HUTAN MILIK RAJA ELF
(Translator : Zerard)
Tempat ini begitu janggal
dan menyeramkan.
Matahari barulah terbit,
arunika pagi dapat terlihat di balik cakrawala. Langit, yang dapat terlihat
dari balik celah ranting-ranting, terlihat begitu biru.
Goblin Slayer merogoh isi
tasnya dengan bantuan surya awal mentari. Dari tempat tidur sederhana yang ada
di belakangnya, terdengar suara dengkuran halus.
Adalah Lizard Priest dan
Dwarf Shaman, mereka berdua masih tertidur. Sang dwarf mungkin tidak akan
bangun hingga waktu sarapan pagi telah tiba, namun sang lizardman tidak lama
lagi akan terbangun menyambut pagi hari.
Sedangkan para wanita,
Priestess telah terbangun dan berdoa di samping tempat tidurnya. Gadis Guild
bangun pada waktu yang sama setiap harinya, tepat sebelum sarapan pagi; Gadis
Guild mengatakan bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk pekerjaannya. Gadis
Sapi tidak lama lagi juga akan terbangun.
High Elf Archer telah
melakukan penjagaan di awal malam karena itu dia akan tidur hingga seseorang
membangunkannya.
Sebuah party yang tidak
membiarkan pembaca mantranya memiliki istirahat yang cukup, akan membuat party
mereka hancur dalam waktu dekat. Oleh karena itu, High Elf Archer dan Goblin
Slayer bergantian melakukan penjagaan, Goblin Slayer cukup senang mengambil
giliran jaga terakhir.
Dari tengah malam hingga
subuh, dia tidak mempunyai niatan untuk tidur. Sebuah kemungkinan akan
seseorang yang melakukan penjagaan dari sore hingga malam, sementara dirinya
berjaga adalah sesuatu yang baru baginya di tahun ini, sebuah bagian kecil dari—
“Kemudahan, mungkin.” Dia
memasukkan herba wangi ke dalam celah helmnya dan mengunyah. Sebuah rasa pahit
menyebar di dalam tenggorokan hingga otak, menstimulasi konsentrasinya. Dia
mengunyah dedaunan keras itu untuk kedua kalinya.
Benar, tempat ini begitu
menyeramkan.
Goblin Slayer mengatur ulang
genggaman pada pedang agar dia dapat menariknya kapanpun juga.
Apa
para goblin akan bergerombol dan menyerang kami di siang hari?
Menyerang satu grup
petualang, mungkin dengan asumsi elemen kejutan akan meniadakan perbedaan
persenjataan.
Apakah mungkin?
Terlebih lagi, terdapat
segerombolan serigala yang harus di pikirkan. Goblin cukuplah merepotkan, namun
mereka mempunyai begitu banyak rider. Bayangkan seberapa banyak persediaan
pangan yang mereka butuhkan untuk dapat menyokong semua kebutuhkan mereka.
Dan
mereka masih bisa melakukannya,
Makanan. Kandang.
Perlengkapan. Dan hiburan—benar, hiburan.
Apakah karena itu mereka
menyerang banyak perahu?
Mereka berada tepat di
samping desa para elf. Mengapa mereka berani membangun markas operasi seperti
itu?
Untuk apa? Apa yang mereka
rencanakan?
Goblin Slayer kembali
mengunyah dedaunan, sekali, dua kali, tiga kali.
Pikirannya mengalun
memikirkan bermacam ide yang tidak pasti, muncul daan kemudian menghilang.
Tiba-tiba, sebuah suara
memanggil.
“Berdiri! Kalian kira kalian
sedang berada di mana?”
Hembusan angin melintasi
pepohonan membawa sebuah pertanyaan mengintrogasi mereka.
Goblin Slayer menarik pedang
dan berdiri dengan cepat. Namun, dia mendapati lehernya bertemu dengan pedang
obsidian.
Dengan kesal, dia mendengak
untuk melihat pemilik senjata itu.
Seseorang berdiri di sana,
berdiri di atas tempat tidur mereka, merusak kelambu serangga yang mereka
dirikan. Matahari berada di belakang orang itu, namun tampak jelas bahwa pria
itu adalah—
“Elf?”
“Benar. Dan ini adalah
wilayah kami.”
Seseorang yang berbicara
dengan begitu percaya diri adalah seorang elf warrior, muda dan tampan—sebagaimana
semua elf seharusnya. Pria itu menggunakan armor kulit, membawa busur dan
memiliki panah bermata kuncup yang menggantung di pinggulnya.
Namun yang paling mencolok
adalah, armor yang melindungi kepalanya. Adalah pelindung kepala berkilau yang
terbuat dari mithril.
Sang elf dengan pelindung
kepala yang berkilau bertanya kepada Goblin Slayer dengan angkuh, ekspresi
curiga tersirat di wajahnya.
“...Apa kamu benar-benar
bertarung dengan pedang itu?” tanya sang elf.
“Iya, melawan goblin.”
Goblin Slayer menjawab.
Tatapan tajam sang elf
bergerak dari pedang dengan panjang yang tidak biasa itu menuju perisai
bundarnya, kemudian mengarah armor kulit, kemudian helm baja yang terlihat
murahan.
“Kamu ini warrior liar? Dan
seorang dwarf...”
“...Dan seorang lizardman
siap melayani anda.” Lizard Priest, yang sedang duduk saat ini, menggabungkan
kedua tangannya dengan gerakan yang aneh. Dwarf Shaman yang baru saja
terbangun, terduduk di sana tanpa berusaha menyembunyikan ekspresi tidak
senangnya. Di serang oleh para elf di saat tertidur adalah penghinaan tertinggi
bagi para dwarf.
Sang elf memperhatikan
mereka bertiga secara bergantian, kurang lebih memahami siapa mereka.
“Jadi. Petualang...”
“Kurang lebih.”
“...Begitu. Apa benar kalian
yang bertarung melawan goblin kemarin?”
Goblin Slayer mengangguk.
“Begitu,” sang elf berkata,
matanya menyipit dan tangannya menarik turun pedangnya. “Kami menghabisi mereka
yang kalian sisakan.”
Mendengar itu, Goblin Slayer
mendengus. Itu artinya, rencana dia untuk menyebarkan penyakit di keseluruhan
sarang telah di gagalkan. Di sisi lain, goblin yang melarikan diri telah
terbunuh. Mungkin ini memang sudah jalan yang terbaik.
Sang elf merasa tidak yakin
untuk mengatakan sesuatu di depan sikap pria ini yang acuh.
“...Aku punya satu
pertanyaan untukmu,” dia berkata.
“Apa?”
“Panah yang menembus salah
satu goblin tampaknya milik kaum kami,”
Sang elf dengan helm yang
berkilau mengeluarkan panah yang sedang di bahas. Panah itu mempunyai mata
berbentuk kuncup. Panah itu berlumuran dengan darah hitam kental para goblin,
namun mata panah itu patah, dan menggantung.
“Tetapi, kami mengetahui,
bahwa gadis itu tidak akan pernah menggunakan panah seperti ini.”
“.....”
“Katakan pada apa yang sudah
kamu lakukan terhadap gadis itu. Jawabanmu akan menentukan nasibmu—“
Goblin Slayer diam, namun
Lizard Priest dan Dwarf Shaman saling bertukar pandang.
“Kamu pasti yang alih-alih menyanyikan
lagu cinta, malah menyairkan puisi epik kan.”
“Tampaknya benar, sepertinya
cinta tersebutlah yang membuat anda bertanya.”
“...Ap?!” Sang elf dengan
helm berkilau tercengang. Dia menggenggam pedangnya dengan lebih erat, seolah
siap untuk menganyunkannya kapanpun juga. Kulit pucatnya, kebanggaan bangsanya,
berubah menjadi merah padam, dan bergetar begitunhebatnya.
“Da-dasar cecunguk...! Dari
mana kalian menge—?!”
“Gadis yang kalian cari,”
Goblin Slayer berkata dengan helaan. “Dia yang ada di sana kan?”
“Hrk...!”
Dalam sekejap mata, sang elf
bergegas meluncur layaknya tembakan.
“Putri mata angin, apa kamu
di sana?!”
Dia melompat beberapa meter
dalam satu lompatan indah; ketika dia menemukan tempat peristirahatan, dia
merobek kelambu serangga tanpa bimbang.
“Ya?”
“Huh?”
“...Ah.”
Dia mengernyit. Di deoannya
terdapa tiga wanita muda—wanita muda yang terbangun karena kegaduhan yang
terdengar di luar, dan dengan cepat bergegas bangun untuk melihat apa yang
terjadi.
Tiga orang, enam mata,
terbuka lebar memandang elf yang menerobos itu.
Mereka tengah berada di
dalam petualangan, dan tak seorangpun yang berada dalam posisi ini untuk dengan
sengaja berganti pakaian piyama untuk tidur. Namun itu bukan berarti mereka
senang jika ada seseorang yang tidak di kenal masuk ke dalam temoat istirahat
mereka.
Dan terdapat satu hal
lainnya lagi.
Di sudut area tidur, sebuah gumpalan
selimut bergoyang dan menggeliat.
“...Ada apa? Matahari masih baru aja terbit...”
High Elf Archer menguap,
meregangkan tubuhnya layaknya kucing, dan merayap kelaur dari selimutnya. Dia
menggosok mata, menggaruk kepala, dan memperhatikam sekelilingnya dengan
bengong.
“Buh? Kakak? Kenapa, apa
kamu datang menjemputku?”
“...”
Priestess terlihat seperti
akan menangis, Gadis Sapi mengernyit, dan Gadis Guild tampak tersenyum lembut
di wajahnya
Sang elf dengan helm
berkilau menelan liurnya.
Kemudian dia melompat
mundur, seolah seperti di tarik oleh sebuah benang, seraya para gadis mulai
berteriak nyaring.
“...Pengawalan kalian
bagus,” dia berkata, ketika dia mendarat, terbatuk sekali. “Saya menghargai
jerih payah kamu karena telah membawa adik menantu-ku ke sini. Kami akan
menyiapkan kompensasi untukmu. Semoga kalian dapat kembali pulang dengan
selamat.”
“Mereka ini temanku, kak.” High Elf Archer
memunculkan kepalanya dari tenda tidur dan melotot kepada pria itu, namun elf
itu hanya mengangkat bahunya dengan elegan.
“...Dasar elf, kalian ini
memang...”
Namun apapun akhir dari
ucapan kasar yang ingin Dwarf Shaman katakan, bahkan Dwarf Shaman-pun sadar
untuk tidak mengatakannya.
*****
“Aku minta maaf, memanggilmu
kembali saat kamu baru saja pergi untuk berkelana.”
