“Heeeeei, resepsionis—aku ambil quest ini!”
“Baik!”
Petualang Guild ramai kembali hari ini.
Semua tidak akan berhenti hanya karena satu monster telah binasa. Akan
selalu ada petualang yang datang dan pergi, dan berkas yang perlu di tangani
perihal petualang-petualang itu. Para bandit membuat jalanan menjadi
berbahaya, penyihir jahat bersembunyi di berbagai macam benteng, psra vampir
yang selalu berusaha mencari wanita muda.
Walaupun hanya sebatas rumor, terdapat sebuah perbincangan mengenai suku
centaur yang akan menyerang.
Dan kemudian, tentunya, pembasmian goblin.
Gadis Guild, yang sudah tidak bisa di anggap pegawai baru dalam pekerjaan
ini, sedang berlari-lari seperti tikus yang melompat, membantu pemberi
quest, menyiapkan dan memasang berkas untuk quest-quest itu, dan menangani
para petualang yang bersedia mengambil quest itu.
Waktu makan siang akhirnya telah datang, namun di saat dia telah selesai
makan, adalah saatnya untuk kembali bekerja. Hampir tidak ada waktu untuk
bersantai; dia sangatlah sibuk, kepalanya begitu penat.
Walaupun begitu, senyum tak pernah pudar dari wajahnya: dia memiliki
secarik berkas yang di kerjakannya di kala dia mempunyai waktu senggang.
“Oh-ho-ho. Apa ini?” koleganya bertqnya, mengintip pada kertas itu, sebuah
roti lapis masih berada di mulutnya. Gadis Guild, menyeringai, menbarkan
kertas-kertas itu untuk di lihat, dan dia berkedip. “Aplikasi untuk promosi
tingkatan?”
“Benar!”
“Oh, aku paham—terlalu banyak Porcelain yang ikut membantu melawan Rock
Eater itu, ya?”
Beberapa hal menentukan tingkatan petualang: sejarah petualangan mereka,
total hadiahnyang telah mereka kumpulkan, perbuatan baik yang telah mereka
lakukan pada area sekitar yang mereka tinggali, dan juga perilaku mereka.
Membersihkan monster yang telah bersemayam di tambang tentunya akan
melejitkan kemungkinan promosi mereka. Jika berasumsi tidak adanya
kejanggalan dalam perilaku mereka, tentunya mereka akan mendapatkan
tingakatan baru dengan segera.
Namun kemudian koleganya berhenti dengan “Hmm? Tunggu sebentar...Aku rasa
orang ini nggak ada sama sekali dalam petualangan itu kan?” terheran.
“Oh, benar. Dia tidak ikut.” Gadis Guild menggeleng, kepangnya
mengikuti.
Namun kemudian, dia menunjukkan kepada koleganya lembaran petualangan
pria itu dengan penuh
kebanggaan.
“Orang ini bekerja sangat keras,” dia berkata. “Terlampau keras.
Sendirian.”
“Huh. Astaga.” Koleganya berkata, mengunyah roti lapisnya berpikir dan
melihat lembaran itu penuh penasaran.
Kemampuan dan kecakapannya menengah, atau bahkan di bawah menengah.
Petualangan yang telah pria itu selesaikkan terdiri dari: goblin, goblin,
goblin, goblin, dan lebih banyak goblin.
Jadi itu kenapa akhir-akhir ini aku lihat sedikit sekali quest membasmi
goblin.
“Terus menimbun batu dan akhirnya kamu mendapatkan gunung, ya?” dia
bergumam kepada dirinya sendiri. Dia menatap kepada Gadis Guild dengan
tatapan tajam seorang cleric Supreme God. “Kamu nggak memalsukan ini
kan?”
“Mana mungkin aku melakukan itu!”
“Baguslah.” Dia mengangguk.
Gadis Guild, membusungkan dadanya bangga, hanya dapat tersenyum
mengeluh.
