JANTUNG KEGELAPAN
(Translator : Zerard)
“Ihh... Ba-bau lumut...”
High Elf Archer mengeluh. Sarang ini bercampur dengan aroma dari reruntuhan tua
dengan bau busuk tipikal habitat goblin.
“Ya-yah, ini memang bangunan tua... Ini, aku nyalakan
api.” Priestess berkata. “Hup!” dia mendengus imut, seraya dia menggosok batu
api dan menyalakan obor.
Mereka berada tepat di
tengah tugu pencegah api yang telah di pasang para elf di bangunan ini, oleh
karena itu cahaya dari api ini sangatlah terbatas dan lemah. Namun tetap saja,
sangatlah cukup bagi keseluruhan party untuk dapat melihat. Priestess
memperhatikan wajah rekan-rekannya dan kemudian menghela napas lega.
Jalan setapak di sisi lain
dari gerbang sangatlah klaustraphobik. Jalan tersebut tidaklah begitu kecil
sehingga harus memaksa mereka untuk merayap, namun mereka tidak dapat menyebar
dan mempertahankan barisan tempur juga. Jalan itu mungkin berukuran tepat untuk
para goblin, namun untuk yang lainnya...
“Ugh, aku nggak suka ini!”
High Elf Archer berkata. “Jebakan pasak bisa menghabisi kita semua sekaligus.”
“Saya justru lebih
mencemaskan kemampuan saya untuk dapat melanjutkan ke depan,” Lizard Priest
menambahkan.
“Yeah, soalnya kemungkinan
si dwarf bakalan nyangkut!”
Dwarf Shaman terlihat marah
namun dengan bijak dia memilih diam.
“Ayo,” Goblin Slayer berkata
acuh, dan party mereka berbaris dan mulai berjalan.
High Elf Archer berada di
depan, Goblin Slayer tepat di belakangnya, di ikuti dengan Lizard Priest:
mereka adalah barisan depan. Di belakang adalah Priestess, dengan gugup meremas
tongkatnya, dan Dwarf Shaman, berada di ekor formasi.
Jalan yang sangat membatasi
ini berlanjut semakin dalam dan ke dalam, berbelok kecil ke kiri dan kanan.
Getaran gema yang mereka dengar tentunya berasal dari air bendungan.
Aku
benci terowongan sempit seperti ini, pikir Priestess. Jika
goblin datang dari depan, mereka tidak dapat melarikan diri. Jika mereka
datang dari belakang, maka mereka akan
terjebak.
Udara pengap. Rasa suram
yang mencekam. Aroma yang sangat Priestess kenali dari suatu trmpat, suatu
waktu. Priestess bergegas melihat sekelilingnya, merasa bahwa jika dia tidak
memperhatikan dengan seksama, maka dia akan tersesat.
“Paling nggak kita nggak
perlu mengkhawatirkan langkah kaki kita,” High Elf Archer berkata santai. Mungkin
karena ucapan itulah yang membuat Priestess mengjela lega. Udara di dalam
terowongan tiba-tiba menjadi lebih ringan.
“Dan sepertinya kita nggak
perlu mengkhawatirkan mereka menghancurkan dinding di belakang kita.” Dwarf
Shaman berkata.
“Kalau nggak ada pintu tersembunyi,”
Goblin Slayer berkata.
“ Dan jika mereka tidak
menemukan mayat di luar,” Lizard Priest menambahkan,
“Ayo terus jalan,” Priestess
berkata dengan suara bergetar, menelan liurnya. “Dengan hati-hati.”
“Ya. Terutama dengan... Apa
namanya...?”
“Mokele Mubenbe,” High Elf
Archer berjata seraya dia menghitung langkah selanjutnya. “Kan?”
“Ya, itu,” Goblin Slayer
melanjutkan, mengangguk. “Sesuatu telah berhasil menaruh pelana di atas makhluk
itu. Kita nggak boleh lengah.”
Lizard Priest meremas
Swordclaw miliknya dengan lebih erat, memperhatikan sekelilingnya. “Apa anda
berpikir itu adalah salah satu dari para iblis kecil?”
“Apa ada seseorang yang
mempercayakan naga kepada goblin, selain goblin?”
Dwarf Shaman menelusuri
dinding dengan tangan seraya berjalan. “ Aku kenal orang filisitin, tapi goblin
lebih rendah dari mereka.” Dia berkata dengan gelengan kepala lelah. “Coba
lihat ini. Ada lukisan di sini, dan mereka—“
Ilustrasi yang mungkin
menggambarkan sejarah reruntuhan, atau mungkin adalah peringatan bagi para
penyusup. Apapun gambar itu sebelumnya, gambar itu sekarang telah di nodai dan
di hancurkan oleh para goblin. Ini membuktikan bahwa perusakan bukanlah
tindakan penistaan bagi para goblin. Jika mereka memang benar pelayan akan
Kekacauan yang mencoba untuk menodai peninggalan Ketertiban, maka mereka akan
melakukan pekerjaannya dengan lebih terperinci.
Namun apa yang di sini adalah, pemandangan yang retak, di cat di
sana dini, hancur di beberapa tempat, dan di biarkan begitu saja di tempat
lain...
“...Seperti anak kecil yang
bosan dengan mainan,” Priestess berbisik, merinding. Dan sudah seharusnya :
Adalah tindakan penghancuran hasil pekerjaan seseorang, hanya untuk
bersenang-senang. Priestess sangat memahami akan bagaimana tindakan seperti itu
terlihat jika beralih ke makhluk hidup.
“...”
Mungkin adalah rasa cemas
dan gugup yang membuat tangan kanannyz yang bergetar menjadi kaku di
tongkatnya, sementara tangan kirinya mengatur ulang genggaman pada obornya. Dia
mengucap nama Ibunda Bumi dalam napasnya.
Mungkin karena itulah dia
yang menyadarinya terlebih dahulu ketika hembusan angin bertiup di reruntuhan,
bercampur dengan suara air.
“Ada suara...?” Tiba-tiba
dia berkata, dan berhenti.
“Ada apa?” Goblin Slayer
bertanya ketika dia menyadarinya. Hal itu membuat Priestess merasa sedikit
lega. Adalah sebuah pengingat bahwa Goblin Slayer menjaga Priestess. Menjaga
mereka semua yang berada di sini.
Priestess menyadari bahwa
dia secara tidak sadar membandingkan partynya dan mereka. Dia menunduk malu.
“Tadi... Ada suara...”
“Kamu dengar suara?”
“Kayaknya, dari depan...”
Goblin Slayer membalas
dengan dengusan. “Hmm. Bagaimana menurutmu?”
“Sebentar, dari tadi aku
ngamatin lantai ini...” High Elf Archer mendengak, telinganya sekarang berditi
tegak, mencoba mencari suara.
Fwip,
fwip. Telinganya mengepak.
“...Yeah, aku mendengarnya
juga. Suara seseorang. Aku nggak tahu apa dia pria atau wanita.”
“Jadi ada sesuatu yang hidup
di sini selain goblin.” Dwarf Shaman berkata, mengernyit terkejut. “Kurasa kita
harus merasa senang, tapi ini bakal menambah beban kita untuk menyelamatkan
mereka.”
“Belum ada kepastian bahwa
mereka adalah tahanan.” Lizard Priest menambahkan, memutar mata dan menyentuh
ujung hidung dengan lidahnya.
“Tapi, kalau benar ada
tahanan di bawah sini...” Priestess mengangkat obor setinggi yang dia bisa,
seolah ingin mengusir rasa takut dan ketidakpastian. “Maka kita...kita harus
menyelamatkan mereka...!”
“Ya,” Goblin Slayer berkata
tanpa ragu. Dia memeriksa ulang perisai pada lengan kiri, dan kemudian beralih
ke pergelangan tangan kanan, dan mengatur ulang genggaman pedangnya. “Ini nggak
merubah apa yang harus kita lakukan. Ayo.”
Tidak lama kemudian, party
mereka tiba pada sebuah tangga berputar yang memanjang dari dasar hingga puncak
reruntuhan. Terowongan tak terhitung mengitarinya.
Suara yang bergema dapat
terdengar dari bawah, jauh di bawah, seolah itu adalah suara dari lubuk neraka.
*****
“....Baunya memang seperti
sarang goblin.”
Party mereka memutuskan
untuk menuruni tangga, mengikuti arahan dari indra High Elf Archer.
