BEARDCUTTER PERGI KE SUNGAI SELATAN
(Translator : Zerard)
Ketika mereka turun dari
kereta kuda, terik musim panas menyengat party mereka, bersama dengan keributan
yang memekikkan telinga. Orang-orang datang dan pergi di atas batu ubin.
Berbagai macam percakapan terdengar. Sungai yang bergelembung melintasi kota.
Angin yang berderu.
Dalam sesaat, semua
keramaian ini membuat Gadis Sapi mengira bahwa sedang ada festival atau
sesuatu.
“W-wow...”
“Kamu baik-baik saja?”
Dia merasakan sebuah tangan
lentik yang membantunya. Menjaganya dari rasa pusing yang datang tiba-tiba.
“Er... Yeah... Aku baik-baik
saja,” dia menjawab, mengangguk kepada eeseorang. Seseorang tersebut adalah
orang yang dengan begitu cepat menjadi temannya selama satu tahun terakhir:
resepsionis dari Guild Petualang. Gadis itu berpakaian dengan begitu modis
seperti biasanya. Hari ini, dia menggunakan sebuah gaun putih musim panas yang
mengingatkan Gadis Sapi bahwa gadis ini adalah pelayan publik—dengan kata lain,
bagian dari kebangsawanan. Ini bukanlah apa yang biasanya gadis itu gunakan,
namun walaupun begitu—bahkan tepat karena alasan itu—hal ini meninggalkan kesan
yang kuat pada Gadis Sapi.
“Aku cuma sedikit pusing
dengan banyaknya orang di sini.
“Kamu masih belum melihat apa-apa.
Ibukota jauh lebih ramai dari ini.”
“Sulit percaya kamu bisa
bernapas di sana...” Aku rasa aku nggak
akan sanggup.
Gadis Guild tertawa kecil
mendengar Gadis Sapi, menuruni kereta kuda, seperti biasanya.
Kalau
di lihat, ketika dia menahan kepang itu dari angin, dia benar-benar terlihat
seperti gadis kota. Dia terlihat berbeda sekali denganku.
Gadis Sapi menghela, merasa dirinya
seperti anak kampungan. Dia sudah berusaha menggunakan sesuatu yang sedikit
berbeda dari biasanya, namun dia tidak seelok Gadis Guild.
Gadis Sapi merasa malu untuk
menggunakan gaun ibunya kembali, karena itu hanya pakaian inilah yang tersisa
untuknya. Namun, dia tetap merasa galau.
Gadis Sapi berjalan mengarah
belakang kereta kuda, tempat di mana berbagai macam tas di tumpuk. Mereka harus
menurunkan barang bawaan mereka.
Sebuah sarung tangan kulit
muncul dan menghentikannya. “Biar aku saja.” Tangan itu mengambil beberapa tas
di kala Gadis Sapi mendengar kalimat pendek tersebut.
Dia menoleh dan melihat
Goblin Slayer dengan helm khasnya.
“Kamu istirahatlah sebentar.”
“Oh, Aku baik-baik saja,”
Gadis Sapi berkata, melambaikan tangan kepada temannya. “Aku bisa menunggangi
kuda seharian. Kereta kuda nggak ada apa-apanya. Aku lebih kuat dwri yang
kelihatannya kok!”
“Mungkin saja, tapi bagasi
ini ada kaitannya dengan urusanku.”
Hmm,
Gadis Sapi bergumam. Iya juga. Urusan pribadi sangatlah
penting.
“Baiklah, yah, setidaknya
biar aku tangani barangku sendiri.”
“Oke.” Entah mengapa,
anggukkan singkatnya membuat Gadis Sapi tersenyum. Dia tidak menyembunyikan
senyumnya seraya dia meraih tasnya.
Dia tidak pernah melihat
Goblin Slayer bekerja sebelumnya. Apalagi melakukan hal lainnya selain membasmi
goblin. Hal ini tidaklah jauh berbeda dengan ketika dia meminta pria ini untuk
membantu pekerjaan kebun, namun tetap saja, hal ini terasa seperti baru.
Gadis Sapi berjalan dan
berdiri di sebuah sudut stasiun agar dia tidak menghalangi; Gadis Guild berdiri
di sampingnya, tersenyum. Selama enam tahun mereka berkenalan, Gadis Sapi
mengetahui bahwa senyum itu bukanlah senyum tempel yang biasa di gunakan Gadis
Guild.
“Kurasa kamu nggak pernah
melihatnya bekerja juga ya.”
“Yeah. Saya biasanya selalu
berada di belakang meja.”
“Oh yah? ...Kurasa itu masuk
akal.”
“Yah,ada satu kali...” aku kira aku bakal jantungan.
“Huh!” Gadis Sapi berkata.
Seraya mereka berdua berdiri
berbicara, pekerjaan sedang berlangsung di antara mereka.
“Ya Tuhan. Kita nggak pernah
melihat tempat ini semenjak setahun yang lalu, dan tempat ini terlihat seperti
baru kita tinggali kemarin. Apa nggak ada apapun yang berubah di sini?” Dwarf
Shaman berkata, dengan santai mengambil barang bagasi seraya Goblin Slayer
menurunkannya dari kereta kuda.
Seperti kebanyakan
bangsanya, kekuatan Dwarf Shaman jauh mepebihi tingginya. Dia menumpuk barang
bawaan satu persatu, tanpa merasa kesulitan.
“Mereka bilang tiga orang
merupakan keramaian, tapi kita sendiri punya empat orang wanita di sini. Gimana
kita pria bisa bersantai?”
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ha! Bukankah
mereka sangat cantik dan menawan? Itu sudah sangatlah cukup.” Lizard Priest
mengambil tas dari Dwarf Shaman dan menaruhnya pada gerobak barang bawaan.
Lizardman pada umumnya memiliki tubuh yang kekar, dan terlebih lagi, dia
memiliki tubuh berotot ala warrior priest. Dia melempar barang bawaan itu ke
dalam gerobak lebih cepat dari Goblin Slayer dapat menurunkannya.
“Dan jangan remehkan
kecermatan para wanita juga, bukankah begitu nona Priestess?”
“Aku rasa itu bukanlah
sesuatu yang istimewa...”
Priestess menggaruk pipinya
dengan malu, namun Lizard Priest terus melemparkan pujiannya. “Ah, tetapi
pembungkusan yang baik juga sangatlah penting. Sungguh suatu masalah jika
tablet tanah liat ini pecah bukan?”
Priestess menatap ke bawah.
“Ini benar-benar bukan sesuatu yang spesial... Aku Cuma membungkusnya dengan
beberapa alang-alang dan lumut.”
Barang bawaan yang di
perbincangkan adalah sebuah tablet tanah liat yang telah mereka selamatkan dari
perpustakaan beberapa hari sebelumnya. Berdasarkan para biarawati yang telah
mereka selamatkan, tablet ini telah di temukan di dalam reruntuhan kuno atau
semacamnya, dan huruf yang tertulis pada tablet itu masih belum dapat di
pecahkan.
Apapun itu, tidak ada
untungnya untuk meninggalkan benda ini di perbatasan tanpa adanya perlindungan.
Benda ini mungkin memiliki semacam ramalan; atau sihir rahasia kuno; atau
kebenaran tersembunyi dari semua sejarah; atau...
Teks kuno dan tua telah
menjadi sumber kekacauan besar akhir-akhir ini. Para petualang berkesimpulan
bahwa hal teraman yang dapat mereka lakukan adalah menyerahkan tablet ini kepada
Kuil akan Dewa Hukum di kota air.
“Heh-heh, kerja yang benar
dwarf.” High Elf Archer melompat turun dari kereta kuda dengan gerakan anggun
dan seringai yang melebar dari telinga ke telinga. Dia menepuk keras pundak
Dwarf Shaman. “Aku mau pergi cari kado untuk kakakku.”
“Ya, ya. Tuhan.., Kalau saja
kita di sini bukan untuk merayakan hari besar, sudah ku tampar bokong datarmu
itu!”
“Kamu ini—!” High Elf Archer
melompat, menutupi bokongnya dengan tangan dan melotot mengarah dwarf.
Mereka dapat bersenda gura
seperti ini di karenakan mereka berada di kota air.
Satu tahun yang lalu,
semuanya begitu berbeda.
Priestess memejamkan matanya
selama beberapa detik, dengan emosi campuran antara nostalgia dan takut. Musim
panas itu, tempat ini telah di serang oleh para goblin, dan hampir tak
seorangpun yang menyadarinya. Ingatan itu masih segar di pikirannya. Itu
karena, keseluruhan psrtynya hampir tewas bertarung dengan musuh itu.
“...”
Goblin Slayer, yang paling
dekat dengan pintu kematian pada kala itu, secara perlahan menoleh dari satu
sisi kota ke sisi yang lain.
“...Aku nggak merasakan
adanya goblin di sini.”
Priestess merasa cukup puas
untuk dapat kembali kemari dan melihat hasil pekerjaan mereka.
Satu tahun berlalu semenjak
kedatangan terakhir mereka—benar, satu tahun penuh.
Dari apa yang Priestess
dapat lihat, kota air ini tampak hampir sama semenjak terakhir kali mereka
berada di sini, semua masih berjalan dengan begitu damainya. Pedagang dan
pengelana berlalu, cleric pelayan Supreme God sedang bergegas, dan anak-anak
yang berjalan bersama orang tua mereka. Wizard dan pelayan knight terlihat
bimbang seraya mereka lewat, memikirkan apakah mereka membutuhkan pengawal
untuk melindungi barang mereka, hasil dari pencapaian mereka dari pertarungan.
Decak kaki kuda bercampur
dengan para pedagang yang berbicara , berusaha
memberikan penawaran dengan yang lainnya; seorang wanita yang terlihat
begitu penting berjalan di jalanan.
Namun tidak ada goblin.
Bagi Goblin Slayer, itu
sudah cukup.
Dan selama tidak ada goblin,
maka tidak ada yang dia bisa lakukan di sini.
Akan
tetapi, di sinilah aku sekarang.
Dia berpikir tentang apa
yang dia harus lakukan tentang ini.
Bahkan walaupun dia memiliki
ketertarikan lain selain quest membasmi goblin, dia tidak akan pernah punya
waktu untuk menjalaninya. Tentunya dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan
mengambil quest mengantar seperti ini.
Mengikuti sungai yang
mengalir melewati hulu kota, pada bagian selatan, dan dengan hanya berjalan,
kamu akan menemukan hutan para elf.
Karena itu, party mereka
telah di minta untuk membawa tablet tanah liat itu; terdapat perbincangan
mengenai pekerjaan untuk membiayai perjalanan mereka. Karena ini adalah quest
Guild, mereka telah di injinkan untuk menggunakan kereta kuda Guild untuk mencapai
kota air. Ketika mereka menerima hadiah mereka, tentunya itu akan cukup untuk
membiayai pengeluaran mereka di kota juga.
Pada akhirnya, mereka akan
melindungi sebuah tablet tanah liat yang mungkin akan menarik perhatian goblin.
Hal ini sudah cukup untuk membuat Goblin Slayer berpartisipasi dalam quest ini.
“Oke semuanya, saya akan
pergi ke guild lokal untuk mengucapkan salam dan melaporkan bahwa kita sudah
menyelesaikan quest.”
Semua telah di atur oleh
pegawai piawai sang Gadis Guild, dengan kecermatan dan senyumnya yang tak
pernah pudar. Siapa yang dapat melakukan semua ini dengan lebih baik selain pegawai
birokrasi? Setiap kali adanya quest yang melibatkan lebih dari sekedar pergi ke
suatu tempat, melihat-lihat, dan membunuh beberapa monster, Gadis Guild dapat
membantu.
