Sang biarawati sudah memberitahu dengan keras
bahwa tidak peduli suara apapun yang datang dari luar, apapun alasannya, dia
tidak boleh membuka pintu. Oleh karena itu ketika dia mendengar suara gedoran
kasar di pintu, menggema di antara hujan yang mengguyur, dia tidak bergerak
sama sekali dari kasurnya. Begitu pula dengan anak lainnya. Tidak peduli
seberapa lama gedoran di pintu berlanjut, tidak satupun dari mereka yang
bangun.
Guru mereka sang biarawati juga tidak
menunjukkan tanda untuk bangun; tampaknya hanya gadis itu yang sedang terjaga.
Tapi apa nggak apa-apa kalau cuma mau lihat
siapa itu kan?
Dengan itu, dia menyelinap keluar dari tempat
tidurnya. Semua anak-anak telah di kumpulkan di ruangan besar dan masih di
lapisi selimut, tidak bergerak.
Pengecut, pikir gadis itu seraya berjalan,
menggenggam sapu dengan kedua tangan. Dengan senjata improvisasi di
genggamannya, dia berjalan dengan bimbang di sekitar gelapnya kuil.
Lilin-lilin telah di padamkan lebih awal
(“harus di hemat”), karena itu keadaan benar-benar gelap gulita. Kapel di
selimuti keheningan sunyi, yang terlihat seperti gambaran bayang-bayang Dewa
Perdagangan, entah mengapa terlihat begitu mengerikan.
Di luar, badai mangamuk—layaknya lolongan roh
yang menghantui.
Sang gadis mulai menyesali karena sudah
bangun, ketika, dia berada dekat dengan pintu, gedoran itu terdengar kembali.
“Siapa...? Siapa di sana? Ada yang
bisa....kami bantu....?”
Gedoran terhenti, dan kemudian terdengar
suara dari sisi lain dari pintu kayu.
“Pekerjaanku telah selesai. Aku datang untuk
melapor.”
Dengan sekejap, wajah sang gadis ceria, dan
dia berlari mengarah pintu. Dia memegang ganjal pintu, dan dengan “Hmph!” dia
berhasil menggesernya.
Sang biarawati telah memberitahunya untuk
tidak membuka pintu, tidak peduli suara apa yang terdengar dari luar, namun
bukan “tidak peduli siapa yang datang dari luar.”
Jadi ini nggak salah!
Ganjal tergeser dengan mulus, dan pintu
terbuka perlahan.
Berdiri di sana dengan badai di punggungnya
adalah seorang pria. Dia di selimuti kegelapan, namun sang gadis sangat
mengenali sosok petualang yang telah di kenalnya selama selang waktu dua hari.
Helm yang terlihat murahan, armor kulit yang kotor, pedang menggantung di
pinggul, dan perisai bundar yang terikat di lengannya.
Hanya satu yang berbeda, mungkin: sekarang
dia sudah kehilangan tanduk terakhir di helmnya.
Pria itu mengambil satu langkah masuk ke
dalam kapel, berlumur dengan lumpur.
“Apa kamu sudah mengatasi goblinnya?”
“Ya,” dia berkata. “Aku membunuh mereka.”
Sang gadis kecil terlihat sedikit tercengang
dengan ucapan acuhnya. Pria itu mendekat, sang gadis mencium aroma yang belum
pernah dia cium sebelumnya dari pria itu.
Lumpur, keringat, dan sesuatu lainnya. Dia
menjepit hidungnya, namun pria itu hanya berkata. “Apa kalian mempunyai obat
herbal? Ada keajaiban penyembuhan?”
“Uh-uh.” Sang gadis menggeleng kepalanya.
“Ibu biarawati bilang dia nggak pernah menerima keajaiban.”
Namun bagaimana dengan obat lainnya? Sang
gadis mengetahui potion penyembuh hanya berdasarkan reputasi benda itu.
“Begitu...” pria iti menhela dalam mendengar
jawaban sang gadis. Bagi sang gadis, pria itu tampak begitu kelelahan.
Dia baru saja kembali dari pertarungan.
Masuk akal. Ketika sang gadis memikirkannya,
dia pun merasakan lelah ketika sedang bermain.
“Hei, gimana kalau istirahat sebentar? Atau
kamu mau langsung pulang?”
“Pulang?”
Sang gadis bertanya tanpa pikir panjang,
hanya sekedar bersopan santun. Namun pria itu menatap sang gadis penuh rasa
bingung.
“Rumah...” dia bergumam, seolah baru
mendengar katabitu untuk pertama kalinya.