“Baru saja? Itu sudah
bertahun-tahun yang lalu tahu, sudah lama sekali kak.”
“...Kamu bau manusia.” Sang
elf dengan helm berkilau mengernyit seraya dia berjalan berdampingan dengan
High Elf Archer, yang melintasi hutan dengan penuh percaya diri.
Tindakannya itu mungkin
sebagian terinspirasi dari sikap
sembrono adik menantunya, namun kemungkinan besar itu berasal dari tatapan
tajam yang di rasakan pria itu di belakangnya seraya dia membimbing party
mereka. Terutama, dari tiga wanita.
“Saya mengerti apa yang
berada di dalam hati anda,” Lizard Priest berkata kepada sang elf, menjulurkan
lidahnya. “Kaum saya sendiri bertempat tinggal di dalam hutan besar mereka,
namun alam para elf memang sungguh mengagumkan.”
“Hutan ini sudah tumbuh
sejak Jaman para Dewa. Seorang makhluk fana yang memasuki tempat ini tidak akan
mempunyai harapan untuk dapat keluar kembali seumur hidupnya.”
Tidak ada yang bisa
menyalahkan nada bangga yang terdengar dari ucapan elf itu. Hutan ini memang
tampak seperti labirin hijau besar. Terdapat begitu banyak akar yang menjalar,
pohon besar yang memblokir jalan, dan lintasan yang begitu sempit bahkan
binatang liar-pun tidak dapat melewatinya. Semak-semak begitu tebal dan besar
seolah ingin menjerat kaki seseorang. Para petualang pastinya merasa kesulitan;
terlebih lagi tentunya bagi Gadis Guild dan Gadis Sapi.
Fakta bahwa mereka masih
dapat berjalan tanpa terhalangi oleh semua ini adalah bukti dari
keramah-tamahan sang elf. Hal ini menjelaskan sebagian alasan mengapa para
wanita hanya mempelototi sang elf dan tidak mengeluh.
“Tetapi,” kata sang elf
dengan lirikan mencurigakan ke belakangnya, “aku tidak menyangka kalau Orcbolg,
nama yang pernah ku dengar, ternyata seseorang yang...seperti ini.”
“Aku nggak tahu apa yang
masyarakat kalian bicarakan tentang aku,” Goblin Slayer berkata acuh,
mengundang dengusan dari sang elf.
“Gaya bicaramu,” dia
berkata, “tidak sopan sekali.”
“Yang jauh lebih penting,
ceritakan padaku tentang goblin-goblin itu.”
“Mereka bukanlah goblin
istimewa,” Mereka tidaklah penting.
Terkadang mereka berjumlah banyak, terkadang sedikit. “Akhir-akhir ini
panas. Bukankah makhluk seperti itu berkembang biak di saat panas seperti ini?”
“Akhi-akhir ini?”
“Kurang lebih sepuluh tahun
atau lebih. Semua sudah seperti ini semenjak keributan dengan Dark God di mulai.”
“Begitu?” Goblin Slayer
berkata pelan. “Baru-baru saja...”
“Jika para goblin tidak
dapat mendesak kami untuk membuat benteng, maka mereka tidak perlu di
risaukan.”
“Kamu nggak usah sok gitu,”
High Elf Archer menyela. “Bilang aja kalau pernikahan itu bukan waktu yang tepat untuk membicarakan goblin.”
“Anak kecil jangan menyela.”
Sang elf dengan pelindung kepala berkilau merasa kesal dengan adik sepupunya.
“Aku bukan anak kecil,” High
Elf Archer berkata. Bibirnya manyun, namun dari kepakkan telinganya yang naik
turun, terlihat jelas bahwa dia masih merasa senang.
Priestess, berdiri di
belakang party, berbisik pelan kepada Gadis Guild, “...Jadi kurasa para elf
sama sekali mengacuhkan para goblin?”
“Apa, kamu juga?” Gadis
Guild membalas dengan kedipan. “Kalau itu hal pertama yang kamu pikirkan dengan
situasi seperti ini, mungkin kamu harus berhati-hati kalau saja dia melempar
goblin ke arahmu.”
“Err, heh-heh...”
Priestess menggaruk pipinya
dan tertawa seolah mengesampingkan topik itu, membuat Gadis Guild bergumam, “Ya
ampun.”
Kemudian dia melanjutkan,
“Sebenarnya, banyak petualang elf yang bertingkah seperti itu, terutama ketika
mereka baru saja keluar dari hutan.” Bukannya
mereka tidak mengerti bahaya, hanya saja mereka kurang paham dengan situasi
yang ada.
Fakta dasar mengenai goblin
adalah mereka memiliki kecerdasan dan tenaga fisik seperti anak manusia, bahwa
mereka adalah monster terlemah. Para elf tentunya lebih merasa takut pada
sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat.
“Itu karena, mereka pernah mengalami
dan menyaksikannya sendiri.”
“...? Mengalami apa?”
“Pertarungan para dewa.”
Oh.
Priestess dengan cepat menutup mulutnya. Bukanlah
mustahil jika beberapa tetua elf masih hidup dari jaman itu.
Ini merupakan jaman di mana
semua hal di tentukan dengan lemparan dadu. Sebuah jamam yang hampir tidak di
ketahui bahkan dalam mitos dan legenda.
“Roh jahat, naga, dark god,
demon lord, dan semua makhluk mengerikan yang datang dari alam lain.”
Sangatlah masuk akal jika
para elf akan menganggap bahwa goblin hanyalah masalah kecil di antara semua
itu.
Benar, terkadang beberapa
jiwa kurang beruntung akan mati di tangan goblin. Namun bagi mereka yang memang
di takdirkan untuk berumur pendek, apalah arti dari beberapa tahun seterusnya? Di
bandingkan dengan suatu musibah yang datang sekali dalam beberapa dekade, atau
abad, atau millenia...
“Tidak peduli apapun yang
goblin lakukan, mereka tidak akan dapat menyebabkan musibah seperti itu,” Gadis
Guild menjelaskan.
“...Huh,” Gadis Sapi berkata
pelan. “Mengerti?” Gadis Guild menjawab.
Akan tetapi, Priestess,
memalingkan oandangannya ke tanah dengan ekspresi sedih yang tidak dapat di
jabarkan.
Goblin tidaklah penting.
Mereka tidak perlu untuk di risaukan. “Yeah, kamu benar,” dia berkata seacuh
yang dia bisa, namun dengan melirik mengarah pria itu.
Pria itu berada dekat dengan
barisan depan, berdiri depan barisan partynya. Priestess ingin mengatakan
sesuatu kepadanya, namun dia bimbang.
Kemudian kesempatan untuk
berbicaranya telah di curi oleh sang elf dengan pelindung kepala berkilau.
“Tapi memang ada, sesuatu
yang lebih ku pikirkan daripada pernikahan nanti,” dia berkata.
“Oh! Ku kasih tau kakakku kamu
bilang begitu!” High Elf Archer berteriak. Dwarf Shaman menegurnya untuk tidak
berteriak, namun sang ranger hanya menggubrisnya.
“Tampaknya
Dia-Yang-Menghentikan-Air sudah semakin mendekati desa akhir-akhir ini.”
“Apa maksudmua?”
“Makhluk purba yang tinggal
di dalam hutan ini. Kamu selalu di beritahu untuk tidak mengusiknya,” sang elf
berkata kepada Goblin Slayer.
“Oh-ho,” Lizard Priest
berucap pelan. “Dan jika saya di perkenankan bertanya, sudah berapa lama
makhluk purba ini telah hidup?”
“Aku tidak tahu,” dia
menjawab, “Namun makhluk ini sudah di sebut purba semenjak aku masih kecil.”
“Apakah Triassic? Atau
Carboniferous, atau Cretaceous...” Lizard Priest mulai bergumam nama-nama yang
terdengar penting pada dirinya sendiri, sebelum pada akhirnya dia mengangguk.
“Mmm, sungguh menarik.”
“Apapun itu, wilayah makhluk
itu terpisah dengan kami. Makhluk itu hanya muncul sesekali, tapi...”
“Sejujurnya aku belum pernah
melihatnya, walaupun irang-orang bilang kalau makhluk itu ada,” High Elf Archer
berkata, telinganya berayun berpikir, dia berputar mengarah sepuounya. “Apa
makhluk itu benar-benar ada?”
“Saya pernah melihat
jejaknya beberapa kali. Kakek saya mengatakan bahwa beliau pernah melihat
makhluk tersebut secara langsung.”
“Berapa abad yang lalu itu?”
High Elf Archer tertawa.
Pada saat itu, angin
berhembus. Adalah angin yang begitu segar, sepoi-sepoi, dan hangat, penuh akan
aroma dedaunan dan rerumputan.
Angin bertiup melewati
pepohonan seolah akan terus berhembus selamanya. Dan dari manakah angin itu
berasal?
Sumber tersebut berasal dari
tengah hutan, sebuah ruang lingkup besar yang membentang dari surga ke bumi.
Apakah sebuah desa yang
berbentuk seperti hutan? Ataukah hutan yang berbentuk seperti desa?
Kanopi-kanopi berdiri begitu
tingginya hingga sulit di jabarkan, rumah-rumah terbuat dari rongga-rongga
pepohonan. Jalan setapak terajut dari akar dan dedaunan yang memanjang.
Dan para elf, para elf yang
anggun dengan pakaian yang mengesankan, berjalan di atas jalan setapak itu
seolah mereka berdansa di atas udara.
Pola yang terukir pada kulit
pepohonan sangatlah banyak dan beragam, dan dedaunan yang bergemirisik mengisi
udara dengan musiknya.
Lapis demi lapis memanjang
ke atas dan ke atas, desa ini menjulang begitu tingginya hingga mencakar
langit.
“W-wow...” Gadis Sapi
berkedip, matanya berkilau, seraya suara kagum terlepas dari bibirnya. Dia
tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya selama dia hidup, dan tentunya
tak pernah membayangkan akan mengalami semua ini seumur hidupnya.
Ini adalah semacam tempat
yang pernah dia bayangkan ketika teman lamanya berbicara tentang keinginannya
menjadi petualang. Dia mengambil satu langkah ke depan, kemudian langkah kedua.
Dia berdiri di samping pria itu, dan di depan mereka adalah sebuah lingkaran
galeri yang mengelilingi bagian luar desa.
Gadis Sapi merasa ingin mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat,
namun pria itu memperingatinya, “Itu berbahaya. Kamu bisa jatuh.”
“Oh yeah. Tapi lihat.. Ini
luar biasa sekali...!”
Masih memegang lengan Gadis
Sapi, Goblin Slayer hanya berkata, “Ya.”
