PENJELAJAHAN HUTAN
(Translator : Zerard)
Kicauan
seekor burung, cuit-cuit-cuit. Cahaya
matahari yang menembus jendela. Sebuah atmosfir yang hanya dapat di temukan di
dalam hutan.
Itu
semua akan cukup untuk membangunkan Gadis Sapi dari tidurnya, namun sebenarnya bukan
karena hal itu yang membuatnya terbangun.
“Mmm,
hggh—ahhh….”
Dia
mengesampingkan selimutnya, mengejangkan tubuhnya. Udara dingin pagi begitu
terasa nyaman pada tubuh telanjangnya.
Akan
tetapi, dia tidak memiliki waktu untuk menikmatinya.
Satu
hal yang telah membangunkannya dari tidurnya.
Klang, klang. Adalah
suara metal bergesekan yang dapat terdengar dari kamar tamunya.
“…Baiklah!”
Gadis Sapi memberikan dirinya sendiri tepukan pada masing-masing pipinya,
kemudian beranjak untuk menutupi dadanya yang ranum dengan pakaian. Dia menarik
celana dalamnya dengan terburu-buru, mengencangkan bagian bawah bajunya, dan
kemudian…
Celanaku! Celanaku kenapa…?
Dia
tidaklah gemuk, namun entah mengapa dia tidak dapat mengenakan celananya.
Jarinya terpeleset, mungkin di karenakan buru-buru.
“Ohh,
yang benar…!”
Dia
menjentikkan lidahnya dan memutuskan bahwa itu bukanlah sesuatu yang harus dia
khawatirkan. Kemudian, dia mendorong pemisah yang memisahkan dirinya dengan
ruang tamu, menggunakan hanya bajunya dan beberapa pakaian dalam.
“Se-selamat
pagi!”
“Hrm…”
Seperti
dugaannya, pria itu berada di sana.
Dia
menggunakan helm baja yang terlihat murahab dan armor kulit kotor, pedang
dengan panjang yang aneh di pinggul dan perisai bundar kecil yang terikat di
lengan kirinya.
Dia
juga membawa sebuah tas dengan berbagai macam benda; dia terlihat seperti akan
bersiap untuk pergi.
Gadis
Sapi bergumam “Umm” atau semacamnya untuk mengalihkan perhatian pria itu dan
kemudian memeluk kedua lengannya sendiri. “….Apa kamu sudah mau pergi?”
“Sarang
goblin sudah hampir dapat di pastikan ada di hulu,” dia berkata, mengangguk
sigap. “Kalau mereka menumpahkan racun di sungai, itu akan menjadi akhir
semuanya.”
“Yeah,
itu bakal buruk banget,” Gadis Sapi berkata dengan senyum ambivalen. Kepalanya
penuh dengan cuaca, dan matahari, dan pamannya. Yang terus mengiang…
“Er,
yah… Hati-hati, oke?”
Hanya
itu yang dapat keluar dari mulutnya—kata-kata yang begitu dangkal, dan
basa-basi.
Dia
mengangguk dan menjawab. “Baik.”
Kemudian
dia melangkah menuju pintu dengan sigap.
Seraya
Gadis Sapi memperhatikannya pergi, Gadis Sapi membuka mulutnya beberapa kali,
namun setiap kali, dia menutupnya kembali tanpa mengatakan apapun.
“Kamu
juga…” Dengan tangan di pintu, dia menggeleng kepala perlahan. “Kalian semua.”
Kemudian
terdengar suara pintu terbuka, dan suara lainnya pintu tertutup.
Gadis
Sapi menghela. Dia menekan wajahnya dengan tangan dan kemudian berpindah ke
rambut.
Oh, yang benar… Gerutu
pelan terlepas dari bibirnya.
Tiba-tiba,
terdengar suara gesekan sebuah pakaian dan suara di belakangnya.
“…Apa
dia sudah pergi?”
“…Yeah.”
Gadis Sapi mengangguk kecil dan kemudian menggosok wajahnya. Akhirnya, dia
berputar perlahan. “Apa kamu berharap untuk mengucapkan selamat jalan?”
Gadis
Guild, masih dalam pakaian malamnya, begumam, “Tidak juga,” dan menggaruk
pipinya canggung. Dia tersenyum lemah. “Saya tidak…ingin dia melihatku sebelum
saya menggunakan wajah biasaku.”
“Aku
mengerti sih, tapi…”
Gadis
Guild mungkin sedang tidak menggunakan dandan dan belum merapikan rambutnya.
Akan tetapi, sejauh Gadis Sapi melihat, Gadis Guild masih sangatlah cantik.
Tetap
saja, dia dan Gadis Sapi hampir seumuran. Gadis Sapi mengetahui apa yang dia
rasakan, bahkan sangat menyadarinya. Akan tetapi, walaupun begitu…
“Saya
ingin dia dapat melihat saya sebagaimana mestinya.”
“……..Saya
iri dengan keberanianmu,” Gadis Guild berkata, entah mengapa terlihat sedih.
Gadis
Sapi mencoba untuk mengalihkan Gadis Guild dengan lambaian tangan menyudahi.
“Aku Cuma berusaha untuk nggak memikirkannya, itu saja.”
Tidak
satupun dari mereka berdua yang mengatakan apa yang tidak ingin mereka
pikirkan:
Karena
masing-masing dan setiap perpisahan dapat menjadi yang terakhir.
****
Pelabuhan
elf: sebuah perkumpulan dedauanan yang berkumpul di sungai hingga menjadi
sebuah jembatan, para petualan berkumpul.
“Mm…
Hmmm…” High Elf Archer menyipit layaknya seeekor kucing dan menguap besar; dia
masih setengah mengantuk. Tetapi, petualang lainnya, tengah sibuk memuat barang
bawaan ke dalam perahu.
Perahu
kaum elf adalah kapal berbentuk air mata, terukir dari akar silver dari pohon
betula putih yang sangat elegan.
“Naik,
dan turun, dan hup, dan oh!”
Dwarf
Shaman sedang sibuk menyusun papan kayu di sekitaran bibir perahu sebagai
perisai, mengubah perahu kecil ini menjadi kapal perang.
“…Apa
mereka tidak bisa membuat ini sedikit lebih…cantik?” sang elf dengan pelindung
kepala berkilau bertanya, terlihat tidak menyukai.
“Sayang
pemulung nggak bisa pilih-pilih. Kita nggak punya banyak kapal, dan aku
memasangnya dengan buru-buru. Kita nggak punya waktu untuk memikirkan
penampilannya.” Dwarf Shaman mendengus kesal dan membelai jenggot putihnya.
“Dan aku juga nggak senang menggantungnya seperti ini.”
Adalah
hal yang berbeda jika mereka mempunyai waktu, namun di saat mendesak, hanya
inilah yang dapat mereka lakukan. Sang elf memahami ini, karena alih-alih
melanjutkan keluhannya, dia menggapai tangannya mengarah angin.
“O peri, sang angina perawan,
berikanlah aku ciumanmu yang paling menawan—berkahilah kapal kami dengan
hambusan angin berkawan.”
Terdengar
siulan angina yang menghebus di saat elf itu melantunkan mantranya dan mulai
bertiup di sekitara perahu.
“Saya
memiliki sedikit hubungan dengan para peri di karenakan saya seorang elf, namun
saya masihlah tetap seorang ranger, tracker. Saya mohon kalian untuk tidak
mengharapkan sebuah keajaiban.”
“Percaya
sama aku, aku nggak mengharapkan apapun.” Dwarf Shaman berkata dengan senyum
seringai dan meilirik dari ujung matanya menagrah High Elf Archer. “Semua orang
jago dalam beberapa hal…dan nggak pada
lainnya.”
“…Huuuaaaa…”
High Elf Archer kembali menguap dan menggosok matanya, telinga panjangnya
melemas. Tampaknya dia tidak akan bangun sepenuhnya untuk beberapa waktu ini.
“Dan
di mana kakaknya?” Dwarf Shaman bertanya.
“…Tampaknya
kedua saudari ini berbicara hingga larut malam.”
“Masih
hanyut dalam mimpi eh?”
Sang
elf dengan pelingdung kepala berkilau menghela, kemudian mengernyitkan alisnya
seolah kepalanya sakit. “Manusia itu cukup rajin… Adik gadis baruku bisa
belajar sesuatu dari mereka.”
Dia
sedang melihat kepada dua orang cleric, yang sudah berada di atas perahu dan
mempersembahkan doa mereka kepada dewa.
“O Ibunda Bumi yang maha
pengasih, dengan tanganmu yang agung. Bimbinglah jiwa-jiwa yang telah pergi
meninggalkan dunia ini…”
“O domba agung yang berpijak
pada Cretaceous, berkahilah kami dengan lantunan panjang lagumu pada
pertarungan!”
Priestess
sedang menggenggam tongkatnya dan memohon kepada Ibunda bumi untuk menjaga
mereka tetap aman dalam petualang.
