SATU LINGKARAN, SATU PERCIKAN
(Translator : Zerard)
Hari itu sama buruknya dengan hari-hari lainnya.
Reruntuhan batu berlumut sangatlah begitu dingin ketika di sentuh; sinar matahari menusuk bagaikan jarum yang menembus melalui retakan pada langit-langit.
Sang goblin sedang dalam tugas berjaga memiliki tombak berkarat di tangannya. Dia memberikan lantai sebuah tendangan kesal.
“GOROOBB! GORB!!”
“Eee—yaaaagggghh?! Huuurgh, haaaaghh!!”
“GOROORBB!!”
Jika dia mendengarkan dengan seksama, dia dapat mendengar suara keramaian yang datang dari ruang utama.
Argh—mengapa dia harus mendapatkan giliran “malam” sekarang?
Siapa yang cukup bodoh untuk mendatangi tempat seperti ini?
Para goblin telah melupakan bahwa orang yang mereka berhasil tangkap kemarin merupakan seorang petualang-penjelajah. Yang hanya dia ingat adalah terdapat beberapa pria, beberapa wanita, dan prospek akan kegembiraan yang akan datang. Di tambah lagi, pria dwarf itu sangatlah gemuk, oleh karena itu makanan tidak akan menjadi masalah dalam waktu dekat ini. Dagingnya sangatlah keras, namun dia tidak akan terlalu meminta banyak (walaupun dia percaya bahwa dia sudah seharusnya mendapatkan bagian yang lebih banyak sesukanya)
“Hrrrraaaaggghhh?!”
“GBOR!!”
Wanita hari ini tentu memiliki sepasang paru-paru. Sang goblin menjilat bibirnya; mereka pasti telah mendapatkan cara baru untuk bermain.
Pada mulanya, menusuk kepala pria yang telah mati membuat para wanita bergetar dan menjerit, yang tentunya sangatlah menyenangkan. Tetapi respon mereka semakin lama semakin lemah, dan sekarang mereka rentan akan menjadi membosankan.
Bahkan menunjukkan kepala—yang sekarang telah membusuk—hanya mengundang “ugh” atau “ahh.” Datar.
Namun mendengarkan wanita ini sekarang, mereka pasti sedang melakukan sesuatu yang menarik.
Pikiran itu membuat sang goblin menghentakkan kakinya, membuatnya mustahil untuk dapat berdiri di tempat.
Mungkin dia dapat melalaikan pekerjaan menjaganya?
Sang goblin mengangguk; sebuah ide cemerlang menurutnya. Tidak akan ada yang menyadari jika dirinya menyelinap masuk ke keramaian untuk bergabung dengan mereka secara diam-diam. Mereka yang lainlah yang seharusnya melakukan tugas berjaga.
Ya, itulah yang akan dia lakukan. Sang goblin melempar tombaknya ke samping, mengatur kain celananya (yang tidak banyak menutupi) dan berpaling.
Detik berikutnya, dia merasakan sesuatu yang melilit di sekitar mulutnya, seperti seekor ular, dan kemudian pedang tajam menyayat tenggorokannya. Sang goblin mendengar desisan darahnya sendiri, sebelum pada akhirnya dia tersedak oleh darah itu.
Tidak lama kemudian, dia tidak dapat bergerak, dan kemudian dia mati.
Tidak ada yang berkabung.
*****
“Satu.”
Sang petualang terus menutupi mulut goblin yang terkejang hingga dia yakin makhluk itu tidak lagi bernapas, kemudian secara perlahan dia menggulingkan mayat itu. Dia mengayunkan pedangnya untuk membersihkan darah yang menempel, dan kemudian memasukkannya kembali le dalam sarungnya. Di tempatnya berdiri, dia memeriksa tombak pendek yang terjatuh, dan kemudian menambahkan senjata itu pada koleksinya.
Terdapat batasan akan seberapa banyak yang dapat dia bawa, namun selama itu tidak menjadi halangan, tidaklah salah untuk membawa terlalu banyak senjata.
Kemudian dia mengintai daerah sekitar sebelum menendang tubuh goblin masuknke dalam bayangan. Hanya untuk memastikan.
Dia mmengambil obor di tangan kiri dan menggulingkannya ke atas lantai agar kedua tangannya bebas. Di kejauhan, dia dapst mendengar suara para goblin yang bersorak ria.
Perlahan, berhati-hati, dia melangkah, menegangkan ototnya agar tidak menimbulkan suara sebisa mungkin seraya dia melangkah. Mencoba melangkah jinjit terlalu menggunakan banyak tenaga, dan membuat bagian terberat dari tubuh terjatuh terlalu cepat. Bagaimana seseorang dapst menyusup jika terjatuh di segala penjuru? Adalah pertanyaan masternya yang di tujukan kepada dirinya di tengah rentetan pukulan penuh amsrah.
Dia melihay sebuah sumber cahaya, namun para goblin tidak membutuhkan cahaya untuk melihat. Kemungkinannya adalah untuk kehangatan atau untuk bersenang-senang.
Kemungkinan pilihan terakhir.
Pria itu benar.
“Ahhh?! Aggghh!!”
“GOROBOGO! GOROBOGOG!!”
Jeritan wanita melengking, di ikuti dengan goblin yang terkekeh. Mereka mmengambil batang metal yang berada di atas api di tengah ruangan dan menekannya pada kulit sang wanita. Setiap kali di tekan, wanita itu akan meronta mencoba untuk melarikan diri di tengah tarian hina nan keji.
Pria itu tidaak dapat menyadari dengan segera apakah wanita itu seorang petualang atau gadis desa. Takut dan menjerit, tersedu seraya dia mencoba untuk melarikan diri, memohon belas kasih, wanita itu tampak seperti seorang gadis yang dapat di temukan di manapun. Namun kemudian tampaklah sebuah kalung peringkat yang berayun di sekitar lehernya.
Wanita itu benar-benar telah hancur hingga pria itu tidak dapat mengetahui identitas sang wanita, walaupun mereka telah memberikannya informasi sebelum quest berjalan. Dia tidak perlu memikirkan apa yang telah terjadi yang membuat keadaan sang wanita seperti ini. Dia sudah mengetahuinya.
Dan setidaknya, kondisi wanita itu masih lebih baik di bandingkan wanita lainnya.
Di antara tulang belulang, dia menemukan beberapa wanita muda lainnya yang terbaring di atas darah dan lumpur. Mata sayu mereka telah sirna akan cahayanya, tubuh mereka telah kehilangan sesuatu yang seharusnya mereka miliki, dan mereka secara terus menerus bergumam sesuatu yang tidak jelas kepada diri mereka sendiri.
Kemungkinan, tahanan lainnya sudah berada di perut goblin.
Takdir manakah yang lebih baik? Dia tidak mempedulikan pertanyaan itu. Dia memiliki hal lain untuk di khawatirkan.
Aku menghitung empat musuh. Paling nggak satu pedang, kapak, dan dua pentungan. Nggak ada pemanah. Salah satunya terlihat seperti hob.