Rumah, rumah, rumah. Dia tampak mengucapkanya
berulang-ulang, mengingatnya secara perlahan.
Pada akhirnya, helmnya bergerak perlahan
namun pasti.
“Ya.” Dia berkata, seolah dia tidak dapat
mempercayainya. “Aku akan pulang.”
“Oh... Oke.”
“Ada”—dan dia masih terdengar sulit untuk
mempercayainya—“seseorang yang menungguku.”
Sang gadis mengangguk. Sang gadis sudah
bersiap untuk menyeret pria itu masuk ke dalam kuil jika terpaksa, tetapi...
Kalau memang dia mau pulang, yang itu yang
harus di lakukannya.
Bagi sang gadis, kuil ini adalah rumah. Lima
tahun telah berlalu semenjak dia terpisah dengan orang tuanya; dia bahkan tidak
dapat mengingat wajah mereka.
Namun hal itu mungkin berbeda untuk pria ini.
“Oke deh, terima kasih ya?”
“Nggak.” Dia berkata, secara perlahan
memalingkan tubuhnya, tangan di pintu, hendak pergi keluar kembali ke dalam
guyuran hujan. Sang gadis tidak tahu harus berkata apa ketika melihat
pemandangan ini. Kepala sang pria menggeleng, dan dia berkata dengan begitu
pelan. “Nggak masalah.”
Kemudian pintu tertutup dengan decitan.
“Baiklah,” sang gadis berkata dwngan anggukan
kecil, dan kemudian, dia mengendap-endap melewatingelapnya kapel dan merangkak
masuk kembali ke dalam kasurnya.
Malam itu, sang gadis memiliki mimpi yang
aneh.
Mimpi itu sirna ketika pagi menjemput, samar, janggal, dan cepat berlalu.
Dia telah benar-benar tidak dapat mengingat
bahwa dalam mimpi itu, sang gadis mengusung pedang suci di tangannya, layaknya
pahlawan sejati.
*****
“Bangun juga akhirnya ya?”
Ketika sang warrior muda tersadar, dia
mendapati dirinya sendiri terbaring menyedihkan di atas matras yang di tebar di
atas batu ubin di lantai.
Dia berusaha untuk duduk, namun kepala terasa
begitu nyeri bersamaan dengan jantungnya, membuatnya tidak dapat bergerak.
Dia menyadari kaki dan lengannya terbalut
dengan perban, dan berdasarkan perasaan, tampaknya dahinya juga di perban.
Pada akhirnya dia memutuskan untuk tetap
berbaring di atas matras.
“Di mana aku...?” dia bertanya dan merasakan
tenggorokannya seperti akan robek. “Apa yang...?”
“Kuil Ibunda Bumi.”
“Ibunda Bumi...?”
“Itu loh. Yang selalu kamu lihat ketika kamu
berjalan di sekeliling kota?”
Informasi ini datang dari Heavy Warrior, yang
sedang duduk di sampingnya. Dia juga penuh balutan perban, namun ekspresi di
wajahnya terlihat riang.
“Mereka sudah berbaik hati untuk mengubah
ruang sembah ini jadi pusat pemulihan.” Dia berkata.
Sang warrior muda memperhatikan sekeliling
kapel. Matahari menyinari menembus jendela—pastinya sudah pagi hari. Langkah
kaki para cleric dapat terdengar di antara erangan petualang yang terluka dan
kelelahan.
Para cleric bekerja tanpa lelah merawat
mereka: membawakan air di sini, memberikan makan di sana, mengelap keringat
mereka yang tidak dapat bergerak. Tidak di ragukan merekalah yang telah merawat
luka warrior muda ini. Jika tidak, maka dia tidak akan dapat bertahan hidup
setelah menerima gigitan rahang raksasa itu.
Berdiri di tengah semua itu, memberikan
instruksi, tidak lain dan tidak bukan adalah pemimpin tingkat Copper. Jika di
lihat dari armornya yang sekarang tidak di kenakannya, tampaknya pria itu sudah
cukup berandil di dalam pertarungan. Warrior Muda menyesali pemikirannya karena
telah menilai pria itu berdasarkan penampilannya.
“Pokoknya, kita semua beruntung karena masih
bida hidup. Kamu, aku, kita semua.”
“Benar...”
Di dekatnya, rekan party Heavy Warrior—sang
Fighter dan Bocah Scout dan Gadis Druid dan mereka semuanya—sedang
beristirahat, masing-masing dari mereka hanyut dalam pikirannya sendiri. Namun
entah mengapa, Knight Wanita bersandar pada Heavy Warrior, tertidur. Wanita itu
tidak tampak seperti beban yang ringan...
