AYATSUJI AYASE
(Translator : Ridho.
H)
Bagian 1
Di
pagi hari sebelum pertarungannya dengan Ikki, sekitar pukul 9, Ayatsuji Ayase
bangun dengan bermalas-malasan.
Dia
tidur di kamarnya setelah perpisahannya dengan Ikki pada malam sebelumnya. Dia
merasa lelah terhadap semua persiapan pertandingan, dan juga karena
negosiasinya dengan Ikki. Setelah dia turun dari ranjang susun, dia melihat ada
sebuah surat dari teman sekamarnya di atas meja.
[Aku
gak datang ke pertandinganmu hari ini karena kemarin ada yang nyuruh aku. Tapi,
aku mau kamu konsultasi sama aku kalau seandainya kamu punya masalah. Aku
khawatir sama kamu soalnya beberapa hari ini mukamu melas terus.]
“…Ya
ampun, aku beneran cewek yang gak berguna”
Mengkhianati
kebaikan seseorang dan merepotkan teman sekamarnya sebanyak ini—
[Mencoreng
kehormatan kita, sampai-sampai ngebuang kehormatanmu sendiri. Apa kamu masih
bisa bangga setelah berhasil mendapatkan lagi ‘sesuatu’ itu dengan cara kayak
gini!?]
“…Ku.”
Pertanyaan
itu, yang diajukan kepadanya dengan nada sedih, masih menggema di dalam
telinganya. Ini bukanlah hal bagus mengingat kembali hal tersebut. Lagipula
hari ini dia memiliki pertandingan yang dimana dia tidak boleh sampai kalah.
Hal
ini harus dilupakan segera. Maka dia mengubah mood-nya menjadi ceria. Dengan
demikian, Ayase memutuskan menggunakan waktunya di pagi hari ini untuk
mengunjungi suatu tempat.
Bagian 2
Memakan
waktu sekitar lima belas menit dengan menggunakan kereta dari stasiun terdekat
dari Akademi Hagun, Ayase tiba di sebuah fasilitas berupa bangunan putih tinggi
yang menjulang sampai ke langit. Ini adalah Rumah Sakit Umum Shishido. Ini
adalah Rumah Sakit besar terdekat dari Akademi Hagun. Tujuan Ayase adalah kamar
nomor 515.
Dia
berjalan seorang diri, dan tiba di tujuannya tanpa ada masalah, dan membuka
pintu geser. Di dalamnya adalah kamar pribadi dengan ranjang tersendiri. Dan di
sisi ranjang, ada seorang wanita paruh baya sedang duduk di kursi. Wanita paruh
baya tersebut terperangah saat melihat Ayase, yang baru saja membuka pintu.
“Oh
astaga, Ayase-chan!”
“Hello,
bibi Suzuka.”
“Hi~
Ada apa kok jam segini datangnya? Sekolahmu gimana?”
“Hari
ini aku boleh masuk boleh enggak. Siswa yang ngewakilin Sekolah di pertandingan
seleksi dibebasin Sekolah di hari pertandingannya. Makanya aku kesini buat
berkunjung.”
“Oh
begitu. Baik pertandingan seleksi, dan masalah teman sekamar. Kepala Sekolah yang baru jelas ngelakuin hal
yang menarik.”
Ketika
dia menjelaskan kebijakan Kurono, bibinya telah memberikan persetujuan.
Bibinya
berdiri dari kursinya, lalu menuju ranjang, dan—
“Kak,
ada anakmu disini.”
—Memanggil
pria yang terbaring di ranjang.
Pipi
yang berlubang, dan menampakkan tulang pipi. Kulit dengan retakan seperti tanah
kering, dan tangan, kurus seperti ranting dari musim dingin. Pria itu, yang
lemas seperti mayat, adalah ayah Ayase. Dia adalah Ayatsuji Kaito.
“Pagi,
Yah.”
Mengikuti
bibinya, Ayase juga memanggilnya. Namun Kaito tidak membalas salamnya. Tanpa
balasan apapun, dia hanya melanjutkan tidurnya.
Itu
benar… dia telah koma selama dua tahun.
“Oke,
bakalan buruk kalau ada orang asing ngegangguin ayah dan putrinya. Bibi mau ke
warkop dulu. Mau sampai jam berapa kamu disini, Ayase-chan?”
“Aku
siang ini ada pertandingan, jadi bakal balik tengah hari nanti.”
“Yaudah~
Jadi, bibi bakal kembali sekitar jam segitu, ya. Dadah~”
Bibinya
meninggalkan kamar seraya melambaikan tangannya.
Dia
adalah orang yang ceria setiap kali Ayase melihatnya. Ayase berharap dia akan
membagikan sedikit energi kehidupan itu dengan kakaknya.
…Tidak,
bahkan ayahnya—
Pada
waktu itu—
“…Ku…n.”
Kaito,
yang terbaring di ranjang, menggerakkan bibirnya sedikit.
“Ayah…”
Ini
hal yang biasa. Dia sekali lagi membisikkan sepatah kata yang hanya mampu
dikatakannya. Ayase tidak dapat menangkap suaranya. Itu dapat dimaklumi. Meskipun
demikian, Ayase mengingat maksud bahasa bibir tersebut.
(Maaf.)
“…Tch!”
Krrr.
Ayase mengeritkan gigi. Ayase muak dengan perasaan sedih dan kesal ini, yang
hampir membuatnya berteriak. Semenjak hari itu, Kaito selalu meminta maaf
kepada Ayase karena dia tidak bisa melindungi putrinya. Semua bermula pada
musim hujan waktu itu.
***
‘Dengar baik-baik, Ayase.
Jangan sampai kamu kehilangan kehormatanmu apapun yang terjadi. Ilmu pedang
kita itu kekuatan yang bisa ngebunuh orang. Orang-orang kayak kamu diberkahi
dengan kekuatan yang mampu melampaui orang biasa. Jadi kamu gak boleh sampai
kehilangan kehormatanmu. Kalau sampai kamu kehilangan itu, kamu bakal
menyalahgunakan kekuatan itu. Selalu sopan, bantu yang lemah, dan benci yang
jahat. Jangan pernah biarin diri kamu dibutakan oleh kekuatanmu sendiri, dan
gak peduli kayak gimanapun lawanmu, selalu hadapi mereka secara bersih dan
adil. Jadilah kesatria yang gak akan mempermalukan kesatria lain, terutama
dirimu sendiri.’
Seperti
itulah pesan ayahnya, yang selalu dikatakannya berulang kali. Itulah tanggung
jawab mereka yang memiliki kekuatan. Kaito sangat memahami hal tersebut
sehingga dia mewariskan ilmu pedang dan moralitasnya kepada Ayase yang terlahir
sebagai Blazer. Untuk memastikan dia tidak menjadi seorang manusia licik dan
congkak yang haus oleh kekuatannya sendiri.
Latihan
dari ayahnya, meskipun dia bilang itu lancar, sebenarnya tidak berjalan begitu
mulus. Keras. Mungkin kata itu lebih tepat untuk menggambarkannya. Namun,
meskipun demikian… Ayase tertarik dengan kekuatan yang ayahnya katakan. Dia
menyukai postur gagah ayahnya setiap kali ayahnya mengayunkan pedang. Dia
menyukai tangan besar dan kasar ayahnya yang mengelus kepalanya setiap kali dia
berkembang.
Di
sebuah dojo kecil yang memiliki sepuluh murid, termasuk dirinya. Yang meskipun
bergaya hidup sederhana, selalu memiliki kehangatan setiap kali dia berada
disana.
Itu
adalah waktu-waktu yang membahagiakan. Ayase berharap dari dasar hatinya semoga
waktu-waktu itu selalu bertahan.
Namun,
harapannya dihancurkan dengan kejam. Pada hari berhujan itu, dua tahun silam…
Oleh seorang pria yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan damainya.
***
Sudah
dua bulan sejak Ayase masuk Akademi Hagun. Musim hujan telah datang. Musim
dimana langit diselimuti awan tebal dan bahkan anginnya terasa lembab.
Setelah
jam pelajaran yang baru saja selesai, Ayase menggenggam sebuah payung di bawah
hujan dan pergi menuju rumah dojonya. Tujuannya hanya satu, untuk belajar ilmu
pedang yang tidak didapatkan dari Sekolah.
Ketika
Ayase masih kelas 7 SMP, Kaito didiagnosis mengidap penyakit jantung yang
mustahil disembuhkan meskipun dengan perawatan medis, dan sekarang dia nyaris
tidak bisa mengayunkan pedang. Terakhir kalinya Kaito menggenggam pedang adalah
untuk mengajarkan Ayase teknik rahasianya yang dikembangkan sendiri olehnya.
Meskipun tubuhnya tidak mampu lagi mengayunkan pedang, dia masih memiliki
beberapa murid yang mau mempelajari aliran pedang tunggal Ayatsuji dari Kaito.
Meskipun mereka hanya berjumlah sedikit, mereka tetaplah prajurit tetapi tidak
seperti Ayase, yang dari kecil telah mempelajari ilmu pedang dibawah asuhan The
Last Samurai.
Diantara
mereka, adalah murid-murid bimbingan belajar Sugawara, yang meskipun berasal
dari tempat yang jauh sekali dari tempat Kaito, memiliki murid-murid yang jauh
lebih kuat daripada Ayase. Itulah kenapa agar Ayase dapat menerima latihan dari ayahnya, dia
pulang ke rumah tiga kali seminggu. Karena dia ingin menjadi cukup kuat agar
dapat menggunakan teknik rahasia yang ayahnya hendak wariskan kepadanya.
Dengan
demikian, perjalanan pulang pergi diantara kedua tempat itu segera menjadi
rutinitasnya.
Namun,
pada hari itu, setelah berbelok kiri di persimpangan, dan membuka gerbang depan,
dia bertemu dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada.
“Eh?”
Apa
yang ditemuinya adalah seorang laki-laki jangkung yang membawa sebuah payung.
Rambutnya berwarna cerah, dan ada sebuah rokok mencuat di mulutnya. Tatapannya
tajam seperti serigala lapar, dan ada sebuah tato tengkorak di balik seragam
urakan Akademi Donrou-nya. Seorang pemuda dengan penampilan sangar dan brutal yang tampak
tidak mengenal sopan santun.
Ayase,
yang biasanya buruk dalam berkomunikasi dengan lawan jenis, melangkah mundur
mencoba menjauh dari pemuda tersebut.
“…Huhu.”
Pemuda
itu, Kurashiki Kuraudo, tertawa ketika bertemu tatap dengannya.
“Dadah.”
Dan
menghilang menuju kota bernuansa kelabu yang diselimuti awan.
“Orang
itu siapa?”
Kenapa
seseorang dengan penampilan misterius datang ke rumahnya? Secara spesifik,
seseorang yang mengenakan seragam Akademi Donrou. Dengan kata lain, dia juga
merupakan seorang Blazer. Dia seharusnya tidak memiliki urusan dengan dojo
ayahnya. Apakah dia berhenti untuk menanyakan arah atau semacamnya? Seraya
berpikir begitu, Ayase mulai berjalan masuk.
Dan—
“Bangsat!
Gak bakal kumaafin dia!”
Terdengar
suara Sugawara, yang dapat dikatakan teman masa kecil Ayase, bergaung dari dalam dojo. Penasaran dengan
apa yang terjadi, Ayase bergegas memasuki dojo setelah membuka pintu geser.
Di
dalam dojo tidak ada lagi suara energik para murid atau suara gerakan-gerakan
pedang dapat terdengar. Sebaliknya, termasuk Sugawara, sekitar tujuh murid lain
masih berdiri, berusaha sebisa mungkin menahan amarah dan syok. Instruktur
mereka, Kaito, berlutut, dengan ekspresi rumit di wajahnya.
“Kenapa?
Barusan ada apa?”
Ayase
bertanya kepada Sugawara.
“Barusan
aja, ada orang asing yang tiba-tiba nerobos masuk, terus ngajak tanding, dengan
dojo ini sebagai taruhannya.”
“Tantangan
dojo, ya?”
“Yeah,
tapi masalahnya Sensei sudah capek, lagian aliran pedang tunggal Ayatsuji
ngelarang pertandingan yang ada taruhannya.”
Ayase
juga mengetahui hal itu. Ilmu pedang Ayasuji tercipta untuk melindungi. Ayahnya
selalu membicarakan hal tersebut. Itu adalah ilmu pedang yang memiliki tujuan
untuk tidak membuat pertikaian yang tidak perlu. Dibawah prinsip itu, aliran
tunggal Ayatsuji melarang semua pertarungan kecuali dalam pertandingan resmi.
“Makanya,
Instruktur nolak ajakannya, tapi habis itu…”
“Si
bajingan itu ngata-ngatain Instruktur pengecut, menang mulut, dan payah, bahkan
mukanya diludahin.”
