SKENARIO MASING-MASING
(Translator : Zerard)
“Aku penasaran—apa yang kamu bicarakan dengan gadis itu?”
Seekor elang menjerit dan berputar di atas kepala mereka. Arc Mage, memimpin jaoan melewati jalan tak berarah, melirik ke belakang.
Goblin Slayer, memikul kargo yang begitu berat hingga memaksa pundaknya menurun, mendengus dari balik helmnya. “Bukan sesuatu yang spesial,” dia berkata. Kemudian dia hanya menambahkan, “Aku cuma membantu pekerjaannya.”
Arc Mage menyengir, meneguk sari apelnya, dan menelan dengan begitu berisik. Matanya terlihat begitu lembut seraya dia berkata, “Bukan itu yang ku maksud. Maksudku witch itu.”
“Aku memintanya untuk melakukan beberapa pekerjaan untukku.”
“Ah, sudah jelas kalau begitu. Padahal kamu punya pekerja sihir yang sangat piawai di depanmu ini. Tapi, kurasa aku ini memang pemberi questmu sih.”
Yang membuatku nggak bisa menerima permintaanmu.
Arc Mage tertawa (apakah ada yang lucu?) Dan terus berjalan dengan langkah riang. Goblin Slayer, membawa bagasi, melangkah melewati semak-semak mengikutinya.
Arc Mage tidak memberitahukannya kemana mereka akan pergi. Dan Goblin Slayer tidak bertanya. Terdapat goblin pada tujuannya, dan pekerjaannya adalah untuk melenyapkan mereka. Tidaklah penting kemana mereka akan pergi. Dia tidak perlu mengetahui apapun kecuali apa yang di butuhkan untuk bertarung.
“Hei, apa kamu nggak pernah merasa kepanasan dalam kostum kayak gitu?” Arc Mage melonggorkan kerah pakaiannya—tampaknya dengan sengaja—dan mengipas-ngipaskan dadanya. Tentu saja, sejauh Goblin Slayer dapat melihat, tidak ada setetes keringatpun yang muncul pada wanita itu. Merah tipis yang muncul pada pipinya tentunya berasal dari alkohol. Dan bahkan itupun adalah normal bagi wanita itu.
“Nggak.” Goblin Slayer menjawab singkat, kemudian mendengak menatap langit.
Cahaya matahari begitunkuat, begitu terang hingga mengancam akan membutakannya. Musim panas pasti hampir tiba. Dan ini akan menjadi semakin panas.
“Kurasa ini sudah waktunya kita mencari tempat untuk berkemah malam ini.” Goblin Slayer berkata. Arc Mage mengangguk.
“Nggak bisa mengharapkan angin di musim panas ya?”
Adalah hampir hari kedua semenjak mereka meninggalkan kota.
*****
“Ujung-ujungnya, questku untukmu itu adalah membasmi goblin.” Arc Mage berkata dengan senyuman. Adalah malam, dan dia sedang duduk di samping api unggun yang di buat Goblin Slayer. Untuk menghindari resiko terjadinya kebakaran hutan, dia telah memangkas rumput di sekitar, kemudian mengumpulkan ranting kering dan rumput untuk di gunakan sebagai bahan bakar.
“Begitu?” Goblin Slayer menjawab seraya dia memasang sebuah keju sate berlapis sosi di atas api.
Ketika keju mulai meleleh, Arc Mage menariknya, bergumam “panas, panas, panas!” seraya dia menggigit sate itu. “Mmmmm...!” Ujung bibirnya terangkat gembira, tampaknya dia menyukainya.
Goblin Slayer, yang membeli makanan hampir secara acak, menghela napas kecil lega.
“Ini dari kebun iti kan? Apa kamu sengaja melakukannya?”
“Kebun.” Goblin Slayer melihat ke bawah kembali pada sate yang ada di tangannya. Sate itu sudah masak sekarang—apakah mereka membuat ini di kebun itu? Dia menggigitnya, dan keju itu sangat manis, rasa asin pada sosis sangatlah pas. Satu gigitan, kemudian dua, menghilang masuk ke dalam helm baja itu. “Aku nggak tahu.”
“...Apa kamu tipe yang seperti itu? Tipe yang cuma mau mengisi perutnya dan mendapatkan nutrisi tanpa peduli soal hal lain?” Arc Mage mengumbar ekspresi pada wajahnya yang artinya, sulit di percaya, namun pria itu menggeleng kepalanya perlahan dari samping ke samping.
“Aku nggak pilih-pilih, tapi masterku mengajarkanku kalau kamu ingin hidup, makanalah sesuatu yang hangat dan berlemak.”
“Ho,” Arc Mage berkata, terdengar terkesan kali ini. “Sepertinyya orang yang sangat berpengalaman. Ya, aku setuju. Kalau kamu punya hal yang hangat dan berlemak, kamu bisa hidup.”
“Dia adalah rhea.”
“Masuk akal.” Arc Mage mengangguk dan mencium tutup botol sari yang terbuka seolah itu adalah mulut kekasihnya. Kemudian dia menjilat tetesan yang mengalir dan memberi isyarat pada pria itu dengan tangan yang memegang botol. “Itulah di mana kita bisa mendapatkan hasrat untuk hidup. Makanlah apa yang kamu mau makan.”
“...Apa yang ingin aku makan?”
“Iya dong. Nggak perlu buat sungkan.” Arc Mage meneguk alkohol dan mengigit besar sosi seolah untuk mengilustrasikan maksudnya. “Ngomong-ngomong soal itu, aku jadi penasaran tentang goblin.”
“...”
Goblin Slayer tidak mengatakan apapun, namun mengambil batang kayu berukuran sedang dan mengaduk api. Ketika dia memperhatikan dengan lebih seksama, batang itu bercabang pada ujungnya, jika seseorang mengikstkan sebuah batu di sana dengan tali, itu akan menjadi oentungan yang bagus.
“Apa goblin bahagia, nggak bahagia—? Pastinya gampang banget, menjadi benar-benar cuek, nggak pernah memikirkan apapun.”
“...”
“Tapi juga, coba lihat betapa kurusnya mereka, betapa kelaparannya mereka. Nafsu makan mereka nggak pernah terpuaskan. Mereka nggak pernah kenyang.”
“Aku nggak peduli,” Goblin Slayer berkata. Dia hampir meludahkan ucapan itu. “Permasalahannya adalah apa keputusan yang akan mereka buat, bagaimana mereka bertindak. Bukan apa yang mereka pikir ada di sekeliling mereka.”
“Ya, benar. Kamu bener banget.” Arc Mage memiringkan botol alkohol mengarah dirinya, tidak membiarkan satu tetespun terjatuh.
Api berdecak. Goblin Slayer mengaduknya kembali.
“Itulah kenapa—Yah, itulah kenapa aku pikir nggak salah untukmu buat tidak menulis buku tentang goblin.”
Itulah kemungkinan alasan dia berhasil untuk tidak melewatkan bisikan terakhir dari wanita itu.
“Mengejar pengetahuan itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Itu membutuhkan jerih payah. Pertama untuk mendapatkannya, dan kemudian hidup dengan pengetahuan itu.”
“Dan kebanyakan orang dari awal enggan untuk mendapatkannya.” Arc Mage menambahkan.
“Orang-orang nggak mau mendengar cerita garing sejarah pahlawan—mereka ingin syair romantis.”
Goblin Slayer mengangguk. Dia merasa memahami apa yang wanita itu maksud. Dia mengingat kala itu di desanya, mendengarkan beberapa cerita tentang para pahlawan. Masing-masing cerita itu mungkin sedikit di lebih-lebihkan oleh penyair yang menyanyikannya. Namun dia mempercayainya dan bermimpi untuk menjadi petualang—atau paling tidak, itu yang dulu dia inginkan.
Namun dia tidak akan pernah bisa. Adalah mustahil baginya.
“Bahkan Monster Manual juga seperti itu. Coba aja lihat betapa kerasnya kita bekerja kan? Dan kita bukan satu-satunya.”
Mempelajari, meneliti, menulis, menggubah. Ucapan Arc Mage tampak berdansa melintasi udara malam.
Menyusun, menyampul, mengantar, mengirim, penerimaan, dan penyimpanan...
Pengetahuan untuk melakukan semua itu sendiri bahkan adalah prasyarat untuk memproduksi buku itu.
“Dan pengetahuan itu”—Arc Mage berbicara seperti seseorang yang sedang membedah perut makhluk hidup dengan penuh belas kasih—“bukanlah sesuatu yang wajib kita berikan secara gratis pada sembarang anak kecil yang melarikan diri dari desanya, yang bahkan nggak bisa membaca dan terbunuh ketika memburu goblin.”
Bahkan walaupun mereka di beritahu, mereka tidak mempunyai kapasitas untuk bisa memahami apa yang mereka dengar.
Seperti itulah belajar.
“Jadi kamu nggak mau menulis buku goblin? Murni dari sudut pandang biaya dan keuntungan, kamu memang benar banget.”
Goblin Slayer berpikir sejenak. Terdapat kuil Dewa Pengetahuan di desanya. Kuil kecil, tapi tetap saja... jika mengingatnya sekarang, dia berharap untuk lebih sering mengunjunginya waktu dulu. Karena saat ini, dia tidak memiliki edukasi lain selain huruf dasar yang kakaknya ajarkan.
“...Aku kira penganut ajaran Dewa Pengetahuan bersemangat untuk menyebarkan pengetahuan dan pembelajaran.”
“Ya, tentang meraih dan membaginya. Dunia ideal mereka akan sangat dermawan dan baik dan damai dan terdengar indah.”
Goblin Slayer berpikir kembali. Dunia di mana siapapun dan semuanya memiliki akses untuk pengetahuan. Dia tidak dapat membayangkannya. Membaca dan menulis adalah lain cerita, namun pengetahuan bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah di berikan seseorang.
“Tapi dunia kita nggaklah ideal sama sekali. Ini adalah permainan papan para dewa, penuh dengan takdir dan kemungkinan.”
Aku sama sekali nggak mempunyai simpati bagi orang yang pergi menuju kematiannya dengan cuek. Apalagi kalau aku nggak tahu wajah mereka.
Dengan itu, Arc Mage bergumam—mungkin dia tidak bermaksud untuk di dengar pria itu—dan kemudian sekali lagi mencium mesra botol sari apelnya.
“Cahaya dari pengetahuan masih tipis, dan kegelapan akan kebodohan masih melimpah.”
“...”
“Pengetahuan dirimu mungkin adalah satu percikan untuk melawan kegelapan itu.”
Ucapan itu membuat Goblin Slayer menggerakkan helmnya sedikit, untuk melihat mengarah wanita itu. Di antara kegelapan malam dan sinar api, dia mengira dia dapat melihat mata wanita itu yang berkaca-kaca.
Mungkin itu adalah ilusi. “Kalau begitu,” dia bertanya, “Bagaimana denganmu?”
