PEMBASMI AKAN GOBLIN DATANG KE IBUKOTA
(Translator : Zerard)
“Kamu datang,” wanita itu
berkata.
Suaranya begitu bergairah,
hingga tampak akan meleleh kapapun juga. Matahari menyinari dari jendela di
belakang wanita itu, dan bibirnya yang terlihat dari balik tudungnya, tersenyum
dengan begitu lembut.
Wanita itu mengibaskan
jubahnya dan gelombang rambut emas muncul layaknya lautan. Lapisan, kain putih dirinya
memamerkan garis tubuhnya yang begitu aduhai—mungkin Ibunda Bumi sendiri terlihat
seperti ini.
Kulit yang tampak dari
seragamnya sangatlah putih, hampir transparan, seolah tak tersentuh sama sekali
oleh matahari. Warna merah muda pada pipinya kemungkinan tidak berasal dari
cahaya saja. Dia hampir tampak seperti pelacur—dan terdapat beberapa kuil yang menyimpan pelacur
suci.
Dia dapat mendekap pria
manapun yang menatap jari-jari kecionya, akan tetapi, matanya tertutupi oleh
sebuah kain hitam. Di tangannya, dia memegang terbalik sebuah pedang dan
timbangan lambang akan kebenaran dan keadilan. Dari cara dia bertumpu pada
pedang itu, dari cara dia berbisik, menunjukkan sebuah kegelisahan intens.
“Apakah
saya...mengganggumu?”
“Nggak.”
Sword Maiden. Adalah nama
cleric perbatasan yang di jawab oleh Goblin Slayer dengan nada pelan dan
datarnya.
“Apa goblin?”
*****
Adalah pagi.
Goblin Slayer berdiri dari
ranjangnya sebelum subuh dan memeriksa perlengkapannya.
Helm, armor, lapisan yang di
gunakan di bawah armornya, perisai, pedang. Semua dalam kondisi baik. Semuanya
berfungsi seperti seharusnya. Kemudian dia mengeluarkan tas peralatannya untuk
memeriksa isinya.
Terdapat potion, terlilit
dengan tali dengan ikatan khusus untuk membedakan masing-masing potion, bersama
dengan cangkang telur penuh akan bubuk, sebuah scroll, dan berbagai macam benda
lainnya.
Ketika dia memastikan bahwa
semua sudah seperti seharusnya, dia memulai menggunakan perlengkapannya.
Kemudian dia pergi meninggalkan ruangan, menuju lorong sepelan mungkin agar
tidak msmbangunkan dua penghuni lain yang berada di rumah, yang dia berasumsi
bahwa mereka masih tidur.
Dia telah tiba di luar
dengan langkah kaki yang nyaris tidak terdengar, dan ketika dia di luar, dengan
segera dia di sambut oleh hawa dingin musim gugur. Terdapat kabut tipis putih
di sekeliling kebun, mungkin hasil dari embun pagi. Goblin Slayer merasa
seperti di dalam awan. Dia berhenti dan melihat sekitarannya.
“...Hmph.”
Jarang pandang sangat buruk.
Dia mendengus, tidak suka akan ini, namun kemudian dia mulai melangkah masuk ke
dalam kabut.
Dia memulai hari dengan
berpatroli mengikuti arah pagar di sekeliling kebun. Dia sedang memeriksa
apakah terdapat kerusakan atau tidak, tentu saja, ini juga untuk melihat apakah
terdapat jejak kaki di dekatnya, dan jika ada, ada seberapa banyak.sangatlah
mudah untuk meninggalkan jejak kaki dalam kondisi licin seperti ini, namun
kabut tebal ini membuat pekerjaannya menjadi sulit, walaupun begitu, Goblin
Slayer terus melakukan pekerjaannya, tanpa bersuara apapun.
Lagipula, Dalam gua jauh
lebih gelap dari ini. Dia perlu berusaha untuk melihat apa yang tidak dapat terlihat,
untuk melatih pengelihatan malamnya.
Di saat dia telah
menyelesaikan patroli kebunnya, dia mengambil beberapa pisau dan sasaran dari
gudang. Dia membariskan beberapa botol dan benda kecil lainnya di atas pagar
dan kemudian berlatih berputar, membidik dalam sekejap, dan melempar.
Satu persatu, pisau itu
bersiul di udara pagi, mengirimkan botol itu terbang, atau tertancap di pagar.
“Hrm.”
Hanya itu yang di katakan
Goblin Slayer mengenai ini semua seraya dia bergerak untuk membereskan senjata
dan sasaran. Sinar awal fajar menyingsing di cakrawala.
Dia telah menarih kembali
peralatan latihannya di dalam gudang, ketika tiba-tiba, dia menyadari sebuah
sosok di dekat pintu masuk kebun.
Goblin?
Tangannya meremas pedang
yang berada di pinggul. Sosok itu terlalu samar untuk di ketahui, namun sosok
itu mengambil satu atau dua langlah. Ketika dia menyadari bahwa sosok itu
terlalu besar untuk seekor goblin, dia melonggarkan remasan pada pedangnya..
“Siapa di sana?” dia
bertanya.
“Eeyikes!” terdengarlah
jawaban terkejut. Pria muda asing yang panik, seseorang yang tampak begitu
akrab.
Goblin Slayer memperpendek
jarak di antara mereka dengan langkah sigapnya, dan wajah bocahnitu menengang.
Kemudian pada akhirnya, Goblin Slayer menyadari pengunjung itu menggunakan
seragam Guild. Seorang pegawai.
“Jadi kamu dari Guild. Ada
apa?”
“Er, aku—aku dengar ceritaya,
tapi...” Pria muda itu batuk dengan di sengaja. “Kamu mempunyai pengunjung di
Guild. Kehadiranmu di butuhkan dengan segera.”
“Begitu.” Goblin Slayer
mengangguk. Kemudian helmnya sedikit miring. “Apa goblin?”
“A—aku nggak...yakin...?”
“Tunggu sebentar.” Dia
berputsr dan pergi kembali ke dalam rumah.
Di belakangnya, pria muda
itu menyentuh dada dengan tangannya, tidak dapat berkata apa-apa, namun Goblin
Slayer tidak mempedulikannya.
Dia berjalan melewati
lorong, yakin akan kemana arah dia melangkah, hingga akhirnya dia menemukan
pintu yang dia cari.
“Aku masuk.”
“Huh?— Wah?!”
Dengan teriakan yanh sama
sekali tidak mencerminkan kewanitaan, Gadis Sapi berusaha menugupi tubuhnya
dengan sebuah kain—dia sedang tertangkap di tengah-tengah memakai baju dan
berdiri di sana telanjang bulat.
Goblin Slayer terdiam
melihat pemandangan yang menyambutnya ketika dia membuka pintu; kemudian dia
memutar helmnya ke samping dan berbicara dengan tenang.
“........Aku nggak perlu
sarapan. Aku akan pergi keluar.”
Gadis Sapi mengayunkan
tangan mengarah pria itu tidak berdaya. Mungkin dia tidak akan keberatan
menunjukkan dirinya sendiri kepada pria itu, namun dia tidak ingin pria itu mempergoknya
seperti ini.
“Ke-ketuk! Kamu tu harus
ketuk pintu!”
“...Aku mengerti,” Goblin
Slayer berkata pelan. “Aku minta maaf.”
“Ng-nggak apa... Maksudku
nggak masalah, tapi...” Gadis Sapi menekan dada besarnya dengan tangan dan
bernapas dalam. Wajahnya merah—dari terkejut, atau malu? Bahkan dia sendiri
merasa tidak yakin. Dia sudah minta
maaf secara langsung, dan Gadis Sapi berniat untuk membiarkannya saja...
“Jadi,” Gadis sapi berkata,
suaranya satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. “...Ada apa?”
Jawaban Goblin Slayer sangat
datar. “Aku nggak tahu, tapi aku sudah di panggil ke Guild.”
“Oke,” Gadis Sapi berkata
pelan.
Kurasa
ini artinya dia nggak akan perlu makan malam juga nanti. Gadis
Sapi merasakan rasa nyeri di dadanya.
Seolah ingin memastikan,
pria itu berkata, dingin dan pelan. “Kalau ini melibatkan goblin, aku nggak
akan bisa membantu pekerjaan kebun hari ini.”
Sampai
jumpa.
Gadis Sapi melihat pria itu
pergi dan tersenyum, namun setelah itu, Gadis Sapi harus duduk pada ranjangnya
untuk beberapa saat.
*****
“Oh! Pak Goblin Slayer!” Dia
melihat wajah Gadis Guild menjadi ceria seketika dia memasuki Guild.
Ada awal pagi.
Para petualang yang menyewa
kamar di Guild baru saja turun menuju rumah makam dari lantai dua, dengan sibuk
memuat sarapan ke dalam mulut mereka. Tetapi tidak terlalu banyak dari mereka,
karena kertas quest masih belum di pajang; atmosfir keseluruhan tempat ini
sangat santai dan pelan.
Satu pengecualian adalah
anggota pegawai di ruangan belakang yang berlarian kesana kemari menangani
pekerjaan administratif. Mereka mempersiapkan dokumen, meempersiapkan quest,
memeriksa brangkas, memastikan informasi, dan lain-lain.
Di tengah semua ini, Gadis
Guild menyempatkan dirinya untuk memberikan lambaian kecil seraya pria itu
masuk.
“Tamu-mu sudah menunggu!”
“Begitu. Di lantai dua?”
“Benar! Er, Aku...” Wajah
ceria Gadis Guild sebelumnya menjadi muram. Atau mungkin akan lebih tepat untuk
di katakan bahwa senyumnya menjadi pudar dalam sesaat.
Dia meracau seolah dia tidak
dapat mengungkapkan apa yang dia ingin katakan berikutnya. Goblin Slayer
sedikit memiringkan kepalanya. “Kenapa?”
Kepang gadis itu berayun
layaknya ekor anak anjing: boing! Gadis
Guild menundukkan kepala memohon maaf.
“Saya benar-benar minta maaf
atas quest sebelumnya.”
“Sebelumnya...”
“Yang—itu, yang goblin
laut.” Gadis Guild merasa sukar untuk mengucapkannya. Dia barus saja menerima
laporan pria itu kemarin.
Goblin Slayer berpikir
sejenak, namun pada akhirnya, dia tampak memahami apa yang di ucapkan gadis
itu. “Ah,” dia berkata seraya mengangguk. Kemudian dia melanjutkan dengan
gelengan kepala. “Nggak masalah sama sekali.”
Dengan ucapan pendeknya,
Goblin Slayer menuju tangga. Dia sama sekali tidak menyadari Gadis Guild yang
meletakkan tangan pada dada seraya pria itu mulai menaiki tangga.
Pria itu berpikir untuk
pergi ke ruang rapat yang dulunya mempertemukan orang-orang yang sekarang
menjadi anggota partynya. Sudah berapa lama itu? Dengan perasaan bahwa itu
sudah lebih dari satu tahun yang lalu, dia membuka pintunya.
Seraya dia melakukannya,
seorang wanita berdiri di jendela di bagian ujung ruangan, mendengakkan
kepalanya dan menatap Goblin Slayer.
“Kamu datang,” wanita itu
berkata.
Suaranya begitu bergairah,
hingga tampak akan meleleh kapapun juga. Matahari menyinari dari jendela di
belakang wanita itu, dan bibirnya yang terlihat dari balik tudungnya, tersenyum
dengan begitu lembut.
Wanita itu mengibaskan
jubahnya dan gelombang rambut emas muncul layaknya lautan. Lapisan, kain putih
dirinya memamerkan garis tubuhnya yang begitu aduhai—mungkin Ibunda Bumi
sendiri terlihat seperti ini.
Kulit yang tampak dari
seragamnya sangatlah putih, hampir transparan, seolah tak tersentuh sama sekali
oleh matahari. Warna merah muda pada pipinya kemungkinan tidak berasal dari
cahaya saja. Dia hampir tampak seperti pelacur—dan terdapat beberapa kuil yang menyimpan pelacur
suci.
Dia dapat mendekap pria
manapun yang menatap jari-jari kecionya, akan tetapi, matanya tertutupi oleh
sebuah kain hitam. Di tangannya, dia memegang terbalik sebuah pedang dan
timbangan lambang akan kebenaran dan keadilan. Dari cara dia bertumpu pada
pedang itu, dari cara dia berbisik, menunjukkan sebuah kegelisahan intens.
“Apakah
saya...mengganggumu?”
“Nggak.”
Sword Maiden. Adalah nama
cleric perbatasan yang di jawab oleh Goblin Slayer dengan nada pelan dan
datarnya.
“Apa goblin?”
“Benar. Saya memohon padamu,
tolong saya... Atau mungkin lebih tepatnya...” Suara mempesona nan bergairahnya
terdengar begitu samar seraya wanita itu menggelengkan kepala.”...bunuh mereka?”