Koleganya, telah menghabiskan roti lapisnya, berkedip kepadanya.
“Bagus aja kok. Semua orang pasti bertemua dengan satu atau dua petualang
yang mereka dukung.”
“Bukannya itu berlawanan dengan apa yang kamu bilang sebelumnya...?”
“Terkadang waktu dan tempat mengimlakan apa yang kamu ucapkan.”
“Terserahlah!”
Mereka berdua kembali tertawa.
Waktu istirahat mereka akan segera berakhir, dan pekerjaan akan kembali di
mulai.
Terdapat begitu banyak petualang yang siap untuk di promosikan, itu artinya
banyak berkas yang harus di isi juga.
“Berhubung kita berdua ada di sini, bagaimana kalau kita minum sedikit
malam ini?”
“Kayaknya bagus, kalau aku nggak terlalu capek.”
“Baiklah. Kalau kamu tidak terlalu capek.” Gadis Guild mengangguk dengan
senyuman dan kembali ke mejanya.
Koleganya menghilang untuk sesaat namun kemudian menongolkan kepalanya
kembali mengintip ruang Gadis Guild.
“Hei, apa akhir-akhir ini orang-orang mulai menyebut pria itu dengan nama
panggilan?”
“Iya,” Gadis Guild berkata, terlihat begitu bangga seolah dia sedang
membicarakan pencapaiannya sendiri. “Dia di sebut...”
*****
“Kamu sudah dengar? Ada pria aneh di sekitar sini akhir-akhir ini.”
“Oh, yang pake perlengkapan aneh itu?”
“Armor murahan dan helmnya.”
“Yang selalu berbicara tentang goblin? Aku selalu melihatnya setiap kali
dia datang ke Guild.”
“Dia kan Porcelain, jadi apa lagi yang bisa dia lakukan?”
“Yeah, itu saja yang di lakukannya...”
“Goblin itu merepotkan.”
“Ayolah, mereka mungkin seburuk itu. Mereka Cuma goblin, kan?”
“Ngomong-ngomong, kenapa sama dia?”
“Mereka bilang dia sudah jadi Obsidian.”
“Wow, yang benar? Jadi dia ikut andil dalam perburuan Rock Eater?”
“Bukan, aku dengar dia hanya berburu goblin.”
“Kalau kamu sering melakukannya kurasa pengalamannya akan semakin
bertambah.”
“Dan lagi, dia solo.”
“Aku dengar ada orang yang mengundangnya untuk pergi ke petualangan yang
berbeda, dan dia menolaknya mentah-mentah.”
“Dia itu cuma mau berburu goblin ya?”
“Cuma goblin, goblin, goblin, goblin, ya?”
“Jadi dia bukan pembasmi naga, dia....”
*****
Dia
tidak langsung menyadari nama yang di tujukan kepadanya.
Dia telah selesai membuat laporannya kepada Guild dan baru saja akan pergi
keluar.
Kota penuh dengan berbagai macam aktivitas. Matahari benderang musim panas
menyinari ke segala arah.
Dia menghiraukan semua suara yang masuk ke dalam helmnya dan berputar
secara perlahan.
“Maksudmu aku?”
“Siapa lagi memangnya?”
Sang warrior muda berdiri di sana. Pria muda dengan armor itu perlu
berpikir sejenak untuk mengingat siapa dia, namun ketika dia mengingatnya,
dia mengangguk, helmnya bergerak perlahan. “Begitu.”
“Lukamu sudah lebih baik? Aku dengar kamu di keroyok beberapa goblin.”
“Ya.” Dia mengangguk kembali. “Nggak masalah.”
Tentunya cukup mengejutkan: dia yang benar-benar kelelahan, terluka begitu
parah, terseok melintasi hujan sebelum pada akhirnya dia pingsan.
Dia tidak mengetahui siapa yang membawanya ke kuil, ataupun siapa yang
telah merawat lukanya. Akan tetapi, luka secara ajaib telah sembuh, kekuatan
dan staminanya telah kembali seperti biasa.
