Kehidupan Sehari-Hari Musim Dingin
Penerjemah: Hikari
Aku akhirnya diizinkan untuk berjalan-jalan di biara seperti yang kuinginkan, karena sekarang ada Damuel sebagai pengawalku. Agak sedikit menyulitkan untuknya karena dia harus bepergian dari sini ke Area Bangsawan setiap hari, tapi dia menggunakan kuda terbang yang dia buat dari feystone, jadi tidak seperti Lutz dan Tuuli, salju tidak menjadi masalah untuknya.
Wow, sihir benar-benar praktis.
Berkat Damuel, aku bisa pergi ke panti asuhan dan ruang buku lagi, yang cukup mengalihkan perhatianku. Keluargaku tidak bisa mengunjungiku sesering sebelumnya karena salju yang tebal, tapi aku bisa lupa betapa aku merindukan mereka dengan menghanyutkan diriku dalam buku-buku. Hanya saat membaca saja aku bisa melupakan rasa kesepianku.
Masalahnya adalah perpustakaan sangatlah dingin. Aku tidak bisa tinggal terlalu lama tidak peduli seberapa tebal aku membungkus diri, dan baik Damuel maupun Fran tidak suka pergi ke sana.
“Suster magang,” kata Damuel, ”bisakah Anda menanyakan pada Tuan Besar Ferdinand apakah Anda bisa membawa pulang buku-buku itu ke kamar Anda, sehingga kita tidak harus tinggal di ruang buku?”
“Saya setuju dengan pemikiran Tuan Damuel,” kata Fran. “Anda nanti akan sakit jika pergi ke sana terlalu sering.”
Damuel dan Fran akrab di luar dugaan. Mereka sering terlihat setuju pada beberapa hal, tapi itu mungkin karena Fran terbiasa berhadapan dengan para bangsawan. Bagaimanapun, mereka berhubungan baik.
“...Kepala Pastor. Untuk alasan itu, bolehkah aku membawa buku-buku dari ruang buku ke kamarku?”
“Kau boleh meminjam buku-buku yang kubawa sendiri. Aku tidak ingin kau jadi sakit sebelum Ritual Dedikasi bagaimanapun juga… Hah. Aku menang.”
Kepala Pastor menyunggingkan seulas cengiran tipis setelah mengalahkanku dalam reversi. Seperti yang kuduga, sekarang tingkat kemampuannya jauh melampauiku setelah dia mengerti permainan ini. Orang dewasa macam apa dia, mengeluarkan segenap kemampuan pada seorang gadis kecil? Memang, aku hanya terlihat seperti seorang gadis kecil, tapi tetap saja.
“Kurasa adalah hal kejam bermain sungguh-sungguh melawan seorang anak kecil, Kepala Pastor.”
“Kau mengatakan hal yang konyol, kau yang bermain sungguh-sungguh melawan seorang pemula. Kurasa kau adalah seorang pecundang payah, hm?”
Kepala Pastor terkadang bersikap sedikit tidak dewasa, tapi dia adalah orang yang baik. Dia meminjamkan buku-bukunya, dan saat kesepian terlalu berat untuk kutahan, dia akan membiarkanku menerobos masuk ke ruangannya dan menukarnya dengan pekerjaan mengorganisir dokumen atau melakukan banyak pekerjaan matematika untuk waktu berpelukan yang berharga di ruangan rahasia. Dia biasanya meringis hebat ketika aku memintanya, tapi aku terlalu kewalahan dengan masalahku sendiri untuk mengkhawatirkan dirinya. Pengaturan kami yang seperti ini tidak masalah untukku.
“Pagi, Myne. Gimana kabarmu?” tanya Tuuli
“Kamu nggak cuma tidur seharian, ‘kan?” tanya Lutz.
Tuuli dan Lutz datang mengunjungiku pada hari yang tidak terlalu bersalju dibanding biasanya.
Tuuli sedang bekerja keras mempelajari huruf-huruf. Dia membawa kitab suci anak-anaknya, karena ini digunakan sebagai buku teks di sekolah biara, juga lempeng batu dan pena supaya dia bisa belajar bersama anak-anak lain di panti asuhan.
Lutz sudah bisa membaca dan tahu matematika, jadi dia memeriksa pekerjaan tangan musim dingin, ikut mengajar bersama para biarawan abu-abu, dan menginstruksikan Gil tentang bagaimana caranya menulis laporan produksi lokakarya.
“Siapakah mereka berdua, suster magang?”