“Tentu saja,” pria itu
berkata dengan begitu cepat seperti sebuah pedang yang mengayun.
Bibir wanita itu melembut
hingga menjadi senyuman tipis, hembusan nafasnya hangat. Rambut membanjiri
dadanya yang mengembang dengan sedikit geraian dari rambutnya.
“Di mana mereka? Seberapa
besar sarangnya?”
“Ada beberapa...rincian
spesial yang harus kamu ketahui.”
“Katakan.”
Sword Maiden memberi tahu
Goblin Slayer untuk duduk, walaupun mereka berdua bukanlah tamu. Cara pria itu
duduk sangatlah kasar; berbanding terbalik ketika Sword Maiden duduk, sungguh
gemulai. Sword Maiden sedikit bergerak, untuk mencari tempat yang tepat untuk
bokongnyaa yang bulat, dan kemudiam dia menarik pedang dan timbangan mendekat.
“Lokasinya adalah... Maaf,
bisakah kamu membawakan saya peta?”
“Baik, baik, aku sudah
menyiapkannya.” Jawab seorang cleric wanita tua. Sudah berapa lama wanita itu
ada di sana? Wanita ini hampir tampak menyatu dengan bayangan di ujung ruangan
rapat.
Cleric itu membentang peta
di atas meja tanpa suara meskipun dengan seragamnya yang besar.
Pasti
dia semacam monk, pikir Goblin Slayer daan kemudian dengan
segera dia mengalihkan perhatiannya. Wanita itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya terhadap goblin.
Sword Maiden pasti sudah
menebak apa yang pria itu pikirkan, karena dia melepaskan sebuah tawa kecil.
“Dia adalah pembantu saya. Pengawal juga... Walaupun saya sudah berkata saya
tidak membutuhkannya.”
“Seahli-ahlinya anda, nona
archbishop, bahkan anda akan berada dalam bahaya jika berkelana sendiri. Apa
lagi yang harus kami lakukan?”
Fuh.
Sword Maiden tampak seperti merajuk—namun kemudian dia
batuk lembut, sedikit merasa malu. “Bagaimanapun juga, goblin telah muncul...”
Dia menjalarkan jarinya di
atas peta dengan lembut, hampir seperti belaian. Dia tampak seperti mengikuti
sebuah jalan dengan ahli, walaupun secara harfiah matanya tertutup oleh kain.
“...di sini, di jalan raya
dari kota air menuju sini dan ke ibukota.
“Jalan raya...”
“Mengerikan sekali. Jalannya
masih dapat di lewati, tetapi...”
...Seolah
seperti. Apa yang orang biasa pikirkan jika mereka
mendengar penilaian Sword Maiden?
“Hrm,” Goblin Slayer
mendengus seraya dia melirik Sword Maiden, yang pundaknya bergetar. “Apa kita
mengetahui bentuk, ukuran sarang, atau rincian llainnya?”
“Saksi mata berkata bahwa
terdapat kurang lebih dua puluh goblin, semua memiliki tato yang sama. Kami
tidak mengetahui di mana sarangnya, tapi...” Suara Sword Maiden melemah, seperti seorang
anak kecil yang mengingat mimpi buruk. “...Laporan mengatakan bahwa mereka
menunggangi serigala.”
“Begitu,” Goblin Slayer
berkata pelan dan kemudian mendengus kembali seolah sedang berpikir.
Mereka pernah berhadapan
dengan rider sebelumnya di hutan hujan, sebuah pertarungan yang melibatkan dua
grup saling bertukar tembak di pinggir tebing.
Sangatlah cukup merepotkan
untuk menyelesaikan mereka pada saat itu....
“Nona archbishop di tuntut
untuk berpartisipasi dalam rapat dewan yang akan di adakan di ibukota dalam
waktu dekat ini.” Ucapan pengikutnya tampak seperti sebuah tambahan pada
penjelasan Sword Maiden dan mungkin untuk mengklarifikasi juga. Mungkin wanita
itu tidak sanggup menerima kenyataan bahwa salah satu pelindung hebat yang
telah membawa kedamaian pada perbatasan dapat merasa takut oleh seekor goblin. “Quest
ini, secara teknis bukanlah pembasmian goblin tetapi pekerjaan pengawalan
pribadi.”
“Apa akan ada penjaga yang
lain?”
“Tidak. Tidak ada satupun di
karenakan konfrensi darurat ini sama sekali tidak menyisihkan waktu untuk
mengatur permintaan penjaga seperti itu.”
Mengapa tidak menggunakan
prajurit, atau membiarkan militer mengatasi ini? Pertanyaan seperti itu dari
seorang petualang tentunya akan memberi luka pada hati Sword Maiden. Acolyte
Sword Maiden, tampaknya tidak hanya melindungi kondisi fisik nonanya...tetapi
juga keadaan emosionalnya.
Apapun itu, jawaban Goblin
Slayer selalu cepat dalam sekejap: “Aku nggak peduli. Aku curiga mereka adalah
pengelana tanpa sarang. Suku pengelana.” Dia menatap pada peta, menghitung
jarak dan arah ke ibukota di kepalanya.
Dia tidak pernah ke ibukota
sebelumnya. Tetapi dulu, ada waktu dalam kehidupannya di mana dia tidak pernah
pergi ke kota juga.
Peta sangatlah
berkemungkinan berbeda dengan realita yang ada. Dia harus memastikan bahwa
rencananya dapat membuatnya bereaksi pada situasi yang ada di sana.
“Jika kita bertemu dengan
mereka. Kita akan bunuh semua, dan selesai.”
“Saya tidak mengetahui bahwa
ada goblin seperti itu.”
“Mereka ada. Mereka
terkadang di sebut goblin-lapangan” Goblin Slayer mengangguk tegas, kemudian
berpikir sejenak dan menambahkan sebuah klarifikasi penting. “Tapi goblin laut
mirip seperti ikan.”
“Yah.” Sangatlah sulit di
percaya. Atau paling tidak, mulut Sword Maiden terbuka menandakan sebuah
ketidakpercayaan—dengan cepat dia menutupnya dengan tangan. Jika matanya dapat
terlihat, maka matanya mungkin akan terbelalak dan berkedip.
“Saya berpikir bahwa hampir
semua petualang dapat membantu kita menangani beberapa goblin.” Tampaknya sang
acolyte-pun merasa curiga, walaupun untuk alasan yang berbeda. Sang acolyte
melirik mengarah Goblin Slayer—atau tepatnya, pada kalung peringkat silver yang
bergantung di leher pria itu.
Petualang ini dengan armor
kulit kotor adalah seseorang yang telah mengubur makhluk buruk rupa yang berada
di saluran air pada kota air. Dia tidak dapat meragukan kemampuan pria itu. Dia
hanya berpikir bahwa mungkin menyewa seseorang dengan peringkatnya sedikit
terlalu berlebihan.
“Akan tetapi, nona
archbishop, tidak pernah mempertimbangkan untuk menyewa orang lain selain anda,”
dia berkata.
“Dia adalah seseorang yang
paling saya percaya.” Sword Maiden berkata, memanyunkan bibirnya merajuk.
“Sudahlah.” Ucapan sang
acolyte dapat terdengar. Dia terdengar seperti seorang kakak perempuan yang
mengikuti kemauan adiknya.
Goblin Slayer memperhatikan
mereka berdua dengan seksama dan kemudian berbicara dengan nada pelan. “Aku
akan memanggil temanku,” dia berkata, menggunakan sebuah kata yang mungkin
sukar dia percaya telah ucapkan. “Nggak akan lama.”
*****
“Dan kamu menerima questnya
tanpa sedikitpun mempertanyakan hadiahnya?!”
“...Hadiah?”
“Jangan bilang kamu lupa,
Orcbolg!”
Sebuah
pohon bakal lupa sama akarnya kalau pohon itu sebego kamu.
Dari tempatnya di samping
Lizard Priest pada sebuah bangku kusir,
High Elf Archer mengepakkan telinganya jengkel.
Di temani dengan partynya,
sebuah kereta di tarik oleh sepasang kuda, berjalan melewati gerbang kota.
Hembusan angin sejuk menandai awal musim gugur mengirim awan tersebar di
langit; cuaca sangat cerah, dan masih terasa cukup hangat.
Namun ini juga adalah hari
libur High Elf Archer. Ini seharusnya hari di mana dia bersantai. Hari di mana
dia dapat tidur hingga siang jika dia ingin.
Tetapi, dia telah di
bangunkan dari tidurnya dengan “Kita punya pekerjaan” dan “Goblin.” Bahkan
seorang elf akan merasa kesal, dan High Elf Archer mendemonstrasikannya dengan
sempurna melalui kepakan telinganya.
“Yah, er, ayolah, sudah...”
Priesterss, wajahnya menengang, berusaha untung menangkan sang archer, namun
itu bukan berarti dia tidak memahami apa yang di rasakan High Elf Archer. Itu
karena, kemarin adalah perburuan goblin dan hari ini adalah perburuan goblin.
Priestess mendambakan petualangan yang seharusnya, jadi tidaak mungkin dia
merasa senang akan hal ini.
Tapi
bukan berarti itu akan membuatku tidak akan ikutnya dengannya...
Pria itu mendatangi mmereka
dengan diskusinya-yang-merupakan-bukan-sebuah-diskusi; dia benar-benar terlalu.
“Pak, Goblin Slayer, kamu
harus memastikan untuk mendapatkan rinciannya oke?” Priestess mengacungkan jari
telunjuk seolah sedang memarahi cleric junior di kuilnya.
“Begitu,” Dia berkata dan
memberikan anggukan memahami—hal itu membuat pria ini lebih mudah di tangani di
banding kebanyakan murid kuil muda.
“Kurasa kita bisa
membicarakan soal hadiahnya nanti... Kan?”
“Tentu saja. Saya sudah
mempersiapkan kompensasi untuk kalian.” Di dalam kereta kuda para petualang,
duduklah seorang wanita menggunakan tudung dan senyuman tipis. Pengikut yang
duduk bersebrangan dengan wanita itu cukuplah cantik, namun keagungan murni
dari sosoknya, dan kemisteriusan nan memggoda akan bentuk bibirnya, sangatlah
tidak dapat di bandingkan dengan pengikutnya
Para petualang yang pergi ke
sini dan ke sana mengikuti jalan, terpana ketika melihat kecantikkan itu yang
tampak dari jendela kereta kuda.
Pemandangan sekitar, yah,
tidak istimewa. Bukanlah pertama kalinya pria ini yang selalu mengambil quest
goblin telah melakukan sesuatu yang aneh. Dia adalah pria aneh, dan sekarang
dia telang mengambil quest yang berhubungan dengan goblin dan mengawal wanita
ini.
Tetapi Atmosfir yang cukup canggung
ini, mungkin sama sekali tidak di rasakan oleh pria itu...
“Sebagai mulanya, saya
menawarkan kalian semua sebuah sekantung koin emas di muka. Kemudian satu
kantung lagi ketika kita sampai.”
“Masing-masing satu kantung?” Dwarf Shaman berkata.
“Benar.”
Hal itu memprovokasi sebuah
“Hmm” dan belaian jenggot puas dari sang dwarf. Untuk pembasmian goblin, bahkan
untuk pembasmian goblin di tambah pekerjaan mengawal, itu adalah harga yang
bagus. “Nggak jelek, nggak jelek. Sekalian kesempatan yang bagus untuk
lihat-lihat sekitaran ibukota...”
“Uh-huh... Ibukota. Aku selalu ingin melihatnya...” High Elf
Archer masih merasa kesal, namun tampaknya dia menyadari bahwa marah di sini
sangatlah tidak pantas dan sekarang yang dapat dia lakukan hanyalah menggerutu
sedikit.
Benar
sekali, ha-ha. Lizard Priest tertawa dari tempat dia
duduk pada bangku kusir, memegang pelana.
Di sana terdapat Goblin
Slayer yang tampak seperti membimbing kereta kuda. Lizard Priest dan High Elf
Archer duduk di bangku. Dwarf Shaman dan Priestess berada di kedua sisi samping
untuk bantuan. Tidak ada seorangpun yang perlu mengatakan apapun; mereka dengan
sendirinya membentuj formasi seperti ini.
Pada akhirnya, mereka mengikuti
“tuanku Goblin slayer” tanpa satupun dari mereka yang mempertanyakan tentang
hadiah, begitu saja.
Walaupun bukan berarti
mereka tidak mempersiapkan perjalanan mereka. Mereka telah mempersiapkan
semuanya dengan segala pertimbangan.
Ya,
benar sekali. Lizard Priest merasa senang untuk
mengetahui bahwa kebanyakan orang tidak akan dapat membaca ekspresinya seraya
senyumnya semakin dalam.
Tiba-tiba, tidak begitu jauh
dari bagian luar kota, Goblin Slayer berkata. “...Hentikan keretanya.”
