KEJAYAAN MASA MUDA, KINI HANYA MENJADI ABU
(Translator : Zerard)
Sang Bishop Wanita menggigit
bibir, menahan air mata dari hembusan angin dingin yang menyayat llayaknya
sebuah pedanh.
Udara dingin, yang datang
dari tingkat sembilan dunia demon, dalam sekejap mengubah ruangan dungeon ini
menjadi kotak es.
Greter demon, kulit mereka
berwarna biru kehitaman, datang dari dunia yang sama. Mereka berdua
muncul, penuh akan kekuatan sihir dan
begitu raksasa hingga mereka hampir mengisi keseluruhan ruangan ini. Adalah
tepat karena perban yanh mneutupi kedua mata dan menghalangi pengelihatan yang
membuatnya dapat merasakan kehadiran kedua monster itu dengan sangat jelas.
High Priestess, giginya
bergetar di karenakan dingin, berusaha mencoba mengerahkan tenaga pada kakinya
yang terasa begitu lunglai.
“Taa—aahh!!”
“OUURGGRERRR?!”
Suara yang manis terdengar
dalam teriakan seraya sebuah pedang dan timbamgan berkilau. Timbangan, yang
terikat pada pedang dengan sebuah rantai, berdenting.
Para night stalker yang telah
mendekat melewati badai salju, mendapati kepala dirinya hancur dalam satu
serangan dan menemui ajalnya. Para night stalker hanya tinggal selangkah lagi
menjadi vampire yang mempunyai kesadaran, namun bahkan undead tingkat tinggi
sekalipun tidak dapat bertahan jika otaknya berhamburan.
Seorang female warrior
berputar mengarah tempat di mana High Priestess mengelap sisa-sisa otak dan
tengkorak dari dirinya.
“Maaf, aku membiarkan satu
lewat!”
“Saya tidak apa-apa!’ High
Priestess membalas seraya dia memperhatikan rekannya. Musuh kecil seperti
ini tidak akan membuat mereka kesulitan.
Female Warrior baru saja
menembus jantung dari seorang burglar, seorang pria yang berpakaian seperti
bayangan. Berhadapan dengan demon raksasa
yang buruk rupa adalah pemimpin party, seorang fighter dengan plat armor. Pria
itu akan menjaga mereka tetap aman. Dia membawa sebuah golok, senjata ala
timur, dan dia terlihat begitu santai.
Half elf scout mereka,
berdiri di dekat mereka dan mencari kesempatan, terlihat tegang—namun dia tetap
tersenyum.
Di samping High Priestess
adalah seorang bugman monk. Walaupun dia pendiam dan kalem, dia berdiri dengan
tenang dan bersiap. Sedangkan di sisi lain High Priestess adalah Female Wizard,
mencari peluang yang tepat untuk merapalkan sihirnya...
Party mereka di dera dengan
badai salju, membuat tubuh mereka kesakitan seraya mereka berusaha untuk
bertahan. Menghentikan badai ini merupakan prioritas utama.
“Pangeran
Pedang, kepada mereka yang melihat apa yang harus di lihat dan berbicara apa
yang harus di bicarakan, berikan perlindunganmu!”
Dia menggambsr sebuah
lambang bercahaya, memegang pedang dan timbangan di tengah tubuhnya. Pedang itu
menghasilakn sebuah Protection yang maha kuat, namun tidaak dapat sepenuhnya
menghalau dingin. Dingin—sebuah puncak gunung es pada musim dingin pastilah
terasa seperti ini—menyayat dalam para petualang.
“Bertahanlah kalian semua,
aku akan menyembuhkanmu—!”
“Jangan! Lebih penting untuk
menghentikan sihir musuh! Kalau dia menggunakan sihirnya laginke kita, kita
mungkin nggak akan selamat!” Female Wizard, memegang tongkat pendeknya dan
mengamati medan perang, berbicara walapun dengan kulitnya yang berubah menjadi
biru dan tubuhnyanyang bergetar. Sudah berapa kali mereka terselamatkan oleh
instruksi teliti dirinya?
“Baiklah!” Bugman Monk berucap dari samping High Priestess yang masih
mengusung pedang dan timbangannya seraya pria itu mulai merapalkan sebuah segel.
“Serahkan padaku! Bahkan seekor demon akan menjadi lemah kalau kita segel
kemampuan sihir mereka!”
