ARMADA KAKI
(Translator : Zerard)
Para petualang meninggalkan kota di saat pagi menjelang, dan pergi pada sebuah perjalanan di iringi dengan istirahat pendek, mereka mencapai gunung sebelum trngah hari.
“Hooo...! Di-dingin...banget!” Rookie Warrior berteriak. Itu bukanlah karena dia meremehkan cuaca, atau dia tidak memiliki ketahanan tubuh. Ini adalah badai salju. Badai telah lumayan mereda, namun dingin dari angin dan salju yang berhembus di gunung masihlah cukup kuat. Hal ini mengingatkan pada kisah akan frost giant atau napas es naga.
Itu hanyalah sekedar fantasi tentunya, namun kenyataan bahwa mereka berada di dalam bahaya yang nyata tetaplah ada. Memegang jaket panjang mereka dengan erat dengan kedua tangan, melawan angin, mereka mulai memanjat sisi gunung. Di belakang Rookie Warrior, Apprentice Cleric tampak tidak dapat mengutarakan sepatah katapun, berusaha mengikuti tubuh Lizard Priest untuk melindungi dirinya dari elemen.
“Kan? Sudah ku bilang pasti bakal dingin,” High Elf Archer berkata kepada mereka, membusungkan dada kecilnya. Telinga panjangnya sendiri berkedut—tunggu, tidak, telinganya tidak berkedut. Pada saat ini, telinga runcing khasnha sedaang terbalut dengan sebuah topi buli. “Itulah kenapa kakian butuh salah satu seperti ini! Heh-heh-heh, nggak rugi beli ini...!”
Suasana hatinya dengan cepat di rusak oleh Dwarf Shaman. “Kurasa Cuma elf saja satu-satunya yang akan cemas tentang telinganya membeku secara harfiah.”
“Apa katamu?!” dia berteriak, dan merekapun berlanjut.
Dengan gumamam dari perdebatan mereka di latar belakang, Priestess mencuri lirik kepada Lizard Priedt. “Kamu nggak apa-apa?”
“Mm-hmm. Saya bertahan.” Dia mengelap salju dari sisik dan menjulurkan tangannya untuk menunjukkan kepada gadis itu cincin yang dia gunakan. Adalah sebuah cincin Breath, sebuah benda sihir yang sama seperti gadis itu pernah pinjam dari Goblin Slayer dulu. Lizard Priest juga menggunakan pakaian yang lebih tebal dari biasanya. “Dan terlebih, kegigihan adalah inkubator bagi evolusi.”
Setidaknya ini masih lebih mudah di banding dari insang berubah menjadi paru-paru.
Dengan itu, Lizard Priest memberikan tawa besar, namun Priestess tidak dapat memahami leluconnya. Priestess sadar bahwa kemampuannya untuk menghadapi perjalanan ini adalah buah dari pengalaman ya b telah dia jalani di musim dingin tahun sebelumnya.
Evolusi, huh?
Adalah lebih dari sekedar menjadi kuat; adalah akumulasi dari pengalaman. Mengenggam jaket panjangnya dengan erat, dia mengangguk dan berlanjut memanjat. Dia menancapkan tongkat deriknya ke tanah, menggunakan itu untuk menyokong dirinya terhadap angin seraya dia mengambil langkah demi langkah, semakin naik ke atas.
Matahari tersembunyi di balik langit abu-abu, seolah tidak bersinar sama sekali. Kemuraman yang mengambang, bagaikan kabut yang menggiring orang hingga tersesat; satu langkah ceroboh dapat menyebabkan kematian. Namun tetap saja, Priestess terus berjalan. Teringat oleh sesuatu, dia menoleh ke belakang.
Jauh banget.
Dia takjub melihat dia sudah berjalan begitu jauh dengan kakinya. Tidaklah sejauh seperti gagak atau naga yang terbang—atau troll yang berjalan—tetapi, berlapis dalam putih salju dan abu-abu batu, ini tampak begitu jauh.
Dia mendengak lagi, untuk melihat puncak gunung yang tertutup awan. Tampaknya tidak mungkin untuk mencapai ke sana dengan kaki.
Mungkin gunung bukanlah tempat bagi mereka yang berbahasa.
Dia menghela dan memperhatikan kabut di depannya, tangannya secara tidak sadar meremas tongkatnya.
“O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, terima kasih karena sudah mencapai lahan ini...”
Adalah doa kepada Ibunda Bumi. Bukan untuk perlindungam tetapi hanya sekedar menawarkan pujian. Betapa lebar dan luas dunia yang di ciptakan oleh para dewa! Hanya memasuki lahan tak terjamah adalah sebuah petualangan tersendiri.
“Ohhh, Supreme God... Wahyumu perlu rincian lebih...” Apprentice Cleric mengeluh, mendapati dirinya kesulitan dalam memanjat. Dari cara dia berbicara, bertumpu pada pedang dan timbangan, mengingatkannya bahwa dia masihlah satu tingkat di atas pemula. Priestess cekikikan melihat itu, para wanita muda tidak tersungkur berlutut. Priestess bertukar pandang dengan temannya, tidak ada dari mereka yang tampak keberatan.
“Kalau begitu, mari kita beristirahat sejenak.”
Party mereka menemukan sebuah celah di mana mereka akan terlindung dari angin dan longsor, dan merekapun duduk. Mereka berkumpul membentuk lingkaran dengan batu api, sebuah katalis dari tas Dwarf Shaman di tengah mereka.
“Dansa api, salamander tersohor, berikanlah ksmi sedikit dari ketenaranmu.”
Dengan dedaunan kering, terlindungi dari lelehan salju, di dalam bersama mereka, mantra Kindle terbukti sangat berharga.
“Kalau begitu, aku bikin air dulu.” Priestess berkata.
“Terima kasih banyak,” Dwarf Shaman menjawab, memberikan gadis itu tempat di depan api. Priestess meletakkan satu kendi penuh akan salju ke atas api. Mereka memperhatikannya untuk sesaat sebelum salju itu meleleh menjadi air. Hal ini membuat mereka, bisa di bilang, bersyukur pada salju.
“Apa kamu nggak bisa langsung memakannya saja?” Apprentice Cleric bertanya, sekarang terlihat lebih tegar, namun tampak penasaran.
“Memasukkan salju ke mulutmu itu nggak saka dengan meminum air,” Priestess berkata. Kemudian dia menambahkan, “Oh, dan juga, kalian berdua perlu melonggarkan perlengkapan kalian sedikit. Itu membuat tubuh kalian sedikit santai.”
“Er, baik.”