“Padahal
dia modal sangar doang! Tapi sok kuat begitu mentang-mentang punya sedikit
kemampuan… kuh”
Para
murid mulai meluapkan amarah mereka. Sejak masa kecil mereka, mereka telah
mengunjungi dojo berulang kali, dan mereka menghormati Kaito seperti ayah
mereka sendiri. Karena itulah mereka mungkin tidak dapat memaafkan Kaito
dicemooh di depan mata mereka.
Ayase
juga merasakan hal yang sama. Seseorang meludahi wajah ayahnya. Mendengar itu
saja langsung membuat suhu tubuhnya naik dua kali lipat.
“Sialan,
masih ada jejak kakinya disana. Berani-beraninya dia masuk ke dojo makai
sepatu… tch. Kalau aja guru dalam kondisi prima, bajingan itu bakal dihajar
habis-habisan sama beliau…”
“Itu
gak benar, Nitta.”
Kaito
membalas dengan suara setajam matanya.
“Saya
tetap tidak bisa menerima tantangannya bahkan kalau meski saya dalam kondisi
prima, karena ilmu pedang Ayatsuji tercipta untuk melindungi orang-orang. Ini
bukan ilmu pedang yang boleh digunakan sesuka hati. Ini memang bukan era yang
tepat untuk melindungi orang-orang dengan pedang lagi, tapi tujuan itu tetap
tidak boleh ditinggalkan begitu saja.”
“Y-Ya!
Maaf, Pak! Saya bakal menanamkan prinsip itu dengan sepenuh hati saya.”
Nitta
membungkuk terhadap teguran dari Kaito.
“Bagus.
Yang lain juga, karena kalian semua berhenti mengayunkan pedang. Sebagai
hukuman, berlatihlah mengayunkannya ribuan kali.”
Setelah
menjelaskan filosofi ilmu pedang Ayatsuji, Kaito dengan cepat mengubah suasana.
Para murid membalas perintahnya dengan “Osu!”. Kemudian, kehidupan kembali
berjalan seperti biasa di dalam dojo itu.
“Baiklah,
Ayase-chan, segeralah berganti pakaian. Lagipula, ayah tidak bisa membiarkan
Ayase-chan menjadi seorang Blazer seperti orang tadi yang haus oleh kekuatannya
sendiri. Hari ini ayah akan melatihmu dengan sungguh-sungguh.”
“Baik,
Yah.”
Ayase
akhirnya merasa relaks setelah melihat dojo itu kembali berenergi seperti sedia
kala, dan bergegas menuju loker.
Namun,
dalam perjalanan… dia mencium aroma yang tidak pernah ada di dojo sebelumnya.
Itu adalah aroma tembakau yang tertinggal di belakangnya. Aroma yang melekat
itu akan selalu, selalu melilit kesehariannya seperti ular yang menjulurkan
lidahnya.
Dan
lebih buruk lagi, perasaan itu tidak pernah lenyap.
***
Keesokan
harinya. Sama seperti kemarin, Ayase datang ke dojo dibawah guyuran hujan.
“Hello~
…Huh?”
Setelah
mengucapkan salam dan membuka pintu dojo, dia menemukan Kaito, terduduk di atas
bantal.
“Baru
ayah aja yang datang? Tumben yang lain datangnya telat.”
“Benar,
ini pertama kalinya mereka telat barengan.”
Kaito
menelengkan kepalanya, kebingungan. Meskipun mereka semua tidak pernah
terlambat bersama-sama, ada beberapa kali dimana satu atau dua diantara mereka
akan tetap datang. Ini mungkin sebuah kebetulan mereka semua terlambat di waktu
yang bersamaan.
“Yah,
palingan mereka bentar lagi datang. Sekarang, karena kita berdua aja setelah
sekian lama, ayah mau ngelatih kamu secara personal.”
“Aku
suka banget ide itu, tapi… ayah gak boleh ikut ngayunkan pedang juga, ya?
Soalnya ayah ‘kan lagi sakit.”
“Ayase
gak usah khawatir. Ayah cuman bakal ngawasin kamu. Ayah lagi gak enak badan
karena beberapa hari ini hujan terus.”
Ayase
memutuskan untuk menunjukkan Kaito kuda-kudanya sebelum mencoba teknik rahasia
yang dia pelajari dari ayahnya saat dia diterima di Akademi Hagun, seraya
menunggu kedatangan murid-murid lain. Ayase mengacungkan pedang kayunya, dan
membuka kuda-kudanya sedikit. Dia menurunkan pinggangnya sedikit dan melepaskan
tenaga dari bahunya. Dia mengingat gerakan-gerakan ayahnya pada hari itu.
Sedikit demi sedikit.
Namun—
“Enggak.”
Kaito
segera menegurnya.
“Jangan lemasin tanganmu pas kamu ngeluarin
tenaga dari bahumu. Genggamanmu harus lebih dipererat, tapi jangan terlalu
kuat. Terus, kuda-kudamu juga harus tetap dijaga.”
“I-Itu sulit.”
“Kalau kamu gak bisa, kamu gak bakal bisa
nguasain teknik rahasia itu. Biar ayah tunjukin apa yang harus kamu lakuin
dalam sekali percobaan.”
Setelah mengatakan itu, Kaito meraih pedang
kayunya yang bersandar di dinding, Namun—
*Tatap*
“…”
*Stare—*
Kaito menyerah dengan mengangkat tangannya ke
atas, sementara Ayase berjengit kepadanya.
“Astaga,
kamu benar-benar mirip mendiang ibumu kalau kayak gitu. Ibumu juga, ngeliatin
ayah kayak gitu pas ayah ngelakuin hal yang dianggap aneh, ketimbang ngasih tahu
langsung lewat mulutnya.”
“Ini
hal alami, soalnya ibu ngajarin aku kalau ayah nyoba ngelakuin suatu hal
konyol, aku bisa ngentiin ayah dengan ngelakuin ini.”
“Aku
diperlakukan kayak gini sama dua generasi baik dari ibu dan anaknya.”
Kaito
mengela nafas sekali, dan bergerak menuju punggung Ayase. Dia memeluknya dari
belakang dan memegangi sebelah tangannya, yang sedang menggenggam pedang.
“Dengarin
baik-baik: jaga pergelanganmu di sudut ini. Titik vital dibalik teknik rahasia
ini adalah enggak ngerusak kuda-kuda dengan memasukkan kekuatan terlalu
banyak.”
Seraya
menjelaskan titik vital pada teknik rahasianya, yang telah dipercayakan
sepenuhnya kepada putrinya ketika dia mendaftar di Akademi Hagun, Kaito
perlahan-lahan membantu Ayase membentuk kuda-kuda yang baik. Merasakan sensasi
kasar dan kaku dari telapak tangan ayahnya yang membalut tangannya.
…Keduanya
besar. Tangan ayahnya.
Ayase
menyukai sensasi ini yang tidak dapat disebut lembut.
Sekarang
setelah memikirkan itu… sudah lama sekali dia melatihku seperti ini.
“…Fufu.”
Ketika
dia menyadari hal itu, untuk alasan tertentu dia menjadi sangat senang. Ayase
menyunggingkan sebuah senyum.
“Kamu
kenapa? Kok tiba-tiba nyengir?”
“Gak
ada apa-apa. Aku Cuma kepikiran kalau ayah sudah lama banget gak ngajarin aku berbagai jurus kayak gini lagi. Makanya jadi aku ngerasa senang.”
Ayase
tiba-tiba menyandarkan tubuhnya di dada ayahnya.
*Ba-bump
Ba-bump* Selagi mendengarkan detak jantung ayahnya—
“…Coba
aja masa-masa ini berlangsung selamanya.”
Dia
berbisik pada dirinya sendiri.
Kaito
tidak mengindahkannya. Itu karena dia tahu permohonan putrinya tidak akan
terkabul. Tentu saja, Begitu pula Ayase. Umur Kaito sudah tidak lama lagi.
Jantung ayahnya akan berhenti berdetak dalam waktu dekat. Itulah kenapa Kaito
mengajari Ayase teknik rahasinya meskipun umurnya sebenarnya belum memenuhi
syarat.
Tinggal
berapa tahun lagi ayah hidup?
Dirinya
dan ayahnya akan berpisah suatu hari nanti. Itulah kenapa Ayase berharap semoga
hari terakhir ayahnya dapat seindah momen ini.
-Dan
harapan itu mengkhianatinya dengan cara yang kejam.
Pada
saat itu juga, pintu geser dojo mendadak terbuka. Ayase dan Kaito mengerling
kesana, berpikir kalau akhirnya murid-murid yang lain telah datang. Sayangnya,
hanya ada satu murid yang datang. Dia adalah Sugawara.
Namun—
“Su-Sugawara-san—“
Dalam
sekejap, wajah Ayase menjadi pucat. Itu karena Sugawara datang dengan keadaan
sekujur tubuh dan kepalanya diperban dan dibelat.
“Luka-luka
itu, kamu kenapa?”
Kaito,
yang juga syok, bergegas menghampiri sisi Sugawara.
Setelah
melihat instrukturnya berlari ke arahnya, Sugawara hampir menangis, dan—
“Instruktur…
Saya, Saya minta maaf.”
Dia
langsung bersujud, dengan kepalanya hampir menghantam lantai dojo. Meskipun
wajahnya tidak terlihat, suara terisaknya dapat terdengar.
Kaito
segera menyadari kalau ini bukan masalah sepele.
“Angkat
kepalamu. Luka-luka ini… kayaknya bukan karena kamu jatuh atau semacamnya. Jadi
sebenarnya ini kenapa?”
“Memang
benar, kami digilas habis-habisan sama cowok yang datang kemarin.”
“Apa…!?”
“Kemarin
malam, pas kita lagi dalam perjalanan pulang dari dojo, dia nunggu nyergap kita
bertujuh… Terus, tiba-tiba dia nyerang kita pakai tongkat! Tuh cowok gila!
Tanpa ragu dia langsung ngincar kepala. Dia gila, benar-benar gila… Makanya,
satu-satunya pilihan, kita harus ngelawan balik, tapi…”
Sugawara
terisak keras pada saat itu, dan—
“Kita
gak berdaya! Kita bertujuh sama sekali gak bisa nyentuh dia bahkan tanpa dia
makai kemampuannya, atau nyelimutin tubuhnya dengan mana.”
“…!”
Ayase
menelan ludah, terperangah mendengar cerita ini. Termasuk Sugawara, murid-murid
yang lain, seperti Ayase, telah belajar ilmu pedang Ayatsuji sejak masa kecil—dan
bagi mereka yang tidak berdaya melawan seseorang—
Pria
itu, dia sekuat itu…
“Meskipun
kita dilatih oleh Instruktur selama bertahun-tahun.. kita dimainin sama si
bangsat itu! Saya benar-benar minta maaf.”
“Kamu
tidak perlu minta maaf lagi. Lebih penting lagi, yang lain tidak apa-apa?”
“…Nitta
babak belur jadi dia lagi dirawat pakai kapsul, tapi sayangnya yang lain harus
masuk rumah sakit.”
Kapsul
hanya dapat digunakan dengan mengklaim asuransi kesehatan; kalau tidak itu akan
sangat mahal. Oleh karena itu, tampaknya tujuh diantara mereka, dengan
pengecualian Sugawara dan Nitta, masih terbaring di atas tempat tidur. Satu
diantaranya bahkan didiagnosis dengan cedera parah di bagian lengan sehingga tangannya
tidak akan bisa kembali normal.
Setelah
mengakui semua itu, akhirnya Sugawara mengangkat kepala.
“Sensei…
kami bisa sampai sejauh ini karena kami mengagumimu. Kami ingin menjadi
sepertimu sensei, tapi… saya benar-benar tidak ingin mengatakan ini tapi apa
hasil jerih payah kami selama bertahun-tahun…?”
Dia
bertanya kepada Kaito sembari menggerung.
“…”
Setelah
melihat sosok menyedihkan seniornya, Ayase kehilangan kata-katanya. Sang
pelatih kepala, Sugawara yang mengajari Ayase berpedang, tidak lagi dapat
terlihat. Mata itu dinodai dengan rasa takut dan putus asa. Hatinya dipelintir
sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula. Salah, itu bukan hanya Sugawara—
“Saya
minta maaf. Kami gak mau nyentuh pedang lagi mulai sekarang.”
Sambil
menangis keras, Sugawara mengeluarkan surat pengunduran diri untuk tujuh orang
dari sakunya. Benar, sama seperti Sugawara, keenam orang lainnya, yang tidak
hadir, hati mereka juga dihancurkan.
“Kejam…”
Kenapa
pria itu melakukan ini? Bagaimana bisa seseorang melakukan sesuatu seperti ini?
Meskipun semua orang telah memberikan yang terbaik sejak masa kecil dan pada
ilmu pedang. Bagaimana mungkin seseorang mempermainkan hati orang banyak dan
mematahkannya? Ayase tidak dapat memahaminya.
Dan
pria yang melakukan hal tersebut—
“Haha!
Aku berkunjung di waktu yang kurang tepat.”
“”!?””
Dia
muncul di dojo.
“Sampai-sampai
semua orang berhenti, kayaknya aku berlebihan ngebully mereka.”