“Kami serahkan padamu!” High
Priestess berteriak.
Sang monk merupakan anggota
paling paling veteran di antara party mereka dan telah menjadi mentor bagi High
Priestess semenjak mereka pertama kali bertemu. High Priestess merasakan sakit
dari hempasan es dan rasa takut akan para musuh yang akan membekukan hatinya. Doanya
kepada dewa di atas terdengar di antara badai salju yang mengamuk.
“Dewa
penjelajah angin, biarkan apa yang kami ucapkan di jalan menjadi rahasia di
antara kita!”
“Anda
memiliki cahaya untuk tetap bungkam!”
Hening.
Sebuah kekuatan tak kasat
mata mengisi ruangan, dan demon buruk rupa mulai menyeringai.
Para petualang selalu
seperti ini. Mereka selalu berpikir bahwa menyegel mantra demon akan memberikan
mereka peluang. Namun demon adalah makhluk yang paling intim dengan sihir.
Segel asal jadi tidak akan menghalangi mereka untuk menggunakan sihir.
Terlebih lagi, merampas
harapan tipis para petualang dan menginjak-injaknya merupakan kebahagiaan
tertinggi bagi makhluk seperti ini. Para demon sangat menikmati penderitaan
mereka yang dapat berbahasa.
Datanglah,
biarkan mereka merasakan satu badai salju lagi.
Para pria mungkin dapat
selamat, namun tubuh mereka mungkin akan rusak, namun tetap saja tubuh mereka
akan menjadi santapan yang sempurna. Kedua wanita pembaca mantra mungkin akan
mati, namun warrior itu, munngkin wanita itu akan selamat.
Yah, walaupun mati, daging
wanita dapat menjadi—
“—?!”
Tetapi, ketika mereka
membuka mulut mereka, mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat berbicara.
Sihir
kami sudah tersegel?! Oleh gadis kecil dan serangga itu?!
“Fantastis! Terima ini!!”
ketika sang scout menyadari kebingungan para demon, dia melesat di antara
mereka, belati di tangan. Dan dalam sekejap dia melewati mereka, semburan darah
kembar terkuak, dan tubuh raksasa itu terjatuh.
Dia sudah memotong urat kaki
mereka—namun pada saat para monster menyadari itu, semua sudah terlambat.
“Lambat!” Tombak Female
Warrior datang bersiul melintasi udara, mendaratkan serangan kritikal. Sebuah
jantung, tertusuk dengan tombak itum mencipratkan darah merah kehitaman.
“—?! —?!”
“Ahhh-ha-ha. Kita nggak bisa
dengar kamu tahu?” Tertawa, sang warrior melompat mundur, tidak terdapat
sedikitpun cipratan darahnpada dirinya. Tinggal satu monster lagi.
Tanpa ragu, pemimpin mereka,
sang swordfighter, memperdekat jarak dengan golok di tangan.
Shhp.
Satu sayatan mudah. Satu serangan dari bawah ke atas.
Kemudian dia meremas gagang pedang, memutarkannya di tangan, dan melancarkan
serangan menurun.
Satu tangan terbang, dan
kemudian satu tangan lagi. Seraya dia menarik pedang dari sasarannya, pedang
itu membawa daging dan tulang bersamanha.
“______?!”
Darah menyembur, demon besar
itu menggeliat dan membuka mulutnya seolah seperti melolong.
Normalnya, sangatlah
mustahil untuk mendengar suara yang tertahan oleh Silence. Namun jeritan ini
dengan samar mencapai telinga High Priestess. Begitu samar.
“Dia berusaha memanggil
temannya!” dia berkata kepada temannya, setelah mencoba menebak apa yang di
rencakan sang demon. Bugman Monk menjentikkan lidah di dalam rahangnya.
“Apa yang harus di lakukan.
Pada akhirnya kita tetap saja akan menghabisi mereka semua—apakah kalian lebih
memilih untuk menunggu setelah mereka datang? Aku tidak keberatan pilihan
manapun yang di ambil!”
Half Elf Scout, masih
menggunakan belatinya untuk menjaga jarak musuh, berteriak, “Kalau mereka datang lagi, kita akan sangat
kerepotan—aku sarankan kita habisi dia sekarang!”
“Lakukan.” Perintah itu
datang dari pemimpin mereka.
“Kalau begitu,
bersama-sama!”
“Baik!”