“Hei... Gimana soal serangga besar itu?”
“Mati,” jawaban acuh terdengar.
Young Warrior, masih berbaring menyamping,
mengepalkan tangannya.
“Aku nggak enak buat kasih tahu kamu,” Heavy
Warrior menambahkan, “tapi bukan kamu yang membunuh monster itu.”
Semuanya kacau setelah kamu pingsan. Kemudian
Heavy Warrior menceritakan kepadanya tentaang perjuangan hidup dan mati yang
telah terjadi: Rock Eater mengamuk setelah tenggorokannya tertusuk. Batu
menghujani dari atas kepala mereka. Para Blob terus bermunculan.
Para petualang dengan gagah berani melakukan
perlawanan terhadap gelombang makhluk lendir yang tidak ada habisnya. Jika
mereka tidak dapat bergabung kembali dengan grup utama, maka mereka harus
melakukan pertarungan atrisi. Mereka terus melakukan perlawan terhadap para
Blob, seraya menyerang Rock Eater di kala kesempatan muncul. (TL Note : “Battle
of Attrition = pertarungan atrisi” saya ngarang kata “atrisi” ini, karena kalau
di artikan secara langsung maka artinya menjadi “erosi”.sedangkan definisi
singkat dari attrition itu sendiri adalah pertempuran yang akan memakan waktu
sangat lama. Karena itu “erosi” agak kurang cocok bagi saya.)
Tidak lama kemudian, party utama datang untuk
membantu mereka, dan para petualang dapat menekan para monster...
“Terus si pengguna tombak sombong itu menusuk
tombaknya di kepala serangga, dan monster itu mati.”
“Begitu...”
“Kehidupan memang seperti itu,” Heavy Warrior
berkata seraya mengernyit, tidak yakin akan bagaimana untuk membalas respon
lemas dari petualang di sampingnya. Mungkin hal itu telah mengingatkannya
kembali pada sebuah kenangan buruk. “Semua nggak selalu sejalan dengan apa yang
kamu inginkan.” Heavy Warrior melirik wanita yang tertidur di pundaknya seraya
dia berbicara. Wanita itu sudah tidak
menggunakan helm yang di pasangkan oleh dirinya.
Ketika sang warrior muda bertanya apa yang
terjadi, Heavy Warrior hanya menggeleng kepalanya dan tertawa, menunjuk pada
helm metal wanita itu yang telah meleleh. “Wajahnya akan sembuh seiring waktu,
tapi helm itu sudah nggak bakal bisa lagi.” Dia memberikan sentilan lembut pada
pipi wanita itu. Wajah cantiknya berubah menjadi cemberut, dan Heavy warrior
kembali tertawa.
“Yah, ketika seorang wanita mendapatkan luka
bakar di wajahnya, pastinya akan sangat merugikan bagi mereka...”
Dalam sudut pandang seperti itu, helm itu
tentunya sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Kalau di pikir lagi, bukannya dia pernah
bilang kalau dia mau jadi paladin kan?
Walaupun posisi knight bukan sesuatu yang
turun temurun, latihan yang rajin dalam sebuah pelayanan akan membuatmu
mendapatkan hadiah militer pada waktunya. Secara bangga melayani negara sebagai
seorang knight dan bangsawan, mungkinlah merupakan salah satu jalan untuk
menjadi paladin.
Kenyataan bahwa wanita itu memutuskan untuk
menjadi petualang menandakan bahwa terdapat suatu alasan yang lebih dalam
keputusannya.
“Yang bisa ku lakukan Cuma berbuat yang
terbaik di saat keadaan tidak sejalan denganku.” Heavy Warrior berkata. “Dan
itu berlaku untuk semua orang.”
“Yeah...”
Adalah benar bagi Heavy Warrior, dan tentunya
juga benar bagi sang warrior muda.
“Satu hal yang sudah pasti: kamu adalah yang
pertama melukainya. Kamu sudah melakukan apa yang kamu bisa kan?”
Warrior Muda berpikir sejenak, kemudian
berkata. “Iya.” Dan memejamkan kedua matanya.
Dia telah melakukan apa yang dia bisa.
Dia telah memimpin partynya sebaik yang dia
bisa.
Pertama kali mereka bertemu dengan makhluk
itu, entah bagaimana dia dapat membuat partynya keluar dengan selamat hanya
dengan memakan satu korban.
Mantan partynya yang lain telah pergi
meninggalkan kota, namun dia masih berada di sini, berpetualang.
Dia telah melompat tepat menuju rahang
serangga raksasa Rock Eater, dan menusuknya sekeras yang dia bisa.