Tangga ini memeluk dinding batu,
berputar menurun. Anak tangganya begitu sempit, dan tidak terdapat gagang untuk
berpegangan. Masing-masing dari mereka meletakkan tangan pada dinding dan bergerak
dengan perlahan, sangat perlahan.
“Terlihat seperti sarang
semut bukan.” Lizard Priest berkata, memperhatikan banyaknya terowongan yang
mengarah ke bagian lebih dalam dari benteng ini.
“Mm, mereka membuat menara
yang cukup bagus ya?” Dwarf Shaman menjawab.
Bendungan dan tepian sungai
telah berdiri bertahan melalui banyaknya gempuran pertarungan selama paling
tidak beribu-ribu tahun. Tidak lama lagi para mereka tentunya akan mencoba
untuk menghancurkannya hanya dengan lima petualang. Tidak ada yang bisa
menyalahkan perasaan tegang yang mereka rasakan. (TL Note : saya agak kurang
paham “mereka” di sini apakah para goblin atau para petualang, “mereka akan
mencoba menghsncurkannya hanya dengan lima petualang”)
“Eep!” Priestess memejamkan
matanya dan menempelkan tubuhnya ke dinding seraya hembusan angin bertiup di
dalam atrium ini. Kekuatan dari angin itu tidak cukup kuat, namun angin itu
membawa aroma busuk yang mengisyaratkan hal-hal keji di depan mereka.
“Munh-mungkin kita harus
mengikat tali pengaman di diri kita agar—“
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata, dengan acuh menolak ide Priestess. “Kita sedang berjejer satu barisan.
Kita nggak tahu apakah goblin akan datang dari depan atau belakang.”
“Benar, akan sangat
berbahaya untuk lebih membatasi pergerakan kita saat ini,” Lizard Priest, yang berdiri
di belakang formasi, memutar mata di kepala dan menepuk lantai dengan ekornya.
“Namun jangan resah, jika anda terjatuh, maka peganglah ekor saya dan terus
maju.”
“Kalau bisa jangan sampai
jatuh, tapi... Iya, aku akan berusah sebaik mungkin.” Priestess mengangguk,
memastikan dia memegang tongkat dan obor dengan erat agar tidak menjatuhkannya.
Pada saat itu, telinga High
Elf Archer berkedut.
“Goblin?”
“Memangnya apa lagi?”
keseluruhan party berhenti di belakangnya dan mempersiapkan senjata mereka. “Kita
ada cahaya. Mereka akan menyadari keberadaan kita saat kita mendekat.”
“Kita nggak bisa membiarkan mereka melarikan diri
hidup-hidup.”
“Pak Goblin Slayer, apa yang
harus kita lakukan?”
“Mau ada tahanan di bawah
sana atau nggak, kita harus mencapai dasar dari tangga ini,” Goblin Slayer
berkata datar. “Dan kemudian, kita harus kembali lagi ke atas.”
“Kamu tahu apa yang mereka
bilang soal labirin,” Dwarf Shaman menyela, berucap dengan nada nyanyian: “Masuk ke dalam mudah di lakukan, tetapi
keluar tidak pernah menyenangkan.”
“Mm.” Lizard Priest
mengangguk.
“Kita nggak akan bisa
menghindari pertarungan,” Priestess berkata, “Dan kalau kita ketahuan—“
—maka apa yang akan terjadi?
Darah terkuras dari pipinya,
dan tiba-tiba dia merasakan kakinya menjadi goyah.
Baju di sobek. Jeritan
Fighter. Suara teriakan-teriakan. Pemandangan mengerikan elf yang tertangkap.
Para wanita yang di sate.
Semua kenangan ini melintas
di pikirannya, mempercepat pernapasannya. Giginya mulai bergetar.
Priestess berusaha untuk
menjaga napasnya tenang dan stabil. Dia memaksa kakinya, yang bersiap untuk
melemas, agar dapat kembali berdiri tegak lagi.
“...Aku akan coba
menggunakan Silence lagi.”
Dia akan menggunaka keajaiban berharga lainnya. Goblin Slayer
dengan cepat membuat kalkulasi dalam pikirannya.
“Kalau semuanya lancar, kita
mungkin bisa beristirahat saat sampai di dasar.” Dwarf Shaman berkata seraya
menggapai tas katalisnya, menengok ke bawah tangga yang tampak tak pernah ada
habisnya dengan hati-hati. “Tempat ini terlalu besar untuk di patroli di semua
tempat secara sekaligus, bbahkan bagi goblin.”
“Ada berapa banyak menurut
anda yang sedang kita hadapi tuanku Goblin Slayer, berdasarkan dengan apa yang
sudah mereka curi?”
“Mereka bahkan punya
serigala,” Goblin Slayer membalas. “Nggak di ragukan lagi kalau mereka
beroperasi dengan jumlah besar.”
“Tetap saja, pastinya mereka
nggak punya cukup goblin untuk menjaga jeseluruhan benteng ini.”
“Kemungkinannya begitu.”
“Yah kalau begitu sudah di
putuskan.” High Elf Afcher tersenyum riang, menggapai tangan untuk menepuk
pundak Priestess. “Giliranmu!”
“Baik!” Priestess mengangguk
dan menggigit bibirnya. Dia sangat mengetahui apa yang akan terjadi bila mereka
tidak melakukan ini. Dia menggelengkan kepala, mengenyahkan ingatan yang
terbang seperti rambutnya. Kemudian dia menarik napas dalam.
Dia memegang tongkat dengan
kedua tangan, menghubungkan jiwanya dengan Ibunda Bumi yang bersemayam di
surga.
“Bagaimana dengan mayatnya?”
Lizard Priest bertanya.
“Jatuhkan,” Goblin Slayer
membalas cepat dan acuh. “Goblin yang jatuh dari tangga ini bukanlah hal yang
aneh.”
“Baiklah!” Priestess
mengusunb tongkatnya, menikmati hangatnya obor seraya dia mempersempahkan
doanya. “O Ibunda Bumi yang maha
pengasih, berikanlah kami kedamaian dalam menerima semua hal.”
Kemudian semua suara menjadi
sirna.
Para goblin yang muncul dari
dalam koridor, terbelalak melihat para petualang yang mendekat dengan hanya
bermodalkan cahaya obor.
Panah High Elf Arvher
menembus tenggorokan goblin sebelum dia dapat memanggil rekannya. Dia
mengayunkan lengannya seolah seperti berenang di udara seraya dia terjatuh ke
depan; Goblin Slayer memberikannya tendangan kuat.
Goblin tersebut terjatuh,
menghilang ke dalam kegelapan pekat tanpa batas.
Seraya mereka melanjutkan
menuruni tangga, High Elf Archer mengepakkan telinganya. Adalah dulit untuk
dapat memastikan apa yang dia dengar. Dia terus menjaga matanya terbuka,
mencoba mencari goblin yang mungkin datang mendekati mereka.
Di
sana.
Sang archer dengan cepat
mengangkat tiga jari pada satu tangan sebelum mengambil panah dari tempatnya,
menarik tali busur, dan menembakkannya.
Panah itu terbang tanpa
suara, menangkap penjaga pemegang tombak tepat di matanya. Goblin itu terjatuh
dari tangga.
Rekan penjaganya menunjuk
dan mentertawainya dan kemudian memiringkan kepala setelah menyadari bahwa
suaranya sama sekali tidak terdengar. High Elf Archer bergegas melewati Goblin
Slayer, sementara di belakangnya, Goblin Slayer memecahkan tengkorak makhluk
itu, seolah seperti membelah kayu.
Kepala itu pecah dan otak
membanjiri keluar. Goblin Slayer menjatuhkan goblin kedua ke dalam kegelapan
pekat kemudian maju ke depan.
Goblin ketiga, walaupun menganga
melihat kejadian tiba-tiba ini, namun dia mempersiapkan tombak di tangannya.
Dia sedang berhadapan dengan
seorang dwarf dan seorang gadis manusia. Namun hanya butuh waktu sekejap
baginya untuk memfokuskan pandangannya kepada sang gadis, namun dia mendapati
pandangannya terhalang oleh tangan sang dwarf. Sebelum dia menyadari apa yang
terjadi, terdapat begitu banyak debu di matanya, dan kemudian, ekor Lizard
Priest menyapu kaki gobkin tersebut.
Yang tersisa sekarang
hanyalah menjatuhkannya.