“GOROOBOG! GOROBG!!”
“GBRRG...”
Salah satu dari goblin yang berotot itu mengambil beberapa daging dari sebuah piring (tentunya bukan buatan para goblin) dan menggigit besar daging itu. Kemudian dia memberikan tanda dengan dagunya kepada goblin lain, mendorong makhluk itu, dan merampas gelas anggur dari tangan goblin itu.
Di sekitar leher monster besar itu berkelip beberapa kalung peringkat yang pasti dia ambil dari para petualang.
Inilah pemimpin mereka—tidak salah lagi. Seekor hobgoblin.
Sang petualang berpikir sejenak, kemudian menyelinap ke dalam ruangan. Dia menyelipkan jarinya ke dalam retakan dalam batu dinding. Terdapat sebuah lumut di dalamnya, namun ini sudah cukup sebagai tempat berpegangan. Dia mulai menarik dirinya sedikit demi sedikit.
Dinsaat dia cukup tinggi, dia mulai mencari tempat untuk menginjakkan kakinya, kemudian dia mencsri tempat berikutnya untuk di genggam dan mulai memanjat kembali. Dia tidaklah lincah, namun di bandingkan dengan pohon yang dia panjat kala dia masih bocah, ini sangalah mudah.
Apakah pohon itu masih berada di sana? Atau sekarang telah hilang?
“Errggyahh... Hent...ikan...”
“GROBG! GRROROGB!!”
Dia menghiraukan kilasan ingatan yang melintas, memfokuskan perhatiannya kepada para goblin. Untungnya (seberapapun beruntungnya tempat ini bisa menyajikan), tampaknya mereka masih belum menyadari keberadaannya. Keriuhan pesta pora mereka bukan menjadi alasan baginya untuk membuat suara, namun sebuah suara kecil masih dapat tertutupi.
Sang petualang berhenti di tempat dan menenangkan pernapasannya, kemudian memanjat sedikit lebih tinggi.
Dia memeriksa jaraknya, kemudian menendang dinding sekuat yang dia mampu.
Dia tidaklah memiliki kemampuan melompat manusia super. Dengan armor dan helmnya, yang dapat dia lakukan hanyalah jatuh layaknya batu.
Namun dia hanya membutuhkan kecepatan yang cukup untuk menghancurkan goblin yang berada di bawahnya. Ini akan cukup.
“GBOROB?!” Salah satu goblin berteriak ketika sesuatu tiba-tiba mendarat di atasnya. Sang petualang menghiraukan teriakannya dan melumat leher makhluk itu. Dua.
“GGB?! GOBOGORB!!”
“GRBG!!”
Goblin yang tersergap sekarang berteriak dan berdiri, namun tentu saja, dia telah menduga itu. Dia tidak menyia-nyiakam kesempatannya: dia sudah memegang sepasang belati di kedua tangannya.
“GROOGBG?!”
“GORRG?!”
Salah satu goblin mendapati sebuah pisau yang menembus batang tenggorokannya; dia mengayunkan lengannya seperti sedangbtenggelam dan kemudian tumbang. Tiga.
Alih-alih memperhatikan monster itu mati, sang petualang menarik sebuah tombak dari sabuknya dengan genggaman terbalik dan memberikan tusukan ke belakangnya.
“GOBOOOGOB?!”
Sang goblin, lambst bereaksi karena dia tengah sibuk memukuli sang wanita, mengerang seraya dia tertusuk di punggungnya. Empat.
Tawanan menjerit seraya muncratan darah menghujani kepalanya, namun itu tidaklah penting sekarang.
“GOOOROGOB!!”
Rekan dari goblin yang telah mati kini sedang mengayunkan pentungan yang tampaknya terbuat dari kayu. Menyerang pemimpin dengan sebuah sergapan, merupakan cara yang selalu terbaik, namun itu bukanlah jaminan. Jika dia gagal, maka ini akan menjadi lima melawan satu, dan dia ingin menghindari itu.
Dia telah memilih untuk menyetarakan kemungkinannya walaupun sedikit. Kemudian pertarungan bsru dapat di mulai.
“GOROBG! GGBGOROGB!!”
“Hrr—ah!”
Pentungan menghantam apa yang tampaknya sebuah sisa makanan, mencipratkan pecahan ke segala atah.
Dia melompat ke belakang untuk menghindari, menarik pedang dengan kepanjangan yang aneh dengan tangan kanan.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Ahh... Ugh...”
Di sampingnya adalah seorang wanita yang telah di siksa goblin sebelumnya. Dia berbicara kepada wanita itu, namun jawaban dari wanita itu sangatlah samar dan pelan.
Akan sangat sulit untuk melakukan ini tanpa melibatkan wanita itu. Dia tidak dapat mindur. Hobgoblin dmendekati. Sang petualang menjentikkan lidahnya.
“Hmph.”
“GOROG?!” Monster besar itu mencoba untuk melanjutkan serangannya, namun kemudian dia menjerit. Adalah di karenakan sang petualang telah melempar batang besi oanas yang berada di dekat kakinha.
Makhluk itu berteriak dan meronta, telah benar-benar melupakan tentang apa yang mereka telah lakukan kepada gadis itu dalam beberapa menit terakhir.
Pria berarmor itu, tidak akan melewatkan kesempatan ini, dia mengangkat perisai bundar dan menyerang musuh.
“GROGORO!!”
“Hrrgh...!”
Pentungan menyerang kembali kepadanya; sang petualang mencoba sebisa mungkin utnuk menerimanserangan itu dan mengalihkannya. Dia merasakan tangannya kram di karenakan benturan.
Namun itu tidaklah menjadi masalah lagi. Dia merasakan pedang di tangan kanannya menembus perut hobgoblin, dan kemudian dia mengogaknya.
“GOROGOBOGOBOGOROBG?!” Dengan raungan lantang, hobgoblin itu menjatuhkan pentungannya.
Dengan ini menjadi lima...
“GGBGRO!!”
“Hagh...?!”
Namun dalam sekejap, dia merasakan sebuah tinju besar yang menghantam kepalanya, dan dia terlambunh ke udara. Dia mendarat di sebuah sudut dari ruangan, terjatuh di antara tulang belulang dan sisa makanan—tidak, dia tidak terjatuh, melainkan berguling.
Dia harus melakukannya jika dia ingin menghindari tinju yang kembali menyerang untuk kedua kalinya.
Sang gadis menjerit—mereka telah menjadi mati rasa akan sekeliling mereka namun mereka masih tetap memiliki insting rasa takut—seraya pria itu berdiri, menggelengkan kepalanya.
Dia nggak mati seketika?
Dia tidak menyerang hobgoblin itu di tempat yang vital. Tunggu—dia memiliki hal yang lebih penting untuk di lakukan sekarang.
Dia merasakan sesuatu di dekat kakinya, memaksakan tubuhnya yang sempoyongan, pandangan yang kabur hingga akhirnya dia menemukan sesuatu.