Gadis Sapi menggembungkan
pipinya kesal, namun itu hanyalah
masalah kecil yang tidak perlu di risaukan. Gadis Sapi bersandar pada pria itu,
dia melihat sekitaran desa elf seolah ingin memakunya di dalam ingatan.
“Buset. Kalian para elf
memang mengetahui cara untuk membangun,” Dwarf Shaman berkata dengan sedikit
kekecewaan—benar, merasa kalah—di dalam suaranya.
“Benar sekali,” Lizard
Priest berkata, “Desa saya sendiri juga terletak di dalam hutan, namun sama
sekali tidak tampak seperti ini.”
Dwarf Shaman mendengak
melihat sang elf dengan pelindung kepala berkilau. “...Kurasa kalian nggak di
bantu siapapun?”
“Para fae membantu kami,
dwarf,” sang elf menjawab. “Sudah sewajarnya.” ( TL Note : fae = semacam peri.)
“Heh! Sesuatu sekali. Jadi
kalian nggak membuat ini semua dengan tangan kalian sendiri?”
Kumpulan tatapan tercengang
party mereka merupakan hal yang sudah semestinya. High Elf Archer tertawa
kecil, membusungkan dada kecilnya, dan menyikut pelan Priestess, yang sedang
memeluk tongkatnya. “Keren kan?”
“Iya, bagus sekali!”
Priestess mengangguk menjawab sang archer, yang sedang berkedip jahil. “Aku sama
sekali nggak tahu ada tempat seindah ini di dunia.”
“Heh-heh-heh-heh! Bennarkah?
Aw, hehehe...!”
High Elf Archer membusungkan
dadanya dengan rasa bangga yang semakin memuncak lagi dan lagi. Gadis Guild
mulai tertawa kecil. “Ibukota itu tempat yang cukup mengagumkan, tapi ini...”
Ibukota manusia adalah
tempat yang bagus, namun tentunya masa kota itu di bangun berbeda dengan tempat
ini. Tempat ini tidak di buat dengan tangan orang mana-pun, melainkan di bangun
oleh alam itu sendiri, benar-benar hasil pekerjaan para dewa.
High Elf archer melangkah ke
depan bsrisan dengan loncatan riang layaknya seekor burung. Ketika dia membuka
bibirnya, ucapan yang di ujarkannya merupakan bahasa melodi para elf.
“Selamat pagi dan selamat
malam, dengan pancaran surya matahari dan dua bulan, dari putri mata angin
kepada temannya—“
Dia berputar mengarah mereka
dan membentangkan tangannya lebar. Rambutnya berayun.
“Selamat datang di rumahku!”
Dia tersenyum lebar
layaknya bunga yang mekar
Merrka melewati sebuah
koridor yang terajut dengan akar-akar
dan menyadari bahwa ruangan mereka adalah rongga besar dari sebuah pohon
zelkova agung. Gorden dari tumbuhan yang menjalar menggantung di atas pintu
masuk menuju ruangan besar.
Sebuah karpet lumut panjang
di sebar di atas lantai, dan terdapat sebuah meja dan kursi yang tampaknya
merupakan perpanjangan rajutan dari pohon itu sendiri. Dedaunan yang hampir
transparan berterbaran di depan jendelan, memancarkan cahaya siang dengan
kehangatan yang lembut. Begitu banyak jalar tumbuhan di sini dan di sana yang
pastinya merupakan jalan masuk menuju ruang tidur.
Satu-satunya benda di
ruangan ini yang tampaknya bukan hasil pekerjaan alam adalah permadani para elf
yang tampaknya di jahit dengan menggunakan helaian embun. Ilustrasi indah nan
menawan menggambarkan kisah yang berasal dari Jaman para Dewa. Tidak seperti
mitos dan legenda yang di ceritakan manusia, kemungkinan besar bahwa para elf
telah menyaksikan semua sejarah itu dengan mata kepala mereka sendiri.
Tidak ada perapian, namun
kehangatan pohon itu sendiri, bercampur dengan hembusan angin, terasa begitu
nyaman.
Yang lebih baik lagi,
keseluruhan ruangan ini penuh dengan aroma kayu.
Gadis Sapi menarik napas
dalam, menikmati aroma ini, kemudian menghela perlahan.
“Keren banget! Aku cuma
pernah mendengar sesuatu seperti ini dari cerita-cerita.”
Entah mengapa, Gadis Sapi
merasa salah, telah memasuki ruangan ini dengan sepatu bot kotornya. Dia
melangkah dengan sepelan mungkin, satu langkah, kemudian dua.
Seraya dia semakin mendekati
kursi, dia menemukan sebuah jamur yang tumbuh dari kursi itu seperti sebuah
bantal.
Dia tersenyum: ini
benar-benar seperti kisah dongeng kuno. Dia mencoba duduk dengan perlahan.
Bantal itu terasa begitu lembut dan empuk di bokongnya seraya dia duduk. Dia
menghela kagum.
“Wow... Ini empuk banget.”
“Um, oke... Biar aku
coba...!”
Meremas tongkatnya gugup,
Priestess duduk di salah satu kursi. Jamur itu menopang tubuh mungilnya.
“Eek! Ack!” dia berteriak
seperti gadis kecil, mengundang tawa dari Gadis Guild.
Cleric itu seperti anak
kecil yang mencoba bertingkah dewasa. Dia selalu mengambil kesempatan untuk
bersenang-senang di kala kesempatan itu ada.
“Saya kenal beberapa elf
petualang, tetapi saya tidak pernah di undang ke rumah mereka,” Gadis Guild berkata, melihat sekeliling ruangan. Dia
menelusuri permadani di dinding dengan jarinya. Permadani itu menggambarkan
seorang pahlawan half elf dan rekan mereka bertarung dengan Dragon Lance. Ini
pasti merupakan adegan dari dongeng militer.
“Bagaimana cara membuat
ini?” Tanya Gadis Guild. “Apakah ini sesuatu yang di buat oleh fae juga?”
“Ini tidak di buat, tapi
kamu tidak sepenuhnya salah,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau
menjawab, dengan sedikit nada sopan kepada wanita manusia berpengetahuan ini.
“Hutan menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada kami dan menciptakan ini sebagai
bukti kekuatannya.”
“Mereka bilang seseorang
pergi ke bangsa dwarf untuk struktur kokoh, ke rhea untuk kesenangan, dan ke
lizardman untuk perbentengan,” Lizard Priest berkata, mengayunkan ekornya
dengan rasa penasaran di atas karpet lumut. Dia menghela napas, tampak lega
mengetahui bahwa bebannya yang berat tidak meninggalkan bekas pada lapisan
lantai itu. “Namun sungguh, rumah para elf benar-benar memiliki daya tarik
tersendiri.”
“Mendengar itu dari seorang
anak para naga adalah sebuah pujian tersendiri.” Sang elf laki-laki berkata
dengan gerakan elegan. Menunjukkan rasa hormat kepada lizardmen pemberani dan
purba yang mengetahui banyak tentang perputaran kehidupan. Dia menambahkan
dengan renungan, “Maafkan saya, karena kesibukkan saya dengan persiapan untuk
acara penuh suka cita ini, saya tidak mempunyai waktu untuk mempersiapkan
tempat huni yang layak untuk kalian...”
Akan tetapi, High Elf Archer
menyikut dia dengan keras dan berkata dengan mata menyipit, “Sudahlah kak,
nggak usah mancing-mancing untuk di puji.”
“Erk...”
“Aku nggak peduli seberapa
sibuknya kamu, aku yakin ini cuma makan waktu sebulan.”
High Elf Archer mengendus
dan kemudian dia melompati karpet lumut dan duduk di salah satu kursi.
“Aku tewa kursi ini!” dia
berteriak, mendarat pada bantalan jamur pada kursi dengan pemandangan terbaik
dari jendela.
High Elf Archer terlihat
seperti akan mengayunkan kakinya di saat itu juga. “Tidak sopan sekali,”
sepupunya mengernyit. “Kalau saja dia melihat
ini, saya rasa kamu akan mendapatkan omelan darinya.”
“Tuh lihat kan? Masih belum
nikah aja, dan dia sudah bilang ‘dia
beginilah’ dan ‘dia begitulah’ kayak
kakakku sudah jadi istrinya saja!” High Elf Archer mendengus, benar-benar
menghiraukan teguran sepupunya. “Jadi. Apa berikutnya?”
“Hrm. Tentunya kalian merasa
lelah setelah perjalanan panjang kalian, oleh karena itu kami telah
mempersiapkan pemandian dan makan siang untuk kalian.”
Sang elf dengan pelindung
kepala berkilau menggosok alisnya seolah ingin mengusir sakit kepalanya untuk
mengembalikan harga diri alami yang di miliki kaumnya. Mungkin dia sudah
terbiasa di kerjai oleh adik menantunya seperti ini. Karena mereka, sudah
menghabiskan dua ribu tahun bersama sebelum High Elf Archer pergi.
“Apa yang akam kalian
lakukan?” dia bertanya.
“Aku akan menurunkan
barang,” Goblin Slayer menjawab segera. “Goblin mungkin akan segera muncul.”
Kali ini, kita tidak perlu
lagi menggambarkan reaksi para rekannya setelah mendengar ucapan pria itu.
Sang elf dengan pelindung
kepala berkilau melongo heran. High Elf Archer menopang pipi dengan sebelah
tangan dan melambaindengan tangan satunya. “Aku juga tinggal di sini kalau begitu.
Siapa tahu kakak perempuanku datang.” Dia tertawa kecut, yang kemudian semua
rekannya mengangguk.
“Kalau begitu aku akan cari
makanan selagi para wanita selesai urusan toilet mereka.”
“Saya sangat setuju dengan
rencana tersebut.”
“Apa—apa kalian yakin?”
Gadis Guild bertanya, matanya berkedip. Karena tidak peduli seberapa seringnya
dia memperhatikan para petualang, dirinya sendiri jarang sekali menerima
perhatian dari para petualang.sebuah eksoresi ambigu tampak di wajahnya pada
situasi yang tidak pernah di alaminya ini, dan dia mengangguk ragu. “Kalau
kalian yakin tidak masalah untuk kami duluan...”
“Kami akan pergi sendiri
dulu. Bukannya para wanita harus di berikan prioritas untuk merawat penampilan
mereka?”
“Kalau begitu, terima kasih
banyak. Saya akan dengan senang hati membersihkan debu dan keringat.” Gadis
Guild kembali mengangguk tanpa keberatan.
Priestess berdiri dari kursi
jamjrnya dan sekarang berlari kecil mengarah Goblin Slayer.
“Ada apa?” helm itu
bertanya, berputar mengarah gadis itu. Priestess menunjuk dengan telunjuknya.
“Pak Goblin Slayer, pastikan
kamu makan dan mandi ya?”
“Ya.”