Arc Mage tidak menjawab...terkecuali tanda kecil akan senyum ambigu yang tertangkap di balik api.
“Dengan ini kita sudah sampai pada ujungnya.” Wanita itu berkata seraya mereka mencapai ujung dari lahan. Semak-semak menipis di bawah kaki mereka, tanah lapang mulai terlihat.
Terdapat alam liar di depan mereka. Sebuah tanah gersang. Bumi di sini sangatlah kotor sengan warna merah, seolah telah terbakar dengan api; beberapa mengatakah bahwa ini adalah sisa dari pertempuran besar dari Jaman para Dewa.
Hal itu sama sekali tidak menarik bagi Goblin Slayer. Dia hanya berkata, “Begitu.”
“Sekitar satu dari setiap empat arah akan mempunyai satu, dalam istilah luas. Tentu saja, bukan berarti harus empat.”
Dan sekali lagi, pria itu mengulangu, “Begitu.” Akan tetapi, dia menambahkan. “Apa itu tujuan kita?”
“Bisa di bilang, iya.”
“Sebagai contoh,” wanita itu memberikan ayunan pada tangannya. Dia mengeluarkan sebuah dadu yang keluar secara tiba-tiba, seolah dia sedang melakukan sihir.
Dadu itu berkilau layaknya taring makhluk buas, atau seperti harta karun. Dadu itu menangkap cahaya merah matahari dan menyebarkannya ke segala arah.
“Ada berapa sudut yang di punyai dadu ini?”
“Delapan.”
“Bagus. Dan wajahnya?”
“Enam.”
“Sekali lagi jawaban bagus.”
Sekarang... Arc Mage memberikan senyum menggoda, seolah memberikannya kepada murid yang benar-benar berbakat. “Kalau kamu mendatangi salah satu sudut itu, apa yang kamu lihat?”
“...” Goblin Slayer berpikir sejenak. Kemudian dia menyatakan sebuah fakta sederhana. “Kurasa, Tiga wajah.”
“Tepat banget!” Arc Mage tersenyum seolah pria itu telah menebak apa yang dirinya pikirkan.
Arc Mage tampak tidak siaga akan adanya bahaya, walaupun dia sedang berjalan mundur. Goblin Slayer mengatur muatan yang ada di pundaknya dan berjalan di belakang wanita itu, atau bisa di bilang, di depan wanita itu.
“Ketika kamu ingin mencapai puncak dari gunung, apa puncaknya adalah tujuanmu yang sesungguhnya? Atau pemandangan? Atau apa yang ada di baliknya? Itulah pertanyaannya.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata untuk ketiga kali. “Jadi ada goblin di sana.”
“Kita akhirnya menemukannya, dan lihat. Ini cukup untuk membuat hati seorang gadis hancur.”
Lihatlah.
Arc Mage berbicara seolah dia bisa melihat apa yang ada di belakangnya, kemudian dia berputar dengan senyuman.
Goblin Slayer tidak menyadarinya hingga wanita itu mengalihkan perhatiannya pada itu.
Sebuah menara hitam. Sebuah bayangan besar menjulang di dalam kegelapan.
Menara ini berdiri tinggi di atas gurun, hingga mencapai langit.
Goblin Slayer berkedip di balik helmnya. Kemudian dia mendengus. “...Aku nggak menyadarinya.”
“Nggak heran. Hanya orang yang mengetahuinya yang dapat melihatnya.”
Goblin Slayer mengangguk tidak tertarik, kemudian berjongkok dan memperhatikan pintu masuk menara dengan seksama.
Ya, itu mereka.
Goblin bergerak layaknya noda tinta di antara bayangan. Kemungkinan penjaga. Mereka membawa tombak pendek dan berdiri melamun pada pos mereka, terlihat lelah.
“Berpikir saja nggak akan memberitahu kita tentang apa yang mereka lakukan di sini,” sebuah bisikan di telinga Goblin Slayer. Dia mencium aroma samar akan sari apel dan obat.
Di balik helmnya, Goblin Slayer menurunkan pandangannya, memperhatikan Arc Mage yang bersandar pada pundaknya.
“Aku penasaran apa ada semacam pertarungan di timur. Yang membawa naungan kematian goblin sampai kesini.”
“Naungan...?” Dia tidak mengetahui kata itu dengan cukup baik.
Memperhatikan ketidakpastian pria itu, Arc Mage hanya berkata, “Aku jelaskan nanti,” dan tertawa. “Cara mudahnya itu memanjst dinding luar atau terbang untuk mencapai puncak, tapi kurasa kita nggak bisa melakukan itu.”
“Panjat dinding luar,” dia bergumam pelan.
Begitu. Itu memang satu kemungkinan.
“...Jadi kita masuk ke dalam?”
“Yep. Ayo.”
Arc Mage tersenyum seperti seolah sedang jenarik hati seorang pria, berdiri dari pundak Goblin Slayer. Dia masih tersenyum pada wajahnya. Dia bertanya kepada pria itu. “Apa yang akan kamu lakukan?”
Goblin Slayer menjawab. Hanya ada satu jawaban. Tidak perlu bimbang.
“Aku akan membunuh semua goblin.”
Adalah jelas apa yang harus di lakukan.
Dan di mana.
Satu-satunya pertanyaan adalah...bagaimana.
*****
Dengan menara yang menjulang di depan mereka, sang ppetualang dan pemberi quest memperhatikan dan menunggu kesempatan mereka.
Goblin menggerutu dan mendengus di pintu masuk. Tidak terdapat pepohonan di sekitar menara; para penjaga dapat melihat sekitarannya dengan cukup jelas.
Hanya terdapat satu semak-semak, cukup besar untuk dapat menyembunyikan dua orang. Di saat mereka melewatinya, para goblin tentu akan menyadari keberadaan mereka.
“...Nggak ada bayangan,” Goblin Slayer berkata pelan. Matahari yang tenggelam menyinari bagian belakang menara, namun menara itu sama sekali tidak mempunyai bayangan. Adalah mustahil terkecuali di saat matahri sedang berada di puncaknya—tidak, walaupun begitu.
“Ini akan menbuat kita sulit untuk bersembunyi di saat kita mendekat.”
Tentunya, Goblin Slayer sama sekali tidak khawatir dengan rincian kecil seperti ini. Lalu juga, di karenakan goblin dapat melihat di kegelapan, Goblin Slayer tidak mengetahui apakah bersembunyi di dalam bayangan akan dapat membantu. Apapun itu, sebuah penyerangan langsung tanpa sedikitpun mencoba untuk melakukan sesuatu sangat membuatnya tidak nyaman.
“Coba perhatikan. Para goblin nggak memantulkan bayangan juga kan?” Suara Arc Mage terdengar cepat dan bernada tinggi; dia tidak berusaha untuk menyembunyikan kegembiraannya. “Itu karena semuanya bayangan. Naungan nggak bisa memantulkan bayangan. Masuk akal. Ngerti maksudku kan?”
“Nggak,” dia berkata acuh. Ucapannya terdengar seperti dengusan pelan. “Aku nggak menegerti tentang naungan yang kamu bicarakan dari tadi.”
“Itu apa yang di kejar para pembaca mantra.” Arc Mage menyeringai, walaupun Goblin Slayer tidak melihat sesuatu yang lucu dan tetap terdiam. “Sudah ku bilang. Memikirkan itu nggak akan menghasilkan apa-apa. Mereka itu muncul dari suatu pertempuran di suatu tempat.”
“...”
“Artinya, seperti menara itu, naungan akan para goblin itu sedang di pancarkan dari suatu tempat. Contohnya...” Dia memberikan sebuah tatapan menunjuk kepada Goblin Slayer. “Seperti, bulan hijau yang kamu bilang.”
“...Jadi kita bisa membunuh mereka?”
Arc Mage memberikannya kedipan mempesona. Kemudian dia tertawa, seperti anak kecil yang berhasil menebak jawaban yang di berikan; dia terdengar cukup terhibur. “Sesuatu yang nggak mempunyai bayangan memiliki kekurangan dalam semangat hidupnya. Mereka hambar, depan dan belakang sama saja. Aku nggak bilang kalau mustahil untukmu membunuh bayangan.”
“Jadi kita bisa membunuh mereka.” Goblin Slayer memfokuskan sebagian dari ucapan itu yang dapat dia mengerti, dan ini adalah kesimpulan yang dia tarik dari itu. Jika tidak, maka tidak akan ada gunanya bagi pemberi questnya untuk menggiring dia hingga sampai ke sini.
Ya. Arc Mage mengangguk. “Kamu tahu pepatah ‘menjadi bayangan’? Menjadi imitasi? Itu pintu dua arah. Apa yang kita lakukan pada naungan akan berdampak sama dengan benda yang memancarkannya. Kita bisa memanfaatkan identifikasi ini dengan menara sesungguhnha...”
Kemudian Arc Mage bergumam, “kurasa nggak ada gunanya membahas ini,” kemudian dia tesenyum.
“Yah, anggap saja seperti kutukan. Injak bayangan goblin, dan dia akan mati. Logikanya sama.”
“Aku mengerti.” Goblin Slayer berkata. Dia tidak mengetahui apapun tentang kutukan. “Kalau begitu, itu sudah cukup.”
Hanya ada satu hal yang penting.
Dia tidak memahami menara ini yang muncul entah dari mana, ataupun para goblin yang di sebut Arc Mage sebagai naungan.
“Jadi maksudmu, para goblin itu bisa di bunuh.”
Tindakan pria itu berikutnya sangatlah cepat seperti angin. Di kala dia sudah mengetahui apa yang perlu di lakukan, tidak ada alasan untuk bimbang.
Goblin Slayer mengambil batu kecil yang terbarinh di atas gurun, memilih bentuk yang paling bagus di antara semuanya.
“Bersiaplah.”
Bahkan seraya dia berbicara, dia melemparkan batu, kemudian menarik pedang dan meluncur ke depan.
Sang goblin oenjaga melihat pria itu keluar dari semak-semak dan membuka mulutnya.
Batu itu terbang mengarah goblin itu seolah telah menunggu momen ini, menghantam batang otaknya dan membuatnya terhuyung ke belakang sebelum dia dapat berteriak.
“GOROBBG?!”
“Satu...!”
Penjaga lain berusaha untuk mengangkat tombaknya, namun Goblin Slayer menghantam tubuhnya mengarah goblin itu.
“GBB! GROBG!!”
Dia menangkis ujung tombak berkarat dengan perisainya kemudian menyayat tenggorokan makhluk itu dengan pedang.
“GRBBO?!”
Sebuaah semburan darah terlontar pada senandika, menodai helm baja.
“Dua.”
Dia menarik pedangnya dan membersihkan darah yang menempel pada pedang, membenamkan pedangnya pada goblin lain, dan berkata, “...Kalau mereka berdarah, aku setuju. Kita bisa membunuh mereka.”