“...Kamu benar-benar tahu banyak.”
Seraya pria muda melepaskan tas dan melonggarkan armornya, Priestess meletakkam satu tangan ke dada dengan lembut.
Semua karena Goblin Slayer mengajariku.
Priestess yakin bahwa semua ini tidak akan di lupakan begitu saja oleh rekannya. Namun mereka hanyalah tersenyum seraya Priestess mencoba menjadi mentor. Priestess merasa malu namun juga senang tentang inu, dan dia tersenyum sendiri.
“Sekarang yang kurang Cuma anggur.” Kendi dari fire wine dan gelas yang terisi penuh tentunya datang dari Dwarf Shaman.
“Uh, terima kasih...” Rookie Warrior mengambil gelas dengan canggung dan menuangkan ke dalam bibirnya. Sebuah batuk keras mengikuti.
“Ha-ha-ha! Ingat itu bocah. Itulah rasa alkohol yang sesungguhnya.”
“I-iya...”
Dwarf Shaman yang menyeringai di samping memberikan sebuah gelas kepada Apprentice Cleric. “Gadis, ini. Minumlah, kalau nggak kamu bakal membeku.”
“Oh, uh, aku, aku nggak—“
“Tentu saja dia nggak mau,” High Elf Archer mengendus dengan senyuman, membantu cleric yang tampak galau. “Kamj tahu siapa yang suka fire wine bangsa dwarf? Para dwarf dan nggak ada lagi yang lain.” Dia merogoh isi tas miliknya seraya dia berbicara, mengumumkan, “Ta-da!” seraya dia mengeluarkan sebuah bungkusan terbalut daun. “Itulah di mana manisan bangsa elf datang!” Dia melepaskan ikatan tali pada bungkusan yang di mana menunjukkan sebuah makanan panggang dengan aroma yang manis.
“Oohm” Priestess menghela, yang baru saja mengisi gelasnya dengan air panas, dia tidak mempunyai kesempatan yang sering untuk memakan makanan para elf ini, naamun makanan ini dengan cepat menjadi makanan favoritnya.
“Ini dia, ini dia,” High Elf Archer berkata, menyerahkan roti itu. “Biarkan mereka menikmati anggur mereka.”
“Te-terima kasih...” Apprentice Cleric mengigit ragu, kemudian wajahnya terkejut. “...?!” Dari cara pipinya mengembung seperti semacam tupai, tampaknya dia cukup menyukai itu.
Priestess memberikan High Elf Archer sebuah senyuman seraya dia memberikan air kepadanya. “Hee-hee, itu enak banget.”
“Terima kasih, iya kan? Kami para elf sangat bangga dengan itu!” High Elf Archer berkata, membusungkan dada.
“Pfah,” Dwarf Shaman menggerutu, menjentikkan lidah. “Tanpa Beardcutter di sini, aku nggak punya teman minum.”
“Ha-ha-ha-ha, yah, saya rasa apa boleh buat.” Lizard Priest memberikan beberapa air kepada Rookie Warrior, menjaga satu pada kepada para gadis seraya mereka menikmati roti mereka. “Prefrensi untuk manis atau kering adalah pilihan masing-masing individiual, seperti saya yang lebih memilih daging di banding benda berdaun—yang sama sekali tidak mengundang selera saya.” Lizard Priest menenguk panjang fire wine, dan kemudian menggigit besar sebongkah keju yang dia keluarkan dari tas. Kemudian satu gigitan lagi hingga keju itu menghilang ke dalam rahangnha, bongkah keju itu sangat besar hingga memenuhi kedua tangannya.
Dia mengelus perutnya seolah dia baru saja menelan seekor mangsa secara utuh dan mengeluarkan sendawa, mengundang sebuah cekikikan dari High Elf Archer yang makan dengan anggun, memperhartikan Apprentice Cleric dan Rookie Warrior yang terbengong.
“Ada apa?” Priestess bertanya.
“Oh, nggak.” “Nggak apa-apa.” Datang dua jawaban itu.
“Kami Cuma nggak biasa berpetualang dengan orang sebanyak ini,” Rookie Warrior berkata.
“Yeah, biasanya Cuma kami berdua saja...”
Ahhh. Ini, Priestess mengerti. Dia bingung pada mulanya. Namun sepanjang perjalanan ke reruntuhan di mana mereka bertarung dengan ogre—perjalanan yang hanya memakan waktu beberapa hari—dia sudah menjadi terbiasa dengan ini. Dan alasannya sederhana.
“Menyenangkan, kan?”
Sang bocah dan gadis saling bertukar pandang, namun mereka berdua mengangguk dan membalas dengan jujjr. “Yeah.”
“Kurasa kami bisa mendapatkan rekan petualang lagi suatu hari nanti,” Rookie Warrior berkata.
“Oh, apa aku nggak cukup buatmu?” Apprentice Cleric menjawabm mengembungkan pipinha. Priestess menuangkan air panas lagi ke dalam gelas gadis itu. “Terima kasih,” dia berkata, memegang gelas dengan kedua tangan dan meniupnya. “...Aku akui, memang enak punya kemah ramai seperti ini.”
“Tapi kamu nggak boleh lengah karena itu.” Dwarf Shaman menegurnya, dia membersihkan es yang terbentuk di jenggotnga. “Dengan roh salju yang menggila ini, kamu mungkin bisa saja di makan Ice God Daughter.”
“Apa itu?” High Elf Archer bertanya, mencondongkan tubuhnya penasaran. “Dewa? Seperti yang ada di langit?”
“Kamu nggak pernah mau diam pamer tentang seberapa lamanya kalian para elf audah hidup—apa kamu nggak pernah mendengar dongeng lawas ini?”
“Itu bukan berarti aku bisa ingat semua yang aku dengar,” High Elf Archer menjawabm tampang tidak gentar dengan tatapan Dwarf Shaman.
Sang dwarf menghela dan berkata, “Yan, dewa ini buka salah satu dewa besar di surga. Lebih seperti raksasa kuno.”
“Raksasa...?” priestess meniup gelasnya sendiri dan menyeruputnya, kemudian menggigit roti.
Benar—pada festival tahun lalu...
Selama festival panen di tahun sebelumnya, seorang dark elf telah mencoba untuk memanggil beberapa titan kuno. Priestess mendengar setelahnya tentang apa yang akan terjadi jika elf itu berhasil...
...Oh.
Ingatan ini menuntunnya pada hal lainnya, ingatan yang masih begitu jelas dan segar, termasuk bertarung dalam pertarungan sembari menggunakan pakaian yang cukup terbuka. Untuk menyembunyikan pipinya yang tiba-tiba merah, dia meniup kencang gelasnya.