“GBOORGB?!”
Sebuah jeritan. Suara akan tulang yang retak. Dia tidak mengetahui di mana dia menemukannya, namun dia tetap menyerangnya dengan itu.
“Ah.... Hrah!”
“GOROGB?! GBRRG?! GOBOG?! GBBGB?!”
Dia memperpendek jarak, mengangkat senjata, menurunkannya. Lagi. Sekali lagi. Dan kemudian lagi.
Tidak lama kemudian jeritan hobgoblin terhenti, dan ruangan penuh dengan hanya suara remukan sesuatu yang berair.
Akhirnya mpdia menghela napas dan memperhatikan apa yang di genggamnya.
Benda itu mengepulkan asap tipis; ini adalah kepingan batang kayu yang di gunakan goblin untuk menjaga api tetap hidup.
“...Begitu.” Dia melemparkan benda itu kebelakangnya, kemudian menginjakkan salah satu kakinya di atas perut hobgoblin dan menarik pedangnya. Tarikan itu di iringi dengan isi tubuh yang terburai, namun dia kembali menusuk dan menyayat makhlu itu, untuk sekedar memastikan.
Menusuk makhluk itu di perut tidaklah membunuhnya.
Akhirnya, dia mengelap darah dengan kain yang di gunakan goblin, memasukkannya kembali ke dalam sarung pedang, dan bergumam, “Lima...tapi seharusnya mereka lebih banyak dari ini.”
Kemungkinannya, para petualangan yang datang untuk menjelajah tempat ini telah mengurangi jumlah dari para goblin. Kemungkinan itu juga menjadi penyebab party mereka terbantai.
Dia memikirkan kemungkinan itu, menerimanya, kemudian menggelengkan kepala.
Adalah sebuah kisah biasa, namun bukan berarti tidak dapat di hindari. Adalah hanya karena mereka orang-orang yang tidak beruntung, dari segi waktu dan tempat. Mungkin mereka adalah pemula yang kurang akan pengalaman dan pengetahuan, atau mungkin mereka tersandung di tengah pertarungan...
Hanya itu saja, tidak lebih.
Yang semakin menguatkannya agar dia tidak membayangkan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain di karenakan dia selamat. Masternya telah mengajari hal itu lebih dari satu kali, dan di sini dia sangat menyadari bahwa itu adalah hal yang benar.
Itu karena, adalah para goblin yang selalu percaya bahwa mereka adalah yang terbaik dan makhluk terpenting di dunia.
Dia mencamkan hal ini seraya dia mengumpulkan para wanita muda yang bertahan hidup, mengangkat mereka dan meletakkan mereka bagaikan sebuah bsrang bawaan. Dia mengeluarkan sebuah selimut dari tasnya dan beberapa dari hasil jarahan para goblin dan menggunakannya untuk menutupi para wanita.
Dia melakukan itu karena dia tidak mengetahui kondisi fisik mereka, dan sebagian di karenakan mereka tentunya merasa lelah.
Yang hanya dapat mereka lakukan hanyalah tersedu dan terisak; ketika dia melihat bahwa tidak satupun dari mereka yang dapat berbicara, dengan tenang dia menyatakan fakta kepada mereka. “Kalian akan segera dapat pulang.” Dia berkata, dan kemudian setelah beberapa saat, dia menambahkan. “Tunggu sebentar lagi.”
Nggak ada satupun kalimatku yang mempunyai arti untuk menenangkan mereka.
Sekarang menghiraukan isak sedu wanita di belakangnya, dia mulai merogoh instrumen pertarungan para goblin dengan tangannya. Tidaklah lama semenjak penculikan ini bermula, namun dia pernah melihat anak goblin sebelumnya.
Mereka mungkin bersembunyi. Dia telah mempelajari bahwa para goblin sangat cepat dalam berkembang biak.
Di tambah lagi, dia ingin setidaknya membawa kembali kalung peringkat para petualang yang wafat.
“...?”
Di dalam tumpukkan, tangannya menggores sesuatu yang keras. Dia menariknya dan menemukan sebuah cincin permata.
Sebuah cincin pemetaan mungkin?
Nggak, ini bukan itu.
Dia mengelap kotorannya dan melihat batu yang berkilau itu. Dia tidak pernah melihay benda seperti ini sebelumnya. Dan dia memang tidaklah banyak mengetahui benda seperti ini.
Di dalam cincin itu tampak seperti api, membakar dan membara tanpa akhir.
“Hmm.”
Dia melemparnya dengan acuh masuk ke dalam tas dan menghiraukannya.
Dia memiliki hal lain untuk di pikirkan.
Mayat para goblin. Wanita yang di culik. Membawa mereka semua pulang dengan selamat dan membuat laporan.
Setelah itu, terdapat prosedur pengambilan hadiah, menyiapkan perlengkapannya, mencari quest berikutnya, dan membunuh goblin.
Dia menggunakan srmor kulit kotor dan helm baja dengan tanduk yang patah. Dia membawa pedang dengan panjang yang tidak biasa di pinggul dan sebuah perisai bundar di lengan.
Bagi Goblin Slayer, sama seperti para goblin, ini adalah hari yang biasa, buruk dan jelek seperti lainnya.
*****
“Ahh, cuacanya bagus banget!”
Matahari dan langit biru menggantung di atas, Gadis Sapi mengibas kain putih di atas jemuran. Kain itu memberikan suara sentakkan seraya kain itu berkibas.
Dia memasukkan cucian ke dalam ember dengan beberapa abu, menginjaknya hingga bersih, membiarkannya kerinh dan kemudia mengumpulkannya menjadi satu. Proses ini membutuhkan waktu dan upaya, namun dia terkejut, di kala dia memulainya, dia menikmati ini, begitu menikmatinya hingga dia tersenyum sendiri.
Sedangkan untuk pria itu, dia telah mencapai titik di mana dia dapat benar-benar tidur di dalam rumah utama dan bukan di kandang. Itu artinya semakin banyak cucian—mungkin ini adalah alasan mengapa gadis itu menikmatinya.
“🎵”
Gadis Sapi bersenandung sebuah nada kecil seraya dia mengambil benda berikutnya: sebuah baju—baju pria itu. Sang gadis secara diam-diam masuk ke dalam kandang dan mengumpulkan bajunya seraya pria itu pergi. Baju itu penuh akan debu, kotoran, keringat, dan apa yang gadis itu kira adalah darah.
Gadis Sapi tidak dapat membiarkannya begitu saja. Sang gadis terkejut setelah melihat betapa pekatnya air di karenakan kotoran seraya dia membersihkan baju pria itu dengan kakinya. Namun sang gadis memberikan tepukan kuat pada baju itu untuk menghikangkan kerut yang ada dan mengangguk puas.
“Mm, mantap!”
Masih terdapat beberapa noda yang tampak, namun bagian terburuknya telah menghilang. Ini akan cukup. Pria itu memang berbicara kepadanya, seorang gadis, hampir setiap hari. Tentunya tidaklah salah untuk mengharapkannya agar dia sedikit memperhatikan penampilannya.