Lizard
Priest sedang membuat gerakan aneh dengan kedua telapak tangan dan meminta
bantuan kepada leluhurnya dalam pertarungan yang akan datang.
Walaupun
ini bukalan permintaan keajaiban yang sebenarnya, tidak perlu di ragukan bahwa
perlindungan para dewa akan menyertai mereka.
“Phew…”
Selesai dengan doanya untuk saat ini, Priestess berdiri dan mengelap keringat
di dahinya seraya perahu bergoyang perlahan di atas arus. “Aku nggak yakin
kalau kita harus memohon pada dewa untuk hal seperti ini. Kita harusnya mencoba
sendiri sampai kita mengetahui batasan yang tidak kita mampu atasi.” Priestess
terlihat seperti akan terjatuh; sebuah tangan bersisik membantunya, dan Lizard
Priest mengangguk.
“Saya
rasa tidak ada salahnya untuk memohon. Mengapa harus berdoa kepada dewa yang
tidak akan memberikanmu kemenangan bahkan setelah anda mempertaruhkan segalanya
dalam sebuah pertempuran?”
“Aku
rasa itu sedikit berbeda dengan apa yang aku maksud.”
Salah
satu dari mereka adalah cleric yang taat dan pelayan Ibunda Bumi.
Sedangkan
satunya adalah seorang Lizard Priest yang menghormati leluhurnya, para naga
yang menakutakn.
“Apapun
itu, kita harus melakukan yang terbaik.” Priestess mengangguk pada dirinya
sendiri, meremas tongkatnya dengan penuh tekad.
“Kamu
sudah selesai?” Goblin Slayer bertanya seraya dua muncul dari bawah perahu.
Lenganya
penuh dengan persediaan dan peralatan tidur, dan dia melirik pada perisai yang
telah di dirikan di pinggir ujung perahu.
“Oh,
ya. Perisainya sudah berdiri, kita sudah berdoa, dan kita sudah di berkahi
dengan angin juga.”
“Begitu.”
Goblin Slayer bergumam. “Terima kasih atas bantuanmu.”
“Oh,
nggak sama sekali!”
Priestess
memiliki senyum ceria di wajahnya; Goblin Slayer mengangguk padanya dan
kemudian dengan sigap memanjat turun ke dermaga. Daun besar tiba-tiba sedikit
berguncang di bawah tekanan beban tubuh dan perlengkapannya, dan riak air
tersebar di sekitaran permukaan.
“Aku
berterima kasih atas bantuanmu.”
“Jangan
di pikirkan,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau menjawab datar.
“Tetapi,” dia menambahkan, “Jika kamu ingin berterima kasih kepadaku, bawa
kembali adik iparku dengan selamat.”
“Baiklah.”
Goblin Slayer menjawab tanpa ragu. Dia berputar mengarah gadis yang di maksud,
yang tampaknya masih berdiri sempoyongan.
Priestess
berusaha keras untuk mendiamkan Dwarf Shaman, yang menyarankan untuk melempar
gadis itu ke sungai agar dia tersadar.
“Aku
menerimanya,” Goblin Slayer berkata.
“Baiklah.”
Sang elf menjawab. Wajahnya tampak tenang, namun dengan cepat dia membuat
ekspresinya tegas kembali. Kemudian dia menggapai sebuah kantung pada
pinggulnya dan mengeluarkan sebuah kendi kecil berisi madu emas.
“Ini
adalah elixir,” dia berkata. “Sebuah ramuan yang sudah turun temurun dari kaum
kami, konon katanya terbuat dari kombinasi herba, beberapa macam getah, dan
sari buah, bersama dengan ritual kepada para roh. Tutupnya terbuat dengan daun
kingsfoil, jadi elixir ini dapat di minum sekali saja.”
Goblin
Slayer mengambil botol itu tanpa berkata-kata dan memasukkannya ke dalam
kantung miliknya.
“Kalau
aku nggak kembali, tolong jaga kedua wanita itu.”
“Aku
menerimanya.”
“Dan
atasi para goblin juga.”
“Tentu
saja.” Sang elf mengangguk dan kemudian, seteleh berpikir sejenak, dia
menambahkan dengan muram, “…Dia mungkin tidaklah sempurna, tapi dia adik iparku
sekarang, dan saya sudah mengenalnya sejak dahulu kala. Tolong jaga dia.”
“Selama
aku sanggup, aku akan melakukannya.”
Bahkan
bagi sang elf, dalam panjangnya kehidupannya, tampak terkejut dengan respon
Goblin Slayer. “Kamu tidak pernah menganggap remeh segalanya ya?” dia berkata,
ekspresinya sedikit melembut—tetapi dia berbicara dengan begitu pelannya hingga
hanya pepohonan yang dapat mendenagrnya. Kemudian dia melanjutkan, “Para tetua
telah menerima semacam berita dari kota air.”
“Oh?”
“…Tetapi
bahkan saya-pun belum cukup dewasa untuk di akui sebagai high elf. Saya tidak
dapat menebak apa yang akan di rencanakan oleh para tetua.”
Imajinasi
para elf memiliki jangkauan yang begitu luas. Hal terkecil yang tampak tak
berarti dapat berdampak hingga ribuan tahun ke depannya.
Tindakan
yang akan mereka ambil di sini, sekarang, kemungkinan akan menghasilkan hal
yang sama. Sang elf dengan pelindung kepala berkilau mengeratkan giginya. Dia
merupakan calon kepala desa berikutnya, namun bahkan dia-pun tidak di beritahu
berita apa yang telah di terima tetuanya.
Namun
bukan berarti dia tidak bisa menebaknya tentunya. Namun tebakan tetaplah
tebakan. Bukan sebuah fakta.
Selama
dia tidak mengetahui riak apa yang mungkin akan tebentuk, yang dia dapat
lakukan hanyalah diam.
Goblin
Slayer memperhatikan elf yang terdiam dan mendengus. Kemudian secara perlahan,
seolah tidak terjadi apa-apa, dia membuka mulutnya.
“Dan
juga, berhati-hatilah dengan sungai.”
“Kamu
lah yang seharusnya perlu berhati-hati,” sang elf berkata ringan, merasa
sedikit aneh dengan keacuhan ucapan Goblin Slayer. “Saya yakin hari ini akan
ada kabut.”
Telinganya
berkedut seperti dedaunan seraya dia mendengar suara angin dan melihat cahaya
pucat dari langit pagi.
“Goblin
bukanlah satu-satunya bahaya di hutan ini. Di waktu yang tidak tepat, alam
sendiri dapat menjadi musuhmu. Camkan itu selama kalian pergi.” Karena… Sang elf dengan pelindung kepala
berkilau dan Goblin Slayer melihat mengarah hutan. “Perjalanan kalian akan
mengarungi kegelapan.”
“Ke
dalam kegelapan,” Goblin Slayer mengulangi perlahan.
Lautan
pepohonan yang memanjang hingga pusat sungai menyembunyikan kegelapan pekat.
Terdapat
hembusan hangat yang membawa udara lembab dan tebal. Seperti di dalam sarang
giblin, piki Goblin Slayer. Dan itu adalah fakta.
Jika
begitu, apa yang harus dia lakukan? Dalam jeda waktu sekejap ini dia
memformulasikan rencananya.
“…Aku
punya satu permintaan lagi.”
“Apa
itu?” sang elf menatapnya tanda Tanya.
“Persiapkan
perahu lagi.”
“Akan
ku lakukan.” Sang elf mengangguk, membuat sebuah tanda ritual janji akan
kaumnya.
Melihat
ini, Goblin Slayer berkata,” Ngomong-ngomong,” seolah dia baru teringat oleh
sesuatu. “Aku selalu memikirkannya. Apa para elf tidak membunyai sebuah konsep
bersih-bersih?”
“Kami
punya,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau menjawab, terlihat begitu
menyesal. “Tapi beberapa gadis tidak
punya.”
“…Begitu.”
*****
Kabut
ternyata menjadi sebuah berkah.
Kabut
itu menghalangi matahari, menyelimuti segalanya dengan asap putih, jadi bahkan
benda yang hanya berjarak beberapa meter di depan terlihat samar dan sukar di
ketahui.
Para
goblin tidak memikirkan kabur ini sebagai berkah bagi mereka, adalah hal yang
seharusnya. Ketika sesuatu yang baik terjadi pada para goblin, dia tidak merasa
bersyukur kepada siapapun atau apapun. karena para goblin sering melalukan
penyiksaan, penganiyaan, adalah hal yang sepantasnya jika sesuatu akan terjadi
pada mereka sesekali.
Tidak
berbeda dengan sekarang.
Para
goblin yang telah di perintahkan untuk memperhatikan arus sungai melalui hutan
mulai menyadarinya dengan segera. Makhluk itu telah bermalas-malasan dalam
kerjanya, oleh karena itu dia mencicit dan berteriak ketika itu terjadi.