Terowongan berputar ini
berlanjut terus menerus. Seseorang mungkin dapat merasa pusing jika memikirkan
ukuran bangunan ini.
Semua suara telah sirna, dan satu-satunya yang dapat mereka
lihat adalah cahaya yang mereka bawa. Mereka hanya dapat mencium air yang
mmengalir dan keringat mereka sendiri.
Priestess terhuyung,
terserang oleh rasa pusing. Seraya dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi,
dia mendapat tubunnya yang goyah terlilit oleh ekor Lizard Priest.
Dia bergegas melihat ke
belakang. Sang lizardman memutar mata di kepalanya dan menyentuh hidung dengan
lidahnya. Tampaknya dia ingin mengatakan, jangan
di risaukan.
Priestess menggeleng
kepalanya, dan kemudian kembali menghadap ke depan dengan obor dan tongkat di
tangan dan mulai mengikuti kembali punggung rekannya yang berada di depan.
Dwarf Shaman dengan baik hati telah memperlambat langkahnya demi Priestess.
Goblin Slayer dan High Elf Archer tetap siaga seperti biasanya.
Aku
harus terus berdoa...!
Priestess mengjela panjang
seraya dia memaksa pikiran tidak penting dari pikirannya dan terus melanjutkan
persembahan doanya kepada Ibunda Bumi.
Dia hanya berdiri di
belakang rekannya, berdoa. Dia mulai ragu apakah doanya benar berguna.
Namun keraguan menjerumus
kepada kematian di saat seperti ini.
Dan dia tidak akan
membiarkan doanya kepada dewa menjadi goyah karena itu.
Semuanya
ada di sini, dan aku bersama dengan mereka. Mereka melindungiku, dan aku meli
dungi mereka.
Dia menarik napas kembali.
Bahkan di lubuk kegelapan
ini, dia mempunyai teman di sampingnya, dan jiwanya menyentuh Ibunda Bumi yang
bersemayam di surga.
Tentunya tidak ada yang
perlu di takutkan.
*****
Bob,
bob. Mayat Lima atau enam goblin mengalir di
permukaan air.
Di dasar dari tempat ini
terdapat sebuah saluran air. Apakah keajaiban Silence, atau hanya karena jarak,
yang membuat para petualang tidak dapat mendengar sedikitpun suara dari goblin
yang mengambang ke permukaan?
Terbendung dan kemudian
tersimpan, apa yang tersisa dari air sungai terus mengalir ke hilir.
“Mungkin para iblis kecil berpikir
untuk meracuni air.” Lizard Priest berbisik ketika suara kembali ke dunia.
Mengingat bahwa para goblin telah membendung sungai, maka itu adalah langkah
selanjutnya yang sudah pasti. Desa elf bukanlah satu-satunya yang berada di
hilir, namun juga kota air.
“Goblin bertingkah layaknya
goblin, pemimoin mereka mungkin sedang merencanakan sesuatu.” Dwarf Shaman
menyetujui.
“Apa gunanya, selalu
berpikir tentang apa yang goblin pikirkan?” High Elf Archer berkata,
mengernyit. Dia memberikan helm Goblin Slayer beberapa tepukan. “Nanti kamu
bakal jadi seperti mereka.”
“Seharusnya kamu lebih khawatir
sedikit,” Dwarf Shaman berkata. “Ini itu
soal rumahmu.” Dia menambahkan pelan, hal ini mengundang amarah “Apa
katamu?!” dari sang elf. Mereka telah berhasil menjaga suara mereka cukup pelan
hingga membuat Lizard Priest tidak perlu memberikan teguran.
Goblin Slayer, benar-benar
tidak bergerak, mengeluarkan sebuah kantung air dari kantung peralatannya dan
membuka tutupnya. Dia meneguk beberapa kali melalui celah helmnya dan kemudian
menawarkan kepada Priestess di tempat gadis itu berjongkok. Priestess
menerimanya, wajahnya pucat berusaha untuk menenangkan diri.
“Minum.”
“Uh, ba-baik, terima
kasih...”
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata, menggeleng kepalanyz. “Kamu sudah membantu kami.”
Priestess memegang kantung
air dengan kedua tangan, mendekatkannya ke mulut dengan sedikit malu. Terlihat
senyum tipis di wajahnya. Dia tidaklah tegang sekarang dan itu bukanlah hal
yang buruk.
Mereka telah melewati satu
rintangan. Satu persatu.
Dia meminum, dua teguk,
tiga. Kemudian menghela puas dan menutup kembali kantung air itu.
“Terima kasih banyak,” dia
berkata, menyerahkan kantung itu kembali; Goblin Slayer menerimanya dengan diam
dan memasukkannya kembali ke dalam ksntung peralatannya.
Goblin Slayer menggunakan
golok untuk menarik salah satu mayat mengambang ke dekatnya, memeriksa pedang
yang ada di sabuk goblin itu. Dia mengambil pedang itu ke dalam sabuknya
sendiri, memasukkan goloknya ke dalam sabuk goblin itu sebagai gantinya, dan menendang
mayat itu kembali.
“Suaranya sudah berhenti,”
dia bergumam.
Telinga High Elf Archer
mengepak. “Yeah.” Dia mengangguk. “Aku nggak terlalu yakin waktu kita tadi
menuruni tangga, tapi sekarang aku rasa aku sudah nggak mendengarnya lagi.”
“Kita sudah terlambat.”
High Elf Archer, memahami
maksud pria itu. Dengan cepat dia memerika tali busurnya, mengikatnya kembali,
kemudian memastikan bahwa dia masih mempunyai panah seraya dia berdiri. “...Itu
bukan alasan untuk berleha-leha kan?”
“Benar sekali,” Lizard
Priest menyetujui, mengayunkan Swordclaw miliknya. “Kita datang kemari untuk
bertarung, dan membuat musuh kita ketakutan di hadapan kita. Tak ada alasan
bagi kita untuk tidak memanfaatkan keuntungan kita saat ini.”
Dia mengulurkan tangan
berotot dan bersisiknya kepada Priestess,
“Aku baik-baik saja,” dia
berkata dengan senyum si gkat dan kemudian berdiri, bertumpu pada tongkatnya.
“Oh, obornya...”
“...Mm.” Goblin Slayer,
akhirnya menggelengkan kepala pelan dari samping ke samping. “Aku menyerahkannya
kepadamu untuk menanganinya.”
Priestess menghela pelan melihat
pria itu sekali lagi berjalan sigap di depan barisan. Namun tidak lama
kemudian, menyadari bahwa dia telah di beri tugas untuk memberikan cahaya
kepada party mereka, dia mengangguk penuh tekad.
“Tolong, pegang ini
sebentar.” Priestess berkata keppada Dwarf Shaman. Kemudian dia mengambil
lentera yang ada di dalam barang bawaannya dan memindahkan api ke dalam lentera
tersebut.
“Wah, persiapanmu bagus
sekali!”
“Lentera itu wajib dalam
petualangan,” dia menjawab, membusungkan dadanya dengan sedikit bangga.
Peralatan Petualang adalah
sebuah paket yang tidak selalu berguna walaupun tampak berguna, namun kali ini
paket ini membuktikan kegunaannya. Dia menutup lentera untuk menghalau cahaya
yang terlalu berlebihan, kemudian melempar obor ke dalam sungai dengan sedikit
“Yah!” terdengar desisan dan asap putih, dan akhirnya oborpun telah tiada.
“...Oke, ayo.”
Anggota partynya mengangguk,
dan kemudian mereka mengikuti Goblin Slayer, sebisa mungkin mencoba tidak mmenimbulkan
suara.
Syukurnya, suara sungai
telah membantu mereka untuk menutupi suara.
Goblin Slayer berbicara
pelan kepada High Elf Archer di kegelapan. “Bagaimana di depan?”
“Mereka di sana.” Dia
menurunkan pinggulnya seperti seekor kuda yang hendak berlari, namun dia terus
bergerak maju dengan cepat. “Sepertinya ada semacam...batu giling atau mortar?
Bersama lima...mungkin enam dari mereka, sedang bersenang-senang.”
“Jangan gunakan mantra,”
Goblin Slayer berkata, menggerakkan pedang di tangan kanannya. “Kami akan
mengurus mereka.”
“Namun...” Lizard Priest
menjilat hidung dengan lidahnya. “Bagaimana cara anda untuk menyerang?”