Biasanya, akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk dapat sembuh dari luka
semacam itu.
“Aku juga. Kita berdua harus terus sehat untuj bisa menjalani hidup. Aku
senang kamu baik-baik saja.”
Sang warrior muda menepuk pundaknya. Dia berpikir sejenak, kemudian helmnya
miring perlahan.
“Petualangan?”
“Yeah.” Sang warrior muda menggaruk hidungnya dan tertawa. “Membasmi tikus
raksasa di saluran air.”
“Benarkah?”
“Aku nggak punya anggota psrty lagi, jadi untuk sementara aku akan
solo.”
Masih terdapat kembimbangan dalam diri pria muda itu, namun tampaknya dia
tidak menghiraukannya.
Dia
kembali membayangkan gambaran warrior muda ini, semua rekannya telah tiada,
menghabiskan waktunya sendiri di rumah makan.
“...Begitu.” Dia mengangguk, sesuatu yang terlihat berwibawa bagi pria
lainnya.
Kemudian sang warrior muda memberikan pukulan bersahabat pada dada berarmor
kulit itu.
“Kalau kamu ada masalah, panggil aku.”
“Um...”
“Kita mendaftar di hari yang sama. Itu sebuah ikatan.”
Dia terdiam sejenak, kemudian berkata, “Aku mengerti.” Suaranya terdengar
canggung dan pelan seraya dia menambahkan, “Aku akan melakukannya.”
“Baiklah,” sang warrior muda berkata dengan tawaan, seolah jawaban itu
telah membuatnya senang. “Jadi kamu gimana? Membasmi goblin lagi?”
“Nggak.” Dia menggeleng kepala perlahan. “Aku baru mau pulang.”
Dia baru saja akan mulai berjalan kembali sebelum dia terdiam dan berkata,
“Kamu tadi panggil aku apa tadi? Yang paling pertama?”
“Itu?” sang warrior muda berkata, seolah terkejut karena pria itu belum
mengetahuinya. “Itu julukan.”
“Julukan?”
“Iya.” Sang warrior muda menyeringai. “Julukanmu.”
“Mereka memanggilmu Goblin Slayer.”
*****
“Er...Ergh...”
Gadis Sapi mengerang, sebuah ember air di depannya di dalam ruangannya.
Lagi dan lagi, dia mendekatkan gunting di rambutnya, yang terpantul pada
air di ember.
Tapi aku ng-nggak tahu sama sekali cara memotong rambut...
Dia tidak pernah memikirkannya sebelumnya, dan sekarang ketidakpeduliannya
telah datang menghantuinya. Namun semua telah terlambat baginya untuk lebih
memperhatikan poninya di masa lalu.
Dia berpikir untuk meminta bantuan orang lain, namun dia terlalu malu.
Ayolah...
Adalah alasan yang cukup baginya untuk memotong rambutnya.
Sang wanita pembaca mantra yang telah di sewa untuk menjadi pengawalnya
tentunya tidak akan tertawa jika mendengarnya.
Aku rasa ini bukan sesuatu yang bisa kamu minta tolong pada para
petualang.
Dia telah membayar mereka untuk menjadi pengawal; mereka bisa di bilang
bukanlah temannya.
Gadis Sapi menjepit poni di antara jarinya dan mendekatkan guntingnya,
kemudian menariknya kembali, gundah akan apa yang harus dia lakukan.
“Oh, yang benar saja...”
Bah! Lakukan saja!
Gadis Sapi membulatkan tekadnya, kemudian menyerang rambutnya dengan
gunting.
Crik.
Dia mendengar mata gunting tersebut bertemu, dan beberapa helai poninya
melayang jatuh di depan wajahnya.
Dia meletakkan guntingnya ke samping dan dengan bergetsr melihat ke arah
ember. Tetapi...
“Hmmm...”