Adalah
“malam hari,” ketika matahari berada di balik lembaran kabut yang baru saja
muncul.
Bercampur
dengan deguk arus air, makhluk itu semakin mendengar suara decitan semakin
mendekat.
Mata
hina para penjaga goblin semakin terbelalak, makhluk itu mengintip ke dalam
kabut dan mendengarkan sekeras yang dia mampu.
Ya,
di sanalah itu.
Kreak, kreak. Tidak
di ragukan: suara itu datang dari hilir, dari arah desa elf.
Para
elf, yang selalu meremehkan para goblin, berpikir mereka dapat seenaknya saja
mengarungi hulu sungai ini!
“GROORB.”
Ketika
dia menemukan sesosok pelayar langsing yang muncul dari balik kabut, sang
goblin menjilat bibirnya.
Jika
dia adalah elf pria, maka mereka dapat menganiaya hingga mati dan memakan
tubuhnya.
Jika
dia adalah elf wanita, maka mereka dapat membuat wanita itu mengandung anak
mereka.
Yang
mana-pun itu, dia telah menemukan mereka terlebih dahulu, oleh karena itu dia
memiliki hak untuk menikmati mereka paling pertama bukan?
Dia
sama sekali tidak berpikir bahwa satu-satunya alasan hal itu akan berhasil adalah karena rekannya
ada bersamanya.
“GRORO!
GROOB!!”
Para
goblin memasukkan jari ke dalam mulut dan mengeluarkan sebuah siulan.
“GROB?!”
“GOORBGROOR!”
Para
goblin, yang tengah tertidur, merasa tidak senang telah di bangunkan lebih
awal. Namun mereka juga tersadar seketika mereka melihat perahu elf itu.
Elf! Petualang! Mangsa!
Makanan! Wanita!
“GORBBR!”
“GOBGOROB!”
Sepelan
yang mereka bisa, mereka saling membisikan nafsu mereka, mengambil perlengkapan
mereka dan bergegas menunggangi tunggangan tersayang mereka.
Yah,
lebih baik jika tidak berkata tersayang. Merek
sama sekali tidak mempedulikan serigala yang mereka tunggangi.
“GOROB!”
Sang
penjaga, yang sekarang menganggap dirinya sendiri sebagai pemimpin, memberikan
perintah, dan para goblin rider-pun berpacu keluar.
Tidak
seperti kuda, serigala tidak menimbulkan suara berisik dari tapak kakinya
seraya mereka berlari. Selama para serigala di bungkam, mereka tidak akan
melolong juga. Goblin (terkecuali hobgoblin) dapat menunggangi kuda, namun
serigala jauh lebih mudah.
Para
goblin memukul kejam bagian samping tunggangan mereka, memaksa mereka berlari
maju.
“GROOROGGR!!”
Pertama,
mereka akan menghadapi kaptennya. Kemudian para pendayung. Kemudian, mereka
akan memanjat perahunya dan menyelesaikan pekerjaan.
Para
goblin menyeringai dan tertawa, berkhayal akan ekspresi panic para elf.
Pemandangan akan warga hutan tinggi hati yang terburai perutnya di atas kapal
tentu akan menjadi pemandangan yang menyenangkan.
Khayalan
gelap itu membuat para goblin meremas senjatanya lebih erat. Mereka membawah
tombak batu sederhana dan panah, bersama dengan ketapel. Primitif memang, namun
ini sangatlah cukup untuk mencabut nyawa seseorang.
“GGRO!
GRRB!”
Para
penjaga melolong mengundang bencana, dan goblin lainnya menjentikkan lidah
mereka. Goblin itu terlalu percaya diri. Mereka akan membenarkannya nanti.
“GRORB!”
“GGGROORB!”
Menghiraukan
celotehan sang penjaga, para goblin mempersiapkan senjata mereka, menarik tali
busur dengan kuat.
Para
penjaga mengeluhkan ini dengan cepat, namun ketika dia menyadari tidak ada
seekor goblinpun yang mendengarkannya, dengan muram dia mengangkat tombaknya
sendiri.
Berada
di atas tunggangan, para goblinmulai melakukan serangan.
Mereka
mengarah pada asal sumber suara decitan perahu; tidak ada pemimpin yang
mengatur serangan mereka.
“GORB!
GBRROR!”
Hampir
setengah dari panah yang menghujani jatuh dan menciprat ke dalam air.
Tetapi
beberapa, tidak hanya panah tapi juga ombak dan batu ketapel, berhasil mengenai
perahu.
“!”
Mereka
mati! Itulah kumpulan pikiran setiap goblin yang berada di sini. Beberapa
bahkan bersorak ria.
Tetapi…
“—?”
Tanpa
adanya sedikitpun sentakan atau suara, para pendayung terus mendayung.
Apakah
serangannya tidak cukup gencar? Ataukah para pendayung telah menghidanri luka
fatal dengan keberuntungan?
Terkejut,
para goblin mencoba untuk melancarkan serangan lainnya. Namun dalam sekejap:
“Satu…!”
Seorang
warrior dengan armor kulit meloncat masuk di antara kumpulan para goblin dan
menyayat tenggorokan sang penjaga.
“GBBOOROB?!”
Sang
monster menjerit dan tersungkur, dan Goblin Slayer menendangnya menjauh, masuk
ke dalam sungai.
Air
yang menciprat menjadi sinyal pembukaan.
“Bbffah!”
Sinyal
kepada kapal kedua yang di tarik oleh
kapal pertama.
Kapal
ini, yang bagian sisinya telah di lindungi dengan perisai pelindung dan telah
memiliki berkah ari peri angin, benar-benar tidak terkenap satu panah-pun.
High
Elf Archer melempar sebuah kain bulu yang menutupi kapal dan berdiri di tempat
dia sebelumnya bersembunyi.
“Dasa
makhluk jelek dan bau—! Berani sekali kalian mendatangi rumahku!”
Masih
berlutut sebelah kaku, dia mengusung busur besarnya dengan gerakan elegan dan
melepaskan tiga panah bermata kuncup secara bersamaan. Panah itu mengudara di
iringi dengan siulan angina.
“GOOB?!”
“GROBO?!”
Panah
itu menembus mata dan tenggorokan goblin rider, melontarkan mereka dari
serigala. Teknik High Elf Archer sama sekali tidak terpengaruh oleh goncangan
perahu ataupun kabut yang menghalangi pandangannya.
Telinga
panjangnya berkedut, mencoba mendengar semua suara di medan perang.
“Orcbolg!
Mereka datang dari kanan!”
Alih-alih
jawaban, dia mendengar sebuah jeritan goblin, “Gbor?!” dan dia mengangguk puas.
“Saya
akui, menyiapkan perahu kedua hanya untuk mengalihkan perhatian mereka, tampak
seperti buang-buang waktu…”
“Benar,
perahu itu membutuhkan Dragontooth Sailor dan lainnya,” Dwarf Shaman
menggerutu, mengeluarkan kapaknya seraya mengintip keluar dari perlindungan
agar dapat melihat dengan lebih jelas.
Kedua
Dragontooth Warrior, yang di pakaikan baju dan di tempatkan pada perahu
pertama, terus mendayung tanpa henti walaupun di hadapan serangan gencar. Panah
dan tombak melewati tubuh mereka, atau tersangkut di tubuh mereka.
“Oh,
tapi kita harus mengurangi kecepatan kita…” Priestess menempelkan jari telunjuk
pada bibirnya seraya dia meringkuk dan menggenggam tongkatnya. “Soalnya Goblin
Slayer ada di tepi sungai.”
“Mm.
Saya juga akan menepi, karena itu tolong perlambatkan perahunya.”
Bersiap
dengan swordclaw di tangan, Lizard Priest meraung: “Hrrrrrraaaaaaahhhhhaahh!”
dan melontarkan dirinya mengarah goblin yang berada di tepian, ekornya
mengayun, meremukkan leher monster pertama yang dia temui.
Priestess
menjerit dan memegang perisai seraya perahu berguncang di karenakan
lompatannya.
“Apa
kamu nggak bisa lompat sedikit lebih pelan?!” Dwarf Shaman memprotes. Kemudian
dia memanggil Priestess, “Kamu nggak apa-apa?”
“A-aku
baik-baik saja!”
Priestess
dan Dwaarf Shaman di tempatkan di perahu, jadi pekerjaan mereka adalah
mengatasi goblin manapun yang menaiki kapal mereka.
“Huh,
jangan khawatir. Aku nggak akan membiarkan…mereka mendekati kita!” Postur High
Elf Archer sama sekali tidak goyah seraya dia melepaskan tiga panah lagi.
Tiga
jeritan mengikuti. Kemampuan memanahnya sungguh berada di alam sihir.
“Sembilan…
Sepuluh!”
“GBROOBOO?!”
Goblin
Slayer melompat masuk ke dalam kabut, dan sekarang dia mengayunkan perisainya
ke kiri, mempercayakan keberuntungan untuk mengenai sesuatu. Ujung perisai yang
di asah dan di pertajam menembus wajah goblin.