Goblin Slayer terdengar
tidak begitu senang, namun Priestess merasa puas. Dia membusungkam dada
kecilnya bangga..gadis Sapi tersenyum pasrah. “Hey jangan obrak-abrik
barang-barang kami ya, terutama baju ganti.” Gadis Sapi secara paksa
menegaskannya. Selama dia memperingatkan pria itu, dia mengetahui bahwa pria
itu akan berhati-hati, namun jika dia tidak mengingatkannya, yah, pria itu bisa
saja menjadi sama sekali tidak peka.
“...Yang mana barang
kalian?” Goblin Slayer terlihat sedikit berhati-hati sekarang.
Gadis sapi menagngguk. “Kamj
akan mengambil beberapa baju untuk setelah kami mandi, jadi ingat tas mana yang
kami keluarkan bajunya.”
“Baik.”
“Tapi jangan lihat isi
dalamnya!”
“...Mungkin seseorang selain
aku harus menangani tas-tas itu.”
“Apa?” terdengar suara High
Elf Archer, telinganya mengepak dan sebuah senyum tersirat di wajahnya. Dia
merasa sangat yakin bahwa membiarkan Orcbolg menangani semua barang bawaan mereka akan jauh lebih menarik di banding orang
lain yang melakukannya.
“Kurasa kalau dua ribu tahun
sama sekali tidak merubahmu, beberapa ribu tahun berikutnya-pun juga tidak akan
bisa.” Sang elf dengan pelindung kepala berkilau menghela. Dia merasa seseorang
menepuk punggungnya, walaupun tepukannya terasa rendah.
Dia berputar dan melihat
wajah Dwarf Shaman yang berjenggot, dengan tatapan yang sangat memahami.
“Kalau begitu tunjukkan
jalannya bapak pengantin,” Dwarf Shaman berkata. “Akunyakin para wanita sudah
nggak sabar untuk mandi.” Dia memberikan tepukan lagi dan tertawa
terbahak-bahak. “Nggak seperti para elf, kami para makhluk fana nggak bisa
memperi utkan semua hal kecil.”
*****
“Kamu mau tahu mengapa kami
para elf tidak memakan dagung?”
“Iya. Aku cuma mau memahami
kenapa aku cuma di beri makan dedaunan dan buah-buahan.”
“Semua itu mengacu pada
keseimbangan, Wahai sahabat yang hidup di dalam bumi.”
“Maksudmu masalah pada
jumlah dari makhluk hidup yang tinggal di hutan? ...Oh-ho, pisang ini enak
banget.”
“Cicipilah minuman ini juga,
Priest bersisik terhormat. Minuman ini menggunakan tapioka.”
“Ah, akar singkong. Kaum
kami sering merebusnya dan memakannya. Mungkin i ilah asal muasal permen bakar
itu.”
“Seekor hewan membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk menjadi dewasa, namun untuk buah hingga masak hanya
membutuhkan sekitar satu tahun, dan persediaannya-pun melimpah.”
“Hmm... yah kurasa pastilah
menyenangkan untuk tidak mengkhawatirkan persediaan pangan kalian.”
“Terlebih lagi, kami tidak
perlu merasa resah akan ancaman para hewan, ataupun kami perlu pergi
meninggalkan hutan.”
“Apakah anda bermaksud
ekosistem akan terancam jika kalian melakukan perburuan untuk menjaga
kelangsungan hidup. Aha! Begitu, begitu.”
“Benar, karena itu kami
hanya memakan rerumputan, buah, dan beri. Apa kamu sekarang mengerti, dwarf?”
“Aku ngerti, tapi bukan
berarti aku harus menyukainya.”
Dwarf Shaman melihat piring
dengan jamur di depannya, menggembungkan pipinya dengan sedikit merasa kecewa.
Ruangan besar ini di bangun
di bawah akar yang menjalar dari pohon tinggi yang berfungsi ganda sebagai
ruang makan para elf. Sebagai pengganti lampu, beberapa kelopak bunga tertutup
berisi noctiluca scintillans menggantung di sekitar ruangan, dan meja penuh
penuh dengan begitu banyak makanan. (TL Note : Noctiluca scintillan / sea
sparkle = sejenis makhluk laut yang bercahaya jika terusik. Cek wiki.)
Terdapat anggur dan pisang,
tapioka dan salad yang terdiri dari campuran herba dan sayuran, bersama dengan khamar
dan minuman yang terbuat dari tapioka. Jika menyangkut ke-elegan-nan dan
atmosfir dalam kualitas dan kuantitas makanan, membuat sang dwarf-pun tidak
mendapatkan sesuatu untuk di keluhkan. (TL Note : Khamar = sari anggur.)
Akan tetapi...
“Aku sama sekali nggak bisa
membayangkan diriku sendiri memakan serangga...”
“Serangga sangat cepat
berkembang biak, dan terdapat begitu banyak macam variasi dari serangga. Dan
terlebih lagi, mereka sangatlah lezat.”
Adalah sebuah piring besar
beisikan kumbang besar di depan dwarf, di lucuti dari cangkangnya dan di rebus;
ketika sang dwarf menggigitnya, terasa sangat renyah dan responsif di mulutnya.
Dia harus mengakuinya,
serangga ini enak..bagi para dwarf, makanan sama pentingnya dengan permata dan
berlian mulia. Dan bagi seorang dwarf, Dwarf Shaman tidak akan berbohong jika
sesuatu yang di makannya terasa lezat.
Tapi—tapi tetap saja.
“Ini tetap saja serangga kan?”
“Saya sendiri merasa ini
sangatlah lezat.”
“Hrmph! Sama-sama saudara
hutan, kamu ini...!” Dwarf Shaman melotot kepada Lizard apriest, yang sedang mengunyah
serangga beserta cangkang dan lain-lainnya.
Mungkin para elf bisa saja membuat
makanan ini tidak terlihat seperti serangga. Atau paling tidak menambahkan
sedikit garam.
Sajian ini memiliki rasa
yang ringan dari berbagai macam bahan berkualitas tinggi, namun tampak begitu
jelas kalau mereka sedang memakan serangga. Hal ini sudah cukup untuk
menghilangkan selera makan Dwarf Shaman.
“Oh, sudahlah! Kurasa pilihanku
satu-satunya cuma manisan panggang ini.”
“Oh, anda tidak memakan
bagian anda? Jika begitu, ahem, saya tidak akan sungkan memakan salah satu kaki
ini...”
“Dasar bodoh,” dia berkata,
menepuk tangan sang lizard yang menjulur. “Seorang dwarf nggak akan pernah
membagi makanannya dengan yang lain!” Dia mulai mencekoki mulutnya dengan
manisan panggang.
Bagian tengahnya yang basah
memiliki rasa manis yang unik; konon katanya itu adalah resep rahasi para elf.
Mungkin ada campuran madu di dalamnya, rasanya begitu segar, tidak peduli
seberapa banyak yang telah di makannya, dia tidak merasa bosan.
Dwarf Shaman tengah
memasukkan makanan ke dalam mulutnya, remah-remah bercecer di jenggot, dan
tiba-tiba dia terdiam, seolah baru terpikir sesuatu.
“Jangan bilang kalau manisan
ini mengandung serangga juga...?”
“Kami akan membiarkan anda berimajinasi
sendiri,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau berkata, yang di mana dia
mempunyai ekspresi yang sulit di baca Dwarf Shaman. Dwarf Shaman melihat setengah
manisan yang telah di makannya dan kemudian melemparkannya masuk ke dalam
mulutnya seolah ingin mengatakan ah,
sudahlah. Dan mengunyah dengan berisik.
Seraya Lizard Priest
memperhatikam sang dwarf, dia menyentuh ujung hidung dengan lidah dan membuka
rahangnya lebar.
“Selama kami menghuni
benteng anda—er, apakah kata itu pantas bagi kalian para elf?”
“Ini bukanlah tempat yang di
persiapkan untuk bertarung, namun selama kepala suku tinggal di sini, kamu
tidaklah salah.”
“Jika begitu saya ingin
sekali menyapa kepala suku anda.”
Hal ini membuat sang elf dengan
pelindung kepala berkilau untuk tersenyum samar. “Audiensi telah di rencanakan
untuk kalian. Benar, semua yang mengunjungi hutan ini wajib menghadap kepala
suku.”
“............Ah.”
Lizard Priest memejamkan
mata dan medengakkan kepala. Langit-langit, yang merupakan dasar dari pohon
raksasa di atas mereka, terlihat begitu tinggi, di terangi dengan Noctiluca
scintilans
Terdengar gemerisik pelan
dedaunan dalam deruan angin, dia iringi suara air mengalir melintasi akar-akar.
Selama para elf tidak
terbunuh dan tidak mengharapkan kematian, mereka akan terus hidup selamanya.
Kalau begitu, apa yang akan
terjadi jika seorang elf mengharapkan kematian...?
“Saya mengerti.”
Semua adalah bagiam dari
hutan. Bagian dari alam. Bagian dari perputaran. Setiap makhluk akan memudar
dan bergabung dengan semua yang sudah berada di sjni.
Kepala suku tinggal di sini.
Tempat ini secara keseluruhan adalah
kepala suku itu sendiri.
Mendengak takjub, Lizard
Priest menggabungkan kedua tangan dengan gerakan yang aneh. Walaupun sudut
pandang mereka berbeda, para lizardmen juga memandang bahwa kembali ke dalam
putaran kehidupan merupakan kematian yang ideal.
“Saya mengungkapkan rasa
terima kasih sayang yang terdalam bahwa kami telah di berikan kesempatan untuk
menyentuh bagian dari dia yang mengawasi hutan ini.”
“Saya menerima terima
kasihmu,” sang elf menjawab, melirik kepada Dwarf Shaman, yang menggembungkan
pipinya seolah ingin menanyakan apa yang sedang di bicarakan. “Mengetahui bahwa
terdapat seseorang yang berasal dari luar hutan kami yang memahami ini semua,
adalah kebahagiaan yang tak terduga. Bolehkan saya bertanya—bagaimana menurut pendapatmu
tentang tempat ini?”
“Oh, kalau di lihat sekilas,
sepertinya semua orang sibuk sekali.”
Dan itu memang benar.
Aula besar ini di hiasi
dengan berbagai macam rajutan untuk menyambut pernikkahan, bersama dengan harpa
yang di gantung dengan benang laba-laba. Namun hampir tidak ada seorangpun
terkecuali beberapa pelayan gadis yang berada di sana.
“Apa ini ada sangkut pautnya
dengan pernikahannya?”
“Tidak sepenuhnya benar,”
sang elf membalas, menyeruput minuman tapiokanya seolah ingin merangkum
kalimatnya. Cangkir tempat minumnya adalah sebuah tanduk rusa yang telah di poles,
tidak lebih dan tidak kurang, akan tetapi cangkir itu merupakan benda berseni.