“Setelah itu, barang bawaan,
penginapan, menyewa perahu... Oh, dan kado. Apa ada yang tahu apa yang biasanya
di sukai seorang pasangan?”
“Menurutku cara terbaik
untuk mempelajari elf adalah dari elf itu sendiri. Ada saran, Telinga Panjang?”
“Pastinya dong.” High Elf
Archer menjawab, mengangguk penuh percaya diri. Telinganya mengepak bangga, dan
dia menambahkan, “Dan lagi, aku sudah lama g pulang ke rumah. Aku perlu membawa
sesuatu untuk klan-ku.”
“Er, uh, kalau begitu
mungkin aku juga boleh...?” Gadis Sapi menyelinap masuk ke dalam percakapan
mer3ka, meletakkan satu tangan pada dada ranumnya. “Maksudku... Aku nggak punya
banyak kesempatan untuk datang ke tempat seperti ini, dan aku ingin sedikit
berbelanja...” dia tampak terdengar ragu, matanya melirik ke sana kemari.
High Elf Archer berkedip
beberapa kali. “Ayo ikut aku!” dia berteriak, menepuk dadanya sendiri. “Asal
kamu tahu saja, aku pernah ke kota ini sebelumnya. Aku bisa mengajakmu
jalan-jalan sekitar sini!”
“Kalau begitu,” Dwarf Shaman
berkata, terlihat ragu dengan kepercayaan diri yang di tunjukan elf, “Saat kita
sudah dapat penginapan dan perahu, mungkin kami akan ikut kalian.” Dia membelai
jenggot putihnya yang sangat dia banggakan. “Kalau nggak, siapa yang tahu apa yang akan di lakukan si dada papan ini?”
“Ooh, coba kamu ke sini dan katakan lagi!” High Elf Archer berteriak.
Dwarf Shaman mengatakan sesuatu dengan tertawa sebagai jawaban, dan mereka-pun
kembali berdebat. Perdebatan mereka terdengar cukup keras hingga melampui
riuhnya jalanan kota air ini.
Lizard Priest memutar
matanya gembira ketika dia melihat khalayak memperhatikan perdebatan mereka
dengan terkejut.
“Anggap saja kami sebagai
porter,” dia berkata. “Kami memang mempunyai tenaga yang di butuhkan.” (TL Note
: Porter = pembawa barang.)
“Maaf. Aku tahu seberapa merepotkannya apa yang akan
kamu...” Gadis Sapi menundukkan kepala meminta maaf, namun sang lizardman
menggabungkan kedua tangannya bersama.
“Apakah yang harus di
maafkan? Anggap saja ini adalah balas budi saya atas banyaknya pasokan keju
nikmat anda. Mohon jangan di risaukan.”
Gadis Sapi merasakan sebuah
tangan menyentuh pundaknya. “Hee-hee. Kalau begitu, mungkin saya akan bergabung
dengan kalian setelah saya selesai menyelesaikan semua yang perlu di lakukan.”
Gadis Sapi tidak mengetahui
sejak kapan Gadis Guild berada di belakangnya. Tercium aroma wangi samar dari
kepangnya; mungkin dia menggunakan sedikit parfum. Hanya setetes, tidak terlalu
berlebihan hingga menjadi tidak enak untuk di hirup. Hal ini membuat Gadis Sapi
terpukau.
Enaknya...
Pikiran itu melintas
sepintas, namun tampaknya pikiran itu tergambar jelas di wajahnya.
“Seorang gadis suka
berdandan dari waktu ke waktu, kan?” Gadis Guild tersenyum nakal.
Gadis sapi mengangkat
tangannya. “Heh, yeah Ha-ha... Apa kamu bisa bantu aku?”
Tentu
saja. Gadis Guild tersenyum dan mengangguk, dan
dengan segera tatapannya bergerak menuju sesuatu yang lain.
Sesuatu apakah itu? Kalian
pasti sudah dapat menebaknya sekarang.
Adalah Priestess, yang
berdiri denagn canggung, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tidak bisa.
“Kamu bagaimana?” Gadis
Guild bertanya. “Pakaian festival yang kamu kenakan itu sangat imut.”
“Eurgh?!” Priestess membuat
suara tersedak dan mengayunkan lengannya, tersipu malu. “Itu bukan—,” dan
“I-itu bukan untukku!” di antara napasnya yang terkesiap.
Akan tetapi, Gadis Sapi,
sudah berdiri di belakang Priestess untuk mencegahnya lari. Gadis kebun itu
mendekap Priestess dengan dadanya yang besar, memeluknya dengan erat.
“Nggak semudah itu! Aku juga
nggak tahu kayak apa baju itu kalau aku gunakan, tapi aku akan tetap pergi.
Jadi kamu nggak boleh kabur.” (TL Note: tidak semudah itu fergusso...!)
“Ohh... Tapi tolong...jangan
terlalu berlebihan ya?” Priestess bergetar layaknya seekor binatang kecil.
Gadis Sapi mengangguk kepadanya seolah dia adalah adik kecilnya.
Yah, Gadis Sapi sendiri-pun
bukanlah seseorang yang modis. Dia akan membiarkan Gadis Guild untuk membimbing
mereka...
“....”
Goblin Slayer memperhatikan
percakapan para gadis dengan tenang. Gadis Sapi selalu-lah supel, namun ini
tetaplah sesuatu yang baik untuk melihatnya menjadi bagian grup seperti ini.
Ceria dan tertawa, berkeliaran dan bersenang-senang.
Goblin Slayer menghela
napas. Sejenis hela napas phew lega.
“...Aku nggak tahu banyak
tentang kado ataupun pakaian,” dia berkata datar, memegang gagang dari gerobak
barang bawaan.
“Ho,” Lizard Priest berkata
mendengar ini, ekornya berayun. “Kalau begitu anda akan membawa barangnya?
Mungkin ini dapat di tunda terlebih dahulu hingga semuanya telah selesai?”
“Ada kemungkinan kecil kalau
para goblin mengincar tablet ini.” Perkataannya mengandung sejentik alasan,
terdengar tidak seperti dirinya yang biasa. “Kita harus memindahkannya secepat
mungkin.”
“....Anda yakin?”
“Ya,” dia berkata, helmnya
bergerak. “Aku yakin.”
“Hmmm...” Lizard Priest
bergumam, mengeluarkan desisan. Setelah beberapa saat, dengan ekornya yang
bergoyang perlahan. “Baiklah.” Dia berkata. “Ketika kami telah mendapatkan
penginapan, kami akan mengirim seseorang ke kuil.”
“Tolong.”
Kemudian Goblin slayer mulai
berjalan, menarik gerobak di belakangnya.
Ketika Priestess menyadari
decitan roda itu, Goblin Slayer sudah berada jauh di depan, sesosok figur yang
semakin mengecil di kejauhan.
*****
Dia memfokuskan segalanya
pada suara deru sungai mengalir seraya dia menarik gerobak.
Khayalak di sekitarnya
memperhatikan petualang yang terlihat menyedihkan ini dan kemudian berjalan
melewatinya. Memang benar, perlengkapan yang di gunakannya cukup mengherankan.
Orang-orang mungkin berasumsi bahwa pria itu adalah seorang pemula.
Jika tidak, maka apa lagi
alasan seorang petualang, menggunakan armor ppenuh seolah bersiap memasuki
sebuah dungeon, menarik gerobak di tengah-tengah kota? Pria itu tampak tidak layak dengan sungai dan
perahu di kota ini, yang keindahannya merupakan turun temurun dari Ibukota lama
yang di bangun di tempat ini. Orang-orang menyindir di balik punggung pria itu.
Semua ini sama sekali tidak
berpengaruh pada Goblin Slayer.
Dia terus berjalan di jalan
yang telah di ingatnya, dan pada akhirnya, dia tiba di sebuah bangunan yang
berdiri di pinggir sungai, di topang dengan kolom marmer. Orang-orang
berpakaian jubah cleric dan menggenggam buku hukum datang dan pergi melintasi
pintu depan. Terdapat beberapa di antara mereka yang terlihat begitu serius;
orang-orang ini datang dengan menggunakan jas berdasi dan sekarang mendatangi
kuil dengan bimbang.
Matahari telah melewati
puncaknya, surya jernih dan terang memantulkan bayangan pedang dan timbangan.
Ini adalah kuil besar akan Supreme God, yang telah memberikan dunia ini hukum,
keadilan, ketertiban, dan cahaya.
Kemungkinan tidak ada tempat
yang lebih aman di perbatasan selain tempat ini. Akan tetapi, Goblin Slayer,
melanjutkan pengamatan daerah sekitarnya dengan sigap seraya dia menarik
gerobak masuk ke dalam kuil.
Di dalam ruang tunggu,
orang-orang melototinya seraya mereka menunggu waktu sidang mereka. Goblin
Slayer terus berlanjut masuk ke bagian lebih dalam.
“Permisi pak, tolong
berhenti!” Tentu saja, keberadaannya telah di sadari. Seorang cleric muda
bersandal datang menghampirnya.
Goblin Slayer berhenti
dengan “hrm,” dan kemudian dia
menyadari seorang pria muda yang tampak sedang mendoakan sesuatu dengan pelan.
Goblin Slayer mengira bahwa itu adalah sesuatu semacam Sense Lie. Keadaan
akhir-akhir ini sungguh rumit.
Petualang itu menghentikan
gerobaknya.
“Aku datang untuk
menyelesaikan quest,” dia berkata.
“Apa?”
“Quest.” Dia mengulangi,
menarik kalung peringkat silver di sekitar lehernya. “Mungkin ini akan
menjelaskan semua kalau aku bilang Goblin Slayer ada di sini.”
Sayangnya, itu tidak
membantu.
“Tolong tunggu sebentar
oak,” sang cleric berkata, bergegas masuk kembali dan meninggalkan petualang
itu seorang diri.
Goblin Slayer melipat
tangannya dan, seperti yang di perintahkan, dia menunggu.
Dia merasa sudah sering
melihat banyak orang yang terburu-buru.
Mungkin
semua cleric muda seperti ini...
Pada akhirnya, sang pria
muda kembali dengan wanita yang lebih tua, dan, untuk ketiga kalinya, Goblin
Slayer menjelaskan. “Aku datang untuk menyelesaikan quest. Mengantarkan sesuatu
semacam teks.”
“Baik, tentu saja pak, saya
mengerti.” Sang wanita berkata dengan senyum ramah. Wanita itu mengangguk
beberapa kali. “Sang archbishop sudah menunggu anda. Mohon ikuti saya.”
“Baiklah.” Goblin Slayer
menggenggam gagang gerobak kembali dan mulai berjalan.
“Maaf sudah menunda anda,”
sang priest berkata, namun Goblin Slayer hanya menggelengkan kepalanya perlahan
seraya berjalan.
Sang wanita—acolyte—yang
telah pergi terlebih dahulu di depannya mengayunkan pinggulnya dengan cara
khusus yang menyebabkan bokongnya bergoyang setiap kali dia melangkah. Namun
langkahnya tidak berlebihan, bahkan terlihat sangat anggun.
Supreme God adalah pimpinan
hukum. Namun konon adalah mereka-yang-berdoa yang seharusnya memberikan
keputusan resmi. Jika begitu, mungkin acolyte ini hanyalah bersikap yang sudah
sepantasnya di dalam tempat pengadilan ini. Dan bagi Goblin Slayer, tidak ada
pujian tertinggi selain mengenali sesuatu sebagai buah hasil jerih payah banyak
latihan.
“Jika saja anda datang
melewati pintu belakang, maka anda tidak harus menunggu,” wanita itu berkata,
mengimplikasikan dengan jelas bahwa dia adalah teman pribadi dari kepala kuil
ini.
