MEREKA YANG TIDAK DAPAT PULANG DIKARENAKAN PETA YANG TIDAK RAMPUNG
(Translator : Zerard)
“Eeeeeeeek!!”
Jeritan bernada tinggi seorang wanita yang bergema di keseluruhan tambang yang di tinggalkan, di iringi dengan hantaman dan teriakan yang teredam.
Kaki sang gadis yang di tegakkan ke atas telah menghantam goblin tepat di rahangnya. Iblis kecil itu terjatuh di lantai, memuntahkan darah: tidak di ragukan, sebuah serangan kritikal.
Seperti itulah goblin. Tidaklah perlu sebuah senjata spesial atau kemampuan untuk membunuh mereka.
“Kenapa sih ada goblin yang tinggal di tambang yang di tinggalkan seperti ini?” Gadis seni bela diri bertanya, enggan menurunkan kakinya.
Sang warrior muda mengernyit. “...Aku dengar dulunya ada pertarungan di daerah timur. Mungkin mereka berasal dari sana.”
“Huh? Melewati daerah tengah? Merepotkan sekali menurutku.”
“Kalau berjalan di bawah tanah, kamu bisa pergi ke arah manapun.” Sang warrior muda berkata, mencoba untuk melenyapkan ingatan buruk. Dia melepas genggamannya pada pedang, yang tidak perlu dia tarik.
“Masuk akal,” sang gadis menambahkan, terkesan. Sang warrior tidak ingin menyerahkan semua pertarungan pada gadis itu, namun saat itu tidaklah begitu banyak pilihan. Sangatlah sulit untuk mengawasi semua orang dari baris depan formasi. Namun jika dia berada di baris kedua atau ketiga maka senjatanya tidak akan dapat mencapai musuh.
Mungkin aku harus menggunakan tombak seperti seseorang yang aku kenal...
Seraya dia mempertimbangkan kemungkinan itu, Warrior Muda berputar mengarah pria yang ada di belakangnya. “Gimana menurutmu Professor?”
“Hmmm,” pria yang mereka panggil Professor menjawab dengan suara yang terdengar acuh. Jika seseorang mengangkat tudung jubahnya, sebuah wajah yang seperti serigala akan dapat terlihat. Dia adalah seorang padfoot wizard, mendekati usia paruh baya—menandakan bahwa dia telah menanggalkan kehidupannya sebagai pengajar untuk mengejar mimpinya berpetualang. Taring terppar, dia melanjutkan, “Semua debu ini masuk ke hidungku, membuat hidungku tidak dapat bekerja seperti yang seharusnya. Dan semua percabangan jalan ini membuat pemetaan menjadi sulit.”
“Kita cuma perlu tampilan kasarnya saja. Kita di sini bukan untuk survei resmi atau lainnya.”
Baik, baik. Sang padfoot wizard mengangguk dan mulai menggambsr pada kertas kulit domba.
Aku membuat pilihan yang benar, memilih dia sebagi kartografer kita. Pikir Warrior Muda, terkesan oleh sikap tenang pria itu. Kemampuan pria itu sangat di butuhkan untuk mengambil hadiah yang di tawarkan dari quest ini, dan lagipula, kemampuan untuk tetap berkepala dingin akan selalu berharga. Dia memancarkan kepercayaan diri yang jauh lebih tinggi di bandingkan pembaca mantra berkepala panas yang rentan untuk menembakkan sihir dengan sedikitnya provokasi. Namun kemudian di sana terdapat—
“—? Ada apa?” sang wanita muda melihat kepadanya dengan bingung, rambut panjang wanita itu menggantung ke bawah. Walaupun dia bukanlah pemicunya, adalah sisa dua anggota lainnya yang bermasalah.
“Heeei, sepertinya jalan ini masih terus berlanjut ke sini!”
“Kamu sama sekali nggak tahu seberapa kerasnya aku berusaha menjaga gadis muda ini agar nggak pergi terlalu jauh ke depan.”
Dari kegelapan muncul seorang gadis dwarf, begitu muda membuat jenggot gadis itu masih belum tumbuh, dan seorang bocah elf.
Yah, tidaklah begitu mudah untuk mengetahui seberapa tua mereka. Sang dwarf mengnggap dirinya sebagai seorang scout-dalam-pelatihan; sang elf adalah seseorang yang mempunyai kepercayaannya dalam Ibunda Bumi. Hanya itu yang di ketahui Warrior Muda tentang mereka, dan untuk saat ini, adalah yang hanya dia perlu ketahui.