Dia
bergerak kembali, mengandalkan pengelihatan untuk membimbingnya, menembus
tenggorokan goblin dengan pedangnya.
Sang
monster menggeliat di lengannya, mencoba menarik pedangnya keluar; Goblin
Slayer menendang goblin itu menjauh dan mengambil sebuah belati dari sabuknya.
Dia
menggenggamnya secara terbalik seraya serigala yang melolong semakin mendekat.
Bahkan seraya dia melakukannya, tangan kirinya berusaha merogoh kantung
peralatannya dan mengeluarkan sebuah tali kulit dengan sebuah batu yang terikat
di ujung.
“Hmph.”
Dia
membiarkan ikatan itu terbang; benda itu berputar, meluncur di lantai, dan dari
suatu tempat di balik kabut terdengar jeritan seekor serigala.
“GORB?!”
Kemudian
di ikuti dengan suara sesuatu yang terjatuh di tanah, dan teriakan goblin.
Tali
kulit itu telah melingkarkan dirinya sendiri di sekitar kaki salah satu
tunggangan mereka.
Tanpa
jeda, Goblin Slayer melompat mengarah asal suara itu, menyayat tenggorokan
seekor goblin yang terjatuh.
Baginya,
terdapat perbedaan tipis antara kegelapan gua dan terbatasnya pengelihatan di
karenakan kabut.
“Sepuluh
dan satu.”
Dengan
itu, Goblin Slayer menguasai pertempuran ketika dia melompat menuju bencana.
Itu
karena, para goblin hampir tidak dapat membedakan siapa teman dan siapa lawan.
Sebuah ayunan ceroboh dari senjata dapat mengenai rekannya. Tidak seperti di
dalam gua, sangatlah sulit untuk membanjiri musuh dengan julah.
Walaupun
para goblin tidak begitu peduli dengan apa yang akan terjadi pada yang lainnya,
namun mereka benci untuk kehilangan perisai yang mungkin akan melindungi
mereka.
“…Sebuah
patrol, atau mungkin pertemua acak.”
“GOROOB?!
GROBOR?!”
“Jadi
kamu setuju?”
Lizard
Priest menendang jatuh salah satu goblin rider dan kemudian menggenggam rahang
serigala dan merobek paksa rahangnya dengan tenaganya yang kuat.
Berada
di dalam pertarungan membuatnya begitu senang, namun adalah darah yang berada
di sekitarannya yang dapat mempercepat pemikiran seorang lizardman.
“Kalau
ini di maksudkan sebagai sergapan,” Goblin Slayer berkata, mengoyak rusuk salah
satu rider di lantai dan bergumam “Dua
belas” seraya sebuah jeritan teredam terdengar. “Kekuatan tempur mereka
kurang.”
Seraya
dia berdiri, dia melemparkan belatinya ke dalam kabut, mengundang sebuah
jeritan.
“Kita
nggak bisa membiarkan satupun dari mereka pulang dengan selamat.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!
Apakah kita pernah membiarkannya?”
Lizard
Priest mengayunkan ekornya, menerbangkan goblin yang ada di belakangnya
menghantam pohon, meremukkan rusuk makhluk itu.
Tiga belas. Enam,
mungkin tersisa tujuh lagi. Goblin Slayer mengambil sebuah tombak di dekat
kakinya.
“Kalau
begitu…”
Dia
mengangkat perisai dan bergerak maju, menangkis sebuah belati beracun goblin yang
tersembunyi di dalam kabut, dan menyerang dengan tombaknya.
Dia
dapat merasakan bahwa serangannya tidak menembusnya cukup dalam. Dalam sekejap,
dia mendorong dengan lengannya untuk membuat makhluk itu tidak dapat bergerak
dan kemudian menghancurkan wajahnya dengan perisai.
Makhluk
itu terjatuh, dahinya hancur, dan Goblin Slayer meneruskan dengan menghancurkan
tenggorokannya.
Empat
belas. Goblin Slayer mencabut tombak dari monster yang mati.
“…Kita
harus menyelesaikan ini sebelum kabutnya menghilang.”
Dan
itulah yang tepat mereka lakukan.
*****
“…Aku
penasaran apa bunga-bunga lagi bermekaran ya?”
Gumam
itu datang dari Priestess, tidak lama setelah party mereka selesai mengalahkan
para goblin rider.
Satu-satunya
suara adalah derus air, decitan perahi, dan napas pendek kelima petualang.
Seraya
mereka semakin mengarungi hulu, bahkan para binatang yang hidup di pepohonan
tampaknya menahan napas mereka.
Matahari
semakin tinggi dank abut mulai memudar, namun pepohonan tebal yang ada di
sekitar mereka memancarkan bayangan gelas. Cahaya masih belum menyinari, dan
terasa sesuatu yang mengerikan dari semua ini, seolah mereka sedang memasuki
sebuah gua.
Mungkin
karena itulah respon Priestess pada aroma manis tak terduga yang terasa di
udara.
Priestess
mendekat tongkatnya, namun High Elf Archer menggeleng kepalanya. “Aku nggak
tahu, tapi…aku belum pernah dengar ada bunga yang wangi seperti ini.”
Sarang
mereka sudah dekat,” Goblin Slayer berkata tenang, memegang senjata yang di
curinya dari para goblin. Adalah sebuah pentungan yang tampaknya terbuat dari
pohon, dan pentungan itu memiliki noda merah kehitaman di sini dan di sana.
Cipratan yang berasal dari penghancuran kepala orang—dan goblin.
Pada
puncaknya, terdapat lebih dari dua puluh goblin dan tunggangannya yang terbaring
mati di sungai. Mereka tidak dapat membiarkan mayat itu di tempat terbuka;
terlalu banyak kemungkinan bahwa mereka akan di temukan oleh grup lainnya. Dan
tidak ada waktu untuk mengubur mereka.
Apapun
itu, jika mayat-mayat itu hanyut hingga ke hilir, maka mayat itu tidak akan di
sadari oleh para goblin yang berada di hulu.
Dan
ikan-ikan karnivora di dalam sungai mungkin akan menghabisi sisa tubuh-tubuh
itu untuk mereka.
Hal
ini telah membuat Priestess sedikit ragu, namun Lizard Priest telah mengatakan
kepadanya bahwa ini bisa di bilang sebagai salah satu bentuk penguburan.
“Kabut
mulai menghilang. Mungkin kita harus mulai bersiap.” Lizard Priest sekarang
mencoba untuk melihat sejauh mana dia dapat memandang. Dengan lambaian
tangannya, dia menghentikan salah satu
Dragontooth Warrior yang sedang mendayung perahu. Warrior tenggkorak itu
menarik dayung dan duduk, memeluk dayungnya.
“Akan
menjadi masalah yang cukup besar jika mereka menemukan kita di karenakan suara
dayungan.”
“Oh,
apa aku perlu menggunakan keajaiban Silence…?” Priestess bertanya.
“Jangan
dulu,” Goblin Slayer berkata, menggelengkan kepala. “ Kita sudah menggunakan
Dragontooth Warrior dua kali, dan Swordclaw satu kali.”
Helm
itu berputar mengarah Lizard Priest seolah mencari konfirmasi, dan sang cleric
menganggukkan kepalanya.
Party
mereka memiliki total tujuh keajaiban. Sekarang mereka masih mempunyai empat
lagi, dan satu-satunya sihir yang tersedia untuk mereka adalah milik dari Dwarf
Shaman, yang di mana dia juga masih mampu mengeluarkan empat sihir juga. Party
ini di berkahi dengan banyaknya sumber sihir, namun masihlah sangat penting
untuk menghitung jumlah keajaiban dan sihir yang tersisa.
Terlebih
lagi, Silence itu sendiri tidak menjamin bahwa mereka akan dapat terhindar dari
pertarungan.
“Tetap
simpan keajaibanmu.”
“Baiklah.”
Priestess merasa dia tidak begitu berguna dalam pertarungan sebelumnya. Dia
mengangguk tidak semangat. “…?” Kemudian dia berkedip, menggosok matanya, dan
mengintip di antara perisai yang melindungi perahu.
“Ho,
hati-hati,” kata Dwarf Shaman, memegang pinggul gadis itu untuk membantunya.
“Tentu
saja,” Priestess berakta, melihat sekitaranya.
Dia
telah melihat sesosok bayangan yang muncul di balik kabut.
Bukanlah
sebuah pohon. Adalah sesosok yang terlalu aneh untuk sebuah tumbuhan.
Berdiri
di pinggir sungai, benda berbentuk aneh itu hampir tampak seperti mangsa dari
burung butcherbird, yang tertancap di sebuah ranting… (TL Note : Butcherbird = https://en.wikipedia.org/wiki/Butcherbird
)
“…Apa
itu…totem?!” Priestess terkesiap.
