begitu
nyaman.
“Membasmi blob. Memang sih
mereka mengambil pekerjaannya, tapi...”
Jika
seseorang sampai mati—jika satu party sampai terbantai—pada quest yang aku
kerjakan berkasnya...
Dan ini termasuk kasus
mendadak, sejauh ini Gadis Guild belum oernah berpartisipasi dalam investigasi kasus
ini dalam bentuk apapun, dia seharusnya tidak mempunyai tanggung jawab apapun.
Namun tetap saja...
“Uggggh...”
“Astaga, baru aja kunpikir
kalau kamu sudah mulai terbiasa, kamu depresi lagi.” Bertahanlah.
Ungkapan penyemangat itu
datang dari koleganya yang mengundang “Baiklah” dan sebuah anggukkan kecil dari
Gadis Guild. “Tapi apa kamu tidak pernah kepikiran? Maksudku, penasaran apakah
mereka akan baik-baik saja?”
“Iya, aku kepikiran, tapi memikirkan
itu tidak akan membuat semua jadi lebih baik kan?”
“Iya sih.”
Dia duduk tegak dan
mengambil penanya dengan hsrapan dia dapat mendapakat semangat baru, namun dia
tetap tidak bisa mengerjakan berkas lainnya...
Ketika rekan kerjanya
melihat Gadis Guild yang memutar pena di tangan seraya melamun, sebuah senyum
memahami tersirat di wajahnya.
“Kenapa? Ada petualang yang
kamu pikirkan?”
“Enggak kok!” Gadis Guild
berkata dengan cemberut, namun senyum rekannya tidak pudar.
“Yah, ceritakan sama aku
kapan-kapan. Ha-ha. Jadi begitu toh...”
“Aku sudah bilang bukan
seperti itu!”
“Terlalu dekat dengan para
petualangmu itu melanggar peraturan. Kamu harus fokus dalam pekerjaanmu.” Rekan
Gadis Guild memberikannya tepukan di pundak, kemudian kembali menuju mejanya
dengan terlihat riang.
Iya
sih, tapi...
Gadis Guild mengheningkan
dirinya kembali, kemudian dengan cepat memastikan dirinya tampak pantas.
Benar, pekerjaan adalah
pekerjaan. Jika dia akan berhadapan dengan para petualang, maka dia harus
memastikan bahwa dia terlihat rapi, dan—
“Nona resepsionis.”
“Eep! Uh, y-ya! Ya?”
Panggilan tiba-tiba itu
hampir membuatnya melonjak dari kurai.
Hal pertama yang dia sadari
adalah aroma alkohol. Dia mengernyit—dia tidak memiliki kenangan bagus dengan
aroma alkohol para petualang—dan kemudian dia berkedip. Seorang pria dengan
wajah seperti beruang berdiri di depannya; pakaiannya terlihat kumal, dan
jenggotnya tidak terawat, namun tatapannya tajam.
Adalah seorang warrior muda
yang kehilangan temannya pada pertemuan pertama mereka dengan Rock Eater
beberapa hari yang lalu.
“Aku juga akan pergi,” dia
berkata dengan nada yang begitu tenang. “Aku akan pergi, tolong kirim aku, nona
resepsionis.”
“Erm um...”
Mata Gadis Guild melirik di
sekitar bangunan. Terdapat banyak hal yang harus dia katakan kepada pria ini,
namun dia tidak dapat memutuskan apa yang harus pertama dia ucapkan. Mungkin
akan lebih baik jika dia tetap tak berkata apapun. Menerima permintaannya. Akan
tetapi, itu terasa begitu salah baginya.
Mengambil sebuah quest
adalah tindakan sukarela, dan mereka yang menerima quest bertanggung jawab atas
takdir mereka sendiri. Selama mereka
berada di tingkatan yang kurang lebih hampir sama. Hanya itu saja.
Pria ini masihlah tingkat
Porcelain, sejauh Gadis Guild mengingat, namun quest Rock Eater terbukanuntuk
semua tingkatan. Seekor Rock Eater yang bersarang di dalam gua adalah musuh
mengerikan namun masih berbeda jauh dari Dark God atau naga.