“Dan lagi ada armornya itu...”
Dia menopang dagu dengan tangannya dan berpikir keras. Armor itu tentunya dangat kotor—paling tidak, itu yang dia pikir—namun entah mengapa pria itu sepertinya tidak akan mau meembersihkannya. Dan sang gadis merasa ragu untuk mengambil armor itu dan mencucinya. Armor itu merupakan bagian dari tugasnya, pekerjaannya, daan itu bukanlah sesuatu yang harus di ganggu oleh sang gadis.
Pekerjaannya...
Gadis Sapi terdiam sesaat di tengah pekerjaannya dan menatap ke langit.
Petualang. Petualang.
Dia merasa begitu dekat akan kata itu, namun juga terasa begitu jauh.
Pria itu melapisi tubuhnya dengan armor dan helm dan menjelajahi gua atau reruntuhan tua di mana dia bertarung melawan monster.
Dari ingatan sang gadis tentang pria itu lima tahun yang lalu, pada hari perkelahian mereka... dan kemudian bocah yang ada dalam ingatan sang gadis muncul di depannya sebagai petualang.
Dalam satu sisi, Gadis Sapi mengerti bahwa salah satu dari bocah itu telah menjadi sesuatu yang lain.
Namun, di sisi lainnya, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah orang yang sama.
“...Sulit juga.” Dia menyisir poninya, terasa lebih ringan setelah dia memotongnya dengan gunting. Pandangannya juga tampak lebih lebar sekarang; dia merasa bahwa dia seperti dapat melihat sesuatu dengan sedikit berbeda sekarang, namun, dia masih tetap tidak dapat menerima semuanya.
“Yah, kurasa itu bukan sesuatu yang harus di khawatirkan... Kan?”
Hmm? Gadis Sapi memiringkan kepalanya terkejut, dia sedang mencoba menggapai cucian berikutnya, namun tangannya hanya meraih udara kosong. Ketika dia menegok, dia menyadari bahwa tidak terdapat apapun lagi di dalam ember.
Hmm. Jadi dia telab membersihkan semua tanpa di sadari.
Ngapain lagi ya?
Dia mengangkat tangan di depan wajah, menyipitkan mata seraya dia menatap matahari. Matahari masih berada tinggi di langit, masih terlalu dini untuk selesai bekerja. Terdapat sapi dan babi dan ayam untuk di rawat, namun mereka tidaklah membutuhkan perawatan yang intensif. Dan walaupun dia mencoba untuk membantu pekerjaan di sekitar kebun sebisa mungkin, pamannya sangat jarang untuk membiarkan dia melakukan sesuatu yang terlalu memakan fisik. Dia mengerti bahwa pamannya cemas akan dirinya, namun hal itu masihlah membuat sang gadis merasa sedikit sedih.
“Hmm.... Oh, aku tahu!” Dia menjentikkan jari dengan canggung. Dia akan membuat makan malam. Itu akan bagus.
Bukanlah sesuatu yang spesial yang memotivasi diringa; hanyalah sebuah pikiran lugu yang melintas. Tetapi bagi Gadis Sapi, hal ini tampak seperti ide yang cemerlang, dan dia mulai berlari jingkrat menuju rumah—
“Uuuppsss, tunggu dulu, tunggu dulu.”
Dia mengambil ember cuci yang hampir dia lupakan, menuangkan airnya agar emeber itu bisa kering. Kemudian berlanjut berlari ke rumah.
Apa yang harus di buat? Apa yang mereka miliki saat ini? Apakah dia dapat memasak dengan baik? Dia sangat mengenal kegemaran pamannya, tetapi...
“Kira-kira dia suka nggak ya...?” dia bergumam, menyentuh bibir dengan jsri.
Kemungkinan itu membuat sang gadis sangat gembira. Dia mengangkat lengannya, bersemangat dan siap untuk pergi.
*****
“Mmaf, tapi aku nggak bisa beli ini dari kamu.”
Pria tua keras kepala menaruh cincin ke atas meja, menatap petualang yang berada di depannya dengan tatapan curiga. “Lagipula, gimana kamu bisa dapat benda seperti ini?”
“Aku mengambilnya.” Goblin Slayer menjawab. Kemudian, seperti setelah berpikir sejenak, dia menambahkan, “Di dalam suatu reruntuhan. Tempat itu sudah menjadi sarang goblin.”
“Goblin, eh...?”
Toko perlengkapan yang menjadi satu dengan Guild sangatlah sibuk hari ini, seperti biasanya. Goblin Slaher telah berjalan sigap masuk ke dalam setelah lewat tengah hsri. Dari kotoran dan bau yang mengiringinya, sangatlah jelas bahwa dia telah kembali dari petualangan.
“Urgh,” keluh seorang petualang dengan tombak, tampak mengenali Goblin Slayer, yang menghiraukannya.
“Aku perlu mengisi persiapanku lagi,” dia mengumumkan.
Sejauh ini, seperti biasa—adalah bagaimana cara dia bertingkah laku semenjak menjadi petualang. Pengerajin ini telah terbiasa sekarang.
Obor, herba, salep, antiracun, ganjal dan beberapa benda kecil lain, pisau, dan perlengkapan bertahan.
Itu daftar belanja seorang ranger atau scout, bukan warrior.
Pria itu bahkan pernah datang sekali dan meminta sebuah busur dan panah. Ketika sang pengerajin bertanya apakah dia mengetahui cara untuk menggunakannya, jawaban yang terdengar adalah “Kurang lebih.”
Pria itu itu telah membuat catatan mental bahwa pengunjung ini sama cermat dengan kegilannya.
Apa yang muncul berikutnya tampak berbeda dari biasanya.
Menggapai ke dalam kantung peralatannya untuk membayar, pria muda ini tampak teringat sesuatu dan mengeluarkan suatu benda yang di pertanyakan.
Cincin.
Sebuah benda lingkaran baja dengan permata yang berkelip seolah terbakar api.
Tidak—tidak seolah terbakar api. Sesuatu di dalam permata ini memang benar terbakar.
“Apa kamu mau membelinya dariku?”
Dia telah meletakkannya di atas meja dengan acuh. Penjaga toko mengambilnya, memeriksa permata dengan sebelah mata dan memperhatikan dengan seksama. Akhirnya dia menggelengkan kepala.
“Maaf, aku nggak bisa beli dari kamu.”
Sang pria tua melipat lengan dan mendengus berpikir, mengetukkan jari di meja dengan berirama.
“Ring itu memang sudah pasti benda sihir, tapi ini berbahaya untuk di tangani sebelum di identifikasi.”
“Apa kamu bisa mengidentifikasinya?”
“Bisa, tapi merepotkan.”