“Permainan perang para dewa mungkin sudah jauh di masa lalu, tetapi pastinya beberapa raksasa itu masih berkeliaran di bumi.” Dwarf Shaman berkata.
“Dan apakah mereka cukup kuat?” Lizard Priest bertanya.
“Pastinya,” Dwarf Shaman menjawab.
Rookie Warrior dan Apprentice Cleric saling mendekat, ketakutan. Mereka dapat membayangkan seekor monster yang bahkan di anggap kuat oleh seorang petualang Silver.
“Raksasa-raksasa ini, mereka menyebut diri mereka Ide Gods, dan mereka akan memangsa siapapun yang masuk ke wilayah mereka.”
“...Dan apa anak perempuan mereka lebih baik?” High Elf Archer bertanya sambil merinding, namun alih-alih menjawab, Dwarf Shaman meneguk anggurnya.
“Mereka bilang perempuan itu memiliki kemampuan memasak yang hebat.”
“........” Priestess menggaruk satu pipi, cemas. High Elf Archer terlihat seperti akan menangis.
“Apa kamu nggak bisa kasih tahu ini dari awal...?!”
Suara Hugh Elf Archer tampak pecah, namun Dwarf Shaman menghiraukannya. “Apa gunanya? Cerita itu cuma untuk menakuti anak kecil.”
“Oooo, Supreme Goood...” Apprentice Cleric berada di ambang tangisan, mendekap pedang dan timbangan. Sedangkan Rookie Warrior, dia tampak sedih, berpikir bahwa petualangannya akan berakhir di sini.
Yah, itu dapat di mengerti. Dan kesiagaan Dwarf Shaman juga dapat di pahami, tetapi...
“...Kamu seharusnya jangan menakuti orang begitu, oke?”
Namun mungkin gadis itu bisa mencoba bersuara seperti kakak perempuan sebisanya dan membuat semua menjadi sedikit lebih mudah bagi mereka.
“Oh!” Dwarf Shaman berteriak riang ketika Priestess menegurnya. “Ha-ha-ha, maafkan aku. Yanh, intinya, tetap siaga.”
“...Benar! Dan jangan percaya apapun yang di kataoan seorang dwarf...”
“Apa sih yang di bacotkan si datar ini?” “Yah apa maksudmu melotot ke aku?”
High Elf Archer tampak kembali ke dirinya yanh riang—bahkan walau itu hanya kedok—dan dia pergi mencari busurnya. Dia mengikat kembali busur dengan benang laba-laba, memeriksa tali, dan mengangguk puas. Kemudian dia berkedip (tidak begitu anggun) kepada dua petualang paling muda, yang masih tampak ketakutan. “Jangan khawatir! Kalau kita ketemu raksasa, aku langsung tembak mereka!”
“Aku nggak yakin.”
Suara tak di duga itu menghasilkan reaksi instan dari semua kecuali kecuali kedua petualang muda. High Elf Archer memuat panah ke busurnya, Dwarf Shaman menggapai tas, Lizard Priest memaparkan taringnya, dan Priestexs mengambil ceret air mendidih.
“Huh? Huh?” Rookie Warrior dan Apprentice Cleric terbengong.
Di samping mereka, sepasang telinga panjang putih berkedut. “Akan menjadi masalah besar bagi kami kalau kalian melakukannya,” suara itu berkata santai. Suara itu datang dari seekor kelinci putih yang berdiri di sana dengan golok kayu di sabuknya. “Ngomong-ngomong, apa aku boleh minta satu dari manisan panggangmu? Aku lapar sekali.”
*****
“Kita, kami harus makan setiap hari atau kita akan mati.” Sang kelinci, seorang pengintai dan pemburu, berkata riang, mengunyah roti seraya berjalan di atas jalan semudah itu tanah yang datar, walaupun jalan yang di lalui adalah pendakian terjal pegunungan.
“Sudah... Sudah sewajarnya,” Priestess berkata, berusaha menarik napas. Mereka berada tinggi di dekat puncak, dan udara sangatlah tipis.
“Langit sangatlah luas hingga para Aerials, roh udara, terpencar ke segala arah,” High Elf Archer menjelaskan dengan tawaan.
“Kalau kita mendapatkan sesuatu untuk di makan, kita bisa hidup terus selamanya, namun musim dingin kali ini sangatlah sulit.”
“Itu benar... Ini musim dingin yang panjang.” Priestess, walaupun dia lebih kuat dari sebelumnya, sekarang telah di buat bertumpu dengan tongkat di karena cuaca ini. Rookie Warrior, keras kepala seperti biasanya, masih tetap berjalan, tetapi Apprentice Cleric sekarang telah di gendong oleh di punggung Lizard Priest.
“...Kamu nggak apa-apa?” Priestess bertanya pada rekannya.
“Jika saya berhenti menggerakkan tubuh saya, mungkin tubuh saya tidak akan bisa bergerak lagi. Panas tubuh dari penumpang manusia sangat di sambut.” Lizard Priest menjawab dengan senyum biasanya. Tetapi suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya. Dingin dapat menjadi fatal bagi para lizardman.
“Mungkin kamu bisa cari topi berbulu kayak aku. Walaupun nggak terlalu banyak yang bisa kamu tutupi,” High Elf Archer berkata dengan seringai. Dia sudah terbiasa hidup di atas puncak pohon, karena itu tidak ada keraguan atau kecanggungan dalam setiap gerakannya. Dia mengikuti pemburu kelinci, golok masih berada di sabuknya, kaki panjangnya mengambil langkah kecil. “Yakin kamu nggak butuh?” Dia bertanya pada mereka, dengan bangga memamerkan topi bulu di atas telinganya. “Telinga panjang bisa mendingin dengan cepat, kan?”
“Kami, kami punya bulu.”
“...Yah, baiklah.”
Dari belakang barisan, Dwarf Shaman menghela jelas yang di tujukan kepada elf yang kecewa. “Kamu bisa hiraukan si datar itu. Apa kita hampir sampai?” Dwarf Shaman memiliki banyak energi, tetapi dengan lengan dan kaki pendek membuat segalanya lebih sulit untuknya.Para dwarf memiliki afinitas dekat dengan bukit—namun mereka hidup di dalam bukit. Pendakian gunung biasanya bukanlah agenda mereka. Sang shaman ini merasa perjalanan ke desa warga kelinci ini cukup menyulitkan.
“Hampir, yep, hampir sampai, jingkrak, loncat, dan lompat!” Harefolk Hunter berkata, melompat ke batu lainnya. “Astaga. Kamu bisa salahkam si Ice Witch untuk semua ini.”