“Aku nggak tahu,” Goblin
Slayer berkata. Dia tidak terdengar kesal. “Aku sudah merepotkanmu,” dia
menambahkan.
“Tidak sama sekali pak. Ini
tidaklah merepotkan. Saya yakin sang archbishop akan merasa sangat gembira.”
Dia tersenyum lebar kepada pria itu.
Goblin Slayer sedikit
memiringkan kepalanya mengarah wanita itu. “....Aku yakin aku pernah bertemu
denganmu sebelumnya.”
“Benar pak. Dan saya sangat
berterima-kasih atas jasa anda kepada archbishop kami ppada waktu itu.”
“Aku hanya membasmi goblin.”
Wanita ini adalah seorang
pembantu, salah satu dari mereka yang melayani Sword Maiden secara dekat.
Goblin Slayer memikirkan hal ini di kepalanya. “Hmm. Apa dia bisa tidur
sekarang?”
“Iya, dan sangat lelap
sekali.” Sang acolyte terlihat seperti sedang membicarakan anaknya sendiri
seraya dia tersenyum. “Dia tertidur seperti bayi satu tahun terakhir ini. Saya
yakin dia sudah merasa jauh lebih aman sekarang.”
Ah,
tapi jangan beritahu dia kalau aku menceritakannya pada anda, nanti dia jadi cemberut.
Goblin Slayer mengangguk.
“Aku mengerti.” Dan kemudian dia menambahkan dengan sedikit penekanan dalam
suaranya, “Baguslah kalau begitu.”
Mereka terus berlanjut masuk
ke bagian dalam kuil, melewati ruang sidang di mana sebuah kasus dapat
terdengar, melintasi lorong penuh dengan rak, melalui sebuah sangtum terdalam.
Sebuah tempat yang terdiri dari pillar marmer dan keheningan.
Dia telah melewati jalan ini
sebelumnya, dan jalan ini membimbingnya menuju tempat yang sama seperti
sebelumnya.
Beberapa pilar besar
mengelilingi ruangan, cahaya matahari bersinar sendu menerpa mereka.
Pada bagian ujung ruangan
ini berdiri sebuah patung akan Supreme God, seperti matahari, dan sebuah altar
berada di depannya. Dan pada altar tersebut adalah seseorang dengan postur
sempurna mendekap pedang dan timbangan, seorang wanita yang mempersembahkan
doanya...
“...Ahh,” wanita itu
berkata, keriangan dalam suaranya tak dapat di pungkiri. “Kamu datang. Ini
benar kamu, bukan...?”
Terdengar suara gesekan
halus dari wanita ini seraya tubuhnya yang semok berlapis sehelai kain, berdiri
dari tempatnya berdoa.
Di balik penutup
matanya—yang semakin membuatnya tampak menawan—tatapannya bergerak, dan sebuah
hela napas terlepas dari bibirnya yang merona.
Semua ini tampak seperti
sebuah rayuan, atau mungkin semacam kenakalan. Namun auranya, tidak dapat perlu
di ragukan lagi adalah dari seorang priestess murni.
“Sepertinya semua baik-baik
saja.”
“Ya... Berkat kamu.” Sang
archbishop, Sword Maiden, tersenyum layaknya gadis kecil, bibir merahnya
melembut. Dia membuat gerakan dengan tangannya, hampir seperti sebuah tarian;
sang acolyte menundukkan kepalanya dan dengan segera pamit tanpa suara.
Goblin Slayer
memperhatikannya pergi, helm baja menyembunyikan ekspresinya. Sword Maiden
melihatnya dengan penuh kehangatan.
“Saya merasa sudah banyak
merepotkan kamu demi gadis itu...”
“Nggak masalah,” Gonlin
Slayer berkata, menggelengkan kepalanya. “Sudah kewajibanku.”
Musim dingin sebelumnya
masihlah segar dalam ingatannya, di mana dia telah melakukan pertarungan dengan
beberapa goblin di pegunungan bersalju demi mehyelamatkan seorang gadis
bangsawan. Wanita muda itu berusaha dengan keras untuk tampak tegar. Goblin
Slayer tidak mengetahui apa yang terjadi kepada wanita itu setelah mereka
menyelamatkannya. Tampaknya, wanita itu bersapa dengan Priestess dan High Elf
Archer melalui sebuah surat, namun Goblin Slayer tak pernah terpikir untuk
menanyakannnya.
“...Saya tidak bisa jamin
pasti bahwa dia dapat kembali jadi lebih baik,” Sword Maiden berkata lembut,
seolah merasakan apa yang sedang Goblin Slayer pikirkan. “Lukanya sungguh dalam
dan menyiksa batinnya.” Dia menggigit bibirnya. “Namun dia tetap berdiri. Dia
melakukan apa yang dia dapat lakukan hingga batas kemampuannya.”
“Begitu.”
“...Dan bagaimana dengan
saya?”
Goblin Slayer hmmph dan berkata, “Aku sudah dengar
dalam perjalananku ke sini.” Kemudian dia melepaskan gerobak yang di bawanya.
“Aku membawa sebuah teks kuno.”
“Iya, saya sudah
mengetahuinya.” Bibirnya sedikit manyun, mungkin di sebabkan kekesalan karena
tidak dapat menanyakannya secara langsung, namun paking tidak, tampaknya
perhatian Goblin Slayer terhadapnya tidak berubah.
Sword Maiden bergerak di
atas lantai marmer, mendekati gerobak tanpa rasa cemas. Tangan gemulainya
menjulur dan membelai permukaan kotak kayu.
“Dapatkah kamu berbaik hati
dan membukannya untukku?”
“Baik.”
Goblin Slayer mengambil
pedang dari pinggulnya dan menggunakan ujung pedang untuk mencongkel kotak kayu.
Bukanlah sesuatu yang biasa di lakukan petualang normal, mempertaruhan senjata
kesayangan mereka.
Namun dia adalah Goblin
Slayer. Sword Maiden mengetahui itu, karena itu dia tidak terkejut dengan apa
yang di lhatnya.
Peti itu terbuka dengan
decitan. Di dalamnya terdapat sebuah tablet tanah liat, terbenam dalam detritus
lembut. Sword Maiden mengelus ukiran-ukiran huruf yang terukir di permukaan
tablet itu, dengan lembut seolah penuh kasih sayang.
“Penulisan ini sudah sangat
tua... Sangat, sangat tua. Saya rasa kalimat ini mungkin mengandung sihir...
Mungkin.”
Mungkin semua ini akan mengejutkan
bagi seseorang yang tidak mengenal siapa Sword Maiden. Namu seorang archbishop dari Supreme God, penguasa
hukum, tentunya akan mempunyai keajaiban Appraisal.
“Apa tulisan ini menyinggung
tentang goblin?”
“Saya tidak yakin,” Sword
Maiden menjawab dengan gelengan sedih kepalanya yang menyebabkan rambut emasnya
berayun. “Sayang sekali saya tidak mengetahuinya. Saya harus membacanya dengan
lebih seksama...”
“Begitu.” Goblin Slayer
mengangguk. “Kalau begitu aku nggak tertarik. Aku akan menyerahkan barang ini
kepadamu.”
“Dan saya akan menjaganya.
Terima kasih.” Sword Maiden meletakkan sebelah tangannya pada dadanya yang
ranum dan menundukkan kepalanya. Adalah bukan cara bersikap yang sepantasnya
seorang archbishop lakukan terhadap seorang petualang.
Sword Maiden mengangkat
kepalanya perlahan, kemudian matanya yang menatap tablet tanah liat seolah itu
adalah kado untuknya.
“Aku akan membawanya ke
perpustakaan nanti.”
“...Kamu sendiri?”
“Tanggung jawab sudah di
serahkan kepada saya bukan? Saya harus mengembannya.” Sebelum Goblin Slayer
dapat mengatakan apaoun lagi, Sword Maiden menambahkan dengan tegas “Benarkan?”
Wanita itu terlihat seperti
sedang berdansa seraya dia mendekati pria itu dengan armor kulitnya. Sebuah
aroma tipis samar menggelitik hidung pria itu, mungkin itu adalah parfum yang
di gunakan wanita itu.
“Apa kamu akan segera
kembali lagi?”
“Nggak.” Hal ini membuat
Sword Maiden meremas pedang dan timbangan, “Kami akan segera menuju selatan.”
“Benarkah...? ...Saya
mengerti.” Tenaga remasan pada simbol itu melemas. “Tega sekali,” dia bergumam.
“Saya yakin perjalanan ini tidak melibatkan goblin sama sekali...”
“Kamu memang punya hati yang
baik sekali...”
Ucapan Sword Maiden bukanlah
sindiran, namun ucapannya mengandung duri.
Akam tetapi, Goblin Slayer,
merespon, “Seseorang nggak akan pernah tahu kapan atau di mana goblin akan
muncul.”
“Itu memang benat.” Wanita
itu tertawa, dan tawanya terdengar seperti sebuah lonceng; tawanya menggantung
di udara seraya dia menjauh.
Wanita itu meluruskan
pakaiannya (walaupun pakaiannya tidak perlu di luruskan), mengatur ulang
genggaman pada pedang dan timbangan, dan mengeluarkan suara batuk pelan.
“Berhati-hatilah jika kamu
akan berjalan melewati sungai.”
“Hati-hati dengan goblin?”
Wanita itu menghiraukan
pertanyaannya, dan berkata dengan pelan, “Ada beberapa laporan tentang perahu
yang tenggelam.”
Saya
mendoakan keselamatanmu dalam perjalanan.
Goblin Slayer membiarkan
wanita itu membuat sebuah tanda suci di depan dirinya dengan jari wanita itu.
Kemudian dia mengangguk dan berpaling dengan langkah sigapnya. Dia tidak
menoleh ke belakang.
Seperti yang di harapkan
wanita itu.
*****
“Aku, uh... Aku beli apa
yang mereka bilang, tapi... Apa benar aku harus memakai ini?”
“Sesuatu sekali kan? Manusia
itu memikirkan hal yang sangat menarik. Aku rasa ini akan terlihat bagus.”
“Ini adalah busana termuktahir
bahkan bagi Ibukota. Busana yang menunjukkan lengan dan kakimu akhir-akhir
sedang populer.”
“Aku curiga baju ini bakal
sedikit kekecilan...”
Terdapat cipratan air, dan
empat suara gadis yang mengalun indah di atas sungai.
Adalah hari esok, dan kelima
petualang dengan dua pengikutnya sedang mengendarai sebuah perahu. Perahu air
ini memiliki layar putih, dan angin mendorongnya dengan lembut ke hulu.
Para elf tidak sering
melakukan perdagangan dengan kota air. Penghuni hutan itu cukup tinggi hati,
dan memiliki sedikit minat terhadap uang, terlebih lagi barang produksi
manusia. Dan ketika kedua sisi ini tidak dapat memenuhi kebutuhan yang saling
menguntungkan, maka perdagangan tidak dapat terjalin.
Oleh karena itu, kebanyakan
dari perahu di sungai adalah milik penduduk desa yang tinggal di pinggir
sungai. Dan sedikit sekali dari mereka yang pergi ke selatan, menuju hutan para
elf.
Namun tentu saja, terdapat
pengecualian...
“Seandainya aku tahu kita
bakal pergi pakai perahu, mending aku tunggal di rumah saja!”
“Kita telah dapat
meminjamnya, saya rasa itu sudahlah cukup.”
Mereka telah mengalir
melewati beberapa desa, dan matahari sedang menanjaki puncaknya. Mereka baru
saja membeli beberapa roti dari petani pada penghunian terakhir aliran sungai
yang tertandai di peta mereka, dan Dwarf Shaman sibuk mengeluh.