Segalanya tentang mereka, hingga rasa yang dia rasakan ketika membenamkan pedangnya, adalah seperti goblin sungguhan. Dan mayat itu juga tidak menghilang. Apakah itu naungan atau bayangan atau apapun itu taampak tidak membuat perbedaan sama sekali. Goblin tetapllah seekor goblin.
Dia mengelap darah dan lemak dengan kain dari salah satu monster, kemudian mengambil tombak pendek. Sekali lagi, apakah itu bayangan atau apapun itu, selama senjata ini terasa asli, ini bukanlah masalah baginya.
“Kita masuk ke dalam sebelum kita ketahuan. Ayo.”
“Aduuuhh, kamu ini selalu aja buru-buru... Ooh, tunggu sebentar.”
Pada panggioan Goblin Slayer, Arc Mage mencoba berdiri dari tempatnya di balik semak-semak, membuat semak itu bergemerisik. Berlari hati-hati agar tidak menginjak bunga-bunga, dia datang dan mendekati salah satu mayyat goblin.
Goblin Slayer mengira bahwa wanita itu akan mengeluarkan pisau melengkung itu, namun dia salah.
“Nggak ada waktu di sini. Ini saja sudah cukup untuk penyamaran.” Dia tertawa dan mencelupkan jarinya ke dalam darah, mengoleskannya pada wajahnya dengan pola rumit seperti sebuah huruf. Ketika aroma itu terhirup oleh Goblin Slayer, aroma itu seperti sebuah tinta baru.
“Apa ini semacam mantra?”
“Sebut saja Flavor Text. Ayo!”
Goblin Slayer mengangguk, dan mereka melewati pintu masuk menuju menara hitam.
*****
Aku nggak pernah melihat yang seperti ini, tapi sepertinya polanya terlihat berulang-ulang. Goblin Slayer berpikir seraya mereka berjapan melewati terowongan berpola sama dengan benda yang dia tidak mengetahui apa kegunaannya.
Di dalam, menara ini terlihat seperti labirin yang sangat membelit. Apakah terbuat dari metal? Jalanan ini tampak berlanjut tanpa akhir, tidak ada jendela, hampir tidak cukup untuk dua orang berjalan berdampingan.
Sebelum mereka masuk, Goblin Slayer berpikir bahwa mereka mungkin akan membutuhkan obor, namun walaupun tidak ada sumber cahaya yang terlihat, isi dalam menara sangatlah mudah untuk di lihat. Namun, entah mengapa, semuanya selalu memudar menjadi kegelapan pada jarak tertentu di depan mereka. Dia mencoba untuk melemparkan sebuah obor menyala ke dalam kegelapan itu, namun tidak ada yang berubah, oleh karena itu dia hanya menerima kenyataan bahwa memang seperti inilah keadaan yang ada di sini.
“Kemampuanmu untuk menerima apa yang ada itu benar-bensr salah satu keunggulanmu.” Arc Mage tertawa, tetapi...
Hal yang terpenting adalah mereka belum bertemu dengan gerombolan besar goblin.
“Enam...!”
“GBBOR?!”
Goblin Slayer menghantamkan ujung perisainya pada hidung goblin yang datang di sekitar sudut jalan. Hantaman itu menghancurkan hidung, menembus otak, dan goblin itu terjatuh ke balakang dan mati.
Otak adalah titik vital, bahkan bagi seekor goblin. Itulah kesimpulan yang dia dapat setelah dia banyak melakukan pertarungan, perenungan, investigasi dan analisis.
Terdapat sesuatu yang dapat dia raih dari setiap goblin yang dia bantai, apakah itu pengetahuan teoritis, atau kemampuan praktikal. Semua adalah refrensi, semua adalah latihan, dan semua adalah pengalaman.
“Tujuh!”
Dan ini, sebagai contohnya.
Goblin Slayer mengangkat tombak yang ada di tangan dan melemparkannya sekuat mungkin pada jalan di depannya. Tombak itu melintas di udara, kemudian menembus dada seekor goblin, memberikannya luka fatal.
Dia melompat pada makhluk yang tersedak, muntah darah, dan mematahkan lehernya.
“Kamu semakin jago melempar ya.” Hee-hee. Satu atau dua langkah di belakangnya, Arc Mage manahan tawanya seraya dia berbicara. “Bisa mengambil inisiatif dan menyerang di manapun, di ruangan atau di lorong—itulah yang membuatmu kuat.”
Dan tidak seperti busur dan panah, dia tidak memerlukan dua tangan untuk melakukannya.
Goblin Slayer mengangguk pada ini, kemudian mengambil pentungan dari salah satu goblin. “Kamu tahu kemana kita pergi? Kalau kita tersesat, kita akan dalam masalah.”
“Nggak usah khawatir soal itu,” Arc Mage berkata, membuat gerakan elegan dan luas dengan tangan kirinya. Dan pada tangan kirinya terdapat sebuah kilau Percikan.
“Ini akan jadi pemandu kita—atau yang bisa di bilang, kemanapun aku pergi, di situlah tempat yang kita tuju.”
“Aku nggak mengerti.”
“Tujuannya nggak di pilih dari percikan tapi oleh masternya.”
Lanjut saja. Goblin Slayer mematuhi ucapan Arc Mage.
Walaupun beberapa percabangan dan beberapa ruangan yang mereka lewati, pemandangan yang mereka lihat tidakpah berubah. Ruangan yang baru saja mereka capai, sama persis dengan ruangan lainnya, satu-satunya perbedaan adalah pintu tebal di antara kosongnya ruangan.
Tidak, ada perbedaan lain juga...
“Apa ini?”
Sesuatu yanh seperti kabut mengambang di depan pintu, yang tampak seperti kayu hitam tanpa lubang kunci.
Pada mulanya Goblin Slayer menghiraukan itu, dan mengeinspeksi pintu. Sangatlah bagus pintu ini tidak mempunyai lubang kunci. Namun walaupun ini tampak seperti sebuah pintu ganda yang akan terbuka dari tengah, tetapi tidak tampak sedikitpun celah tengah pintu.
“Hmm... Sepertinya ini jadi terlihat seperti pertengahan dari segalanya,” Arc Mage berkata, terdengar terhibur dan cemas seraya dia mencoba meraba kabut. Setiap kali dia melakukannya, kabut hitam itu akan berubah bentuk, lompat dan meletus seperti sebuah gelembung. “Tubuh sesungguhnya yang telah kehilangan bentuk karena merapalkan bayangan ini... dengan kata lain, kurasa ini kuncinya.”
“Apa kamu bisa melakukan sesuatu tentang ini?”
“Kita hanya perlu mengembalikan benda ini ke bentuk sebenarnya... Mungkin?”
“Aku nggak tahu.” Goblin Slayer menjawab, menoleh balik ke arah mereka datang.
Dia mendengar ceracau suara para goblin, mungkin mereka akhirnya menyadari adanya sesuatu yang salah.
Kemudian terdengar suara hentakan kaki dan ceracau lagi. Suara akan campuran perlengkapan yang saling berhantaman satu sama lain.
Di balik helmnya, dia menghela. Ini akan cukup mudah. Tidak ada musuh di belakang, hanya ada satu jalan masuk di depan. Lebih mudah di banding mempertahankan sebuah desa. Ini adalah pertarungan di mana dia tidak boleh kalah—namun itu hal yang selalu dia alami.
“Aku serahkan padamu.”
“Ya, baik, aku akan coba,” Arc Mage tersenyum berani di belakang pria itu, dan sementara itu, Goblin Slayer bertemu dengan goblin pertama yang melompat dengan pentungan di tangan.
“GOBORO?!”
“Hmph.”
Tengkorak monster itu pecah, mencipratkan tulang dan darah dan otak ke segala arah.
Goblin Slayer menghantamkan pentungan sebanyak dua atau tiga kali lagi sebelum dia membuangnya dan mengambil kuda-kuda rendah.
Armor kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan. Pada lengan kiri terikan sebuah perisai bundar kecil, sementara pada kanannya adalah sebuah pedang dengan panjang yang janggal.
“GOB! GOOBBG!!”
“Dengan ini sepuluh!”
Seraya goblin berteriak dan menerjang kepadanya, dia mengayunkan pedangnya ke atas untuk menebas bagian bawah dagu monster itu.
“GOBOGO?!”
Mayat goblin yang kejang-kejang menghantam jatuh kepada tetangganya seraya mayat itu mendarat.
Tanpa kehilangan tempo, Goblin Slayer menggunakan perisainya untuk menangkap pentungan yang di ayunkan goblin di kiri, kemudian mengibaskan lengannya, menghiraukan rasa perih yang terasa.
“Sebelas...!” Ketika monster itu terhuyung, dia membenamkan pedangnya masuk ke dalam tenggorokan makhluk itu. Darah menciprat, menodai hulu pedang dan tangannya. Goblin Slayer dengan segera melepaskan pedang, mengambil kapak dari goblin yang sekarang telah mati seraya dia menendang mayat itu menjauh.
Para goblin telah menyingkirkan tubuh monster pertama yang pria itu telah bunuh dan sedang mendekat dari depan.
“Hrm...!”
Dia menangkis sebuah tombak dengan perisai, meluncurkan serangan dengan kapaknya. Dia sama sekali tidak berpikir untuk menahan diri. Pembantaian mereka semua adalah satu-satunya tujuan dia.
“Para musuh menginginkan kamu mati! Kamu pikir kamu bisa menang kalau kamu nggak peduli apakah kamu mengenai mereka atau nggak?”
Seperti itulah ucapan masternya, sembari rentetan pukulan menghajarnya.
Tarik pedangmu dengan niat untuk membunuh, dan pikir untuk menahan diri setelah kamu selesai.
Goblin Slayer menarik napas dalam, menenangkan pernapasannya; dia menarik kapak yang dia tanamkan di kepala goblin.
“Sepuluh, dan dua.”
“GOROG...”
“GBB...!”
Para goblin, tidak yakin harus bagaimana untuk menyerang, menggerutu benci mengarah pria itu.
Pada jarak ini, aroma tidak akan dapat menutupi apapun lagi.
Wanita. Ada wanita di sana. Wanita muda. Dan mereka cuma berdua. Ambil. Curi.
Para goblin membuat wajah menjijikkan, penuh akan nafsu dan kebencian. Walaupun mereka adalah Naungan, mereka tetaplah seekor goblin. Mungkin itulah yang membuat mereka semakin buruk.
Pada akhirnya mereka telah menemukan seorang wanita, dan mereka merasa frustrasi karena menemukan bahwa jalan mereka telah di halangi. Benar, mereka adalah yang mencoba untuk menyerang wanita itu, namun itu tidaklah memberikan petualang ini hak untuk menghentikan mereka.
Kalau saja pria itu tidak ada di sana. Ini adalah salah pria itu.
“GRRGB! GBGOROGOB!”
“GOROGG!”
Goblin Slayer tidak memahami bahasa goblin. Namun entah bagaimana, dia tampak mengerti apa yang di pikirkan kumpulan goblin itu dengan sangat mudah.