“Baiklah.” Lizard Priest
menarik pelana dengan tangannya yang bersisik untuk memberhentikan kuda.
“Tunggu sebentar,” Goblin
Slayer berkata dan mulai berjalan. Mereka tidak perlu bertanya mengapa. Hanya
jarak oendek dari jalanan, menuju sisi lain dari sebuah pagar, mereka dapat
melihat seorang gadis muda berambut merah.
“Beardcutter ini mesra juga
ya Scaly?”
“Konon mereka berkata bahwa
untuk membentuk sebuah jalinan adalah dengan bertemu muka. Namun sebuah jalinan
akan menjadi longgar apabila tidak berikan perhatian yang layak.”
Dwarf Shaman mendatangi
tumpukan bagasi di
kereta kuda, membuka sebuah tutup dari kendi anggur dan meneguknya.
“Minum sebelum siang?” High
Elf Archer berkata dengan terkejut, namun seorang dwarf yang tidak minum
bukanlah dwarf sama sekali.
“Jangan bego. Ini bahan
bakar; ini bisa membuatku terus berjalan. Bagaimana aku bisa merapalkan
mantraku kalau lidahku kaku?”
Prkestess mendapati dirinya
sendiri tersenyum mendengar keseriusan Dwarf Shaman. “Gampang sekali jadi haus
ya? Ini mungkin memang musim gugur, tapi jalan kaki cukup lama akan tetap
membuatmu berkeringat.” Priestess membuka kerahnya sedikit (walaupun dia
mengetahui bahwa itu sama sekali tidak mencerminkan kewanitaan) dan mengipaskan
dirinya.
Cuaca tidaklah begitu panas
hingga dapat di kualifikasikan sebagai musim panas india, namun sida-sisa
terakhir akan musim panas masih dapat terasa. Para petualang terbiasa untuk
berjalan ke segala tempat, namun tetap saja, berkeringat dapat menguras tenaga.
Ini
membuat gadis itu semakin mengagumkan, Priestess
berpikir seraya dia memperhatikan Gadis Sapi berbicara dengan Goblin Slayer.
Gadis kebun itu selalu ceria dan tersenyum, walaupun di tengah pekerjaan kebun
yang sangat memeras tenaga.
Pada saat itu, gadis itu
memberikan gerakan akan nggak di pikirkan
kepada Goblin Slayer. Pria itu pasti mengatakan bahwa dia harus segera
pergi.
Bagaimana
kalau aku ada di posisinya...?
“Andai...”
Kata itu, terucap pelan dan
lemas, terdengar dari dalam kereta kuda.
Priestess mengintip ke dalam
jendela untuk melihat Sword Maiden bergerak dengan gundah. Buah dadanya, yang
dapat di bandingkan dengan buah yang saangat besar, berayun kecil seketika dia
mendempetkan dirinya pada rangka jendela. Priestess merasa sedikit tercengang.
“...Ahem, bolehkah sayang
mengetahui siapa yang berada di sana?”
Hmm?
Pikir Priestess, namun dengan cepat dia dapat memahaminya.
Wanita itu sedang membicarakan
tentang Goblin Slayer.
“Er, itu wanita muda yang
berasal dari kebun tempat Goblin Slayer ti ggal.”
“Begitu...” Helaan napas,
membawa sedikit kesedihan, terlepas dari bibir merah lembut Sword Maiden.
”Bu, apa ada...?”
“Tidak...” Sword Maiden
berkata, menggelengkan kepala dan sedikit menundukkannya. “....Tidak apa-apa.”
“Be...Begitu.” Priestess
memaksa dirinya untuk memalingkan pandangannya dari Sword Maidenm walaupun keinginannya
untuk mencuri lirik kembali kepada wanita itu.
Priestess sangat memahami
akan perasaan kasmaran. Adalah sama dengan apa yang dia rasakan dengan witch
cantik itu. (TL Note : kata yang di gunakan di sini itu “Infatuation” bukan
“love” infatuation itu sendiri sebuah perasaan seperti menyukai/mengagumi/terpukau
seseorang (yang biasanya berujung jatuh cinta) sebagai contoh ketika kamu
melihat seseorang, dan kamu berpikir “Wow cantik/cakep sekali orang itu” atau
semacamnya. Karena itu di sini saya memakai kata “kasmaran”. Karena saya g tahu
kata apa yang tepat untuk menggantikan infatuation.)
Jika begitu, perasaan apakah
yang sedang dia rasakan kepada Sword Maiden, sang archbishop terhormat?
Aku
rasa ini nggak sopan.
Ketika dia memikirkan masa
di mana dia berada di kota air, mengingat kembali momen mandi dan ritual
keajaiban Resurrection, dia masih dapat merasakan sesuatu di lubuk hatinya
menjadi panas.
Erk!
Dia menggelengkan kepalanya
untuj mencegah pipinya tersipu akibat memikirkan momen di ranjang itu.
“Aku sudah selesai.”
“Oh, baik!” Priestess
mendengak dengan cepat seraya mendengar langkah kaki yang mendekat.
Dia memastikan genggaman
pada tongkatnya tetap erat, memeriksa semua bagasi masih pada tempatnya, dan mengelap keringat
dari dahi dengan sapu tangan, dan kemudian dia siap pergi.
“Mm, jika begitu, mari kita
pergi.” Lizard Priest memberikan cambukkan pada pelana dan kereta kuda mulai
berjalan kembali.
Dwarf Shaman merogoh isi
tasnya, mengeluarkan sebuah apel dan kemudian dia gigit seraya berjalan.
Priestess tertawa kecil dan
bergumam, “Ayolah,” di tengah dentingan cincin tongkatnya. “Kamu nanti terlalu
kenyang sebelum makan siang.”
“Apa, maksudmu ini? Ini
bahkan sama sekali nggak bakal masuk perut seorang dwarf.”
“Oh, aku minta juga!” High
Elf Archer berkata, menggapaikan tangannya turun dari bangku kusir; Dwarf
Shaman melemparkan apel mengarahnya dengan “Nih.”
Sang archer menangkapnya
dengan kedua tangan dan menyeringai, mengelap apel itu dengan lengan bajunya...
“Ahhh...” Tanpa peringatan,
sang elf menguap puas, menggosok mata seraya dia melakukannya. “Aduh, senang
banget rasanya aku kalau kita nggak bertemu goblin dalam perjalanan ini.”
Namun itu sepertinya
sangatlah tidak mungkin.
*****
Sword Maiden terbangun oleh
ritme percikan api yang berdansa. Dia bangun dari kursi di dalam kereta kuda
yang redup. Dia mencari pedang dan timbangan, berhati-hati untukntidak
membangunkan pengikutnya, yang masih tertidur di seberang dirinya, seraya dia
membuka selimut.
Kemudian dia menarik
seragamnya dan menyelinap keluar kereta.
Mereka sedang berkemah untuk
malam ini. Matahari telah terbenam, bulan telah muncul, dan bintang-bintang
berkelip.
Mereka berada di tempat di
samping jalan di mana rumput telah di bersihkan agar pengembara dapat
beristirahat. Pertanyaannya adalah, apakah para petualang yang sudah lelah ini
tiba duluan, atau tempat untuk berkemah ini?
Biasanya, seseorang akan
menemukan sebuah penginapan di tempat seperti ini, namun dengan semua monster
yang ada akhir-akhir ini, itu hanyalah menjadi harapan yang terlalu berlebihan.
Sword Maiden menuju pertengahan
kemah. Dia mendenggar bahwa tidak ada kereta kuda lainnya. Itu artinya,
siapapun yang menjaga api adalah salah satu anggota partynya.
Sebuah sosok tampak redup di
hadapan api, seorang pria yang dia kenal dari dalam mimpinya.
“...Selamat malam?” dia
berkata seraya mendekat, duduk di samping pria itu. Dia memberikan sedikit
jarak antara mereka—karena dia tidak berani untuk duduk lebih dekat lagi dengan
pria itu.
Bayangan Goblin Slayer
bergerak, kepalanya yang berhelm berputar mengarah Sword Maiden. Pengikut
wanita itu mengeluh bahwa helm itu terlihat kotor dan murahan. Dan Sword Maiden
memahaminya, ketika dulu Sword Maiden melepaskan helm itu.
“Kamu tidak tidur?”
“Er...”
Suara pria itu begitu pelan
dan dingin, acuh, hampir mekanikal. Sword Maiden menutup mulut dengan tangannya
untuk mencegah jantungnya melompat keluar dari dadanya yang besar.
Apa yang harus di katakan
kepadanya? Kalimat yang dia bayangkan untuk di ucapkan telah menghilang dalam
sekejap. Adalah seperti, dia pikir, ketika seseorang sedang menulis sebuah
surat namun telah salah menulis, meremas keseluruhan kertas dan membuangnya.
“...Setelah semua yang telah
kamu lakukan, saya akhirnya dapat tidur dengan pulas kembali. Saya ingin
mengucapkan terima kasih kembali...”
“Tapi kamu terbangun
sekarang.”
Sword Maiden akhirnya dapat
mengutarakan isi hatinya, namun Goblin Slayer kembali menekannya dengan
jawabannya.
“Itu...” Sword Maiden
membusungkan pipi, memanyunkan bibir merahnya. “...Kamu ini, pak, adalah yang
terburuk.”
“Begitu?”
“Saya pikir begitu.”
Pria itu sama sekali tidak
menyadari apa yang di rasakan wanita itu.
Sword Maiden berpaling dari
Goblin Slayer, namun di balik penutup matanya, dia melirik mengarah pria itu. Dia
adalah sesosok bayangan hitam yang menatap mengarah api, tidak pernah
bergeming. Bagi Sword Maiden pria itu tampak seperti sebuah pedang yang
menunggu untuk di tarik.
Saya
rasa dia sama sekali tidak tertarik dengan rapat dewan apa yang akan mereka
adakan di ibukota.
Mereka di kelilingi oleh
para petualang yang tertidur di dalam kantung tidur mereka dan selimut.
Sword Maiden menghela napas
lembut. Pada akhirnya, hanya ada satu pilihan topik pembicaraan.
“Jadi kita tidak melihat
satupun goblin hari ini...”
“Mereka akan datang,” Goblin
Slayer berkata, mengaduk api dengan ranting panjang. Sekeping kayu bakar
berdecak, mengirimkan percikan bara api.
“Kita mempunyai kereta kuda
yang di kelilingi penjaga bersenjata. Akan sangatlah sulit untuk menyerangnya
secara langsung.”
“...”
“Malam ini, atau besok.”
Swprd Maiden tidak dapat
berkata apapun lagi. Rahimnya serasa bagaikan di tusuk dengan jarum es, rasa
dingin yang menyebar membuatnya bergetar merinding.
Dia mendekap pedang dan
timbangan ke dadanya. Kegelapan menyelimuti dari segala penjuru.
Angin berdansa melintasi
dedaunan dengan deruan yang membisik. Sword Maiden merasakan tubuhnya menjadi
kaku.
Dia menoleh ke kanan. Suara
akan ranting yang bergemerisik. Dia menoleh ke kiri. Angin bertiup di atas
dataran. Hush, hush. Jeritan para
burung. Jeritan para hewan liar.
Aroma masam akan bumi
mengambang. Kretek, kretek. Api
melompat. Aroma akan kayu yang terbakar.
Tawaan hina bergema di
pikirannya. Menunjuk dan terkekeh-kekeh. Api menghampiri mendekat ke arah
matanya.
Sword Maiden menggelengkan
kepala dan menggelengkannya kembali, tidak,
tidak. Dia merasa hendak memohon kepada sesuatu yang dia tidak ketahui apa.
Lidah merah kehitaman
menjilati pengelihatannya yang padam. Raungan yang terdengar sama. Batang yang
terasa panas di antara kakinya. Menangis tersedu-sedu.
Teriakan yang seperti
jeritan kematian, tidak pernah berakhir, menghantam secara terus menerus di
gendang telinganya. Suara itu adalah suaranya sendiri. Jiwanya telah mencapai
puncah ekstrim akan martabatnya yang telah hancur—
“Tidur.”
Suara pelam itu memberikan
kesan akan sebuah baja. Suara itu berasal dari bayangan hitam yang berada di
depannya.
“Tutup matamu, dan ketika
kamu membukanya, pagi akan datang.”
“Kamu membuatnya
terdengar...” Sword Maiden berbicara dengan suara yang tertahan, mencoba untuk
mengendalikan napasnya yang menjadi kacau tanpa fi sadarinya. “...begitu
mudah.”
“Aku tahu itu sulit,” Goblin
Slayer berkata dengan keseriusan penuh. “Saat aku kecil, aku berbaring di
ranjangku mencoba mencari tahu seberapa lama aku bisa menutup mataku sebelum
pagi datang.”