Seraya dia mengambil
sebongkah roti mentega yang di berikan, Goblin Slayer berkata, “Kenapa
mengeluh?”
“Kamu ini ternyata dangkal
juga, Beardcutter.”
“Begitu?”
“Menurutku... Ini Scaly.”
“Ah, terima kasih banyak.”
Lizard Priest sedang
mengemudikan perahu dengan ayunan kayuh yang cekatan. Dia mengarahkan perahunya
mengarah pada kunci, kemudian mendesiskan napasnya.
Kunci adalah sebuah alat
yang di desain untuk meregulasi perbedaan tinggi air antara kanal dan sungai
alami. Ketika berperahu dari hulu ke hilir, air di dalam kunci akan secara
perlahan surut hingga mencapai ketinggian air hilir. Ini artinya, tidak peduli
apapun yang kamu kendarai, akan ada sedikit jeda waktu menunggu, waktu yang
sempurna untuk makan.
Lizard Priest menyumpal
mulutnya dengan roti, matanya berputar. “Mmm. Tampaknya lidah saya telah
terbiasa dengan produk dari kebun itu sampai-sampai sekarang saya sangat
menginginkannya.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Wah-wah,
lihat siapa yang sekarang jadi rakus! Gimana Beardcutter? Kalau kamu gimana?”
“Selama itu bisa di makan,
maka itu sudah cukup,” Goblin Slayer berkata pelan, melirik sekitarnya. Dia
sedang melihat Gadis Sapi, yang sedang duduk di kelilingi wanita lain, membelah
roti dan memakannya. Gadis Sapi melirik mengarah kepadanya, dan mata mereka-pun
bertemu.
“...Mungkin bukan seperti
itu juga maksudku.” Goblin Slayer menambahkan dan kemudian menunduk dan melihat
tangannya. Dia sedang mengikis beberapa kayu dengan pisau, mempersiapkan
sesuatu. Satu merupakan sebuah pentungan dengan alur aneh yang terukir di
atasnya; sedangkan satunya lagi terlihat seperti sebuah tombak yang di
pertajam. Ketika dia telah selesai membuat alurnya, Goblin Slayer memindahkan
pidaunya untuk mengerjakan benda satunya.
Seraya dia bekerja, dia
mengambil roti yang di pegangnya dengan satu tangan dan memasukkannya dengan
malas ke dalam penutup helmnya.
“Hei, yang sopan!” Gadis
Sapi berteriak. “Kunyah makananmu yang benar.”
“Maaf.” Dia menjawab,
menolehkan kepalanya mengarah gadis itu dan memasukkan rotinya dengan lebih
pelan. Kemudian dia menoleh ke bawah dan melanjutkan pekerjaannya.
“Iiiihhh,” Gadis Sapi
menggerutu, namun Dwarf Shaman menyeringai dan memperhatikan apa yang Goblin
Slayer serang lakukan.
“Buat tombak?” Dia mengambil
salah satu benda itu dengan rasa penasaran.
Adalah sebuah tombak kayu
sederhana, tidak ada yang istimewa. Tombak ini bahkan tidak memiliki ujung mata
yang layak.
“Aku nggak cukup piawai
dalam menembak panah masuk ke dalam air. Dan perahu ini nggak punya batu yang
bisa di ambil untuk di lempar. Aku perlu senjata jarak jauh.” Goblin Slayer
meraih salah satu senjata dan memaparkannya pada cahaya, memeriksa hasil
pekerjaannya. Tampaknya, dia merasa kurang puas dengan hasilnya, karena dia
mulai mengikisnya kembali.
“Seseorang harus selalu
bersiap,” dia berkata acuh. “Lebih dari biasanya.”
“Ahh. Aku tahu maksudmu. Aku
dengar rumor yang sama juga.” Dwarf Shaman meletakkan tombak itu dengan
ekspresi muram dan kemudian duduk di perahu. Dia menarik tutup kendi di
pinggulnya, mengeluarkan gelas dari tas dan menawarkan Goblin Slayer segelas fire
wine. Aroma kaya akan alkohol mengambang dari dalam gelas. Goblin Slayer
menganyunkan tangan menolak, karena itu Dwarf Shaman meminum gelas itu dengan sekalinteguk.
“Kapal yang tenggelam...
Kamu berpikir kalau itu bukan suatu kebetulan?”
“Akan lebih baik untuk
berpikir seperti itu. Dalam segala hal.”
Tidak begitu banyak kapal
yang mengalir ke hulu. Kebanyakan dari mereka adalah petualang, atau beberapa
pedagang yang berjualan dengan para elf. Pemburu mungkin, atau beberapa petugas
medis. Beberapa datang mencari gua atau reruntuhan, atau untuk mengumpulkan
herba langka atau bagian tubuh binatang dengan seijin pemilik hutan.
Mereka telah pergi ke hulu
sungai dengan perahu, dan mereka masih belum tenggelam. Hal itu tidaklah
terlalu mengejutkan. Satu-satunya alasan orang-orang mengetahui adanya perahu
tenggelam adalah karena para elf, sebagai niatan baik, mereka mengirimkan
kembali puing-puing perahu yang tersisa.
Ada beberapa yang berkata,
tanpa adanya bukti, bahwa mungkin para elf-lah yang menenggelamkan
perahu-perahu itu.
“Bisa saja itu goblin,”
Goblin Slayer berkata penuh percaya diri, dengan melirik High Elf Archer. Gadis
itu sedang mengunyah roti mentega (bukan makanan yang paling enak) masuk ke
dalam mulutnya, telinga panjangnya mengepak ke atas dan ke bawah. “Mmm. Makan
di tempat yang baru itu memang enak banget.” Pipinya menggembung besar karena
mengunyah, sebuah tampilan yang membuat Priestess tidak dapat menahan tawanya.
“Benar. Aku sendiri juga
tinggal di Kuil, jadi aku mengerti apa yang kamu maksud.”
“Terakhir aku di sini, aku
berjalan di pinggir sungai. Pergi dengan kapal itu hal baru untukku.”
Atau
lebih tepatnya...dengan perahu. Dia memutar jari telunjuk di
udara.
“Benar.” Priestess
menyetujui, memasukkan roti ke dalam mulutnya, mengunyah dengan anggun, daan
menelannya. “Apa di sini pinggiran sungainya?”
“Iya, bener banget.”
Enam bulan telah berlalu
semenjak mereka berdua bermandikan cahaya panas musim semi itu, melihat pada
bintang-bintang.
“Hmm, seperti kalian punya
cerita nih di sini?” Gadis Guild bertanya, mencondongkan tubuhnya,
Priestess dan High Elf
Archer saling bertukar pandang dengan ekspresi berpikir yang berlebihan.
“Cerita? Hmm.”
“Cerita apa yang dia
maksud?”
Bukanlah sesuatu yang besar
untuk di rahasiakan pada diri sendiri, namun kenangan yang cukup berharga untuk
bersikap bahwa itu adalah sesuatu yang penting.
Telinga High Elf Archer
mengayun gembira. Gadis Guild menatapnya dengan penuh curiga. “Aku harus
benar-benar mempertanyakan kalian lebih terperinci tentang ini di wawancara
berikut kalian.”
“Hei, itu pelanggaran hak
otoritas kan?”
Gadis Guild audah berhadapan
dengan begitu banyak orang seperti High Elf Archer, dan hal sepele seperti ini
tidak akan membuyarkan topengnya. “Tragis sekali, sudah mencurahkan seluruh
hati melayani dengan baik , tetapi para petualang malah menyimpan rahasia
dariku!”
Berumur dua ribu tah7n (dua
kali lipatnya seribu), High Elf Archer seharusnya dapat memasang muka poker,
namun dia mengeratkan giginya frustasi.
“Aww, tapi aku mau dengar
juga,” Gadis Sapi berkata, menepuk tangannya. “Aku mau mendengar segala macam
kehidupan di luar kota!”
“Huh. Yah, kalau begitu...
Ini waktu sebelum aku bertemu Orcbolg...”
Dengan itu, Penyelaan Gadis
Sapi menjadi awal mula kisah sebuah petualangan.
Di balik ujung matanya,
Goblin Slayer dapat melihat para wanita bercakap-cakap dengan riang. Telinga
High Elf Archer naik dan turun begitu seringnya; Gados Sapi mendengarkan dengan
senyuman. Gadis guild berbisik tentang ruangan belakang rahasia Guild, mata
Priestess terbelalak.
Goblin Slayer mengumpulkan
kurang lebih sepuluh dari batang kayu yang di pertajam yang telah di siapkannya,
menaruh alat tukang kayunya masuk ke dalam sabuk.
“Saat kuncinya terbuka, aku
akan ambil alih kemudi darimu.”
“Baiklah,” Lizard Priest
membalas, menepuk ekornya ke bawah. Yang menghasilkan guncangan pada perahu,
membuat para wanita menjerit.
Ketika kunci telah terbuka,
perahu mengalir dengan air yang keluar menuju lembah.
“W-wow...”
Berapa banyak tahun yang di
perlukan untuk memahat dataran seperti ini? Sungai ini sendiri merupakan bekas
luka yang di tinggalkan oleh waktu. Ngarai ini seperti sebuah bongkahan batu
besar yang memiliki beberapa lapisan. Gunung itu pasti sudah ada semenjak Jaman
para Dewa, dan sungai ini tentunya sudah berada di tempat ini sejak dahulu kala
juga.
Batu-batu itu sangatlah
besar sehingga terkadang dapat menghalau matahari, memantulkan bayangannya di depan
mereka; di antara mereka, gelembung sungai dan hembusan angin dapat terdengar.
Terjelaskanlah sudah. Inilah
mengapa desa para elf terkadang di sebut sebagai dunia lain, “Negara bayangan.”
Tempat ini tidak terasa sebagai bagian dari alam fana.
“Luar biasa banget...!”
Gadis Sapi berteriak, melihat batu-batu besar itu seraya perahu berlalu
melintasinya. Semua orang mengerti apa yang di rasakan gadis itu. Terdapat
begitu banyak hal di dunia ini yang berada jauh di luar nalar fantasi gadis
itu.
“Rumahku ada di sekitar
sini,” High Elf Archer berkata, berdiri di atas perahu tanpa adanya rasa takut
dan membusungkan dada ratanya. “Gimana? Bahkan para dwarf nggak pernah buat sesuatu yang seperti ini!”
“Kamu benar Telinga Panjang,
kami nggak pernah punya niatan untuk menyaingi pekerjaan dewa. Menguasai
tekhnik memalu dan memahat adalah tujuan kami.” Dia membelai jenggot dan
menambahkan senyum seringai, “Dan aku yakin bukan para elf yang membuat ini
semua,”
“Hrrrmn!” Telinga High Elf
Archer menegang lurus, dan dia-pun kembali berkicau di depan dwqrf seperti
biasanya.
Semua orang yang berada di
sekitar mereka sudah terbiasa dengan ini, dan tak satupun dari mereka yang
teralihkan pandangannya dari pemandangan di depan mereka. Priestess
mengeluarkan beberapa suara tidak jelas, berkedip dengan cepat. “Ini indah
sekali...”
“Saya pernah membaca ini di
dalam berkas Guild, tapi melihatnya secara langsung benar-benar terasa
berbeda.”
“Bener banget.” Gadis Sapi
mengangguk. “Membuat kita terpana ya? Hei...”
Gimana
menurutmu? Gadis Sapi hendak bertanya, namun kalimat itu
tak pernah keluar dari bibirnya.