“Silence lagi?” High Elf
Archer menawarkan, menambahkan pada dirinya sendiri aku nggak masalah sih seraya dia menarik panahnya.
Goblin Slayer melirik kepada
Priestess, yang di mana wajahnya putih pucat, dan menggeleng kepalanya. “Kita
harus melakukan yang lain.”
“Aku ba-baik-baik saja...!”
“Aku nggak mau memakai
taktik yang sama dua kali berturut-turut,” Dia berkata, merogoh isi tasnya.
“Apa kita punya lem?”
“Ini. Ada banyak. Bentar.”
Dwarf Shaman berkata, menggali ke dalam tasnya sendiri. Tidak lama kemudian,
dia mengangguk dan mengeluarkan beberapa botol kecil yang tersegel.
“Bagus,” Goblin Slayer
berkata dengan segera. “Kalian semua, tolong berikan aku kaus kaki kalian.”
“Priestess memegang paha
dengan tangannya, tiba-tiba berwajah merah; High Elf Archer hanya terlihat
bingung. “Mau kamu apain?” dia bertanya.
“Aku akan menggunakannya.”
Lizard Priest mengangguk
serius. “Apa anda menginginkan punya saya juga?”
“Kalau kamu punya.”
*****
Para goblin telah
menyelesaikan pekerjaannya dan sedang dalam semangat tinggi. Goblin ini hampir
tidak pernah merasa mabuk, tetapi dia merasa bahwa inilah rasa mabuk itu.
Alkohol curian sangat jarang bisa hinggap di tangannya—botol-botol itu selalu
kering habis jauh sebelum botol itu mencapai dirinya di bawah ini. Dia
mempunyai kecurigaan apakah para goblin yang di atas benar membagikan jarahan
mereka secara adil, tapi seperti itulah memang goblin. Mereka tidak pernah
memikirkan rekan mereka, dan masing-masing goblin selalu mengambil lebih untuk
dirinya sendiri, dan sebelum kamu mengetahuinya, semuanya telah habis.
Namun goblin bawah tanah
yang dermawan ini akan memaafkan mereka.
Bukan karena dia mengetahui
bahwa dia akan melakukan hal yang sama jika dirinya sendiri berada di lantai
atas—rasa kesal akan para bajingan tidak tahu diri di atas sudah cukup
membuatnya puas, walaupun dirinya sendiri akan bertingkah laku layaknya mereka.
Tidak, alasan mengapa dia
merasa dermawan adalah karena bekerja di lantai terbawah ini memiliki
keuntungannya tersendiri.
Dengan gerakan santai, sang
goblin mengatur dekorasi yang tergantung dari
sebuah rantai di sekitar lehernya. Kemudian dia duduk dengan kasar pada
lingkaran rekannya dan menggapai makanan yang berada di tengah.
Dia mematahkan sebuah jari
dari lengan yang membusuk dan melemparkannya ke dalam mulutnya. Dia mengunyah
dan menghela.
Bekerja
di bawah sini itu adalah yang paling buruk, dia
berkata, mencoba terdengar tangguh walaupun dia mengeluh.
Terdengar beberapa
rangakaian persetujuan dari yang lain, dan kemudian sesekor mencabut sebuah
kaki dari makanannya.
Sesekor lainnua, tidak dapat
membiarkan ini begitu saja, membuat keributan dan mencoba untuk mengambil kaki
itu, hingha pada akhirnya kaki itu terkoyak menjadi dua, dan mereka berdua
mendapatkan bagian kaki itu.
Seraya mereka mengunyaj
daging, para goblin mengeluh bahwa para petinggi sama sekali tidak mengerti.
Salah satu dari mereka
mencongkel bola mata cantik berwarna kuning dari makanannya, dan berkata, iya, mereka sama sekali nggak ngerti, kemudian
menelan bola mata itu.
Keluhan para goblin semakin
lantang dan lantang, namun tentu saja, pekerjaan yang di berikan kepada mereka
tidaklah begitu berat. Adalah sifat para goblin , bahwa mereka yakin goblin
lainnya mempunyai tugas yang lebih mudah dari mereka.
Setelah selesai menyantap
makanan, para goblin berdiri. Mereka semua setuju bahwa seorang rhea sama
sekali tidak enak untuk di makan begitu pula seorang elf, dan seorang elf
tidaklah selezat manusia.
Sekarang perut mereka telah
terisi dan kenyang, dan tampak sudah tidak ada lagi yang harus di lakukan bagi
mereka selain tidur hingga ada pekerjaan lain yang harus di lakukan.
Para goblin menguap lebar,
ketika—
“—?”
Yah, sekarang.
Benda apakah yanh berguling
di kakinya? Sebuah obor yang padam?
Apa-apaan? Para goblin
melihatnya dengan terbengong.
“?!”
Tidak lama kemudian, sesuatu
yang berat dan basah mengenai wajahnya. Dia mencoba untuk berteriak, namun
sesuatu yang lainnya mengenainya lagi, kali ini di mulut.
Dia berusaha menariknya,
namun tangannya menempel di benda itu, dan dia tidak dapat melepaskannya.
“GROBB!!”
“GRB GBBOROB!!”
Seraya dia terguling di
lantai, goblin lain menunjuk dan mentertawainya. Mereka juga mentertawai goblin
yang terjatuh dari tangga sebelumnya.
“GBOROB?!”
Kali ini, benda itu menghantam
wajah goblin yang tertawa. Dua dari mereka sedang mencakar wajah mereka,
merintih kesakitan. Tiga secara keseluruhan.
Dua yang lainnya akhirnya
menyadari bahwa ini bukanlah saatnya untuk bercanda dan menarik pedang curian
mereka.
Salah satu dari mereka
memakai sesuatu yang terlihat seperti peluit alarm di bibirnya—
“Satu.”
—dan dengan cepat mendapati
sebuah belati yang terbang di kegelapan, menembus tenggorokannya. Darah
menciprat dari luka dengan suara yang tidak seperti sebuah siulan..
”GOBBRB?!”
Menerjang suara itu munculah
seorang ppetualang dengan armor kulit kotor, menyerang mereka dari hilir. Di
tangan kanannya adalah sebuah pedang. Di kiri, sebuah perisai. Mata goblin
terbelalak. Petualang! Benci! Ini orangnya!
“GBRO! GGBORROB!!”
Pikiran akan memanggil rekan
ataupun menolong mereka telah sirna dari pikirannya, dan dia-pun terjun dalam
pertarungan. Pedangnya merupakan pedang yang cukup bagus yang telah dia curi
dari seorang petualang. Pedang itu bukanlah pisau berkarat.
“Hmph.”
Akan tetapi, Goblin Slayer,
menangkis mudah pedang itu dengan perisainya. Dia menangkap ayunan lebar dari
monster itu, yang tersangkut di perisainya, dia mmengambil langkah mundur dan
menyapu kaki monster itu.
“GOBBR?!”
Sang goblin telah kehilangan
pijakannya dan terjatuh dengan keras dan kemudian kembali berdiri terhuyung.
Dalam sekejap setelah itu,
dia mendengar suara duk. Dan goblin
itupun berhenti bernapas, tanpa pernah mengetahui mengapa.
Dia terjatuh ke depan, mata
tak bernyawanya tidak lagi memandang apa yang terjadi pada rekannya.
“GORB... GRB?!”
“GROBBR?!”
Goblin lainnya, akhirnya
telah dapat melepaskan cairan lengket dari wajah dan mulut mereka, hampir tidak
dapat berbicara.
Tidak lama kemudian,
Swordclaw Lizard Priest menyayat dari badan hingga kaki, dan Goblin Slayer
menusuk sebuah tenggorokan.
Menghabisi lima goblin hanya
membutuhkan sepuluh atau dua puluh detik. Itulah gunannya sebuah pengalaman.
“Tiga... Dan empat, dan
lima.” Goblin Slayer menghitung mayat dan kemudian berputar kembali ke dalam
kegelapan. “Tadi tembakan yang bagus.”
“Aku sudah banyak berlatih.”
Priestess berlari kecil keluar kegelapan, memegang tongkatnya. Sebuah ekspresi
malu tersirat di wajahnya setelah mendengar pujian sederhana Goblin Slayer.
Benar, para goblin telah teralihkan perhatiannya di karenakan obor, namun tembakan
gadis itu tetap mengenai sasaran tanpa bantuan, hasil dari jerih payahnya
sendiri.