Tetapi petualang ini sedang
sendirian saat ini. Dia tidak memiliki party.
“...Apa anda yakin akan baik-baik
saja?”
“Aku yakin.”
“...”
Gadis Guild terdiam beberapa
saat, namun dia berpikir tentang pria itu.
Apakah dia sedang bertarung
dengan para goblin saat ini? Mengapa dia tidak mempermasalahkan pria itu yang
pergi sendiri tetapi tidak dengan petualang yang ada di depannya ini?
Sejujurnya Gadis Guild tidak ingin pria itu
pergi sendiri juga, tetapi—
“Mantap, kamu dengar.” Suara
kasar membuyarkan pikirannya. Gadis Guild mendengak dan melihat warrior besar
dengan pedang besar yang menggantung di punggungnya. “Anggap saja dia bagian
sementara dari partyku.”
“...”
Gadis Guild tidak berkata
apa-apa dengan segera. Warrior muda itu menggigit bibirnya dan hanya berkata,
“Terima kasih.”
Heavy Warrior mengangguk
tanpa kata. Di belakangnya, anggota partynya saling bertukar pandang.
“Nona Resepsionis.”
Kali ini, Gadis Guild
menghela napas lembut.
Petualang bertanggung jawab
atas diri mereka sendiri. Mungkin itu sudah cukup. Dia hanya dapat melakukan
yang terbaik pada pekerjaan yang dia lajukan.
“Baiklah. Semoga beruntung.”
Dia berkata dan memberi salam.
*****
Untuk
sekarang, memperkuat pagar adalah yang terpenting.
Mentari secara perlahan
mulai terbenam, merubah langit menjadi merah. Dia terus bekerja tanpa suara.
Surya terakhir dari hari
menyirami masuk ke dalam ruangan kuil, mewarnai dinding batu ruangan dengan
cahaya berkilau. Permainan cahaya dari matahari terbenam pada helm yang
terlihat murahan itu membuatnya tampak lebih tidak biasa dan janggal dari
biasanya. Sang gadis dan anak kecil lainnya telah datang dan mengintip ke dalam
ruangannya, namun ketika mereka melihat dia, mereka menjerit kecil dan berlari
tanpa ada tanda untuk kembali.
“...”
Pada ruangan kosong kuil,
dia memilih kayu dari tumpukkan di sampingnya dan menatanya menjadi beberapa
grup. Dia memiliki beberapa stik bulat besar yang di potong pada pegunungan
utara. Dia menyilangkannya dan memperhatikannya—mungkin ini dapat di jadikan
sebuah pagar.
“Hmm....”
Dia mengingat kembali
pertemuannya dengan goblin hingga hari ini. Seberapa besar mereka? Tidak lebih
besar dari anak kecil. Kecuali para hob.
Jika begitu, pertanyaan menjadi
seberapa besar sudut horizontal dan vertikal yang di butuhkan. Kebanyakan orang
mengira bahwa pagar yang kokoh sudah akan cukup untuk mengusir musuh, namun
seseorang harus mempertimbangkan kemungkinan musuh akan memanjat pagar itu. Jika
sudut horizontal terlalu berdempetan, maka pagar itu akan mudah untuk di
panjat.
Dan juga, seperti julukan
para goblin, “iblis kecil”, menandakan bahwa fisik tubuh mereka sangat kecil.
Jika sudut vertikal terlalu lebar, maka mereka akan mudah melewatinya.
“Kalau begitu...”
Hal yang paling pasti adalah
memasang sudut vertikal berdekatan.
Dia merakit kayu-kayu itu,
mengikat erat untuk membuat pagar. Kemudian menghela napas. Pagar buatannya
hampir terlihat seperti sebuah tangga yang tergeletak, namun akan cukup untuk
sebuah pertahanan. Akan sangat sulit bagi para goblin untuk melewatinya.
Tiba-tiba, sebuah pikiran
melintas di kepalanya: Aku juga harus
buatkan untuk kebun suatu saat.