Berdasarkan pembimbing mereka, desa warga kelinci kurang lebih telah hidup secara damai. “Ketika kakek buyutku masih muda, desa di kaki gunung telah di hancurkan, dan kami kehilangan semua kontak dengan manusia.”
“Selama itu...?” Priestess berkedip. Begitu banyak generasi telah berlalu.
“Tidak, tidak,” Harefolk Hunter berkata, telinga panjangnya mengepak. “Maksudku, bagi kami, itu mungkin belum sampai seratus tahun.”
Sang kelinci melompat dengan lincah ke bawah dari sebuah batu, kepalanya berayun ketika dia mencapai dasar. Sebuah tapak berbulu menunjuk pada salah satu titik. “Lihat, di sebelah sana. Di bawahnya kosong, jadi hati-hati.”
“Yikes?!”
Tidak lama setelah Harefolk Hunter berbicara, Rookie Warrior tenggelam ke dalam salju. Adalah sebuah tempat di mana salju bertumpuk di atas beberapa akar atau celah—sebuah lubang alami. Sekali di dalam, sangatlah sulit untuk keluar. Jika kamu tidak mati seketika, maka kamu akan mati secara perlahan.
“Wh-wh-wh-whoa—!”
“Sini!”
Apakah ini akhir dari petualangannya? Dwarf Shaman menjulurkan tangan kepada warrior muda yang panik. Tangan kasar petualang tua itu meraih pergelangan kurus dari petualang muda dan menariknya. Rookie Warrior mendorong tubuhnya sendiri naik. Syukurnya, pentungannya memiliki sebuah tali yang terikat di sekitar pergelangan tangannya, jadi pentungan itu masih ada, walaupun dia telah melepaskannya.
“Syu-syukurlah...”
“Jangan main-main...!” Apprentice Cleric berkata tajam dari punggung Lizard Priest, mengundang sebuah “Aw, diam!” dari Rookie Warrior.
High Elf Archer, yang dapat mendeteksi kecemasan dalam teguran sang cleric, menyeringai halus. “Manusia nggak bisa melihat lubang kecil itu,” dia berkata, kemudian dia melompat melewati tumpukan salju seanggun seperti dia melompati genangan air. Dia memberi isyarat kepada yang lain, menandakan sebuah rute aman dengan anggukan kepalanya. “Pokoknya, semua berakhir aman. Jadi apa yang terjadi dengan Ice Witch ini?”
“Dengar, warga kami sering di serang oleh ptarmigan atau sasquatch dan nggak ada yang mengeluh.” Harefolk Hunter, memberikan gelengan kepala lelah. “Tapi musim dingin kali ini benar-benar buruk.”
“...Dan sebelumnya nggak buruk?”
High Elf Archer terdengar seperti jengkel, namun Lizard Priest memutar matanya. “Yang kuat memangsa yang lemah; seperti itulah prinsip dasar dari dunia.”
“Tapi sasquatch yang memburu kami setiap hari karena era musim dingin berkelanjutan, itu masalah. Kami bisa memberikan mereka makanan lain untuk di makan, tapi nanti kami yang akan mati kelaparan.”
Pada akhirnya—satu-satunya jalan tengah—seseorang akan mengharapkan suplai makanan dan populasi akan mencapai keseimbangan, tetapi...
“Tetapi kami akan mati kalau kami tidak makan setiap hari,” Harefolk Hunter mengulangi, matanya murung.
“Era musim dingin...?” Ekspresi terlukis di wajah Priestess; dia mulai memahami bahwa walaupun warga kelinci terdengar riang, namun itu bukanlah apa yang tampak terlihat. Para sasquatch, yang di pimpin oleh Ice Witch inu, siapapun dia, sedang menyerang desa, mencuri persedian dan memakan orang.
Ini terdengar seperti pekerjaan untuk para petualang.
Satu kata dari sang raja, pasukan dapat menyerbu untuk menyelesaikan masalah. Namun desa dari warga kelinci tidak pernah berhubungan dengan dunia luar dan tidak membayar pajak; hampir tidak dapat di anggap sebagai bagian dari kerajaan ini. Tidak ada yang menyelamatkan mereka. Tidak...
“...Supreme God.” Dari tempatnya di punggung Lizard Priest, Apprentice Cleric meremas lambang suci yang menggantung di sekitar lehernya.
Sekarang dia tahu.
Tahu apa arti dari wahyu yang dia terima. Mengapa mereka telah di bimbing menuju gunung ini.
Priestess melirik kepada Apprentice Cleric, melihat kepercayaan gadis itu dan mengangguk. Sebuah senyum tersirat di wajahnya, walaupun di dalam hati, dia bingung.
Bagaiamana denganku?
Apakah dia menerima perintah semacam itu dari Ibunda Bumi? Apakah dia dapat melanjutkan menjalankan perannya?
Dia tidak boleh meragukan kepercayaannya sendiri. Tidak boleh merasa seperti ini tentang dewanya sendiri...
Goblin Slayer...
Tiba-tiba, dia berpikir ada di mana pria itu saat ini. Apakah dia telah kembali ke kota? Apa yang akan dia pikirkan ketika pria itu mengetahui bahwa Priestess telah hilang? Bahwa tidak satupun dari mereka ada di sana...
Apakah pria itu akan tidak mempedulikannya, dan hanya berburu goblin sendiri lagi? Mengapa Priestess merasa dirinya di landa oleh kekhawatiran ini hanya karena terpisah dari pria itu? Priestess menyadari betapa inginnya dia untuk bertemu dengan pria itu dan menghela panjang.
Gadis bodoh.
Dia bukanlah anak kecil lagi.
“Yup, hup, lihat ke depan semuanya. Itu dia.” Harefolk Hunter mengambil satu loncatan terakhir dan menunjuk.
Priestess mendengak. “Oh—wow...”
Di semacam ngarai di antara punggung bukit, beberapa sarang kecil telah di gali. Pintu yang tercat dengan rapi menutup masing-masing lubang, sebuah jalan kecil tergerai dengan pola yang cantik dari pintu masuk. Ini adalah hunian warga kelinci, berbeda dari rumah manusia atau elf. Satu-satunya yang merusak pemandangan indah ini adalah ekspresi cemas—ayunan takut pada telinga yang tampak jelas—dari warga kelinci yang datang dan pergi; mereka tampak tidak bisa diam.
“Oh...!” Apprentice Cleric berteriak, mengundang pertanyaan “Ada apa?” dari Priestess.