Sang pengerajin menjulurkan lengan dan mengetuk sebuah papan rambu kayu yang menggantung di dekatnya. Dalam beberapa sistem penulisan yang berbeda, tertulis Beli dan Jual Senjata & Zirah. Identifikasi benda—Setengah harga beli. Tulisan itu di iringi dengan berbagai macam gambar untuk lebih memudahkan bagi mereka yang tidak dapat membaca.
“Sekarang beberapa orang pikir itu sama saja perampokan, tapi seseorang patut untuk di bayar atas kemampuannya. Nggak ada diskon.”
“Begitu.” Goblin Slayer terlihat menyedihkan bahkan bagi sang pengerajin, orang yang membuat armornya. Sang petualang tampaknya memahami sangat baik bahwa beberapa orang mengejeknya jorok daan aneh.
Sebuah cincin yang di perkuat akan membutuhkan sebuah harga pasti. Apakah petualang penjelajah dungeon yang masih hijau ini sanggup untuk mmebayarnya...?
“Kamu punya uangnya?”
“Aku punya,” dia menjawab, mengundang suara kagum akan “Ho” dari pengerajin.
“Sudah menabung ya?”
“Ya. Aku menyisihkan hadiah dari pemburuan goblin.”
Pria tua mengangguk. Jika di pikir lagi, dia telah mendengar petualang ini mengambil quest tanpa henti.
“Tapi,” Goblin Slayer menambahkan. “Aku sudah mempunyai rencana untuk uang itu. Kalau harganya terlalu mahal, aku nggak bisa membayarnya.”
“Yah, kamu bisa coba memakainya untuk mencari tahu.”
“Aku telah di ingatkan keras untuk nggak memaakai cincin aneh.”
“Peringatan yang bagus.” Kemudian pengerajin menghela panjang, seolah dia baru saja terpikir sesuatu. “...”Hm, oh ya.”
Pria itu sudah cukup tua sekarang. Dia bisa menunjukkan sedikit kebaikan pada pemuda-pemudi sesekali jika dia menginginkannya.
“Mungkin ada beberapa petualang lain yang dapat mengidentifikasinya. Coba tanya-tanya sekitar, eh?”
“...Petualang lain,” Goblin Slayer bergumam pendek, kemudian dia mengambil cincin itu kembali, melemparnya masuk ke dalam tas, dan mengangguk.
“Aku mengerti.”
“Aku penasaran apa iya kamu mengerti,” sang pria tua berkata di belakangnya seraya petualang itu melangkah keluar ruangan.
Adalah pertanyaan yang sewajarnya—dan benar, terdapat sesuatu tentang pria ini yzng masih belum di mengerti oleh pria tua ini.
Oh, sang petualang sangat mengerti bahwa cincin ini harus di identifikasi terlebih dahulu sebelum dapat di jual, dan dia dapst bertanya kepada petualang lain untuk mengevaluadi cincin itu untuk dirinya. Permasalahannya adalah...
“Hmm.”
Goblin Slayer memasuki ruangan tunggu Guild, memperhatikan semua petualang di sekitarnya. Namun masing-masing dari mereka tampak bersikap seolah Goblin Slayer tidak berada di sana.
Mereka tidaklah juga menghindari pria itu. Namun dia juga tidak mendapatkan tatapan hormat. Melainkan, banyak lirikan mencurigai mengarah pria muda ini di karenakan kebiasaan eksentriknya yang hanya berburu goblin.
Dengan kata lain, dia sama sekali tidak mendapatkan perhatian apapun, seperti petualang pemula lainnya.
Seperti itulah anggapan mereka terhadap dia. Dan itulah masalahnya.
“Identifikasi.”
Siapa di sini yang dapat membantunya dengan tugas ini? Dia sama sekali tidak mengetahui pekerjaan apa yang di miliki petualang lain.
Goblin Slayer mendengus pelan dan duduk di bangku di sudut ruangan tunggu.
Adalah bangku terjauh dari pintu. Jika kamu menginginkan untuk menjadi yang orang pertama dalam mengambil quest, maka ini adalah tempat terburuk, namun dia mengetahui bahwa dia tidak perlu terburu-buru; goblin quest masih akan tetap berada di sana. Dia berpikir akan bagus untuk duduk di sini, di mana dia tidak akan menghalangi petualang lainnya.
Dengan gerakan cepat, Goblin Slayer mengeluarkan cincin kembali dari dalam tasnya dan mengarahkannya pada cahaya jendela. Dia dapat melihat petualang lainnya sedang sibuk dengan urusan mereka di Guild melalui kelipan api di tengah cincin.
Di kanan, di kiri. Melihat pada papan, tertawa dengan teman mereka, pergi ke depan meja resepsionis, melakukan banyak hal lainnya.
Dan kenapa?
Ketika dia memikirkannya, dia tidak dapat menemukan jawaban yang mempunyai arti.
Adalah sesuatu yang berguna, dia akan menggunakannya. Jika dia dapat menjualnya, uang itu akan masuk ke dalam peti perangnya. Dan jika tidak berguna ataupun tidak berharga, dia akan membuangnya.
Itulah yang akan dia lakukan. Tidak ada yang perlu di sesali.
“Um, permisi...”
Tepat pada saat itu sebuah suara bimbang memanggilnya.
“...Ada ada masalah, pak?”
Di depan pria itu, dia melihat seorang pegawai wanita dari Guild, rambutnya terikat kepang dengan rapi. Dia tidak butuh waktu lama untuk meengetahui siapa wanita itu. Wanita itu telah menolongnya beberapa kali.
Adalah Gadis Guild.
“Bukan sesuatu yang penting,” dia berkata dan menunjukkan cincin di tangan kepada gadis itu.
Api yang berkelip di dalam permata mengundang kejut kagum dari Gadis Guild. “Cincin yang cantik sekali. Apakah anda menemukannya di dalam reruntuhan atau semacamnya?”
“Nggak.” Goblin Slayer menggelengkan kepala. “Aku menemukannya di dalam sarang goblin.
“Benarkah...” Gadis Guild tampak tidak begitu yakin hendak berkata apa. Goblin Slayer melirik bertanya kepada gadis itu, dan sang gadis menggelengkan kepalanya, menyebabkan kepangnyz berayun, kemudian tersenyum. “Saya rasa anda memanglah Goblin Slayer.”
“Ya.” Dia mengangguk. “Aku sedang mencari seseorang untuk mengidentifikasi cincin ini.”
“Anda...” Gadis Guild berkedip. “...Tadi mencari?”
“Aku nggak tahu harus bertanya ke siapa.” Dia melempar cincin itu dengan santau kembali ke dalam tasnya, menghela napas pelan seraya melakukannya. “Jadi sekarang, aku memutuskan untuk membuangnya saja.”
“Nggak ada gunanya membawa sesuatu yang nggak bisa kamu pakai.” Dia bergumam, dan ekspresi Gadis Guild semakin bertambah ambigu.
“Apa?” Goblin Slayer mendengus, tidak dapat menerka apa yang di pikirkan gadis itu.