Dia sama sekali tidak mengetahui apakah dia telah melakukannya dengan baik
atau tidak.
Tapi aku nggak bisa membiarkannya sampai sini saja pastinya.
Dia telah memulai ini, dan sekarang dia harus menyelesaikannya. Dengan
pikiran itu, dia mulai menyeringai kecil.
Pria
itu juga sama seperti dirinya, Gadis Sapi sangat yakin.
“Oke!” Gadis Sapi berkata, memukul pipinya sendiri. Kemudian dia kembali
mengambil guntingnya dan memangkas dengan berani, memotong sebagian dari
rambutnya. Seraya rambutnya terjatuh, dia merasa kepalanya menjadi lebih
ringan, pandangannya menjadi lebih jelas.
Kenapa aku biarkan sampai sepanjang itu selama ini?
Hampir terdengar lucu untuk mendengarnya berpikir seperti ini; hal ini
tidak pernah mengusik dirinya sebelumnya.
Adalah karena dia menyadari fakta itu yang membuatnya terasa lebih ringan.
Dan itu, dia berpikir, sangatlah bagus.
“Seperti ini, mungkin...?”
Dia memegang rambutnya, memainkan poninya, dan kemudian kembali melihat sir
di ember, bergumam pada dirinya sendiri.
Nggak kelihatan....aneh kan?
Dia mungkin perlu lebih banyak berlatih. Ketika rambutnya tumbuh kembali,
dia akan mencoba memotongnya lagi.
Dengan pikiran itu, dia membersihkan ember dan gunting dan menyapu rambut
dengan sapu.
Rambut wanita adalah benda berharga; rambut itu dapat di jual sebagai
rambut palsu atau rajutan atau bahkan untuk mengusir roh jahat.
“Jimat, ya?”
Bagaimana jika dia memberikan pria itu sesuatu semacam itu?
Ahh... itu pasti memalukan.
Tentu saja. Dan dengan itu, dia mengurungkan niatnya, Gadis Sapi membungkus
rambut yang terkumpul secara hati-hati dengan kertas minyak.
“Uh... Hmm...”
Dia tidak dapat membayangkan dirinya untuk memberikan rambut ini kepada
seseorang yang tidak di kenalnya. Apa yang harus dia lakukan?
Seraya dia berpikir—
“Yikes!”
--tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki sigap, suara yang sudah biasa
dia dengar akhir-akhir ini.
Gadis Sapi melempar rambutnya masuk ke dalam rak, dan kemudian menyisir
rambut yang masih tersisa di kepalanya untuk melurukannya sebelum dia pergi
ke depan rumah.
Apa yang harus di katakan? Atau lebih tepatnya, bagaimana
mengatakannya?
Mereka telah berpisah seolah habis bertengkar, dan sekarang sang gadis
telah melakukan ini, dan sekarang...
Dia tidak mengetahui ekspresi apa yang harus di gunakan, apalagi kata yang
harus di gunakan.
“Oh—“
Ketika semua ini melintas di kepalanya, semua sudah terlambat. Terdengar
decitan pelan seraya gagang pintu terputar, dan pintu terbuka.
Gal pertama yang gadis lihat adalah sepatu botnya, yang penuh dengan lumpur
dalam jangka pendek sejak pria itu pergi.
Armor kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan. Pedang dengan
kepanjangan aneh di pinggul, dan perisai bundar kecil di lengannya.
Adalah dia.
Pria itu berhenti di pintu dan menatap sang gadis.
“Rambutmu...”
“Oh... Iya.”
Gadis Sapi tidak dapat menghentikan gerakan tubuhnya yang gelisah seraya
dia berdiri di sana; pria itu menambahkan. “Begitu.”
Butuh waktu beberapa saat bagi pria itu untuk dapat menjawab, namun itu
bukanlah jawaban yang di harapkan Gadis Sapi. Gadis Sapi merasakan perasaan
gelap menggumpal di hatinya dan sedikit memanyunkan bibirnya.