Ketika dia berputar untuk
bertanya, dia melihat pria itu berdiri di belakang perahu, menatap ke ujung
kejauhan dari lembah ini.
“Bagaimana kelihatannya?”
Goblin Slayer bertanya pelan, tangannya pada dayung kemudi.
Lizard Priest berpikir,
menggabungkan kedua tangan dengan gerakan yang aneh, matanya mengintai daerah
sekitar secara terus menerus.
“Hmm. Atas atau bawah,
kemungkinan.”
“Aku setuju.”
“Ini bukanlah lautan. Di
atas sungai, sangat kecil kemungkinan kita akan di serang seekor kraken.”
“Kraken,” Goblin Slayer
mengulangi. “Apa itu?”
Lizard Priest memutar mata
di dalam kepalanya. “Saya rasa dari atas.”
“Aku mengerti.”
Ini adalah satu sisi pria
itu yang tak pernah Gadis Sapi lihat sebelumnya. Pria itu terlihat seperti
biasanya, akan tetapi entah mengapa terlihat berbeda. Gadis Sapi menekan dada
yang besar dengan satu tangan untuk menenangkan hatinya.
“Ah—“
Dia menelan liur. Tetapi di
saat dia akan mencoba kembali untuk mengatakan sesuatu, suara bening High Elf
Archer memotongnya.
“Berhenti!”
Sang ranger sudah memuat
panah pada busurnya. Para petualang saling melirik dan kemudian bergegas
beraksi.
Priestess menggenggam
tongkatnya, sementara Dwarf Shaman mulai merogoh tas katalisnya. Lizard Priest
menggenggam taring naga pada tangannya, dan Goblin Slayer, satu tangan masih
pada kemudi, mengambil kuda-kuda rendah.
“Lebih baik kita turunkan
layarnya. Bantu aku.” Dwarf Shaman berkata, matanya menyipit pada matahari.
“Oh iya, akan ku bantu...”
Priestess berkata, pergi menuju sang dwarf.
Goblih Slayer, dengan rajin menyetir
kemudi, melihat kepada dua wanita muda,
“Menunduk dan tutup kepala kalian dengan kain.” Suaranya terdengar tajam.
“Oh, uh, o-oke, baik...!”
Gadis Sapi mengangguk cepat. Dia merogoh barang bawaannya, menarik sebuah kain.
“Sebelah sini, cepat!” Gadis
Guild terlihat sama gugupnya dengan kain di tangannya.
Mereka berdua saling
berdekapan di bawah kain, mencoba membuat diri mereka sekecil mungkin. Masing-masing dari mereka berpikir bahwa teman
dekapannya bergetar, namun mungkin itu adalah getarannya sendiri.
Mereka tidak mengetahuinya.
Ketidak-tahuan adalah rekan mereka seraya mereka duduk berpegangan tangan
dengan erat.
Lizard Priest berdiri di atas
mereka untuk melindungi mereka.
“...Dari pinggir tebing?”
dia bertanya.
“Kemungkinan,” High Elf
Archer menjawab. “Sesuatu mendekat. Ba...banyak sekali!” Dia menarik tali
busurnya, telinganya bergerak cepat ke atas ke bawah untuk menangkap adanya
suara.
Beberapa saat kemudian,
terdengar lolongan para serigala, dan hujan batu yang turun menghujani dari
lembah.
*****
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan
kepada kami yang lemah!”
Pertama, Priestess
menggenggam erat tongkat, dan melantunkan keajaibannya.
Bagaimana mungkin Ibunda
Bumi tidak melindungi pengikutnya yang taat? Sebuah pelindung tak kasat mata
terbentang di sekitar perahu mereka. Batu dan kayu yang datang memmantul dari
dinding itu, clup, clup, clup, membuat
cipratan kecil seraya batu dan kayu itu terjatuh ke dalam air.
Keringat mengucur dari alis
Priestess.
“Ka-kalai keadaannya nggak
memburuk, mungkin kita bisa...”
Tidak lama setelah
gumamannya terlepas, sebuah siulan panah yang mengarah pada mereka, membuat Priestess
merinding. Apapun itu yang berada di pinggir tebing, tentunya sesuatu yang
memiliki kecerdasan.
Banyak sosok mendekati
pinggir tebing. High Elf Archer berlutut, busur di siapkannya dan dia menatap
ke depan dengan seksama.
Lolongan hewani. Gerutuan.
Suara langkah kaki, bukan tapak kuda. Telinga panjangnya naik dan turun,
menangkap setiap suara yang ada.
Dia telah melihat ini
sebelumnya. Mengetahui suara ini. Dia telah berhadapan dengan mereka sebelumnya.
Mereka adalah....
“Goblin...?!”
Goblin rider.
High Elf Archer berteriak
seketika dia melihat sekilas wajah hina mereka.
“Bukannya seharusnya kita
ada di kampung halaman para elf!” Dwarf Shaman berteriak.
“Yah, ma-aaf saja ya!”
“Jadi memang goblin.” Goblin Slayer berkata dengan
tenang, melempar dayung kepada Lizard Priest. “Ambil alih kemudi.”
“Baik!” Dengan tenaganya,
Lizqrd Priest akan dapat mendayung perahu dengan sedikit lebih cepat. Lagipula
kemungkinan besar tidak akan ada pertarungan jarak dekat untuk dirinya.
Lizard Priest menekan batang
dayung itu hingga ke dasar sungai, dan perahu-pun bergerak maju ke depan.
“Makhluk jelek bau tengik—!”
High Elf Archer menarik busurnya dengan lihainya walaupun perahu mereka
bergoyang, menembakkan panahnya dengan sangat cepat. Panah itu melewati
pelindung suci yang ada di sekitar mereka, dan menancap di pinggir tebing.
“GORRB?!”
Terdengar jeritan teredam
seraya salah satu goblin tak berkuda—atau lebih tepatnya tak berserigala—dan
terjatuh di tanah. Mayat itu terpantul dua kali seraya dia terjatuh, menabrak
perahu dan membuat perahu berayun.
“Eeek?!”
“Eep...!”
Gadis Guild dan Gadis Sapi
berusaha menahan jeritan mereka di bawah selimut.
Mayat itu yang tertembus
panah itu tidak sekedar terjatuj begitu saja; kepalanya terbelah terbuka dan
darah menciprat deras dari dalam. Tidak peduli seberapa sering seseorang
mendengar atau membaca kisah petualang, melihatnya secara langsung merupakan
sesuatu yang berbeda.
“Ada apa?” Goblin Slayer
bertanya. Dia menarik panah dari mayat itu, kemudian menendangnya secara kasar
masuk ke dalam sungai. Terdengar cipratan yang keras dan mayat itu tenggelam
hilang dari pengelihatan.
Gadis Sapi memperhatikannya
menghilang. Kemudian, tangannya masih menggenggam erat tangan Gadis Guild, dia
berkata dengan suara gemetar, “Ka-kami baik-baik saja...”
“Bagus.” Goblin Slayer
melirik singkat kepada mereka kemudian melempar panah kepada High Elf Archer.
“Aku nggak tahu apa kita bisa menghabisi mereka. Longgarkan ikatan mata
panahmu.”
“Licik seperti biasanya,”
High Elf Archer berkata lelah, melonggarkan mata panahnya yang di lemparkan
pria itu. Walaupun mata panahnya tidak terbuat dari metal, jika terbenam di
dalam tubuh, mata panah itu akan membuat luka yang akan membusuk dan
menyebarkan penyakit di dalam sarang. Adalah taktik klasik Goblin Slayer, namun
bukanlah sesuatu yang di sukai High Elf Archer.
“...Yah! Hah!”
Walaupun begitu, benang
busurnya terus bernyanyi lagi dan lagi, menghujani pinggir tebing dengan panah.
Tiga tembakan, dua jeritan. Tidak tumbang. High Elf Archer menjentikkan
lidahnya. Di sampingnya, Goblin Slayer mengambil salah satu tombak dan memasang
sebuah obyek batu pada batang kayunya.
Lizard Priest menghela napas
menganggumi. “Pelontar tombak,” dia berkata. “Sungguh benda yang tidak asing
yang anda miliki.”
“Kamu tahu ini?”
“Merupakan benda yang lumrah
di antara pejuang di dalam desa saya.”
Kaum lizard lebih memilih
pertarungan jarak dekat di antara lainnya; mereka merasa senjata jarak jauh
kurang cocok untuk mereka. Dan lagipula, melempar adalah sesuatu yang manusia
sangat piawai dalam melakukannya. Ketapel batu rhea juga tidak dapat di
remehkan, namun pada umumnya rhea tidak menyukai pertarungan. Dan benar, Dwarf
Shaman menggunakan ketapel, namun sihir dan kapak adalah senjata utamanya.
“Apa bakal sampai?” Dwarf
Shaman bertanya.
“Gampang.” Goblin Slayer
membalas, dengan hanya satu kata.
“Baiklah, kalau begitu...!”
Dwarf Shaman mengeluarkan botol berisi semacam cairan dari tasnya. Dia membuka
tutupnya dan menuangkan sesuatu yang terlihat seperti jus persik ke dalam
sungai. Sementara itu, Dwarf Shaman membiarkan kesadarannya mengambang.
“Datanglah,
undines, pesta telah di siapkan; datanglah, bernyanyi, berdansa, dan bermain!”
Cipratan air mulai membentuk
sosok perawan, dan saksikanlah sungai mulai mengalir terbalik.
Tidak... tidak keseluruhan
sungai. Hanya air di sekitar perahu yang mulai berputar. Ini adalah sihir
Control Spirit
“Mungkin aku salah pilih
mantra kali ini!” Dwarf Shaman berteriak, melototi aliran air. “Kecepatannya
nggak seberapa!”
“Ini sudah cukup.” Goblin
Slayer berkata, dan kemudian menerbangkan tombaknya.
Tombak itu melintasi langit
dengan kecepatan yang tidak alami. Di iringi dengan jeritan mengerikan—bukan
dari goblin, melainkan dari salah satu serigala yang mereka tunggangi.
“Kita Cuma bisa mengandalkan
keberuntungan untuk membantu kita di sini,” Goblin Slayer meludah,
mempersiapkan tombak berikutnya. “Aku nggak tahu ada berapa banyak goblin di
sana. Kita nggak bisa membunuh mereka semua.”
“Menurut saya, kita mempunyai satu pilihan,” Lizard Priest berkata. Dia masih
mengemudikan perahu dan berdiri menjaga Gadis Sapi dan Gadis Guild. “Tuanku
Goblin Slayer, dapatkah kita mempertimbangkan untuk melarikan diri di banding
membunuh mereka semua?”
“Aku nggak menyukainya.
Tapi...” Goblin Slayer memuat peluru berikutnya masuk ke dalam peluncurnya dan
menembakkannya mengarah pinggir tebing dengan gerakan lengan terlatih. Benda
itu menghilang dari pengelihatan, dan kemudian, terdengar jeritan.
“GOORARB...?!”
Sang goblin terhuyung dari
serigala dan terjatuh kr bawah tebing. Mayat itu terputar-putar seraya dia
mengenai air dengan cipratan yang besar.
“...Kita akan menyelesaikan
ini saat kita sudah melarikan diri.” Dengan ini dua. Goblin Slayer mengambil
tombak berikutnya. “Bagaimana dengan pertahanan kita?”
“Masih bertahan... Kurang
lebih!” Priestess merespon, mengangkat tongkatnya dan berdiri dengan berani di
ujung perahu. Keseluruhan pertahanan mereka saat ini bergantung pada pundaknya
yang kurus dan gemulai. Ppara dewa telah memberikan keajaiban akan pelindung
tak kasat mata, namun adalah doa Priestess yang terus membuatnya bertahan
hingga saat ini.