Female Wizard mengusung
tongkat, High Priestess menyiapkan pedang dan timbangan, sementara pemimpin
mereka berteriak dan mulai menggambar sebuah sigil dengan tangannya.
“Ventus!
Angin!”
“Lumen!
Cahaya!”
Libero!
Lepaskan!
Dan setelah itu, sebuah
hembusan angin di iringi dengan ledakan cahaya dan panas menyerang ruangan ini.
Tanpa suara, tanpa peringatan, es dan salju meleleh. Tidak ada apapun,
terkecuali mungkin naga yang dapat mempertahankan wujudnya di hadapan mantra
terlarang ini, yang menarik kekuatan
dari segala hal.
Sang demon, terlempar oleh
hempasan angin membara, musnah sebelum dia dapat berteriak, hingga menjadi abu.
Kemudian angin berhembus,
hanya meninggalkan kehangatan yang mengalir dan tidak tersisa satupun makhluk
hidup di tempat sihir ini menyambar.
Yang tersisa sekarang
hanyalah kotak harta karun. Para petualang saling bertukar pandang dan menghela
napas lega.
Pemimpin mereka, sang
swordfighter, membersihkan darah dari pedangnya sebelum mengucapkan ucapan
terima kasih kepada rekannya.
“Yap, kurasa demon besar
memang seharusnya jadi abu seperti ini,” Gurau Half Elf Scout.
“Yeah—tanpa mantra mereka,
yang mereka miliki itu cuma jumlah mereka.” Female Warrior tertawa seraya dia
melihat sang scout mendekati kotak harta karun. Female Warrior mengawasi daerah
sekitarnya; mereka mungkin memang telah membunuh monster dalam ruangan ini,
namun masih terdapat kemungkinan adanyz musuh di tempat lain di dalam dungeon
ini.
Seperti Female Warrior,
pemimpin mereka juga tetap siaga. Pertarungan telah berakhir, namun bukan
berarti itu menjadi alasan untuk menjadi lengah.
“Seberapa jauh kita
berjalan? Aku ingin lihat petanya kalau boleh.”
“Oh tentu saja. Aku masih
dalam proses pemetaan... Tunggu sebentar.”
High Priestess, terkejut
dengan permohonan Female Wizard, dan dengan cepat di merogoh isi tasnya.
Dia mengeluarkan sebuah buku
catatan yang terbuat dari kulit domba. Dia menggunakan sebuzh instrumen menulis
untuk menghubungkan kotak-kotak kecil, yang menandakan ruangan baru. Dia sangat
menyukai pekerjaan seperti adalah tepat karena dia tidak dapat melihat. Walaupun
dia tidaak bisa terlalu membanggakan kemampuannya seperti saat dulu.
“Dua panjanh, dua lebar...”
“Ada kemungkinan pintu
tersembunyi. Kita harus memeriksanya nanti.”
“Baiklah. Aku akan
menyiapkan Holy Light...” High Priestess mengangguk kepada Bugman Monk dan
kemudian menyerahkan buku peta kepada Female Wizard. “Ini. Aku rasa kita baru
di tengah-tengah lantai sembilan.”
“Terima kasih.” Female
Wizard tersenyum dan mengambil peta dan
kemudian berlari menuju pemimpin mereka.
Sang pemimpin memeriksa
pedangnya, menginspeksi baut pada gagang pedang dzn kemudian memeriksa
armornya. Diz menghela seraya Female Wizard datang untuk menunjukkan peta
dengan rasa bangga seperti seorang anak kecil yang memperlihatkan gambarannya.
High Priestess tersenyum melihat
Femzle Wizard csmberut, seolah ingin mengatakan, aku ini lebih tua di sini tahu!
Benar, demon besar bukanlah
musuh yang dapat di remehkan. Namun mereka yang telah menempuh jalan mereka
hingga ke lantai sembilan labirin ini adalah veteran tebas dan libas yang
berpengalaman.
“Walaupun begitu,” High
Priestess berkata, melepaskan ah lembut
rasa lega seraya dia memfokuskan perhtiannya pada masing-masing empat dinding
ruangan makam ini. Dia menyentuh dadanya
yang-masih-belum-ranum dengan tangan. “Aku senang mereka bukan goblin...”
Suaranya begitu pelan hingga
tak ada seorangpun yang mendengarnya, dan suara itu tenggelam ke dalam kegelapan
labirin.
0 Comments
Posting Komentar