Adalah
sebuah mayat. Sisa-sisa duniawai dari seseorang yang telah di tusuk, dari
antara kakinya hingga ke mulut.
Di
tinggalkan di tempat lembab dan hangat ini, mayat itu mulai membusuk, cairan
tubuh mereka mengembang hingga mereka hampir tidak terlihat manusia lagi.
Berdasarkan armornya yang telah di makan karat, tampaknya dia adalah seorang
wanita. Mayat itu telah termutilasi dengan begitu mengerikannya oleh para
serangga, walaupun sulit mengetahui berasal dari ras apa wanita itu.
“Ugh…!”
High Elf Archer merasakan dirinya muntah namun memaksa menelan apa yang hendak
keluar dari mulutnya.
Adalah
sangat jelas bahwa para goblin lah yang telah memaparkan mayat itu.
Kejam.
Sebuah
deklarasi tegas kepada dunia bahwa ini adalah wilayah mereka, dan penghujatan
yang menanti mereka yang lancang menghiraukannya.
Mereka
hanya ingin melihat para penyusup ketakutan, panik, menggila, atau paling tidak
marah.
Mengapa
lagi mereka mendirikan piala seperti ini, sebagai sebuah benda di gerbang yang
sama sekali tidak memberikan fungsi pertahanan sama sekali?
“Apakah
wanita itu di sate hidu-hidup, atau di tusuk dengan batang itu setelah
kematiannya…? Lizard Priest bertanya, melirik di sekitaran seraya dia
menyatukan kedua tangannya berdoa. “…Paling tidak, dia beruntung telah menjadi
bagian dari perputaran kehidupan.”
Alasan
dari gerakannya ini menjadi jelas : terdapat lebih dari satu totem.
Terdapat
begitu banyak dari mereka.
Mayat-mayat
tersate oleh batang kayu berjejer di pinggiran sungai layaknya sebuah pohon
yang berjejer di pinggir jalan. Beberapa hanya tinggal tulang belulang;
sedangkan lainnya, masih memiliki kulit yang belum membusuk.
Beberapa
memiliki luka yang masih segar, sedangkan lainnya telah membengkak hingga begitu
besarnya.
Beberapa
mayat tampak seperti pedagang, dan lainnya menggunakan perlengkapan yang
membuat mereka terlihat seperti petualang.
Seberapa
banyak yang telah di bunuh?
Seberapa
banyak yang telah menjadi bulan-bulanan para goblin?
“Ergh…”
Priestess menutup mulut dengan tangan, dan siapa yang dapat menyalahkannya? Dia
berjongkok, wajahnya pucat, sementara tongkatnya bergetar di atas perahu.
“Hrrrgh…!”
Menjulur keluar sisi perahu, dia mengosongkan isi perutnya ke dalam sungai.
Prasangkanya yang telah mencium aroma manis ternyata adalah sebuah aroma busuk
dari mayat yang membusuk.
Selama
setahun setengah, dia telah melihat kekejaman goblin dan bisa di bilang telah
menjadi cukup terbiasa dengan itu semua, tetapi dia masih tidak dapat menahan
ini.
Terdengar
beberapa cipratan seraya dia muntah ke dalam air.
“Ini,
kunyah ini. Dan minum air.” Dwarf Shaman menggosok punggungnya lembut.
“…Ur…urgh.
Te-terima kasih…” Suaranya begitu samar, tenggorokannya terasa terbakar.
Dengan
kedua tangan, dia mengambil herba dan air yang di berikan kepadanya, mengunyak
dedaunan itu dengan perlahan.
“…Jadi
apa yang akan terjadi pada kita kalau kita kalah pertarungan ini?” High Elf
Archer tentunya merasakan hal yang sama buruknya dengan Priestess, karena
kulitnya yang selalu putih pucat sekarang benar-benar tidak berwarna. Dia
meludah dan mengumpat. “Ini sama sekali nggak lucu.”
“Aku
setuju,” Goblin Slayer berkata. “Ini memang nggak lucu.”
Helm
baja yang terlihat murahan menatap ke depan.
Di
sana, di dalam kabut, sebuah sosok menjulang bagaikan gunung.
Sosok
itu muncul seperti sebuah bayangan hitam di dalam kabut putih.
Tanpa
di duga, sebuah hembusan angin bertiup, mendorong kabut menjauh.
“…Huh,”
High Elf Archer berkata, nadanya datar. “Jadi itu Dia-yang-menghentikan-air…”
Bagaimana
cara menjabarkan benda ini?
Benda
ini terbuat dari batu kapur, sebuah kuil—atau mungkin sebuah benteng.
Struktur
elegan, yang telah berdiri semenjam Jaman para Dewa, sekarang telah usang,
berlumur dengan lumut dan akar. Akan tetapi bangunan itu, yang di buat untuk
membendung sungai, tampak seperti semacam reruntuhan yang akan layak di huni
para goblin.
“Tempat
itu bersebelahan dengan rumahmu gadis, apa benar kamu nggak mengetahuinya?”
“Hei,
ini tuh wilayahnya Mokele Mubenbe.” High Elf Archer memanyunkan bibirnya dan
mengepak telinga seolah menegur Dwarf Shaman. “Tapi mungkin para tetua di desa
mengetahuinya. Mungkin kakakku pernah mendengarnya.”
“Jadi
kamu benar-benar nggak
mengetahuinya.” Dwarf Shaman mengejek, mengundang desis amarah dari sang elf.
Perdebatan
mereka bersemangat seperti biasanya, dan mungkin itu memang di sengaja. Setelah
menyaksikan pemandangan mengerikan itu, tentunya seseorang ingin merubah
suasana yang ada.
“Apa
yang perlu kita khawatirkan sekarang adalah benteng goblin itu,” Goblin Slayer
meludah, memperhatikan sekelilingnya. “Hentikan perahunya. Kabutnya mulai
menipis.”
“Aye,
aye.” Lizard Priest berkata, memberikan instruksi cepat kepada Dragontooth
Warrior. Tengkorak itu membawa perahu kecil mereka ke tepian.
Goblin
Slayer memegang pentungan pada sabuknya dan berlutu di samping Priestess.
“Bagaimana
menurutmu?”
“Er…
Ap—Apa yang aku pikir?” Darah
terkuras dari wajahnya, dan dia menggeleng kepala dari samping ke samping.
“Kita harus…melakukan…sesuatu…”
“Ya.”
“Kalau
kita…mem-membiarkannya seperti ini…”
“Ya.”
Suaranya pelan seperti Priestress, namun tidak lemah. “Kita nggak akan membiarkannya begitu saja.”
Priestess
menelan liur. Goblin Slayer melihat Priestess yang memegang armornya dan
mengambil tongkatnya yang terjatuh. Priestess mendekapnya ke dada dengan kedua
tangan, kemudian berdiri dengan goyah.
Dia
memaksa dirinya untuk menenangkan otot wajahnya dan melirik kepada helm pria
itu.
“…Karena…mereka
goblin.”
“Ya.”
Dia menagngguk. “Mereka goblin.”
“Tunggu
dulu, Beardcutter.” Dwarf Shaman turun ke tepian seraya perahu elf telah tiba
di pinggir sungai. Dengan piawai dia mengikat perahu, dan mengamankannya pada
pohon terdekat. “Seperti yang kamu bilang, kabutnya mulai menipis. Dan sebentar
lagi akan malam. Kita harus melakukan beberapa persiapan kalau mau menyelinap.”
“Kalau
begitu—“ High Elf Archer mencoba dua atau tiga kali untuk menjentikan jarinya
namun pada akhirnya hanya menjentikan lidahnya setelah suara fp fp yang dia dapat dari jarinya.
“…Kalau begitu, aku punya ide!”
*****
Beberapa
saat kemudian.
Party
mereka menyelinap layaknya deretan bayangan di bawah cahaya rembulan kembar.
Melewati
akar-akar, melalui dedaunan dan ranting, mereka terus menjaga postur mereka
rendah, seraya bergerak secepat yang mereka bisa.
Satu-satunya
seuara di antara mereka adlah bisikan doa halus dari Priestess: “O Ibunda Bumi, yang maha pengasih,
berikanlah kami kedamaian dalam menerima segala hal…”
Dia
berlari di dalam keheningan mutlat secepat yang dia mampu, keringat mengucur di
dahi, tangannya menggenggam tongkat.
Seraya
mereka semakin mendekat, pertahanan goblin yang tangguh menjulang di depan
mereka.
Dari
cara bebatuannya tertumpuk dan terukir tentunya merupakan hasil pekerjaan para
dwarf.
Dari
cara strukturnya di bangun tanpa mengusik pepohonan di sekitarnya tentunya
merupakan hasil pekerjaan para elf.
Persiapan
dari sebuah serangan tentunya berasal dari pengetahu lizardmen atau manusia.
Di
sini dan di sana, sebuah batu telah di lepaskan oleh para goblin, menodai
tempat ini.