“Tuan Damuel, ini adalah kakak perempuanku Tuuli dan temanku Lutz. Mereka sering datang ke sini saat bukan musim dingin, jadi pastikan untuk mengingat mereka.”
Aku memperkenalkan Damuel pada Tuuli dan Lutz. Mereka memandanginya, dengan mulut terbuka.
“Tuuli, Lutz, Dia adalah Tuan Damuel. Dia melayani sebagai pengawalku saat ini. Aku memanggilnya ‘tuan’ karena dia berasal dari Ordo Kesatria.”
“..Ordo Kesatria?! Woah, itu keren!”
“Seorang bangsawan mengawalmu, Myne?!”
Mereka berdua menatap Damuel, berbinar-binar dengan penuh semangat dan iri, yang membuatnya sedikit kebingungan.
“Suster magang, apa yang sebaiknya saya lakukan di saat seperti ini?”
“Tersenyum saja, kurasa.”
Damuel memaksakan seulas senyum kaku di wajahnya, menghadapi Tuuli dan Lutz sebaik yang dia bisa.
Nantinya aku mendengar bahwa Damuel, amat sangat jarang meninggalkan Area Bangsawan tempatnya dibesarkan, sehingga nyaris tidak pernah berinteraksi dengan rakyat biasa sebelumnya. Dan, walaupun dia mempunyai seorang kakak laki-laki, dia tidak punya adik dan karena itu tidak yakin bagaimana caranya menghadapi anak-anak kecil. Selain itu, status keluarganya begitu rendah dalam lingkungan bangsawan sehingga tidak ada seorang pun yang pernah melihatnya dengan rasa iri sebelumnya.
“Baiklah, Myne. Aku harus pergi ke panti asuhan dengan Lutz,” kata Tuuli, menepuk lenganku yang sedang memeluknya.
Aku menggelengkan kepala, mempererat pelukanku.
“Aku akan ikut denganmu hari ini. Kepala Pastor bilang aku bisa berjalan di sekitar biara sekarang karena Tuan Damuel bersamaku, dan aku penasaran bagaimana sekolah biara dijalankan.”
Aku terus-terusan berada di kamarku bahkan saat Lutz dan Tuuli datang menemuiku, tapi sekarang aku bisa pergi ke panti asuhan dengan mereka. Dan aku pun melakukannya, menuju ke ruang makan panti asuhan bersama Rosina dan Damuel yang mengiringi.
“Seorang suster magang menjadi direktur panti asuhan? Benar-benar ada kekurangan tenaga di sini…”
“Ya, di sini tidak ada cukup biarawan biru. Kepala Pastor sudah menangani terlalu banyak urusan, dan aku mengambil peran ini dengan harapan bisa membantunya. Meskipun aku hanyalah direktur dalam nama saja.”
Tidak perlu bagiku untuk menjelaskan kalau aku ikut campur dalam urusan biara seenaknya saja dan akhirnya mendapatkan peran ini setelah terlibat dalam masalah yang tidak bisa kutangani sendiri lagi. Yang penting adalah ketika sesuatu yang penting terjadi di panti asuhan, Kepala Pastorlah yang akan mengurusnya. Paling baiknya, aku hanyalah seorang perantara birokrasi yang mengatur urusan harian panti asuhan.
“Anda pasti sangatlah berbakat jika Anda membantu pekerjaan Tuan Besar Ferdinand,” Damuel menghela napas. Dia mengatakan padaku bahwa ketika Kepala Pastor masih di Ordo Kesatria, dia bersikap keras pada orang-orang yang kurang berbakat, memberi pekerjaan ekstra pada mereka yang tertinggal dibanding yang lain dan pada akhirnya mengeluarkan siapapun yang tidak bisa mengikuti. Beberapa orang bahkan berpikiran kalau dia adalah seorang monster.
Mengingat bagaimana orang-orang di biara yang ditugaskan sebagai pelayan-pelayannya menjadi yang teratas dalam pekerjaan mereka atau dibiarkan saja, sepertinya metode pelatihannya yang keras itu masih dilakukan sampai hari ini.
"Tapi aku mendengar dari Fran kalau Kepala Pastor hanya memberikan pekerjaan yang dia rasa orang itu mampu lakukan, meski dengan sedikit ketekunan."
"Mampu memenuhi pekerjaan itu adalah bukti bahwa Anda berbakat. Dia tidak pernah memberi saya pekerjaan untuk dilakukan. Saya tidak berpikir kalau dia bahkan tahu saya ada, karena saya hanyalah bangsawan magang tingkat rendah saat itu."