“Lihat! Lihat di sana!”
“Di sana...?”
“Di tengah desa...!”
Huh? Priestess menyipit, namun kemudian napasnya tertahan.
“Aku mengerti,” High Elf Archer berkata, bergumam mengagumi. “Sulit mencari tempat yang belum pernah di kunjungi seseorang sebelumnya.”
Berdiri di tengaj desa, di sebuah lapangan besar terbuka, adalah sebuah satu tiang tipis. Adalah sebuah tongkat, kuno, agung.
Setua waktu itu sendiri, desain dari tongkat itu sendiri adalah sebuah pedang dengan timbangan yang menggantung di atasnya.
Penyelamatan suci Supreme God telah mencapai tempat ini; tidak di ragukan lagi.
*****
“Ibuuu! Aku membawa titisan dari Supreme God!”
“Syukurlah,” kata istri kelinci dengan tepukan tangan gembira. “Kalau begitu, ayo makan!” Sambutannya hangat seolah mereka bertemu dengan teman lama.
Rumah Harefolk Hunter—yang merupakan sebuah sarang—terpapar di balik sebuah pintu yang termasuk kecil untuk ukuran manusia, namun di dalam rumah, bahkan seorang lizardman-pun dapat bersantai. Plaponnya cukup rendah, namun karpet akan rumput musim panas sangatlah nyaman di kaki.
Terlebih lagi, keramah-tamahan istri kelinci sudah tidak perlu di pertanyakan lagi. Wanita itu telah menyiapkan sebuah sup akar merah seolah dia tahu bahwa seorang pengunjung akan datang ke rumahnya. Rasa sup itu sangatlah asing, akan tetapi, hanya sesendok sudah menghangatkan tubuh mereka dari hati hingga ke ujung jari.
“Ah, sungguh sayang, saya harus menolaknya.” Lizard Priest berkata memohon maaf seraya mereka semua menikmati sup. “Hal berdaun, sungguh di sayangkan, tidaklah sesuai selera saya.”
“Astaga, maafkan aku soal itu. Suami saya sedang tidak ada...”
“Apa ada yang terjadi?” Priestess bertanya di antara beberapa sendokan sup.
“Ayah berubah menjadi pai lezat,” Harefolk Hunter berkata sedih, mengeluarkan lobak dari mangkuk supnua.
“Oh, a-aku minta maaf...!” Priestess berkata, menunduk dengan cepat.
Tetapi, Harefolk Hunter, melambaikan tangan dan berkata, “Nggak apa-apa. Kami nggak mempermasalahkannya. Mati ya mati.”
“...Uh, apa kamu yakin ini?” High Elf Archer berkata dengan tiba-tiba untuk mengganti subyek. “Maksudku, kami menerima makananmu? Kamu memberikan kami banyak sekali...”
Apprentice Cleric menyikut Rookie Warrior, yang baru saja menghabiskan mangkuk ketiganya. “Apa?” dia merajuk.
“Oh, tidak apa-apa,” istri kelinci berkata riang. “Akan mencoreng nama Harefolk ternoda jika kami membiarkan para tamu kelaparan.”
“Ah,” Dwarf Shaman berkata, meminum sup wortel layaknya sebuah anggur. “Kepikiran cerita tentang kelinci yang memanggang dirinya sendiri untuk dapat di makan pengelana?”
“Tuhan, tindakan itu tergerak oleh kebaikan di dalam hati, mengajari kita untuk berdoa sebagai gantinya.”
“Jadi maksudmu...kami bisa makan makanannya?” High Elf Archer berkata, masih ragu.
“Apa yang di maksud beliau adalah,” Lizard Priest menjawab, “Bahwa para lizardmen, elf mempunyai mitos mereka tersendiri, begitu juga dengan harefolk.”
“Apa yang dia maksud itu akan lebih nggak sopan kalau makanannya nggak di santap! Ini habiskan,” Dwarf Shaman menyemangati sang elf.
“Kamu yakin?” High Elf Archer mempertanyakannya dengan lirikan panjang menyamping.
“Tapi dia benar,” sang wanita kelinci berkata, matanya menyipit gembira. “Tolong makan hingga kalian puas.” Kemudian dia mengisi mangkuk High Elf Archer, ekspresi sang elf melemas. Tidak pernah ada jaman di mana seseorang akan menolak makanan hangat dan lezat.
“Kalau begitu, satu mangkuk lagi...” dapatlah di mengerti bahwa Priestess telah kalah dengan godaan itu. Mungkin itu di karenakan mangkok para harefolk sedikit lebih kecil dari apa yang biasa dia gunakan...
Ketika santapan telah usai dan teh datang, Priestess menjernihkan tenggorokannya. “Jadi, ahem... Tentang Witch of Ice.” Teh gooseberry memiliki aroma obat pahit yang samar, dan satu seruput mengirimkan kesegaran yang melegakan di mulut. Teh ini juga membantunya melancarkan perkataannya, yang di mana Priestess merasa bersyukur tentang itu.
“Hmm, yah, seperti yang aku bilang, kami terbiasa dengan para sasquatch dari gunung.” Harefolk Hunter memegang satu gelas beruap di kedua tangan, kakinya menjuntai. “Tapi musim dingin ini tampak sangat panjang dan intens. Dan itu artinya—“
Kemudian itu terjadi.
Duk. Sebuah langkah kaki menggetarkan tanah, di iringi dengan getaran seperti sebuah drum. High Elf Archer dan Priestess merinding, suara itu menggetarkan seluruh tubuh mereka.
Musim dingin telah tiba, musim dingin telah tiba,
Musim kami telah datang.
Ha, mainkan kartu sihirmu,
Rapalkan mantramu dan angkat suaramu.
Dadu tidaklah berarti apapun,
Akal dan tenaga lengan kami
Lengan kami untuk bertarung, sekarang mari bertarung.
The Witch of Ice telah berbicara:
Puncak ini tidak memerlukan mereka yang lemah.
Musim panas akan kematian telah berlalu
Di sini dengan bangga teratai hitam bersemi.
Musim dingin telah tiba, musim dingin telah tiba,
Musim kami telah datang!
Nyanyian terdengar di bukit bagaikan gemuruh petir.
“Ap-apa-apaan...?!” High Elf Archer bertanya, menarik topinya.
“...Huh, jadi mereka datang.” Harefolk Hunter, terlihat muram, berdiri. “Ibu, ibu, cepat dan sembunyi di dapur.”
“Ya, baik.”
“Dan jaga kakak dan adik dan kakak dan kakak dan adik dan kakak dan adik!”