Priestess mengambil kaus
kaki yang telah di robek goblin dari wajahnya dan melemparkanya ke samping.
“...Ugh. Kurasa aku sudah nggak bisa pakai ini lagi...” dia berkata kecewa.
Terdapat darah dan liur dan ingus di keseluruhan kaus kakinya. Dia bisa saja
mencucinya sebanyak tiga kali dan dia tetap tidak akan ingin memakainya lagi.
“Masukan batu ke dalam kaus
kaki kita, lumurkan dengan lem dan lempar ke arah goblin?” High Elf Archer,
yang juga turut menyumbang kaus kakinya, sedang mengambil panahnya dari salah
satu mayat goblin. “Sumpah deh, kamu itu punya imajinasi kayak anak kecil yang
nakal.”
“Tapi ini berhasil,” Goblin
Slayer berkata pendek, berputar mengarah tubuh yang telah termakan setengah.
Adalah pemandangan yang
begitu menjijikkan hingga mustahil untuk mengetahui kelamin dari korban itu,
hingga dia mengambil status peringkat berwarna biru dari kekacauan ini. Adalah
seorang pria.
“Kira-kira apa dia punya
keluarga ya,” Dwarf Shaman berkata, melirik dan mengambil kalung peringkat
sapphire bernoda itu. “Atau sebuah party... Aku ragu kalau dia sendirian.”
“Kemungkinan begitu,” Goblin
Slayer berkata, memjtarkan kepalanya dan memandang perkakas yang para goblin
gunakan untuk “pekerjaan” mereka.
High Elf Archer menunjuk
salah satu perkakas dengan tatapan apaan
ini, sebelum akhirnya dia menyadari
apa yang dia lihat dan melompat ke belakang. “Eek?!”
Adalah sebuah batu
giling—atau lebih tepatnya adalah sebuah penekan. Memutar pegangan bundar
membuat alat ini bergerak, memberikan tekanan pada apapun yang berada di
dalamnya. Adalah semacam benda yang mungkin akan di gunakan untuk mendapatkan
minyak dari zaitun, ataupun anggur. Jadi apa yang sedang para goblin tekan
dengan ini?
Jawabannya dengan segera
menjadi jelas.
“Ergh.... Ah...!” Priestess
terkesiap kecil dan hampir menjatuhkan tongkatnya.
Dalam celah dari mesin itu
dapat terlihat tangan dan kaki kurus, masih kejang-kejang dengan sisa kehidupan
terakhirnya. Kaki dan tangan ini adalah milik seorang wanita muda dengan mata
berkaca yang menatap ke atad, lidahnyz menjulur keluar dari mulutnya.
Hal ini membuat jelas apa
yang para goblin sedang berusaha tekan. Sebagai bagian dari alat siksaan, cara
ini ini begitu keji. Sebagai bagian dari eksekusi, cara ini begitu sadis.
Tidak.
Priestess dengan cepat memahami
apa arti dari semua ini.
Tumpukkan dari armor wanita
yang terkoyak di ujung.
Pedang pendek terasah yang
telah Goblin Slayer ambil dari goblin sebelumnya.
Kalung peringkat sapphire
yang bergantung di salah satu leher mayat.
Otot di lengan yang sekarang
terlungkai lemas.
Semua itu menunjukkan bahwa
wanita muda ini adalah seorang petualang sebelumnya.
Dan semua ini membentuk
sebuah kesimpulan yang tak terelakkan: para goblin melakukan ini hanya untuk
bersenang-senang.
“...”
Merupakan pemandangan yang
sungguh membuat mual, tetapi walaupun pucat, Priestess menelan kembali cairan
pahit yang hendak keluar.
Mungkin—sayangnya—dia telah
terbiasa dengan hal semacam ini. Mungkin ini adalah sesuatu yang harus di
biasakan. Dia tidak mengetahuinya.
Seraya dia berjongkok,
berdoa kepada Ibunda Bumi, sebuan cairan kental dan lengket menetes di lantai,
menodai sepatu putihnya.
Cairan merah kehitaman yang
telah di peras oleh goblin dari alat mereka mengalir masuk ke dalam parit di
lantai, dan dari sana, mengalir menuju su gai.
“Hmm,” Lizard Priest
berkata, memutar matanya. “Jika mereka menuangkan ini ke dalam su gai, bukankah
ini akan menjadi semacam racun?”
“Bisa saja.” Goblin Slayer
berjongkok dan mengambil sedikit bagian sampel dari cairan lengket itu,
menggosokkannya di antara jarinya. Walaupun hanya setetes kecil di dalam sungai
besar ini, hal i i kemungkinan akan sangat cukup fatal bagi seseorang, “Seolah
mereka berpikir ‘selama ini kamu meminum, hidup, dan mandi dengan air penuh
dengan darah dan tai dari kaummu.”
“Hrr—ghh...” High Elf Archer
dengan cepat merasa jijik. Priestess dengan segera menawarkannya sebuah air,
namun sang archer menjawab, “Nggak, terima kasih.”
“Jika begitu, saya rasa kita
dapat menganggap ini sebagai bentuk dari kutukan,” Lizard Priest berkata.
“Jadi kamu berpikir begitu
juga?” Goblin Slayer menarik bapas. “Makhluk,,,itu...”
“Maksudmu Mokele Mubenbe?”
“Ya, itu.” Goblin Slayer
menambahkan. “Itu artinya siapapun yang menangkap makhluk itu adalah semacam
pembaca mantra.”
“Dan seekor goblin...”
Priestess merinding.
Sebuah gua gelap. Wanita
yang tumbang. Dan seekor goblin shaman yang meracau di atas tahtanya..
Semua ini sama persis dengan
ingatan yang telah tercetak di kepala Priestess. Dia meremas tongkatnya lebih
erat.
“...shaman?”
“Siapapun itu, dia nggak
boleh di remehkan,” Dwarf Shaman bergumam, berkata kepada Goblin Slayer dan
Lizard Priest. “Aku kaget kalian berdua sangat tenang sekali...”
“Bukanlah budaya kami untuk
menahan tahanan kami hidup-hidup hanya untuk bersenang-senang, namun membunuh
adalah keahlian kami,” Lizard Priest menggelengkan kepala perlahan dari samping
ke samping. “Pembedahan perut dari warrior tangguh dan memakan hati mereka, di
anggap sebagai adat yang benar.”
“Kalau aku, aku rasa aku
butuh beberapa hari untuk bisa makan daging lagi,” Dwarf Shaman mengeluh.
“Dwarf memang begitu,” High
Elf Archer berkata dengan tawaan berani.
Goblin Slayer melihat kepada
Dwarf Shaman dan mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju Priestess dengan
langkah sigap biasanya.
“Pak Goblin Slayer, uh...”
“Kita akan berhenti di
sini,” dia berkata pelan. “Saat dia sudah di kubur, kita akan istirahat.”
*****
Pada akhirnya mereka
memutuskan untuk memakamkan mayat petualang yang hancur di laut.
Mereka membungkus tubuh itu
dengan kain untuk menyembunyikan lukanya dan kemudian membiarkannya mengambang
di atas kanal yang mengarah ke sungai.
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan belaian tanganmu, bimbinglah jiwa mereka
yang telah meninggalkan dunia ini.”
Doa Priestess menemani jiwa
wanita itu ke surga, dan doa Lizard Priest memastikan bahwa wanita itu dapat
kembali bergabung dalam perputaran kehidupan.
Mereka sama sekali tidak
berpikir tentang adanya patroli yang melihat ke bawah menara ini (goblin selalu
malas seperti biasanya), karena itu party mereka mendapatkan tempat yang paling
bersih yang dapat mereka temukan, menggerai beberapa selimut dan pergi tidur.
Tidur... mereka akan
beruntung jika bisa mendapatkan beberapa jam saja. Mu gkin tidaklah akan
mengembalikan banyak dari tenaga mereka. Apa yang terpenting adalah, pembaca
mantra mereka akan kembali mendapatkan energi spiritual yang telah mereka
kerahkan.
“....” Goblin Slayer
bersandar pada dinding, memeluk pedang yang dia ambil. Dia tidak ingin
menyalakan sebuah api, sebagian di karenakan penangkal api para elf di tempat
ini, namun sebagian lagi adalah karena dia tidak ingin asap dari api membeberkan
keberadaan mereka kepada semua goblin. Sebagai gantinya, party mereka
beristirahat dengan di temani cahaya lentera, penutup lentera di tutup untuk
menjaga cahaya tetap remang.