Ya, dia yakin bahwa dia telah melakukan apa
yang bisa di lakukannya.
Jadi maafkanlah aku... Karena aku nggak akan
melakukan apapun lagi demi kamu.
Ucapan permohonan maaf mengambang di
kepalanya untuk gadis itu, yang sekarang telah tiada.
Kemudian dia kembali tidak sadarkan diri.
*****
“Maaf—tunggu sebentar—aku akan bawakan herbal
antipiretik!”
“Baik!”
Sang acolyte adalah seorang gadis kecil,
masih hampir sepuluh tahun. Tentunya, dia tidak mempunyai status sebagai
cleric; bahkan terlalu berlebihan jika memanggil seorang murid.
Dia mengenakan pakaian biasa, penuh dengan
jahitan tidak rapi. Pakaian itu telah di berikan kepadanya sebagai bayaran, dan
sekarang dia menggulung lengan bajunya seraya dia berlari kesana kemari di
sekitar kapel.
Mereka menanam tanaman herbal di kebun kuil,
salah satu dari tindakan kebaktian mereka. Sang gadis mengambil beberapa
tanaman yang baru-baru saja di keringkan dari dalam rak di mana mereka
menyimpannya dan bergegas kembali. Dia harus mengambil tangga kecil dan berdiri
berjinjit untuk dapat mengambil tanaman itu, tetapi dia tidak mengeluh.
“Ini dia!”
“Terima kasih. Aku sudah nggak perlu bantuan
lagi di sini, jadi kamu pergi bantu yang lain saja.”
“Baik!”
Dia memberikan herbal tersebut kepada cleric
lainnya, salah satu dari seniornya, kemudian berusaha tersenyum pada wajahnya
yang lelah seraya dia berlari kembali.
Sang senior cleric memperhatikan gadis itu
dengan tersenyum. Gadis yang berlari itu, seperti priest dan dan priestess
lainnya, merupakan yatim piatu. Dia telahndi tinggalkan di depan kuil sekitar
lima tahun yang lalu, tepat di saat perang hampir berakhir. Tahun ini, dia akan
berumur sepuluh tahun. Belum menjadi wanita dewasa namun sudah cukup tua untuk
dapat membantu pekerjaan perawatan.
Namun itu bukanlah alasan sepenuhnya dia
berada di sini, tetapi—
“Heeei! Aku ada satu pasien lagi buatmu!”
Sang gadis berhenti seketika mendengar
panggilan yang tak terduga, keringat menguucur di alisnya.
Dia melihay seorang petualang tampan dengan
sebuah tombak menopang petualang lainnya dengan armor kulit di pundaknya.
“Er, uh, apa kamu memanggil saya pak?”
“Yeah. Maaf merepotkanmu saat kamu lagi
sibuk. Katakan saja sama aku di mana pria ini bisa tidur.”
Bahkan Spearman-pun tidak memiliki niatan
untuk terus merepotkan gadis yang begitu muda. Gadis itu mengangguk dan
berkatak “Lewat sini,” membimbing mereka masuk ke dalam kapel.
Tempat ini penuh dengan petualang yang
terluka, namun masih terdapat cukup tempat untuk dapat beristirahat, di bangku
dan di kursi. Jika keadaan mendesak, maka kamar para cleric pun akan di
sediakan. Tidak akan ada masalah dalam hal itu.
“Apa, uh, orang ini juga bertarung dengan
serangga itu...?”
“Nggak. Aku yakin dia bertarung melawan
goblin.”
“Apa...?”
“Aku menemukannya pingsan di pinggir kota dan
membawanya ke sini. Sialan... dia ini merepotkan saja.”
Dengan kekesalan yang tampak jelas, Spearman
membantu merebahkan petualang itu pada sebuah selimut yang telah di tebarkan di
atas lantai. Jika di perhatikan lebih seksama, petualang yang beramor kotor itu
penuh akan darah dan lumpur.
Sang gadis harus membasuh bersih pria itu dan
memeriksa adanya luka. Walaupun dia masih belum mampu dalam bidang itu saat
ini.
“Baiklah, jaga dia untukku!”
“Ba-baik pak!”
Karena pria itu telah di percayakan
kepadanya, maka apa boleh buat.
Sang acolyte mengangguk berkali-kali kepada
Spearman, kemudian memperhatikannya pergi.
Hei... Bukannya mer3ka bilang seorang
petualang pemegang tombak yang menghabisi monster itu...?
Apakah mungkin itu dia?
Bahkan seraya mata sang gadis mengikuti pria
itu dengan tatapan tanda tanya, sang gadis bergegas pergi keluar kapel, menuju
seniornya untuk meminta arahan.