Damuel bergumam tentang bagaimana dia berharap agar Kepala Pastor juga memberinya pekerjaan, jadi aku memutuskan meminta Kepala Pastor untuk melakukannya saat bertemu dia lagi. Aku yakin dia akan sangat senang memberi seseorang pekerjaan untuk dilakukan.
"Selamat datang, Lutz, Tuuli. Oh, dan Rosina. Kurasa Suster Myne bersamamu." Wilma menyapa kami dengan seulas senyuman, tapi kemudian membeku di tempat begitu melihat Damuel. Dia melihatku dengan mata berkaca-kaca, sedikit gemetar. "Suster Myne, siapakah pria berpakaian rapi ini?"
"Dia adalah kesatria yang melayani sebagai pengawalku. Dia sangat baik dan serius dengan pekerjaannya, dan tidak akan bersikap kasar pada wanita ataupun anak-anak di sini. Benar begitu, Tuan Damuel?"
"Tentu saja. Saya bersumpah sebagai seorang kesatria bahwa saya tidak akan melukai ataupun berniat jahat pada siapapun di sini."
Wilma hanya memiliki pengalaman dengan para biarawan biru yang kejam dan bangsawan-bangsawan terkemuka yang datang ke panti asuhan untuk mencari “bunga”, jadi dia bersikap waspada terhadap Damuel sambil mengundang kami masuk.
“Di sini cukup hangat,” ungkap Damuel, matanya melebar kaget.
Berkat usaha kami selama persiapan musim dingin, perapian di ruang makan berkobar terang, menghangatkan seluruh ruangan. Dan semua orang di panti asuhan menghabiskan hari-hari mereka di ruang makan, dengan bangunan anak laki-laki tetap kosong untuk menghemat kayu bakar sebanyak mungkin. Itu artinya lebih banyak orang di satu tempat, yang secara alamiah semakin menghangatkan ruangan.
“Kami secara teliti mempersiapkan panti asuhan untuk musim dingin,” aku menjelaskan. “Ini adalah tempat terbaik untuk mereka semua berada.”
Satu sesi sekolah biara sedang diadakan di salah satu sudut, sementara para magang yang sudah mempelajari huruf-huruf sedang bekerja keras mengerjakan pekerjaan tangan musim dingin di sudut lainnya.
“Oh, mereka sudah mulai. Sudah ya, Myne! Aku harus pergi!” seru Tuuli.
“Aku juga,” kata Lutz sambil mengangguk.
Tuuli mengarah ke sesi sekolah biara sementara Lutz ke pojok pekerjaan tangan.
Aku sendiri pergi untuk duduk di tempat di mana aku bisa melihat aku bisa melihat ruang kelas (baca : meja) dari jarak cukup jauh sehingga aku tidak mengganggu.
“Suster magang, apa yang mereka lakukan?” Damuel menunjuk pada salah sudut yang mengadakan kelas dengan raut wajah penasaran.
“Di situ kami mengajarkan anak-anak untuk membaca dan menulis.”
“...Anda mengajarkan para yatim piatu untuk membaca dan menulis? Mengapa?”
Di dunia ini, hanya orang-orang yang punya status cukup tinggi dan yang bekerja untuk mereka yang belajar membaca dan menulis. Dari sudut pandang mereka, tidaklah masuk akal mengajarkan keterampilan ini pada anak-anak yatim piatu.
Akan tetapi, mempertimbangkan bahwa para anak yatim piatu ini berkesempatan menjadi pelayan para biarawan biru, mereka kemungkinan perlu tahu bagaimana caranya membaca dan menulis daripada kebanyakan perajin di kota bawah. Dan dalam hal menaikkan tingkat literasi, akan lebih efisien untuk memulainya dengan mengajarkan orang-orang yang akan paling mendapatkan keuntungan dari membaca dan menulis sebelum mengarah pada putera-putera perajin dan semacamnya.
“Para yatim piatu biara ini suatu hari akan menjadi pengiring di sini atau pelayan di Area Bangsawan, jadi semakin cepat mereka belajar membaca dan berhitung akan lebih baik. Itu akan membantu mereka melakukan tugasnya suatu hari nanti.”
“Masuk akal. Itu artinya mereka tidak akan perlu terlalu banyak dilatih saat waktunya tiba.”