Sekarang, bagaimana cara membunuh mereka?
Tangannya bergerak memegang kapak seraya dia berpikir, biarkan mereka datang. Jalan sempit ini akam mencegah mereka untuk menyergap dirinya dan melumpuhkan efek dari jumlah mereka, dan dalam pertarunga satu lawan satu dengan seekor goblin, dia tidak mungkin kalah.
Paling tidak, selama tenaganya dapat bertahan...
“...Apa-apaan?”
Kepercayaan diri inilah yang menjaganya untuk tidak merasa resah ketika dia mendengar gumam Arc Mage yang terkejut di belakangnya.
“Ini salah, ini nggak benar...!”
“Ada apa?”
“Tubuh jasmaniah seperti ini sehsrusnya tidak mungkin ada! Mustahil secara struktural!”
“Begitu.”
Dia tidak pernah mendengar wanita itu yang begitu kebingungan, atau khawatir, sebelumnya.
Namun mengapa dia harus berpikir bahwa dia dapat mengerti semuanya, apalagi segalanya, tentang orang lain?
“Aku masih bisa menahan mereka,” dia berkata.” Untuk sementara.”
“Iya, aku tahu... Percayalah, aku tahu...!”
Dia dapat mendengar wanita itu menggigit kuku jempolnya. Namun dia lebih tertarik dengan tindakan para goblin, yang mulai tersenyum kala mereka mendengar suara sang wanita.
“GGOBOGOBG!!”
Sebuah lompatan.
Mungkin monster itu mencoba untuk tidak hanya melompati mayat rekan mereka, tetapi juga kepala Goblin Slayer.
Goblin Slayer menghela dalam. Dia masih mempunyai banyak tenaga yang tersisa.
“GOROR?!”
“Tiga belas.”
Dia mengetahui satu titik kelemahan goblin: tepat di antara kedua kakinya.
Dia meluncurkan serangan kapak tanpa belas kasih tepat pada titik itu.
“GOBOGOBOGOOBO?!?!”
Sang goblin menjerit melengking, matanya terputar ke belakang kepala seraya dia kejang-kejang dan menggeliat.
“GOROB?!”
“Empat belas... Hrm.”
Sang goblin berteriak dan terjatuh ke balakang, mencoba untuk menarik belati dari matanya, dan kemudian mati.
Goblin Slayer mengangguk. Jadi mata mereka lembek.
“Itu membuat mereka rentan.”
Terkadang, dia akan menggunakan cara yang dapat membutakan mereka. Itu, jika masih ada lain kali.
Dia menendang sebuah senjata dari goblin yang merintih di dekat kakinya, naik menuju tangan.
“GOROG! GGBOROG!”
“GOOROGBG!!”
Pertarungan berlanjut. Sementara itu, Arc Mage, mengernyitkan wajah cantiknya, keringat dan air mata membasahi wajah seraya dia bekerja pada kabut itu.
Adalah benar persis seperti kabut: cobalah untuk menggapainya, dan kamu akan mendapatkan udara hampa.
Namun memangnya kenapa?
Itu tidaklah berbeda dari yang lainnya.
Tidak berbeda dari segalanya yang dia raih hingga sekarang, segalanya yang wanita itu telah dapatkan.
Dia berjongkok di lantai, mengeluarkan sebuah papan hitam dan kapur dari tasnya. Dia mulai menulis angka dengan depat.
Semuanya adalah angka. Data adalah terbuat dari angka.
Jika para dewa itu sendiri adalah data, maka bahkan mereka akan dapat di mengerti, di pahami. Pasti tidak mustahil.
Satu, dua. Goblin Slayer terus menghasilkan tumpukam mayat goblin. Bersamaan dengan pria itu, otak cerdas wanita itu mulai mencoba bermacam hal ambigu secara bersama, satu, dua.
“...Begitu, Aku mengerti! Aku paham! Semuanya...masuk...akal!!”
Sorak keberhasilan terdengar di saat mungkin terdapat sepuluh goblin lain yang mati di lantai. Arc Mage mengesampingkan papan tulis, mengambil tumpukan kartu yang dia rakit menjadi sebuah buku mantra.
“Sebuah proyeksi dari dimensi lebih tinggi! Ini seperti menggambar di atas kertas—dengan kata lain, inilah bayanganya!”
Dia memberikan sebuah tepukan kuat pada lantai dari menara hitam seraya dia berdiri. Kemudian dia memutar kartu yang ada di tangan, dan dengan pusaran angin dari kekuatan sihir yang muncul, dia mengenyahkan kabut.
“Tiga sudut, tiga garis. Empat sudut, empat wajah. Dan kalau begitu, maka satu dimensi lebih tinggi, sosok terkecil!”
Ucapannya, seperti sebuah mantra, terucap begitu fasih, menghantam kabut hitam satu persatu, mengubahnya kembali menjadi kehampaan, merubahnya seperti sebuah bunga mekar.
“...Artinya lima sudut, lima sel!”
Klak. Terdengar suara sesuatu yang teraktifasi.
Dengan segera, sebuah garis tampak menurun dari pintu kayu hitam, sebuah garis cahaya yang menjalar seperti terukir dengan sebuah pedang.
Terbukalah menara hitam!
“YYYEEEEESSSSS!!” Arc Mage berteriak dengan begitu lantang seperti terompet berburu. “Saat kamu sudah memahaminya, ini mudah! Mainan anak kecil! Goblin Slayer!!”
“...Ya.”
Pria itu tengah menyerang goblin ke dua puluh enamnya, menanczpkan ujung patah dari tombak pendek masuk ke dalam mata monster itu. Ketika dia menarik tombak itu kembali, mata itu ikut tersangkut pada tombaknya. Goblin Slayer membuang tombak itu, berputar dan mulai berlari.
“GORO! GGBGOGOB!!”
“GOROGB!!”
Dengan penghalang yang telah hilang, para goblin bergegas masuk ke dalam ruangan seperti banjir hitam.
“Apa kamu bisa menutup pintunya juga?!” Goblin Slayer meminta.
“Pastinya bisa dong! Kamu pikir aku sia—?”
“Lakukan...!”
Goblin Slayer meraih lengan Arc Mage, menghiraukan jeritan kecilnya.
“Gah! Kamu ini, kurasa cara kamu memperlakukan wanita itu harus lebih di poles lagi, dasar—!”
“Lakukan sekarang!”
Menghiraukan setiap keluhan, Goblin slayer berlari melewati pintu. Di belakangnya, dia dapat mendengar ceracau para goblin yang mendekat.
“Aku tahu, aku tahu, kamu nggak perlu teriak,” Arc Mage turun dari pu dak pria itu. Dia membuat gerakan dengan jarinya. Kabut hitam bergerak dan berubah bentuk.
“GOROOGGB!!”
Satu goblin menjulurkan tangan, mencoba untuk memaksa masuk melewati pintu—namun sudah terlambat.
“Kalian semua...nggak di undang.”
Kayu hitam tertutup dengan suara seperti terkunci.
Satu-satunya yang tersisa adalah satu lengan goblin yang tegeletak di lantai.
*****
“...Jadi, tadi itu apa?” Goblin Slayer bertanya seraya mereka memanjat tangga putar yang sepertinya tidak berujung.
Di sisi lain pintu adalah sebuah tangga yang berputar dan berputar, begitu jauh hingga tampak seperti akan berlanjut selamanya. Tetapi jika di lihat dari tinggi menara, maka ini adalah hal yang sudah semestinya, dan sang petualang ataupun pemberi quest tidak ada yang mengeluh.
Akan tetapi, Goblin Slayer, tentunya tidak menyuarakan pertanyaan itu di karenakan ketidak-sanggupan menahan keheningan.
“Mm, yah,” Arc Mage berkata, membusungkan dadanya seperti anak kecil yang bangga. “Itu tadi naungan. Mereka yang hidup pada dunia akan garis dan wajah tidak akan dapat memahaminya. Nggak begitu berbeda dengan kita...”
Kita tahu panjang, lebar, dan tinggi, tapi tambahkan sudut lain dari dimensi tambahan...
Tetap saja, terdapat seringai mengetahui pada wajah wanita itu. “...Tapi kita bisa lihat bayangan yang makhluk itu pancarkan dan memanfaatkannya. Kalau kita tahu gimana caranya.”
“Jadi itu benda aneh tadi.”
“Betul.”
“Apa goblin bisa menerobosnya?”
Hmm. Arc Mage berhenti, bersandar pada dinding. Goblin Slayer berhenti juga, melihat pada wanita itu.
“Yah,” dia berkata, mengangguk. “Aku mengerti apa yang kamu tanyakan, tapi jawaban pendeknya adalah nggak.”
“Jadi mustahil bagi mereka?”
“Nggak mustahil. Tapi mungkin, anggap saja sama dengan monyet yang bisa menulis novel dengan huruf acak kadut.”
Kemungkinan itu lebih besar dari nol. Kenyataan itu dapat menginspirasi keberanian atau kekhawatiran. Oleh kemungkinan atau takdir, apa yang terjadi maka terjadilah. Persetan dengan yang lain.
“Kalau begitu jawab pertaanyaanku.”
“Kalau maksudmu goblin yang ada di depan, maka jawabannya iya.” Arc Mage memberikan lambaian tangan seolah dia sedang melempar sebuah bola. “Ingat, mereka adalah naungan. Kamu melirik, dan cilukba, di sanalah mereka. Kamu nggak tahu dari mana mereka muncul.
“Benarkah?”
“Bahkan aku aja juga kaget.”
Arc Mage memberikan tepukan menyanyangi pada botol sari apelnya, kemudian salah satu ciuman itu, meminum dengan berisik. Phew! Dia menghela napas hangat kemudian mengelap mulut ya dengan punggung tangan.
“Akhirnya aku menemukan tujuanku, dan ternyata itu adalah sarang goblin.”
“Itu sering terjadi.” Kemudian Goblin Slayer menambahkan pelan: “Sangat sering.”
“Aku penasaran apakah kita perlu menyerahkan itu pada takdir atau kemungkinan. Membingungkan.”
“Aku nggak peduli.”
“Kamu ini nggak asik.” Arc Mage tertawa lantang. Goblin Slayer menghiraukannya, mengambil langkah berikutnya dan kemudian selanjutnya lagi.
Jika di sana ada goblin, maka dia harus fokus untuk bersiap menghadapi mereka. Hal lainnya tidaklah penting.
Dia mengeluarkan stamina potion dari tas, meminumnya dengan sekali teguk seperti Arc Mage meminum sari apelnya. Sulit untuk mengetahui seberapa tinggi menara ini, seberapa lama pertarungan dengan goblin akan terus berlangsung—oleh karena itu mungkin dia perlu untuk beristirahat sejenak.