“Akhir-akhir ini banyak bisikan di dalam hutan. Banyak yang sedang pergi untuk
melihatnya.”
“Maksudmu untuk melihat
Dia-Yang-Menghentikan-Air?”
“Jadi ada sesuatu di hutan
ini yang bahkan nggak di ketahui para elf,” Dwarf Shaman berkata dengan
seringainya.
Tidak membiarkan senyum
elegannya pudar, sang elf membalas, “Jika begitu ijinkan saya bertanya
kepadamu, Wahai dwarf: apa kamu mengetahui segala makhluk yang tidur di
kedalaman bumi?”
“...Aku mengerti maksudmu,”
Dwarf Shaman menggerutu. “Kamu benar.”
“Heh-heh-heh! Tuanku Goblin
Slayer tentunya akan bertanya apakah itu pperbuatan dari para goblin,” Lizard
Priest berkata, tertawa dengan riangnya dan mengambil kembali kaki serangga. Dia
mecurahkan pikirannya yang mmenginginkan sebuah keju.
“”Soal itu,” sang elf
berkata.
Lizard Priest mengangguk
serius. “Mm. Keju adalah susu dari sapi atau domba atau semacamnya, kata mereka
di fermentasi—“
“Bukan itu maksud saya...
Apakah pria itu benar-benar Orcbolg yang terkenal, sang Goblin Slayer? Pria paling
baik hati di perbatasan?”
“Benar.”
“Dia sama sekali tidak
seperti yang di gambarkan.”
Lizard Priest memutar mata
di kepalanya. “Saya mengerti bahwa beliau tampak tidak terlalu mengagumkan
dalam pandangan pertama. Namun apa yang membaut anda berkata demikian?”
“Sepupuku sepertinya
menyukai dia,” Sang elf berkata cemas, terdengar seperti seorang kakak yang
mengkhawatirkan adik kecilnya. “Gadis itu memiliki sifat yang...unik, persis seperti seseorang yang ku
kenal... Erm, kurasa saya tidak perle menyembunyikannya darimu. Gadis itu mirip
sekali denganku.”
“Ho! Jadi begitu, er, eh, bapak
Pengantin,” Dwarf Shaman berkata, terdengar bersemangat kembali seraya dia
mengangkat gelas tanduknya. Anggurnya terasa lemah, namun alkohol tetaplah
alkohol. Alkohol ini masih cukup bagus untuk menyemangati seorang dwarf. “Apa
nggak ada sesuatu yang bisa kamu lakukan untuk sedikit mengekangnya?”
“Kami pernah mencoba untuk
mengajarinya agar dapat bersikap lebih kewanitaan. Menjahit, musik, lagu, dan
lainnya.”
“Apa berhasil?”
“............Kami
menghabiskam dua ribu tahun menjalani rencana itu.”
“Begitu...” Dan ini adalah hasil yang mereka dapatkan. Mereka
bertiga saling bertukar pandang dan menghela bersamaan.
“Tapi menurut saya, dia
bukanlah wanita muda yang buruk.”
“Ya, aku tahunitu.” Jawab
singkat Dwarf Shaman, dan kemudian dia menjulurkan lengannya dan mengambil salah
satu kaki kumbangnya. Dia meminta garam
bahkan seraya dia mengunyahnya, saus berterbangan ke segala arah seraya dia
menikmati makanan itu.
Dia bersendawa keras dan
kemudian meneguk kembali anggur, dan kemudian bersendawa lagi.
“Saya akui ketidakmampuan
dirinya untuk bisa lebih besikap kewanitaan membuat saya resah, dan terkadang
saya berharap dia dapat tenang dan bertingkah sesuai umurnya,” sang elf
berkata.
Lizard Priest menyipit.
“Hmph,” Dwarf Shaman mendengus, seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya
senang dengan ucapan itu. “Selama gadis itu nggak memperlambat kami bapak
Pengantin. Kami akan senang mempunyai gadis itu dalam party kami.
*****
Sebuah dentuman dapat
terdengar, seperti suara air yang terjatuh, dan sebuah cipratan putih dapat terlihat.
Air terjun? Benar.
Namun bukan semacam air
terjun yang menjatuhi permukaan bumi. Bukan semacam air terjun yang berkilau
dalam pancaran matahari.
Ini adalah sungai yang
mengalir di antara rongga-rongga bumi.
Melewati aula besar dan
menuruni banyak tangga, terdapat ruangan besar lainnya.
Adalah sebuah gua batu yang
terkikis oleh air selama ribuan tahun, terbentuk hingga seperti ini. Batu-batu
telah terpoles oleh aliran air tiada henti hingga menjadi gua kapur. Sungguh
mengagumkan untuk melihat stalamit yang menjulang dari bawah dan stalaktit yang
menggantung seperti daun dari atas di dalam hutan hujan ini.
Adalah sebuahnhutan batu.
Sebuah sungai mengalir melewatinya, lengkap dengan air terjun dan sebuah danau
hitam yang dalam.
Danau itu memberikan kelip berwarna
zamrud yang samar.
Namun sumber kelip itu
sendiri tidaklah berasal dari air, melainkan berasal dari lumut.
Lumut, yang memenuhi
hamparan danau, berkelip dengan indahnya.
“Oh... Wow...”
Jadi ini apa yang di maksud
terpana.
Gadis Sapi merinding melihat
pemandangan dunia lain ini, tidak dapat berkata apa-apa. Udara lembab namun
sejuk bawah tanah menghembus tubuh telanjang terbakar matahari yang terbalut
dengan handuk.
Dia melirik ke belakang
untuk melihat seorang elf yang melayani para gadis pergi keluar dengan membawa
pakaian mereka yang telah di lepas.
Gados Sapi menegok ragu
kepada Gadis Guild, yang berdiri di sampingnya.
“A-apa menurutmu nggak
apa-apa bagi kita untuk masuk ke dalam sini?”
“Mereka bilang ini adalah
tempat untuk mandi, jadi saya rasa tidak masalah.”
Mungkin Gadis Guild sudah
terbiasa dengan semua ini, karena tampaknya dia sama sekali tidak memiliki
keraguan tentang memamerkan tubuhnya yang indah.
Gadis Sapi melirik cepat sekitarannya
dan kemudian mencelupkan jempol kaki masuk ke dalam air. Dingin khusus yang di
miliki air bawah tanah mengejutkan tubuhnya. Dia menjerit tanpa sadar,
menyebabkan Priestess tertawa kecil.
“Ini lebih hangat di banding
dengan air yang kami gunakan untuk mandi di Kuil,” Priestess berkata. Dia
memasukkan kakinya yang kurus masuk ke dalam kolam, memejamkan matanya seolah
ingin menyerap semua sensasi yang di rasakannya.
“Kalian para cleric
sepertinya selalu ahli dalam hal-hal seperti ini.” Gadis Guild bergumam dengan sedikit
ketus, yang setelahnya dia juga ikut masuk perlahan ke dalam danau.
Gadis Sapi benci menjadi
satu-satunya yang masih berada di permukaan, membulatkan keberaniannya dan
kemudian masuk dengan cepat ke dalam air.
“Eee... Yi-yikes...!”
Dia merasakan lumut di bawah
kakinya. Dia mengira akan terpeleset karena itu namun dengan cepat dia
menyadari bahwa lumut itu menopang tubuhnya dengan kuat. Airnya terasa dingin
pada awalnya, namun tidak lama baginya untuk mulai terbiasa dan bahkan merasa
sangat nyaman.
Dia berpikir bahwa dirinya
akan baik-baik saja di sjni.
Ini membuatnya berani untuk merendamkan
tubuhnya hingga mencapai pundak; air menopang tubuhnya dan dia mengambang
dengan lembut ke sana dan ke sini dalam pelukan air.
“Ahh...” Gadis Sapi menghela
menikmati dan terdengar begitu santai, wajahnya mulai menjadi merah. Dia
melirik kepada dua gadis, yang memiliki ekspresi sama dengan dirinya. Hal itu
membuatnya tenang.
“Kamu benar, lebih hangat
dari air sumur,” dia berkata. “Kenapa ya?”
“Aku pernah dengar sebuah
cerita kalau ada sungai api yang mengalir di bawah bumi,” Priestess berkata.
Dia memiringkan kepalanya. Mungkin karena
itu. Mungkin High Elf Archer atau Dwarf Shaman dapat menceritakannya.
“Kalian para petualang
memang sesuatu sekali,” Gadis Sapi berkata. “Selalu berpergian ke tempat
seperti ini.”
“Nggak selalu,” Priestess
menjawab dengan senyum ambigu.
Gua, reruntuhan, reruntuhan,
reruntuhan, gua, gua, reruntuhan, gua...
Ketika Priestess mengingat
kembali semua petualangannya, dia menyadari bahwa kebanyakan dari petualangnya bertempatkan di dalam gua atau
reruntuhan. Dan kebanyakan dari reruntuhan yang dia kunjungi berakhir terbakar
hingga rata dengan tanaah, atau di ledakan, atau di isi dengan gas beracun...
“...Yah, nggak selalu.”
Priestess harus berbicara
kepada Goblin Slayer untuk mengevaluasi tindakannya agar lebih berhati-hati.
“Banyak orang yang menjadi
petualang yang berharap untuk menemukan harta karun tersembunyi,” Gadis Guild
berkata. Dia memegang rambut dengan sebelah tangan untuk menjaganya agar tidak
terkena air seraya dia mendengarkan pembicaraan gadis lain. “Kepercayaan di
berikan kepada penjarah reruntuhan tidak bertuan saangatlah berbeda dengan para
petualang mapan.”
“Oh yeah, masuk akal.” Gadis
Sapi mengangguk, air menetes dari ujung rambut pendeknya. “Terkadang orang-orang
berhenti mampir di kebun untuk meminta sesuatu untuk di makan, tapi aku selalu sedikit
takut dengan para pengelana.”
Dan
mau menginap? Jangan harap. Dia melambaikan tangannya.
“Porcelain juga bisa sedikit
menakutkan. Er, tapi nggak terlalu untuk petualang priestess muda.”
“Aku sudah Steel kok,”
Priestess menjawab. Sedikit nada bangga di dalam suaranya membuat Gadis Guild
semakin tersenyum.
Gadis belia (walaupun masih
berumur enam belas tahun) meletakkan tangan di dadanya yang kecil, seolah
kalung peringkat Steel itu berada di sana.
Belumlah lama semenjak dia
lulus wawancara promosi dan naik tingkatan delapan.
“Petualang... yah, petualang
ya,” Gadis Sapi berkata, melihat mengarah Priestess. “Aku jadi ingat seberapa
seringnya aku berpikir untuk menjadi petualang saat aku masih kecil.”
