(Translator : Zerard)
“Oke, kalau begitu.” Di dalam rumah makan yang penuh dengan percakapan, Spearman membuka gulungan kertas quest yang dia ambil. “Ini akan menjadi quest kita untuk hari ini—masuk akal?”
“Coba, ku, lihat...” Kecantikan yang menawan duduk di seberang dari pria itu mengangguk mempesona. “Sepertinya...kelihatan...sedikit, sulit, ya?”
“Ya kan?” Napas tertahan itu. Spearman mengangguk kepadanya.
“Seekor...warlock, begitu.”
Dan seperti itulah. Spearman menghela pada dirinya sendiri. Pembaca mantra berkemungkinan besar dapat membaca dan menulis, tetapi...
Ugh. Kalau dia sampai tahu aku nggak bisa membaca, buset, aku bakal kelihatan cemen banget.
Demi kehormatannya, dianharus menyembunyikan fakta ini bagaimanapun juga.
Tentu saja, bahkan Spearman-pun tidak ingin mengerjakan quest panjang acak yang dia temukan , tanpa mengetahui isi yang terkandung. Oleh karena itu, dia mengambil kertas questnya, tidak kepada meja resepsionis, namun kepada juru tulis, agar mereka bisa membaca isi kertas itu kepadanya.
Quest ini, tampaknya, berisi tentang seekor warlock yang telah bertempat tinggal di dalam gua di dekat desa. Dia melakukan eksperimen aneh dan merapalkan kutukan yang menyebabkan pohon membusuk dan binatang jatuh sakit.
Quest ini berasal dari kepala desa yang telah kehabisan akal, namun Spearman merasa khawatir. Dia tidak memiliki pembaca mantranya sendiri, dan itu sangatlah berbahaya.
Spearman adalah seorang warrior. Dia tidak mengetahui sihir apapun. Namun dia sangat memahami betapa berbahayanya musuh yang akan dia hadapi.
Sihir bukanlah satu-satunya cara untuk melawan sihir, namun hanya sedikit yang bisa menggantikan pengetahuan dan pengalaman.
Dan dia sudah terlampau jauh untuk mundur.
Kebanyakan dari quest hari ini telah hilang. Hanya tersisa pemburuan goblin yang berhamburan. Spearman tidak ingin menjadi salah satu orang bodoh itu yang mengembalikan quest ke papan karena dia tidak sanggup untuk menanganinya.
Kalau di pikir lagi, aku nggak ada lihat orang aneh itu hari ini.
Petualang dengan armor kotor itu tentunya akan dengan senang hati mengambil quest goblin, pikir Spearman. Dia sama sekali tidak mengetahui apa hebatnya tentang berburu goblin, namun petualang itu tidak pernah bergeming dari pilihannya.
“Anda begitu kuat, ada seseorang yang ingin membentuk party dengan anda...”
Gadis respsionis itu tampak seperti malaikat. Tidak, seorang dewi! Pikirnya semenjak pertama kali dia menatap gafis itu. Dia tidak mungkin salah.
Dia merasa hubungan di antara mereka tidaklah jelek, sungguh: dia pikir hubungannya benar-benar bagus. Dia membiarkan perasaan menbimbingnya. Dia merasa seperti di puncak dunia.
Yang di perkenalkan resepsionis itu kepadanya adalah witch itu, wanita yang duduk di depannya sekarang. Mereka telah bekerja sama lebih dari satu kali sebelumnya. Wanita itu cantik. Dada besar. Sempurna secara keseluruhan.
“Apa, yang, ingin, kamu, lakukan...?”
“Er, be-benar. Yah, kamu nggak perlu menggunakan sihir untuk membunuhnya hanya karena dia punya sihir kan?” Senyum pada wajah Spearman adalah bualan—terus bohongi sampai berhasil! Pikirnya. “Tusuk dia dengan tombak dan kalah dah dia.”
“Heh-heh...”
Witch memberikan tawa penuh arti mendengar ini. Sebuah aroma manis tampak mengiringi di setiap hembusan napas yang di keluarkannya, mungkin hasil dari tembakau yang selalu dia hisap. Spearman sama sekali tidak mengetahui apa itu, namun dia senang wanita itu melakukannya. Wanita seperti itu selalu lebih menyenangkan untuk di ajak berbicara.
“Pokoknya, serahkan saja padaku, kita bisa bekerja sama, seperti waktu kita menghentikan Rock Eater, itu kan?”
“Sepertinya, begitu...” Dia menyetujui dengan anggukan pelan elegan.