Ucapan yang paling
sederhana. Dan itu mengundang sebuah senyum tipis dari Sword Maiden. Persis
seperti kala di mana dia adalah seorang gadis yang murni, tidak ternodai, pria
yang ada di depannya dulu juga merupakan bocah yang tidak berdosa.
Sword Maiden tidak
mengatakan apaoun. Dia ragu bahwa dia bisa mengucapkan sesuatu yang ingin dia
katakan.
Tentang dirinya sendiri,
tentang pria itu, tentang gadis di kebun, dan tentang priestess pemberani itu.
Berbagai macam pikiran
berputar di kepalanya, dan setiap kali dia mencoba untuk mengatakan sesuatu,
lidahnya akan bergetar dan tidak ada sepatah katapun yang dapat terucap.
Namun terdapat seorang pria
yang seperti bayangan di depannya, dan demi dirinya, pria itu tanpa suara menjaga api.
Saya
harap pagi akan segera datang.
Saya
haram malam ini akan terus berlanjut selamanya.
Sword Maiden merasa seolah
apa yang telah dia lupakan selama sepuluh tahun terakhir akan meluap keluar...
Ya, dia merasakannya.
Sword Maiden menarik
lututnya mendekat meletakkan kedua siku di atasnya, menutup wajah dengan kedua
tangannya. Dia mengeluarkah helaan pelan yang bercampur dengan kemanisan dan
kepahitan.
“...Mrn, ugh... Ooh.”
Sword Maiden baru akan
berbicara ketika salah satu gumpalan selimut bergerak dan berputar, dan Priestess
duduk. Dia menggosokkan kedua mata, menguap, dan bergumam sesuatu yang tidak
dapat di mengerti.
Ahh.
Sword Maiden menghela kecewa. Tidak sempat berbicara. Dan
fajar masih begitu lama menjemput.
Priestess berdiri terhuyung;
dia telah melepaskan baju besi dan hanya menggunakan seragamnya. Seperti
seorang acolyte yang berjalan melintasi lorong kuil di tengah malam, Priestess
mengarah ke bagasi.
Dia membuka tasnya sebelum dia bergumam “Apa?” seolah baru tersadar. “Nona
archbishop...? Dan...Goblin Slayer?”
Dia berkedip, memiringkan
kepalanya tidak memahami. Dia celingak-celinguk di antara mereka berdua di
tempat mereka duduk bersampingan.
Goblin Slayer, seperti yang
Priestess duga ; sedang berjaga. Namun Sword Maiden di samping pria itu—apa
yang dia lakukan di sana?
“...Um, ada apa?”
“...”Goblin Slayer mendengus
pelan dan memutar helm bajanya mengarah Sword Maiden. “Dia terbangun.”
“Aduh,” Sword Maiden
berkata. “Kamu membuatku seperti anak kecil yang tidak bisa diam saja.”
Sudah cukup untuk malam ini,
Sword Maiden memutuskan. Dia menggembungkan pipinya, benar persis seperti anak
kecil.
Kemudian, sebelum Priestess
yang panik dapat membuat ekspresi kaget, sang archbishop telah menjadi tenang
kembali.
Dia sudah bukan anak kecil
lagi. Dia bahkan sudah bukan seorang wanita muda yang sering di kelilingi
laki-laki. Dia tidak berkewajiban untuk mengagumi siapapun tanpa kondisi.
Satu-satunya orang yang
dapat memahami semua fakta itu adalah gadis kebingungan yang berada tepat di
depannya. Fakta itu menyebabkan rasa nyeri di hati Swprd Maiden, namun dia
tetaplah tersenyum.
“Saya merasa cukup sulit
untuk tidur,” dia berkata. “...Dan kamu? Apa ada sesuatu yang salah?”
“Erm uh, nggak, bu.”
Priestess berkata dengan gelengan kepala. “Aku Cuma sedikit haus. Aku kira
airku...”
“Begitu.” Goblin Slayer
mengambil botol minum dari tas dan melemparkannya mengarah Priestess dengan
santai.
“Eep!” Priestess berteriak,
namun dia tetap menangkapnya, menundukkan kepala dengan sopan dan mengucapkan
“Terima kasih.”
Dia membuka tutup botol dan
meminumnya, menelan setiap isi botol dengan setiap tegukkan. Sword Maiden
memperhatikan dengan seksama—dan kemudian tatapannya yang tersembunyi tiba-tiba
mengarah pada lahan kosong.
“...” Goblin Slayer tidak
bertanya apa yang salah. Dengan cepat dia memeriksa bahwa pedangnya masih ada,
memastikan armornya terikat dengan kencang.
Ketika Priestess melihat
itu, wajahnya menjadi tegang. “Aku akan bangunkan yang lain...!”
“Jangan sampai mereka
menyadari kalau kamu mengetahui keberadaan mereka.”
“Baik!”
Priestess mengambil tongkat
di tangan dan mulai mengitari kemah sepelan mungkin. Cincin pada tongkatnya
bergetar dengan setiap langkah, berdenting suara layaknya sebuah lonceng. Mendengar
itu, ketiga selimut lainnya mulai bergerak.
Lizard Priest adalah pertama
yang terbangun, berdiri tanpa suara. Dia merayap dari balik tumpukkan
selimutnya, meregangkan tubuhnya yang kaku, dan dengan cepat mengambil taring
naganya.
“Mereka datang?”
“...Bisa saja. Ayo, bangun.”
Respon itu datang dari Dwarf
Shaman. Dia memberikan High Elf Archer sebuah tendangan untuk membangunkannya.
Dengan banyak “ooh” dan “aah,” dia bangun, menggosok kedua matanya.
“...Ini bahkan belum pagi,”
sang archer berkata.
“Cepat,” Priestess berkata.
“Aku harus memakai baju besiku...”
“Wah sekarang kamu sudah
dewasa ya,” High Elf Archer berkata, mengambil busurnya. Kemudian dia mengambil
seekor laba-laba yang merayap di dekatnya dan menarik beberapa helai sutra
untuk busurnya.
Ketika Goblin Slayer melihat
masing-masing rekannya bersiapnuntuk pertarungan, dia berdiri. “Masuk kembali
ke dalam ksreta.”
“Tapi...” Sword Maiden
mendengak; tangan kasar pria itu sudah menggenggam lengan Sword Maiden.
“Ini berbahaya.”
Dia menarik wanita itu
berdiri tanpa memberikan wanita itu kesempatan untuk mendebat. Kemudian dia
berjalan mengarah kereta, dan Sword Maiden tidak mempunyai pilihan lain selain
mengikuti.
Dengan kemampuan Sword
Maiden, sangatlah mudah baginya untuk berpartisipasi dalam pertarungan dengan
tingkat bahaya yang rendah, tetapi....
—!
Tetapi jari-jari yang
meremas kulitnya yang lembut tidak akan mengijinkannya.
Sword Maiden sangat mengerti
bahwa ini bukanlah pertarungannya. Akan tetapi, sebagian dari dirinya masih
ingin mendebat.
Sword Maiden merasa senang
seraya dia membiarkan dirinya di tarik, namun ketika dia di dorong masuk ke
dalam kereta, dia mengeluarkan “oh” pelan akan kekecewaan.
“Ganjal pintunya dan tunggu
kami.”
Pintu tertutup dengan
decitan. Sword Maiden menghela bersedih,
ketika lengannya yang di sentuh, di mana masih tersisa bekas merah dari jari
pria itu.
“...Baik. kami akan menunggu
kamu.”
Suaranya begitu pelan,
tidaklah mungkin dapat terdengar hingga keluar kereta. Mungkin lebih tepat di
sebut sebagai sebuah doa. Apakah pria itu
mendengarnya atau tidak sangatlah sulit di ketahui.
“Mrf... Apa yang terjadi?”
Mata pengikutnya yang terkantuk sayu, berdiri, masih terlapisi dengan selimut.
Sword Maiden tidak menjawab namun
menggigit bibirnya dan mendekap pedang dan timbangan lebih dekat.
“...” Indranya yang tajam
sudah dapat mendeteksi adanya kehadiran di luar. Seraya dia menarik simbol akan
dewa di dadanya yang besar, tubuhnya mulai merinding, bibirnya mulai bergetar.
“...Goblin. mereka datang.”
Kumohon,
kumohon jangan biarkan satupun dari mereka melarikan diri hidup-hidup.
Suaranya yang tertahan
mengutarakan sebuah uraian kalimat, dan kalimat lain pada hatinya.
Jika ada cara lain untuknya
agar dapat bertarung melawan goblin, dia tidak mengetahuinya.
*****
“GOOROBOROGB!!”
Sergapan itu di mulai dengan
sebuah perintah dari goblin rider.
Serigala melompat keluar
dari semak-semak dan mendekat dengan cepat, melampaui jarak yang jauh dengan
satu lompatan besar. Rahangnya berlumir dengan liur yang begitu menjijikkan,
dan Goblin Slayer menghadapi mereka dengan hantaman perisainya.
“GYAN?!” Serigala menjerit
dan berguling menuju api; Goblin Slayer menghancurkan tenggorokan mahluknitu
dengan sepatunya dan kemudian menusuk leher rider itu, yang telah terlontar
dari serigala.
Sang serigala, rusuknya
patah, kejang satu kali, sementara goblin itu tenggelam tersedaak oleh darahnya
sendiri. Goblin Slayer memastikan ini semua dan kemudian berlanjut bergerak ke
musuh berikutnya.
Serigala kedua—mungkin
terdapat empat atau lima dari mereka secara keseluruhan—telah melompat keluar
dari semak-semak.
“...Hrm.” Goblin Slayer
menjentikkan lidah seraya dia mencoba menarik keluar pedangnya dan mendapati
pedangnya tersangkut di dalam daging goblin. Tanpa kehilangan temponya, dia
melepaskan pedang itu, dan mengambil pentungan mayat itu sebagai pengganti, dan
mengayunkannya.
“GGBORORB?!”
Terdengar sebuah suara akan
tulang punggung yang hancur, seperti suara ranting pohon yang retak, dan sang
serigala terguling ke samping. Goblin Slayer menyerang penunggang serigala itu
seraya monster itu berusaha untuk berdiri.
“GORB?!”
“Dengan ini dua.”
Sang goblin terkena serangan
keras di kepalanya; satu mata dan semua dari otaknya terburai keluar, dan dia
pun mati. Goblin Slayer melempar pentungan pada goblin rider berikutnya dan
kemudian merengut pedang yang menancap pada mayat goblin lainnya.
“Jangan biarkan mereka
melarikan diri. Bunuh mereka semua.”
“...Mau gimanapun cara kamu
mengucapkannya, itu sama sekali bukan kalimat yang seorang pahlawan seharusnya
ucapkan.” High Elf Archer menggerutu dari posisinya di samping kereta.
Kemah, bermandikan cahaya
api, telah di kelilingi oleh para goblin. Di depan High Elf Archer terdapat
serigala dan penunggangnya yang telah di jatuhkan oleh Goblin Slayer.
“Heh-heh.” High Elf Archer
menarik dua panah dari tempatnya; panah itu meninggalkan busurnya hampir dalam
sekejap ketika dia membidik sasarannya. Panah pertama mengenai serigala tepat
di matanya; dan panah berikutnya di lancarkan dengan secepat kilat, menembus
tenggorokan gobkin yang maju.
“GOROR?!”
“Satu untuk perjalanan kita!”
Dia menendang goblin yang menggeliat dengan kaki panjangnya dan kemudian
menarik panah pada busur dan melepaskannya, (TL Note : “One for the road!” idiom
inggris yang artinya satu minuman terakhir sebelum pergi.)
Panah itu melengkung dengan
sudut yang aneh di kegelapan malam , terjatuh di suatu tempat di belakang
kereta.
“GROBORB?!”
Sebuah jeritan. Seekor
goblin terhuyung dan terjatuh, meremas dadanya, di mana sebuah panah bersemi.
Dengan ini menjadi dua untuk sang archer.
High Elf Archer mengepakkan
telinganya. Goblin itu memiliki sebuah tombak, namun dia tidak menunggangi
apapun. “Seharusnya aku menyadari kalau kita berlima nggak akan bisa menangani
keseluruhan area ini dengan banyaknya jumlah mereka... Dwarf, bantu aku!”
“Oh?”
Dwarf Shaman berdiri di
samping kuda, kapak di tangan. Hampir sebelum sang dwarf menjawab, High Elf
Archer sudah bergerak dengan kelincahan seekor burung kecil yang berdansa di
atas ranting; pertama satu kaki sang archer mendarat pada telapak tangan sang
dwarf yang bebas, kemudian High Elf Archer menginjak pundak sang dwarf, dan
akhidnya melompat.
“Aku ambil posisi di atas
kereta. Kami tangani yang di bawah!”
“Kampret kamu Telinga
Panjang! Aku ini bukan pijakan!”