“Itu saja?” sang gadis akhirnya bertanya.
“Apanya?”
“Apa nggak ada yang lain yang mau kamu katakan? Itu loh—rambutya bagus, atau,
kamu terlihat cantik!”
Namun, yah...
Andaikan pria itu mengucapkan mengucapkan kalimat itu, Gadis Sapi tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Pria itu juga tampaknya tidak mengetahuinya: setelah beberapa saat, helmnya
menggeleng perlahan.
“Aku nggak terlalu paham.”
“Aku rasa iya,” Gadis Sapi berkata, namun dengan senyuman dia menambahkan.
“Mau gimana lagi, ya?”
Dia berputar dan berjalan menuju dapur.
Itu saja—mau seperti apa lagi. Adalah hal sama yang selalu terjadi.
Suara itu begitu pelan dan datar, hampir mekanikal.
Gadis Sapi terhenti dalam langkahnya.
Dia memutar kepalanya, dengan rambut baru pendeknya, dan menghela.
Kemudian dia berpaling
kembali dari pria itu dan hanyanberkata, “...Oh?”
“Ya.”
Hanya itulah yang di butuhkan sang gadis. Jawaban pendek, pelan dari bibir
pria itu yang sang gadis perlukan.
Seraya Gadis Sapi memasuki dapur, dia berputar menghadap pria itu.
“Hei,” dia berkata, meletakkan kedua tangan di atas meja dan mencodongkan
tubuh ke depan. “Mau aku buatkan makan malam untukmu?”
“.....”
“Makanannya rebusan. Kamu mau makan kan?”
Perasaan tidak sesederhana seperti kata.
Pria itu tampak tidak mengetahui apa yang harus di katakan.
Helm itu terus terdiam, tidak menunjukkan tanda pergerakan.
Ekspresinya tersembunyi di balik helm. Apakah dia marah? Atau tidak?
Gadis Sapi menelannliurnya—dengan pelan, agar pria itu tidak
menyadarinya.
Tangannya mencengrkam meja lebih erat.
Seekor sapi melenguh di luar.
Dia mendengar suara pamannya di kejauhan, sedang mengembala sapi itu.
Tetap saja, pria itu belum menjawab sang gadis.
Tetap saja.
“...Ya.”
“Mantap!”
Gadis Sapi mengepal tangan merayakan seraya helm itu mengangguk
menyetujui.
Kemudian rasa tegang mengalir keluar dari tubuhnya, pipinya melemas.
Seseuatu yang selama ini menengang mulai meleleh.
“Oke, aku akan langsung buat kalau begitu.”
Untuk pertama kali setelah sekian lamanya, dia mengambil celemek yang
menggantung di sekitar. Dia tidak pernah melakukan ini sejak terakhir kali
semasa dia masih anak kecil.—paling tidak lima tahun yang lalu.
Secara samar dia masih mengingat resep yang telah dia pelajari. Dia
berpikir apakah dia masih dapat membuatnya. Dia seharusnya perlu
berlatih...
Yah, sudahlah.
Dia akan melakukannya, mulai dari sekarang.
Semuanya. Segalanya. Satu persatu.
Dia sudah mulai bersih-bersih. Dia akan berdiri tegak, mencuci pakaian, dan
membantu pekerjaan kebun: semakin banyak yang akan di lakukannya.
Bahkan memasak—dia akan melakukannya lagi dan lagi. Dan pria itu akan
memakan apa yang di buatnya lagi dan lagi.
“Oh iya.”
Gadis Sapi melupakan sesuatu yang penting.
Dia melirik kepada pria itu dari tempatnya di dapur. Pria itu telah duduk
di kursi di ruang makan.
Dia menarik napas. Menahan napsnya di dalam dada besarnya, dan mengatakan
kata yang akan memulai segalanya.
“Selamat pulang!”
0 Comments
Posting Komentar