Kira-kira tempat ini di
bangun untuk apa ya? Priestess tiba-tiba berpikir.
Sebuah
kuil, sebuah menara, sebuah kastil, sebuah jembatan… Bangunan ini tampak
seperti itu semua, namun tidak satupun yang sama.
Apapun
itu, sekarang ini telah menjadi sarang goblin, dan untuk menantangnya akan
membutuhkan lebih dari sekedar keajaiban Ibunda Bumi, tidak peduli seberapapun
pengasihnya beliau.
Itulah
mengapa para petualang memliki sesuatu yang lain untuk melindungi mereka.
Sebuah
kabut putih yang muncul dengan sendirinya, fssh,
fssh.
Kabut
itu juga terasa begitu panas.
Bisa
di bilang, hal ini sudah seharusnya—itu karena, mereka berada di dalam hutan
hujan—dan panas menyengat ini sungguh menyiksa.. Jubah Priestess telahbanyak
menyerap air hingga terasa berat, dan keringatnya membuat bajunya menempel pada
tubuhnya hingga terasa tidak nyaman. Dia menggulung lengan bajunya untuk
sedikit meringankan panas, namun tidak pernah berhenti berdoa.
Terdapat
seseorang yang tidak berhenti dalam pekerjaannya—Dwarf Shaman.
Dia
mengenggam batu, menyala merah, dalam jahitan lengan bajunya. Sumber panas,
dari kabur, berasal dari batu itu—dari salamander yang hidup di dalam batu itu.
Dansa api, salamander
tersohor, berikanlah kami sedikit bagian dari ketenaranmu.
Roh
api yang telah di panggil dengan mantra Kindle menguapkan air di mana roh angin
begitu melimpah, hasilnya adalah seperti di selimuti dengan kabut.
Dwarf
Shaman melihat curiga kepada High Elf Archer seraya sang elf memberikan
dengusan.
Dia sudah mulai menjadi
seburuk Beardcutter.
Apapun
itu, Lizard Priest berasa dari selatan. High Elf Archer berasal dari hutan ini,
dan Dwarf Shaman cukup akrab dengan api. Kabut tebal oanas ini membuat
pergerakan mereka menjadi cepat.
Priestess
terengah-engah mengikuti, dan ekspresi Goblin Slayer tidak dapat di lihat.
Lizard
Priest mendengak memperhatikan menara pengawas di atas benteng para goblin.
Dengan mata pendeteksi panasnya, dia menemukan seekor goblin dengan tombak di
tangan sedang tidur dengan lelapnya.
Tidak
masalah. Dia mengangguk apda Goblin Slayer, yang kemudian memimpin partynya
kembali maju.
Gerbang
benteng sudah berada tepat di depan mata mereka.
Pintu
tebal nan tebal merupakan ciri khas para elf, yang terbuat dari kayu kuno dan
kokoh. Tidak terdapat sedikitpun keberadaan metal di pintunya, namun kekokohannya
tidak dapat di ragukan.
Pada
mulanya, tampak seperti telah hancur, namun pada bagian ujung kanan dari
gerbang raksasa ini terdapat sebuah pintu kecil di dalam sebuah pintu.
Goblin
Slayer memberikan isyarat kepada rekannya untuk menunggu di semak0semak dan
kemudian menarik pentungan dari sabuknya. High Elf Archer memanjat sebuah
pohon, telinga panjangnya berkedut; dia meraih sebuah cabang dan duduk tanpa
mengusik satu daun-pun. Dia memuat panah pada busurnya dan menariknya tanpa
suara, sementara itu di bawahnya, Lizard Priest mengatur genggaman pada pedang
taringnya.
Sedangkan
Priestess dan Dwarf Shaman, mereka melanjutkan lantunan keajaiban dan sihir
mereka bersamaan. Keheningan terus berlanjut dan kabut terus menyelimuti.
Bibir
Priestess dengan singkat membentuk kalimat Hati-hati.
Goblin Slayer mengangguk.
Ketika
dia telah meninggalkan gelembung keheningan, warna dan suara kehidupan kembali
muncul di dalam hutan. Dedauanan bergemirisik seraya angin bertiup. Sungai
beriak. Dia bahkan dapat mendengar suara napasnya sendiri di dalam helmnya.
“Hmm.”
Dia berdiri sesaat di depan gerbang sebelum memukulnya. Kemudian, dengan
kelincahan yang sukar di percaya di karenakan beban dari keseluruhan armornya,
dia membenamkan jarunya di antara celah kayu dan mengangkat dirinya ke atas.
Sebuah
reaksi datang tidak lama setelah itu.
“GROB?”
Pintu
kecil terbuka, dan seekor goblin yang kemungkinan adalah seorang penjaga,
menjulurkan wajahnya keluar.
High
Elf Archer bersiap untuk melepaskan panahnya pada saat itu, namun Goblin Slayer
tidak bergerak. Kedua, dan goblin ketiga muncul dari pintu kecil itu.
Jentikan
lidah High Elf Archer terbungkam oleh doa Priestess, karena itu tidak
seorangpun yang mendengarnya.
Monster
keempat muncul, dan kemudian tepat setelah menunggu lima detik, Goblin Slayer
bergerak.
“GORAB?!”
Dia
melompat ke bawah, mendarat tepat pada punggung goblin terakhir yang keluar.
Benturan itu telah mencuri udara dari paru-paru makhluk itu, dan makhluk
itu-pun tidak lagi bersuara.
Goblin
Slayer menghujamkan pentungannya.
Terdengar
suara kering akan sesuatu yang retak, dan tengkorak goblin itu berputar pada
arah yang tidak semestinya.
Goblin
Slayer menarik sebuah pedang dari sabuk mayat yang kejang tersebut. “Satu.”
“GBBR?”
Sebuah
panah bermata kuncup bersiup melintasi malam, menembus telinga kanan hingga
kiri makhluk itu. Goblin tersebut terjatuh seperti boneka yang terputus
talinya, dan kemudian dalam sekejap, goblin kedua telah mati.
Walaupun
rasa kaget mereka karena sergapan ini, kedua monster yang tersisa mulai bertindak.
Namun
para petualang terlalu cepat untuk mereka.
Satu
goblin berputar mengarah musuh di belakangnya dan mendapati wajahnya di
hancurkan dengan pentungan.
“Dua,
dan…”
“GRRB…?!”
Makhluk itu terjatuh ke belakang, memegang hidungnya yang hancur; Goblin Slayer
kemudian dengan cepat melompat menindisnya. Dia telah membuang pentungan,
menarik pedang curian dari sarung pedangnya. Dia membungkam mulut goblin itu
dengan tangan kirinya, dan dengan tangan kanan, dia menghujam tenggorokan
makhluk itu dengan pedangnya.
“Dengan
ini tiga…”
Dan
itu artinya satu lagi.
Goblin
terakhir ini sedikit lebih cerdas di banding lainnya; dia mendekap kedua
rekannya yang telah mati. Dia menarik napas dalam, membuka mulutnya lebar untuk
memanggil bala bantuan, namun sebelum dia dapat berteriak, dia mendapati sebuah
panah tertancap pada tenggorokannya.
Dia
terhuyung ke depan karena benturan dari tembakan itu.
“…Empat.”
Goblin
Slayer memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa keempat makhluk itu telah
berhenti bernapas dan kemudian dengan cepat mengintip ke dalam pintu kecil.
Sangatlah gelap, namun masih terdapat dua bulan di atas yang memberikan
penerangan.
Di
dalam gerbang adalah lapangan terbuka. Tidak terdapat tanda goblin di
sekitarnya.
Akan
tetapa, tidak peduli seberapapun pemalasnya goblin, tidak akan lama untuk
absennya para penjaga akan segera di sadari.
Goblin
Slayer membuka pintu kecil dengan pasak dan kemudian mengisyaratkan
semak-semak.
Priestess
menghela panjang dan bergegas pergi mengarahnya.
“…Kamu
baik-baik saja? Kamu terluka, atau—?”
“Nggak,
aku nggak terluka.”
Setelah
itu, dada kecilnya merasa lega.
Lizard
Priest yang muncul sama cepatnya, hampir seperti merayap di tanah, dan Dwarf
Shaman mengikuti di belakangnya. Yang terakhir datang High Elf Archer, melompat
turun dari pohon dan pergi menuju pintu dengan cepat hingga bayangannya sulit
di lihat. Akan menjadi lucu jika seseorang yang seharusnya memastikan semua
dapat mencapai tujuannya dengan aman, malah kepergok oleh musuh.
“Aku
seharusnya menjadi pengintai, tapi tadi aku ngerasa kayak jadi assasim aja.”
Dia berkata. “Jadi berikutnya apa?”
“Aku
nggak menyukainya, tapi kita harus menyerang dari depan.” Goblin Slayer
mengelap pedang dengan kain goblin dan mengembalikannya ke sarung pedang.