Bahkan seraya dia
menggerutu, sang dwarf mengayunkan kapaknya dengan lengan kuat kaum dwarf.
“GBORROB?!”
Goblin ini mendapati dirinya
terbelah bagaikan kayu bakar dari dada ke bawah, isi tubuhnya terburai keluar.
Sekarang para goblin yang
berjalan kaki mulai bergerak maju berdamoingan dengan para rider. Sepuluh dari
mereka, atau mungkin dua puluh.
Begitu—cukup
untuk membanjiri kereta kuda manapun, pikir
Dwarf Hsman.
Para goblin yang tertawa
telah mendesak masuk ke kemah. Dia tidak mempunyai waktu untuk memfokuskan
dirinya menyiapkan mantra.
Dwarf Shaman mengernyit dan
mengayunkan darah dari kapaknya dan kemudian melontarkan teriakan. “Nggak ada
pilihan... ayo gadis, ke sini, sini! Aku dalam masalah!”
“Oh baik, maaf...!”
Priestess menjawab. Dia kesulitan mencari tempat yang bagus, secara terus
menerus memperhatikan punggungnya seraya dia mengayunkan tongkatnya. Jika di
pikir lagi, tidak banyak kesempatan di mana gadis itu harus bertarung seraya
melindungi sasarab.
Priestess bergerak berlari
kecil seraya para goblin mendekati, melirik pada dirinya.
“Eeep?!”
Sekarang, apakah takdir atau
kemungkinan yang telah membuatnya berjongkok tepat saat ini?
Seekor serigala, hendak
mengoyak leher lembut gadis itu, melintasi kepala Priestess dan di sambut oleh
kapak Dwarf Shaman.
“GYAN?!”
“ Mati kamu. Kamu nggak
apa-apa?”
“Iy-iya! Aku...baik-baik
saja! Maaf soal tadi ya.”
“Ah, suruh si serigala yang
minta maaf!”
Sang rider terguling—ketika
dia terlontar dari tunggangannya, lehernya patah di karenakan benturan jatuh—dan
Dwarf Shaman menendang mayat itu ke samping kemudian menenangkan pernapasannya.
Priestess datang mendekat, merapatkan
dirinya dengan Dwarf Shaman. Matanya memperhatikan kegelapan malam untuk
sesaat, mencari pria itu.
Semua
baik-baik saja, dia ada di sana.
Sesosok pria dengan armor
yang tampak menyedihkan mengusung pedang dalam cahaya api. Priestess menarik
napas dan menghela.
“...Sepertinya ketapel akan
jauh lebih berguna di banding keajaiban sekarang,” dia berkata.
“Benar sekali. Holy Light
kemungkinan Cuma akan membuat mereka lari...”
Priestess mengangguk kepada
Dwarf Shaman dan kemudian menyandarkan tongkatnya di kereta kuda dan mulai
mengambil ketapel yang dia simpan pada pinggulnya. Dia mengambil sebuah batu di
tanah dan mulai memutarnya, dan dengan teriakan imut akan “Yah!” dia menerbangkan
batu itu.
Kegelapan malam sama sekali
tidak membantu bisikannya, dan dia hanya berhasil mengenai goblin tepat di
kakinya, tetapi—
“GROB?!”
“Terima kasih bantuannya!”
High Elf Archer mengirimkan panah ke makhluk itu tepat ketika makhluk itu berhenti
bergerak sesaat. Sang goblin tersedak akan sesuatu dan kemudian tersungkur ke
belakang, dengan panah yang berada di dadanya.
Lizard Priest, tidak di
ragukan lagi, sedang menikmati ini.
“Ha-ha-ha, satu tembakan
bantuan kecil akan memguat semuanya menjadi lebih mudah. Namun—“
Dia mengayunkan cakar,
cakar, taring, dan ekor untuk membuat dirinya tetap hangat di dalam dinginnya
malam. Dua goblin dia cabik, goblin lain di cengkram di antara rahang besar dan
di lemparkannya ke udara. Di saat mayat itu mendarat di tanah, ekornya yang
bagaikan batang pohon sudah menyapu monster yang berada di belakangnya.
Dengan itu empat gobkin
telah mati, dan bahkan dia sama sekali tidak tampak kelelahan. “Saya
menyayangkan bahwa pertahanan sederhana sangatlah tidak mencerminkan diri
saya.”
“Sebelas... Aku setuju.”
Tampaknya para petualang
telah mengubur setidaknya setengah dari jumlah para goblin, namun mereka tetap tidak
boleh lengah. Goblin Slayer menarik tombak dari tenggorokan seekor goblin dan
melemparkannya mengarah seekor roder yang berusaha melompati api kemah.
“GBORRO?!”
“Artinya...?”
Sang goblin, terlempar
bersamaan dengan tunggangannya, terjatuh tepat di tengah api. Terdapat sebuah gumpalan
asap dan abu, dan makhluk itupun terdengar menjerit seraya terbakar hidup-hidup.
Goblin itu berguling di tanah, berusaha untuk memadamkan api, namun goblin lain
yang berada di sekitarnya hanya tertawa melihat itu.
Goblin Slayer menendang
mayat monster yang telah dia bunuh dengan tombak ke samping, mengambil belati
makhluk itu untuk dirinya.
“Dengan ini dua belas,” dia
melanjutkan, “Apa kamu bisa pergi ke bagian luar kemah?”
“Kosa kata akan kaum saya
sama sekali tidak memiliki kata tidak
bisa.” Lizard Priest tertawa riang, menyentuh hidung dengan lidahnya. Mulut
menyeringai mengerikan, dan kedua tangan dingosoknya bersama. “Mohon berikan
saya sedikit waktu.”
Kemudian dia berlari
melintasi asap tanpa suara.
Saat dia telah melihat
raksasa bersisik itu pergi dengan aman, Goblin Slayer mengambil obor baru dari
kantung peralatannya. Dia menyalakannya dengan api kecil yang berada di
sekitaran. Api sama sekali tidak boleh di biarkan padam.
“GRRO?!”
Selanjutnya, dia menangani
goblin terdekat dengan hantaman perisainya dan kemudian membenamkan belati di
leher monster itu. Dia mulai berlari, lurus menuju mayat baru. Tujuannya?
Temannya (masih sebuah pemikiran yang aneh bagi pria itu) dan kereta kuda yang
mereka lindungi.
“Tiga belas... Empat belas!”
Dia meluncurkan tendangan
tepat di wajah goblin yang berusaha mengahalangi jalannya, menghancurkan mulut
makhluk itu ke dalam. Satu langkah lagi.
Dia melirik kepada anggota
partynya dengan cepat; tampaknya tidak satupun dari mereka terluka. Dia
menghela napas.
“Pak, Goblin slayer!”
Dia mengangguk kepada
Priestess, yang menyambut dia dengan wajah berseri dan kemudian dia berkata
acuh, “Kita akan buat papan kayu.”
“Apa?” Priestess bertanya,
wajahnya mengernyit dan merah.
High Elf Archer berteriak “Apa?!” dari atas kereta. “Dengar aku,
Orcbolg—!” (TL Note : buat yang bingung kenapa si elf marah di sini, sebenarnya
apa yang di ucapkan Goblin Slayer itu “We’re making an anvil.” Anvil itu adalah
ejekan Dwarf Shaman tentang dadanya si elf yang rata. Cuma karena dari dulu
saya selalu menggunakan “Papan kayu” sebagai pengganti anvil, makanya saya
tetap pakai di sini walaupun sedikit kurang nyambung sama konteksnya.)
“Kita harus perkuat
pertahanan kita,” dia berkata, menghiraukan sang archer. “Rapalkan Protection,
cepat.”
“Oh, ba-baik!” Priestess
bertumpu pada tongkatnya; Goblin slayer menjaga Priestess yang berada di
belakangnya. Dia menyambut hantaman dari goblin yang mendekat dengan perisai
dan kemudian melakukan balasan dengan belatinya, mengarah pada solar plexus
makhluk itu.
“GOROB?!”
“Dengan ini lima belas.
Delapan lagi, tiga dari mereka rider,” dia menarik belati seraya dia menendang
goblin itu menjauh, yang terksiap napas terakhirnya dari paru-paru yang tidak
dapat lagi menyimpan udara di dalamnya.
Goblin Slayer mengayunkan
darah hitam dari belatinya dan melanjutkan postur bertarung seraya dia berkata.
“Jaga yang di bagian belakang. Aku akan tangani di sini.”
“Siap! Walaupun aku bukan
pemain baris depan yang handal...” Jawaban segera Dwarf Shaman dengan sedikit
kemuraman pada nadanya, namun dengan segera dia bergegas pergi.
Dia menggunakan armor
ringan, namun dia masih tetaplah seorang dwarf. Serangan tenaga penuh dari
kapaknya akan berdampak mematikan bagi para goblin.
“...Grr. Oke, tapi aku nggak
suka ini!” High Elf Archer menggerutu, busurnya masih bersiul seraya telinganya
mengepak kesal. “Kamu harus minta maaf nanti!”
“Aku nggak mengerti
maksudmu,” Goblin Slayer berkata datar. Tidaklah jelas apakah pria mengerti
seberapa datar dia terdengar.
Walaupun
aku meragukannya, pikir Priestess, sedikit tersenyum. Dia membelai
tongkatnya, mengusungnya tinggi. Kenyataan bahwa dia di lindungi oleh
seseorang—tidak, oleh pria itu—sangat
membantu untuk menenangkan pikirannya.
“O
Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan
kepada kami yang lemah!”
Sebagai hasilnya, doa gadis
itu telah mencapai surga, dan sebuah perlindungan suci terwujud sebagai dinding
tak kasat mata di sekitar kereta dan party.
“GOROROB!”
“GROBG! GROORBBGRB!!”
Jika begitu, seperti apakah
para petualang ini terlihat bagi para goblin?
Jawabannya adalah, mereka
terlihat begitu rentan.
Para goblin tertawa bahwa
para petualang berkurang satu di hadapan mereka, namun mereka tidak menyadari
hal lain apapun. Musuh telah melemah; itulah yang terpenting bagi mereka. Bagi
mereka para orang-orang bodoh ini telah melakukan sesuatu yang tolol.
Sekarang mereka hanya
berfokus pada satu pertanyaan: apa yang akan mereka lakukan kepada para
petualang ini?
Bagaimana cara mereka
membunuh para pria? Di depan para wanita mungkin? Dan terdapat seorang wanita
juga di dalam kereta! Dengan kata lain, mereka akan dapat bersenang-senang, dan
jika ada wanita yang mati di tengah kesenangan mereka, yah, akan masih ada
wanita cadangan lainnya. Luar biasa.
Salah satu goblin yang
menyeringai menjilat bibirnya, mengundang tatapan jijik dari gadis kecil dengan
tongkat di tangan. Kemudian terdapat elf berharga diri tinggi itu di atas
kereta—akan bagaimana elf itu menjerit ketika mereka menyeret dia turun dari
sana.
Para goblin bermandikan
dengan harapan dan nafsu. Seperti itulah watak para goblin.
Oleh karena itu mereka tidak
menyadari apa yang telah terjadi, bahkan ketika semua telah terlambat.
“GOBRRR...?”
Yang pertama menyadari
adalah goblin rider yang berada dekat di garis belakang yang sedang mencari
kesempatannya untuk terjun ke dalam aksi. Dia mendengar gemerisik langkah kaki
yang berasal dari semak-semak. Beberapa dari rekannya, terlambat untuk
bersenang-senang, dia pikir.
Sang ridee menarik tali
kulit yang berfungsi sebagai tali pelana, memutar-mutarkannya untuk memberikan mereka
apa yang dia pikirkan.
“GOROBBGB?!”
Dia tidak pernah bisa
mengutarakannya; dia mati mencipratkan darah pada punggung serigalanya.
“GYAN?!”
“GOOR! GOBG!”
Kaingan serigala adalah
tanda pertama akan adanyz sesuatu yang tidak benar.
Satu, dua, tiga bayangan
putih mendatangi mereka melintasi kegelapan—tunggu, apakah itu tulang?
“O
tanduk dan cakar leluhur kami, iguanodon, jadikanlah empat anggota tubuh
menjadi dua kaki untuk berjalan di muka bumi ini!”
Dragontooth Warrior di bawah
naungan perintah Lizard Priest melolong dan berderik seraya mereka menyerang
goblin.
Para monster tidak pernah
berpikir bahwa salah satu dari petualang berhasil melepaskan diri dari garis
depan menggunakan kabut asap dari api kemah sebagai perlindungan, apalagi
petualang itu mengumbar doa kepada leluhurnya untuk menciptakan pasukan untuk
dirinya sendiri...!
“Ahh—saya percaya bahwa ini akan
dapat merampungkan permasalahan kita hingga kita mencapai ibukota, tuanku
Goblin Slayer.”