“Hi-hiiiii!”
Ketika
Sugawara memandang figur itu, dia menjerit seperti seorang gadis kecil dan
buru-buru memasuki dojo.
“Hey,
hey, jangan lari dong. Kamu ngelukain perasaanku tahu.”
Kuraudo
melangkah masuk ke dalam dojo seraya tertawa vulgar.
“J-Jangan masuk, tolong jangan masuk,
hi-hiiiiii!”
“S-Stop!
Dia ketakutan!”
Tidak
sanggup melihat sosok menyedihkan rekannya, Ayase melangkah maju untuk
melindungi Sugawara.
Namun
bahunya digenggam oleh tangan yang kasar. Itu adalah tangan Kaito.
“Punya
urusan apa kamu datang kesini, nak?”
“Sama
kayak kemarin.”
“Bukannya
saya sudah nolak?”
“Kukira
kalau aku datang hari ini aku bakal dapat jawaban yang berbeda. Hahaha!”
“Oh
begitu. Jadi, supaya saya enggak nolak kamu lagi kamu sampai melukai murid-murid
saya?”
“Ya.
Tapi sayang kemarin cewek itu belum sempat kuapa-apain.”
“…Kenapa?”
“Huh?”
“Kenapa
kamu melakukan semua itu? Bukannya kamu ini Blazer? Mau itu di Sekolah atau di
Seven Stars Sword-Art Festival, kamu harusnya tidak kekurangan musuh
dimana-mana? Terlepas dari hal itu, kenapa kamu begitu terobsesi sama saya?”
“Banyak
bacot kamu, tua bangka. Jangan-jangan jiwa kesatriamu luntur sejak kamu pensiun,
ya?”
“…!”
Terhadap
kata-kata itu, mata Kaito membelalak.
“Haha…
Ya, baik. Alasannya sederhana, itu karena aku mau mamerin kekuatanku. Gak peduli
mau itu Blazer atau orang biasa. Aku bakal nunjukkin kepada siapapun yang
ngebuat aku tertarik.”
Ayase
terbakar amarah mendengar motif Kuraudo, yang diucapkannya secara arogan.
“Buat
sesuatu yang gak berguna… kamu sampai ngelakuin hal kejam!”
“Gak
berguna? Ha! Apa iya? Aku cuman mau bergaul sama seseorang yang kuat. Aku mau
ngancurin orang yang kuat. Bukannya perasaan kayak gitu alami?”
“Jangan
main-main sama aku!”
Dia
tidak hanya akan mematung membiarkan pria itu melakukan apapun yang dia
inginkan.
“Gak
peduli mau berapa kali kamu datang kesini, jawabannya tetap TIDAK! Ini bukan
tempat buat orang kayak kamu bisa nerobos
masuk seenaknya, karena disini kami gak mengayunkan pedang buat pamer!
Ayah, ayo kita segera panggil polisi!”
Namun,
kaito berbisik.
“Enggak,
ayah gak bisa ngebiarin ini. Dojo aliran pedang tunggal Ayatsuji menerima
tantanganmu. Siapapun yang mendaratkan dua serangan lebih dulu bakal dinyatakan
menang. Kita cuman boleh makai pedang kayu. Pedang asli tidak diperbolehkan,
mengerti?”
Setelah
semua hal, Ayatsuji Kaito maju dan menerima tantangan Kuraudo.
“A-Apa,
Ayah!”
“Se-Sensei!”
Pada
saat mereka mendengar alasannya menerima tantangan Kuraudo, kedua murid, yang
wajah keduanya telah membiru, mencoba menghentikan Kaito.
“Tolong
berhenti, Instruktur! Anda tidak boleh bertarung dengan orang kayak dia!
Lagipula, jantung anda…!”
“Itu
benar, Ayah! Ayah gak bakal bisa bertarung dengan kondisi tubuh kayak gini.
Kalau ayah benar-benar mau bertarung, biar aku saja yang ngelakuinnya.”
Putri
Kaito,Ayase, dan bahkan Sugawara, yang meringkuk ketakutan, berusaha sebisanya
menghentikan Kaito. Namun Kaito malah tersenyum terhadap sikap mereka.
“Terima
kasih, kalian berdua. Saya bangga dengan kebaikan kalian yang khawatir sama
saya, tetapi justru itu—“
Kata-kata
yang diucapkan sebelumnya menggema di pikiran Kaito.
[Apa
hasil jerih payah kami selama bertahun-tahun…!?]
“Gak
mungkin aku bisa memaafkan orang ini yang sudah menyakiti kalian!!!”
Dia
tidak bisa menyerahkan masalah ini kepada orang lain. Dia harus mengalahkan
pria ini dengan kedua tangannya sendiri. Kaito menyeringai kepada Kuraudo, dan
di matanya terdapat tekad yang menggebu-gebu.
Setelah
melihat ekspresi itu, Ayase menjadi kehilangan kata-katanya. Dia telah mengerti
kalau sekarang dia tidak bisa lagi menghentikan keinginan ayahnya.
“…Aku
ngerti. Aku gak bakal ngentiin ayah kalau ayah mau bertindak sejauh itu. Kalau
gitu aku bakal jadi jurinya.”
“Ya,
ayah serahin itu ke kamu.”
“Menangilah
ini… Ayah.”
Terdengar
suara berbisik dari Ayase, yang menyampaikan harapannya, dari samping.
“Hey,
kalau kalian sudah selesai ngomongnya ayo buruan kita mulai. Capek tahu aku
nungguinnya.”
“…Saya
tahu.”
Ayase
mengerutkan kening pada suara yang tidak ingin dia dengar, lalu menghantam
tanah dengan tumitnya dan melemparkan pedang kayu ke arah Kuraudo yang
menuntut.
“Haha,
cewek kasar.”
“Aturannya,
seperti yang ayah bilang, orang pertama yang mendaratkan dua serangan ke tubuh
lawannya menang. Senjata dalam pertandingan ini adalah pedang kayu. Penggunaan
mana dilarang. Apa itu jelas?”
“Yeah,
gak bakal ada artinya kalau ini bukan pertandingan adil .”
Gigi
taring Kuraudo bersinar ketika dia tersenyum. Matanya kini menatap tajam Kaito.
Di
sisi lain, Kaito tengah berkonsentrasi. Dia hanya berdiri disana dengan pedang
kayu di tangan kanannya, dan dengan mata terpejam.
Tampaknya
keduanya telah menyelesaikan persiapan mereka. Itulah kenapa, Ayase sebagai
juri—
“Baik,
kalian berdua bisa mulai!”
Pertandingan
diantara keduanya telah dimulai.
***
“Haha!
Aku datang!”
Pada
saat kata ‘mulai’ diteriakkan, Kuraudo melesat menuju Kaito, diselimuti angin. Dia
memotong jarak, dan mengayunkan pedangnya ke bawah menuju kepala Kaito. Tidak
ada tanda-tanda dia menggunakan suatu teknik dalam serangan itu, yang sampai
merobek udara. Dia tidak memindahkan kekuatan dari kakinya, maupun menutup
ketiaknya.
Itu
adalah serangan agresif dengan hanya mengandalkan kekuatan lengannya. Tentu
saja, itu adalah gaya berpedang seorang amatir.
Cepat!
Bahkan
dari mata Kaito, yang seorang guru, ayunan itu tampak abnormal. Dia
menyimpulkan kalau akan sangat berbahaya menerima serangan itu. Maka, Kaito
segera menjauh dari lintasan pedangnya dengan menggeser kakinya ke samping.
Pada
saat itu, pedang kayu Kuraudo menyerempet ujung hidung Kaito, dan membelah
lantai dojo.
“Kekuatannya
luar biasa…!”
Ayase,
sebagai juri, menaikkan suaranya, terkesima. Itu tidak bisa disangkal
karena hanya dengan sebuah tebasan, yang
mampu membelah lantai, telah menyerempet mata ayahnya.
Namun,
Kaito berbeda. Dia sengaja menghibur Kuraudo. Mengatur jarak dengan menggeser
kaki adalah keterampilan dasar pendekar pedang. Dia sengaja melakukannya, untuk
tetap membuka jarak baginya menyerang balik. Sebuah ayunan penuh untuk membelah
lantai; tentu saja, lawannya tidak akan mampu memasang sikap defensif tepat
waktu untuk menangkis serangan baliknya. Momen itu akan menjadi faktor penentu
dalam pertandingan antara seorang guru dengan lawannya ini.
Dan
serangan balik itu adalah spesialisasi aliran pedang-tunggal Ayatsuji.
Pada
momen ketika ujung pedang Kuraudo menyentuh lantai, Kaito menggeser maju
kakinya untuk menutup jarak menjadi setengah langkah. Ini adalah jangkauan
serang Kaito.
“—!”
Kaito
sedikit menghela nafas dan kali ini, dialah yang menyerang. Mengincar area
tubuh yang sama seperti Kuraudo sebelumnya, kepalanya, dia menurunkan
pedangnya. Namun ayunan Kaito tampak indah, dibandingkan dengan ayunan agresif
Kuraudo, dan juga lebih cepat. Kecepatan ayunan itu secepat cahaya. Bahkan
meski dia sedang sakit, dia masih dikenal sebagai Sang Samurai Terakhir di masa
lalu. Sang jenius cerdik. Tidaklah pantas membandingkan permainan pedangnya
dengan seorang amatir. Kuraudo, yang meleset dalam serangan awal, tidak dapat
melarikan diri dari takdir dia dihantam oleh ayunan itu.
Atau
begitulah seharusnya.
“Hahaha!”
Tangan
Kaito menjadi kebas setelah menerima hentakan dari serangannya sendiri. Itu
bukanlah karena kepala Kuraudo yang dihantamnya. Melainkan pedang kayu Kuraudo yang
dimiringkan untuk menghadapi serangan Kaito. Tulang Kaito menjadi retak sebagai
dampaknya.
“Kamu
kelihatanya kaget, tua bangka. Kamu kira seranganmu ini bakal kena, ya?”
“…Iya.
Sejujurnya, saya gak nyangka kamu bisa menangkisnya.”
Hal
ini benar-benar sebuah kejutan. Mungkin dia mengatakan dia tidak menduga hal
ini. Namun Kaito bukanlah pendekar pedang tidak berpengalaman yang dapat selalu
dikejutkan oleh setiap pergerakan lawannya.
Instingnya
begitu tajam.
Tampaknya
Kuraudo telah memprediksi serangan balik Kaito. Kecepatan reaksinya tidak dapat
dijelaskan bagaimanapun caranya. Kecepatan itu berada di luar batas pemahaman
manusia.
Akan
tetapi, itu bukanlah masalah. Kaito masih memiliki beberapa trik.
“Ini!
Biarkan aku membalas budi!”
Sekali
lagi, Kuraudo mengayunkan pedangnya sama seperti sebelumnya tanpa adanya
keindahan, dengan kecepatan sama seperti sebelumnya.
Meskipun
demikian, Kaito menerimanya dengan pedang kayunya. Apakah dia tidak dapat
melarikan diri? Tidak, inilah rencananya. Kalau serangan baliknya tidak
berhasil, maka dia tidak perlu menghindari serangan ini.
Momen
ketika kedua pedang kayu bertabrakan, sebelum pedang kayunya patah, Kaito
menggerakkan pergelangan tangannya, dan mengubah sudut pedang kayunya yang
menerima serangan, dan membiarkan hentakannya.
Karena
itu, pedang kayu Kuraudo tergelincir dan dia kehilangan kuda-kudanya.
Menghindar
dan menerima hanyalah bagian dari mekanisme pertahanan primitif manusia.
Lagipula kemampuan bela dirinya berada di tingkat lebih tinggi. Oleh karena
itu, gerakannya ini menciptakan teknik pertahanan kokoh.
Dengan
kata lain, itu adalah defleksi. Gerakan ini mengharuskan menerima serangan
lawan dan menggunakan kekuatan yang sama untuk mementahkannya. Dengan lalainya
lawannya; dia kehilangan keseimbangannya dan sebuah celah terbuka. Dan kali ini
tentu saja, Kaito memanfaatkan celah tersebut.
“Ha…
ha…”
Pada
saat ketika Ayase, menyadari peluang ini–
Perasaan
ini…
Setelah
merasakan perlawanan dari serangannya, Kaito merasakan jantungnya berdetak
kencang.
…Perasaan
apa ini?
“Sesuai
perkiraanku! Sebagai instruktur, pergerakan anda gak kelihatan kayak orang yang
lagi sakit.”
“Ayah…
bagus sekali…! Sesuai perkiraanku, ayah keren!”
Para
murid memuji Kaito yang telah memperoleh satu poin. Karena itu, Kaito tersenyum
kepada mereka menyembunyikan perasaan buruk yang berkelebat dalam hatinya, dan
memindahkan tatapannya kembali ke musuhnya.
Kuraudo
berdiri tegak di sebelahnya.
“Hahaha…
jadi kayak gini kecakapan orang yang dijuluki sang Samurai Terakhir, ini
pertama kalinya aku nerima serangan telak. Tapi… segini doang? –Kalau iya,
habislah kamu, tua bangka.”