“Kamu kagum pada mereka ya?”
Gadis Guild bertanya, memiringkan kepalanya. Setetes air jatuh dari stalaktit,
menyebabkan riak air kecil di sekitar permukaan danau.
“Er, siapa? Aku? Bu-bukan
petualang semacam itu kok,” Gadis Sapi berkata, mengayunkan taangan dan
menyebabkan riak air semakin bertambah.
“Ahh,” Gadis Guild berkata
dengan anggukkan. “Jadi, permaisuri?”
“Sudah ah.”
“Atau mungkin pengantin pahlawan?”
“Sudah nah!”
Gadis Sapi menenggalamkan
dirinya hingga mencapai pipi seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang tersipu.
Dia duduk di sana tanpa kata, meniup gelembung ke permukaan, seperti gadis
kecil.
Untuk sesaat, satu-satunya
suara di dalammgua ini adalah aliran air sungai bawah tanah.
Coba di pikirkan—apakah
benar-benar tidak biasa?
Bocah-bocah selalu ingin
menjadi pahlawan, atau ksatria, atau pembasmi naga, atau petualang. Para gadis,
tentunya memiliki mimpi tersendiri.
Permaisuri atau perawan kuil,
pengantin cantik. Mungkin, mereka berharap, beberapa peri suatu hari akan
datang untuk membawa mereka ke rumahnya.
Walaupun pada akhirnya, khayalan
hanyalah khayalan, mimpi tetaplah mimpi...
“Tapi...” Satu kata dari
Priestess layaknya setetes air yang menjatuhi danau, bergema di sekitaran
danau. “Kurasa menjadi pengantin bukan hal yang buruk.”
*****
“Aku akan pergi melakukan
persiapan,” Goblin Slayer berkata. Barang bawaan telah di masukkan ke dalam
masing-masing ruangan.
“Huh?” High Elf Archer
berkata. Dia sedang terlentang di antara tumpukan pakaian, terlihat begitu santai.
Beberapa pakian itu berbentuk segitiga terbalik, yang lainnya tampak seperti
mangkuk besar; High Elf Archer memperhatikannya dengan ooh dan ahh.
“Maaf, aku belum
merapikannya,” sang archer berkata.
“Aku di beritahu untuk tidak
menyentuhnya.”
Ucapan High Elf Archer sama
sekali tidak mengandung niat mengejek, namun ucapan goblin Slayer terdengar
dingin.
Goblin Slayer menuruti permintaan
para gadis untuk tidak menyentuh ataupun mengintip bbaju dan pakaian dalam
mereka. Karena itu, dia membawa semua barang bawaan dengan diam khas dirinya.
Pada mulanya, High Elf
Archer, yang duduk di kursi, mengatakan bahwa dia akan membantu—dan inilah
hasilnya sekarang.
“Rapikan sebelum mereka
kembali.”
“...Iya, iya. Aku tahu.”
Goblin Slayer tidak menoleh
mengarah sang archer seraya dia berbicara, menyebabkan High Elf Archer sedikit
mengambek. Adalah dirinya sendiri yang menyebabkan semua menjadi berantakan,
dan dia mengetahui itu, karena itu secara perlahan dia mulai mengumpulkan semua
pakaian dalam.
“Buset, coba lihat yang inu.
Gede banget. Kepalaku bisa muat semua di dalamnya.”
“Janga perlihatkan itu padaku. Dan jangan di
tarik-tarik.”
“Nggak usah khawatir!” High
Elf Archer berkata, namun kemudian dia berdiri.
“Kenapa?”
“Bekerja bikin aku haus. Aku
pikir mungkin kita berdua perlu minum.”
“Begitu.”
Goblin Slayer hanya menjawab
singkat, namun sang archer mengangap itu sebagai persetujuan dari pria itu dan
pergi mengarah ke dapur.
High Elf Archer bergumam hmm dan memperhatikan konten dari rak
(yang merupakan bagianrongga kosong dari pohon).
“Hei, Orcbolg,” dia berkata,
telinganya mengepak, “Apa menurutmu aku perlu buat teh untukmu juga? Sekedar
untuk coba-coba.”
“Kalau kamu memberikannya
padaku, aku akan meminumnya.” Tampaknya dia tidak mencoba untuk menyelediki
tawaran itu.
Hmm,
High Elf Archer bergumam kembali, terdengar kecewa. Tidak
lama kemudian dia bersiap untuk membuat teh.
Pertama, dia mengambil
beberapa herba dan rempah, yang di ambilnya secara acak, dan mulai mengirisnya
dengan pisau obsidian besar. Memperhatikan besar ukurannya, dia memasukkan semua
ke dalam cangkir yang terbuat dari buah pohon ek yang telah di bersihkan. Dan
kemudian dia mmenuangkan air ke dalamnya.
Botolnya terbuat dari
mithril, sebuah benda unik yang dapat menjaga air tetap dingin dalam jangka
waktu yang lama.
Para dwarf menganggap baja
adalah pelayan mereka dan mithril adalah teman mereka, namun akan salah jika
berpikir bahwa para elf tidak memahami metalurgi itu sendiri. Itu karena, apa
yang berasal dari dalam lipatan bumi adalah bagian dari alam juga. Sang elf
dengan helm berkilau mungkin akan berkata, “Mereka telah mengubah bentuk mereka
sendiri demi kami.” (TL Note : “mereka” di sini maksudnya adalah mithril dan
semua metal yang berasal dari bumi.)
Biasanya, akan membutuhkan
waktu yang cukup lama untuk membuat teh dingin, namun di lahan ini, waktu yang
di butuhkan sangatlah singkat. Elf manapun, jika mereka bukan seorang pembaca
mantra, dapat membuat permohonan, dan alam-pun akan menuruti kemauan mereka.
High Elf Archer telah
membuat beberapa gerakan melingkar di udara dengan jari telunjuknya, air di
dalam cangkir sudah mulai berubah warna.
Dia menawarkan salah satu
cangkir kepada Goblin Slayer, yang sedang duduk di lantai dan membongkar barang
bawaannya.
“Aku nggak bisa janji soal
rasanya loh.”
“Oke.” Goblin Slayer
berkata, mengambil cangkir. Dengan gerakan yang sama, dia meneguknya habis
melewati celah pada helmnya. “Selama ini bukan racun, aku nggak keberatan.”
“Ihh, Aku jadi malu.”
“Aku tidak punya maksud
lebih dari apa yang aku ucapkan,” Goblin Slayer berkata acuh. “Aku nggak
bermaksud memujimu.”
Dengan dengusan, High Elf
Archer duduk di kursi, membiarkan kakinya menggantung. Dia menyeruput tehnya,
menghiraukan jamur yang bergoyang menopang tubuhnya.
“Hei, ini enak juga,” dia
berkata, seraya berkedip. Kemudian dia menyeringai layaknya seekor kucing.
“Jadi, kamu lagi ngapain Orcbolg?”
Goblin Slayer tengah duduk
di lantai, melakukan suatu pekerjaan.
Dia mengeluarkan tiga lembar
kulit sapi dan menumpuknya seolah seperti dia akan membuat tali. High elf
Archer turun dari kursinya dan memperhatikan dari balik pundak Goblin Slayer,
memperhatikan gerakan rumit dari jari pria itu. Gerakannya yang gelisah
merupakan karakteristik tersendiri dari sang archer.
“Kamu ingat goblin champion
itu?”
“...Ya.”
Bagi Goblin Slayer,
pertanyaan itu hanyalah pertanyaan biasa, namun pertanyaan itu membuat High Elf
Archer mengernyit pahit.
Itu bukanlah pertarungan
yang ingin dia ingat. Kekalahan pahit di dalam labirin di bawah kota air telah
menjadi ingatan buruk baginya.
“Itu baru setahun yang lalu.
Bagaimana bisa aku melupakannya? Membuang ingatan itu dari kepalaku akan
membutuhkan paling nggak beberapa abad.”
“Ini sesuatu benda kecil
yang aku siapkan untuk melawan sesuatu seperti itu, atau goblin paladin yang
kita hadapi.”
“Hmmm...”
Goblin Slayer bekerja secara
mekanikal, menjahit lembaran itu bersama. Tiga lembar itu terlihat sulit untuk
di hancurkan.
“Aku mungkin bilang ini sesuatu yang sangat kecil. Itu kan cuma
tali.”
“Aku akan mengikatnya pada
ujung sebuah batu besar.”
Tali itu cukup panjang.
Panjangnya mungkin sekitar tiga meter ketika telah selesai.
Tetapi, bagi High Elf Archer,
duduk dan dengan tenang menjahit lembaran kulit menjadi satu tidak terlihat
seperti petualangan sama sekali.
“...Aku kagum melihatmu
membuat sesuatu yang besar gitu.”
“Mereka nggak menjualnya di
toko mana-pun.”
“Bukan itu juga yang ku
maksud.” High Elf Archer menghela, ucapannya setengah serius dan setengah
sarkasme. Kemudian helaan kedua. “Kalau aku yang membuatnya—“ Dia mengambil
salah satu ikatan yang berada di tangan Goblin Slayer, bersama dengan beberapa
permata ketapel dari barang bawaan Dwarf Shaman. “Kurasa aku akan melakukannya
seperti ini!”
“...Apa itu?”
Alih-alih menjawab, High Elf
Archer meletakkan jarinya di tengah-tengah ikatan dan mulai memutarnya. Batu
yang berada di ujung, berayun melebar, bersiul di udara.
“Dengar suaranya?”
“Ya. Memangnya kenapa?”
“Ini menyenangkan!”
“...Hrm.”
Goblin Slayer memutar helm
baja, mencoba mengikat sebuah batu berat pada ujung rajutan lembaran kulitnya.
Dia menyusuri jarinya hingga
mencapai ujung ikatan, menggenggam talinya; dan memberikan ayunan untuk
memeriksa beratnya.
Dia pasti menyukai rasa yang
di dapatnya dari ayunan itu, karena dia membungkus batu itu dengan talinya, dan
meletakkan hasil akhirnya.
“Aku berencana utnuk membuat
beberapa dari ini. Aku pernah melihat benda semacam ini sebelumnya.”
Baguslah. Kalau gitu, aku
minta satu!”
“Mau ambil yang baru saja ku
buat?”
“Nggak! Aku mau yang lain!”
“Baiklah.”
Mungkin ini di karenakan
High Elf Archer benar-benar terhanyut dalam kegembiraan yang di rasakannya pada
saat itu. Atau mungkin, dapat kembali pulang ke rumahnya setelah sekian lamanya,
membuat dirinya sedikit tidak waspada.