Di tekan oleh Dragontooth
Warrior, para goblin tidak mempunyai pilihan selain bergerak maju. Akan tetapi,
di sana, mereka mendapati pelindung suci akan Protection menunggu mereka. Dan
di tambah lagi empat petualang bersenjata.
“Apa kamu...akan membiarkan
mereka hancur sendiri?” Priestess berkata, mendekap tongkatnya dan memfokuskan
keajaibannya.
“Ya.” Goblin Slayer berkata
dengan ketenangan total, seraya dia memutar belati dengan gerakan pergelanagan
tangannya. “Kita akan membunuh semua goblin.”
Sebelum fajar menyingsing,
ucapannya telah terbukti.
*****
Adalah pemandangan
pembantaian.
Arunika pagi menyinari
terang dan merah di atas tanah ertabur
tulang dan daging dan mayat para goblin dan serigala.
Priestess bersujud,
membentuk tanda suci, meremas tongkatnya erat seraya dia berdoa kepada Ibunda
Bumi. Bukanlah soal permohonan untuk memaafkan para goblin: dia berdoa untuk
kedamaian mereka yang tepah mati tanpa pandang bulu.
“Kamu sudah selesai?”
“Oh iya...!” Priestess, terkejut
oleh suara itu, mengangguk cepat dan berdiri. Dia melihat di sekitar dan
menyadari bahwa Goblin slayer telah menumpuk mayat-mayat itu.
Aroma busuk menusuk
hidungnya. Adalah bau yang dia kenal dadi petualangan pertamanya, dan hingga
saat ini dia masih tidak dapat terbiasa dengan bau ini: jeroan dan keringat
para goblin.
“Apa...yang akan kamu
lakukan?”
“Ada berapa?” Goblin Slayer
bertanya, menghiraukan pertanyaan Priestess. “Berapa banyak yang mereka bunuh?”
“Umm...” Priestess tidak
dapat memastikan kemana dia harus memandang.
Memperhatikan dari sisi lain
jendela, di dalam kereta, Sword Maiden menawarkan sebuah jawaban dengan suara
tegang. “...Lima atau enam gerombolan jika tidak salah...”
“Begitu.” Goblin Slayer
menarik belati dengan genggaman terbalik. “...”
“A-ada apa?” Priestess
bertanya.
“Tutup jendela kereta.”
Instruksi itu begitu singkat namun tidak dapat di abaikan.
“Permisi,” Priestess berkata
seraya dia me utup jendela kereta kuda. Di saat dia melakukannya, dia
melihat betapa pucat dan murung ekspresi
Sword Maiden.
Ah...
Dia telah mengerti. Namun
itu bukan berarti dia dapat menghentikan pria itu.
Goblin Slayer mengangkat
belati dan kemudian menghujamkannya tanpa ragu ke dalam perut salah satu
goblin.
“Ugh...” darah menciprat,
dan High Elf Archer, masih berdiri berjaga di atas kereta, membuat suara jijik.
Bahkan bagi seorang ranger
atau pemburu berpengalaman, pemandangan ini akan sangat tidak nyaman. Ini
bukanlah seperti sedang membersihkan atau menguliti atau menguras darah
binatang.
“...Tunggu dulu, Orcbolg.
Kamu mau ngapain?”
“Memastikan.”
Jawabannya, di ucapkan
seraya dia terus menusuk satu persatu tubuh goblin, sangatlah jelas.
High Elf Archer melambaikan
tangannya lelah dan memalingkan pandangan. Telinganya melemas. “Ergh, se...sesukamu
sajalah...”
“Gimana aku bisa makan
daging besok kalau kamu terus melakukan itu?” Dwarf Shaman bergurau, menggosok
perutnya, namun dia terus memantau area sekitar dengan siaga. Dengan petarung
garis depan mereka sedang bekerja, sangatlah penting untuk tetap terus siaga.
Akan tetapi...
“...” Priestess menggigit
bibir dan menatap pada mayat para goblin.
“Ijinkan saya membantu anda,
tuanku Goblin Slayer.”
“Terima kasih.”
Lizard Priest berjalan
santai, mengeluarkan pedang taring pendek dan mulai bekerja. Sayatannya
terlihat kasar namun berpengalamam dan sangat membantu pekerjaan ini.
“Hmmm,” Goblin Slayer
mendengus, menarik perut goblin seraya dia menyelesaikan pembedahannya.
Dia kemudian melanjutkan
membedah para serigala juga, mengosongkan isi setengah dari makanan yang
tercerna ke tanah.
“Oh... Ergh...” Akhirnya
Priestess tidak sanggup lagi menahannya; ia berjongkok, wajahnya pucat.
Potongan-potongan kecil akan
tangan, kaki, dada, helai rambut, semua meleleh, dan tumpah ke tanah.
“Ada yang nggak beres.”
Dia memberi tahu Priestess
untuk meminum botol minum seraya dia memberikan botol itu kepada Priestess. Gadis
itu menerima botol dengan kedua tangan. Dia meminum air itu dengan berisik, air
mengalir di bibirnya, menguras isi dari botol itu.
Goblin Slayer memperhatikan
Priestess dari ujung matanya seraya dia memikirkan jumlah akan bagian tubuh
itu. Bagian tubuh itu tidaklah sepasang.
“...Menurutmu bagaimana?”
“Hmm...” Lizard Priest
bergabung dengan pria itu, berjongkok di dekat tumpukan daging, semua terlumasi
oleh cairan perut, menusuk salah satu daging itu dengan ujung pedangnya.
“Mungkin beberapa dari ini di berikan untuk makanan serigala, dan yang lain di
simpan secara terpisah... Atau mungkin tidak sama sekali.”
“Aku setuju. Ini suku
pengelana, mereka harus berkelana dengan persediaan mereka.
“...Mereka sama sekali tidak
membawa barang apapun bersama mereka.”
“Astaga.
Yang benar saja.”
Persepektif ini datang dari
High Elf Archer, yang secara hati-hati berusaha untuk tidak melihat ke bawah.
Dari tempat dia bertengger di atas kereta.
Keseluruhan pembedahan ini
selalu menjadi bagian yang dia benci sejak pertama kali mereka bertemu,
tetapi... sang elf menghela dan mengepakkan telinga kemudian melambaikan
tangannya.
“Aku nggak melihat adanya
tanda barang bawaan mereka di kejauhan juga.”
“Itu artinya Cuma satu hal,”
Dwarf Shaman berkata, merasa terganggu seraya dia mengamati mayat yang
terbedah.
Party berenam. Banyak goblin
dan serigala untuk memakan mereka semua.
“...Itu artinya...masih ada
seseorang di sana?” Priestess ertanya
dengan suara kecil, namun tidak seorangpun menjawab.
*****
“Oh wow...” Reaksi Priestess
terlepas seraya dia mengjela, matanya berbinar.
Beberapa hari berjalan di
jalan raya dari kota perbatasan telah berlalu, dan akhirnya, mereka telah tiba.
Seraya mereka mendekati
ibukota, kebun mulai mengisi tepi jalan, dan angin menghembus di atas sungai.
Di kejauhan, mereka dapat melihat sebuah atap merah lumpur akan seseorang yang
mengawasi pemandangan ini.
Dinding kastil, yang sebelumnya
dapat terlihat di kejauhan, tampak begitu besar di depan mata Priestess.
Terbuat dari balok marmer besar yang di tumpuk satu-persatu, sehingga membentuk
sebuah gerbang monumental. Memandangi gerbang itu membuat lehernya sakit.
Apakah bayangan yang di hasilkan dinding itu menutupi keseluruhan jalan saat
senja?
Seraya pikiran itu terngiang
pada sang gadis, dia mendapati bahwa dinding itu jauh lebih mengagumkan dari
sekedar ukurannya saja. Ukiran batu elok yang tidak di buat dengan sihir.
Kemampuan manusia, kepiawaian manusia, dan kekuatan manusia telah membuat ini
menjadi mungkin, dan itu sangatlah luar biasa.
Arsitektur ini telah berdiri
hingga ribuan tahun, melawan elemen, cuaca yang mengamuk, dan banyak generasi
penguasa.
Dia telah mendengar tempat
ini sebelumnya, namun dia tidak pernah melihatnya. Keseluruhan dunia Priestess
hanyalah terdiri dari Kuil, kota perbatasan, kebun, dan baru-baru saja, kota
air. Tidak lebih dari itu.
Akan tetapi, ini, sangatlah
jauh lebih besar, dan jauh lebih tua, di banding pagar kota perbatasan ataupun
kota air. Gerbang besar akan ibukota ini telah berdiri selama banyak jaman;
gerbang ini sendiri merupakan sejarah bagi mereka yang dapat berbahasa.
“Luar biasa banget...!”
Priestess berkata, tersenyum, menghilangkan kemuraman dari malam sebelumnya.
“Gerbang ini mungkin lebih
tua dari aku,” High Elf Archer berkata dari tempatnya di atas kereta kuda,
mengepakkan telinga seraya mereka melewati bayangan di bawah gerbang. Binar
dari mata hijau rumputnya pasti berasal dari rasa penasaran sang archer.
Mengapa dia begitu bersemangat untuk melihat sesuatu yang tidak pernah dia
lihat sebelumnya?
“Hey,” dia memanggil, “orang-orang
yang berkumpul di sekitar gerbang itu lagi ngapain?”
“Biarkan aku kasih tahu kamu
apa itu dinding,” Dwarf Shaman menjawab pelan. “Dinding itu pertahanan utama
dari sebuah kota; banyak tempat yang membanggakan dinding mereka.” Oleh karena
itu, memberi tugas kepada seseorang untuk menjaga dinding tetap rapi dan bersih
sangatlah penting. Sang dwarf mendengak ke atas kereta dengan ekspresi lelah.
“Telinga Panjang. Kayaknya kamu doyan sekali di atas sana ya?”
“Yah, nggak ada salahnya
seseorang mengawasi setiap sudut arah kan, Orcbolg?” dia menoleh ke bawah dari
atas kereta, tampak senang bisa berada di atas keramaian.
“Ya,” kata pria itu dengan
helm kotornya.
Goblin Slayer sedang melihat
kesini dan kesana, memegang selembar kulit. Dia telah memotong kulit itu dari
salah satu goblin di malam sebelumnya—dan diniringi dengan tatapan jijik dari
High Elf Archer dan Priestess tentunya.
“...Bleh. coba kamu katakan
lagi kenapa kamu harus merasa membawa itu?”
“Ada kemungkinan terdapat
mereka yang selamat, atau mereka kemungkinan mempunyai pemimpin.”
“Kamu kan bisa aja menyalin
simbol itu ke sesuatu.”
“Aku mau memastikan bahwa
ini seakurat mu gkin.” Dengan satu jari berlapis sarung tangan, dengan santai
dia menyisir pola garis geometris pada kulit itu. Pada akhirnya, dia memberikan
anggukan kecil dan kemudian menggulung kulit dan memasukkannya kembali ke dalam
kantungnya. “Sepertinya ini hampir berbentuk seperti tangan, tapi aku masih
nggak yakin.” Dia berkata, dan kemudian helemnya bergerak. “Apa menurutmu ada
yang aneh di tempat ini?”
“Iya,” Priestess berkata
dengan anggukan. “Banyak banget otangnya...!” Dia sedang celingak-celinguk, tampak
melangkah dengan riang.
“Hati-hati jangan sampai
terpisah.”
“A—aku tahu itu... aku tahu
kok, oke?” Merasa malu telah di perlakukan seperti anak kecil, Priestess
mengetuk lantai dengan tongkat untuk menekankan maksudnya. Dari bawah kakinya
terdengar suara keras. Dia telah begitu terfokus pada kereta sehingga membuat
dia tidak sadar bahwa jalan raya bertanah telah berubah menjadi batu ubin.
Khalayak semakin ramai
seraya mereka semakin dekat denggan ibukota, dan sekarang mereka berada di setiap penjuru para petualang. Bahkan gerbang
raksasa itu tampak sempit di bandingkan dengan banyaknya kumpulan tubuh ini.
Kerumunan ini terdiri dari tua dan muda, pria dan wanita,
kaya dan miskin dari setiap ras dan suku, beberapa dari mereka ingin berdagang,
mereka semua bercampur ersama, berteriak
bersama.
Beberapa dari kereta kuda
lain juga dapat terlihat, sementara pedagang membawa keranjang melintasi
keramaian, menjual air atau buah. Beragam warna-warni akan pakaian seraya
khayalak berjalan atau berdiri sungguh membuatnya terpana. Campuran akan bahasa
yang mencapai telinganya terdengar begitu nyaman, hampir seperti sebuah lagu.
“Apa...ada festival atau sesuatu lainnya?”
dia bertanya.
Luar biasanya, adalah Sword
Maiden yang membuka jendela dan tertawa kecil, memberitahukan Priestess yang
terpukau, “Seperti inilah yang selalu terjadi.”