Kemudian mengambil sebuah golok dari salah satu monster dan memasukannya ke
dalam sabuk. “Maaf,” dia berkata, “tapi sepertinya kita nggak punya waktu untuk
beristirahat. Aku perlu kamu di barisan depan.”
“Tentu,
tentu.” Lizard Priest mendesis. “Saya tidak pernah gagal dalam tampil mencolok
di depan pertarungan.”
Dia
memiliki satu keajaiban lagi. Sang Dragontooth Warrior telah di tinggalkan
untuk menjaga perahu, karena itu Swordclaw dan tenaganylah yang mereka dapat
andalkan.
Namun
bagi Lizard Priest, hal itu sudah cukup.
“Aku
sendiri masih punya tiga,” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggotnya.
“Kalau
aku, uh—” Priestess menghitung dengan jarinya. “Dua lagi.”
“Baiklah.”
Itu
artinya enam secara keseluruhan.
Merupakan
sebuah jumlah yang sangat tinggi bagi petualang pada umumnya. Namun apakah akan
cukup untuk menyerang benteng ini?
Pada
awaknyz mereka memiliki sebelas, dengan ini mereka telah menggunakan kurang
lebih setengah dari persediaan mereka.
“…”
Priestess menggeleng kepalanya, mencoba untuk mengusir pikiran buruk yang
melintas. Apa yang terjadi pada petualangan pertamanya sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan ini. Bahkan mereka yang telah dia saksikan mati hingga
mencapai di sini sudah tidak berarti lagi.
“Um,
apa yang akan kita lakukan dengan cahaya…?”
“Jangan
gunakan cahaya sampai kita masuk ke dalam.”
Goblin
dapat melihat dalam kegelapan dengan baik. Mereka tidak membutuhkan api untuk
dapat berkeliaran di malam hari. Untuk memasuki lapangan tempat ini dengan obor
yang membara, sama saja dengan memohon para goblin untuk menemukan mereka.
“Saat
kita maduk, kita akan bertindak seperti gua lainnya.” Goblin Slayer berkata.
“Oke,
aku akan menyiapkan obornya kalau begitu.” Priestess menjawab.
“Tolong.”
Seraya
dia berbicara, Goblin Slayer menarik belatinya.
“Er,”
Priestess menghela. Wajahnya menegang dan kembali menghela napas pasrah. “Apa
harus…?”
“Ya.”
Goblin Slayer membalik pisaunya di tangan dan kemudian berjalan menuju goblin
yang berwajah hancur.
High
Elf Archer mulai menyadari, dengan cepat dia menepuk pakaiannya, memastikan
semuanya siap. Darah terkuras dari wajahnya, dan telinganya melemas turun.
“…Aw, kamu serius?”
“Terkecuali
kamu punya parfum-mu.”
“He-hei,
mana ku tahu kalai perjalanan pulang ke rumahku akan me-menjadi pemburuan
goblin…”
“Ini
sudah bagian dari pekerjaan.”
Goblin
Slayer menghiraukan alasannya serayabdia membedah perut gobkin. Dia menarik
jeroan keluat, dan Priestess membungkusnya dengan sapu tangan yang telah di
keluarkannya, wajahnya tampak datar.
High
Elf Archer mengambil langkah mundur dengan suara tersedak; Dwarf Shaman dengan
cepat menangkap tangan sang elf.
“Kamu
harus tahu kapan untuk tegar.”
“Tekadkan
keberanian anda.” Lizard Priest berkata dari tempat di mana dia bergerak untuk
menghalau sang elf melarikan diri, mata berguling di kepalanya.
“Huh—?
Nggak, nggak mau, pasti ada cara lain yang bisa kita—!”
“Tenanglah.”
Mungkin,
adalah karena banyaknya pengalaman Hugh Elf Archer yang telah membuatnya tidak
menjerit.
*****
Para
petualang menyelinap mengikuti dinding, High Elf Archer berada di depan sebagai
pengintai mereka.
Menara
ini sudah hancur lebur, gerbang rusak, alam telah mengambil kembali strukur ini
untuk dirinya sendiri, dan begitu banyak bayangan untuk mereka dapat
bersembunyi.
Dan
dengan itu, banyak juga bayangan tempat di mana sesuatu dapat tersembunyi.
High
Elf Archer menjilat bibirnya, mencoba untuk memutuskan di mana dia dapat
memijakkan kakinya tanpa mengusi semak-semak. Jika goblin penjaga menemukan
mereka, itu akan mengartikan sebuah alarm, dan itu tidak akan menjadi sesuatu
yang menyenangkan.
“Terima
kasih.”
Ya ampun. High
Elf Archer berkedip. Orcbolg, berterima kasih kepadanya?
Manusia
sama sekali bukan makhluk terbaik untuk menyelinap melintasi gelapnya malam
dengan hanya bermodalkan cahaya bintang dan bulan berkabut untuk memandu
mereka.
“Manusia
pasti kesulitan untuk menghadapi yang seperti ini ya?” Dia berkata.
“Ma-maaf…”
Priestess menjawab.
“Nggak
masalah. Nggak usah di pikirkan.” High Elf Archer melambaikan tangan menyudahi
tanpa berputar. “…Oh.” Pada saat itu, telinga runcingnya berkedut, seolah
tertiup oleh angin.
Dia
menyipitkan matanya: dia sedang melihat seekor goblin yang berpatroli, sebuah
tombak bertumpu pada pundaknya.
Terdapat
beberapa jarak di antara mereka. Keberadaan para petualang belum di sadari oleh
mereka. Namun goblin itu sedang menuju kemari, seekor penjaga.
High
Elf Archer menarik panah dari tempat panah dan memuatkannya ke dalam busur.
“Apa
yang harus ku lakukan?”
“Tembak.”
Busurnya
berbunyi sesaat setelah Goblin Slayer berbicara. Sang goblin, tertembus di
tenggorokannya, mengayunkan tangannya tidak karuan seraya dia terjatuh di
lantai. Terdengar suara halus akan rumput yang berbisik, namun hanya itu saja.
Tidak ada penjaga lain yang tampak menyadari apa yang terjadi.
High
Elf Archer menghela napas yang di tahannya dan mulai bergerak kembali, Goblin
Slayer dan yang lain mengikuti di belakangnya. Dia menarik panah yang tertarik
di mayat goblin seketika dia melewatinya.
“Ugh…”
Dia mengernyitkan wajah melihat darah hitam goblin, mengayunkan panah untuk
membersihkannya. “Aku nggak mau tambah kotor lagi dari ini…”
“Iya,”
Priestess menyetujui dengan suara lemas. High Elf Archer mengangguk memahami.
Kedua
wanita muda manis ini berlumur dengan limbah tubuh dari kepala hingga kaki.
Sungguh bau dan lengket, dan tidak peduli seberapapun terbiasanya mereka, hal
ini tetap saja membuat mereka sedikit mual. Hal ini sangat di perkukan, namun
sangatlah tidak menyenangkan.
“Argh,
ujungnya patah… Pokoknya ini yang terburuk.”
“Hmm,
jika ini adalahnyang terburuk, maka mungkin para goblin tidak akan pernah
menyadari keberadaan kita.” Lizard Priest, merayap ke depan, mengangkat
kepalanya seperti ular. “Saya rasa, semua akan menjadi sedikit lebih merepotkan
ketika kita mulai memasuki menara.”
Matanya
terfokus ke depan, pada gerbang kayu besar yang menutupi jalan masuk ke menara.
Gerbang itu sangatlah tebal, dan bukan hanya pintu itu saja, keseluruhan
struktur dinding luar pun juga sama.
“Saya
pernah mendengar bahwa konon makam kerajaan terkadang penuh dengan jalan masuk
palsu.” Lizard Priest menambahkan. “Mungkin sudah seperti itu seharusnya.”
“Maksudmu
semua itu…palsu?” Priestess menjulurkan kepalanya keluar untuk mengintip,
mencoba untuk tidak di sadari para goblin. Pintu besar nan raksasa, berdiri
kokoh di bawah abhati rembulan, sukar untuk di anggap sebagai palsu.
“Sepertinya nggak kelihatan seperti itu…” (TL Note : abhati = cahaya suci.)
“Akan
sungguh beruntung bagi kita juga itu hanyalah sekedar ukiran,” Lizard Priest
menjawab. “Namun jika itu adalah sebuah jebakan, Saya sungguh bimbang tentang
apa yang akan terjadi pada kita.”
“….”
Untuk
beberapa detik Priestess menatap pada
pintu di antara reruntuhan tanpa sepatah kata. Sesuatu terasa janggal dengan
itu semua, sesuatunyang tidak dapat dia jelaskan.
“…Yah,
kurasa kita nggak perlu terlalu mengkhawatirkannya,” dia berkata dengan tawa
kecil setelah beberapa saat dan menunjuk dengan jari kurusnya pada pintu. “Coba
lihat tumbuhan yang menjalar di bawahnya.”