Apapun alasannya, sesuatu yang
biasanya tak akan pernah terpikirkan oleh dirinya, telah terjadi.
Ahem.
High Elf Archer benar-benar
tidak menyadari seseorang yang berdiri di pintu sampai dia dapat mendengar
batuknya.
“Bolehkah saya bertanya apa
yang sedang terjadi di sini...?”
Suara itu terdengar merdu
bahkan di saat dia terlihat kesal. Tidak di ragukan lagi, pemilik suara itu
memiliki telinga berbentuk daun.
Adalah seorang wanita
bermata emas dan rambut terurai bagaikan bintang yang tersebar. Tampak
jelas Kebangsawanan yang di embannya
dalam sekali tatap. Tubuh pucatnya, terbalut dengan gaun dengan helaian benang
silver, begitu anggun dan tinggi.
Buah dada yang menonjol dari
balik pakaiannya, memberikan kesan makmur.
Terkadang seseorang jauh
melampaui deskripsi bukanlah di karenakan perangkaian kata yang salah,
melainkan di karenakan dia jauh melebihi imajinasi.
Permaisuri hutan, kepalanya
memakai mahkota bunga, dengan ekspresi
yang begitu kalem.
High Elf Archer melonjak
berdiri.
“Ap-ap-ap-ap-apaaaaa?! M-mbak?!
Kenapa kamu ada di sini?!”
“Apa salahnya saya berada di
sini? Saya dengar kamu telah datang untuk merayakan ini bersamaku, jadi saya
pikir untuk menyambutmu...”
“Err, ha-ha... In-ini,
maksudku, ini nggak seperti apa yang terlihat...”
“Banyak sekali persediaan
pakaian dalam tidak senonoh yang kamu bawa.”
“Oh,
mbak, kamu tahu tentang pakaian dalam?” High
Elf Archer bergumam, ucapannya tak akan meleset dari telinga panjang kakaknya.
“Memangnya kenapa?” Sang
kakak bertanya, membuat High Elf Archer terbata-bata.
“Er, uh, ini bukan
punyaku—ini punya temanku kok.”
“Kalau begitu, tingkahmu
justru lebih memalukan. Mengobrak-abrik barang orang lain.”
“Awww...”
“Karena itu, kamu—“ Dan
sekali ucapan itu di mulai, ucapan itu mengalir layaknya arus, layaknya sebuah
puisi apik.
“Kulitmu kusam. Rambutmu
berantakan. Apa kamu sudah lupa dengan tata krama? Apa kamu benar-benar sudah
merawat diri dengan baik?”
“Saya tahu betapa
berbahayanya berpetualang itu, dan saya tahu akan betapa cerobohnya kamu, apa
kamu benar baik-baik saja?”
“Saya bertanya apa kamu
menghindari quest-quest aneh, dan mengeluh ketika kamu mengambil sebuah quest?”
“Karena, konon katanya di
segala macam dunia, bahkan demon-pun merupakan peringkat kedua setelah manusia
dalam merencanakan rencana jahat.”
“Berapa kali saya harus
memberi tahumu untuk mendengarkan ucapan orang lain dengan baik dan kemudian
berpikir sebelum bertindak?”
Pada akhirnya, sang elf
dengan mahkota bunga, yang memberikan teguran kepada adik kecilnya dengan
begitu elegan dan kalem, telah
tersadarkan.
“Sungguh tidak sopan sekali
tindakan saya.”
Goblin Slayer tidak segera
berbicara. Dia memutar helm bajanya mengarah sang elf, terdiam beberapa saat
lagi, dan akhirnya menggeleng kepala dan berkata, “Nggak masalah.”
Sang elf dengan mahkota
bunga, menyadari bahwa adiknya telah sekali lagi merapikan pakaian kumpulan
pakaian dalam, dan menghela kecil.
“Dan...anda,” dia berkata,
matanya menyipit dan debuah denyum tersirat pada bibirnya, “tentunya adalah
Orcbolg.”
“Gadis itu menyebutku
seperti itu.”
Ah,
jadk memang anda.sang elf menepuk tangan.
“Saya sadar bahwa tentunya
anda tidak seperti yang di umbarkan dalam lagu mana-pun.”
“Lagu adalah lagu,” Goblin
Slayer berkata, menggeleng kepalanya. “Dan aku adalah aku.”
“Hmm...” pfft. Tawanya terdengar seperti
dentingan lonceng. Persis seperti High Elf Archer. “Terima kasih karena selalu
menjaga adik saya. Saya harap adik saya tidak banyak merepotkan anda?”
“Hmm,” Goblin Slayer
bergumam, tatapannya mengarah kepada High Elf Archer.
Telinga High Elf Archer
melemas.
“Nggak,” akhirnya dia
berkata, dengan gelengan kepala perlahan. “Dia sudah banyak membantu.”
Hal ini membuat telinga sang
ranger kembali berdiri,
“Jika anda bertemu dengan
ranger, tracker, atau scout dan semacamnya yang lebih pantas, jangan ragu untuk
menyingkirkan adik saya.”
“Kapabilitas bukanlah
satu-satunya—“
Namun Goblin Slayer terhenti
di tengah kalimatnya.
“Hmm?” High Elf Archer
memiringkan kepala. Perilaku yang seperti itu merupakan sesuatu yang janggal
bagi pria itu. “Kenapa Orcbolg?”
“Hmm. Nggak apa-apa.”
Hmmm?
High Elf Archer heran, mengikuti arah pandang pria itu.
High Elf Archer melihat
seorang gadis pelayan—tidak perlu di katakan lagi, seorang elf juga—yang
berlutut dan menunggu.
Dia tertutupi oleh bayangan,
dan rambutnya panjang sebelah di satu sisi kepalanya.
“Ah, dia...” elf bermahkota
bunga tampak tidak dapat berbicara.
“Aku tahu.”
Jawaban singkat itu membuat
pundak sang gadis pelayan bergetar kaget. Goblin Slayer berdiri dan berjalan
sigap mengarah gadis itu.
“Hey, uh, Orcbolg?”
Dia menghiraukan upaya High
Elf Archer untuk menghentikannya, dan dia-pun berhenti di depan sang pelayan. Dan kemudian tanpa ragu, Goblin Slayer
berlutut hingga mereka dapat saling bertatap muka.
“Aku membunuh mereka.”
Sang pelayan menatap
kepadanya, tatapannya berkaca-kaca. Goblin Slayer mengangguk dan kemudian melanjutkan:
“Aku membunuh mereka semua.”
Mendengar itu, setetes air
mata berlinang dari mata kiri wanita itu dan mengaliri pipinya.
Rambutnya yang bergeser
menunjukkan bagian kanan wajahnya. Bengkak yang dulu di deritanya sekarang
telah hilang.
Wanita itu dulunya juga
merupakan seorang petualang.
(TL NOTE : Bagi yang bingung
siapa wanita ini, dia adalah elf yang tertangkap di menara ogre pada vol 1 ch
7.)
*****
“Seperti dugaan saya. Dia
yang sudah menolong dirinya.”
Hembusan angin lembut
bertiuo berlalu, mengibaskan rambut High Elf Archer. Udara dari hutan ini.
Udara dari rumahnya.
Dia menghirup dalam, mengisi
keseluruhan dada kecilnya dengan udara sebanyak yang dia mampu, kemudian dia
menjawab, “Orcbolg nggak sendirian tahu.”
“Ya, saya mengerti itu.”
Salah satu pintu di ruang
tamu mengarah pada sebuah balkoni. Balkoni ini terbentuk dengan ranting besar
yang terhubung dengan akar yang terajut bersama hingga menjadi tempat mereka
berdiri saat ini.
Arsitektur seperti ini hanya
bisa di temukan di dalam bangsa elf, namun apa yang benar-benar perlu di
perhatikan adalah pemandangan di depannya.
Desa elf ini terletak di
lahan terbuka di tengah lautan pepohonan, seperti atrium raksasa.
Dari sini, segalanya dapat
terlihat secara sekaligus—di sini, seseorang dapat merasakan deru angin yang
bertiup dari segala penjuru.
Status kakaknya sebagai
permaisuri elf telah membuat High Elf Archer tidak menyadari bahwa selama ini
mereka mempunyai ruang tamu seperti ini.
Mereka telah meninggalkan
gadis pelayan bersama Goblin Slayer; ini tampaknya merupakan tempat terbaik
untuk menghabisi waktu seraya menunggu gadisnitu berhenti menangis.
Sang elf dengan mahkota
bunga menahan rambutnya yang tertiup angin dan berputar perlahan mengarah High
Elf Archer.
“Kamu menyelamatkan gadis
itu. Kamu dan temanmu.”
“Aku harus melakukan sesuatu
agar ada yang bisa aku banggakan.”
Itu karena, dia telah
meninggalkan hutan ini atas kemauannya sendiri. Dia menghela bangga.
Menjawab itu, sang elf
dengan mahkota bunga menyipitkan matanya mendengar ucapan sang adik. Dia bertopang
siku pada akar yang menjadi pagar, bertumpu pada itu.
“Dan sekarang kamu
mempunyainya,” dia berkata. “Apa sudah cukup?”
“Cukup apa?”
“Kuchukahatari. Berpetualang.”
Telinga High Elf Archer
sedikit berkedut.
“Kamu melalui begitu banyak
mara bahaya hanya untuk hadiah yang tidak seberapa, benar kan?”
“Er, iya...”
Tidak ada lagi yang perlu di
katakan. Status para petualang mungkin memang di jamin oleh raja manusia, namun
tetap saja mereka adalah perusahaan tentara bayaran. Yang berkelana ke dalam
kegelapan dengan senjata di tangan, menebas dan melibas, berlumur lumpur dan
darah.
Kehidupan dan kematian
berjalan berdampingan dalam profesi ini.
Semenjak dia meninggalkan
rumahnya, High Elf Archer telah terjun mengalami semua ini.
“Dan lagi permasalahan
tentang rekanmu. Lizardman tidak terlalu masalah, tetapi aku tidak bisa
menyetujui kamu berada di dekat seorang dwarf siang sampai malam.”
“Bukankah kamu anak
perempuan dari kepala suku elf, biarpun kamu nggak selalu bertingkah seperti
itu?”
High Elf Archer mengernyit
mendengar ceramah ini.
Wanita itu memang benar
adalah permaisuri elf, namun di sini dia melakukan pekerjaan kotor para
manusia. Dan juga bersama dengan seorang dwarf.
High Elf Archer mengetahui
bagaimana cara bertingkah seorang adik perempuan dalam situasi seperti ini. Dia
seharusnya memiliki keteguhan hati selama dua ribu tahun ini untuk tidak
serta-merta merengek dan mengeluh.
“Tentunya, tidak ada—“
“Nggak! Nggak ada sama
sekali.”