“Tentu saja, semakin banyak
warga maka itu artinya semakin banyak masalah, namun itu juga berarti semakin banyaknya
peluang untuk petualang seperti kita.” Lizard priest berkata, menyambung
percakapan dari tempat dia duduk memegang tali pelana. Dia memutar matanya
riang.
Kereta kuda berjalan menuju
gerbang dengan kecepatan tetap, tampak begitu elegan.
“Sangat di sayangkan, tampaknya
saya tidak cocok untuk berada di sini.” (TL Note : sebeneranya lizard “unsuited
for shadow-running though” tapi saya sama sekali tidak paham apa yang di maksud
shadow running ini, jadi saya terjemahkan sebisanya saja.)
“Kurasa bakal banyak orang
yang akan suka menyewamu untuk pekerjaan mengawal,” Dwarf Shaman berkata,
tertawa dari tempatnya di samping kereta. Dia tampak rentan akan terseret oleh
keramaian, namun langkahnya tidak pernah berhenti. Sang dwarf menoleh mengarah
Goblin Slayer, menatap pria itu tepat di helmnya. “Seharusnya kamu bakal punya
banyak waktu, Beardcutter. Kemungkinan besar nggak terlalu banyak perburuan
goblin di ibukota.”
“Kita nggak bisa memastikan
bahwa mereka benar-benar nggak ada di sini.”
“Lupakan sajalah.” Datang balasan
kecut.
Jawaban kesal Dwarf Shaman
menjadi akhir perbincangan mereka; Goblin Slayer dan yang lain memfokuskan
perhatian mereka ke depan.
Tidak seperti perbatasan
atau bahkan kota air, gerbang ibukota tidak mempunyai penjaga yang berjaga,
alih-alih terdapat sebuah pos jaga. Apakah datang atau pergi, sangatlah wajib
untuk menyisihkan sedikit waktu mengurus pita merah, dan kemungkinan itu adalah
penyebab kemacetan ini.
Dwarf Shaman mengintip ke
depan di bawah matahari awal musim gugur. “Sepertinya kita nggak akan bisa
masuk ke sana dalam waktu dekat ini.” Dia berkata acuh. Kemudian dia mengambil
beberapa koin dari tas dan menghilang di dalam lautan orang.
Beberapa menit kemudian, dia
datang kembali dengan beberapa botol kecil, yang salah satunya di lempar
mengarah High Elf Archer di atas atap kereta. “Lebih baik daripada menunggu
tanpa ngapa-ngapain di sini.”
“Hup. Terima kasih... Hei,
apa ini?” dia memeriksa botol kaca, yang menyimpan sebuah cairan violet di
dalamnya. Dia memebrikan sedikit guncangan dan mendengar cipratan air di
dalamnya dan kemudian membuka penutup untuk mendapati aroma manis yang
mengambang keluar.
“Ini di sebut sapa. Mereka mengambil anggur atau
semacamnya dan di campur dengan timah di dalam tong perak untuk memaniskannya.”
“Hmm,” sang elf berkata,
mengendus dan kemudian menggelengkan kepala. “....Baunya terlalu mirip metal. Aku
nggak deh.”
“Pilah-pilih seperti ini
sudah yang bikin kamu datar.”
High Elf Archer menggerutu
dan memanyunkan bibir namun tidak mengatakan apapun seraya dia melempar botol
itu kembali kepada Dwarf Shaman. Botol itu telah terbuka, karena itu sang dwarf
bergegas menangkapnya di karenakan cairan itu hampir tumpah keluar. Dia menatap
tajam mengarah sang elf dan menguras isi botol itu dengan dua kali teguk.
“Hrmph, Mantap.”
“Er, uh, um, tapi bukannya
timah itu racun...?” Priestess berkata, memprovokasi sebuah tawa dari High Elf
Archer, yang membalas, “Bada dwarf itu terlalu gembul untuk mempedulikan macam-macam
racun.”
“Kekar Telinga Panjang, kekar!” Dwarf Shaman berkata, bersendawa
dan mengelap tetesan yang ada di jenggotnya.
Lizard Priest menoleh ke
bawah dari tempat dia mengendalikan kuda yang berlari kecil, dan memutar
matanya. “Kalau begitu, apa anda mempunyai sesuatu yang lain?”
“Ahh...” Dwarf Shaman
merogoh koleksi botolnya. “Mau posca?”
“Posca, anda bilang?”
“Ah iya.” Sword Maiden
tersenyum dari jendela kereta. “itu terbuat dari cuka bukan?”
“Puji Tuhan, anda
mengetahuinya?”
“Memang sering terlupakan,
namun saya dulunya juga seoraang petualang.”
Posca terbuat dengan
campuran air ke dalam anggur yang telah menjadi terlalu asam—atau, lebih
sederhananya, telah menjadi cuka. Madu di tambahkan untuk menciptakan rasa
pahit manis, dan membuatnya menjadi awet, menjadikan minuman ini sebagai
favorit para petualang yang berkunjung ke ibu kota.
“Jika begitu, apa kamu mau
mencicipinya sekarang?”
“Bolehkah?”
“Jangan sungkan!”
Sword Maiden tersenyum gembira.
Dia menerima botol yang di tawarkan melewati jendela dengan kedua tangan,
membuka tutupnya dengan gerakan yang seperti sebuah belaian. Dia meminum isi
botol itu dan menghela mempesona tanda kepuasaan.
“Astaga... Nggak sopan
sekali!”
“Seharusnya tidak akan
terlalu menjadi masalah bukan...” Mm. Sword
Maiden menjilat tetesan terakhir dari bibirnya seraya dia menjawab pengikutnya
yang cemberut. Kemudian dia menjulurkan kepalanya keluar jendela, memberikan
Dwarf Shaman sebuah anggukan dan senyum menawan. “Terima kasih banyak...
sungguh nikmat sekali.”
“Aku senang kamu
menyukainya,” dia berksta dengan seringai dan kemudian melempar botol mengarah
rekannya dengan wajah pamer “Ini.”
Priestess dan High Elf
Archer membalas dengan “Yikes, pahit” dan “Ini kan Cuma jus anggur tua doang,”
walaupun begitu, mereka tetap tersenyum.
Goblin Slayer menangkap
botol berikutnga, membukanya dengan tenang dan menenguknya. Seperti itu lah
yang selalu dia lakukan terhadap apapun yang masuk ke dalam mulutnya, entah itu
makanan atau minuman, oleh karena itu tidak seorangpun yang terlalu
mempermasalahkannya. Hanya Priestess yang tersenyum seolah ingin mengatakan, Terlalu!
Lizard Priest berikutnya,
namun dia mengayunkan tangan besarnya dan berkata, “Tidak, terima kasih. Saya
sudah cukup puas dengan minuman saya. Saya lebih mengutamakan kepuasan perut di
banding tenggorokan.”
“Makanan, eh...?” Dwarf
Shaman bergumam, membelai jenggot berpikir dan kemudian melihat pada banyak
penjual yang berada di gerbang.
Adalah lewat siang, matahari
telah mulai tenggelam di langit. Mungkin
masih terdapat orang yang menjual makan siang, namun kemungkinan mereka telah
kehabisan persediaan mereka sekarang. Kemungkinan besar mereka akan mendapatkan
sesuatu untuk di makan ketika mereka telah masuk ke dalam ibu kota.
“Kamu tahu ga, aku dengar
mereka banyak menjual keju di ibu kota,” Dwarf Shaman berkata.
“Oh-ho,” datang
respon...Goblin Slayer, yang telah mendengarkan dengan diam percakapan partynya.
Dia telah menghabiskan posca melalui celah helmnyz dengan satu atau dua teguk.
“Menarik juga.”
Keseriusan mutlaknya telah
mengundang tawa dari keseluruhan party. Bahkan pengikut yang berada di dalam
kereta menutup mulut dengan tangan untuk menahan senyuman.
Satu-satunya yang tidak
tertawa adalah Sword Maiden. Dia meremas pedang dan timbangan yang berada di
pangkuannya.
“Apa ada masalah, nyonya?”
“Tidak...,” Sword Maiden
berkata, menggelengkan kepala seolah terkejut akan ucapannya. “...Tidak ada
apa-apa.”
“Baiklah, nyonya.”
Sword Maiden memalaingkan
pandangannya dari jendela, menatap langit-langit kereta dan menghela cemas.
Aku
kira emosi kegadisanku sudah hilang dari dulu.
“...Cukup sulit juga ya?”
Dan saat itulah terjadi.
Di dalam kereta, tatapan
Sword Maiden bergerak kembali, sementara di atas kendaraan, telinga High Elf
Archer berkedut.
Roda-roda dapat terdengar di
kejauhan. Suara prajurit. Kerumunan bergerak perlahan, membukan jalan
menujungerbang.
Melintasi lautan khayalak,
datanglah sebuah kereta yang di tarik dua kuda. Emas yang terukir pada
kendaraan itu dan simbol singa yang terpajang menunjukkan bahwa mereka berasal
dari keluarga bangsawan.
Kuda-kuda mereka-pun tentu
saja merupakan pilihan yang terbaik. Kuda yang begitu tangguh, kekar akan otot.
Dan kemudian terdapat para prajurit yang mendampingi kereta—ksatria, dengan
armor mereka yang berkilau! Pelindung dada dan helm yang elok, tombak dan
pedang, membuat mereka terlihat seperti pahlawan dari dongeng, dan kamu tidak
perlu menjadi anak kecil untuk merasa terpukau melihat mereka. Prajurit
tidaklah jauh berbeda dengan para petualang yang berjalan kaki ratusan
kilometer melintasi negara.
“Wow...” Priestess menghela,
rahangnya menganga, dan siapa yang dapat menyalahkannya?
“Itu pasti bakal jadi
pemandangan yang nggak asing buatmu nanti.” High Elf Archer tertawa kecil. “Tapi
karena ini kita harus menunggu lama!” Ekspresi sang elf tibatiba menjadi gelap
seraya terhibur.
“Satu
atau dua panah bisa memberikan mereka pelajaran,” Dia
bergumam di bawah napasnya, dan Priestess dengan cepat mengayunkan tongkat kepada
sang elf. “Ja-jangan, kamu nggak boleh melakukan itu...!”
“Ayolah, aku tahu itu,” High
Elf Archer mendengus. “Lagian mereka membawa perlindungan sihir yang nggak
main-main.”
Apa
itu artinya dia akan tetap menembak kalau perlindungan itu nggak ada...? Pikir
Priestess muram.
Elf yang menggila itu
menghiraukan cleric yang mengernyit. “Pokoknya,” High Elf Archer melanjutkan,
“Sepertinya sang raja sedang keluar. Kira-kira ada apa ya?”
“Pajak.” Jawaban itu acuh
dan jelas. Goblin Slayer menjawabnya dengan suara yang pelan, hampir seperti
sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Ini waktunya musim panen. Sang raja
berkunjung ke tempat di mana dia tidak mempunyai perwakilan lokal, atau tempat
di mana pembrontakan akan terjadi.”
“Huh. Kamu tahu banyak juga
soal itu.”
“Aku berasal dari desa petani.”
Apa?
Apakah Priestess atau Sword Maiden yang mengeluarkan suara terkejut itu?
Mereka pasti telah
membayangkan pria ini dengan helm kotor dan armor kulit murahan sedang membajak
sebuah sawah di suatu tempat.
Oh,
tapi kurasa dia memang sering membantu pekerjaan di kebun yang dia tinggali... Priestess
mengangguk pada dirinya sendiri, jari berpikir pada bibirnya. “Nggak masalah,”
dia berkata, “Kurasa itu cocok denganmu!”
“Begitu.”
Di saat kereta kuda raja
telah melewati gerbang, para prajurit tampak menjadi sedikit lebih santai.
Mereka tidak perlu setegap dan sesiaga seperti sebelumnya. Antrian orang-orang
yang hendak memasuki kota mulai bergerak lebih lancar.
“Tapi,” High Elf Archer
berkata, menyipitkan mata di hembusan angin seraya kendaraan mereka pada
akhirnya mulai bergerak. “Kereta kencana tadi mewah banget. Dan sepertinya dia
membawa setengah dari pasukan bersamanya.”
“Bangsawan itu jarang sekali
berpergian sendiri dan sederhana kan?” Dwarf aehaman membalas, menggerakkan lengan
dan kaki pendeknya seraya dia berlari kecil di samping kereta. Sebagai seorang
dwarf, dia mengetahui satu atau dua hal tentang hiasan ornamen, membelai
jenggot panjang putihnya, dia tersenyum mengetahui. “Tapi bagi mereka, itu
bukan soal kemewahaan—tapi pengeluaran yang wajib.”
“Apa, semua itu?”
“Perasaanmu gimana kalau
kepala sukumu atau semacamnya tinggal di sebuah pohon mati, berpakaian dengan
karung?”