“Mereka nanti akan datang pulang sebentar lagi.”
Di sana Harefolk Hunter, siaga, dan janda kelinci terlihat murung. Para petualang—semua terkecuali Rookie Warrior dan Apprentice Cleric—bergegas mendekati jendela. Lizard Priest mencondong keluar agar dia dapat melihat keluar, kepalanya setara dengan kepala sang dwarf. “Apakah anda dapat melihat sesuatu?”
“Nggak banyak... Hei, bagaimana menurutmu?”
“Nggak bisa lihat apapun,” Gumam High Elf Archer, telinga panjangnya mengepak. “Tapi aku dengar tiga suara yang berbeda dan beberapa pasang langkah kaki. Tiga orang musuh.”
“Yeah, benar,” Harefolk Hunter berkata, memasukkan golok ke dalam sabuknya. “Tiga seperti biasanya. Aku akan penggal kepala mereka hari ini...!”
“Hmm,” Priestess berkata, menyentuh bibir dengan jarinya yang mungil, dan berpikir.
Seorang musuh menyerang. Mereka akan menerima serangan musuh. Tidak di ragukan lagi.
Goblin Slayer—apa yang akan dia lakukan?
Pria itu, dia akan bertindak tanpa ragu—namun dengan berhati-hati.
Sebuah lagu. Raksasa. Seorang witch.
“...Ayo,” Priestess berkata tegas. “Inilah kenapa kita datang kemari!”
Para petualang mengangguk dengan penuh kepastian. Kali ini, anggukan itu juga di ikuti oleh Rookie Warrior dan Apprentice Cleric.
*****
“Sekarang, siapa yang akan melawan kami?”
“Aku!” seorang bocah kelinci pemberani berkata dengan suara yang menggema di seluruh lembaj seraya dia melompat keluar dari sarangnya.
Sasquatch yang besar dan berotot, adalah sesosok humanoid yang tertutupi dengan bulu putih. Jumlah mereka telah banyak berkurang semenjak jaman para leluhur raksasa mereka hingga sekarang, jika di lihat secara sekilas, mereka tampak seperti kera yang terlampau besar. Namun mereka masihlah berukuran lebih dari tiga meter, masih layak di sebut dengan nama giant.
“Kamu, eh?”
“Apa yang harus kami lakukan denganmu?”
“Kurasa kamu tidak akan bisa menyaingi tenaga kami.”
Dan mereka ada bertiga.
Mereka menyeringai, mereka bertigalah yang selalu membuat desa ini dalam ketakutan secara berkelanjutan.
Adalah tentunya mereka sendiri yang mencari keributan. Mereka sangat paham bahwa mereka dapat menang dalam kontes adu kekerasan. Mereka dapat menghancurkan desa ini semudah mematahkan ranting.
Tetapi itu tidaklah menyenangkan. Oleh karena itu mereka menginginkan sebuah kontes. Mereka menyatakan bila mereka dapat di kalahkan, mereka akan mengampuni nyawa pemenang. Namun jika mereka menang, mereka dapat melakukan apapun yang mereka suka pada yang kalah. Memakannua, menggunakan dia sebagai mainan.
Warga kelinci, tentunya tidak mempunyai pilihan selain untuk menerima. Adalah lebih baik di banding di bantai secara sekaligus.
“Bagus, bagus, majulah kalau begitu,” salah satu dari sasquatch berkata. Dia menunjuk kepada semak lingonberry di ujung desa. “Yang pertama sampai di beri itu menang. Siap?”
“Oh, aku siap!” Bocah kelinci berkata, dan di saat sasquatch berteriak “Mulaiiiii!” dia mulai berlari. Dia bukanlah pelari tercepat di desanya, namun dia juga tidaklah lamban, dan dia mengetahui medan sekitar seperti punggung tangannya sendiri. Kecepatan pikirannya setara dengan kakinya, dan walaupun dia tidak yakin dia dapat menang, dia tidak berniat untuk kalah.
Niat itu tidak bertahan dari langkah pertama sasquatch.
“---------?!?!” Jeritan itu datang tidak dari kelinci muda, namun dari warga desa lain yang menonton dari sarang mereka.
Dengan langkah kedua, sasquatch semakin memperpendek jarak, dan pada langkah ketiga, monster itu mengambil segenggam lingonberry. “Ha-haaa, sepertinya aku menang!”
“Ah...Urgh... Hrrgh...!”
Adalah seperti semua tulang di tubuhnya telah di hantam. Pada awalnya, dia tidak merasakan sakit, namun hanya merasa tiba-tiba sulit untuk bernapas. Namun pada titik itu, sang bocah sudah tidak dapat lagi menggerakkan satu jaripun. Dia mengerang kesakitan, sebuah rasa sakit yang menjadi dua kali lipat, kemudian sepuluh kali lipat, menjalar di keselurhan tubuhnya. Dia mungkin merasa seperti tersambar petir—jika dia mempunyai waktu untuk berpikir seperti itu.
Namun dia tidak mempunyai sedikit kesempatanpun sebelum nyawanya berakhir. Dia bahkan mungkin tidak merasakan sang raksasa mengangkat telinganya dan memasukkan dia ke dalam mulut sang ralsasa.
“Hmm. Kelinci ini, dagingnya sedikit dan tapi tulangnya banyak.”
“Kamu ini, koki kah? Kamu itu pemakan segalanya.”
“Aku cuma ingin ada sedikit lebih saja.”
“Hei, bukannya perintah kita membawa mereka kembali hidup-hidup?”
“Aw, kita Cuma makan satu. Wanita itu nggak akan tahu.”
Sebuah percakapan santai berlangsung di tengah suara remukan dan kunyahan. Priestess dan yang lain, yang baru saja tiba di lokasi, mengamati itu semua, merinding.
“Kita terlambat...!” Di dalam bayangan, dia meremas tongkat dan mengeratkan giginya.
Aku nggak tahu apa kami bisa melakukan sesuatu walaupun kami datang lebih cepat.
Pikiran itu sangatlah lemah, dan dia berupaya untuk melenyapkan pikiran itu, menatap kepada para sasquatch.
Dia membenci pikiran seperti itu. Dia tidak pernah ingin mengatakan bahwa tindakan dari rekannya pada hari itu, pada kala itu, ketika mereka memutuskan untuk masuk ke dalam sarang goblin untuk pertama kalinya adalah salah. Dia dari sekian banyaknya orang tidak ingin mengatakan itu. Atau setidaknya itu yang dia rasakan.
“Ap-apa yang kita lakukan...?” Apprentice Cleric tampak kebingungan.