“Apaaa?! Kita hampir sama sekali nggak membuat kemajuan sebelum kamu bilang, ayo putar balik, ayo kembli, ooh, aku takut banget!”
“Seriuslah. Asal tahu saha kami memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dari dwarf.”
Warrior Muda telah mengirim mereka duluan di karenakan mereka berdua dapat melihat di kegelapan, namun misi pengintaian mereka dengan cepat telah menjadi seperti ini. Warrior muda menepuk wajah dengan tangannya.
Syukurlah mereka akur satu sama lain.
Dia memikirkan mantan—dia benci untuk mengatakan gugur—rekannya. Sekarang dia menyadari akan betapa kerasnya upaya monk itu untuk memimpin mereka. Dia harus meminta maaf kepadanya suatu hari nanti.
“Senang melihat kalian menjadi teman yang baik,” Martial Artist berkata dengan senyum lebar. Tampaknya Warrior Muda tidak dapat mengharapkan selaan dari padfoot wizard yang tampak terheran juga.
“Maaf,” sang warrior berkata, menjaga sikap tenangnya, “tapi aku meminta kalian untuk mengintai ke depan, bukan untuk berdebat.”
“Hmph!” sang dwarf wanita menggembungkan pipinyam sementara elf priest menyeringai menang.
“Dang aku meminta kamu untuk pergi bersamanya, bukan untuk membiarkan dia memancingmu untuk berkelahi.”
“...Hrmm.” Elf Acolyte mencoba untuk tetap tersenyum, namun gadis dwarf kini melotot kepadanya.
“Tuh kamu sendiri juga kena marah,” dia berkata.
“Siapa yang kena marah? Kamu yang mulai kok.”
“Ucapan dari orang yang kehilangan segalanya dari judi, menerima sedekah dari biarawati, dan sekarang memeluk agama.”
“Hrgh?!”
Bisa di bilang ini adalah serangan kritikal.
Sang dwarf yang di besarkan dalam lingkungan militer, mengetahui cara membawa dirinya sendiri di dalam perdebatan, dan jika dia kalah dalam wasasan dengan elf itu, maka tentunya sang dwarf akan mengalahkan elf itu dalam pengalaman.
Sang elf terdiam seraya dwarf terbahak-bahak di sampingnya; sang warrior memutuskan bahwa ini sudah cukup untuk saat ini dan sekarang bersiap untuk bergerak.
“Oke, berbaris dan masuk lebih dalam. Kita harus melaporkan kemunculan goblin cepat atau lambat, tapi...”
“Petanya belum selesai ya?” fighter berambut silver bertanya.
“Benar,” sang warrior menjawab, dan kemudian, dia memulai mengambil langkah semakin masuk ke dalam tambang. Yang di mana...
“...Wah, ini tidak bagus sekali. Bau yang sangat menyengat.” Tiba-tiba Professor mendengus.
Young Warrior dengan sekejap meraih pedang dengan tangannya. “Kalian pasangan sejoli jaga Professor. Aku dan si gadis akan berada di depan. Professor, siapkan sihirmu.”
“Ap? Ap?”
“Hei, siapa yang sejoli...?!”
Martial Artist tampak begitu bingung, dan elf tampak kesal, namun Young Warrior menghiraukan mereka, memfokuskan mata kepada kegelapan di depan, memasang telinga untuk mendengar.
Hal pertama yang dia deteksi adalah banyaknya langkah kaki. Kemudian datanglah aroma tidak sedap. Dan akhirnya, mata yang bercahaya samar di kegelapan.
Apa yang harus ku lakukan dengan helm ini?
Terdapat banyak musuh. Di dalam pertarungan sempit, bukankah sangat buruk jika komandan tidak dapat mengamati keseluruhan medan?
Setelah pertimbangan singkat akan helm yang menggantung di belakangnya, dia melempar perlengkapannya menjauh, walaupun untuk alasan yang berbeda dari sebelumnya.
“Seharusnya bawa helm mangkok...”
“Goblin, dan...sesuatu yang sangat besar!”
Makhluk berkulit hijau membanjiri dari kegelapan.
“GOORRBGG...”
“GOROB! GGBBRROG!”
Empat, tidak, lima dari mereka. Mereka memiliki senjata asal jadi di tangan. Itu bagus. Namun tidak bagus, tapi bagus.
“GBRRRRR!”
Dan terdapat makhluk yang memimpin barisan kecil mereka, seekor raksasa yang hampir setinggi langit-langit tambang ini. Dengan pentungan di tangan, mengayun tanpa pikir panjang. Merupakan pemandangan yang sangat mengintimidasi.