“Kata
siapa. Ini baru dimulai, nak.”
“Bagus…
kalau gitu, aku juga bakal mulai serius.”
Seraya
tersenyum seperti binatang buas, Kuraudo sekali lagi menutup jarak dengan
menyerbu ke depan menggunakan kekuatan kakinya, dan untuk ketiga kalinya,
mengayunkan pedangnya ke bawah.
Dia
tidak belajar…! Benar-benar seorang amatir.
Dalam
sekejap, Kaito dapat memprediksi serangannya dan menyiapkan serangan balik. Ada
sesuatu dalam pergerakan-pergerakannya. Namun, dia hanya mengayunkan pedangnya
secara serampangan berdasarkan emosi dan tekad brutal. Permainan pedang seperti
itu, dengan kekuatan dibaliknya, tidak menjadi ancaman bagi seorang pendekar
pedang berpengalaman.
Akan
kuakhiri dengan ini…!
Kaito
sekali lagi memasang kuda-kuda untuk menangkis serangan itu dengan menempatkan
pedangnya di sisi kiri. Dia akan menangkis serangan itu, dan mengakhirinya.
Kaito, Ayase, yang menyaksikannya dari sisi luar, dan termasuk juga Sugawara,
mempercayai hal itu.
Pada
saat itu, pedang kayu Kuraudo lenyap bagaikan kabut.
Ap…!?
Dalam
sekejap, suara tulang rusuk Kaito patah bergema di dalam dojo.
***
Kaito
terjatuh setelah dadanya terhantam pedang kayu Kuraudo. Dia mendadak
berkelejat, tetapi Kuraudo memperoleh poin secara adil, sehingga tidak ada
satupun yang bisa komplain.
Meskipun
demikian, Ayase tidak dapat tenang mengumumkan poin tersebut, karena di lantai,
Kaito menderita pendarahan paru-paru. Jumlah darahnya yang keluar begitu
banyak. Itu jelas sekali dalam sekali
lihat kalau organ dalamnya telah pecah. Menyadari hal itu, Ayase berlari
menghampiri ayahnya dengan wajah pucat.
“Ayah!
Ayah gak pa-pa!?”
“Jangan
kesini!”
Namun,
Kaito, seraya terus memuntahkan darah, menghentikan Ayase yang menghampirinya
dengan suara nyaring dan kuat.
“Pertandingannya
masih belum berakhir…! Kalau kamu gak bisa memutuskan secara adil maka mundur!”
“Ini
bukan waktunya ngomong kayak gitu!”
“AYASE!”
Kaito,
yang masih memuntahkan darah, berteriak kepada Ayase yang masih hendak
mendatanginya, dan mengabaikan kata-katanya. Ayase dimarahi dan diteriaki
beberapa kali di masa lalu, tetapi kali ini benar-benar berbeda. Dia merasa
takut, sampai-sampai jantungnya berdebar-debar.
Teriakan ayahnya seperti raungan binatang liar.
“Ini
pertarungan ayah! Jangan ikut campur!”
“A…
a… A... yah!?
Ayase
kehilangan keberaniannya setelah mendengar pernyataan serius Kaito.
“Jangan
khawatir! …Ayah pasti bakal menang!”
Kaito
berdiri tegak seraya terus memuntahkan darah dari mulutnya. Mata merahnya
terpancang pada satu titik, menuju Kuraudo. Semangat juangnya berapi-api.
“Ini
aku datang, nak!”
Kaito
melesat.
“Haha!
Hasilnya bakal tetap sama berapa kali pun kamu coba.”
Kuraudo
menantangnya. Untuk ketiga kalinya pedang mereka beradu. Akan tetapi, kali ini
hanya terjadi sekali saja. Kaito telah menderita luka fatal. Dengan kemampuan
ofensif dan defensifnya saat ini tampak jelas sejauh apa kemundurannya setelah
bertahun-tahun tidak lagi memegang pedang.
Dia
terdorong ke belakang. Dia terdorong ke belakang tanpa ampun hanya karena
ayunan acak, yang bahkan tidak menampakkan keindahan atau suatu teknik dan hanya ayunan dengan kebrutalan murni.
Sekarang , dia bahkan tidak bisa menyerang, dan baru saja menangkis serangan
acak tersebut.
Dan,
untuk melepaskan serangan penghabisan kepada Kaito, sekarang, dengan tubuhnya
dipenuhi luka, membuat Kuraudo sekali lagi melepaskan serangan yang sama yang
sebelumnya membuatnya memperoleh satu poin. Membidik tubuhnya.
Kaito
cepat-cepat memasang kuda-kuda bertahan. Sebuah kuda-kuda yang berfungsi
menerima serangan. Akan tetapi, sebelum pedangnya bertemu dengan pedang Kaito,
pedang Kuraudo sekali lagi lenyap bagaikan kabut dan menghantam tubuh Kaito.
Kali
ini ayunannya mengenai tengkorak Kaito.
Hal
ini tidak bisa dimengerti. Bagaimana
mungkin sebuah pedang, yang diayunkan menuju tubuh, justru jatuh di atas
kepala. Gerakan itu mungkin telah melampaui kemampuan manusia. Apakah itu
semacam trik? Mereka tidak dapat memahaminya. Tidak ada yang dapat menjelaskan
apa itu sebenarnya.
Meskipun
demikian, pedang kayunya, yang mengayun turun, tepat di atas kepala Kaito dan
tanpa ampun menghancurkan tengkoraknya. Atau begitulah seharusnya.
“Apa!?”
Serangan
itu seharusnya menjadi serangan penentu yang menghujam tengkorak Kaito tetapi
yang terjadi serangannya malah berakhir di tengkuk Kaito. Serangan itu
menghancurkan tulang selangkanya. Kaito hampir tidak menghindarinya sehingga
serangan itu tidak akan dihitung poin.
“Kuh…
Kamu gak dapat poin dari ini… nak!”
“Haha,
kamu cuman seseorang yang gagal mati! Jangan maksain diri.”
Setelah
menendang perut Kaito, dan melebarkan jarak diantara mereka, Kuraudo sekali
lagi melanjutkan serangan keras bertubi-tubinya. Meskipun serangannya
sebelumnya tidak membuatnya mendapatkan poin, itu tidak mengubah fakta kalau
itu menguras stamina Kaito. Pergerakan Kaito kini menjadi melambat dibandingkan
sebelumnya, dan dia juga kehabisan ide, dan akhirnya serangan bertubi-tubi
tersebut menghujam Kaito.
Serangan
tajam dari pedang kayu itu menghancurkan tulangnya, memotong kulitnya, dan
mencipratkan darah ke seluruh dojo. Meskipun demikian… Kaito tidak membiarkannya
mendapat poin begitu saja. Bahkan meskipun seluruh tubuhnya berdarah-darah, dia
masih dapat berdiri dengan dua kaki dan terus bertarung.
…Kenapa!?
Ayase
tidak dapat memahami tindakan Kaito. Sudah jelas sekali siapa yang akan menang.
Meskipun demikian, kenapa mereka tidak berhenti bertarung? Kenapa ayahnya tidak
menyerah saja?
“Stop…
udah stop!”
Suara
daging remuk menggema. Dan setiap kali menggema, pedang kayu Kuraudo meneteskan
darah.
“Hahahahahahahahahahaha!”
Kuraudo,
yang bersimbah darah, tertawa. Dia terbahak-bahak.
Sekarang,
Kaito baru saja dilukai. Ini bukan lagi tentang kemenangan atau kekalahan,
bahkan bukan lagi pertandingan. Ayase menitikan air mata, dan tidak dapat lagi
melihat ekspresi seperti apa yang ayahnya atau apakah ayahnya masih sadarkan
diri.
Kalau
dia tidak menghentikan ini.
Kalau
dia tidak menghentikan ini.
Kalau
dia tidak menghentikan ini, ayahnya akan terbunuh.
Ayase
mengetahui hal tersebut, namun, dia tetap tidak bergeming. Bahkan saat darah
ayahnya membasahi pakaiannya, dan gigi patahnya tersangkut di pipinya. Dia
tetap tidak mampu mengumpulkan kekuatan untuk bergerak karena raungan Kaito
sebelumnya.
“Stop,
udah stop! Aku gak butuh dojo ini! Tolong berhenti ngelukain ayah lagi!”
Ayase
hanya dapat berteriak. Namun, teriakannya… tidak mencapai kedua orang di
depannya yang sedang bertarung mati-matian. Ayahnya masih tidak menyerah, dan
Kuraudo tidak berhenti mengayunkan pedangnya.
“—“
Dalam
sekejap, Kaito, yang tubuhnya telah berlumuran darah, melepaskan serangan
pamungkas. Dia membidikkan pedangnya diantara mata Kuraudo, dan menyerbu.
“Oooooooooooooooo!!!”
“!”
Apakah
dia merasakan sesuatu dari mangsanya yang sekarat yang hanya mampu melakukan
serangan balik? Wajah Kuraudo mengeras. Namun dia tidak berhenti mengayunkan
pedangnya dengan segenap kekuatannya. Dia membidik kepala Kaito yang tengah
menyerbunya.
Bahkan
meskipun mendekati pedang kayu yang mampu merobek udara, Kaito terus menyerbu
maju. Tidak, sebaliknya dia bahkan tidak menggerakkan pedang kayunya, dan tidak
mengambil tindakan pencegahan terhadap tebasan secepat kilat yang datang dari
atasnya.
Itu
serangan bunuh diri. Yang berarti dia menyerang secara nekat—
Kuda-kuda
itu—
Ayase
mengetahuinya. Itu adalah hasil perjalanan hidup sang Samurai Terakhir Ayatsuji
Kaito, teknik pedang rahasia Ayatsuji. Satu-satunya teknik tersembunyi yang
mampu memutarbalikkan situasi ini.
Namun….
tidak mungkin bagi Kaito, yang telah menjadi lemah karena sakit dan cedera yang
didapatkannya dari pertarungan-pertarungannya, dapat menggunakannya.
“Sssttttoooooooppppppppp!!!”
Serangan
tanpa ampun itu menghancurkan tengkorak Kaito dan membuatnya tidak sadarkan
diri.
“Ah…”
Poin
kedua telah diberikan. Kemudian, tubuh Kaito terjatuh di lantai.
“Aaaaaaaa!!!”
Ayase
berlari menghampiri ayahnya, setengah menggila. Dia memanggil ayahnya berulang
kali, tetapi ayahnya tidak menjawab. Mulut ayahnya hanya menumpahkan darah
segar.
“Enggak,
Enggaaaaaak!”
“…Hmm,
ini ngebosenin. Cepat banget selesainya ini.”
Dengan
suara *Clack*, Kuraudo melempar pedang kayunya di depan Ayase. Pedang itu
menjadi gelap karena dilumuri darah, dan ada beberapa retak disana-sini karena
berulang kali mematahkan tulang. Setelah melihat bentuk pedang tersebut, amarah
Ayase menggebu-gebu dan niat membunuhnya melonjak. Pedang kayu yang keras itu
baru saja membuat Ayahnya berada dalam kondisi seperti sekarang.
“Kau
iblis!”
Kehilangan
semua alasan, Ayase menyerbu maju setelah mewujudkan Hizume.
Namun
sebelum sempat mengayunkannya lengannya telah lebih dulu ditangkap oleh Kuraudo
dan dan dengan mudah mencengkramnya di udara.
“Jangan
hilang sabar gitu, aku gak tertarik sama orang lemah.”
“Lepasin
aku! Lepasin aku!”
“Lagian,
ini bukan waktunya kamu ngelawan aku, ‘kan?”
Setelah
mengatakan itu, Kuraudo mendorong Ayase sampai jatuh diatas tubuh Ayahnya.
“Tch!”
Kemudian,
Ayase mengingat apa yang paling penting untuk saat ini.
“Sugawara-san!
Ambulans! Panggil ambulans! Cepat!”
“O-Okay.”
Ayase
segera menyuruh Sugawara yang berdiri di sudut dojo. Sementara itu Ayase dengan
panik mencoba membangunkan ayahnya dengan memanggil-manggilnya. Setelah melihat
keduanya dengan pandangan dingin dan bosan, Kuraudo pergi, meninggalkan
beberapa patah kata sebelum beranjak.
“Kemasi
kopermu dan pergi! Tempat ini bukan punya kalian lagi!”
Ayase
menggertakkan giginya. Pada saat itu, Kaito mengerang lirih.
“M…M…aaf……”
“Ayah!”
Dia
memandang ayahnya, yang tidak sadarkan diri. Dia hanya mengeluarkan kata maaf
seperti helaan nafas pelan.
Bagian 3
Dua
tahun kemudian, pada hari itu, Ayase kehilangan segalanya. Surat tanah dojo,
lahannya, dan hal-hal lainnya dicuri oleh Kuraudo… dan dia belum bertemu dengan
murid-murid lain sejak hari itu.