Lizard Priest duduk bersila,
tangannya membentuk mudra dan matanya tertutup, seolah seperti sedang
bermeditasi. Dwarf Shaman telah meminum beberapa teguk dari anggur dan
berbaring, mengistirahatkan kepalanya di tangan, dan dengan cepat menggorok
dengan berisik.
Kemudian Priestess, tubuhnya
yang tertutup selimut kecil, meringkuk di sebuah sudut. Bahkan dari jarak ini,
wajahnya tampak pucat pasi.
“....Kenapa kamu nggak
tidur?” Sebuah suara bertanya kepada Goblin Slaher.
“Aku istirahat,” Goblin
Slayer menjawab santai.
Adalah High Elf Archer,
kembali dari giliran tugas jaganya, berdiri di depan pria itu dan terlihat
kesal.
Goblin Slayer mengangkat
helmnya perlahan, mendengak melihat High Elf Archer. “Dengan satu mata
terbuka.”
“Hei, aku mana bisa lihat
ada berapa mata yNg kamu punya di dalam situ.” Dia menjawab kesal. Tangannya
bertopang pinggul dan mendengus, telinga panjangnya berkedut, kemudian dia
duduk dengan kasar di samping Goblin Slaher. Adalah sebuah gerakan yang begitu
alami; dia tidak melihat kepada Goblin Slayer untuk meminta persetujuannya.
“Dia nggak terlihat begitu
senang ya?” High Elf Archer melonggarkan tali busurnya dan kemudian mengikat
ulang kembali.
“Menurutku,” Goblin Slayer
berkata dari sampingnya. “Kalau kita mengingat tindakan kitam kita ini sama
persis dengan goblin.”
Dia bermaksud tentang
memberikan tubuh dari rekan mereka ke sungai.
Mereka telah
terlambat—apakah menit, jam, atau hari. Kemungkinan satu atau dua petualang
yang tertangkap akan masih hidup.
Mustahil jika ini dapat
berakhir sama dengan apa yang terjadi pada biarawati di kuil itu.
“Mereka meninggal, dan kita
melemparkan mereka ke sungai. Sama saja,” Goblin Slayer berkata acuh.
High Elf Archer menggigit
bibirnya beberapa saat, tidak dapat berbicara, dan kemudian menggelengkan
kepalanya tidak menyetujui. “...Ini beda.”
Goblin Slayer menggerutu
kesal pelan.
“Kita berbeda dengan goblin.
Dan kalau kamu bilang kita sama lagi, aku bakal marah.” High Elf Archer melotot
kepadanya.
“Aku mungkin bakal tendang
kamu,” dia bergumam, dan terdengar serius.
Goblin Slayer mengingat waktu
di sebuah reruntuhan di suatu tempat, ketika sang archer ini memberikan
tendangan kepadanya. Telah satu tahu berlalu. Dia bahkan merasakan sedikit
bostalgia dari itu.
Namun seberapa banyak waktu
itu bagi seorang elf?
“Begitu.” Goblin Slayer
mengangguk. Dan kemudian menghela besar. “...Kamu benar.”
“Pastinya dong.”
Dengan itu, mereka berdua
berhenti berbicara. Riak air yang mengalit terdengar begitu janggal. Namun
sesekali, dapat terdengar tawa para goblin yang berada di atas, mengingatkan
mereka akan keberadaan mereka saat ini.
Telinga High Elf Archer
mengepak. Goblin Slayer melirik kepadanta, namun sang elf menggelengkan kepala
seolah mengatakan bahwa itu bukanlah apa-apa.
“Begitu.” Goblin Slayer
bernapas dan kemudian kembali terdiam.
“Hmm?” High Elf Archer
berkata, memiringkan kepalanya, namun helm Goblin Slayer bahkan hampir tidak
bergerak seraya dia berkata dua kata merespon.
“Maafkan aku.”
High Elf Srcher berkedip.
Apa
Orcbolg baru saja...minta maaf?
Merupakan hal yang tidak
biasa. Untuk menyembunyikan senyum yang mengancam mekar dari wajahnya, High Elf
Archer mengernyit menyelidiki dan bertanya acuh. “...Untuk apa?”
“...Pada akhirnya, kita
berhadapan dengan goblin lagi.”
Bego.
High Elf Archer tertawa kecil. Seperti aliran ait,
tawanya terdengar begitu manis di tempat ini.
“Apaaaa? Jadi itu yang bikin kamu galau?”
Tidak ada jawaban.
Mereka baru saling mengenal
selama lebih dari setahun, namun itu
merupakan waktu yang cukup banyak untuk dapat mengenali seseorang.
Aku
bener banget.
High Elf Archer tertawa
dengan suara seperti denting lonceng kemudian meletakkan busur besarnya di
lantai di sampingnya. Dia memeluk kedua lutut hingga menyentuh dada dan
kemudian merebahkan kepalanya pada pundak Goblin Slayer.
“Kamu kenal aku... Aku bukan
penggemar berat dari pembasmian goblin.”
Masuk akal.
Sebelum dia bertemu dengan Orcbolg,
bahkan dulu saat dia masih seorang Porcelain, dia tidak pernah pergi mengambil
quest membasmi goblin. Namun jumlah dari quest membasmi goblin yang di ambilnya
setelah bekerja bersama pria ini, meningkat dengan begitu drastis.
Dia sama sekali tidak mempermasalahkan
tentang menelusuri gua-gua. Dan bertarung dengan monster-pun juga bagus-bagus
saja. Menyelamatkan tawanan, juga merupakan hal yang baik.
Tapi
ini memang berbeda.
Berhadapan dengan goblin
bersama Orcbolg entah mengapa terasa berbeda dengan petualangan lainnya. Tidak
terdapat rasa akan pencapaian yang di dapat. High Elf Archer merasa sulit untuk
menganggap ini sebagai sebuah petualangan.
Tetapi tetap saja.
“Rumah dalam bahaya.”
Meruapakan hal yang sudah jelas,
namun dia tetap mengatakannya.
Dia merasakan helm Goblin
Slayer bergerak.
High Elf Archer menututp
matanya sejenak. Aroma darah dan minyak. Benar-benar bau yang menjijikkan.
“Aku benci kalau pernikahan
kakakku di kelilingi goblin yang berkeliaran di sekitarnya.”
“...Begitu.”
“Biasanya, pasti aku yang
selalu mengeluhkan ini dan itu... Tapi, hei maksudku, bukan berarti aku kesal
atau lainnya.”
“Nggak.” Goblin Slayer
berkata, menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mempermasalahkannya.”
“Nggak?” High Elf Archer
memiringkan kepalanya terkejut. Telinganya berkedut.
“Nggak,” Goblin Slayer
mengulangi pendek. “Karena aku nggak tahu bagaimana caranya untuk
berpetualang.”
“Huh,”
High Elf Archer berbisik, dan Goblin Slayer menghela, “Bener sih.”
“Oke deh,” High Elf Archer
memulai, terdengar seperti dia akan bernyanyi. “Gimana kalau kita anggap ini
impas?” dia mengacungkan jari telunjuk dan membuat lingkaran di udara.
“Menurutku—“ Goblin Slayer akan
menjawab, namun kemudian dia ragu. Sulit baginya untuk menemukan kata yang dia
inginkan, dan akhirnya, jawabannya datar seperti biasanya, “Nggak masalah.”
“Mantap!” High Elf Archer meloncat
berdiri. Dia menguap lebar, seperti seekor kucing, dengan perlahan meregangkan
tubuh langsingnya. Dia menghela panjang dan kemjdian bertanya, “Jadi apa yang
kita lakukan berikutnya?”
Goblin Slayer menjawab
dengan segera, “Kita akan pasang jebakan dan kemudian naik ke atas.”
“Jebakan?” matanya berkelio,
dan telinganya mengayun.
“Nanti kamu akan mengerti.”
Goblin Slayer membuat suara seperti merasa ini akan menjadi sangat merepotkan.
High Elf Archer hanya mendengus. Ya sudah
kalau begitu.”
“Tapi...sekarang kita naik
ke atas?”
“Kita berhadapan dengan
goblin yang tinggal di bangunan ini. Aku rasa aku tahu apa yang mereka
pikirkan.”
“—?”
“Pimpinan tertinggi mereka
kemungkinan akan bermarkas di tingkat paling tinggi atau paling rendah.”