“Yah, kamu nggak perlu khawatir tentang apapun selain gobkin,” Arc Mage berkata, berlari di belakangnya, dan dia terdengar percaya dori. “Kalau menara ini untuk kita, maka benda tak berbentuk tadi itu adalah rintanganku... dengan lata lain, naungan sang dewa.”
“Dewa.”
“Yang biasanya kalian sebut sebagai avatar atau roh. Nggak mudah untuk membayangkan sosok dari dewa. Formula matematikaku mungkin termasuk sebagai keistimewaan, loh?”
Dewa.
Goblin Slayer tidak menoleh ke belakang. Kata itu terasa begitu jauh dari dirinya.
Itu bukanlah goblin, dan itu artinya dia tidak tertarik.
*****
Arc Mage, adalah benar sesuai ucapannya.
“Yes... Yes, yes!” Dia menantang buih para dewa pada tingkat selanjutnya dan mendapatkan kemenangan mutlak. “Kalau kamu tahu aturan dan formulanya, sisanya tinggal kalkulasi! Baru tahu kamu! ...Ya, aku yakin soal ini!”
Papan hitam dan kapur telah di tinggalkan pada tingkat kedua. Sekarang Arc Mage hanya menyentuh dagu dengan jari dan bergumam sendiri untuk sejenak, dan kemudian berteriak, “Delapan!”
Buih tak berbentuk bergerak, bersinar seperti bintang seraya berubah bentuk menjadi sebuah kunci yang kemudian membuka pintu di depan. Goblin Slayer, yang terus melindungi mereka dari para goblin yang terus berdatangan, dengan segera mengangkat Arc Mage dan berlari.
“Ku kira tadi sudah ku bilang sama kamu buat belajar sopan santun!”
“Nggak tertarik.”
Semua adalah repetisi. Pada tingkat ketiga, dan keempat, Arc Mage bahkan tidak repot-repot untuk mengkalkulasi. Dia hanya akan memberikan ketukan keras pada lantai dengan kakinya kemudian menggunakan sihir untuk mengontrol kartunya, membuka pintu di saat itu juga.
“Enam belas—,” Adalah, dan kemudian, “—Dua puluh empat!”
Dan begitulah, seperti sebuah sihir.
Syukurnya, hal ini membuat Goblin Slayer untuk dapat menyimpan cukup banyak tenaganya. Agresi para goblin tampak tidak mereda sama sekali semenjak mereka menaiki tangga. Dan jika dia tidak dapat memusnahkan mereka semua sekaligus, maka dia hanya perlu untuk meneruskan pekerjaannya secara individual.
Dia merubah taktik, mengganti perlengkapan, mengganti senjata, menggunakan setiap inci dari pengetahuannya, mempraktikkan gerakannya yang terlatih, kemudian berganti pada sesuatu yang berbeda. Dia menebas tenggorokan, mencungkil bola mata, memecahkan tengkorak, memburai jeroan, menghancurkan wajah. Semakin sedikit yang perlu dia lakukan, semakin baik.
Dsri perspektif itu, lantai kelima bisa di bilang cukup merepotkan.
“Hrm, hrm, hrm... Wah, sekarang ini baru sesuatu banget.”
“Apa sulit?” Goblin Slayer bertanya, menginjak leher keseratus dua—atau mungkin seratus tiga?—dari goblin.
“GOROOG! GBBR!”
“GRB!”
Pundaknya naik bersama dengan napasnya. Dia berjuang untuk menstabilkan pernapasannya kemudian menghancurkan goblin lain dengan perisai. Walaupun setelah istirahat singkat dan beberapa potion, rasa lelah yang kian menumpuk tidak dapat di pungkiri. Penelusuran dari labirin rumit adalah pekerjaan petualang tingkat Gold atau silver yang tangguh. Goblin Slayer, masihlah derada di antara tingkatan rendah, tidak pernah membayangkan dunia seperti ini.
Tapi ini masih lebih baik di banding bertarung dalam desa, dia menyimpulkam, memikirkan kembali pertarungan bertahan yang dulu dia alami, sendirian mencakupi keseluruhan desa.
Ini tidaklah seberapa. Di banding dengan pertarungan itu, di sini dia hanya perlu mengkhawatirkan tentang apa yang ada di depannya. Dan ini juga tidak hujan.
Hanya ada satu orang untuk di lindungi. Senjata baru selalu di bawa kepadanya oleh musuhnya sendiri. Satu-satunya masalah adalah tenaga dan fokus.
“Sulit! Hah! “ Arc Mage mengeluarkan raungannya sendiri.
Sulit? Sulit, kamu bilang? Kamu tahu kamu berbicara sama siapa? Dia melotot pada naungan akan dimensi lebih tinggi dengan tatapan seorang jendral yang mengamati medan perang kemudian mengerjakan kartunya.
“Lihat saja ini! Seratus dua puluh? Aku bisa mengumpulkan semua itu dengan satu tangan terikat di belakang!”
Udara tipis bergelembung, mekar dan bersemi menjadi kunci. Kunci itu memutar lubang kunci. Pintu terbelah dua tanpa suara. Arc Mage memberikan tawaan kemenangan. “Jalan sudah terbuka! Ayo—kita nggak punya waktu untuk berurusan dengan goblin!”
Goblin Slayer tidak menjawab namun hanya berkata, “Seratus lima,” seraya dia menusuk goblin di leher.
“GOOBGGRGRG?!”
Monster itu menjerit dan terjatuh ke belakang; Goblin Slayer melepaskan pedang, mengambil pentungan di kakinya.
“Nggak mudah memusnahkan mereka semua.”
“Sudah ku bilang, mereka itu bermunculan terus! Dan kita punya persediaan yang terbatas.”
Goblin Slayer menjentikkan lidah dan berputar cepat. Arc Magr tampak belajar dari pengalaman; dia sudah bergegas melewati pintu.
“Aku nggak mau lagi di gendong keliling!” dia berteriak seraya Goblin Slayer mengikuti di belakang.
“GOOBGRG!”
“GB! GBOOR!”
Para goblin meracau di belakang mereka, namun kemudian pintu tertutup dengan rapat, mengunci para goblin di luar.
Mereka berdua sekali lagi berada di bawah tangga putar yang besar. Goblin Slayer menghela.
“Aku nggak suka.”
“Apa yang nggak kamu suka?” Arc Mage bertanya, terlihat bingung seraya dia mulai memanjat tangga. Dia menenguk ragu akan sisa sari apelnya, botol itu sekarang sudah hampir kosong.
“Pikiran akan apa yang bakal terjadi kalau para goblin ini berhasil keluar dari menara.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha. Dan di sini ku kira kamu lagi khawatir tentang bagaimana untuk bisa pulang.”
Goblin Slayer menggelengkan kepala. Satu-satunya arah adalah pergi ke atas dan ke bawah; pekerjaan yang di terima tidak akan berubah.
“Yah, nggak usah di pikirkan. Mereka hanya ada di dalam naungan menara inj.”
“Jadi mereka nggak bisa meninggalkannya?”
“Dan ketika matahsri terbenam, bayangan menghilang. Mereka hanya ada di sini ketika menara ini ada. Kemungkinan.” Arc Mage mendengak melihat tangga dengan ekspresi bermimpi. “...Saat aku sampai, maka itu akan menjadi akhirnya.”
“Begitu,” dia berkata acuh.
Arc Mage melihat pria itu dengan lelah dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Dia memegang perut dengan kedua tangan, hampir berguling-guling, mengingatkan pria itu pada kali pertama mereka bertemu.
“Kamu ini bensr-benar spesial! Apa kamu nggak penasaran apa yang ada di dalam sini atau apa yang aku coba lakukan?”
“Itu nggak menarik buatku.” Dia berkata, menggelengkan kepala. “Atau...”
Arc Mage menenangkan diri di tangga dan menopang dagu dengan tangan, tidak sabar menunggu apa yang akan pria itu katakan berikutnya.
Goblin Slayer memberikam salah satu dengusan pelan dan melanjutkan, “...Guruku pernah bilang kalau semua hal itu tergantung dari lakukan atau nggak lakukan.”
“Seorang guru rhea,” Arc Mage berkata, “Dia nggak bilang sukses atau gagal?”
“Sukses atau gagal adalah hasil dari apa yang di lakukan. Kalau kamu nggak melakukannya, maka itu nggak akan terjadi.”
Ini adalah pertama kalinya pria itu mengatakan ini kepada siapapun. Goblin Slayer tidak mengerti mengapa dia memilih sekarang untuk mengatakannya.
Aku mempercayainya, Goblin Slayer berbisik. Aku nggak melakukannya. Nggak mencobanya. Itulah kenapa.
“Aku nggak mempermasalahkan apa yang orang lain akan lakukan.”
“Selama itu nggak menghalangi jalan untuk membunuh goblin, maksudmu?”
“Benar.”
Arc Mage mengangguk. Wanita itu terlihat begitu senang. “Sekarang aku tahu memilihmu untuk questku adalah pilihan yang tepat, Goblin Slayer.”
“Begitu?”
“Heh!” Arc Mage terkekeh dan kemudian berdiri. “Baiklah, ayo! Tujuan pemberi questmu Cuma tinggal di depat, wahai petualang!”
Apa kamu benar mengetahuinya? Bagi pertanyaan Goblin Slayer, Arc Mage menjawab tentu saja dia mengetahuinya.
“Empat, enam, delapan, dua belas, dua puluh. Kelima ini adalah dasar dari bentuk benda yang kita ketahui.”
Mereka memanjat tangga, menuju sebuah lorong yang penuh akan goblin. Mereka memelankan langkah, memelankan napas dan akhirnya membungkam para goblin, berlanjut semakin ke dalam.
Adalah sebuah tingkat yang berbeda, dan detil dari menara sedikit bervariasi, namun latarnya masih sama dengan yang lain. Mereka tentunya sedang menuju sebuah ruangan di tengah menara, pemberi quest dan sang petualanhg berdua berlanjut tanpa ragu.
Selama, Percikan yang bersinar pada jari Arc Mage, maka tidak ada yang perlu di ragukan.
“Sejauh ini, bayangan yang di pantulkan ke dalam menara ini adalah lima, delapan, enam belas, dua puluh empat, dan seratus dua puluh.”
“Ada lima.” Goblin Slayer mengayunkan tangan berputar di sekitar goblin yang ada di belakangnya, menyayay tenggorokan monsterr itu. Terdengar siulan akan cipratan darah. Dia menunggu hingga makhluk itu mati dan kemudian menjauhkan mayat itu.
“Itulah kenapa aku rasa kita sudah mencapai ujungnya sekarang. Kurasa lima akan berhasil lagi.”
“Begitu?”
“Kita nggak akan tahu secara pasti sebelum di coba....”
Apapun itu, itu seperti apa yang di ucapkan wanita ini.
Terdapat pintu kayu hitam yang kemungkinan adalah ruangan akhir—dan di depannya, sekali lagi, sebuah bayangan. Arc Mage mengernyit. “Aku benci mengakuinya, tapi aku salah hitung,” dia berkata. “Tapi pokoknya, dasarnya tetap sama. Kita pasti bisa.”