“Oh, uh...” Pundak sang gadis menyentak terkejut, dan dia memainkan rambutnya. “Saya, er... Saya mungkin dapat memperkenalkan anda kepada seseorang.”
*****
“...Jadi, begitu?”
Sang Witch telah datang ke Guild seperti biasanya, namun sekarang dia berkedip, dan melengkungkan alis panjangnyya. Gadis Guild melambai kepada wanita itu untuk mendekstinya. Dan terlebih lagi, di samping Gadis Guild adalah—
“...”
Bibir Witch tersenyum kecil, dan sang Witch melangkah mendekati, pinggul bergoyang. Para petualang di sekitar ruangan mencuri lirik pada tubuh montok wanita itu dan saling berbisik. Namun sang Witch hanya menurunkan topi lebarnya hingga menutupi mata dan tidak membalas tatapan mereka.
Apalah nilai dari sebuah ucapan seseorang yang bahkan tidak memiliki keberanian untuk berbicara bertatap muka dengannya? Dia hampir tampsk menikmsti reaksi ruangan ini seraya diz melangkah, menggelengkan kepalanya perlahan.
“Dan, tentang...apakah ini?” Suaranya tampak begitu mempesona. Dadanya yang besar mengembang setiap kali dia menarik napas. Dia tertawa kecil, kemudian mengucapkan nama pria di depannya seperti anak kecil yang nakal. “Goblin Slayer?”
“Aku punya permintaan.” Pria dengan srmor kulit kotor dan helm bajs yang terlihat murahan terdengar acuh dan blak-blakan. “Apa kamu bisa melakukan identifikasi?”
“Identifikasi...?” Witch tampak tidak dapat memutuskan apa yang pria itu inginkan—atau mungkin Witch sangat mengerti apa yang sedang di tanyakan oleh pria itu, dan itulah yang memprovokasi tatapan tanda tanya dari sang Witch.
Memperhatikan percakapan mereka dari samping, Gadis Guild memberikan tawa tidak nyaman dan, berharap dapat menyelamatkan situasi ini dengan berkata, “Uh, Begini... Teman kami Goblin Slayer, beliau mendapatkan sebuah cincin di dalam reruntuhan.”
“Ah, haa...” Witch menutup matanya sebelum mengangguk. “Jadi...begitu.”
“Benar. Beliau ingin anda untuk memeriksanya...”
Witch menjulurkan lengannya yang kurus dan pucat, mengarah pada pria itu. “Bisakah, aku, melihatnya?”
“Ini.” Goblin Slayer merogoh isi tas dan mengeluarkan cincin.
“Hmm...” Witch mengeluarkan suara kagum. Bahkan Gadis Guild, yang melihat cincin itu untuk kedua kalinya, terbelalak dan menghela, “Wow...”
Lingkaran metal itu berkelip samar. Gadis Guild tidak menyadari sebelumnya akan betapa sederhananya cincin itu. Cincin itu tidak terlihat seperti benda yang mengandung sihir kuat; cincin itu bahkan tidak terlihat bernilai tinggi sebagai kepingan permata. Namun kelipan di dalam ppermats itu entah mengapa menggugah hatinya.
Witch mengambil cincin dengan tangan dan menatapnya dalam cahaya matahari yang masuk melewati jendela. Dia membelainya dengan jari, membalikannya untuk melihat apakah terdapat ukiran di dalamnya.
Tidak lama kemudian, dia menggelengkan kepalanya perlahan.
“Maafkan, aku.” Dia mengembalikan cincin itu berbarengan dengan ucapannya. Goblin Slayer mengambilnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. “Aku, nggak, cukup, yakin, cincin, apa, ini.”
“Begitu.” Tidak terdengar sedikitpun kekecewaan dalam suaranya. Dia hanya berkata tenang, “Maaf sudah merepotkanmu.”
Alih-alih, Gadis Guild lebih merasa kecewa di bandingkan pria itu; Gadis Guild bergumam,” Sayang sekali.”
“Nggak,” Goblin Slayer menggelengkan kepala. “Itu artinya aku harus membuat benda ini.”
Akan tetapi, Witch, belum selesai berbicara. “Tapi, dengar.” Dia menopang tubunnya dengan tongkat, menunjuk cincin yang berada di dalam tas itu. “Benda, itu... Aku, tahu, seseorang...yang, menginginkan, benda, itu.”
“Hmm.” Goblin Slayer mendengus dan meraih ke dalam tasnya sekali lagi. “Kalau begitu, aku akan memberikannya kepadamu.”
“Heh, heh... Tidak, adakah, keserakahan, di dalam, dirimu?”
Hmm, hmm. Terdengar tawaan pelan kembali. Kemudiam Witch memberitahu pria itu di mana untuk mencari orang yang di maksud, semerdu seperti dia melantunkan mantra. Bukanlah sesuatu yang merupakan alamat, melainkan sebuah deskripsi samar akan suatu tempat di sungai luar kota.
“Pergilah...kesana. aku, rasa...dia akan, selalu, berada, di sana, setiap, hari.”
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk. “Itu membantu.”
“Tak, perlu, di, risaukan.” Witch berkata dengan gelengan kepala pelan. “Aku, senang, untuk, melihat...apa, yang, kamu, tunjukkan.” Kemudian Witch tampak seperti mengingat sesuatu dan menambahkan, “Sari, buah, apel... Mungkin, kamu, perlu, membawanya?”
Goblin Slayer memikirkan hal ini untuk beberapa saat, kemudian memiringkan helmnya, menjawab pelan. “Baiklah. Terima kasih. Kamu sudah sangat membantu.”
Dan kemudian dia melangkah sigap menjauh.
Dalam beberapa detik, Gadis Guild tampak terkejut karena telah di tinggalkan secara tiba-tiba, namun tidak lama kemudian dia bergumam, “Oh,” dan tersenyum. Hanya membutuhkan sesaat bagi Gadis Guild, namun Gadis Guild telah menyadari bahwa beberapa kalimat terakhir itu di tujukan kepadanya.
“Tidak sama sekali!” dia berkata kepada punggung pria itu yang menjauh, melambaikan tangannya. Walaupun dia mengetahui bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban.
“Jadi...?” Witch tersenyum pada Gadis Guild layaknya seekor kucing yang bermain dengan tikus.
“Y-ya?” Gadis Guild bertanya. Pundaknya bergetar, menyebabkan senyum Witch semakin lebar.
“Mungkin...kamu, bisa, memberikanku...sesuatu, sebagai, hadiah?”
“Si-siapa, saya?”
Uh-oh. Sekarang Gadis Guild mengernyit khawatir. Apakkah dia menginginkan uang? Gadis Guild masih di gaji sebagai karyawan baru dan dia tidak mempunyai banyak uang cadangan.
“Hei... Apakah, kamu, mengetahui, petualang, manapun...yang, dapat, menggunakan, tombak...?”