Dan,
Kaito, juga, yang digilas habis-habisan, telah jatuh koma. Dia masih belum juga
bangun. Kaito masih memimpikan mimpi buruk, dan… dia terus meminta maaf sampai
hari ini.
Maaf,
maaf.
Untuk
para muridnya yang tidak mampu dia lindungi. Dan untuk Ayase karena dia
membiarkan aliran pedang-tunggal Ayatsuji dicuri.
….Ayah
mungkin tidak bisa bertahan sampai musim dingin.
Itu
adalah diagnosis yang dokter katakan. Dia hanya bisa pasrah ketika penyakitnya
didiagnosis. Dia sudah memahami hal tersebut.
Namun
dia tidak dapat membiarkan ayahnya terus-terusan bermimpi buruk. Itu adalah
satu-satunya hal yang tidak bisa dibiarkannya. Itulah kenapa selama dua tahun
ini Ayase telah menantang Kuraudo, yang telah menjadi pemilik baru dojo. Untuk
merebut kembali dojo yang ayahnya lindungi dengan mempertaruhkan nyawanya.
Meskipun
demikian, tidaklah mungkin Ayase dapat menang melawan Kuraudo, yang bahkan
mampu menghancurkan ayahnya. Ayase dipermalukan berulang kali oleh Kuraudo yang
memperlakukannya seperti anak kucing yang hendak bermain dengan seekor singa.
Awalnya,
dia bersenang-senang dengan menunjukkan kepada rekan-rekannya pemandangan
seorang gadis menyedihkan yang dengan putus asa berusaha mengalahkannya.
Mungkin dia sudah bosan melakukan hal tersebut, sehingga baru-baru ini Ayase
langsung ditolak sebelum berkesempatan menghadapinya. Sekarang, satu-satu cara
untuk bertarung dengannya adalah di Seven Stars Sword-Art Festival, dan
mengalahkannya disana.
Ayase
dan Kuraudo sekarang sama-sama berada di tahun ketiga. Akhir hayat Kaito
semakin dekat. Seven Stars Sword-Art Festival akan menjadi kesempatan
terakhirnya. Kalau dia sampai kalah, jiwa ayahnya akan selamanya teperangkap dalam
gelapnya keputusaaan.
Jadi
satu-satunya pilihan tersisa adalah dengan menghalalkan segala cara untuk
menang. Dia akan memprioritaskan prinsip tersebut diatas segalanya. Dia tidak
mengira kalau itu hal benar untuk dilakukan, tetapi bukan berarti dia menyalahkan
dirinya. Kalau yang lemah ingin menang melawan yang kuat, maka dia harus
menyingkirkan pola pikir naifnya selama ini. Begitulah kenyataannya.
“Aku
bakal ngambil kembali dojo dengan cara apapun. Bahkan meski Kurogane-kun gak
maafin aku.”
…Kemudian,
akhirnya, dia dapat mengatakan kepada ayahnya, kalau sekarang tidak apa-apa,
dan ayahnya tidak perlu meminta maaf lagi.
Sekali
lagi, Ayase mengingat semuanya dan menenangkan perasaannya. Dia tidak akan lagi
bimbang. Dia tidak akan lagi ragu. Bahkan meski dia tidak dapat membanggakannya
kepada siapapun.
Bagian 4
“Terima
kasih sudah menunggu! Inilah saatnya, jadi kita akan memulai pertandingan
pertama di arena pelatihan! Saya, Isogai dari Klub Penyiaran, bersama dengan
Oreki Yuuri, seorang guru wali kelas tahun pertama, akan menjadi komentator
dalam pertandingan ini! Oreki-sensei, kelihatannya anda sedang dalam kondisi
baik saat ini!”
“Itu
karena ini masih pertandingan pertama~ Saya akan menjadi Yuuri biasa yang semua
orang sukai saat kita sekitar dalam pertandingan ketiga~ ♪ tetapi untuk sekarang masih
baik-baik saja. Saya sudah menyiapkan sekitar seliter darah~”
“Begitu!
Kelihatannya akan ada hujan darah di ruang penyiaran lagi kali ini! Baiklah, semuanya,
kami akan melangsungkan perkenalan yang ditunggu-tunggu!”
Siswi
anggota Klub Penyiaran mulai memperkenalkan peserta pertama.
“Pertama,
dari sudut biru, dengan penampilan sempurna; telah memenangkan sepuluh
pertandingan, dan sekarang tengah menjadi pusat perhatian, kesatria Rank-F,
Kurogane Ikki.”
Para
penonton bersorak ketika Ikki muncul di arena. Para fans yang datang untuk
mendatang Sang Kesatria Gagal kebanyakan adalah para siswi.
“Arena
menjadi bergemuruh sesaat dia muncul! Dia pasti memiliki popularitas luar
biasa!”
“Kurogane-kun punya banyak fans perempuan—“
“Meskipun
dia sangat kuat untuk seorang Rank-F, rasanya seolah dia tidak dihargai!”
“Apa
Sensei mengerti perasaan ini?”
“Beberapa
waktu yang lalu tidak ada yang menyadarinya, dan dia hanyalah siswa yang
mengulang setahun, tetapi setelah perubahan pada sistem Hagun, dia menonjol
setelah menunjukkan kemampuannya dalam pertempuran dan persenjataan yang
sebenarnya. Sekarang, sang Kesatria Gagal dipertimbangkan sebagai salah satu
kandidat untuk Seven Stars Sword-Art Festival! Pertarungan seperti apa yang akan
ditunjukkannya hari ini? Dan, hari ini peserta yang menghadapinya telah muncul
di sudut merah! Dengan rekor menakjubkan yang sama sepuluh kali menang dalam
sepuluh pertandingan, dan mengharapkan kemenangan kesebelasnya, tahun ketiga
Rank-D, Ayatsuji Ayase!”
Setelah
Ikki, Ayase muncul, dengan rambut hitamnya berkibar.
“Untuk
suatu alasan aneh dia juga berasal dari rumah yang mempraktikkan seni
berpedang, yang jarang terjadi akhir-akhir ini, seperti kontestan Kurogane.
Keduanya telah memenangkan setiap pertandingan mereka dengan teknik pedang.
Dari informasi yang disediakan oleh Kagami-san di rubrik koran Sekolah
kelihatannya dia juga murid dari kontestan Kurogane yang beberapa kali
memberikan arahannya. Dengan kata lain, pertandingan hari ini adalah pertandingan
antara guru melawan murid! Apakah sang murid dapat mengalahkan gurunya!?”
“*Uhuk*
Ini akan jadi momen penting bagi Ayatsuji-san.”
“Ya.
Tidak seperti kontestan Kurogane yang telah bertarung melawan
kontestan-kontestan kuat seperti sang Pemburu dan sang Pelari Tinggi, kontestan
Ayatsuji sampai saat ini baru bertemu dengan lawan-lawan dari Rank-E. Bisa
dibilang kemenangannya didapatkannya karena dia beruntung.”
“Blazer
seperti apa dia~?”
“Kita
tidak punya banyak informasi mengenai kontestan Ayatsuji. Kita tidak punya
datanya karena dia tidak berpartisipasi dalam satupun pertandingan tahun lalu,
dan seperti yang dikatakan sebelumnya, dia memenangkan seluruh pertandingannya
hanya dengan keterampilan pedangnya tahun ini. Itulah kenapa kita tidak tahu kemampuan
seperti apa yang disembunyikan olehnya! Keberadaan kartu as tersembunyi
kontestan Ayatsuji akan meningkatkan keseruan dalam pertandingan ini! Kalau
begitu, keduanya kini memasuki garis permulaan.”
Mereka
berdua berhadap-hadapan dalam jarak dua puluh meter di tengah ring yang sekitar
sepanjang seratus meter. Seperti yang telah diumumkan beberapa saat yang lalu,
mereka berdua rekan yang berlatih pedang dan menghabiskan waktu bersama. Namun,
saat ini, tidak ada hubungan apa-apa lagi diantara mereka.
….Ekspresinya
seram.
Begitulah
yang Ayase pikirkan ketika melihat ekspresi Ikki. Dia belum pernah melihat
ekspresi yang begitu ketat dan suram di wajah Ikki sebelumnya. Dia marah.
Kepada Ayase yang telah mempermalukan dirinya sendiri dengan strategi liciknya.
Namun
Ayase tidak merasa menyesal. Karena dia sudah memutuskan menempuh jalan ini.
Sebaliknya…
ini terasa nyaman.
Mana
Ikki belum pulih sepenuhnya karena usaha persiapan Ayase. Dia seharusnya tidak
bisa menggunakan Ittou Shura lagi. Selain itu, dia jelas memaksakan diri.
Lagipula itu bukanlah posturnya yang biasa, Ayase dengan jelas melihat hal
tersebut.
Kemarahan
merampas ketenangannya, dan kurangnya ketenangan selalu menghasilkan penurunan
potensi. Karena perbedaan diantara mereka begitu jelas, dia harus menghapus apa
pun yang bisa dilepas dari kekuatan tempur Ikki. Itulah kenapa, ini dapat
dikatakan sebagai produk sampingan yang menyenangkan dari tindakannya.
Terlebih
lagi, Ayase memiliki sebuah jebakan yang dapat dikatakan sebagai kartu as-nya.
Dia telah menyiapkannya fajar kemarin sebelum berhadapan dengan Ikki.
Sekarang
setelah dia kehilangan ketenangannya, dia mungkin akan langsung melompat ke
dalam jebakannya.
“Sekarang,
semuanya, bersoraklah untuk mereka! PERTANDINGAN DIMULAI!”
Bagian 5
Ketika
bel untuk memulai pertandingan dipukul—
“—!“
Dengan
kecepatan reaksi seorang pelari, pendekar pedang dengan katana hitam itu
bergegas menuju Ayase. Membungkukkan tubuhnya, lari seperti angin kencang yang
menggunakan pegas di seluruh tubuhnya dan bukan hanya dengan kekuatan kakinya.
Itu adalah serangan kejutan lengkap, pengubah jalannya pertandingan.
Ayase,
yang belum menggenggam erat pedang
Jepang merahnya Hizume, tidak akan dapat menangkisnya.
Namun,
itu kalau dia hanya seorang pendekar pedang biasa. Mereka berdua adalah Blazer!
“Kena
kamu!”
Bersamaan
dengan suaranya, device Ayase Hizume melepaskan sebuncah cahaya merah,
menyerupai darah segar, dari bilah pedangnya.
—Darah
bercucuran dari sekujur tubuh Ikki.
“Guhh,
ahhhhh!”
Ikki
jatuh seraya mengerang. Setelah melakukan pemeriksaan, dia menemukan sekujur
tubuhnya dipenuhi luka yang disebabkan oleh tebasan-tebasan panjang.
“A,
ap ap ap apa apa apa yang baru saja terjadi!? Tiba-tiba saja tubuh kontestan
Kurogane terluka parah! Sebenarnya apa yang baru saja terjadi!?
“Apa!?
Ada apa ini!? Baru saja darah mengucur dari Sang Kesatria Gagal!”
Para
penonton membeku oleh peristiwa ini. Tidak ada yang mengerti apa yang baru saja
terjadi pada saat ini.
Meskipun
demikian, hanya seorang Blazer yang dapat melakukan sesuatu seperti menebas dan
menyerang lawannya dari jarak jauh. Itu adalah kemampuan Device Hizume Ayatsuji
Ayase.
Kemampuanku
adalah membuka luka yang dibuat oleh pedang Hizume ini.
Dengan
memanipulasi luka yang diberikan oleh pedangnya sesuai keinginannya, kemampuannya
memungkinkannya untuk membuat luka kecil menjadi luka yang fatal.
Meskipun
demikian, kemampuannya tidak hanya dapat diterapkan pada manusia. Kemampuannya
juga dapat diterapkan di udara. Dengan memanipulasi area udara yang dipotong
dengan pedang Hizume-nya dia dapat secara instan, atau setelah beberapa lama,
menciptakan bilah tak kasat mata.
Itulah
Noble Art-nya, Mark of the Wind.
Sebelum
fajar, dan sebelum dia bertemu dengan Ikki, Ayase telah datang ke arena latihan
enam ini, yang menjadi panggung pertandingannya, dan memasang tebasan-tebasan
ladang ranjau dengan membelah-belah udara menggunakan Hizume.
Aku
sudah memasang lebih dari seratus jebakan di seluruh ring. Meskipun
Kurogane-kun adalah seorang ahli melihat segala sesuatu, tidak mungkin dia dapat
bertahan melawan serangan-serangan tak kasat mata! Buktinya, dia dengan mudah
terkena salah satu perangkapku.
Tentu
saja, ini melanggar aturan. Itu tidaklah masalah kalau dia memasang
jebakan-jebakan ini selama pertandingan berlangsung, tetapi itu sangatlah
dilarang kalau memasangnya sebelum pertandingan dimulai.
Namun,
karena jebakan-jebakannya tak kasat mata, itu sangatlah sulit menyadari triknya
ini. Dia khawatir kalau Oreki, yang seorang kesatria sihir, mungkin dapat
melihatnya. Namun Oreki masih belum membatalkan pertandingan ini, meskipun dia
karena bermain curang. Kemudian—
Aku
bisa melakukan ini!