“Kita nggak punya cukup orang!” sang prietess
yang lebih tua berkata. “Kalau lukanya nggak terlalu serius, biarkan saja
dulu.”
“Hei, mana perban barunya?”
“Kalau kamu terlalu sering ganti, kamu akan
membuat mereka lebih beresiko...”
“Jangan gunakan lagi perban lamanya. Selama
perbannya bersih, maka itu sudah cukup!”
Nanti kami akan lihat keadaannya. Sang
acolyte berdiri di sana termenung mendengar keputusan dari seniornya yang
sedang bekerja keras.
Namun tidak ada waktu sedikitpun baginya
untuk hanya sekedar berdiri saja.
“Ini perban! Cuci ini!” Seseorang berkata, memberikannya
tumpukkan perban kotor. Perban itu penuh dengan goresan dan noda kemerahan.
“Oh, ba-baik!”
Sang acolyte bergegas pergi dengan banyak
cucian kotor di tangan, namun dia berhasil melirik mengarah sebuah dinding.
Di sana terdapat seorang petualang yang di
rebahkan sebelumnya, melihat dengan lelah pada lantai.
Apa ada yang bisa ku bantu untuk dia?
Namun apa? Sang acolyte tidak mengetahuinya.
Mungkin dia akan mengetahuinya di masa depan, ketika dia lebih berpengalaman.
Adalah pertanyaan yang sukar untuk seorang
gadis sepuluh tahun.
Dia menggosok perban dengan air dingin hingga
tangannya mulai terasa sakit, namun masih tidak ada yang terlintas di
pikirannya.
Air dengan cepat berubah menjadi hitam
kemerahan dari hasil cucian, namun tidak peduli seberapa sering dia mengambil
sir baru, perban ini tampaknya tidak bisa bersih.
Ambil air baru, gosok, ambil air baru, gosok,
ambil air baru, gosok, ambil air baru, gosok, ambil air baru, gosok...
Seraya dia bekerja dengan hening, sang
acolyte tiba-tiba menyadari bahwa terdapat ruang kosong di dalam dirinya.
Tangannya terus bergerak, walaupun pikirannya terus berfokus. Namun terdapat
sebuah celah, kehampaan, di dalam bawah sadarnya, dan tampaknya dia terbawa
oleh kehampaan itu.
Ada apa ini? Dia berpikir termenung, namun
entah bagaimana hatinya terasa tentram.
Suara air seraya dia mencuci tampak terdengar
begitu jauh. Begitu pula dingin yang meraba di kulitnya, dan keramaian di dalam
kapel. Dia mendengar dan merasakan semua itu, namun di saat yang sama dia
merasa terbelenggu.
Hampa.
Walaupun matanya terbuka, di dalam hati dia
menutupnya. Dan walaupun tangannya bekerja, dia dalam hati dia menyatukan kedua
tangannya.
Dia melakukan semua ini secara spontan,
seolah itu adalah hal yang sudah sewajarnya bagi dia.
Melindungi, menyembuhkan, menyelamatkan.
Pedoman mendasar dari Ibunda Bumi. Hal yang
paling terpenting.
Tiba-tiba, dia menggabungkan ketiga hal itu
kepada gambsran seorang petualang yang bersandar di dinding.
O Ibunda Bumi yang maha pengasih, ulurkanlah
tanganmu kepada luka anak ini.
Pada momen itu, sang acolyte merasakan
dirinya seperti terselubungi oleh sesuatu, seolah tubuhnya di tarik ke atas.
Cahaya lembut berpijar di tangannya, dan tidak
mengetahui apakah cahaya itu hanya sebuah ilusi atau realita.
Pijar cahaya semakin benderang, dan dia
melihat cahaya itu terbang menuju pria itu.
“Ap-apa....?!”
Dalam sekejap, sensasi letih menyerangnya,
dan acolyte terkesiap. Telinganya penuh dengan denging suara sekitaranya yang
telah kembali kepadanya dalam secara bersamaan.
Sang acolyte merasa lantai dan langit-langit
seperti akan bertukar tempat; dia mencengkram ember cucinya untuk menepis rasa
pusing yang di deritanya.
Aroma sabun, air, dan darah, semua menyumpal
hidungnya.
“Haah—ah—haa—ap...? Ap-apa itu...tadi...?”
Dia mendapati dirinya berkeringat hebat;
tetesan keringat menetes dari wajahnya masuk ke dalam ember, clup, clup, clup.
Sebuah keajaiban telah terjadi, namun pada
saat ini, tidak ada seorangpun yang menyadarinya.
0 Comments
Posting Komentar