“Ahh.”
Sekarang masuk akal. High
Elf Archer mengangguk, tersenyum. Penjahat terburuk suka dengan tempat tinggi.
“Satu-satunya masalah
adalah...makhluk itu.”
“Mokele Mubenbe?” High Elf
Archer menghela kembali. “Aku sama sekali nggak percaya kamu nggak bisa
mengingat namanya sampai sekarang.”
“...Siapaoun yang dapat
mengendalikan makhluk itu kemungkinan adalah pembaca mantra.”
“Pembaca mantra... Hmm.”
High Elf Archer melipat
tangan, namun dengan cepat dia mengabaikan pikirannya. Memikirkannya sekarang
tidak akan membuat mereka mendapatkan jawaban apapun. Mereka dapat
memikirkannya ketika waktu yang tepat telah datang.
Apapun
itu, bisa saja dia seekor goblin shaman atau goblin apalah, aku tetap akan
membunuhnya.
“Bukannya kita akan
mengetahuinya kalau kita tiba di sana?”
“Nggak bisa seperti itu,”
Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala.
High Elf Archer menggeleng
kepalanya sendiri, seolah ingin mengatakan kamu
ini. “Bisa saja. Tapi kamu satu-satunya spesialis barisan depan kita.
Sekarang, yang terpenting untukmu adalah tidur, Orcbolg.”
“...Ya.”
“Dengan dua mata tertutup.”
“....Aku akan coba.”
“Aku bakal bangunin kamu
nanti.”
“Terima kasih.”
“Yeah, soalnya nanti aku
nggak bakal bisa dapat giliran tidur.”
“Baiklah.”
High Elf Archer
memberikannya lambaian memastikan dengan tangannya dan kemudian mengambil busur
dengan jarinya. Dia memeriksa cepat rekan lainnya yang tertidur satu persatu,
dan kemudian akhirnya duduk di tempatnya sendiri di salah satu sudut ruangan.
Di samping dirinya adalah
Priestess, terbungkus dengan selimut. High Elf Archer memberikan tepukan
lembut. Selimut itu bergoyang, kemudian terdiam kembali.
Kamu bisa saja menarik
selimutmu sejauh yang kamu inginkan, tetapi kamu tidak akan dapat menyembunyikan
perasaan yang kamu rasa dari indra seorang elf.
*****
“Aduh, kenapa sih para
leluhur nggak bisa memasang elevator?”
Beberapa jam kemudian,
setelah melakukan persiapan kecil, party mereka mulai memanjat tangga.
High Elf Archer mempunyai
alasan yang bagus untuk mengeluh. Mereka baru saja menuruni tangga ini di hari
sebelumnya, dan sekarang mereka di paksa untuk memanjatnya lagi. Perubahan arah
inu sungguh terasa menyebalkan.
“Ha-hati-hatu jangan bicara
terlalu nyaring...!”
Seseorang
bisa mendengarmu. Cemas Priestess sangatlah wajar, dan
dengan tidak adanya tempat untuk melarikan diri, jika para goblin muncul,
mereka akan di paksa untuk bertarung.
Party mereka belum mengubah
formasi mereka semenjak beristirahat (Saat—kemarin? Indra waktunya terasa
buram), tetapi tetap saja...
“Yah,” Dwarf Shaman berkata,
“Ini benteng besar. Mungkin saja ada satu kalau kita mencarinya.” Dia terengah-engah.
Tubuhnya yang kecil tampak menyulitkannya dalam pendakian ini. Dia mengambil
anggur dari sabuknya dan membuka penutupnya, meneguk beberapa kali dan mengelap
tetesa yang mengalir di jenggotnya. “Tapi setelah semua pekerjaan yang aku
lakukan, kamu sama sekali nggak berhak untuk berkeliiaran mencari elevator.”
“Dan juga, mungkin saja
sebuah kunci di butuhkan untuk mengaktifkannya. Sesuatu dengan ikatan biru,
sebagai contohnya.”
“Aaarrg...!” High Elf Archer
menjerit, mengepakkan telinganya marah. Ucapan tenang Lizard Priest membuat
tiga suara mendebat dirinya. “Orcbolg, ngomong sesuatu!”
“Kalau kita menemukannya,
kita akan memakainya, tapi kita nggak punya waktu untuk mencari.”
Tidak ada bantuan darinya.
High Elf Archer, menyerah, dan hanya terus bermuka masam seraya berjalan
menaiki tangga.
Masing-masing dari mereka
benar-benar siaga. Bahkan Priestess, memperhatikan tongkatnya dengan cemas, seraya
memperhatikan sekelilingnya. Dia terus melirik kecil ke belakangnha—tentunya
akibat dari ingatan terburuknya.
Mereka mungkin akan datang
dari belakang.
Mereka mungkin akan menjebol
melalui dinding di saat kamu tidak mendunganya.
Apakah ada pintu
tersembunyi? Mereka tidak melewatkan satupun pintu, kan?
“Oops...,” High Elf Archer
berkata, dan Priestess merinding.
“Ke-kenapa?”
“Tangganya menghilang.”
“Oh...” Dia dapat melihat
bahwa High Elf Archer benar. Tepat di depan mereka, tangga berputar ini
terhalangi oleh beberapa anak tangga yang rusak.
Mereka dapat melompati celah
itu—tetapi itu jika mereka tidak memikirkan terlebih dahulu tentang apa yang
akan terjadi jika mereka terjatuh. Mereka dapat mendengar air yang menggema di
kejauhan, jauh di bawah.
Jika mereka masih dapat
meraih tangga di bawahnya, maka itu adalah hal yang berbeda, namun jika tidak,
maka ketinggian tentunya akan membunuh mereka. Jika mereka beruntung, kematian
itu akan sekejap. Jika tidak, kaki mereka mungkin akan patah dan mereka harus
terkapar di sana, menunggu untuk mati. Apapun itu, itu akan menjadi akhir dari
petualangan mereka.
Apakah para goblin memutari
celah ini atau terus melompati dengan nekat?
“Aku nggak melihat adanya
penjaga,” Goblin Slayer bergumam. “Kalau ini masih siang, aku bisa memahaminya,
tapi aku nggak suka ini.”
“Kurasa masalah lebih
besarnya adalah apa yang harus kita lakukan dengan tangga ini,” High Elf Archer
berkata seraya mengernyit. “Aku bisa melompati celahnya, tapi kurasa nggak
semua dari kita bisa. Contohnya kayak dwarf itu, dwarf itu, dwarf itu.”
“Sini kamu...”
Akan tetapi, hanya sejauh
itulah reapon Dwarf Shaman. High Elf Archer melipat tangan dan membuat suara
berpikir. “Mungkin kita bisa ikatkan tali di seberang,” dia berkata. “Kita bisa
saja ambil jalan memutar, tapi kita nggak punya waktu kan?”
“Baguslah,” Priestess
berkata dan mengangguk. “Aku akan keluarkan talinya!” Dia merogoh tasnya,
dengan cepat mengeluarkan sebuah pengait. Perlengkapan petualang. Dia sangat
merasa senang bahwa set yang telah di
belinya “untuk berjaga-jaga,” dapat menjadi berguna. Terlebih lagi, hal yang
paling membuatnya lega adalah, dia merasa menjadi berguna untuk partynya.
“Apa menurutmu akan sampai?”
dia bertanya.
“Coba saja.” Goblin Slayer
berkata.
Menjawab “Baik,” High Elf
Arch3r mengambil tali dan melompat dengan begitu ringanya. Kelincahannya hanya
dapat tersaingi oleh sebagian kecil dari padfoot atau dark elf.
Dia mendarat jauh dari celah
dengan gerakan yang mengingatkan akan seekor rusa yang melompat, bergumam
“Whuup” seraya dia menjaga keseimbangannya dengan hati-hati. “Kamu cuma perlu
aku pasang ini kan?”
“Ya.” Goblin Slayer
mengangguk dan mengambil tali dari sisinya. “Jadi kita ikat ini di sabuk kita
dan melompat...?”
“Kalau aku gagal sampai ke
seberang, aku akan menggunakan mantra,” Dwarf Shaman berkata, melihat ke dalam
lubang kegelapan dengan ekspresi cemas. “Walaupun aku benci untuk melakukannya,
tapi kalau memang di perlukan... Bagaimana menurutmu Scaly?”