Young Warrior mengenalinya. Dia tidak pernah melihatnya sekalipun, namun dia pernah mendengar tentang mereka dari mantan partynya, walaupun secara singkat.
“Hob!”
“Yah, singkatnya, itu adalah giant dalam lidah kuno.” Sang padfoot wizard berkata acuh. Mungkin sang warrior tidak seharusnya terkejut melihat sang Professor mulai membentuk segel di tangannya.
“Dia memiliki aroma racun,” Elf Acolyte berkata. “Kurasa itu akan menjadintugasku untuk menetralisinya.”
“Mengingat itu satu-satunya keajaiban yang kamu miliki, yeah itu sudah seharusnya.” Sang dwarf meledek.
“Hmph. Ini bukan waktunya untuk berbicara.”
“Terserah kamu.” Sang gadis dwarf menarik sesuatu yang tampak seperti salib di antara gunting kebun dan belati dan dia memegangnya secara terbalik. Dia memahami bahwa akan menjadi tanggung jawabnya untuk melindungi pembaca mantra mereka. Young Warrior mengangguk.
“Armorku yang paling tebal,” dia berkata, “jadi aku akan menangani goblin. Senjata beracun mereka berkemungkinan kecil untuk menembus armorku. Dan kamu—“
“Lawan yang besar! Siap!” Martial Artist berteriak semangat. Seraya dia melesat ke depan mengarah musuh, pertarungan di mulai.
“GRRORB!”
“GBR!!”
Adalah goblin yang mereka hadapi. Young Warrior memberikan lirikan pada kedua sisinya, mencemaskam kemungkinan musuh akan menembus dinding (kenangan buruk), kemudian dia maju.
Mencoba untuk mengayunkan pedang dua tangan seperti orang gila tidak akan membuahkan hasil di tempat sempit seperti ini, tetapi...
“Hrr—aagghh!”
Dia memberikan ayunan panjang menyamping dengan pedangnya. Terowongan ini hampir tidak dapat mengakomodasi gerakannya, ujung pedang menggesek di dinding.
“GOOBR?!”
Pada saat yang sama, sebuah belati berkelip memantul dari pedangnya. Seekor goblin terhuyung ke belakang.
Jadi memang beracun ya?
Namun semua masih terkendali. Sang warrior menjilat bibirnya, kering di karenakan kecemasan akan pertarungan, dan menggiring pedang ke tengah tubuhnya.
Provokasi, tangkis, dan ketika dia cukup dekat, lancarkan serangan akan kesempatan.
Tugasnya adalah sebagai tank. Jantung dari serangan mereka akan bertumpu pada wanita muda itu yang saat ini menembus barisan musuh, melejit menuju jantung musuh layaknya sebuah panah.
“GGGBBORG!!”
Tentu saja, tidak ada satupun monster yaNg akan diam saja melihat satu orang gadis tidak bersenjata yang menyerang mereka.
Monster ini mendenguskan napas, mengangkat pentungannya hingga menggesek langit-langit tambang sempit ini, kemudian menurunkannya dengan kekuatan yang mematikan.
“Yah!” Martial Artist memutar tubuhnya menjauh dari lintasan senjata itu. Rambutnya berputar dan mengambang di karenakan tekanan udara. “Hiii-yah!”
Kemudian dia menurunkan pinggul hingga rendah dan mendorong krpal tangan ke depan. Terdengar sebuah dengingan, seperti suara lonceng besar.
“GOOB?!”
Riak menyebar di keseluruhan perut busuk nan hina Hobgoblin, dan raksasa itu terhuyung ke belakang.
Namun hanya itu saja. Goblin besar itu melihat mengarah perutnya dengan terheran, kemudian dia menyeringai lebar.
“GGGGG...!”
“Aduh, apa-apaan ini? Makhluk itu lembek banget!”
Lapisan tebal akan lemak berperan sebagai armor itu sendiri, melindungi makhluk itu dari mara bahaya. Seraya gadis itu mempelajari fakta ini.
“Jangan lengah—lanjutkan!”
“GOOROGB?!”
Sang warrior mengalihkan serangan goblin ke samping, pedangnya pada posisi miring, kemudian dengan segera melancarkan sebuah sayatan, mendaratkan korban pertamanya. Dia menendang mayat itu menjauh seraya dia berteriak kepada Martial Artist, yang menjawab, “Oke!”
“Ahh... Hup!” sebuah dart datang terbang dari belakang Young Warrior, memanfaatkan kesempatan menyerang yang dia buat.
“GBRO?!” Seekor goblin berteriak ketika dart itu terbenam di tangannya, membuat Young Warrior mendapatkan waktu untuk mengambil kuda-kudanya kembali.