“Begitu?” Goblin Slayer mengangguk. “Kalau begitu, aku akan terus melakukan pekerjaanku.”
“GOOBOGR! GOOROG!”
“GGOBOGOB!!”
Bahkan suara goblin yang muncul di belakang terdengar sama. Goblin Slayer memaksa tubuhnya, yang semakin menjadi berat, untuk bergerak, mengambil posisi mempertahankan pintu. Dia mengeluarkan stamina potion kembali dari tasnya. Sudah tidak banyak yang tersisa sekarang. Dia meneguknya.
“GOROOGB!”
“...Aku sudah nggak tahu lagi jumlahnya.” Dia menjentikkan lidah dan membuang botolnya. Botol itu pecah bersama dengan tengkorak goblin yang terkena, dan pertarunganpun di mulai. “Satu.”
“Tambah seratus lima dan dua belas lagi,” Arc Mage berkata tanpa berputar. Goblin Slayer mendengus pelan.
“Seratus delapan belas.”
Kemudian dia mengayunkan pentungan di tangan, menghantamkannya pada goblin berikutnya.
“GOOBOG?!”
“Seratus sembilan belas!”
*****
Sayat goblin, tusuk mereka, pukul mereka, serang mereka, lemparkan benda kepada mereka, dan akhirnya, bunuh mereka.
“GGOBOGR?!”
“GOOGRB! GBOG!!”
Dengan kata lain, Goblin Slayer menghasilkan tumpukan gunung mayat.
Tidak peduli seberapa banyak dia membunuh di dalam jalan masuk sempit itu, tidak peduli seberapa banyak tubuh yang bertumpuk, agresi mereka tidak memudar. Apakah karena mereka adalah naungan, atau hanya sekedar karena mereka goblin? Para penyerang hanya menggunakan mayat rekan mereka sebagai perisai, melemparkan batu dari balik mayat.
“.........Hrm.”
Batu memantul di perisai dan helm. Lengannya mati rada. Dia harus berjuang unntuk menegakkan kepalanya. Sebuah serangan mengenai pundak dan menembus armor hingga ke kulitnya, dan sekarang pergerakan perisainya terasa lebih lambat.
“Ohh, ah!”
“GOROOBG!!”
Satu goblin melihat kesempatannya dan bergegas keluar dari belakang barisan. Goblin Slayer melemparkan pedangnya, yang di mana hampir terselip dari tangannya, pada monster itu. Goblin itu terayun ke belakang dengan pedang yang tertanam pada lehernya, memuntahkan darah hingga dia terjatuh di lantai.
Beruntungnya bagi Goblin Slayer, dia memiliki pergudangan senjata di sini pada kakinya. Dia menendang pentungan naik ke tangannya, hampir mengerang seraya dia berusaha menarik napasnya. Para goblin sangat memahami cara menggunakan jumlah mereka sebagai keuntungan mereka; apakah ini insting atau memang di sengaja, Goblin Slayer tidak mengetahuinya. Mereka akan mencoba untuk menerobos ke depan dan merenggut semua kejayaan, atau menggunakan rekan bodoh mereka sebagai umpan.
Bukanlah karena goblin tidak takut kematian. Masing-masing dari mereka hanya percaya kepada asumsi tak berdasar bahwa dirinya sendirilah yang akan selamat di antara gerombolan mereka.
Seraya pembantaian terus berlangsung, tenaga Goblin Slayer mulai surut. Pertarungan untuk mencapai ke sini tidaklah bisa di bandingkan dengan peperangan yang dia jalani sekarang. Adalah pengalamannya mempertahankan desa yang dapat membuatnya unggul dalam pertarungan ini.
Kala itu, dia memiliki banyak waktu untuk mendirikan pertahanan. Jika saja dia dapat membuat semacam barikade sekarang.
Aku kekurangan tenaga.
Mereka hanyalah goblin. Yang terlemah di antara para monster. Tidak peduli seberapa keras mereka bertarung, kenyataan itu tidak akan berubah.
Namun kuantitas mereka saja dapat cukup untuk menumbangkan party para petualang. Apalagi seorang petualang saja.
Goblin Slayer mempelajari pelajaran itu sekarang. Apakah dia dapat bertahan hidup dengan memanfaatkannya adalah cerita lain.
“Sial... apa-apaan sih yang salah di sini?!”
Situasi ini tidaklah buruk dari sisi Arc Mage. Dia cukup pandai. Dia harus dapat mengerti. Dan justru itu hanya membuatnya semakin panik. Keringat mengucur pada dahinya.
Bersusah payah mengobrak-abrik otaknya untuk melawan musuhnya sendiri, bayangan yang melayang di udara, dia berhadapan dengan satu kenyataan keji.
“...Ini terlalu memakan waktu!”
Dia tahu.
Dia mengerti.
Dia mengetahui apa artinya ini—dan dia sangat memahaminya.
“Ini melebihi seratus dan dua puluh sebelumnya. Ini... Ini enam ratus!”
Enam ratus polikoron—sebuah wujud yang melampaui apa yang di duga Arc Mage.
Dia dapat membayangkannya. Dia dapat memahaminya.
Akan tetapi, seberapa banyak waktu yang di perlukan untuk mengkalkulasinya?
Seberapa banyak waktu yang dia habiskan untuk mencapai ke sini?
Seberapa banyak waktu yang dia persembahkan kehidupannya pada permainan papan, bertemu dengan masternya, mengasah pengetahuannya, berlari ke sini dan ke sana—
“Masih belum cukup...?!”
Pandangannya buram. Dia mengetahui itu. Bukanlah karena dia merasa kesal atau sedih. Adalah hanya produk sampingan dari emosi yang meningkat, atau seperti itulah yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri. Dengan begitu, dia tidak memberikan dirinya sendiri waktu untuk mengelap air mata dari matanya dan terus meneruskan menantang takdir ilahi.
Oleh karena itu, Goblin Slayer harus mengulur waktu, setiap menit, setiap detik.
“GOROBBG?!”
“Oh-hh—!!”
Seberapa banyak sekarang? Goblin Slayer telah lupa angka yang wanita itu katakan kepadanya sebelumnya.
Napasnya terengah-engah. Oksigen tidak mencapai otaknya.
Apakah masternya yang tertawa terbahak-bahak dan memberitahu dirinya bahwa otak dia hanya berguna untuk menghasilkan ingus?
Dan tidak seorangpun yang pernah mati di karenakan kurangnya ingus...
“GBB! GOROBG!”
“...Feh!”
Sesuaty mengenai kakinya. Seekor goblin telah merayap di antara tumpukan mayat dan menusukkan belati ke kakinya.
Seberapapun dia mencoba untuk menghitung jumlah korbannya, namun di tengah peperangan, dia kesulitan untuk memastikan apakah hitungannya sama dengan jumlah mayat yang bergelimpangan.
Tentu saja, Goblin Slayer sudah siap akan ini; dia memastikan untuk melindungi kakinya. Bilah belati itu tidak menyentuh tubuhnya.
Akan tetapi, dia mulai merasakan kakinya yang semakin tidak stabil: darah goblin. Dia menggerakkan pinggul untuk menstabilkan tubuhnya, dan di situlah ketika para goblin memberikan tekanan.
“GOBB!”
“GROGGB! GROB!!”
“Ahh!!”
Dia merapatkan gigi dan berguling ke samping, mengayunkan pentungannya. Beberapa goblin yang tersandung kakinya, menjerit dan terjatuh.
Goblin Slayer merasa takut. Dia tidak dapat membiarkan mereka melewatinya. Tidak boleh membiarkan mereka mencapai wanita itu.
Satu goblin berusaha menyelinap menuju wanita tak berdaya di belakang petualanb ini, mungkin sambil membuat wajah menjijikkan. Goblin Slayer menepuk petak lantai, menjulurkan tangan.
Sebuah benturan pada punggungnya. Goblin lain berusaha menghalangi. Dia menghiraukan mereka.
Kemudian dia melepaskan pentungan dan menggenggam kaki goblin dengan tangan kanan. Dia mencengkram. Dia menarik.
“Hrr—ahhh!”
“GBBBOR?!”
Perisai pada lengan kirinya mengayun ke atas menuju kepada monster itu. Ujung perisai membelah dua kepalanya, dan darah menciprat keluar.
Dia tidak mempunyai waktu untuk iatirahat. Para goblin mendekat. Sebuah senjata. Dia membutuhkan senjata...
“Aku...punya...!”
Dia mengangkat mayat goblin yang masih kejang-kejang. Kemudian, menggunakannya sebagai perisai, dia menghantamkan mayat itu menuju gerombolan musuh.
“GOOBOGR?!”
“GOOB?!”
Kuantitas selalu memiliki keuntungan tertentu, namun juga itu berlaku untuk kualitas.
Petualang berlapis armor ini menambahkan beban tubuhnya sendiri pada mayat itu seraya dia mendorong. Dia menghantam beberapa goblin sekaligus, mendorong mereka keluar ruangan.
“Hrr, uh...!”
Goblin Slayer menghela besar, menyadari genangan darah segar yang terbentuk di bawahnya. Rasa nyeri pada punggung sepertinya bukanlah di karenakan pentungan atau senjata tumpul lainnya. Dia menggapai punggungnya sendiri dan mendapati sebuah kapak yang meremukkan armornya dan melukai dia di punggung. Sempurna. Ini adalah sebuah senjata.
Dia menariknya, menghiraukan darah yang mengalir. Sebuah rasa sakit yang teramat menyerangnya, namun dia menahan napas dan menahan rasa sakit itu.
“Seberapa...lama lagi?” terdengar getaran pada suaranya seraya dia mempertanyakan itu.
“Aku nggak... Aku nggak tahu...!” Suara tertahan itu bagi Goblin Slayer terdengar seperti dia akan menangis kapanpun juga. “Aku bisa menyelesaikannya. Aku bisa menjawabnya. Pasti. Tapi—tapi aku nggak punya cukup...waktu!!”
Goblin Slayer menarik napas dan menghela.
“Kamu nggak punya?”
“Nggak...! Sial! Sudah jauh datang kesini, tapi sia-... Arrgh, sialan...”
Arc Mage berhenti berbicara untuk sesaat. Dia menarik beberapa napas pendek ragu, seolah tidak yakin apa ya g harus di katakan lagi.
Kemudian dia berbicara.
“Ini seharusnya menjadi skenario aku, petualang aku. Maaf...aku sudah menyeretmu dalam semua ini.”
“Ini skenario pembasmian goblin,” Goblin Slayer menjawab datar. “Nggak masalah.”
Adalah masalah. Di balik helm bajanya, bibir Goblin Slayer mengerut ke atas.
Di depan matanya adalah gerombolan goblin. Di belakangnya ada pemberi quest. Dia terluka dan kelelahan. Tidak aka lama lagi hingga dia mencapai batasannya. Efek dari stamina potion bisa di bilang adalah perpanjangan dari kebugaran tubuhmu sendiri. Melewati batasan itu, tidak akan ada lagi tenaga.