Serangan mereka tak kunjung
berhenti, dan ketika serangan itu terus berlanjut, napas Priestess
terengah-engah keras dan kakinya lunglai. Sungguh mengesankan bahwa dia dapat
menggunakan tiga dari keajaiban yang mengikis jiwa ini dalam sehari.
“Uhh...!”
Walaupun begitu, dia telah
mendekati batasannya. Pelindung mulai melemah seraya engahannya tterlepas dari
bibirnya. Dia menarik napas paksa dan memaksa dirinya untuk mempertahankan
kestabilan napasnya. Dia memaksa tenaga kakinya pada perahu dan tangan pada
tongkatnya.
“Aku akan tambah satu
lagi...! Beri aku waktu!”
“Tolong.” Goblin Slayer
mengangkat perisainya untuk memblokir batu yang menembus pelindungnya.
Ranting, batu, dan bahkan
beberapa panah. Kumpulan proyektil yang terkumpul di perahu, membuat perayu
terombang-ambing ke sini dan ke sana.
“Hrm...!” Lizard Priest
mendayung dengan kuat, membuat perahu kembali stabil, namun ombak sungai ini
menerpa mereka dengan keras.
“Wah?! Pfft!”
“Ah, oh tidak...!”
Air membasahi kain tempat
Gadis Sapi dan Gadis Guild bersembunyi, membuat mereka menjerit. Mereka
terancam tenggelam di balik perlindungan mereka, namun mereka terus berdekapan
erat.
Gadis Guild memberikan
lambaian cepat kepada Goblin Slayer, yang membuatnya melirik mengarah mereka,
kemudian Gadis Guild berkedip beberapa kali. Tiba-tiba, terdapat begitu banyak
kumpulan—rantinh, bebatuan, dan benda-benda hanyut lainnya—pada perahu. Apakah
para goblin melempar semua ini kepada mereka? Tidak, tidak mungkin.
Melihat pada air di sekitar
menunjukkam banyaknya serpihan-serpihan kayu yang mengambang, bahkan beberapa
drum yang menggenang.
“Hrrgh... Ah!”
Lizard Priest berjuang keras
untuk mengarahkan kemudi perahu, namun dayung mereka menabrak sebuah drum,
membuat perahu mereka berguncang dengan keras. Satu ombak lainnya kembali
menghantam mereka, membasahi para petualang dan mengancam perahu mereka.
“Oh...”
Itulah ketika Gadis Guild
melihat sesuatu berkelip putih: sebuah tengkorak manusia mengambang melewati
mereka.
Dia mmencoba untuk
mengambilnya dengan tangan gemetar, namun tengkorak itu terhisap masuk ke dalam
air dan menghilang.
Gadis Guild memperhatikan
tengkorak yang menghilang itu dengan diam. Tidak lama kemudian pengelihatannya
terganti dengan beberapa kumpulan sampah yang mengalir, terikat dengan tali.
“Ini ke-keliahatannya nggak
bagus,” dia berkata dengan getaran pada suarannya. “Aku rasa mereka berniat
menenggelamkan perahunya.”
Kekeh hina para goblin
mengisi lembah ini, bergema dengan keras.
“GRRROB! GOORRB!”
“GROBR!! GOOORRRB!!”
Tidak perlu bagi para goblin
untuk berhadapan dengan para petualang secara langsung untuk membunuh mereka.
Mereka bisa saja menenggelamkan perahu para petualang, atau meambahkan beban
pada pperahu itu hingga tenggelam.
Benar, membalikkan perahu
dapat bekerja dengan baik. Para goblin dapat menunjuk dan tertawa seraya
orang-orang bodoh ini tenggelam; jika ada yang selamat, maka mereka akan dengan
senang hati menyerang dari tempat yang lebih tinggi.
Sekarang terlihat jelas apa
yang telah terjadi pada perahu yang datang melewati tempat ini dan tidak
kembali.
“Gah! Berisik dan menghalangi saja...!” High Elf
Archer memberikan tendangan pada tumpukkan puing di perahu dengan kakinya,
menimbulkan cipratan air besar, namun tidak terlaalu berpengaruh pada perahu
mereka.
Para goblin secara terus
menerus mrlemparkan batu dan puing dari atas.
Dwarf Shaman, sama
frustasinya, membuat banyakan gerakan. “Aku akan menyuruh undine-ku untuk
menyingkirkan semua ini dari perahu,” dia berkata, “jadi teruslah menembakn
dengan busurmu atau yang lainnya!”
“’Yang lainnya’?! Apa
maksudmu ‘yang lainnya’?!”
Roh cantik berdansa di atas
perahu. Gerakannya yang gemulai menyapu semua batu dan puing, mendorongnya
masuk ke dalam sungai yang mengalir.
Saat ini, semua orang basah
kuyup dari kepala hingga kaki, namun
entah bagaimana perahu mereka masih stabil. Namun itu bukan berarti mereka
dapat bersantai. Banyak kerusakan yang terjadi, dan banyak puing-puing yang
tertumpuk di bawah air, meembuat perahu menjadi mudah terbalik.
“...Jadi mereka belajar dari
kunci itu,” Goblin Slayer bergumam, menembakkan tombak ketiganya.
Dia tidak mempedulikan apa
yang terjadi. Hanya ada dua kemungkinan, adanya jeritan, atau tidak.
Para goblin bersembunyi di
balik ujung tebing, menunggangi serigala seraya terus menyerang. Sungai ini
mengalir di antara menara tinggi. Tidak terdapat langit-langit, namun ini...
“Ini seolah kita di giring
masuk ke dalam sarang mereka.” Goblin Slayer berkata pelan. Dia menggunakan
salah satu tombaknya untuk mematahkan panah yang menancap pada perisainya.
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih...”
Semua ini terjadi di depan
mata Priestess. Lututnya masih bergetar, dan tentunya itu bukan hanya dari
sulitnya berdoa.
Dia merasa sulit untuk
bernapas. Lidahnya tampak terbelit di antara kalimat yang sulit keluar dari
tenggorokkannya. Kepalanya berkunang-kunang dan pengelihatannya buram. Jarinya
sulit untuk di gerakkan; dia mengerahkan segenap tenaganya hanya untuk memegang
tongkatnya.
Bagaimana
aku bisa...?
Bagaimana dia bisa
melantunkan Protection dan menjaga semua orang selamat? Hanya itu pertanyaan
yanh terpikir olehnya. Adalah satu-satunya yang dapat dia lakukan.
Apa lagi yang dapat dia
lakukan? Bagaimana cara dia dapat menjaga mereka agar tetap aman keluar dari
tempat ini?
Giginya bergetar; dia
memaksa rahangnya untuk berhenti bergerak. Ingatan demi ingatan kembali datang.
Dia menutup matanya dan menepis semua ingatan itu.
“Oh...”
Pada saat itu, sebuah cahaya
berkilau di kepalanya layaknya sebuah wahyu dari surga.
Priestess membuka msta.
Bibirnya yang gemetar mulai merajut sebuah doa seolah di bimbing oleh sesuatu
yang bukan dirinya. Dia mengusung tongkatnya.
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan belai kasih tanganmu, murnikanlah kami
dari segala korupsi!”
Para dewa sungguh agung.
Ibunda Bumi turun dari
surga, tangannya menyapu keseluruhan air dan membuatnya menjadi bersih.
Setiap tempat yang tersentuh
cahaya, air menjadi bersih, semua kotoran menghilang. Terlebih lagi, begitu
banyak benda kotor di dalam sungai yang tersucikan dan lenyap.
“...Wow!” High Elf Archer
berkedip, telinganya mengepak. Dia terlihat begitu terkesan melihat efek dari
keajaiban Purify dengan mata kepalanya sendiri. “Kamu benar-benar luar biasa
ya?”
“Nggak kok. Ibunda Bumi yang
luar biasa... Walapun terkadang beliau bisa sedikit kasar.” Priestess mengeluh,
hubungan secara langsung dengan surgawi telah memberikannya sakit kepala yang
sangat. “Tolong... Lakukan sekarang!”
“GRR?!”
“GOORB?!”
Para goblin tentunya kesal
dengan perubahan situasi ini. Perangkap yang telah mereka rakit secara
hati-hati telah di musnahkan begitu saja dengan sesuatu yang tidak mereka
pahami.
Suara hina mereka bergema
seraya kegaduhan terjadi di antara mereka.
Tidaklah mungkin Goblin
Slayer melepaskan kesempatan seperti ini.
Salah satu goblin
mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat lebih seksama sungai; sebuah
tombak membenam menembus rahang hingga ke belakang kepalanya. Dia terjatuh ke
dalam ait dengan begiti banyak cipratan darah—dan kemudian mayatnya menghilang,
tersucikan olleh Ibunda Bumi.
“Pada akhirnya, kita harus
mencari dan menghancurkan sarang mereka.” Goblin Slayer berkata. “Giliranmu.”
“Dengan senang hati!” bahkan
seraya dia mengemudikan perahu melintasi aliran arus undine, Lizard Priest
membuka mulutnya lebar. Dia mengisi paru-parunya dengan napas besar, napas para
wyrm yang menguasai segalanya. “Bao Long,
leluhur terhomat, penguasa Cretaceous,
ijinkan hamba meminjam keberingasan anda!”
Raungan naga bergema di
keseluruhan lembah.
Goblin bukanlah satu-satunya
yang merasa takut oleh para naga; semua makhluk hidup takut kepada mereka..
”GOORBGROB?!”
“GRORB!!”
Ceracau para goblin
bercampur dengan jeritan ketakutan. Goblin rider tetaplah goblin. Mereka bahkan
bukan rider yang cukup tangguh.
Mereka mencoba dan gagal
dalam menenangkan tunggangan mereka; para serigala sercara harfiah berlari
terbirit-birit. Beberapa goblin terlempar ke tanah; beberapa berpegangan dengan
pasrah pada hewan mereka yang berlarian. Mereka semua melarikan diri dengan
menyedihkan.
Para petualang terus
memperhatikan pinggir tebing dengan seksama dalam beberapa menit. Dengan deru
ombak, mereka menggunakam dayung untuk terus menjaga perahu tetap bergerak.
Pada akhirnya satu jam telah
berlalu, angin yang bertiup melewati lembah menjadi lebih hangat.
Mereka mengambang mengarah
sebuah hutan hitam besar, sebuah hutan dari pepohonan kuno yang telah berdiro
selama ribuan atau bahkan sepuluh ribu tahun lamanya.
Priestess mendekap
tongkatnya, berdoa kepada Ibunda Bumi untuk membuyarkan kegelisahannya.
Mereka telah hampir keluar
dari lembah. Itu artinya tidak lama lagi mereka akan masuk ke dalam dunia para
elf.
*****
Petasan berdansa di langit
dengan berbagai macam letusan, meninggalkan jejak-jejak kecil cahaya di
belakangnya. Langit telah menjadi cukup merah sekarang.
Tidak lama setelah mereka
berhasil meloloskan diri dari para goblin dan meninggalkan lembah. Matahari
telah melewati puncaknya dan terbenam di barat, bersembunyi di balik pepohonan.
Para petualang memasuki
hutan besar, menepikan perahu di pinggir sungai yang telah di tunjuk High Elf
Archer. Sang archer berkata bahwa desa dia masih cukup jauh. Jika begitu,
mereka memutuskan untuk lebih baik beristirahat malam ini di banding memaksakan
untuk terus berjalan.
“Aku benar-benar nggak
menyangka kalau kita akan memakai ini sedini ini...”
“Seandainya kita tahu kalau
kita akan basah, dari awal seharusnya kita sudah memakainya!”