“Heh-Heh-heh! Trik panah ini menyenangkan juga,” Elf Acolyte berkata. Dia tengah memegang sebuah senjata dart berpegas.
Gadis Dwarf, berdiri di sampingnya dengan belati di tangan, menggerutu, “Apa yang terjadi dengan ajaran Ibunda Bumi?”
“Jangan ngolok. Ini senjata minimalist, murni untuk perlindungan diri.”
Hal ini menjelaskan mengapa sang elf tidak memiliki uang. Sang warrior menyeringai, kemudian menebas goblin lainnya.
“GOOBORG?!”
Dengan ini menjadi dua. Mengisi kembali mainan kecil sang elf akan memakan waktu.
Adalah kehadiran dan perlindungan Dwarf Scout yang membuat sang elf dapat berdiri dan menembak. Bahkan, gadis itu telah melindungi tiga orang ini di barisan belakang. Young Warrior percaya bahwa dia dapat mempercayai gadis itu dalam hal ini.
Dia fokus ke depan dan melihat pertarungan di antara Martial Artist dan Hobgoblin yang masing berlangsung.
“Hrr—hah!”
“GOOOG! GOROBG!!”
Namun merupakan hal yang sudah seperti biasa akan terjadi dalam pertarungan gadis ini.
Mungkingadis itu terlalu antusias. Mungkin dia salah dalam menjaga jarak. Apapun itu, hobgoblin menangkap kaki gadis itu dan menghentikannya di tempat.
“Hrk?! Ahh?!”
“GOROGB! GOOOOGBRGR!!”
Ekspresi hobgoblin mengernyit mengerikan, sementara wajah Martial Artist di lingkupi rasa takut.
Apakah makhluk ini akan menghancurkan kakinya atau akan mengayunkannya hingga dia tidak berdaya? Goblin memiliki kekejaman seorang anak kecil.
“Professor!”
“Arma...Fugio...Amittimus! Senjata, lepas dan lenyaplah!”
Dan kemudian, dia berpikir bahwa membuat padfoot berkepala dingin ini unntuk berdiri di baris belakang adalah sebuah pilihan jenius. Wizard tua ini sudah melantunkan mantra yang tepat bahkan sebelum Young Warrior memintanya.
Kata akan kekuatan sejati terlepas dengan rapalan ini dan menyerang Hobgoblin.
“?!”
“...!”
Hal pertama yang di hasilkan oleh mantra Fumble adalah melontarkan pentungan dari tangan goblin.
Sekarang mata Martial Artist bersinar. Kakinya menggeliat di dalam genggaman makhluk itu.
“HIIIIIIIII-YAH!” Dengan jeritan layaknya burung pemangsa, dia mendorong tangan musuh dan melancarkan tendangan terbang. Dia mendekat, menghancurkan wajah hobgoblin.
“GBORG?!” Teriakan itu hampir tidak dapat terdengar di balik suara tulang yang retak. Darah mengucur dari hidung patah monster itu, dan makhluk itupun terjatuh di tanah tanpa di ikuti suara lainnya.
Professor kemudian menjelaskan bahkan kemungkinan terbesarnya adalah kepingan tulang telah menembus otak makhluk itu.
Itu baru serangan kritikal.
“Hup... Ah... Aduh, tadi nyaris banget...!” Martial Artist mendarat dengan terhuyung, memegang dadanya lega.
Young Warrior menghela napas dalam, dan berkata, “Bagus,” dan kembali menghadapi goblin yang ada di depannya.
“GOBORG?!”
“GRG?! GOOBG?!”
Tersisa tiga dari mereka, dan pemimpin mereka telah mati.
Kita dapat melalui ini semua tanpa penjelesan lebih lanjut; party mereka menghabisi para monster tanpa tersisa satupun.
Sekarang,
Dengan pertarungan yang telah usai, yang tersisa hanyalah menjarah bsrang posesi para goblin.
“Ahem, coba kita lihat. Bukannya aku berharap para goblin punya sesuatu yang istimewa sih, tapi...”
Adalah tentu saja, Dwarf Scout yang merogoh, menyeringai mengarah mayat. Young Warrior tercengang melihag betapa lihainya jari besar gadis itu. Namun dia mempunyai hal lain untuk di khawatirkan.
Dia merogoh barang bawaannya untuk mencari kantung air. Ketika dia menemukannua, dia menoleh kepada padfoot wizard.
“Silahkan, kalian berdua.” Makhluk tua menjawab. “Aku nggak keberatan. Kecantikan sebelum umur!”
“Terima kasih.”