“Huh?” Gadis Guild, bingung dan berkedip. Setelah beberapa saat berpikir, dia berkata, “Oh, iya.” Ya, dia mengetahui seseorang seperti itu. Seorang petualang baru yang tangguh. Bahkan, wanita itu sudah pernah bekerja sama dengan pria itu sebelumnya.
“Yang, bertarung, dengan...kelabang, itu... Dia, sering...memintaku, untuk, bekerja, dengannya...sementara. Tapi...”
Wanita itu cukup akrab dengan pria itu. Mereka dapat berdebat satu sama lainnya. Mungkin tidak salah untuk menyebut mereka sebagai teman.
Tapi, Witch berkata pelan seperti bisikan, suaranya pelan dan bimbang.
Witch ingin membentuk party yang sesungguhnya dengan pria itu...
Gadis Guild tertawa kecil; Witch terlihat begitu muda dan polos saat meminta permohonan ini dengan malu.
“Tentu saja. Serahkan pada saya!”
*****
Goblin Slayer telah di beritahu bahwa dia akan segera mengetahuinya ketika melihatnya, dan itu adalah benar.
Setelah beberapa saat berjalan di jalanan, kendi sari buah apel yang di beli pada rumah makan bergantung di sebelah tangannya.
Yang di mana biasanya dia akan pergi menuju kebun pada malam hari, kali ini, dia pergi berlawanan arah, hingga dia mencapai pinggiran kota. Kemudian dia menemukan apa yang mungkin lebih tepat di sebut sebagai gubuk.
Roda air berdecit di sungai dekatnya, dan asap mengepul dari cerobong bangunan kecil ini. Bangunan ini lebih kokoh di bandingkan gubuk biasa, namun terlalu sederhana untuk di sebuk sebuah rumah.
Jadi memang gubuk.
Ketika dia mencapai kesimpulan ini, Goblin Slayer telah berdiri di depan pintu usang. Hanya pengetuk pintu yang bersinar terang, seolah pengetuk itu adalah baru; pengetuk itu terlihat begitu janggal pada bangunan ini.
Aku harus mempelajari dengan seksama geografi wilayah sekitar sini.
Terbesit di pikirannya akan betapa kecilnya dia mengetahui apa yang terdapat di daerah sekitar kota. Dia seharusnya dapat mengingat detil ini di dalam kepalanya. Namun dia tidak mengetahui tentang gubuk ini, sampai detik ini.
Menelan kekesalan terhadap dirinya sendiri, dia mengayunkan ketukan itu.
“Permisi,” dia memanggil kepada siapapun yang berada di dalam. “Aku mempunyai sesuatu yang ingin aku identifikasi.”
Tidak ada jawaban.
Dia berdiri di depan pintu selama beberapa detik lagi.
Masih tidak ada jawaban. Goblin Slayer, masih berdiri di sana, mendengus pelan. Dia yakin bahwa penghuni tempat ini berada di dalam. Jika Witch tidak memberi tahu dirinya, asap dari cerobong itu akan memberi tahu pria ini.
Tidak menerima jawaban dari seseorang yang tidak berada di rumah merupakan cerita yang berbeda; namun jika wanita itu tidak ingin menjawab walaupun dia berada di dalam rumah, maka tidak akan ada gunanya untuk datang kembali kemari di waktu yang lain.
Dia mengetuk kembali, kali ini dengan lebih kuat.
“Permisi. Aku mempunyai sesuatu yang ingin aku identifikasi.”
Kali ini, sebuah suara datang dari dalam: “Oh, nggak terkunci kok. Masuk saja.”
Undangan itu terkesan acuh, namun Goblin Slayer tidak mempedulikannya seraya dia membuka pintu. Keacuhan itu tidaklah berbeda dengan sikap pria ini. Dia merasa bahwa dia perlu bersyukur karena wanita itu telah membalasnya.
Di dalam rumah kecil ini—yah, hal pertama yang harus dia putuskan adalah di mana dia harus berpijak. Tempat ini, bisa di bilang, terkubur. Tumpukan buku tua dan mainan anak kecil—atau mungkin itu hanyalah sampah?—bergelimpangan di segala penjuru. Piring-piring tampak penuh dengan berbagai macam makanan sisa.
Sepasang puputan kembang-kempis di atas perapian dengan decitan metalik; sebuah tali di gantung di atas langit-langit, dan cucian tergantung di tali itu.
Sejauh mana seseorang dapat memasuki ruangan ini di antara kecilnya ruang piajk, sebuah bayangan bertumpu di atas meja, menggeliat. Ketika pria itu semakin mendekat—bergerak perlahan, berhati-hati, agar tidak menabrak apapun—dia akhirnya menyadari bahwa sosok itu adalah seseorang.
Adalah seseorang yang tampak seperti wizard, walaupun pakaiannya penuh akan jahitan tambal dari atas hingga ke bawah. Terdapat sesuatu di atas meja di depannya. “Nggak, bukan seperti itu,” sang wizard bergumam. “Nggak, bukan begitu juga.”
Kartu.
Kartu dengan warna dan berbagai macam gambsr—sang wizard akan menumpuk kartu itu yang hanya berujung di hamburkannya lagi dan kemudian mengocok ulang kartu itu.
Sosoknya otu tampak seperti tidak menyadari Goblin Slayer berdiri di belakangnya. Pria itu memperhatikan wanita ini dalam beberapa saat, dan kemudian, ketika wanita itu todak mengatakan apapun, dia berbicara pelan. “Aku ingin identifikasi sebuah cincin.”
“Hmmm...? Oh, cincin? Oh yeah? Begitu? Cincin...”
Suara itu terdengar muda, bernada lebih tinggi dari yang dia perkirakan, namun tetap saja, suara itu terdengar seperti tidak tertarik. Sang wizard terus melanjutkan menggerakan kartu di tangannya, bergumam sesuatu.
“Cincin?!”
Tiba-tiba, penyihir itu melonjak berdiri, dan kartupun berterbangan layaknya sebuah badai salju yang menerpa kartu itu. Pada saat yang sama, tudung yang menutupi kepala sang wizard terlepas dengan kibasan.
Rambut emas pucat, sepanjang kurang lebih pundak tergerai keluar.
“Jangan bilang kamu nggak menemukan Spark kan?” Wizard yang menggenggam armor dada pria itu adalah wanita.
Jadi dia wanita.
Di balik pelindung helmnya, Goblin Slayer berkedip.
Rambut wizard itu berantakan, acak-acakan kesana dan kemari—mungkin dia tidak pernah menyisirnya, atau mungkin menyisir rambutnya tidak akan mengubah apapun.
Dengan cepat wanita itu mengacak rambutnya, mengeluarkan sebuah aroma yang cukup wangi.
Dari jarak ini, dia dapat melihat mata wanita itu, yang tampak berwarna hijau. Namun mata wanita itu terdistrosi oleh kacamatanya, dan warna matanya tampak menjadi sedikit berbeda.