“Heh-heh. Kita nggak akan
punya kesempatan untuk memakainya. Oh, kamu tahu cara memakainya?”
“Oh yeah, aku tahu.
Satu-satunya yang nggak ku pahami itu kenapa kalian repot-repot memakai ini?”
Sebuah tali telah di
bentangkan di antara beberapa pohon dan handuk menggantung di atasnya. Di sisi
lain handuk itu, para wanita dapat terdengar sedang melakukan percakapan. Terdapat
empat dari mereka, tentunya akan menjadi sedikit berisik.
Setelah beberapa menit,
handuk itu di turunkan dari dalam. Empat wanita dengan pakaian renang muncul
dari baliknya.
“Aku sama sekali nggak
ngerti kenapa kalian memakai pakaian yang khusus untuk di basahi. Nggak bisakah
kalian tanpa pakaian seperti ini buat basah-basahan?” High Elf Archer terlihat
tidak nyaman, memainkan rambutnya dengan gerakan penuh malu.
“Mengapa khawatir?” Lizard
Priest merespon singkat. Dia menghentikan pekerjaannya untuk memutar matanya.
Dia membuka mulutnya dengan serius.
“Saya akui bahwa saya sedikit menyukai kulit tanpa sisik, namun berdasarkan
penilaian saya, pakaian ini tampak cocok dengan anda.”
“Menurutmu?” Yah, sudahlah. High Elf Archer
memberikan anggukan kecil seolah menerima keadaan ini.
Dwarf Shaman terlihat
seperti akan memberikan ejekan tambahan seperti biasanya, namun bersin menyela
ucapannya, dan kemudian dia menutup mulutnya. Mungkin dia berpikir bahwa tidak
perlu untuk sengaja merusak suasana hati elf itu tepat ketika mereka akan pergi
ke rumahnya.
“Kurasa pendapat kita tentang
penampilan Telinga Panjang dan kawannya sudah terjawabkan.”
“Sejujurnya saya sedikit
iri...” Gadis Guild memeluk pipi dengan sebelah tangan, seolah dia berpura-pura
untuk tidak malu.
Tentu saja, Gadis Guild
berasal dari bagian masyarakat di mana khalayak di ajarkan untuk tidak terlalu
memaparkan kulit mereka. Adalah salah jika mengatakan bahwa dia tidak merasa
malu, namun tetap saja...
Dia tidak merasa terlalu
takut untuk di lihat seperti ini—yang terlihat cukup berbeda dengan Priestess,
yang bersembunyi di belakangnya.
“Oh... Ohhh...”
Wajah cleric itu begitu
merah padam, dan dia mencoba membuat dirinya menjadi sekecil mungkin. Dia
begitu malu terhadap tubuh muda nan mungilnya. Apa yang dia gunakan sekarang
tidak berbeda jauh dengan jubah yang di gunakannya untuk tarian di festival
panen, namun mempunyai seseorang lain selain dirinya untuk di jadikan
perbandingan sangatlah tidak mudah. Paling tidak Witch, secara diam-diam (dia
pikir) sangat mempesona dan tidak bisa di bandingkan dengan dirinya, tidak ada
di sini, Priestess berharap dia dapat menjadi seperti penyihir itu suatu hari
ini, namun itu hanyalah sebuah tanda akan betapa jauhnya jalan yang masih harus
dia tempuh.
“Oh, nggak apa-apa kok,”
Gadis Sapi tertawa, menepuk pundak Priestess. Gadis Sapi menganggap Priestess
sebagai adiknya dan merasa tubuh mungil Priestess sangatlah imut. Gadis Sapi
sendiri merasa dirinya menjadi sedikit berotot dari semua pekerjaan kebun yang
di lakukannya. Dia memutar pinggulnya untuk melihat, sebuah ekspresi tidak
jelas tersirat di wajahnya. “Cukup bagus.... Mungkin?”
“Itu bukan pertanyaan yang
bisa aku jawab,” Goblin Slayer berkata. Dia telah mengambil empat dari batang
kayu yang di tajamkan sebelumnya dan menancapkannya di tanah, membentuk sebuah
persegi. Helmnya mengarah pada grup wanita; ketidakpekaannya tidaklah begitu
parah untuk membuatnya tidak melirik kepada para wanita, penilaian pria itu
mungkin atau mungkin juga tidak telah membuat para wanita senang... “Tapi
menurutku, kalian terlihat bagus dengan itu.”
Iihhh.
Gadis Sapi menghela. Entah mengapa Gadis Sapi mengetahui
setelah melirik dengan cepat, bahwa pria itu sudah memalingkan pandangannya
lagi.
Pipinya melembut menjadi
senyuman. Adalah sebagaimana mestinya sikap pria itu.
“Kurasa kamu harus belajar
sedikit tentang perasaan wanita.”
“Benarkah?”
Gadis Guild tertawa di
samping Gadis Sapi. “Kurasa Goblin Slayer kita bagu-bagus saja seperti ini,”
Benar, Gadis Guild mungkin berharap agar pria itu sedikit lebih perhatian, namun
terdapat sesuatu di dalam pria itu yang telah membuat hati Gadis Guild
berdanda.
Dia
bilang kami terlihat bagus dengan ini. Menurutnya.
Kalimat pendek itu sama
bagusnya dengan soneta darinya.
“Aku akan...malu banget
kalau ada orang yang melihatku terlalu lama...”
Jadi
ini bagus untukku. Priestess mencoba membuat dirinya
semakin mengecil. Pipinya merah, dan bukan hanya karena dari swastamita.
High Elf Archer
mencondongkan tubuh ke depan seolah berharap agar Priestess dapat sedikit lebih
tenang. “Jadi aku perlu masuk ke dalam sungai dan mencari ikan, kan?”
“Ya.”
“Walaupun
aku nggak akan memakannya,” dia berkata seraya melirik di sekitarannya. “Tapi
apa boleh buat.” Dia terdengar sedikit kesal, namun telinganya mengepak dengan
riang, dan dia pun berlari masuk ke dalam air, membuat cipratan-cipratan kecil.
Lizard Priest memperhatikam
percakapan para gadis dan melihat pinggir sungai dengan matanya. Dia mengangguk
serius. “Sekarang, tampaknya dedaunan ini akan bermanfaat bagi rencana anda,” banyak
tumpukkan daun di lengannya berdersik seraya dia meletakkannya. Lidah
panjangnya mendesis dan menyentuh ujung hidungnya. “Mohon maaf sayya tidak dapat mengumpulkan lebih banyak lagi.
Malam akan segera tiba.”
“Aku tahu,” Goblin Slayer
berkata, dan berdiri. “Kalau begitu ayo selesaikan ini.”
Adalah pekerjaan yang
sederhana. Mereka hanya perlu mengatur persilangan atas dan bawah, delapan
secara keseluruhan. Kemudian batang kayu ini akan di rebahkan di atas tanah,
kemudian dedaunan akan di tebarkan di atas sebagai atap. Sebuah tempat
berlindung sederhana.
Mengingat adanya kemungkinan
ular beracun atau serangga di hutan, adalah suatu kebodohan untuk memasang
sebuah atap namun tetap saja tidur atas tanah begitu saja.
Mereka membuat dua tempat
berlindung: satu untuk pria dan satu untuk wanita. Biasanya mereka berjumlah
lima orang, namun kali ini terdapat tiga pria dan lima wanita.
“Ya ampun,” Dwarf Shaman
berkata, memalingkan pandangannya dari pekerjaan yang sedang berlangsung untuk
memeriksa para gadis di air. Dwarf Shaman sedang bertugas untuk membuat api;
dia tidaklah cukup tinggi untuk melakukan hal lainnya, Kemampuan bangsa dwarf
dalam mengendalikan api tidak dapat di saingi, namun penjaga roh bukanlah
kemaampuan utamanya. Dwarf Shaman dengan cepat menyerah untuk mencoba membuat
percikan api dan kemudian mengeluarkan sebuah batu datar dari tasnya.
“Api
yang berdansa, kesohoran salamander. Berkahilah kami dengan ketenaranmu.”
Dia menempelkan batu di
antara kedua tangannya dan melantunkan Kindle, menciptakan sebuah batu api. Dia
melempar batu bercahaya dari tangan ke tangan (“Panas, panas!”) dan
mengelilinginya dengan beberapa batu lain, ini akan cukup sebagai pengganti
api.
Cahaya dari “api unggun”
tiruan ini menyinari para petualang. Kala itu, sihir ini di gunakan untuk
mengeringkan baju mereka yang basah kuyup.
“Apa menurutmu nggak sedikit
ceroboh membiarkan para gadis bermain tanpa di jaga seperti itu?”
“Aku akan menjaga kalian
semua.” Goblin Slayer selesai menyiapkan lantai dan mulai mengerjakan langkah
berikutnya. “Dan aku ingin memberikan mereka kesempatan untuk bersantai.”
Seraya dia menancapkan batang kayu di tanah, helmnya memandang Gadis Sapi dan
Gadis Guild.
Kemudian berpaling melihat
High Elf Archer yang menyeret Priestess untuk membantunya berburu ikan.
“Mungkin karena ini adalah
kampung halaman dia.” Goblin Slayer mendengus pelan.
“Ho-ho! Beliau tidak pernah
menunjukkan sikapnya yang seperti ini sebelumnya. Ah, tunggu! Kemampuan saya
tidak sebanding dengan anda.” Lizard Priest tertawa, menunjukkan taringnya,
memasang dedaunan pada pilar kayu seketika selesai di tancap. “Namun mengapa
tuanku Goblin Slayer menunjukkan kedermawanan Maiasaura?” (TL Note : Maiasaura
= nama dinosaurus)
“....Apa maksudmu?”
“Bahwa anda tampak jauh
lebih bertenggang rasa di banding yang kelihatannya.”
“Apa itu begitu mengesankan?”
Goblin Slayer menghela. “Apa aku begitu
mengesankan?”
“Aku menganggapnya sebagai
sebuah kualitas yang lebih berharga dari Mithril,” Dwarf Shaman berkata, melemparkan batang kayu
kecil ke dalam api. Salamander yang berdansa membuka rahangnya dan menggigit,
dan dengan itu percikan semakin membesar.
“Coba lihat aja si gadis
telinga panjang itu,” Dwarf Shaman melanjutkan. Dia menunjuk sungai dengan satu
batang kayu yang di panaskan. High Elf Archer berada di sana, menggapai masuk
ke dalam air dengan kedua tangan seolah untuk menangkap ikan. Namun dia meleset,
dan malah mencipratkan air tepat mengarah Priestess.
Hal itu membuat Gadis Sapi
tertawa terbahak-bahak, ya g di mana Gadis Guild ikut mencipratkan air kepada
Priestess juga.
Mungkin High Elf Archer merasa
lelah karena terus gagal dalam menangkap ikan, atau mungkin dia memutuskan
untuk tidak terlalu mempedulikannya, apapun itu, dia telah menyeret Priestess
ke dalam demua ini...
“Aku rasa dia sama sekali
nggak berpikir kalau dia itu High Elf.” Dwarf Shaman tertawa, senyumnya hampir
tersembunyikan di balik jenggotnya.
“Apapun itu, kita telah
berada di dalam lahan para elf,” Lizard Priest berkata, duduk di dekat api dan
menggosok kedua tangan bersisiknya bersama.
Ketika mereka telah
mempunyai tempat untuk tidur, maka yang tersisa adalah menunggu makan malam.
Dan dia sangat menyukai daging dan ikan.
“Saya percaya bahwa para
iblis kecil tersebut tidak akan dengan mudah mencapai tempat ini.”