“Ahh, selama terdapat tempat
menggenggam dan berpijak di dinding, saya akan dapat melewatinya.” Lizard
Priest menunjukkan cakar tajam di tangan dan kakinya, seraya memutar jarinya. “Master
pembaca mantra, saya lebih mengkhawatirkan akan nona Priestess jika beliau
melompat. Mungkin akan lebih baik jika saya menggendongnya.”
“Kalau begitu, satu
persatu,” Goblin Slayer berkata. “Apa kamu akan baik-baik saja?”
“Oh iya!” Pristess adalah
yang pertama mengambil tali yang di tawarkan. Dengan dengusan, dia mengikat
hati-hati dan erat di sekitar pinggul kurusnya, kemudian dia menyelipkan
tongkat di antara tali dan punggung kecilnya agar dia tidak menjatuhkannya.
“O-oke, tolong jangan
ja-jatuhkan aku...!”
“Mm. Anda tidaklah berat.
Baiklah, sekarang...”
Lizard Priest, dengan
Priestess yang menempel di punggungnya, menggali cakar ke dalam dinding batu
dan mengangkat tubuhnya ke atas.
“Eep?!”
“Berpegangan yang erat. O Velociraptor, saksikanlah tabiat hamba!”
Apa yang terjadi berikutnya
adalah sesuatu yang takjub untuk di saksikan. Menggunakan cakar di tangan dan
kakinya masuk ke dalam celah di antara bebatuan, Lizard Priest mulai merayap
dengan lincah melewati celah.
Akan tetapi, sebagaimanapun
mengesankannya, dia tidaklah cepat; jika ada seorang archer yang menunggu di
suatu tempat dalam tangga berputar ini, maka dia akan menjadi sasaran yang
sempurna. Goblin Slayer dan High Elf Archer berdua melihat ke dalam kegelapan,
menjaga pandangan mereka tetap terbuka mengantisipasi ancaman seperti itu.
Ketika mereka telah sampai
di sisi seberang, Priestess memberikan Lizard Priest sebuah anggukan
menghargai. “Ma-maaf sudah merepotkan. Dan terima kasih...”
“Tidaklah perku berterima
kasih. Benar, saya percaya bahwa anda sepatutnya menambahkan sedikit daging
dalam tulang anda.”
“A-aku akan coba...” dia
berkata, sedikit merasa malu. Lizard Priest menyeringai, kemudiam dia mengambil
tali dari Priest3ss dan kembali menyebrangi celah. Berikuutnya, dia datang
membawa Dwarf Shaman, dan setelah dia merasa puas karena semua telah
menyebrang, Goblin Slayer melompati celah. Dalam armor dan baju rantainya, tak
perlu di ragukan bahwa dia adalah yang paling berat di antara rekan partynya,
namun dia tetap berhasil melompat ke seberang dengan jarak yang cukup
mengagumkan.
Namun tetap saja, ketika dia
terhuyung di saat mendarat, Priestess dengan cepat membantunya agar tetap
stabil. “Ka-kamu nggak apa-apa?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata
dengan anggukan dan beberapa saat kemudian menambahkan, “Aku baik- baik saja.”
“Aduuuh, Aku berharap aku bisa di gendong menyebrang juga,”
High Elf Archer berkata.
“Ha! Ha! Ha! Yah, mungkin
akan anda kesempatan di lain waktu,” Lizard Priest terbahak-bahak.
“Ku pegang ucapanmu!” High
Elf Archer berkata, namun kemudian berhenti. “Hei, lihat, tuh! Ada elevator!”
“Hmm,” Goblin Slayer berkata
dengan penasaran seraya dia bergerak untuk memeriksa alat itu.
Benda ini memiliki sepasang
pintu ganda yang bergulung masuk ke dalam dinding, dengan apa yang terlihat
seperti panel kontrol di sampingnya. Tepat seperti sesuatu yang sering di
temukan di reruntuhan seperti ini.
“Apa para goblin
menggunakannya?” dia mengutarakan pikirannya.
“Pertanyaan bagus,” Dwarf
Shaman berkata. “Sulit untuk memastikannya...”
“Tampaknya benda ini
berfungsi seperti seharusnya. Tetapi... Hmm, apa ini?” Lizard Priest,
mengutak-atik panel kontrol dengan cakarnya, menemukan sebuah papan tombol.
Papan tombol itu terdiri dari beberapa nomber berbentuk kotak, tampak menunggu
untuk di tekan. “Jadi ini berfungsi tidak dengan kunci, tetapi dengan kode.”
“Ah!” Priestess, melihat
papan itu, menepuk kedua tangan dan mulai merogoh barang bawaannya.
Dia mengeluarkan sebuah
kunci yang telah dia ambil dari goblin di pintu masuk menuju benteng ini.
Adalah sebuah plat emas dengan nomor yang terukir di atasnya dan sebuah tali
seperti kalung.
“Bagaimana dengan ini?
Awalnya, ku kira mungkin masing-masing kunci itu bernomor, tapi...”
“Yeah, goblin nggak akan
pernah membuat catatan seperti itu,” High Elf Archer berkata, dan Goblin Slayer
menyetujui. Karena itu sudah tidak di ragukan lagi sekarang.
“Coba.”
“Baik pak!” Memegang plat
emas, Priestess dengan hati-hati menekan tiga angka pada papan tombol.
Mereka merasakan getara
halus seraya sesuatu yang jauh dan dalam berbunyi, dan akhiirnya, terdengar
decitan seraya mesin itu naik ke atas.
Pintu elevator terbuka tanpa
suara.
“Sepertinya aku benar,” Priestess
berkata, menyeka dada kecil dengan tangan dengan helaan lega.
Di dalam elevator adalah
sebuah kotak batu, seperti di luar. Tidaklah jelas apakah elevator ini bergerak
dengan tenaga sihir atau mekanis, tetapi...
“Paling nggak, nggak ada
sesuatu di sini yang terlalu sederhana untuk para goblin gunakan,” Goblin
Slayer menjawab, melihat sekeliling interior dan menggunakan pedangnya seperti
tongkat unntuk menusuk dan mengetuk.
“Tapi, aku pernah melihat
mereka menggunakan ember di sumur.”
“Itu sudah cukup untuk
membuatku merinding.”
Sudah
nah. High Elf Archer melambaikan tangannya. Dia
tidak ingin membayanhkam kemungkinan alat ini di potong selagi mereka
menggunakannya, mengirim mereka jatuh ke dasar.
“...Ayo,” Priestess memaksa,
tekad bulat dalam nadanya, meremas tongkatnya. Semua ini bersama dengan
wajahnya yang sedikit pucat, sebuah ketegangan yang tampak jelas pada
ekspresinya, dan getaran halus pada tangannya. “Kita harus...menghentikan para
goblin...”
Adalah sebuah deklarasi yang
mendapatkan respon langsung dari Goblin Slayer.
“Ya.”
Ekspresi Priestess sedikit
melemas.
Goblin Slayer memperhatikan
partynya.
High Elf Archer membusungkan
dada kecilnya seolah ingin mengatakan bahwa tentu saja sudah siap.
Dwarf Shaman sedang mencari
katalisnya dengan acuh.
Lizard Priest membuat
gerakan tangan aneh dan memutar matanya.
Goblin Slayer memperhatikan
wajah mereka satu persatu dan kemudian memerika perisai, armor, helm, dan
pedangnya sendiri.
Tidak ada masalah.
Rencana mereka berjalan
lancar.
Hanya terdapat satu hal yang
harus di lakukan.
“Kita akan membunuh semua
goblin.”
Para petualang saling
mengangguk dan kemudian menaiki elevator.
“Aku berasumsi kalau benda
ini akan naik ke atas,” High Elf Archer berkata, “tapi ini bisa berakhir buruk
dengan cepat.”
“Bisa saja.” Goblin Slayer
mengangguk.
Ujung bi ir sang elf
menyeringai, dan kemudian dia bergumam sarkas, “Persetanlah, ini memang
neraka...yeah, yeah.” (TL note : rada sulit bagi saya untuk translate sarkasnya
High Elf Archer dalam bhs indo. Karena rada nggak nyambung kalau di artikan
secara harfiahnya. Jadi saya translate sebisanya saja.)
Kemudian pintu tertutup
rapat.
4 Comments
first hehe. terimakasih terjemahnya
BalasHapusSip mas 😁
HapusLanjut min makasih terjemahannya
BalasHapusSip mas 😁
HapusPosting Komentar