Dia
telah mengelabui Oreki.
Bilah-bilah
tak kasat matanya yang diciptakan oleh Mark of the Wind adalah produk sampingan
dari sihir konseptual. Sejujurnya, itu kekurangan kekuatan untuk membunuh
lawannya, dan tidak bisa dijadikan serangan penghabisan. Namun tebasan dari
Hizume berbeda kasus. Dengan kemampuan Ayase, pertandingan ini akan ditentukan
berdasarkan luka yang diterima Ikki bahkan meskipun hanya berupa goresan,
karena dia dapat membuat luka apapun, tidak peduli seberapa kecil itu, dan membuka
dan merobek daging sampai tulangnya untuk menjadikannya fatal.
Dengan
kata lain,, tujuan Ayase adalah untuk memojokkan Ikki dengan Mark of the Wind
lalu menebasnya sekali dengan Hizume.
Kalau
aku bisa melakukan itu, aku akan menang.
Masalahnya,
kapan dia dapat menyerbu masuk untuk menghantarkan serangan pamungkasnya?
Ikki
bukanlah pendekar pedang pada umumnya. Ayase sangat memahami hal tersebut
setelah beberapa kali diajar olehnya. Kalau dia membuat satu saja gerakan
salah, justru dia yang akan kalah. Ayase telah memberinya sedikit kerusakan
dengan serangan kejutannya, tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan Ikki, itu
hanya menghambatnya. Ikki masih memiliki penjagaannya untuk menghindari
serangan bahkan ketika dia terluka.
…Itulah
kenapa, ini masih terlalu awal. Mau tidak mau, dia harus menunggu saat yang
tepat.
Serangan
Ikki telah berhenti, dan membuatnya mendapatkan luka berat. Ada waktu sesaat
untuk menarik napas untuk memastikan emosi dan posturnya. Kemudian—
“Oh,
kontestan Kurogane melangkah mundur! Apakah dia memutuskan menyerah dan
memastikan situasi akibat tebasan misterius tadi?”
Ini saatnya!
“Gahhhhh!?”
“Ahh!
Bagaimana ini bisa terjadi? Kontestan Kurogane kali ini ditebas dari belakang!
Apa yang sedang terjadi di dalam ring?!”
Ayase
telah menciptakan sebuah penjara dari berbagai tebasan. Tidak ada tempat
melarikan diri. Ikki akhirnya berlutut setelah tiba-tiba ditebas dari belakang.
Sebuah
kesempatan, dan Ayase—
Kesempatan
sekali seumur hidup!!!
Dia
akan mengakhirinya disini; dengan pikiran seperti itu, Ayase melesat menuju
Ikki.
“Kontestan
Ayatsuji mengambil inisiatif menyerang sesaat kontestan Kurogane berlutut! Ini
buruk! Dia tidak akan mampu melancarkan teknik pedangnya dalam posisi
tersebut!”
Ayase
memiliki pilihan untuk mengakhiri pertandingan, tetapi dia terlalu takut.
Kurogane-kun
bahkan dapat mengalahkan the Hunter.
Dan
tidak hanya dia. Hal terpenting adalah fakta dia mampu mengalahkan the Hunter
setelah menerima semua serangan darinya dan bahkan menaklukkan Area Invisible
yang terkenal.
Dalam
pertarungan itu Ikki tidak dapat melihat the Hunter sampai di saat-saat
terakhir. Terlepas dari hal itu, the Worst One masih dapat menangkap the Hunter dan mengalahkannya.
Ikki memiliki pengetahuan yang menakutkan. Dengan pengetahuan itu tidak akan
aneh baginya untuk membaca pikiran Ayase dan melihat tempat jebakan-jebakannya.
Dia
tidak akan memikirkan hal tersebut jika itu orang biasa, tetapi Kurogane Ikki
dapat melakukannya. Bahkan walau dia mengungguli pertandingan dan menguras
staminanya sedikit demi sedikit, itu akan sangat buruk kalau Ikki dapat
memutarbalik keadaan.
Bagian
terburuk dari Ikki Kurogane bukanlah kekuatan fisiknya melainkan kekuatan mentalnya
yang didukung dengan pengetahuannya.
Itulah
kenapa— aku harus maju sekarang! Tidak masalah kalau aku hanya melukainya
sedikit! Pertandingan akan dinyatakan berakhir setelah itu!
“Haaaaaaaaa!!!”
“Dan
Kontestan Ayatsuji maju menyerang! Ayo, ayo, ayooooo! Dia menghujani kontestan
Kurogane dengan berbagai macam tebasan-tebasan, yang sekarang tengah berlutut!
Apakah menangkis tebasan-tebasan tersebut dalam posisi itu adalah satu-satunya
hal yang bisa dilakukan oleh Kontestan Kurogane!? Akankah dia terkena tebasan
bertubi-tubi tersebut!?... Tidak!? A-Apa-apaan!? Kontestan Kurogane benar-benar
mampu mempertahankan diri dari tebasan bertubi-tubi tersebut meskipun dalam
posisi sulit itu dengan pedang Intetsu-nya! Dia tidak membiarkan satupun
tebasan lolos!”
…Kuh…!
Ayase
tidak dapat mencapainya. Meskipun yang harus dilakukannya hanyalah menggores
Ikki sedikit, itu seolah tampak mustahil. Ayase heran dengan Ikki yang meskipun
dalam posisi sulit, dapat memblok semua serangannya dengan menggunakan teknik
yang hanya mengandalkan pergelangan tangannya.
Seperti
yang diharapkan… dari kesatria yang bahkan dipanggil sang Raja Tanpa Mahkota
oleh beberapa orang. Dia tidak akan membiarkan Ayase menang dengan mudah.
Malahan, kini dia berdiri seraya memblokade tebasan-tebasan yang terus
menghujam.
“Haa!”
“Kontestan
Kurogane, sambil menangkis serangan dari lawannya dalam posisi itu, berdiri dan
akhirnya menyerang balik!”
Dia
melancarkan sebuah tebasan besar dan lebar menuju kepala.
Ini
bukanlah gaya Ikki untuk menyerang dengan hanya kekuatannya, tetapi semua itu
bagian dari rencananya.
—Ini
bukanlah serangan balik seperti yang dikatakan si komentator.
Bahkan
meskipun dia mampu membalas, ritme yang hilang setelah menerima serangan dalam
posisi tidak biasa itu tidak akan kembali dengan mudah. Ikki berharap menciptakan jarak, dari ayunan
lebarnya. Kalau lawannya menghindar, itu pasti akan memperlebar jarak diantara
mereka, dan meskipun lawannya menerima serangannya itu akan mengguncang lawannya
karena kekuatan serangannya dan jarak yang akan tercipta diantara mereka.
Itu
akan sangat menguntungkan bagi Ikki terhadap reaksi yang diambil Ayase. Itu
adalah serangan dengan rencana tersembunyi. Meskipun demikian, Ayase tidak
menyadari hal ini.
Disini!
Ayase
membaca pergerakan Ikki dan berpikir kalau ini adalah kesempatannya untuk
menang. Aliran pedang tunggal Ayase Ayatsuji adalah Sekolah yang berspealisasi
pada serangan balik.
Biasanya
mustahil bagi seseorang setingkatku untuk membalas serangan serius dari
Kurogane-kun.
Ilmu
pedang Ikki terlalu tangkas. Kalau Ayase bergerak secara serampangan, dialah
yang akan tamat.
Namun
serangan ini berasal dari atas ini adalah masalah yang benar-benar berbeda.
Serangan
intimidasi ini hanyalah untuk mendapatkan jarak dari lawan yang terpaku.
Meskipun serangan ini agresif dan sembrono itu tidak memiliki kecepatan dan
ketajaman.
Kalau
hanya serangan ini, bahkan aku pun bisa membalasnya.
Dia
memutuskan itu dalam sekejap. Ayase mempersiapkan Hizume dan menjauh dari
serangan seperti palu itu. Secara serentak, Ayase menempatkan kekuatan di
kakinya dan mengedik, mengincar serangan balik. Dia mengelak dari Ikki yang
tubuh bagian atasnya yang bebas dan mengayunkan Hizume ke tubuhnya.
Aku
mendapatkannya.
Ayase
memperoleh keyakinan pasti dalam penilaiannya.
Namun—bukannya
merasakan sensasi memotong daging abdominal, apa yang dirasakannya berlawanan
dari menghantam sesuatu yang keras.
“Oooooo!
Disaat kita mengira dia akan menyerang balik, kontestan Kurogane menahan
serangan yang datang dengan hulu pedangnya. Trik yang menakjubkan!”
“Kurogane-kun menggunakan metode
pertahanan yang sama seperti dalam duel melawan Stella-chan! Menahan serangan,
yang tidak bisa ditahan dengan bilah, tetapi bisa ditahan dengan gagangnya.
Sebuah pertahanan yang menggunakan baik bilah dan gagangnya, tidak akan bisa
ditembus dengan serangan apapun dalam jarak dekat.”
…Kuh! Sekarang setelah
kupikir-pikir, Kurogane-kun bisa menahan
serangan dalam gaya aneh seperti ini juga…!
Terhadap penjelasan Oreki, Ayase
mendecakkan lidah. Kekuatan konsentrasi yang luar biasa. Namun bagaimana dia
dapat menjaga konsentrasinya? Meskipun Ikki telah kehilangan ketenangan
dirinya.
“—!?”
Setelah memikirkan itu, Ayase,
melihat ekspresi Ikki, dan dia tercengang.
Ekspresinya tidak sedikitpun
mengandung kemarahan atau ketidaksabaran
seperti yang ditunjukkannya sebelumnnya. Ikki telah memperoleh ketenangannya
kembali. Dia memandang Ayase dengan mata sangat tenang yang mengingatkan Ayase
seperti air terjun tak beriak.
Ini tidak mungkin… Aku ditipu…!?
Ayase segera bereaksi terhadap
ketenangan tersebut. Dia menjejak tanah dan mendapatkan jarak yang menurutnya
diluar zona serangan Ikki. Dia berpikir akan ada serangan selagi bertahan,
tetapi Ikki tidak mengejarnya. Ayase hanya berdiri diam di satu tempat tetapi
tidak ada serangan apapun yang mendatanginya. Dia mengira kalau dia
menyalahpahami sesuatu atau mungkin dia hanya terlalu paranoid.
Apapun itu, ini kembali ke titik
permulaan.
Masih ada banyak jebakan tersisa.
Dia tidak berharap ini akan menjadi pertarungan jangka panjang tetapi ini tidak
akan ada artinya kalau dia mempercundangi dirinya sendiri dengan mengubahnya
menjadi pertarungan penentuan.
Seperti yang dia pikirkan,
selanjutnya dia harus lebih berhati-hati—
“…Aku senang.”
Pada saat itu, samurai dengan
katana hitam, yang merupakan lawannya, menghela nafas mengira dia merasa lega
pada sesuatu.
“Eh?”
Senang? Karena apa? Karena dia
membuka jarak diantara mereka? Ayase berusaba keras memikirkan maksud perkataan
lawannya.
“Sesuai dugaanku, Ayatsuji-san
adalah orang yang sesuai bayanganku.”
Pikirannya membuka di depan Ikki
yang tersenyum bahagia.
Bagian 6
Disana ada seorang wanita yang
tersenyum menanggapi perkataan Ikki.Dia adalah guru wali kelasnya, dan salah
satu komentator dan pengawas dalam pertandingan ini. Dia adalah Oreki Yuuri.
Pagi ini dia mendengarkan alasan
Ikki yang telah merusak properti Sekolah sebagai guru wali kelasnya.
“Sensei, dalam pertandingan hari
ini, yang akan Sensei awasi, lawanku pasti bakal bermain curang.”
“BU——!!!”
Oreki menyemburkan kopinya dan
hidungnya mulai berdarah terhadap pengungkapan tiba-tiba itu.
“Ap, eh!? Saya hentikan dulu
mimisan saya; sementara itu, tolong jelasin maksudmu!”
Disana, Oreki mendengarkan semua
insiden yang terjadi antara Ayase dan Ikki, yang terjadi semalam. Yang mana
Ayase memanggilnya. Setelah memanggilnya, Ikki menjelaskan bagaimana Ayase
melompat dari atap untuk menurunkan kekuatan Ikki. Tentang bagaimana dia
merusak bangunan Sekolah dengan kemampuannya untuk menyelamatkan Ayase.
“I-Itu beneran…?”
Kalau cerita ini benar maka itu
adalah pelanggaran. Pengusiran akan menjadi hukuman yang berlebihan, tetapi
tindakannya ini jelas menyingkirkannya dari pertandingan.
“T-Tapi kamu tahu dari mana kalau
dia bakal bermain curang?”