Dia menggeleng kepalanya
perlahan, berkedip di dalam helmnya. Satu gelengan pelan lagi menyadarkannya
bahwa kepalanya terasa nyeri. Ketika dia memikirkannya, dia mengingat bahwa dia
terus bergerak semenjak pagi.
Dia mengeluarkan kantung air
dari dalam tasnya dan meneguk panjang. Kemudian dia mengeluarkan potongan daging
kering, mengirisnya menjadi irisan tipis dengan sebuah pisau, dan kemudian dia
memasukkannya ke dalam helm. Setiap kali dia mengunyah, mulutnya yang hampir
mengering terisi dengan rasa asin yang tidak mengenakkan.
Dia bersandar pada dinding
dan menutup matanya, memfokuskan dirinya pada satu tindakan akan mengunyah
daging. Lidahnya terasa sakit. Mungkin di karenakan garam? Dia kembali meneguk
kksntung airnya, menelan air dan daging dalam sekali telan.
Dia berdiri perlahan. Di
saat dia mengisi kembali kantung airnya, dia akan berjaga malam.
Para goblin tentunya akan
mengirimkan pengintai mereka.
Dia meninggalkan kuil.
Keluar, surya terakhir akan senja menyinari di horison, tampak begitu
menyilaukan. Dia mengangkat tangan menutupi cahaya dan menatap langit. Ketika
senja terlihat bersih, kakak perempuannya mmengatakan kepadanya, bahwa hari
esok akan menjadi cerah. Jika cahaya terakhir dari hari adalah merah kehitaman,
maka itu artinya hujan akan turun.
“Hujan.”
Pertarungan penentuan akan
terjadi di malam berikutnya. Akan lebih baik jika tidak turun hujan. Paling
tidak, tidak di pagi hari.
Namun sepertinya hujan akan
turun. Jika memang terjadi, maka bagaimana? Dia tidak optimis dengan apa yang
akan terjadi.
Bagaimana psra goblin
menyerang? Itulah pertanyaan yang terus dia pikirkan seraya dia berjalan.
Akhirnya, dia tiba pada irigasi kanal yang sekarang telah meninggi, tempat di
mana para petani mencuci tangan seusai selesai memanen.
Dia menyalami singkat
mereka, kemudian mulai mengisi kantung airnya.
“Bagaimana panennya?”
“Kurasa cukup baik,” kata
sang petani yang mengambilkannya kayu pagi ini. Dia memiliki wajah hitam
terbakar matahrai; sekarang tengah mengelapkannwajahnya dengan sir yang di
celupkan di dalam kanal. Dia tersenyum lembut. “Lebih baik dari lima tahun lalu,
dengan semua perang dan lain-lain. Para monster datang menginjak ladang dan
membakar desa kami...”
“Ya,” dia berkata dengan
anggukan. “Aku tahu.”
“Harusnya kamu memang tahu
pak, kamu kan petualang.”
“...”
Pria itu tertawa riang,
kemudian merebahkan dirinya di samping kanal. Dia tidak sedang melihat sang
petualang yang berdiri di sampingnya, melainkam melihat matahari yang hampir
terbenam di horison.
“Dulu...cuma desa yang
menyewa petualang yang dapat bertahan.”
Dia
terdiam, memperhatikan cahaya merah yang memanjang
melintasi daratan. Tidak peduli sebarapa inginnya cahaya untuk terus mendekap
bumi, ketika malam tiba cahaya akan menghilang, dan papan permainan akan di
selimuti kegelapan. Kemudian waktu para goblinpun tiba. Betapa riangnya para monster
itu untuk bergerak di kegelapan.
“Aku akan melakukan
sebisaku,” dia berkata, dan kemudian mulai berjalan menuju ladang.
Malam itu, dia melihat
cahaya samar, seperti cahaya hantu, berkelip di balik ladang.
Berjaga di dekat gudang, dia
berdiri beberapa kali, mempercayai bahwa serangan goblin telah datang.
Akan tetapi ternyata, cahaya
tersebut tidaklah lebih dari sekedar lampu para penduduk desa yang berpatroli.
Namun tetap saja, dia tidak
dapat mengenyahkan perasakan bahwa itu adalah mata goblin yang membara.