Sebuah lapisan pakaian luat terbuat dari bulu dari seekor binatang yang tidak dapat dia ketahui hingga mencapai lutut wanita itu. Goblin Slayer tifak mengetahui apakah pakaian itu memang sengaja di buat pendek, atau wizard ini memang tidak peduli apakah pakaiannya mudat atau tidak. Ketika dia melapisi keseluruhan pakaiannya dengan jubah, voila—sangatlah cukupnuntuk menyembunyikan jenis kelaminnya.
“Nggak, tunggu, kita nggak boleh mengambil kesimpulan terlalu cepat!” sang wizard menegur dirinya sendiri. “Pertama, coba aku lihat cincinnya!” Dan kemudian wanita itu bergerak menjauh kembali, meninggalkan Goblin Slayer berdiri di tempat, bingung.
“...” Goblin Slayer todak mengetahui apa yang harus di katakan, namun dia telah datang kemari karena dia ingin menunjukkan cincin kepada wanita ini. Goblin Slayer memberikan benda yang di pertanyakan; dan benar, cincin itu berkelip samar di ruangan redup ini. Walaupun sekarang tengah hari, rumah ini begitu remang di karenakan buku yang tertumpuk begitu tinggi hingga menghalangi jendela. Hanya terdapat cukup cahaya untuk sekedar menyinari debu yang mengambang di dalam ruangan.
“Ini dia.”
“Ha-ha...! Yang benar? Mana... Sini, biar aku lihat.”
Wizard itu sama sekali tidak mempedulikan sopan santun, mendesak pria itu layaknya anak kecil yang tidak sabaran. Kemudian dia mengambil cincin itu.
Dia membuka matanya lebar seraya dia memeriksa benda berkelip itu, mempelajarinya dengan seksama. Dia tampak dia begitu memahami apa cahaya itu, namun dia terlihat seperti anak kecil yang melihat pelangi pertamanya.
Pada akhirnya, bibirnya bergerak seolah dia akan memberikan ciuman; wanita itu bergumam satu kata, dan kemudian dua.
Ketika dia melakukannya, cincin di telapak tangannya yang putih mulai memproyeksikan lingkaran cahaya putih samar, dan kemudian kelipan pada cincin itu tampak bertambah. Dercak kkecil akan cahaya terbang dari dalam layaknya kembang api kecil, melompat dan menghilang seperti bintang jatuh.
Dan benar, itu adalah percikan.
Tidak lama kemudian, percikan itu terdiam kembali, tenggelam masuk ke dalam permata di tengah cincin.
Sang wanita memperhatikan semua ini, kemudian menggosok kedua matanya, mengangguk dan mengeluarkan suara senang.
“...Di mana kamu dapat ini?”
“Sarang goblin.”
“Goblin yang punya? Goblin?!”
“Benar.” Goblin Slayer mengangguk. “Cincin ini berada di antara sampah dekat ruang tidur mereka.”
“Ha... Ha-ha! Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha!”
Dalam sekejap, semua keseriusan lenyap dari ekspresi wanita itu; dia menepuk lututnya, tertawa terbahak-bahak, berguling-guling di lantai. Dia memeluk perutnya, kemudian mulai memukul meja di karenakan kegirangannya.
“Ohhh, ha-ha-ha! Yang—yang benar? Itu baru sesuatu yang tidak pernah ku bayangkan!”
“...”
“Dan orang-orang berpikir kalau cincin sihir yang kamu temukan di gua adalah benda yang paling busuk!”
Benar. Goblin Slayer mengangguk. Dia mengingat masternya mengatakan hal yang serupa.
“Oops,” Wanita itu berkata, menggapai tumpukkan sampah di atas meja yang tampak akan terjatuh di karenakan getaran dari tepukan dan teriakan wanita itu.
Goblin Slayer menunggu, namun jawaban yang dia tunggu tidak kunjung datang, karena itu dia segera bertanya.
“Katakan padaki, apa efek dari cincin ini?”
“Nggak terlalu berguna, untuk kebanyakan orang.” Sang wizard menjawab. Dia duduk dengan bergaya di atas kursinya, melipat kakinya. Ototnya tampak kuat dan kencang, walaupun wanita ini seperti tidak begitu banyak keluar. “Tapi, secara pribadi, aku menganggap ini sangat berharga.”
“Dan bagaimana denganku?”
“Nggak tahu. Ini cincin Breath loh? Cincin ini membuatmu dapat bernapas di manapun. Benar-benar di manapun.”
“Hmm.”
“Gimana menurutmu?” ujung bibir wanita itu bersemi menjadi senyuman seperti laba-laba yang menenun jaringnya. “Kamu berminat buat jual ke aku?” Dia mencondongkan tubuhnya ke depan hingga begitu dekat, seolah dia hendak memberikan ciuman pada helm Goblin Slayer. “Aku akan membayar dengan apapun loh. Bahkan—“ Terdapat senyuman lagi. “Aku akan melakukan apapun, untuk ini.”
Sebuah aroma yang tidak biasa mengambang di udara. Aroma itu bukanlah alkohol. Mungkin semacam herba, dia menerka.
Goblin Slayer mendengus pelan. “Kalau begitu, kamu mau memberikan sesuatu selain uang?”
“Pastinya.”
“Begitu.”
Wanita itu mengangguk kepadanya, bersiap untuk apa yang akan pria itu minta. Goblin Slayer mengangguk tanpa ragu.
“Aku mau sesuatu yang dapat membantuku membunuh goblin.”
“........Huh?” sang wizard berkedip, dan kemudian, tampak seperti tidak dapat menahan dirinya, kembali tertawa terbahak-bahak lagi. “Hhh—ggh... Hkhk... B-bwa! Go-goblin?! Goblin, kamu bilang!”
Di bawah tekanan semua teriakan ini, benda di atas meja akhirnya terjatuh.
Wizard terjatuh dari kursinya, tubuhnya meliuk dengan tawaan, air matanya mengalir.
“Hah—he-he.... Hoo, hkhkhk... Benar-be— Benar-be-...!”
Dadanya yang ranum memantul seraya dia terkesiap.
Goblin Slayer menunggu wanita itu hingga dia menjadi tenang, kemudian seolah dia baru teringat, dia menambahkan, “Aku juga akan memberikanmu sari buah apel.”
“Am...am...a-ampuuuuunnn...!”
Wanita itu memukul meja beberapa kali lagi, yang membuat kartu di atas meja tersebar ke segala arah.
Dengan itu Goblin Slayer berhadapan dengan seorang wanita yang tertawa terbahak-bahak di atas lantai, di kelilingi dengan kabut debu yang tebal.
Seperti itulah pertemuannya dengan seorang magus elektrik, Arc Mage.
3 Comments
“Jadi sekarang, aku memutuskan untuk membuangnya saja.”
BalasHapusKalo priestess denger ini. Dia bakal ngomel-ngomel 😂
terimakasih terjemahannya
Wah cepat sekali dah ke baca sampai sini mas. Hehehe...
HapusTerima kasih kembali mas.
Kalo hobi emang cepet. beda ceritanya kalo baca pelajaran 😂
HapusPosting Komentar