“…Dia gak ngelakuin apa-apa pas motong pagar,
tapi saya yakin saya dengar ada suara pedang yang panjang waktu itu. Dengan
nyimpulkan dari situ, saya gak tahu gimana mekanisme persisnya, saya pikir
kemampuan Ayatsuji-san itu semacam penempatan tebasan di berbagai tempat, yang
bisa dimunculin secara acak. Kalau dia punya kemampuan kayak gitu maka gak
salah kalau diasumsikan kalau dia mungkin bakal masang jebakan di seluruh arena
latihan enam yang adalah tempat dilangsungkannya pertandingan hari ini. Lagian,
dia sampai pura-pura mau bunuh diri buat matiin kartu as saya, dan jelas, dia
bakal ngelakuin apa aja buat ngalahin saya dalam pertandingan nanti.”
“Yah memang, seseorang yang udah
ngelakuin hal kayak gitu, saya gak pikir dia gak bakal bermain adil dalam
pertandingan resmi… T… T… Tapi nyoba bunuh diri dan kerusakannya… itu, beneran,
masalah besar tahu.”
“Tapi, laporan saya dianggap
sebagai bukti ‘kan?”
“Yeah, Sensei percaya sama
Kurogane-kun, tapi karena kondisi saya gak bisa ngelakuin apa-apa terhadap
laporan itu. Tapi, saya ngerti maksudmu. Sensei bakal berjaga-jaga. Kalau saya
ngeliat tanda-tanda permainan kotor saya bakal langsung ngentikan
pertandingannya. Jadi sekarang kamu bisa tenang, Kurogane-kun.”
“Enggak, tolong jangan lakuin itu.”
Darah merembes keluar lagi dari
hidung Oreki. Oreki, seraya merasa anemia dan benar-benar pusing, menekap
hidungnya dengan tisu dan bertanya kepada Ikki.
“Eh? Apa, apa maksudmu? Saya gak
ngerti sepenuhnya apa yang baru aja kamu bilang!? Terus, kenapa kamu ngasih
tahu ini disini dan sekarang?”
“Kalau ibu nanya saya soal alasan
kenapa saya ngerusak bangunan sekolah, saya mau gak mau harus ngasih tahu ibu.
Terus, meski Oreki-sensei misalnya gak dengar ini dari saya ibu mungkin bakal
menyadari permainan kotor Ayatsuji-san, dan pas sadar, ibu akan langsung
ngentiin pertandingannya. Tapi… saya gak mau ibu ngelakuin itu.”
“Loh kenapa!? Kalau dia beneran
bermain curang, Kurogane-kun bakal dinyatakan menang karena perbuatan
Ayatsuji-san. Kamu ngerti sepenting apa satu saja kemenangan dalam kontes
pemilihan perwakilan ini, kan?”
“Ya, saya tahu. Kalau saya kalah
sekali aja, saya mungkin gak bakal terpilih sebagai perwakilan.”
“Ya, benar, dari perkembanganmu
saat ini, kalau kamu gak pertahanin rekor sempurnamu kamu gak bakal terpilih
sebagai perwakilan. Kamu ngerti itu, dan tetap aja kamu minta saya gak ngentiin
pertandingan kalau ada kecurangan?”
“Ya, saya mohon tolong lakukan
itu, Sensei.”
Oreki tidak dapat memahaminya,
karena Ikki seharusnya mengharapkan kemenangan lebih dari siapapun. Oreki
mengenal Ikki dari waktu ketika Ikki mengambil ujian masuk, karena dialah yang
bertanggung jawab sebagai pengawas ujiannya. Dia tidak pernah melihat murid
dengan tekad dan ambisi sekuat dirinya.
Oreki sangat sedih karena
seseorang sepertinya telah membuang waktu setahun penuh karena pikiran irasional
para orang dewasa. Kemudian, sistem Sekolah diubah dan akhirnya dia mendapatkan
kesempatan yang layak tahun ini. Dia seharusnya sangat ingin menang walau dia
harus menggunakan cara licik. Meskipun demikian, kenapa dia menundukkan
kepalanya untuk seseorang yang melanggar hukum tabu seorang kesatria untuk
melawannya?
“…Bisa kamu kasih tahu ibu
alasannya?”
“Karena saya mau percaya.”
“…Kamu mau percaya?”
“Ya… saya selalu mikirin ini
sejak saya nemuin dia tengah malam lalu. Sebagai seorang teman saya rasa, kalau
saya mutusin hubungan saya dengan dia disini dan saat ini juga, saya pasti
bakal menang karena permainan curangnya. Tapi apa itu beneran gak pa-pa? Saya
pikir-pikir lagi dan lagi tapi saya gak bisa ngedapetin jawabannya… tapi saya
tahu satu hal dengan jelas.”
“Apa itu?”
“Perasaaan saya bilang kalau saya
gak boleh mutusin hubungan dengan dia… makanya saya kira saya bakal percayai
hal itu sampai akhir kalau Ayatsuji-san khawatir terhadap sesuatu dan karena
sesuatu itu dia kehilangan rasa percaya dirinya.”
Ikki tahu. Setiap kali Ayase
semakin menguasai ilmu pedang ayahnya dia akan bersikap seperti anak kecil. Ikki
tahu makna senyuman Ayase itu. Kata-kata Ayase mengenai betapa dia menyukai
tangannya yang kasar karena terlalu sering menggunakan Shinai. Dia tidak dapat
percaya semua itu adalah kebohongan.
“Makanya saya putuskan. Saya
bakal mercayain Ayase-san yang biasa dan bukan yang saya lihat semalam.”
Saat orang putus asa mereka
menjadi kehilangan persepsi mereka terhadap diri mereka sendiri. Ikki mengetahui hal itu karena dia sendiri
sudah pernah mengalaminya. Dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan orang-orang
seperti itu adalah kata-kata dari seseorang yang peduli kepada mereka.
Itulah kenapa, kalau Ayase juga
sepertinya, dari waktu yang berlainan, tidak dapat mendengar suara tangisan
hatinya karena terlalu putus asa.
“Saya mau ngebantu dia. Karena
itu, Sensei, tolong kasih saya kesempatan untuk mastiin niat aslinya.”
…Astaga, tidak ada kesatria yang
dapat berkata tidak setelah mendengar sesuatu seperti itu.
Selalu bela keadilan. Bersikap
jujurlah dengan musuhmu. Citra ideal yang diimpikan semua orang yang ingin
menjadi kesatria.
Begitu pula Oreki, karena itu dia
menerima permintaan Ikki. Tentu saja dia langsung menyadari kecurangan Ayase
tetapi dia tidak menghentikan pertandingan. Karena dia telah memutuskan
menyerahkan pertandingan dan hati seorang gadis yang kesepian kepada Ikki.
Dia tidak akan ikut campur. Oreki
dalam diam memperhatikan Ikki.
Beruntung sekali punya teman
sepertinya—
Bagian 7
Kenyataannya, semua berada di
dalam genggaman Ikki sejak awal. Dia sudah tahu kalau ada banyak jebakan yang dipasang diseluruh arena. Dia mengetahuinya karena fakta Ayase tidak
ingin berlama-lama dalam pertarungan ini. Itulah alasan Ikki melompat menuju
tebasan itu berdasarkan keinginannya sendiri untuk membuatnya bersikap ofensif,
dan menyiapkan serangan penentu.
Semua itu… supaya dia dapat
berbicara dengan Ayase melalui pedang mereka.
Aku seharusnya melakukan ini dari
awal.
Ikki tersenyum pahit terhadap
kebodohannya.
Ah ya, itu benar, tidak mungkin
orang sepertinya, yang bahkan tidak dapat menyadari perasaan orang terdekatnya,
kekasihnya, selama sebulan, dapat mengerti maksud perkataan Ayase begitu saja.
Pada akhirnya, dia hanya memiliki pedangnya. Dia hanya dapat memahami perasaan
tulus orang lain melalui pedangnya.
Namun, sekarang, secara pasti,
Ikki melihat perasaan tulus Ayase.
“Aku senang… sesuai pikiranku,
Ayatsuji-san beginilah yang kubayangin soal kamu.”
“…Maksud kamu ap?”
“Maksudku, Ayatsuji-san itu bukan
orang yang bisa bersikap seolah gak ada apa-apa setelah ngelakuin sesuatu yang
salah.”
“…Aku gak ngerti maksudmu…
ahahaha. Habis kuserang habis-habisan sampai jadi bubur, kamu masih
sempat-sempatnya ngelantur gitu, ya. Apa ini berlebihan? Bukannya aku peduli,
tapi bukannya kamu terlalu baik jadi manusia?”
Ayase menatap mata Ikki,
berbicara dan mencibir dengan gaya yang sama seperti yang dilakukannya di atap
semalam. Namun—
“Ini bukan ngelantur.”
Ikki tidak akan tertipu oleh
ekspresi palsu itu lagi, karena pedang tidak pernah bohong.
“Permainan pedangmu, langkah,
ritme, pernapasaan, semuanya kacau balau. Jangankan yang sudah kuajarin, kamu
bahkan gak nunjukkin apa yang udah kamu pelajarin dari dulu. Bahkan serangan
balikmu, yang merupakan spesialisasimu, juga lemah. Makanya bisa kutangkis
dengan mudah. Kamu gak bisa ngebohongin jiwamu meski seburuk apapun kamu
berusaha ngejelek-jelekin diri kamu sendiri. Ilmu pedang itu berasal dari hati,
teknik, dan tubuh. Gak bakal ada kekuatan kalau hatimu ragu… Ayatsuji-san, kamu
itu orang hebat, lebih dari yang kamu kira.”
“I-Itu gak kayak gitu.”
Terhadap deduksi Ikki, Ayase
tiba-tiba berteriak.
“Aku gak ragu! Aku sudah ngalamin
itu dua tahun lalu! Soalnya gak peduli sebangga apapun aku bertarung, kalau kalah,
semuanya usai! Gak ada artinya kata-kata manis kalau gak ada hasil! Karena kamu
gak bisa melindungi kalau kamu gak menang! Makanya aku bakal ngelakuin apapun
supaya aku menang! Gak peduli cara apa yang harus kupakai, dan ngerebut lagi
semuanya!”
Ketimbang bersikap brutal
terhadap Ikki, kata-kata itu bermaksud membujuk dirinya sendiri. Ikki memahami
hal tersebut. Karena sangat putus asa Ayase sampai menutup telinganya dan
meneriakkan isi hatinya. Sama seperti Ikki di masa lalu.
“…Kalau gitu, tinggal satu hal
yang harus kulakuin.”
Itu adalah membiarkan Ayase
mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Itulah satu-satunya hal yang harus
dilakukan. Itulah kenapa dia mengacungkan ujuung Intetsu menuju Ayase.
“Dengan kelemahanku bakal
kukembalikan visimu.”
Begitulah deklarasinya.
Bagian 8
“Ooh! Kontestan Kurogane
menurunkan tubuh bagian bawahnya! Sama seperti pertama kali pertandingan
dimulai, itu kuda-kuda menyerang! Setelah tadi menerima tebasan-tebasan
misterius tidak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya! The Worst One hendak menyerang!
Apakah dia sudah melihat tebasan-tebasan misterius itu!?”
Ayase segera bereaksi terhadap
tindakannya. Dia mundur selangkah untuk memperlebar jarak. Reaksinya tampak tenang, tetapi pikirannya kalut.
Apa yang baru saja kulakukan!?
Mengeluarkan unek-unekku!?
Kenapa aku melakukan itu?
Tidak peduli apa yang harus kulakukan, aku harus merebut
kembali dojo untuk meringankan ayahku.
Dia tidak lagi teralihkan, juga
tidak lagi berusaha membohongi dirinya sendiri. Ikki hanya mencoba mengalihkan
perhatiannya. Ayase sekuat tenaga membujuk dirinya sendiri dengan kata-kata itu
dan mencoba berpikir dalam-dalam.
—Kalau kau berbicara sebanyak
itu, baiklah, akan kuakhiri pertandingan ini dengan berbagai kesalahan yang
tadi kau singgung.
Jarak yang diciptakannya dengan
melangkah mundur adalah sejauh tiga puluh meter. Dan diantara ladang ranjau
tebasan-tebasannya. Dia telah sepenuhnya menghafal kecepatan Ikki. Selanjutnya
dia akan mengaktifkan Mark of The Wind dengan waktu lebih akurat.
“Aku datang, Ayatsuji-san.”
Dalam sekejap, Ikki menaikkan
tubuh bagian atasnya dan berlari maju.
Disini!
Terhadap tindakanya, Ayase
membuka celah Mark of The Wind yang berada di depan Ikki. Celah yang tiba-tiba
terbuka di udara bagaikam vakum guillotine yang memotong apa saja yang menyentuhnya.
Ikki tidak akan selamat tanpa luka kalau dia mengenai itu. Namun—
“A—“
Tubuh Kurogane melesat seperti
peluru, dibandingkan kecepatannya yang ditunjukkanya sebelumnya, dan membuat
Ayase meninggalkan pedangnya di belakang tubuhnya sebelum vakum terbuka. –
Kecepatannya itu menyamai Ittou Shura.
“Kecepatan yang luar biasa! Kontestan
Ittou Shura menggunakan kartu as-nya Ittou Shura!”