Apakah dia sedang bertarung
dengan goblin saat ini, atau tidak? Seraya malam berlalu dengan sebelah mata
terbuka, sensasi realitanya menjadi buram ambigu.
Dia berdiri, melihatn
sekitarannya, duduk tanpa suara, dan berdiri kembali. Setiap jam dia akan
melakukan ini, menunggu dengan gelisah.
Apa yang dia sedang
tunggu—goblin atau subuh? Dia sendiri tidak mengetahuinya.
Adalah subuh yang tiba
terlebih dahulu.
*****
Bahkan walaupun hanya jika
di lihat sekilas pada petualang yang berkumpul di pintu masuk tambang, jumlah
mereka mencapai empat puluh atau lima puluh orang, menandakan bahwa terdapat
sepuluh party berbeda yang berpartisipasi. Sebuah aliansi terbentuk. Berukuran
sedang, dan tidak salah jika petualang tingkat tertinggi menghela napas mereka.
Seorang petualang tingkat
Copper, seorang pria dengan armor berkilau, dengan tegas mengayunkan kipas
perang untuk memberikan perintah. “Baiklah, dengar! Musuh kita berada di
kedalaman tambang ini! Karena itu kita akan mengambil alih semua jalan tambang
dan mengepungnya dari segala arah!”
Jenggot yang tercukur rapi dan
pedang pada pinggulnya memberikannya sebuah aura yang membuatnya terlihat
seperti bangsawan yang terkadang bermain sebagai petualang. Namun tidak seorangpun
yang dapat mencapai tingkat tinggi hanya dengan bermodalkan tanah dan reputasi
belaka.
“Orang ini kelihatan lebih
cocok tinggal di kota daripada pertempuran bawah tanah,” Gumam Spearman, yang
telah di tempatkan pada party Porcelain di garis depan.
Tetap saja, paling tidak
mereka mempunyai tingkat Copper untuk memimpin mereka. Dari apa yang telah di
lihat Spearman, pria itu tampak seperti petarung yang handal. Pengelihatan
cepat di sekitarannya menunjukkan banyak orang bertingkat Porcelain atau Obsidian,
sedikit di atas pemula.
Tentu saja, Spearman tidak
mempunyai hak untuk menilai, namun setidaknya dia telah melalui satu atau dua
pertarung. Tetapi pemula manapun yang memilih quest in sebagai pekerjaan
pertama mereka karena terdengar lebih keren dari membasmi goblin...
“Ini membunuh kan? Apa
mereka nggak bisa setidaknya menyiapkan beberapa drum minyak? Ada banyak blob
di dalam sana.”
“Bego,” sebuah suarah
terdengar, meletakkan tangannya pada pundak Spearman. “Bawa orang sebanyak ini
di dalam ruangan sempit dan kamu tambah api? Kita semua bakal habis, aku
jamin.” Sang pembicara adalah Heavy Warrior dengan pedang besar menggantung di
punggungnya. “Dan pemberi quest kita pemilik tambang ini. Aku rasa dia nggak
akan suka seseorang meledakkan apa yang dia punya.”
“Memangnya kenapa? Kamu
pikir semua orang di sini bakal patuh begitu saja?”
“Ini bukan ekspedisi skala
kecil. Perhatikan sekelilingmu baik-baik. Seseorang di sini mungkin saja bakal
menyelamatkan nyawamu.”
“Memang mudah mengetahui
siapa pemimpin party, mereka memang tahu cara berbicara.”
Jangan
ngeyel, Heavy Warrior menasehati, mengernyit, dan
kembali menuju rekannya.
Di dalam grupnya, seorang
half elf fighter sedang mengawasi dua anak muda.
“Oke, sekarang, lakukan
seperti yang kita lakukan pada goblin-goblin itu, maka kalian akan baik-baik
saja,” sang half elf berkata.
“Ye-yeah. Tentu saja...”
sang Bocah Scout berkata.
“Simpan mantramu. Blob nggak
terlalu masalah, tapi Rock Eater lain cerita.”