“Menurutmu?” Goblin Slayer
mengikuti sang Lizard Priest, duduk di samping api juga. Dia menepuk tangan
untuk membersihkan debu dan kemudian bergumam. “Aku juga berpikir begitu.”
“...Yang benar?” Dwarf
Shaman mengangkat bahunya, matanya setengah tertutup, dan dia mengambil kendi
yang ada di pinggulnya, dia membukanya dan mulai menuangkan roh masuk ke dalam
cangkir dari dalam tasnya. Dia menawarkan minumannya mereka.
“Gimanapun juga, mulai
dengan minuman,” dia berkata. “Tapi jangan sampai mabuk pastinya.”
“...”
Goblin Slayer memperhatikan
minuman dengan diam dan kemudian menatap kepada Dwarf Shaman, kemudian kepada
para gadis yang bermain di sungai.
Gadis Sapi menyadari tatapan
dia dan memberikan ayunan tangan besar. Goblin Slayer mengangguk.
“Baiklah.”
Tidak lama kemudian,
terdengar teriakan akan “Kita dapat beberapa!” dan merekapun akhirnya dapat
mulai untuk menyantap makan malam. Mungkin enggan untuk kalah, High Elf Archer
telah membantu menangkap tujuh ikan yang berbeda. Dwarf Shaman mendengus pelan
namun menyate dan memanggang tangkapan mereka tanpa mengeluh.
Mereka bertujuh (termasuk
para gadis) duduk melingkar dan menunggu ikan masak. Walaupun sebelumnya mereka
terlihat malu, bermain-main tampaknya telah membantu mereka untuk menjadi lebih
santai, dan sekarang mereka duduk hanya dengan sehelai selimut yang
menyelimutinya. Pakaian mereka, yang menggantung di atas batu api, masih belum
kering, dan mereka tidak dapat memakai pakaian mereka lainnya karena persediaan
pakaian mereka harus cukup hingga mereka mencapai kota.
Karena itu, mereka
mengeringkan tubuh mereka, mengelap rambut yang basah, dan menunggu makan
malam.
“Yah, sepertinya semua orang
menikmati waktu mereka.” Dwarf Shaman mengeluarkan berbagai macam botol kecil dari
dalam tas katalisnya. Dia membuka masing-masing botol, menghirup aromanya,
kemudian mencipratkan sedikit isi botol ke dalam makanan.
Ketika pada akhirnya mereka
dapat mendengar desis dari daging yang meleleh, dia mengumandangkan,
“Seharusnya sudah matang,” dan membagikan sate ke masing-masing orang.
Walaupun dengan
kesederhanaan makanan ini, sebuah aroma yang menggiurkan terhirup dari
makanannya, tentunya tidak di ragukan aroma itu berasal dari rempah milik Dwarf
Shaman.
High Elf Archer menggiring
makanan itu mendekati hidungnya, memberikan beberapa endusan mencoba, setelah
beberapa saat dia melotot kepada dwarf. “...Kamu tahu kan aku nggak bisa makan
ini.”
“Aku cuma ingin kamu nggak
merasa terasingkan. Sabar. Kalau kamu nggak mau, aku yakin ada orang lain yang
mau.”
“Hmph...” Telinga High Elf
Archer melemas seraya dia melihat ikan dengan mata putih matinya, sebelum dia
menyerahkannya kepada Priestess.
“O-oh! Aku nggak bisa makan
dua ikan...”
High Elf Archer menyeringai.
“Kenapa? Besok pesta, sekalian saja kamu latihan makan. Aku punya beberapa
kacang kering.”
“...Justru itu kamu harus
pastikan perutku kosong.” Dia berkata kepada High Elf Archer, namun sang ranger
menghiraukannya. Priestess meniup ikan itu untuk mendinginkannya, kemudian
mulai menggigit kecil dari ikan itu.
Lemak dengan sedikit rasa
pahit yang meleleh di dalam mulutnya, kemudian rasa asin yang menyebar di keseluruhan
lidahnya. “Mm!” dia berteriak, pipinya tersenyum. Kemudian, “Apa kita sudah
dekat?”
Uh-huh.
High Elf Archer mengangguk, membuka kacang yang di ambil
dari dalam tasnya. “Kita mungkin berada tepat di antara perbatasan hutan dan
desa. Mereka bahkan mungkin akan menemukan kita sebelum kita menemukan mereka.”
“Jadi kakak perempuanmu akan
jadi pengantin,” Gadis Sapi berkata, menggigit ikannya sendiri dan bergumam,
“Mm, enak,” kemudian dia berkata dengan lebih lantang, “Aku yakin pengantin elf
pasti cantik...”
“Yah, pastinya dong!” High
Elf Archer tertawa dan membusungkam dadanya seolah Gadis Sapi sedang
membicarakan dirinya. Dia membentangkan
lengannya dan berkata: “Terutama kakak perempuanku luar biasa cantiknya! Dia kan
seorang High Elf!”
Dwarf Shaman menoleh dari
makanannya dan menyela, “Kamu itu bukti berjalan bahwa hal itu tidak membuktikan
apapun.” Namun dengan suasana hati sang ranger, High Elf Archer dapat
menghiraukan ejekan ini.
“Ho-ho-ho. Saya berharap
mereka akan menyambut baik kedatangan seorang lizardman,” Lizard Priest
berkata. Dia sedang mengambil sebongkah keju dari dalam tasnya dan memotongnya
dengan cakarnya. Dia menusuk potongan itu dengan tusuk satenyam yang di mana
dia memanggangnya di atas api. Dia mendesis seraya menunggu keju itu melelh
dengan tidak sabar.
“Kamu benar-benar suka keju
ya?” Gadis Guild berkata seraya dia memperhatikan Lizard Priest. Dia menggigit
kecil ikannya sendiri. “Sepertinya kamu terlihat semacam koordinator dalam
pertarungan sebelumnya, paling tidak itu dari apa yang saya dengar...?”
“Administrasi memiliki
kesulitan tersendiri.”
“Benar sekali. Semuanya
masalah.”
Terlalu
banyak hal yang harus di pikirkan. Gadis Guild tersenyum
ambigu, tidak di ragukan bahwa dia memiliki banyak masalah yang perlu di
khawatirkan.
Bahkan, tidak satupun baik
itu petualang ataupun pegawai yang mengetahui pekerjaan sehari-hari dari orang
lain. Kesempatan untuk dapat merasakan kebrutalan pekerjaan kantor ataupun
bahayanya petualangan sangatlah sedikit.
“Saya mendapatkan pengalaman
yang sangat informatif dalam perjalanan ini. Walaupun sedikit menyeramkan.”
Maaf,
High Elf Archer tampak ingin berkata, telinganya kembali
melemas. “Saat kita sampai ke desa, aku yakin seseorang akan menerima
celotehanku. ‘apa sih kerjaan penjaga kalian?!’ semacam itu.”
“Tapi, saya harus menyalami
kakakmu dengan benar,” Gadis Guild berkata, “Saya perlu memberi tahunya akan
betapa saya menghargai semua yang kamu lakukan untuk kita.”
High Elf Archer menggaruk
pipinya seolah merasa malu. “Berbicara sama kakaku perempuanku sola itu sih
bagus-bagus saja. Tapi kalo dengan kakak laki-ku...”
“Kamu punya kakak laki?”
Goblin Slayer bertanya pelan, di antara sela-sela kunyahan ikannya.
Yah,
maksudku sepupu. High Elf Archer menjawab pendek, jari
telunjuknya menggambsr lingkaran di udara. “Aku nggak bisa ingat apa yang
manusia sebut. Kakak menantu?”
“Maksudmu pengantin laki?”
“Yeah, itu dia,” dia berkata
dengan anggukan. Dia mengunyah kacangnya kembali dan mendengak menatap langit.
Langit sudah hampir gelap gulita, sebuah bintang kejora dapat terlihat di balik
dedaunan pohon-pohon. Dengan nada bagaikan musik, High Elf Archer menjelaskan
bahwa para elf menyebut ini dengan “rain gate”
“Sepupuku,” dia berkata,
“dia sudah tergila-gila dengan kakaku sejak dulu, dan selalu membesar-besar kan
hal itu!”
“Yah, harga diri memang
sesuatu yang kalian oara elf selalu besar-besarkan!” Dwarf Shaman mengejek.
“Bener banget!” Hugh Elf
Archer menjawab. “Dia elf sesungguhnya di antara para elf.”
“Tapi kalau mereka sampai
menikah...” Priestess berkata, memeluk dagu dengan jarinya dan berpikir.
Kemudian dia tersenyum seolah jawaban telah dia dapatkan. “Kakakmu pasti
menyadari kalau dia peduli dengannya!”
“Sepupuku nggak pernah
menyembunyikan perasaannya. Aku nggak tahu apa yang kakakku lihat dari dia.
Bagiku hal macam ini sangat merepotkan.” Kemudian terdengar tawa kecil. High
Elf Archer memeluk kedua lututnya. “Kamu tahu apa yang para elf lakukan untuk
mendapatkan perhatian seseorang? Mereka bernyanyi untuk orang itu.” Suaranya
pelan, seolah dia sedang mengumbarkan sebuah rahasia, dengan ekspresi jahil
pada wajahnya. “Sepupuku bernyanyi keliling desa mengisahkan semua pencapaian
besarnya, sampai dia di gebukin.”
“Ah. Para bandit menyerang
beliau?” Lizard Priest bertanya dengan penuh penasaran.
“Bukan—tapi kakakku!”
Keseluruhan party tertawa.
High Elf Archer membagikan
kisah lampaunya satu persatu, sebuah cerita yang tidak dapat dia ceritakan pada
resepsi pernikahan. Seperti ketika sepupunya ingin menangkap seekor rusa
sebagai hadiah namun gagal. Atau ketika sepupunya jatuh sakit, dan kakaknya
begitu mencemaskan keadaan sepupunya hingga dia tidak dapat tidur dan tertular
demam itu sendiri. Ada kala di mana kakaknya gosong dalam memasang roti bakar
(sebuah tindakan yang tidak semestinya), namun sepupunya memakan semua roti itu
dengan muka datar.
Semua pengetahuan High Elf
Archer mengenai herba, buah, dan berbagai macam lainnya berasal dari kakaknya,
sementara sepupunya mengajar High Elf Archer tekhnik memanah dan bagaimana cara
melintasi medan dengan cepat.
Atau ketika High Elf Archer
hendak pergi meninggalkan desa, kakaknya menentangnya, namun sepupunya
mendukung dirinya.
High Elf Archer telah
mmenghabiskan dua ribu tahun di dalam hutan ini, begitu banyak kenangan yang
tersebar dalam hari-hari biasa yang tak pernah berubah.
Di tengah semua kisaah inu,
Goblin Slayer berkata, “Jadi ini rumahmu.”
“Iya.”
“Bagus.”
“Yah—“ Mata High Elf Archer
sedikit menyipit seperti kucing tersenyum. “Ini tempat di mana jiwaku berada.”
Goblin Slayer mengangguk.
Gadis Sapi berkedip seseaat.
Kemudian Goblin Slayer
berkata, “Dan ada sarang goblin di dekat sini.”
11 Comments
Mantab, ditunggu kelanjutanya :)
BalasHapusTerima kasih :)
HapusMantab, Demokrat,:3
BalasHapusLanjutkan!
HapusTERIMAKASIH TERJEMAHNYA
BalasHapusKeren min di tunggu kelanjutannya
BalasHapusYoiii
Hapusmin illustration ada yg error tuh perbaiki donk
BalasHapusSudah rebes :)
HapusSemangat terus, terima kasih #shirou
BalasHapusSemangat min
BalasHapusPosting Komentar