Pria muda melangkah sedikit ke bawah terowongan di mana gadis itu duduk di sebuah sudut. Seraya dia mendekat, sang gadis mendengak menatapnya dengan ekspresi riang namun tegang; gadis itu tampak bimbang.
“...Ini.” Alih-alih mengutarakan hal ini, pria itu duduk di samping sang gadis dan menawarkan air.
“...Terima kasih, aku minta sedikit.”
Gadis martial artist mencoba mengambil kantung itu, namun tangannya gemetar begitu hebat. Apakah saraf? Terror?
“Aduh, uh... Petualang itu, lebih... lebih...”
“Lebih mengerikan dari yang kamu kira kan?”
“...Aku kira aku akan mati tadi,” dia berbisik. Kemudian berhasil meneguk dua kali sebelum menutup kantung itu.
“Yeah, tadi memang mengerikan.” Young Warrior mengangguk, membiarkan kantung air yang dis erahkan gadis itu jatuh ke tangannya. “Aku juga takut. Tapi yah, kurasa itu lebih baik dari pada nggak merasa takut sama sekali.”
“...Begitu?”
“Kalau kamu nggak takut. Aku rasa itu sama saja kamu pergi menjemput kematianmu sendiri.”
Tentu saja, terkadang kamu tetap mati walaupun merasa takut.
Percakapan kecil mereka telah memprovokasi sebuah “Apa-apaan sih?” dari Martial Artist. Senyum gadis itu terlihat di paksa, namun dia tetaplah tersenyum.
“Takut karena segerombolan goblin. Nggak bisa pamer lagi sudah aku ya?” Terdengar nada kekecewaan, bahkan jijik, dalam suara gadis itu. “Dan di sini aku sudah bilang sama papa mama-ku kalau aku akan pergi ke dunia dan menjadi kaya.”
“Kamu pikir takut terbirit-birit sama Rock Eater itu lebih baik?”
“Rock apa?” dia memiringkam kepalanya bingung, rambut silvernya tergerai ke bawah. Lupakan saja, pria itu setengah tersenyum dan menggelengkan kepala.
Adalah sangat berbeda. Berbeda dari gadis itu. Berbeda dari party sebelumnya.
“Pokoknya, nggak semua hal berjalan lancar untuk pertama kali. Selama kamu hidup, kamu akan mendapatkan kesempatan lainnya.”
“...Benar.”
Karena hal ini terasa begitu berbeda, Young Warrior tidak yakin apakah ucapannya dapat menenangkan gadis itu. Mungkin itu hanyalah sesuatu yang dia harapkan seseorang akan ucapkan kepadanya.
Sang gadis mengangguk, pendek namun tegas, dan tak di sangka, hal itu membuat Young Warrior...senang.
“Hei, hob ini punya surat! Tapi aku nggak bisa baca sih!”
“Ah, para dwarf, kecerdasannya sama dengan tinggi mereka. Kasih kesini... Hmph, sudah ku duga. Jadi begitu ceritanya.”
“Kalau aku nggak bisa membacanya, mustahil kamu bisa—iya kan?!”
Di balik hobgoblin, sang elf dan dwarf sedang berdebat ribut. Wizard tua, sebuah senyum sendu pada wajahnya, bergerak mendekati mereka. Ketika dia telah menerima secarik kertas kumuh itu, dia mengangguk memahami dan berkata, “Ahh. Surat ini semacam piktograf. Kemungkinan terbesarnya adalah sesuatu seperti Tunggu perintah selanjutnya.”
“Piktograf... jadi goblin nggak bisa membaca?”
“Belum tentu. Berdasarkan dari gayanya yang tertera di sini, saya rasa adalah seorang warlock yang menulis ini, mungkin...”
Dia terdengar tidak begitu cemas akan ini. Mengingat ukuran tambang ini, mereka tentu hampir selesai dengan ekspedisi mereka.
Young Warrior, memperhatikan keseluruhan kejadian ini, tiba-tiba bertanya, “Hei, kamu bisa membaca dan menulis?”
“Nggak sama sekali!” gadis dwarf menjawab, membusungkan dadanya dengan begitu bangga.
Young Warrior tersenyum. “Yah, mungkin kamu bisa belajzr saat ada kesempatan. Kamu dan aku, sama-sama.”
“Oke!”
Harus terus maju, sedikit lagi.
Adalah yang akan dia katakan kepada monk berkepala botak ketika mereka akan kembali ke kota. Mungkin untuk minum.
Pilihan yang telah dia buat, Young Warrior secara perlahan berdiri.
0 Comments
Posting Komentar