“Baik pak,” Gadis Druid
menjawab. Kedua anak-anak itu mengangguk serius. Mereka melirik kepada Heavy
Warrior, dan dia memberikan mereka senyum pemberi semangat. Akan memberikan
mereka rasa nyaman mengetahui bahwa pemimpin mereka menjaga anggotanya.
“Gimana denganmu?” Heavy
Warrior memanggil. “Semua bagus?” dia sedang berbicara dengan seorang knight
wanita, yaang sedang memasang pelindung tangan dengan ekspresi tegang.
Pelindung tangan itu masuk dengan pas ke dalam tangannya layaknya sebuah sarung
tangan.
Sang knight menoleh kepada
warrior, mengibas rambut emas panjangnya. “Aki baik-baik saja,” dia berkata.
“Yang lebih penting lagi, mana helmku?”
“Benar juga, kita perlu
menggunakan itu. Hei, helm! Pelindung kepala!”
“Siap!” Bocah Scout merogoh
tas miliknya dan mengeluarkan sesuatu yang terlihat seperti ikat kepala,
sementara Half Elf Fighter mengangguk dan memakai topi kulit. Gadis Druid
mengatur posisi pelindung kepalanya, sesuatu yang terlihat seperti topi lebar.
Di tengah semua ini, Heavy
Warrior mendekati punggung Knight Wanita, terlihat lelah. “Kenapa sih kamu
selalu memasang pelindung tangan duluan sebelum
helmmu? Kamu nggak pernah berubah sama sekali...”
“O-oh, ribut. Aku cuma lagi
nggak konsen dikit saja. Kesalahan kecil.”
“Itu sudah bukan kesalahan
lagi kalau itu terjadi terus.” Dia menarik napas. “Sudahlah. Jangan bergerak.”
Knight Wanita menggerutu
jengkel namun dia tidak bergerak. Heavy Warrior mengikat rambut emas panjangnya
dengan gerakan yang tidak terlatih, memasang penjepit rambut di belakang kepala
Knight Wanita.
“Kenapa kamu biarin tumbuh
panjang? Ini cuma bakal menghalangi.”
“Yah, maaf saja ya kalau aku
ingin terlihat sedikit seperti wanita.”
“Itu doang?” Heavy Warrior bergumam, mengambil helm dari tasnya.
Knight Wanita menerimanya dengan sedikit panik dan mengencangkan pengikatnya
dengan sedikit mengeluh.
Heavy Warrior juga
mengeluarkan topi kulit baru untuk dirinya sendiri, memasangnya dan mengikat
pengikatnya. Sekarang mereka telah siap.
“Gimana denganmu?” dia
bertanya. “Siap pergi?”
“Yeah.”
Dia sedang berbicara kepada
warrior muda pemula.
“Yah, “muda”—dia tidaklah
begitu berbeda jauh dari umur Heavy Warrior, mereka berdua tidak lebih dari
lima belas atau enam belas tahun. Dia berbeda dengan Bocah Scout dan Gadis
Druid yang telah berbohong dengan umur mereka, oleh karena itu Heavy Warrior
tidak terlalu mengkhawatirkannya. Lagipula, pria itu terlihat cukup kompeten
seraya dia memeriksa kondisi perlengkapan dan senjatanya.
“Sepertinya ini bukan
petualangan pertamamu.”
“Aku pernah pergi membasmi
goblin sekali.”
“Membasmi goblin?” Heavy
Warrior bergumam, mengernyit. Kenangan itu telah membuatnya malu.
“Jangan desak dia,” Knight
Wanita menyela, ketika dia mendengar pembicaraan mereka.
“Ada apaan?” tanya Spearman,
dan Knight Wanita dengan semangat menceritakan kisah kegagalan pemimpin
partynya. Walaupun helmnya
menyembunyikan ekspresinya, tidak di ragukan terdapat seringai bibir di balik
helmnya.
“Aku nggak ada lihat orang
aneh itu.” Heavy Warrior berkata, mengganti topik pembicaraan.
“Siapa?”
“Yang selalu berbicara
tentang goblin.”
“Oh, dia.” Sang warrior muda
berkata, mengambil helmnya sendiri. Kemudian menambahkan dengan kepastian, “Aku
yakin dia lagi pergi membasmi goblin di suatu tempat.”