“Cuma satu yang harus di lakukan!” Harefolk Hunter berteriak. “Aku selanjutnya!”
“Guh?!” Rookie Warrior tersedak. “Jangan ngaco! Kamu lihat nggak seberapa besar makhluk itu?!”
Dia berusaha menahan Harefolk Hunter, yang menjerit, “Lepaskaaan!”
Terdapat tiga musuh, besar dan kuat. Rookie Warrior benar. Mereka mungkin lamban, tetapi kekurangan itu tertutupi dengan ukuran tubuh mereka. Sedangkan untuk kecerdasan mereka—yah, siapa yang tahu?
Apa yang Goblin Slayer akan lakukan...?
Priestess membayangkan cara pria itu bereaksi pada sebuah situasi. Dan kemudian Priestess melakukan hal yang sama.
“Bagaimana...menurut kalian?”
“Hmm,” Lizard Priest memutar mata seolah terhibur. Priestess menatap ke tanah, malu setelah menyadari bahwa Lizard Priest sudah menerkanya. Wajahnya panas. “Apa sebutan tentang kepala besar dan otak dungu? Walaupun saya tidak yakin apakah itu benar dalam hal kali ini...” Lizard Priest mengetuk kepalanya dengan satu cakar tajam. “Apa yang terpenting adalah perbandingan antara ukuran tubuh dan otak. Kecerdasan sederhana.”
“Hmm,” High Elf Archer berkata, menyipit dan menghitung dengan jari. “Kepala mereka sedikit lebih kecil dari manusia, aku rasa mungkin seukuran dengan kera.”
“Tapi ini bukan tempat yang menguntungkan untuk melawan mereka,” Dwarf Shaman berkata dengan mengerut, meneguk anggur tidak menyukai. “Mereka tepat di tengah kota. Pertarungan di sini bisa jadi nggak terkendali dengan cepat.”
“Jadi mungkin pilihan terbaik kita adalah berhadapan dengan mereka di tempat terbuka, dan mengelak dari mereka dengan cara yang sama,” Lizard Priest menawarkan. “Jadi, apa yang anda sarankan untuk kami lakukan?”
Semua tatapan tertuju kepada Priestess. Bahkan Harefolk Hunter, lengan masih tertahan oleh Rookie Warrior, melihat kepadanya.
Um...
Dia menyentuh bibir dengan satu jari dan bergumam, “Hmm.”
Mereka tidak mempunyai banyak waktu, dan pilihan mereka terbatas. Dia harus menyatukan semuanya. Dia harus membuat otaknya bekerja.
Aku penasaran apa Goblin Slayer itu pernah mengalami hal seperti ini.
Pikiran itu membawa bayang-bayang senyuman pada wajahnya. Hatinya terasa sedikit lebih ringan.
“...Ayo lakukan.” Dia membulatkan keputusannya. “Aku punya rencana.”
*****
“Aku akan jadi lawanmu!”
Sebuah suara jelas menggema di seluruh lembah dan membuat para sasquatch berkedip.
Dari bayangan sebuah bangunan kecil di desa warga kelinci, seorang gadis kecil muncul. Seorang manusia. Dia mengenakan seragam seorang priest dan memegang tongkat derik. Seorang petualang. Para sasquatch saling bertukar pandang, kemudian menyeringai.
“Wah, berani juga ya? Berharap kami memakan kamu duluan?”
“Entahlah, kurasa dia akan menjadi mainan yang bagus.”
“Nggak, nggak, kita robek isi tubuhnya sampai terburai!”
Cara mereka tertawa sangatlah menjijikkan (walaupun mereka sendiri tidak merasa begitu), dan sang gadis terlihat tegang. Hal itu semakin membuat para monster itu semakin terbahak-bahak, hingga menggema di seluruh lembah.
“A-aku...”
“Namanya Noman.”
Suara gemetar gadis itu terharmonisasi dengan suara yanh jauh lebih dalam dan lebih berat. Para sasquatch menoleh dan mendapati seorang lizardman yang tampak muncul dari tanah, tetapi dia masihlah kecil jika di banding dengan mereka.
“Dengan berkah leluhurnya,” sang lizardman berkata, “gadis itu akan menantang kalian semua. Dia adalah gadis, yang tidak lain dan tidak bukan bernama Noman.”
Menghiraukan sang gadis yang dengan cepat menundukkan kepala kepada sang kadal, para sasquatch menatap terhibur. Apakah lizardman ini pelayan dari Kekacauan? Mereka tidak tahu. Mereka bisa saja menghiraukannya. Atau mungkin memakan kadal itu.
Namun bagaimaina jika dia adalah pelayan Kekacauan? Misalkan dia adalah teman dari Ice Witch? Maka mereka tentu akan mendapat teguran keras.
Lagipula, dia tidak terlihat begitu lezat, jika mereka akan makam, mereka lebih memilih sang gadis.
Yah, sudah di putuskan.
“Baiklah, baiklah. Kedengaran bagus buat kami,” Salah satu sasquatch berkata dengan wibawa. “Dan kamu mau menantang kami dengan apa?”
“U,, yah...” Sang gadis Noman memperhartikan sekeliling dengan cepat, seolah berharap mendapatkan inspirasi dari pemandangan sekitar, yang di mana membuat para sasquatch sangat terhibur. Kontes ini bukanlah apa-apa—ini sudah berakhir. Mereka tidak akan kalah. Itulah mengapa mereka sangat menikmati momen ini. Adalah pola pikir arogan, keji, begitu karakteristik dari pelayan Kekacauan akan Makhluk-Tak-Berdoa.
“Kalau begitu, pohon itu,” sang gadis berkata menunjuk pada sebuah pohon yang ada di luar perbatasan desa. “Yang pertama menjatuhkan daun dari pohon itu menang... Bagaimana menurutmu?”
“Nggak masalah.”
“Dan juga...” suara gadis bergetar dengan ketidakpastian serayabdia menambahkan, “peraturannya adalah, kamu nggak boleh menyentuh tubuh musuh...”
“Ok setuju,” Sang sasquatch mengangguk, masih menyeringai. Dia memberikan lototan kepada rekan di belakangnya, dan mereka berdua mengangguk kepadanya. “Kalau kamu kalah, kamu jadi milik kami. Setuju?”
“Ya,” Priestess berkata. “Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau denganku.”
“Kalau begitu, bersiap dan mulai!”
Di kalah sasquatch mengambil langkah pertama, dia yakin bahwa dia sudah menang, kepalanya di penuhi dengan berbagai macam hal yang akan dia lakukan nanti. Dia sudah lelah dengan makanan mentah; dia tentu akan menyambut kesempatan untuk memasak sesuatu. Bagaimana dengan daging cincang yang termasak dengan baik?