Sambil aku mengawasi para biarawan abu-abu yang sedang bekerja sebagai guru membantu anak-anak membaca kitab suci anak-anak, mengilustrasikan setiap huruf di lempeng batu mereka seperti yang terlihat, aku mendiskusikan buku bergambar berikutnya dengan Wilma. Aku menunjukkan padanya sebuah naskah yang sudah kutulis dengan merenungkan kitab suci yang tebal dan mengekstrak informasi yang kubutuhkan tentang para dewa bawahan dan menyusunnya menjadi beberapa buku yang berbeda untuk setiap musim. Dia memperbaiki teks di sana dan di sini, menambahkan sedikit deskripsi puitis di tempat yang sesuai.
“Suster Magang, apa ini?”
“Sebuah salinan kitab suci anak-anak yang kubuat untuk membantu para yatim piatu untuk belajar membaca. Ini juga membantu mereka menghafal nama-nama para dewa dan instrumen sucinya.”
“Oh?”
Damuel membuka-buka lembaran kitab suci anak itu, terlihat tertarik.
“Buku itu mengisahkan tentang Raja dan Ratu para dewa, sekaligus Lima Yang Abadi, dan sekarang aku berencana untuk membuat yang menceritakan para dewa bawahan. Nama-nama mereka penting untuk pemberkatan.”
“Ini benar-benar memudahkan. Saya sendiri mengalami masa-masa sulit untuk menghafal nama-namanya.”
Damuel menghela napas tentang betapa banyaknya nama yang seseorang harus ketahui untuk bisa menggunakan sihir dengan benar. Kalau dia sampai serepot itu, maka ini adalah sebuah pertaruhan aman bahwa sebuah kamus sederhana tentang para dewa akan diterima dengan baik oleh para bangsawan. Aku tersenyum sendiri, dalam hati menghitung-hitung keuntungan yang menungguku sekarang karena aku mendapat dukungan seorang bangsawan.
“Mau bermain Karuta dengan kami, Wilma?” tanya seorang anak yatim piatu.
“Tentu saja. Suster Myne, apa Anda ingin ikut?”
Kelihatannya adalah sebuah prosedur standar untuk bermain karuta setelah mempelajari buku teks mereka, karena kartu-kartu karuta sudah diletakkan di lantai. Tuuli menatapi beberapa kartu itu dengan wajah merengut.
“Tuuli, apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
Ketika aku berada di luar kamarku, aku mempertahankan sikap bicaraku yang seperti anak-orang-kaya bahkan saat bicara pada Lutz dan Tuuli. Aku sudah diinstruksikan melakukannya oleh Fran dan Rosina, jadi meskipun rasanya tidak nyaman, aku memaksakan diri untuk benar-benar formal dengan Tuuli.
Dia mengerutkan wajah sedikit, kemudian berbisik dengan suara pelan malu-malu. “...Masalahnya, aku payah dalam karuta. Dari semua orang.”
Anak-anak di panti asuhan telah bermain karuta bersama-sama sejak aku memberikan satu set pada Gil, jadi sekalipun mereka tidak tahu huruf, mereka mengingat gambarnya.
Tuuli, di sisi lain, belum mengenal huruf-hurufnya dengan baik, dan sulit baginya untuk terbiasa dengan semua simbol-simbol keagamaan ini. Dia berada di tingkatan yang sama sekali berbeda dari anak-anak panti—mereka bermain setiap hari, sementara dia hanya bisa datang dan bermain ketika salju tidak begitu parah.
“Latihan adalah hal yang penting, dan yang bisa kau lakukan adalah mencoba sampai kau menguasainya. Bagaimana jika aku menyarankan untuk fokus saja pada para dewa dalam buku teks ini?”
Wilma telah menggambar ilustrasi untuk karuta dan buku teksnya, dan keduanya berfokus pada subjek yang sama. Kalau dia tidak bisa menang dalam karuta sampai dia telah menghafal semuanya itu, dia mungkin juga mulai dengan berfokus pada yang sudah paling banyak dia ingat untuk memulai.
“Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Aku juga sudah mencoba karuta, tapi anak-anak sehebat perkiraanmu; ini bahkan tidak bisa dibilang kompetisi. Selain itu, ada beberapa magang yang hampir masuk usia dewasa, dan kalau kau bertanya padaku, ini tidaklah adil karena lengan-lengan mereka jauh lebih panjang dariku.
Siang hari telah lewat, dan sekarang waktunya untuk kelas menjahit Tuuli. Pesertanya sebagian besar adalah anak-anak perempuan, dan dia mengajari mereka bagaimana melakukan perbaikan sederhana
Dia telah cukup banyak mengajar kelas sehingga dia sudah belajar bagaimana menjadi seorang guru yang baik. Para anak yatim piatu dapat memperbaiki lengan-lengan baju yang mereka yang berjumbai, dan walaupun mereka masih mengenakan baju bekas, itu terlihat jauh lebih baik daripada sebelumnya.