*****
Dari desa terdengar suara
riang gembira, bercampur dengan suara musik dan aroma api terbakar.
Sumbernya
kau ketahui, tetapi kemanakah ia sirna? Rupa sesungguhnya kau ketahui, tetapi
rupa itu tidak berwujud. Sebuah teka-teki kuno dari
gurunya yang di lontarkan kepadanya.
Dia mengambil barangnya dan
mulai berjalan, menjauh dari kerumunan. Pendamping satu-satunya dia seraya dia
pergi adalah suara yang memudar dan aroma festival.
Cahaya pertama akan musim
panas terasa begitu menyengat hingga seperti terbakar, tasnya menggigit
pundaknya, dan setiap langkah terasa begitu berat.
Namun langkah tetaplah
sebuah langkah.
Angkat satu kaki ke depan,
gerakan tubuhmu, kemudian kaki berikutnya, tubuh maju.
Satu langkah.
Jika kamu mengambil satu
langkah lagi dan lagi, kamu akan bergerak maju ke depan. Langkah akan semakin bertambah,
hingga pada akhirnya, kamu tiba ke temppat yang kamu tuju.
Waktu, dan kekuatan tubuh,
adalah faktor pembatas, namun tetap saja, tidak ada satu tempatmu yang tidak
dapat di jangkau dengan berjalan kaki.
Oleh karena itu, dia
mengeratkan giginya dan berjalan, dan ketika dia tiba pada pinggiran desa, dia
mendapatkan sebuah tempat untuk dirinya sendiri.
“...”
Pertama, letakkam barang
bawaan. Dia meembawa pagar pembatas yang telah di buatnya pada hari kemarin,
dan tentu saja, tujuannya adalah untuk memasangnya. Karena goblin bertubuh
pendek, pagar ini tidak perlu terlalu tinggu, namun tetap saja ppagar ini cukup
berat.
Pasak di sungail dan ketika
tidak ada sungai, sebuah pagar. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk menikmati
festival.
Tapi
untuk para penduduk desa, aku perlu mereka untuk menikmati pesta kecil mereka.
Jika semua warga desa
tiba-tiba bekerja memperkuat pertahanan, maka para goblin tentunya akan
menyadari. Mereka mungkin akan mencari jalan lain dengan otak kecil busuk
mereka, dan keadaan akan menjadi semakin buruk.
“Hrm...”
Dengan itu, dia mengerahkan
segala kekuatannya untuk mulai bekerja. Tanpa suarak keringat mengucur di
alisnya, dia menanamkan pagar pada bumi, mengikatnya dengan tali, kemudian
berpindah pada bagian lain.
Ketika dia kehabisan pagar,
dia akan kembali untuk mengambil pagar baru, dan ketika dia tiba di sungai, dia
pergi mengambil pasak, dan melanjutkan pekerjaannya. Dia menyukai hal seperti
ini: bekerja seksama, secara mekanikal, tidak memikirkan hal lainnya.
Lagipula, dia tidak begitu
piawai dalam berpikir. Kakak perempuan dan masternya tidak pernah ragu untuk
mengatakan hal itu tepat di depan mukanya.
Sejujurnya, dia sangat
menyadari bahwa dia, mungkin, sedikit bodoh.
Karena
itu terus berpikir!
Masternya meneriakkan
kalimat itu kepadanya, dan dia tidak memiliki niatan untuk mengacuhkan ajaran
gurunya, namun berpikir adalah hal yang melelahkan. Terkadang sangatlah mudah
untuk hanya sekedar fokus dengan apa yang ada di depannya. Dia menyukai itu
lebih dari apapun.
Saat ini, yang perlu dia
pikirkan adalah bagaimana cara mendirikan pagar dan memasang pasak di sungai.
Goblin.
Benar, ini demi mrlindungi
desa dari para goblin.
Goblin.
Goblin...
Dengan setiap batang pagar
yang dia dirikan, dia berpikir tentang membunuh satu goblinl dia terus
memikirkan hal yang sama di setiap pasak yang dia tancapkan di sungai.