K, Kenapa!? Kartu as itu
seharusnya sudah tersegel.
Suara Oreka mencapai Ayase yang
bingung.
“Yah, itu bukan Ittou Shura.”
“Eh? Yang benar, Oreki-sensei?”
“Itu sama kayak yang lain, dia
hanya mempercepat emisi mana.”
Emisi mana!
Ayase akhirnya menyadari
kesalahan terbesarnya.
Emisi mana adalah teknik
melepaskan untuk mempercepat dan memperkuat diri. Itu adalah teknik penguatan
yang digunakan oleh para Blazer secara insting. Tentu saja, Ayase juga
menggunakannya.
“Kurogane-kun tidak punya banyak
mana seperti murid-murid lain, jadi kalau dia menggunakan mana-nya seperti ini
dia akan langsung kehabisan mana setelah menggunakannya sekali atau dua kali.
Itulah kenapa dia tidak menggunakannya secara normal. Namun, ‘tidak mau
menggunakannya’ berbeda dengan ‘tidak bisa menggunakannya’. Dia mungkin, untuk
suatu alasan, tidak bisa menggunakan Ittou Shura kali ini. Itulah kenapa dia
menggunakan cara ini sebagai penggantinya.”
Seperti yang Oreki katakan,
‘tidak mau menggunakannya’ berbeda dengan ‘tidak bisa menggunakannya’. Biasanya
Ikki ‘tidak mau menggunakannya’ karena dia tidak memiliki banyak mana. Namun,
karena jumlah mana yang dibutuhkan untuk menggunakan Ittou Shura tidak akan
pulih pada waktunya, dia tidak memiliki alasan untuk tidak menggunakan emisi
mana untuk memperkuat dirinya sendirinya. Itulah kenapa dia menggunakannya.
Dengan melepaskan seluruh mana yang
dimilikinya, meskipun hanya sekali, dia dapat menghasilkan kecepatan yang
sedikit inferior dari Ittou Shura.
Aku terlalu mengkhawatirkan Ittou
Shura!
Sebuah kesalahan fatal. Ikki
telah memasuki jarak dimana pedangnya dapat memotong Ayase dengan hanya satu
langkah super-cepat.
Mark of the Wind tidak akan
bekerja tepat waktu.
Dia telah diperdaya secara
mental.
Meskipun demikian, ini bukanlah akhirnya!
Ikki telah memasuki jangkauannya.
Dia tidak dapat menghindari adu pedang. Namun untuk sekali, dia harus
mengendurkan adu pedang ini dengan semua yang dia miliki dan membuka jarak
sekali lagi! Kemudian, Ikki akan kehabisan mana. Dia tidak akan dapat permulaan
ciamik seperti tadi.
Ini kesempatanku untuk menang!
Aku harus memenangkan adu pedang ini apapun yang terjadi!
Ayase mengayunkan Hizume seraya
berteriak intens, dan menebas Ikki yang berada di depan matanya—
Pedangnya menebas udara kosong.
“—Eh…”
Ikki tadinya, berada di depan
matanya—
Tebasan Ayase, yang diayunkan
dengan sekuat tenaga, hanya menggores ujung hidung Ikki, seraya Ikki berlari
mendekatinya. Tebasannya tidak mengenai Ikki. Apakah dia salah menghitung jarak
diantara mereka? Tidak. Ikki jelas berada dalam jangkauan pedangnya. Namun,
Ikki langsung menghilang seperti fatamorgana, dan Ikki yang lain muncul di
belakang sedang berlari menuju ke arahnya.
Ayase terdiam. Dia tidak mengerti
apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, kebingungan itu bukan tanpa alasan.
Ini adalah teknik orisinal yang Kurogane Ikki kuasai, sebuah teknik yang
menyaingi teknik pedang rahasia, Raikou. Dengan gerak kaki yang radikal dia
menciptakan ilusi optik dirinya seraya berlari untuk membingungkan lawannya.
“Teknik pedang rahasia keempat—
Shinkirou[1]”
Pada saat itu, pedang Intetsu
terayun sekuat tenaga menebas udara beserta Ayase.
Bagian 9
“Sudah berakhir! Kontestan
Kurogane melancarkan serangan telak!”
Setelah pengumuman itu, yang
berdasar dari adegan itu, para penonton, juga bersorak-sorai.
“Kontestan Ayase telah jatuh di
tanah! Meskipun begitu dia tidak berdarah…! Apa yang sebenarnya terjadi…?”
“*Cough, cough*…Ya, itu karena
Ikki mengubah device-nya menjadi bentuk ilusi sebelum dia menebasnya.”
“Lalu, bukan berarti dia hanya
menjadi kelelahan dan tidak menerima serangan fatal?”
“Ya, itu benar.”
“Tapi kenapa dia melakukan hal
seperti itu? Apakah itu berarti dia tidak ingin melukai wanita?”
“Itu tidak benar. Aku juga
ditebas olehnya di masa lalu. Mungkin, dari awal dia hanya mengincar hal ini…
karena selama ini, menang bukan tujuan Kurogane-kun.”
Oreki berbisik pada dirinya
sendiri, dan memandang ring.
Ayase yang terjatuh berusaha
bangun dengan menempatkan kekuatan pada seluruh badannya. Ayase, seraya
gemeter, menaikkan kepalanya dan menatap Ikki yang berdiri di hadapannya.
“…Apa yang… sebenarnya mau kamu
lakuin…?”
“Soal apa?”
“Jangan pura-pura bego… Kenapa
kamu gak nebas aku?”
“Gak perlu. Soalnya Ayatsuji-san
gak bisa bertarung lagi ‘kan.”
Ayase merasa tubuhnya menjadi
ringan. Menganggap perbuatan Ikki kepadanya adalah penghinaan. Dia tidak
menerima kerusakan fisik kalau dia diserang dengan sebuah Device dalam wujud
ilusi. Sebagai gantinya hanya staminannya yang terkuras. Ayase percaya diri
terhadap staminanya, sampai ke titik dimana dia dapat mengejar Ikki dan Stella
saat joging. Kelelahan dalam tingkat ini tidak berarti apa-apa baginya.
Dia harus berdiri, dia harus
memenangkan pertarungan ini, atau semuanya akan berakhir. Dia tidak akan dapat
menyelamatkan ayahnya… Kenapa, kenapa?
Hatiku… terasa dingin.
Perasaannya campur aduk. Dia
tidak dapat merasakan semangat bertarungnya untuk sekali lagi berdiri dengan
mengumpulkan seluruh kekuatannya.
Ayase menyadari satu hal dari
perasaannya ini. Kalau jiwanya tidak menerima pertarungan yang tidak memiliki
kebanggan seperti ini.
Aku mengerti…. Jadi inilah
jeritan hatiku….
Saat orang terpojok, mereka hanya
dapat kembali bangkit karena mereka memiliki kebanggaan di hati mereka. Kalau
mereka masih dapat melakukannya. Kalau mereka seharusnya masih dapat
melakukannya lagi. Bukannya menyerah. Mereka menyemangati diri mereka sendiri
dengan cara seperti itu.
Ayase, juga, selalu melakukannya.
Tidak peduli sekeras apa latihannya, tidak peduli sebanyak apa tangannya
terluka, dia dapat menanggung semua itu karena dia memiliki kebanggan dalam
dirinya sendiri sebagai orang yang meneruskan ilmu pedang Ayatsuji.
Namun… tanpa sadar Ayase menolak kebanggan
tersebut…
“…Ini sama kayak yang
Kurogane-kun bilang.”
Dia tidak lagi memiliki kekuatan
untuk kembali melawan.
“…Ini kekalahanku.”
Bagian 10
“Wow, itu adalah isyarat menyerah
dari Ayatsuji! Pertandingan berakhir dengan ini!— Seperti yang diharapkan, itu
adalah the Worst One, kontestan Kurogane, yang menang! Dengan ini, kontestan
Kurogane meraih sebelas kemenangan beruntun! Sebelas kemenangan beruntun ini
diraihnya dengan mengalahkan kontestan terkenal seperti the Hunter dan Runner’s
High! Kita sekarang dapat dengan percaya diri mengatakan kalau dia akan menjadi
perwakilan dalam Seven Stars-Sword Festival~”
Mengerling ke penonton, Ayase
mengeluarkan sebuah tawa kering.
“Payah banget… jangankan
ninggalin, aku bahkan gak bisa pertahanin…”
Perkataan yang keluar dari
mulutnya bermaksud untuk mengejek tekad setengah-setengahnya.
Namun, terhadap perkataan itu—
“Kamu gak payah.”
Ikki menolaknya.
“Eh?”
“Kamu gagal, ngelakuin hal yang
salah, bahkan sampai-sampai kehilangan visimu, tapi kamu belum ngebuang jati
dirimu, dan itulah kekuatan Ayatsuji-san.”
Dan Ikki seraya mengulurkan tangannya kepada Ayase yang
terjatuh.
“Ayatsuji-san, tolong kasih tahu
aku… apa yang diambil darimu oleh si Sword Eater? Apa yang ngedorong kamu
sampai berbuat sejauh ini?”
“Apa rencanamu setelah mendengar
ini…”
“Bakal kuambil lagi.”
Tidak ada sedikitpun keraguan
maupun kepalsuan dalam kata-kata itu. Kalau Ayase mengandalkannya, Ikki akan
bertarung untuknya tanpa ada keraguan. Dia memahami itu, dan karena dengan
jelas memahaminya, dia mengatakan—
“…Aku gak bisa ngasih tahu kamu, soalnya
itu gak ada hubungannya sama Kurogane-kun.”
Ayase tidak dapat membiarkannya
bertarung melawan seorang monster. Dia tidak dapat membiarkan seseorang terluka
karena seseorang sepertinya.
Cukup ayah saja. Aku tidak bisa
membiarkan hal yang sama terjadi padanya.
Itulah kenapa Ayase
menyembunyikan segalanya. Namun—
“Kalau gitu, bakal kuselidikin
masalahnya.”
“Eh?”
“Bakal kuselidikin semuanya
dengan ngikutin kamu kemana-mana dan neliti kamu.”
“M, Maksudmua apa…”
“Bakal kutanya kamu soal
semuanya, dan ngembaliin semuanya ke kamu. Ayatsuji-san, juga, ngestalk aku
sebelumnya, jadi dengan gini kita bakal adil. Walau aku gak punya alasan buat
ngedengerin keluhanmu, ya ‘kan?”
Tidak dapat dimengerti. Apanya
yang “akan adil dengan ini”…? Ini bukannya melunasi utang, malah menambahnya.
“…Kenapa…?”
Ayase tidak dapat berhenti
gemetar di dalam suaranya, maupun air mata kesedihannya.
“Meskipun aku ngianatin
Kurogane-kun… Meskipun aku ngelakuin hal yang buruk… Kenapa… kamu masih mau
nolongin aku?”
Ayase bertanya dengan suara
gemetar. Jawaban Ikki dipenuhi dengan rasa kepedulian.
“Aku gak butuh alasan buat ngapus
air mata temanku.”
“…!”
Untuk sesaat sosok Ikki
menyerupai Kaito di mata Ayase. Sosok ayahnya yang naik ke panggung pertarungan
demi anak muridnya. Ikki juga sama sepertinya. Meskipun dia diludahi dan
dicela, dia tidak akan menghunuskan pedangnya untuk hal sepele seperti itu.
Namun, kalau temannya yang berharga terluka, dia tidak akan ragu melakukannya.
Ah… Yeah, begitulah dirinya.
Sejak kapan dia kehilangan jati
dirinya? Orang ini, disini, adalah sosok yang dibutuhkannya selama ini. Ayase
memandangi tangannya sendiri. Kedua tangannya tampak melepuh dan tampak tidak
mulus. Sama seperti ayahnya dan Ikki, tangannya adalah tangan seorang pendekar
pedang.
Itu benar, aku hanya ingin
menjadi seorang pendekar pedang yang keren sama seperti ayah. Itulah kenapa aku
mau menggenggam pedang.
Dia baru sekali dikronfrontasi
oleh kekuatan Kuraudo, dan menjadi kehilangan visinya karena ketidaksabarannya
dalam merebut kembali dojo. Dimana kebanggaannya, Ayase akhirnya mengingatnya
dan mengepalkan tangannya, dengan erat.
Pada saat itu, hati Ayase
akhirnya memutuskan.
“…Kurogane-kun… tolong aku…!”
Hal yang seharusnya dikatakannya
sekarang tidaklah bertentangan dengan ajaran ayahnya dan mengkhianati
kebanggannya dan meratapi kegagalannya. Hal itu adalah untuk meminta bantuan
anak laki-laki kuat ini, dan percaya pada kemenangannya.
Itulah kenapa Ayase mendongakkan
kepalanya.
“Aku cuman mau dengar kata-kata
itu.”
Terhadap kata-kata itu, Ikki
tersenyum seolah dia sangat bahagia dan dengan erat menggenggam tangan Ayase.
0 Comments
Posting Komentar