“Puji
Tuhan, benar sekali…!”
Pintu
palsu, hasil gagasan dari para elf atau semacamnyam sekarang telah menjadi
tidak berguna termakan oleh waktu dan kebodohan para goblin. Para goblin tanpa
pikir panjang menggunakan pintu itu keluar dan masuk, oleh karena itu
semak-semak yang berada di bawahnya telah rata karena terinjak.
“Kurasa
ini artinya kita permasalahan kita sama dengan sebelumnya,” High Elf Archer
berkata kesal. “Goblin.”
Satu
atau dua penjaga sedang berleha-leha, telihat bosan.
“Cara
tercepatnya adalah membunuh penjaga itu dan mencuri kuncinya.”
“Itu
kalau goblin mengetahui cara mengunci pintu.”
Dwarf
Shaman berkata, menggosokkan se uah daun di jenggotnya dan menghela. “Paling
nggak, kita harus membunuh mereka berdua secara bersamaan kalau ingin kita
tetap tidak di ketahui.”
“Nggak
masalah,” Goblin Slayer berkata. “Aku tahu delapan cara berbeda untuk membunuh
goblin tanpa suara.”
“Yang
benar?” Priestess bertanya, berkedip.
“Aku
cuma bercanda.” Goblin Slayer melanjutkan, menggeleng kepalanya perlahan dari
samping ke samping. “Lebih banyak dari delapan.”
Setelah
mempertimbangkan bahwa panah High Elf Archer sangatlah berharga, mereka telah
memutuskan bahwa Goblin Slayer dan Dwarf Shaman yang akan melakukan penyerangan.
Masing-masing dari mereka mempersiapkan kketapel, bergerak untuk memperpendek
jarak, dan melontarkan batu mereka hampir bersamaan.
Kedua
batu terbang melintasi udara, dan tepat mengenai tenggorkan salah satu goblin,
dan kepala goblin lainnya.
“GROBR?!”
“GBBO?!”
Satu
teumbang dengan batang tenggorokannya yang hancur; sedangkan satu lagi
terhuyung, memegang dahinya. Akan tetapi, sebelum makhluk itu dapat berteriak,
Lizard Priest menerjangnya, seolah seperti tarian. Swordclaw miliknya menyayat
tenggorokan makhluk itu sebelum dia dapat mengeluarkan suara.
Dengan
itu, para penjaga telah di tuntaskan tanpa suara, keheningan lapanagan di depan
gerbang tetap tak terusik.
“…Aku
sudah belajar cara memakai ketapel juga, tapi seperti nggak terlalu banyak
membantu.” Priestess berkata sedih.
“Nggak
usah di khawatirkan, akan selalu ada tempat dan waktu untuk setiap talenta,”
High Elf Archer berkata, menepuk punggung Priestess.
Lizard
Priest memberikan ayunan besar pada Swordclawnya untuk membersihkan darah dan
mulai menyeret mayat para goblin menjauh. “Anda harus melakukan apa yang anda
mampu lakukan.” Lizard Priest menyetujui seraya membuang mayat ke dalam
semak-semak. Sementara High Elf Archer berusaha untuk memastikan tetap aman,
Dwarf Shaman menjarah senjata para goblin, dan memilih sebuah tombak.
Dia
mengusungkannya dalam cahaya bulan: ujung besinya berkilau, cukup tajam. Dan
tidak berkarat juga.
“Kamu
tahu, untuk segerombolan goblin yang hidup dalam benteng yang membusuk, mereka
mempunyai senjata yang bagus. Apa mungkin mereka mengambil ini dari para
petualang.”
“Mungkin
terdapat beberapa pedagang senjata di antara mereka yang terbunuh.” Goblin
Slayer berkata. “Atau mungkin senjata itu memang milik tempat ini…”
“Hrm,”
Dwarf Shaman bergumam, menggeleng kepalanya mendengar ucapan Goblin Slayer.
“Siapa yang tahu? Senjata ini terlihat antik secara sekilas, tapi sebuah
terkadang sebuah benda di buat untuk terlihat usang.”
“Apa
ada kemungkinan bahwa senjata itu di tempa di sini?”
“Itu
nggak mungjin,” Dwarf Shaman berkata penuh percaya diri. “Api nggak bisa di
gunakan di sini. Nggak bakalan bisa melakukan penempaan tanpa adanya mantra
khusus dari para elf.”
“…Hrm.”
Goblin Slayer mendengus. “Apapun itu, satu-satunyanyang kita ketahui secara
pasti adalah para goblin membawa senjata itu. Apa kamu menemukan kunci?”
“Yeah,
ini.” High Elf Archer berkata, menyerahkannya kepada Goblin Slayer. Adalah
sebuah kunci tua yang menggantung di leher goblin beberapa menit sebeluknya.
Kunci itu berbentuk seperti tanda pengenal dengan angka yang terukir di
atasnya, tergantung dengan tali berjumbai.
“Bagus.”
Goblin Slayer memegangnya dengan erat, memperhatikannya dengan seksama. “Kita
masuk, dan kemudian maju sejauh yang kita bisa.” Dia berkata.
“Apa
itu, uh, strategi kita?”
“Ya.”
Seperti
biasanya, Priestess hanya dapat tersenyum melihat perilakunya. Kemudiam dengan
cepat dia berlutut dan memegang erat. “O
Ibunda Bumi, yang maha pengasih,” dia melantunkan, sebuah doa untuk
kedamaian semua goblin yang telah mati sejauh ini, dan mereka yang telah
terbunuh oleh para goblin. “ku mohon
dengan tangan sucimu, bimbinglah jiwa-jiwa mereka yang telah meninggalkan dunia
ini.”
Party
para petualang menunggu hingga dia telah selesai dengan doanya, dan kemudian
mereka bergegas menuju gerbang.
Goblin
Slayer memasukkan kunci ke dalam gembok, memutarnya. Terdengar suara datar klak.
“Kuncinya
nggak cocok.”
Itu
artinya kunci itu untuk di pakai pada pintu lain di suatu tempat. Dia
menjentikkan lidahnya dan menarik kunci keluar.
Priestess
membuka tasnya, membuat sebuah ruang. “Sini, aku bisa membawanya.”
“Tolong.”
Priestess
mengambil kunci, menaruhnya, dan menghela napas.
“Kurasa
itu artinya sekarang giliranku,” High Elf Archer berkata, berjongkok penuh percaya
diri di depan gembok. Kemampuannya untuk membobol benda seperti ini, yang katanya
dia pelajari untuk mmenghibur dirinya sendiri, telah terbukti cukup berguna
bagi party mereka.
Dia
menggunakan sebuah cukit untuk memainkan gembok, mengepakkan telinganya mencari
suara klik lembut, yang akan mengumumkan keberhasilannya. Ketika pada akhirnya
terdengar, dia megatakan, “Sempurna,” dan membusungkan dadanya bangga. “Sudah
terbuka.”
“Baiklah,
sekarang sebelum kita membukanya…” Dwarf Shaman berkata. Dia berjongkok di
samping sang archer dan merogoh isi tas katalis miliknya, mengeluarkan sebuah
kain.
Priestess
memiringkan kepala bingung, bertanya dengan bimbang, “Apa yang kamu lakukan?”
“Harus
kasih sedikit minyak di pintunya,” Dwarf Shaman berkedip. “Kita nggak mau
pintunya berdecit kan?”
“Oh,
aku bantu!”
“Aku
ambil yang kanan kalau begitu, dan kamu ambil yang kiri.”
Dia
melmpar sebuah kain yang di celupkan pada minyak kepada Priestess, dan gadis
itupun mulai bekerja. Dia membuktikan dirinya sendiri sebagai pembersih yang
baik, dari pengalaman panjang dalam kewajibannya di dalam kuil. Tidak lama
kemudian, pintu telah di minyaki dengan hati-hati, dan para petualang
mendorongnya terbuka dengan hampir tanpa suara.
Mereka
menyelinap masuk seperti bayangan dan kemudian menutup pintu di belakang
mereka. Para goblin masih belum menyadari kematian rekannya.
Jika
mereka telah menyadarinya, mereka tidak akan berkabung atau bersedih, tetapi
mereka hanya akan berpikir akan bagaimana cara menghukum para petualang.
10 Comments
"8 membulebih caranuh goblin tanpa suara" oh kawan Lo terlalu gg emang si Goblin slayar Jack all trade
BalasHapusAda typo seperti itu ya? Wkwkwkwk... maafkanlah hambamu ini yang sering typo 🤣
HapusSelamat tahun baru
BalasHapusSelamat tahun baru juga!
HapusDi tunggu min lanjutannya semangat terus jangan lupa jaga kdsehTanha
BalasHapusAmin mas, maafkanlah saya yang sering kebanyakan typo 🤣
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapuswkwkwkw keduluan. makasih terjemahannya
BalasHapusSama2 mas 😁
HapusMakasih terjemahnya
BalasHapusPosting Komentar