Layaknya sebuah lamunan:
sayat dengan pedangnya, atau hantam dengan perisainya; gorok tenggorokan,
patahkan rusuk.
Bagaimana dia akan membunuh
mereka? Cara apa yang akan dia gunakan? Seperti apa dia akan menyerang;
bagaimana cara mencabut nyawa mereka?
Dia telah mempelajari
sebanyak yang dia bisa dari pertarungan sebelumnya.
Goblin sangat lemah. Satu
lawan satu, mereka bukanlah ancaman. Warga desa pun dapat mengusir satu goblin
pergi, bahkan membunuhnya.
Pertanyaannya adalah
bagaimana cara melakukan itu berkali-kali.
Masuki gua. Apakah ada
sepuluh musuh? Dua puluh?
Dalam kemungkinan terburuk,
dia mungkin akan perlu membunuh dua puluh musuh dengan pedang. Dia membutuhkan
stamina.
Dan senjatanya: seseorang
yang handal menggunakan pedang dapat memfokuskan setiap serangannya, namun
dirinya hanya mengayunkan pedangnya secara sembarangan. Mata dari pedang dapat
tercuil karena benturan dengan tulang, atau menjadi tumpul di karenakan lemak
seraya pedang memotong.
Kalau
begitu apa yang akan aku lakukan?
Tangannya berhenti bergerak,
dan dia menatap langit. Tidak ada jawaban di sana. Tidak ada seorangpun yang
mengajarinya tentang apa yang harus di lakukan.
Menggunakan pentungan? Tidak—pentungan
mudah di ayun, tetapi hanya ayunan yang dapat di lakukan pentungan. Jika di
lihat dari sudut pandang keserbagunaan...
“Tidak.”
Bukan itu. Dia menggeleng
kepalanya.
Dia dapat mendengar festival
di kejauhan. Tiba-tiba dia merasa mendengar suara tak asing memanggil namanya.
Skor satu, maka mendapatkan
bir untuk orang dewasa, dan jus lemon untuk anak-anak.
Dia telah sering berlatih.
Dia sangat piawai dalam
melempar sesuatu. Dia selalu siap untuk menyombongkan cara dia melakukan ini
untuk kakak perempuannya, dan gadis tetangga.
“Pagar.” Dia bergumam.
“Harus bangun pagar.”
Dia meraih peralatannya,
hanya untuk menemukan bahwa dia telah menggunakan semua pagar yang di bawanya.
Dan tidak hanya itu saja;
dia menyadari bahwa dia telah selesai melakukan satu putaran mengelilingi desa.
Bagian pagar yang dia pasang berdiri berdampingan; yang hanya dia perlu lakukan
sekarang adalah mengikatnya.
Di sisi lain pagar adalah
lahan terbuka, dan pegunungan utara di kejauhan. Para penduduk desa mengatakan
bahwa itu adalah sebuah tambang.
Dia memberikan sbuah
tendangan pada pagar yang tidak terikat. Pagar itu berdecit di karenakan
hantaman dan berayun, menciptakan sebuah celah kecil.
“...”
Dia memperhatikannya dengan
seksama, kemudian kembali menatap langit. Sangatlah jelas bahwa goblin akan memanfaatkan
celah ini.
Matahari hampir tertidur.
Senja mewarnai angkasa, dan dia dapat mendengar teriakan naga petir.
Di sini, dia menyadari bahwa
dia belum makan semenjak pagi itu. Dia menuangkan air ke dalam tenggorokannya
yang menggelitik. Kemudian mengeluarkan daging kering dan memasukkan dengan
paksa ke dalam mulutnya. Kunyah, telah. Tenggorokannya masih terasa kering
walaupun sudah di basuh dengan air, namun setidaknya ini akan cukup untuk
mengembalikan fokusnya.
Dia berjongkok di antara
semak-semak dan mengeluarkan obor. Obor yang terbuat dari getah pi us dan
sulfur, cangkang kenari, dan tinja kering tikus dan sapi yang telah di campur
dengan alkohol.
Dia menggenggam obor,
menunggu matahari tertidur sepenuhnya.
0 Comments
Posting Komentar