Walaupun upayanya yntuk
tetap bersikap tenang, dia tidak dapat menahan tawanya mendengar ini.
Benar, beberapa lagu cinta
jaman kuno mengandung kisah percintaan antara elf dan dwarf, namun tidaklah
salah jika berkata bahwa lirik seperti itu sama sekali tidak menggambarkan
adiknya.
Seraya adiknya tertawa dan
melambaikan tangannya menepis hal itu, sang elf dengan mahkota bunga menghela
sedih.
“...Dan juga ada dia.”
“Orcbolg?”
“Ya.”
Dia mengangguk, tatapannya
mengarah pada cakrawala. Hutan tampak membentang sejauh mata memandang di balik
desa ini. Pepohonan ini telah tumbuh semenjak Jaman para Dewa.
Dedaudan bergemirisik lembut
dengan setiap hembusan angin, dan kepakan sayap burung dapat terdengar.
Terdapat kumpulam flaminggo
jingga. Kelam malam mulai menyelimuti hutan.
“Aku kira dia akan seperti
pahlawan yang ada di dalam lagu.” High Elf Archer berkata, angin membelai
bibirnya seraya dia tersenyum lembut.
Raja
goblin telah kehilangan kepalanya dengan serangan kritikal di momen genting!
Api
membara, baju besi Goblin Slayer berkilau dalam kobaran api
Dengan
demikian, rencana jahat raja goblin telah sirna, dan permaisuri cantik telah
terselamatkan oleh temannya.
Tapi
dialah Goblin Slayer! Tidak memiliki tempat, bersumpah untuk berkelana tanpa
seseoorang di sisinya.
Ini
hanyalah harapan kosong yang di temui oleh permaisuri yang berterima kasih—kala
dia menyadari bahwa goblin slayer telah pergi, tanpa berpaling.
High Elf Archer melantunkan
lirik dengan angin sebagai pendamping. Adalah sebuah lagu keperkasaan. Kisah
akan seorang pahlawan perbatasan yang bertarung dengan goblin seorang diri.
Pembunuh iblis kecil: Goblin
Slayer.
Walaupun dengan nadanya
datar, seraya angin menggiring lagu, entah mengapa lagu tersebut terdengar
begitu memilukan.
Sang elf dengan mahkota
bunga mengepak telinganya seolah ingin mengenyahkan bunyi itu dari udara.
“...Dia sama sekali tidak
seperti yang di nyanyikan.”
“Yah, itu kan cuma lagu.”
High Elf Archer mengangkat jari telunjuk dan menggambar lingkaran di udara.
Lagu
ya lagu, dan dia adalah dia.
“Tapi,” dia berkata, “Aku
akui kalau pedang mithril itu sedikit berlebihan.”
Elf bermahkota memejamkan
matanya seraya adiknya tertawa kecil. Jika ada seorang pria yang berada di
sini, tentunya dia akan bersujud agar dapat mengenyahkan segala kesedihannya.
Seorang permaisuri dari high
elf harus menjadi panutan dari keindahan di segala waktu dan tempat.
“Kenapa kamu bersama dengan
pria seperti itu?”
“Kenapa? Mbak, itu—“
Kenapa
aku bersama dengannya?
Hmm.
Pertanyaan itu membuatnya berpikir, High Elf Archer duduk
di atas pagar.
Dia menendang kakinya ke
depan dan mencondongkan tubuhnya ke belakang, membuat kakaknya membuka lebar
matanya kembali.
Akan tetapi, High Elf Archer
menghiraukannya. Mereka sudah seperti ini selama dua millenia. Untuk apa di
khawatirkan lagi sekarang?
Kira-kira
kenapa ya.
Pada awalnya, adalah karena
dia membutuhkan seseorang untuk membasmi goblin. Dia menjadi semakin tertarik
karena pria itu merupakan manusia berbeda yang belum pernah di lihatnya, dan
kemudian...
“Karena yang di lakukan itu
cuma bertarung melawan goblin, makanya sudah jadi urusanku untuk menunjukkan
petualangan yang sesungguhnya, sekali saja dalam kehidupannya.”
Benar, tampaknya itu adalah
alasannya. Dan dengan itu dia menjadi semakin terjerumus dalam pembasmian
goblin dan berpetualang. Dia menghitung dengan jarinya dan menyadari bahwa dia
telah berpetualang bersama pria itu selama lebih dari satu tahun.
“Semakin aku mengenalnya,
semakin nggak ingin aku membiarkannya sendiri. Aku itu...semacam nggak pernah
bosan dengannya? Mungkin karena itu. Itu saja.”
“...Dan karena itu kamu
terus melanjutkan untuk pergi membasmi goblin?”
“Sesekali saja.”
Tiba-tiba High Elf Archer
menganggkat kakinya ke atas, berjungkir ke belakang hingga dia menggantung
terbalik di pagar seperti kelelawar, yang di mana sang kakak menatap adiknya.
High Elf Archer menyeringai layaknya kucing.
“Dan aku akan pastikan dia
untuk berdiri di garis depan pada petualangan sesungguhnya.”
“Kamu tahu...” sang elf
dengan mahkota bunga berkata, suaranya bergetar seraya dia melirik cepat menuju
ruang tamu, ”...akan jadi seperti apa semua ini, bukan?”
High Elf Archer tidak
membiarkan senyum ambigunnya sirna dari parasnya. Ataupun menjawab.
Dia tidak hharus menjawab:
kesengsaraan bagi seorang elf yang merasa kehidupan adalah beban tidak perlu di
jelaskan.
“Kalau begitu kenapa...?”
“Masing-masing dari kita
Cuma punya satu nyawa, mbak.” High Elf Archer berkata, kembali naik dan duduk
tegak. Dia menepuk tangan untuk membersihkam debu, membiarkan angin meniup
rambutnya seraya dia mengangguk. “Manusia, elf, dwarf, dan lizardman nggak ada
beda. Dalam hal itu kita semua sama kan?”
“Apa mungkin kamu...?”
Namun sebelum elf dengan
mahkota dapat menyelesaikan ucapannya, sebuah ledakan besar seolah berasal dari
kedalaman bumi.
Suara itu, tidak seperti halilintar,
menyebabkan kerumunan flaminggo terbang ke udara dengan panik.
Pecahan pohon terus
terdengar, bersama dengan kabut debu.
“Tiarap mbak!”
“Hwha?!”
High Elf Archer dengan
sekejap bergerak untuk melindungi kakaknya. Secara insting dia berusaha
menggapai punggungnya, namun busur besarnya berada di dalam ruang tamu.
Dia menjentikan lidah, namun
kemudian telinganya berkedut, dan sebuah senyum dapat tampak di ujung bibirnya.
Dia mengangkat tangan, dan dalam
sekejap, sebuah busur jatuh di atas tangannya.
“Apa yzng terjadi?”
“Kalau bisa jangan lempar
senjata orang dong.”
Dia bahkan tidak perlu
berputar.
Akan ada seorang pria di
sana, dengan helm baja yang terlihat murahan dan armor kulit kotor, pedang dengan
kepanjangan aneh pada pinggul dan sebuah perisai bundar kecil yang terikat di
lengannya.
Goblin Slayer, dengan armor
lengkap, keluar dari ruangan dengan tenang seperti biasanya.
“Apa goblin?”
“Aku nggak tahu.”
Goblin Slayer melempar
tempat panah kepadanya, dan High Elf Archer dengan cepat mengikatnya pada
pinggul, telinganya berkedut.
“Tolong... Jaga kakakku.”
“Baik.”
Goblin Slayer mengeluarkan
sebuah ketapel dari tasnya dan memuat batu ke dalamnya. Dia berlutut sebelah
kaki, melindungi kepala elf bermahkota dengan perisainya.
“Tetap tiarap. Merayaplah
kembali ke dalam ruangan.”
“La-lancang sekali kamu
menyuruhku tiarap...?!”
“Kalau ada goblin di sini,
mungkin ada pemanah di antara mereka.”
High Elf Archer mencuri
lirik mengarah kakaknya yang tak bisa berkata apa-apa, menyeringai begitu
lebarnya, kemudian dia melompat dan berdiri di atas pagar balkoni.
Dia dapat menjaga
keseimbangannya dengan begitu mudah, dan kemudian dia melompat kembali. Dia
memanjat batang pohon besar dan kemudian pergi menuju ujung salah satu cabang
raksasa itu. Tubuhnya sangatlah ringan sebagaimana mestinya kaum elf, tidak
sedikitpun mematahkan ranting ataupun mengusik dedaunan.
“...Mm... Hmmm?!”
Kemudian matanya terbelalak.
Dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya.
Adalah hewan liar rakdasa.
Berpijak di bumi dengan kaki sebesar pillar, dan gerakan ekornya menimbulkan
suara seperti udara yang tercabik.
Sesuatu seperti sebuah kipas
mencuat dari punggungnya, dan tubuhnya, yang lebih tebal dari dinding, di
lapisi dengan kulit yang keras.
Makhluk itu menumbangkan
pepohonan dengan tanduk yang seperti tombak, dan punggungnya, yang terlihat
seperti sebuah singgasana, pasti setidaknya setinggi 15 meter.
Makhkuk itu memutar lehernya
yang seperti tali panjang, membuka mulut besar bertaringnya.
“MOOOKKEEEEEEELLLLL!!”
“Hmm,” Goblin Slayer
berkata, melihat makhluk itu dari bagian ujung dalam balkoni seraya udara
bergetar. “Jadi itu yang namanya gajah.”
“Bukan!” High Elf Archer
berteriak menjawab.
Ini adalah kali pertamanya
melihat makhluk seperti ini. Namun setiap elf yang di besarkan di dalam hutan
hujan pasti mengetahuinya.
“Emera
ntuka, mubiel mubiel, nguma monene!” pembunuh makhluk air,
makhluk dengan kipas pada punggungnya, Sultan dari para naga.
Dengan kkata lain...
13 Comments
Kami masih berharap darimu min
BalasHapusMasih terus jalan kok mas, tenang aja :D
Hapusterimakasih terjemahannya
BalasHapusSama2 mas :D
Hapusterima kasih banyak
BalasHapusSama2 mas :D
HapusTerima kasih, semoga selalu diberi kesehatan. Aamiin
BalasHapusAmin mas.... :)
HapusTerjemahan ny bagus, masuk di tiap karakter .. terimaksih
BalasHapusCuma bbrp panggilan kehormatan ny diterjemakan jd rada geli2
Terima kasih banyak mas 😁.
HapusBtw panggilang kehormatan yang mana ini?
Love u min
BalasHapusSemangat terus, terima kasih #shirou
BalasHapusMakasih... Dan semangat terus min
BalasHapusPosting Komentar