Dia dapat mengangkat kepala gadis itu, berhati-hati agar tidak meremukkannya di antara jarinya. Dia hampir dapst merasakan gadis itu yang meronta seperti serangga. Dia akan menusuk perut dan dada gadis itu dengan jarinya.
Gadis itu akan menangis dan tersedu, tidak di ragukan lagi. Dan kemudian, ketika dia sudah puas dan siap, dia akan mencabut lengan atau kaki gadis itu. Ekspresi seperti apa yang akan muncul di wajah gadis itu ketika dia menyadari bahwa ini akan terus berlangsung hingga dirinya mati? Dan seberapa mengenaskannya gadis itu sebelum gadis itu melihat dirinya di aniaya, di nodai, sebelum kematian itu menjemput?
Dengan itu sang sasquatch tidak menyadari apa yang terjadi ketika dia hendak mengambil langkah kedua.
Dia bahkan tidak melihat gadis Noman itu seraya dia memasukkan batu ke dalam ketapel dan menerbangkannya. Batu itu bersiul melewati kepalanya dan menghantam di akar pohon.
Terdengar suara krak kering, dan dedauanan datang jatuh dari pohon.
“Aku berhasil...!”
“Ap-apa...?!” sang sasquatch menjerit, mengeluh. Dia ingin mengatakan bahwa itu adalah curang, itu tidak termasuk. Namun hal kemudian dia melihat batu itu datang mengarahnya.
Dia jatuh tidak sadar bahkan sebelum dia menyadari bahwa dia telah tidak sadarkan diri.
Itu karena, semenjak dahulu kala, para raksasa selalu rentan dengan batu yang di lempar manusia...
*****
“Aku berhasil...!” Priestess berteriak, menujuk kepada sasquatch, yang terjatuh dengan bunyi yang keras. “Dan sekarang aku menang, Aku...uh, aku punya hak!”
“Mmm.” Lizard Priest mengangguk, namun tentu saja sisa dari para sasquatch tidaklah berniat untuk menuruti mematuhi peraturannya. Alih-alih, gelisah, mereka memukul dada mereka mengancam, berteriak dan meraung.
“Kakak! Kakak kita tamat! Noman mengalahkan kskak kita!!”
Namun makhluk itu yang berputar mendatangi Priestess tidaklah begitu cerdas. Seperti kakaknya yang mati, yang hanya dia dapat pikirkan hanyalah mengangkat gadis itu dan menghancurkan kepalanya dengan jarinya.
“Gnome! Undine! Buatkanlah bantalan terbaik yang pernah ada!”
Karena itu sang sasquatch tidak pernah menyadari seorang dwarf berkeliaran di sekitar. Salju berubah menjadi lumpur, yang tidak dapat menopang beban tubuh makhluk itu: dia tenggelam tepat ke dalamnya.
“Hr-hrragh...?!”
“Oh, yang—! Kenapa sih selalu aku yang dapat pekerjaan fisiknya akhir-akhir ini...?!”
Dia juga, tentunya tidak pernah membayangkan pemanah elf berputar di sekitarnya dengan sebuah tali untuk mengikat dirinya.
“Nrraagghh?!” Tidak ada yang dapat dia lakukan; sang sasquatch dengan besar tubuhnya, terjatuh begitu saja. Dia mendarat di tanah dengan keras dan jeritan yang tidak pantas. Salju berterbangan seperti sebuah longsoroan; kepala sasquatch terhantan dan hilang kesadaran.
“Dan dengan ini kontes telah berakhir!” Proklamasi haus darah Lizard Priest terdengar dengan raungan suara yang setara dengan seekor naga. Dia berdiri di atas raksasa yang telah terkena bstu untuk menghabisinya. “Berikutnya saya akan menangani ini dan ketika saya selesai, saya akan memenggal kepala kalian dan mempersembahkan jantung kalian sebagai tumbal!”
“U-urrgh...!” Sasquatch terakhir di buat tidak ada pilihan. Ketika seekor lizardman berkata dia akan melakukan sesuatu, dia akan melakukannya, persetan dengan Ketertiban dan Kekacauan. Sasquatch melihat kepada kakaknya yang mati dan yang tidak sadarkan diri, kemudian ketakutan, setidaknya, dia membuktikan bahwa dia lebih cerdas dari saudaranya.
“Noman! Noman membunuh kakakku!!” dia mengangkat keduanya dengan terburu-buru, kemudian bergegas melarikan diri ke dalam gunung.
Lizard Priest mendengarkan langkah mundur besar itu dengan penuh rada puas. “Dan kalau begitu, apakah kita puas dengan hasil ini?”
“Ya... Terima kasih banyak.” Priestess memegang dada dengan satu tangan dan menghela. Jantungnya berdegup layaknya sebuah alarm bel. Dia sangat bersyukur bahwa semuanya telah berjalan lancar.
Aku nggak suka membiarkan sesuatu pada keberuntungan.
“Tadi itu...mantap banget!”
“Kamu mengalahkan mereka...”
Priestess yang tersadarkan oleh suara kedua orang yang telah menunggu jika kala keadaan terburuk terjadi. Rookie Warrior dan Apprentice Cleric, masih menahan Harefolk Hunter, melihat Priestess dengan terbelalak.
“Cuma beruntung. Itu saja.” Priestess tersenyum malu, merasa tatapan mereka terlalu intens. “Kalau Goblin Slayer ada di sinu, dia pasti akan mendapatkan ide yang lebih bagus lagi...”
Aku yakin. Namun ucapannya hanya mengundang tatapan keheningan dari yang lain.
Kenapa? Priestess memperhatikan mereka penuh pertanyaan, berpikir apakah dia telah mengatakan sesuatu yang aneh.
“Tapi kamu— Dengar, aku nggak mengeluh, oke? Tapi kamu seorang priestess kan?” Harefolk Hunter tampak sama bingung seperti Priestess. Telinga panjangnya mengepak dan sang kelinci melanjutkan dengan bimbang. “Bukannya kamu bisa dibilang...menipu mereka? Apa itu nggak masalah?”
“Er...” Priestess cukup terkejut. “Tapi... aku nggak menyentuh mereka, kan?”
Dia telah mengikuti peraturan.
High Elf Archer, baru bergabung dalam party, mendengar itu dan mendengak menatap langit, tidak tahu harus berkata apa.
1 Comments
Prank di isekai serem cuy wkwkwkkww
BalasHapusPosting Komentar