Dan yang terpenting, kita sudah cukup sering bekerja sama hingga aku rasa cukup mengetahui siapa wanita ini.
Spearman tidaklah begiitu menyedihkan yang membuuatnya harus mengetahui setiap latar belakang seorang wanita sebelum dia dapat berbiczra kepadanya. Namun setelah beberapa petualangan bersama, bekerja sebagai sebuah tim, mereka mulai Sali bersenda gurau—tidaklah aneh itu menyebut mereka teman.
Merasa gugup seolah dia sedang pergi menuju sebuah pertarungan, Spearman mengambil air lemonnya untuk menenangkan diri.
“Hei.”
“Hrm?”
Selaan tiba-tiba Witch mengejutkannya. Spearman melihat mengarah wanita itu dari balik gelasnya, namun ekspresi wanita itu tersembunyi di balik ujung topinya.
“...Kenapa...kamu, selalu, berbiczra...kepada...ku?”
“Nggak ada salahnya kan?” Pria itu menjawab dengzn segera. Dia tidak ragu sama sekali. Dia berharap jawabannya memberi tahukan kepada wanita itu akan betapa konyolnya pertanyaan itu.
“Apa”—Witch mengedipkan bulu mata panjzangnya—“karena, penampilan...ku...?”
“Nggak salah.” Spearman mengangguk serius. Tidak ada pria di bumi maupun surga ya g tidak akan memuji penampilam dari seorang wanita cantik. Jika Spearman bertemu dengan seorang duyung, Dia tentunya akan memuji akan betapa berkilaunya sisik wanita itu.
Bahkan, dia merasa seorang wanita akan jauh lebih menarik jika wanita itu menyadari akan kecantikannya sendiri.
“...” Jawaban pria itu tentu telah mengejutkan Witch, karena matanya terbelalak lebar.
Kurasa dia lebih muda dari yang aku kira.
“...Hei, aku bisa pura-pura nggak tahu kalau kamu mau.” Spearman tiba-tiba merasa malu dan mencoba untuk mencari alasan.
“Kalau, begitu...” Witch menelan, menyebabkan gerakan lembit pada tenggorokan kurus pucatnya. “Kemampuanku dengan sihir?”
“Pastinya sebagian besar karena itu.” Satu anggukan serius kembali.
Seberapa pengecutnya bagi seorang pria untuk tidak mengakui seorang wanota ketika wanita itu memiliki kemampuan yang begitu terasah? Tidak peduli apakah itu kecantikannya, rambutnya, atau bajunya—atau teknik pedangnya, ilmunya, kepercayaannya, atau bahkan sihirnya.
“Aduh...” Witch menarik turun topinya dan bersandar pada kursi. “...Apa, ada, yang, lain?”
Spearman mendengus dan kemudian bergumam, “Sebentar,” dan mendengak menatap langit-langit.
Jawabannya tidak mungkin tidak. Hanya saja sulit untuk merangkainya menjadi kalimat.
“...Kamu ingat saat kita menerima quest untuk gadis kebun itu dulu?”
“Ya.”
Sebuah pekerjaan mudah dan gampang, seperti sedang berjalan-jalan. Mengantarkan seorang gadis menuju sebuah lahan di suatu tempat, kemudian mengantarnya pulang kembali.
Tentu saja, itu akan berbahaya bagi seseorang yzng tidak mempunyai kemampuan bertarung. Itulah mengapa adanya quest ini, dan adanya petualang yang menerimanya. Tetapi...
“Membosankan, hadiahnya juga jelek, tapi kamu bersedia ikut denganku tanpa protes sedikitpun.” Spearman berbicara seraya dia mengatur pikirannya, akhirnya menyelesaikan dengan, “Yeah, itu dia... Aku pikir kamu orang yang baik.”
“...Begitu.”
Hanya bisikan halus itu, dan kemudian dia mengeluarkan pipa kecilnya secara perlahan. Dia mengisinya dengan tembakau, menyalakannya, dan mengisapnya.
“...Aku, tidak, pernah...menanggap, diriku, sebagai...wanita murahan...kamu, mengerti?”
“Tapi mengetahui seseorang menghargai wajahmu, kemampuanmu, dan hatimu—pastinya itu bikin kamu senang kan?”
Spearman menyeringai, menunjukkan gigi putihnya, sebuah senyum tulus.
Witch tidak mengatakan apapun. Dia hanya menggelengkan kepalanya, terdiam.
0 Comments
Posting Komentar