“...” Telinga High Elf
Archer melemas seolah membayangkan gambaran itu. “...Kurasa aku nggak akan
terlalu menyukainya.”
“Dan lagi kalau dia
berkeliling sendirian, meminta orang untuk membayar pajak?”
“Mereka bakal gebukin dia.”
“Sekarang kamu paham kan.
Itu pekerjaan mereka untuk tampil besar.”
Berlari kecil di dekatnya,
Priestess menghela napas kecil. “Kurasa nggak mudah jadinorang penting.”
Dalam kehidupannya, dia
telah melihat Bunda kuil bekerja dengan sangat keras di kuil, dan dirinya
sendiripun pernah mengemban tanggung jawab untuk melakukan tarian persembahan
pada sebuah festival. Dia hampir tidak dapat membayangkan yang lebih sulit
lagi.
Tapi
ada orang yang melakukannya.
Dia melirik ke jendela
kereta yang berada di samping tempat dia berjalan. Sword Maiden duduk di sana,
senyum tipisnya sama sekali tidak menodai tubuhnya yang aduhai, Priestess
merasa sulit untuk membaca emosi Sword Maiden dari wajahnya.
Beliau
bahkan tidak mempunyai helm seperti Goblin Slayer.
“Aduh, pasti nggak enak
banget jadi raja.”
“Heh, ucapan yang datang
dari permaisuri!”
High Elf Archer melambaikam
tangan menepis dari atas kereta, komentarnya mengundang gerutu dari Dwarf
Shaman.
Semua seperti biasa.
Priestess merasa ini semua telah membuatnya dapat menjadi santai, mengetahui
bahwa tidak ada satupun hal yang berubah, walaupun mereka berada dalam jarak
pandang dinding ibukota.
Dia tertawa, dan Lizard
Priest-pun memutar mata di kepalanya. “Petualangan kota sendiri di biayai
dengan pajak.” Nadanya santai, namun dia terdengar seperti sedang berkhotbah.
“Dan tanpa organisasi Guild, kita para petualang akan menjadi tidak lebih dari
sekedar preman pengangguran.”
Kita
seharusnya bersyukur, sepertinya artyi dari apa
yang dia maksud.
Masuk akal bagi Priestess:
Lizard Priest adalah sosok yang cukup mengintimidasi, dan terdapat beberapa
dari para lizardmen yang bersekutu dengan Kekacauan. Keseluruhan ras mereka
hampir terdiri dari Makhluk -Tidak-Berdoa, sebuah status yang mempunyai beban
tersendiri.
“Untungnya mereka nggak
ounga pajak untuk ukuran panjang telinga,” Dwarf Shaman menambahkan.
High Elf Archer mendengus
membalas dan kemudian bergumam bercanda bahwa pajak adalah sesuatu yang bagus.
Dia menjentikkan telinganya, menyeringai dan berkata, “Atau...untuk ukuran
gentung, mungkin?”
“Ha! Mereka ngajak kelahi
kalau begitu!”
“Kalian berdua, diam.”
Goblin Slayer berkata, menyela mereka. “Kita mendekati gerbang.”
Hmm?
Priestess memiringkan kepala terkejut. Sangatlah aneh
baginya untuk siaga kepada apapun selain goblin.
Seraya mereka mendekati
dinding, dia dapat melihat mereka mengelilingi parit besar dan dalam. Jika
pasukan Kekacauan menyerang, mereka akan berada di bawah serangan pemanah
kastil ketika mereka mencoba memanjat keluar dari parit ini. Sebuah jembatan
besar, tersambung pada gerbang kastil dengan sebuah rantau, yang saat ini
membuat membuat mereka dapat menyebrangi parit.
Tentu saja, sebuah suara
mengintrogasi menghentikan mereka. “Berhenti! Tolong tunjukkan tanda
identifikasi anda.”
Lizard Priest menarik tali
pelana, memberhentikan mereka secara perlahan, dan membiarkan tubuh besarnya
turun dari kursi kusir.
Seorang prajurit, berdiri di
sana dengan armor yang bersih hingga berkilau, menggenggam tombak dengan satu
tangan. Hanya butuh satu pandangan untuk dapat mengetahui bahwa prajurit ini
memiliki perlengkapan yang lebih baik dari para petualang.
Aku
rasa memang sudah seharusnya—dia berpakaian untuk perang, pikir
Priestess.
Tidak seperti petualang,
yang hanya dapat bertarung ketika suasana hati atau kebutuhan membutuhkan
mereka, prajurit harus selalu bersiap kapanpun juga, bahkan di saat keadaan damai.
Priestess menarik kalung
peringkat yang ada di sekitar lehernya. “Apakah ini cukup, pak?”
Pengelana umum membutuhkan kartu
ijin pengelana resmi, namun bukti tanda keanggotaan guild juga akan cukup.
“Apa kamu bisa menulis?”
sang prajurit bertanya, melirik cepat mengarah kalung Priestess, yang di mana
kemudian Priestess mengangguk. Ini adalah pertama kalinya dia mengalami
introgasi seperti ini, dan walaupun dia merasa gugup, dia juga merasa
penasaran.
Prajurit itu mengeluarkan
sebuah buku tebal yang berisikan garis demi garis nama-nama orang dan tempat di
mana mereka tinggal.
“Kalau begitu, tulis nama
dan tujuanmu di sini.”
“Baik pak. Er...apa boleh
aku tulis kalau aku di sini dalam pekerjaan mengawal?”
“Kalau kamu seorang
petualang.”
Priestess, masih tampak
ambivalen, mengambil pena bulu dan tinta dan menuliskan beberapa huruf secara
hati-hati.
Semakin banyak orang yang
datang dan pergi di ibukota melampaui apa yang dia dapat bayangkan. Jika mereka
membutuhkan tenaga kerja untuk mengawasi semua ini... yah, maka tidak heran
jika sebuah pasukan membutuhkan pajak untuk dapat membantu.
“Sepertinya kamu juga
bersama dwarf, elf, dan...lizardman?”
“Benar sekali, tuan.” Lizard
Priest berkata, menyatukan kedua telapak tangannya. “Saya yakin anda akan
merasa kesulitan untuk menyebut nama saya, apakah anda tidak keberatan?”
“Yeah, tidak masalah...
bukan hal yang baru bagi suku atau ras lain.”
“Jika begitu, saya mohon
permisi.” Sebuah tangan besar bersisik muncul, dan Priestess dengan sopan
menawarkan dia pena dan buku dengan senyuman.
High Elf Archer,
memperhatikan Lizard Priest menulis, menjentikkan telinganya. “Oke aku
berikutnya! Aku bahkan mau berbaik hati untuk menuliskan si dwarf!”
“Bocah banget,” Dwarf Shaman
berkata kesal, namun walaupun begitu, dia berdiri diam dan memperhatikan High
Elf Archer menuliskan namanya dengan huruf unik ala para elf.
Dengan itu mereka
menyerahkannya satu persatu untum investigasi ini. Sang prajurit tampak tidak
begitu bersiaga; mungkin di karenakan mereka telah terbiasa dengan demi-human
hingga saat ini. Atau mungkin hal yang tidak terduga adalah hal yang paling
normal ketika berhadapan dengan psra petualang?
“........Dan kamu ini apa?”
“Aku petualang,” Goblin
Slayer menjawab pendek, melempar kalung peringkatnya. Mungkin dia merasa bahwa
akan jauh lebih cepat menunjukkan peringkatnya di banding harus menjelaskan
dirinya sendiri... Atau mungkin dia merasa bahwa cara ini adalah cara yang
paling tidak membingungkan.
Sang prajurit menangkapnya
seraya peringkat itu melayang di udara dan mengamatinya secara skeptis.
Priestess mengenali tatapan seorang manusia yang berusaha untuk mengendus mata
uang palsu dan berpikir, kalau itu koin,
dia pasti akan menggigitnya.
“....Kamu tidak berusaha
untuk menipuku kan?”
“Guild sudah mengakuiku,”
Goblin Slayer berkata acuh, tidak tertegun oleh kecurigaan prajurit.
Kedua prajurit saling
bertukar pandang dan kemudian saling berbisik.
“Kamu bukan dark elf atau
semacamnya kan?”
“Bukan.” Goblin Slayer
berkata, mengangkat penutup helmnya. Dan aku mempunyai seorang elf dalam
partyku.”
“Gadis ’elf’ itu bisa saja
memakai riasan dan telinga tempelan.”
Aduh,
Priestess berpikir dengan helaan. High Elf Archer mengangkat
bahunya, merasa sama lelahnya. Apakah terlalu berlebihan jika dia bersikap
sedikit lebih ramah?
Dengan pikiran itu,
Priestess melangkah ke depan dan membuka mukutnya, namun—
“Dengan nama akan Supreme
God,”datanglah suara yang begitu bergairah. Suara itu muncul dari jendela
kereta, dan tidak hanya Priestess, namun semua prajurit, terbelalak mendengar
suara itu. “Saya menjamin bahwa dia adalah petualang tingkat silver.”
“Ny-nyona archbishop...!”
Wanita itu bersandar pada
rangka jendela, menunjukkan lekukan lembut akan tubuhnya; para prajurit menelan
liur dan berdiri semakin tegap.
Apakah ada pria manapun yang
tidak merasa gugup jika dia berhadapan dengan senyuman itu dan mata—yang tidak
dapat melihat—itu?
“Ma-maafkan ketidaksopanan
kami. Anda di persilahkan masuk dengan segera!”
Sword Maiden tersenyum
lembut dan mengangguk, namun tampaknya dia menghela dalam dadanya yang besar.
Priestess, merasa dapat memahaminya.
Mereka
bilang hak istimewa itu sebuah kekuatan, tapi sangat mudahbuntuk di salah
gunakan...
Akan tetapi, Sword Maieen,
tidak membiarkan hal ini muncul di wajahnya. Dia menjulurkan lengan indah kurus
keluar kereta, mengarah kepada salah satu prajurit.
“Prosedur tetaplah prosedur
bukan?” dia berkata. “Berkenankah kamu untuk meemberikanku bukunya?”
“Ba-baik bu! Segera! Ka-kamu
di sana, tulis lebih cepat...!”
“Baiklah,” Goblin Slayer
berkata, menggerakkan pena di atas kertas.
Priestess cemberut, namun
ketika dia melirik kepadanya, dia melihat tulisan cakar ayam pria itu di atas
kertas, hanya terdapat satu atau dua huruf yang dapat terbacal tiba-tiba
Priestess merasa perasaan aneh akan keakraban dengan pria itu.
“Apa ini cukup?”
“Hrmph, sudah...!” Sang
prajurit mengambil buku dan dengan tergesa menyerahkannya melalui jendela
kereta. Sword Maiden mengambil buku itu dan memutar halamannya, entah mengapa
terlihat tidak yakin; pengikutnya pun membantu wanita itu.
Priestess memperhatikan
semua ini dan kemudian menoleh ke samping di tempat Goblin Slayer berdiri. Pria
itu menatap gerbang besar seperti sedang melamun.
“...Ada apa?” Priestess
bertanya, menatap kepadanya.
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata dengan gelengan pelan kepalanya. “Aku cuma berpikir jadi ini yang di sebut ibukota.”
“Ah...” Priestess mengikuti
pandangan pria itu ke atas. Gerbang itu begitu tinggi hingga membuat lehernya
sakit untuk di dengakkan. “...Aku, aku belum pernah ke sini sebelumnya. Kalau
kamu gimana pak Goblin Slayer?”
“Ini juga pertama kalinya
bagiku.” Dia berkata pelan. “Aku selalu ingin mengajak kakakku ke sini suatu
hari.”
Priestexs merasakan dadanya
menjadi hangat. Kehangatan itu menyebar ke pipinya.
“Aku yakin suatu hari
kesempatan itu akan datang.” Dia berkata.
Goblin Slayer terdiam
beberapa saat. Kemudian helmnya bergerak kembali. “Alangkah bagusnya jika
mendapatkan kesempatan itu.”
Tidak lama kemudian, berkas
kertas telah selesai. Goblin Slayer dan yang lain berjalan melewati gerbang dan
memasuki ibukota.
7 Comments
sumpah susah bayangin wajah goblin slayer pas lagi liat cow girl telanjang 😂
BalasHapusterimakasih terjemahannya
Paling tetap datar 🤣
Hapuskenapa di daftar isi gak di perbaharui pak. kebanyakan yg lihat update-an di daftar isi. kalo di beranda KN terlalu ribet
BalasHapusDaftar isi mana ya maksudnya?
HapusTerima kasih atas setiap updatenya, di tunggu lanjutannya😁
BalasHapusSama2 mas hehehe...
Hapusmakin lama gua makin benci sma goblin -.-
BalasHapusbte thanks tl.a
Posting Komentar