Apapun itu, jika dia dapat membunuh goblin, maka dia akan dengan senang hati melakukannya.
Ah benar, tetapi...
Apa yang aku punya di kantungku?
Adalah salah satu teka-teki yang pernah di tanyakan oleh masternya.
Dia tidak pernah mengetahui jawaban itu. Mungkin sebuah cincin atau semacamnya.
Tetapi dia mengetahui apa yang dia miliki pada kantungnya saat ini.
“Tanganku.”
Selalu.
Bukanlah pertanyaan apa bisa atau tidak bisa, ataupun apakah sesuatu akan berjalan dengan buruk.
Hanya ada lakukan atau tidak lakukan.
Pertama, Goblin Slayer mengambil kapak di tangan dan melemparnya. Kapak itu berputar di udara, dan gagang kapak itu mengenai goblin di kepala, lalu memantul dari monster itu dan menancapkan bilah kapak pada kepala pada goblin yang ada di samping.
“GOROOOBB!”
“GGGB! GOOBG!”
Para goblin meraung dan berteriak. Goblin Slayer menggapai tas dan mengeluarkan sebuah benda.
“Aku akan mengulur waktu.”
Dan kemudian, tanpa senjata, dia berjalan ke depan, menuju badai para goblin.
“GOOBOG!”
“GBB! GBGO!”
Bertarung tangan kosong. Para goblin tertawa lantang melihat pria itu berjalan menuju mereka, terlihat menyedihkan dengan luka di sekujur tubuhnya. Arc Mage merasa bahwa tawaan itu sedang mengejek dirinya.
“Ulur waktu buat kita?”
Kabut tak berbentuk di depan wanita itu.
Di bawah kakinya mengalir darah para goblin, atau Goblin Slayer—dia tidak mengetahui yang mana.
Jika Arc Mage berputar, dia akan berasumsi bahwa dia akan dapat melihat lautan darah. Namun dia tidak berputar.
“Aku...ini...bego banget!”
Kalau kamu nggak punya waktu, ya ulur saja waktunya.
Sangatlah begitu sederhana! Mengapa dia tidak menyadari hal ini sebelumnya?
Arc Mage memberikan tepukan keras pada genangan merah di bawah kakinya.
Dia mengikuti arus aliran sihir merah yang muncul, meletakkan tumpukan kartu di atas buku mantra yang dia tumpuk.
“Kamu, halilintar, ikuti aku—!”
Satu kartu terbelah dua. Sebuah rapalan di teriakkan.
Kilatan petir merah muncul dari bawah kakinya, menyambar seolah sedang memberkahi apa yang dia kehendaki. Dan pada jarinya, sebuah percikan berkilau.
“Expedite!”
Arc Mage berakselerasi, meninggalkan dunia di belakangnya. Dagingnya, pemikirannya, sebagai hasil, dia tidak dapat benar-benar menyadari apa yang terjadi hingga semuanya berakhir.
Goblin membanjiri jalan masuk dari ruangan, semakin mendekat dan kian mendekat.
Goblin Slayer bergerak menuju mereka, sesuatu di remas di tangan.
Dia mengira dia mendengar suara dadu yang di lemparkan di suatu tempat yang jauh. Dia sama sekali tidak menyukainya.
Dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk mempercayai nyawa pemberi questnya pada sesuatu yang seperti itu.
“GOBBGR!”
“GOR! GROOOBG!!”
Para goblin menghambur seeperti ombak mengamuk—Tidak. Goblin Slayer mengetahui apa itu ombak yang sesungguhnya. Dia tidak pernah melihatnya, namun dia pernah mempelajarinya.
“Terima ini, kalian bajingan!”
Dan dalam sekejap, gulungan yang dia lepas ikatannya meledak luar biasa.
Tidak, itu hanya tampak seperti meledak.
Sebenarnya adalah sebuah semburan aor yang mengahalangi pengelihatan. Sebuah aroma garam yang begitu kuat.
Goblin Slayer tidak pernah melihat lautan, namun dia pernah mempelajari bahwa seperti inilah baunya.
“GOOBOGR?!”
“GGO?! GOROG?!”
Akan tetapi, para goblin, sama sekali tidak mungkin mengetahui itu. Mereka bahwa tidak mempunyai waktu untuk mencerna apa yang telah terjadi.
Mereka tidak akan pernah memahami bahwa air menyembur keluar daringulungan yang di genggam oleh pria itu di depan mereka.
Para goblin menjerit, tubuh mereka tercabik oleh arus bertekanan tinggi air laut. Melawannya adalah perbuatan sia-sia.
Goblin Slayer yakin bahwa air ini akan mengisi menara dari atas hingga bawah.
Rencana yang dia pikirkan ketika Witcg telah memberi tahunya tentang gulungan Gate, bekerja dengan begitu indah. Witch benar-benar bersemangat ketika pria itu meminta pertolongan, dan menganggapnya “Sangat, menarik.”
“Aku setuju,” Goblin Slayer bergumam, melempar ke samping gulungan seraya api supranatural membakarnya dan duduk. “Ini memang menarik sekali.”
*****
Dia di sambut oleh pemandangan janggal.
Goblin Slayer tidak pernah melihat sesuatu yang seperti ini sebelumnya; ini tampak seperti sesuatu yang seharusnya tidak ada di dunia.
Kristal empat sisi berputar dengan sendirinya, menggeliat dan memancarkan sinar seperti tentakel. Kristal itu tampak seperti gelembung acak yang kacau balau, dan ketika dia memperhatikannya secara langsung, dia tidak dapat menerka secara tepat bentuknya—sesuatu yang sesuatu yang gaib.
Ini adalah enam ratus polikoron, seperti yang di sebut Arc Mage. Goblin Slayer sama sekali tidak memahaminya.
Akan tetapi, dia mengerti bahwa kunci pintu itu telah terbuka dan hanya itulah yang perlu dia ketahui.
“Kamu ini tahu betul cara melakukan sesuatu yang gila ya?” Arc Mage berkata seraya mereka membuka pintu kayu hitam dan mulai memanjat pada tangga emas putar panjang. “Serangan air? Aku penasaran apa yang kamu rencanakan kalau menaranya runtuh. Begitu juga kalau di gua. Kamu akan terkubur hidup-hidup.”
“Itu pertama kali aku mencobanya,” dia berkata. “Itu efektif, tapi tergantung keadaan.”
“Bener banget.” Arc Mage terdengar tidak begitu senang. “Nggak boleh menggantungkan nyawamu pada senjata pamungkas yang nggak pasti.”
Satu langkah, dua langkah, tiga. Wanita itu hampir terlihat seperti akan mulai meloncat di atas tangga; dia memutar wajahnya kepada pria itu dengan putaran yang seperti tarian. Aroma sari apel mengambang kepada pria itu, dan dia berhenti berjalan.
Sebuah jari menunjuk kepada helm pria itu.
“Apapun caranya, kalau kamu bisa menang, maka itu bukan masalah.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Aku akan hati-hati.”
“Bagus.” Arc Mage membusungkan dada, terhibur, dan mengangguk seperti seorang instruktur. Mereka berdua melanjutkan berjalan.
Tangga tampak berlanjut tanpa ujung—tanpa akhir. Hanya suara langkah mereka dan napas mereka yang dapat terdengar, dan tidak adanya jendela, maka itu artinya dinding hitam terus mengikuti mereka ke atas dan semaki ke atas.
Mereka tidak mengetahui seberapa tinggi mereka saat ini, ataupun jam berapa ini. Kemungkinan, subuh akan menjelang. Namun sekarang mungkin mereka masih berada di antara tengah malam. Dia tidak dapat mengetahui mengapa dia memikirkan ini. Terpikir begitu saja.
Arc Mage dan Goblin Slayer sudah berada di ambang batas ketahanan tubuh mereka. Langkah mereka tidak stabil, pandangan mereka buram. Napas mereka pendek. Kaki mereka berat seperti batu.
Namun entah mengapa, mereka tidak beristirahat. Mereka hanya mengakui rasa lelah mereka; hasrat untuk beristirahat tidak tersirat di pikiran mereka.
Mereka terus memanjat tangga. Tanpa suara.
Mereka terus memanjat, tetapi mengapa mereka merasa seperti berjalan turun menuju tengah dari lingkaran? Tiba-tiba, Goblin Slayer mengira dia mengendus aroma rebusan.
Pastilah hanya imajinasinya. Sebuah produk hasil dari rasa lelah.
Dengan itu, dia membuang semua keraguannya.
Dan akhirnya, hal berikutnya yang dia sadari, tidak ada lagi tangga untuk di panjat.
Mereka telah tiba pada tujuannya, pada puncak tangga putar. Di depan mereka adalah—tentu saja—sebuah pintu kayu hitam.
“...” Arc Mage mengelus pintu itu, hampir seperti belaian. Pintu itu terbentuk seperti pintu ganda, namun tidak ada celah di tengahnya. “...Aku akan membukanya, oke?”
Goblin Slayer mengangguk. Arc Mage menyentuh pintu dengzn tangannya yang gemetar.
Dia tidak mendoronya dengan kuat; pintu itu tampak terbuka dengan sendirinya, dan kemudian...
Fwoo. Terdapat hembusan angin.
Adalah langit.
Biru kehitaman, kemudian merah, kemudian putih, langit malam cerah.
Awan mengambang, sebuah kumpulan wisp berwarna biru terbawa oleh angin.
Pijakan mereka saat ini adalah ujung dunia. Oleh karena itu apa yang ada di balik ini pastilah benar-benar di luar dunia.
Arc Mage melihat pada pintu, pintu pada ruang hampa, seolah dia akan menangis saat ini juga...dan tersenyum.
Ahh, jadi ini dia. Atau mungkin, akhirnya aku berhasil.
Perbedaan antara dua emosi itu terlihat samar, dan Goblin Slayer tidak dapat memutuskan yang mana.
“Puas?”
“Ya, tidak.” Dia berkedip beberapa kali, kemudian dengan lembut menggosok ujunh kedua matanya. “Ini masih belum berakhir.”
“Begitu.”
“Tempat yang ku tuju, ada di balik ini. Jadi aku harus melanjutkan.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkatam kembali, kemudian mengangguk dan menatap langit.
Dulu dia pernah memanjat gunung bersalju dengan masternya, dan pemandangan dari puncak terlihat seperti ini.
Dia mengingat masternya pernah bergumam semacam lagu. Goblin Slayer tidak begitu memahami tentang puisi atau lagi, karena itu dia telah melupakannya—namun sekarang dia penasaran apakah mengingat itu merupakan hal yang bagus.
“Ahh, sekarang aku mengerti... Jadi begitu ceritanya.” Arc Mage berbicara tiba-tiba, suaranya terdengar kecil. Dia menyentuh dadanya yang ranum dengan tangan, menarik napas dalam, dan menghela. Percikan berkelip pada jarinya seraya dadanya kembang kempis.
Kemudian, dia melihat pada pria itu dengan senyuman secerah langit itu sendiri.
Dia melihat pria itu, di balik helmnya, tersembunyi.
“Maaf soal semua ini. Sepertinya aku sudah menyeretmu dalam skenarioku sendiri.”
Dia telah mengucapkan hal yang sama sebelumnya. Oleh karena itu, Goblin Slayer menjawab dengan jawaban yang sama.
“Ini skenario pembasmian goblin, kan?”
Benar dan tidak salah, dari awal mula hingga titik terakhir.
Goblin Slayer berkata dengan tenangm “Kamu terlalu banyak bicara, tapi kamu memberi tahuku apa yang penting. Nggak ada masalah.”
Arc Mage melihat pria itu dengan terkejut, kemudian sedikit memanyunkan bibirnya seperti mengambek. “Kamu... Kamu ini benar-benar pria aneh.”
“Benarkah?”
“Menurutku begitu.”
“Begitu.”
Dia mengangguk, dan Arc Mage tersenyum riang seperti saat mereka pertama kali bertemu, namun entah mengapa terlihat berbeda.
“Hei,” Arc Mage berkata, melihat pria itu penasaran. “Kamu tahu legenda lama itu...tentang raksasa yang menghabiskan keabadian mencoba menyendok samudra dengan kerang?”
Goblin Slayer berpikir sejenak sebelum menjawab. “Nggak, aku nggak tahu.”
Dia merasa seperti pernah mendengar itu dari kakaknya namun dia tidak dapat mengingatnya dengan penuh.
Terdapat banyak sekali hal yang dia lupakan atau tidak ketahui. Tentang kakaknya. Tentang masternya.
“Memangnya kenapa?”
“...Raksasa itu menguras sampai paling dasar lautan, di mana dia menemukan sebuah harta karun langka, sebuah permata di bawah ombak. Atau seperti itu yang mereka bilang.”
“Begitu.”
“Karena itu aku nggak akan tertawa.”
“...”
“Aku nggak akan tertawa kalau kamu menjadi Goblin Slayer.”
Goblin Slayer tidak berkata apapun.
Arc Mage menyipit seolah dia puas akan hal itu, kemudian menjulurkan tangannya ke langit, walaupun dia tahu bahwa dia tidak dapat menyentuh apa yang dia inginkan.
Pada jarinya, cincin berkelip.
“Aku pernah memberi tahumu. Pengetahuanmu adalah percikan.”
Terkadang seseorang menjalani hidupnya tanpa pernah memancarkan percikan.
Terkadang mereka pergi pada sebuah petualang, mati di dalam tempat gelap, dalam, dan itu menjadi akhir bagi mereka.
Kalimat tampak kian menumpuk pada tangannya yang menjulur.
“Tapi tetap saja ada percikan.” Seperti khalayak yang memberanikan diri untuk menjadi petualang... “Kamu juga memilikinya.”
Karena itu aku nggak akan tertawa.
Goblin Slayer tidak segera menjawab wanita itu. Dia menggerakan helmnya, menatap lagit. Langit, baru tergores oleh tanda awal akan adanya emas subuh.
Dia tidak mengetahui apa yang harus di katakan, ataupun apa yang harus di lakukan.
“...Dan bagaimana denganmu?”
“Aku...?” Ketika pria itu akhirnya berhasil menghasilkan pertanyaan, Arc Mage menyipitkan mata dari kilauan matahari dan menjawab. “Aku nggak tahu. Itulah alasan aku akan mencari tahunya.” Kemudian secara perlahan dia melepaskan cincin Spark dan mengadahkannya kepada Goblin Slayer. “Dalam perjalanan pulang... Nggak, dalam perjalanan ke depan, kamu akan membutuhkan ini kan?”
“Aku menyerahkan sisanya padamu,” dia berkata, kemudian berkedip canggung.
“Anggap saja sebagai...hadiahmu. uang muka.”
“Hadiahku,” Goblin Slayer menjawab, mengundang “Uh-huh” pelan dari Arc Mage.
“Untuk segalanya yang aku minta darimu dalam quest ini dan selebihnya.”
“...”
“Tanya resepsionis untuk memberitahumu rinciannya. Kalian berdua dekat kan?”
Benarkah? Goblin Slayer tidak mengetahuinya.
Apakah dia, ada dekat dengan seseorang?
Dengan itu, dia berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk bertanya satu hal yang paling ingin dia ketahui.
“...Apa ini akan membantuku memburu goblin?”
“Secara pribadi, aku harap iya.”
Begitu. Goblin Slayer mengangguk. Kemudian dia mengambil cincin itu.
Arc Mage berkata cincin Spark ini memiliki kekuatan akan Breath. Jika dia akan terus menenggelamkan musuh—atau, kalaupun tidak—tidak ada salahnya untuk memiliki ini.
Apakah sesuatu akan berguna atau tidak, adalah tanggung jawabnya secara penih. Itulah yang di ajarkan masternya kepadanya.
Oleh karena itu dia akan membuat cincin ini berguna. Dia memutuskan itu di saat itu dan di sana.
Ketika Arc Mage melihat Goblin Slayer mengangguk, dia membelai helm pria itu dengan tangan tak bercincinnya.
“Yah, sampai jumpa.”
Dan dengan ucapan pendek itu, dia melangkah menuju langit dengan begitu santai seolah dia berjalan keluar pintu rumahnya.
Kemudian dia menghilang dari pandangan Goblin Slayer.
Dia menunggu dan memperhatikan untuk beberapa saat, namun tidak ada tanda akan kembalinya wanita itu.
Dia tidak mengetahui kemana wanita itu pergi, ataupun dia peduli. Dia berasumsi bahwa tidak peduli seberapa detilnya ini di jelaskan kepada dirinya, dia tidak akan pernah memahaminya.
Wanita itu bukanlah anggota party. Ataupun mereka berpetualang bersama.
Jika seseorang bertanya siapa wanita itu bagi dirinya, maka jawabannya adalah mereka adalah pemberi quest dan petualang. Bukan teman atau apapun.
Namun mungkin, jika di paksa, dia mungkin akan mengakui bahwa mereka pernah menjadi apa yang wanita itu dulu sebut.
Rekan perjalanan.
Goblin Slayer melihat tangannya. Cincin itu berkilau redup. Kelip dari Spark sekarang memudar bagaikan tidak pernah ada.
Cincin ini sekarang tidaklah lebih dari sekedar cincin Breath.
Dia memasukkan cincin ke dalam kantung peralatannya, dan kemudian mulai berjalan. Dia dapat mendengar pintu di belakang yang mulai tertutup, namun dia tidak berpikir untuk menoleh ke belakang.
Ketika dia mulai mencoba untuk menuruni tangga panjang, dia merasa tempat ini tidak begitu tinggi, dan dia bergerak dari lantai ke lantai dengan cepat.
Namun air telah menggenang di sini dan di sama, mayat goblin mengapung di permukaan.
Ah: benar, dia memang memerlukan cincin ini.
Dia memasang cincin pada jari, dan tanpa ragu, menyelam ke dalam air. Dia berjalan seolah dia berenang, hingga dia mencapai lantai kering, kemudian dia menyelam kembali daan mengulanginya secara terus menerus.
Dalam sekejap, dia telah tiba pada lantai pertama. Dan ketika dia keliar dan menoleh ke belakanh, menara menghilang bagaikan bayangan. Langit subuh tampak tak berbatas seraya matahari terbit dari ujung pegunungan.
Dia menyipit di balik cahaya emas dan merasakan perasaan misterius bahwa dia tidak akan bertemu wanita itu lagi.
Dia kembali ke kota, kembali ke Guild, dan melaporkan questnya yang telah selesai, kemudian dia mampir ke rumah makan. Dia memesan segelas sari apel, yang di mana di serahkan sang koki tanpa suara, dan di mana dia meneguk minuman itu dengan sekali teguk sebelum pergi keluar.
Di balik jalanan yang ramai, dia dapat melihat langit besar nan lebar. Dia menyipit di balik helmnya, menganggkat cincin yang dia terima, mengarah cahaya.
Dia tidak dapat melihat adanya kilau percikan (TL note : spark.)
Wanita itu pernah berkata bahwa seseorang akan mendambakan puncak di karenakan mereka ingin tempat itu, mereka ingin pemandangan itu, atau mereka ingin apapun yang ada di baliknya. Jika begitu...wanita itu pasti menginginkan sesuatu yang ada di balik langit ini, hal apapun yang ada di baliknya.
Goblin Slayer tidak mengetahui apa yang ada di balik “papan.” Tidak mengetahui apa yang wanita itu cari di sana.
Sebuah bidak permainan tidak akan dapat membayangkan realita para pemain yang berada di surga.
Jadi mungkin wanita itu pergi untuk mengungkap semua hal itu.
Mungkin aspirasinya adalah untuk menjadi seorang pemain itu sendiri.
Hanya sejauh itu yang dapat di pikirkan oleh Goblin Slayer sebelum dia menggelengkan kepala ke kiro dan kanan.
Sangatlah lancang baginya untuk membayangkan itu. Itu adalah skenario wanita itu, bukan dirinya. Dia hanyalah seorang rekan perjalanan, dan tidak mempunyai hak untuk menilai buah hasil jerih payah wanita itu.
Apapun ujian yang harus mereka lewati, apapun keuntungan yang mereka dapatkan—semua adalah milik wanita itu.
Langkahnya menjadi kian tidak pasti sekarang. Rasa lelah membebani setiap inci dari tubuhnya, dan sari apel itu mulai mencapai otaknya.
Walaupun begitu, hatinya terasa begitu jernih seperti langit.
Hanya ada satu hal yang dapat dia katakan dengan penuh keyakinan.
Dia meraih apa yang dia inginkan.
---0---
TL NOTE :
Chapter favorit saya dari sekian chapter goblin slayer lainnya, bahkan dari LN utama Goblin Slayer. Saya suka dengan karakter Arc Mage yang dapat menaklukkan segala kemungkinan dadu untuk bisa menjadi player dari Papan permainan. Ingat, cerita goblin slayer itu menggunakan permainan Dungeon & Dragons atau singkatnya D&D sebagai dasar novel ini atau inspirasi. Kalian bisa cek sendiri di mbah gugel. Permainannya cukup ribet dan banyak sekali Lore yang ada di dalamnya. CMIIW, Saya tidak pernah memainkan D&D, tapi setelah saya teliti2, kemungkinan dari bidak yang kita mainkan bisa mendapatkan status dewa (atau player) itu sangatlah tipis sekali atau bahkan hampir tidak ada, karena semua bergantung dari lemparan dadu. Karena itu saya sangat kagum dengan Arc Mage yang bisa menjadi player setelah mengalahkan semua kemungkinan yang ada.
0 Comments
Posting Komentar