"Oh, Gil. Kau akan pergi ke mana dengan baju setebal itu?"
Aku bisa melihat kerumunan anak laki-laki di sekeliling Gil, mereka semua memakai baju tebal. Memang tidak ada badai di luar, tapi tetap saja masih sedikit bersalju.
"Lutz mengatakan pada kami agar mempersiapkan bengkel untuk mengumpulkan parue."
Adalah sebuah kebiasaan untuk pergi mengumpulkan parue di hari musim dingin yang cerah. Bersiap pergi saat pagi-pagi sekali adalah sebuah tantangan, jadi kelihatannya mereka bersikap proaktif dan mempersiapkan semuanya lebih cepat.
"Kalau begitu, persiapkan dengan baik supaya kalian dapat mengumpulkan banyak parue."
“Yeah!”
Sudah jelas, ini adalah pertama kalinya bagi anak-anak untuk pergi mengumpulkan parue. Meski begitu, dengan begitu banyak anak yang pergi maka mereka pasti akan mendapatkan banyak. Aku tidak sabar melihat berapa banyak yang akan mereka dapatkan.
Setelah aku menyaksikan para bocah laki-laki itu berlari ke bengkel untuk bersiap, aku mendengar Tuuli menghela napas berat. “Kami tidak akan mendapat banyak parue tahun ini, karena Ibu tidak bisa pergi.”
Aku di luar perhitungan, seperti biasanya; kehamilan ibu terlalu besar untuk memanjat pohon manapun; dan Ayah bekerja hampir setiap hari selama minggu ini sehingga tidak ada jaminan dia akan senggang. Tuuli sendirian saja, dan dia punya firasat tidak akan ada kue yang menunggunya musim dingin ini.
“Tuuli, apa kau tidak akan ikut pergi menemani anak-anak panti? Aku sudah menantikan untuk memberimu parue bagian keluarga kita sebagai tanda terima kasih.”
Akan sedikit merepotkan mengharapkan Lutz untuk memimpin semua anak-anak itu sendiri. Rencanaku adalah agar Tuuli membantu, dengan bayarannya adalah jatah parue bagian keluarga kami.
“Kedengarannya bagus!” seru Tuuli, matanya berbinar-binar. “Whew, aku tadinya yakin harus menghabiskan seluruh musim dinginku kali ini tanpa kue parue.”
Ini sudah menjadi tradisi di rumah kami untuk mendapatkan jus parue, menghilangkan minyaknya, dan memanggang kue parue dari yang tersisa. Aku berniat untuk melakukan hal yang sama di panti asuhan tahun ini, dan karena itulah aku membeli sebuah wajan logam besar.
“Apa itu parue, Suster magang?” Danuel terlihat penasaran, tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan. Kelihatannya para bangsawan tidak melakukan perburuan parue.
Membayangkan seorang bangsawan mencoba memanjat sebatang pohon membuatku tersenyum. Lengan baju mereka yang menjuntai akan benar-benar mengganggu.
“Itu adalah buah yang hanya bisa dipetik dari pohon di pagi hari musim dingin yang cerah. Rasa manisnya terkenal di kota bawah.”
“Suster Myne, apakah parue benar-benar semanis itu?”
Anak-anak yang mengelilingi Wilma mendengar kata sihir “manis” dan berkumpul di sekitarku, mata mereka berbinar-binar dengan antisipasi. Ada begitu banyak mulut untuk diberi makan di panti asuhan sehingga amat sangat jarang untuk bisa makan sesuatu yang manis, jadi pemikiran tentang kue parue yang manis sudah pasti membuat mereka berliur. (TL: Pengen bilang ngeces, tapi suasananya bisa rusak XDD)
“Oh ya, memang sangat manis. Aku sendiri pun sangat menyukainya.”
“Wow, aku tidak bisa menunggu!”
“Bawa kami juga, Tuuli!”
Anak-anak mendesak maju, ingin pergi dengan Lutz dan Tuuli.
Dia tersenyum pada mereka semua. “Uh huh, kita semua bisa pergi bersama-sama. Tapi kita harus pergi ke hutan benar-benar saat pagi buta, jadi kalian semua juga harus bangun benar-benar lebih cepat! Apa kalian bisa melakukannya?”
“Kami bisa!”
Dan begitulah, setelah beberapa hari yang penuh antisipasi, cuaca akhirnya cerah. Cahaya matahari yang menyilaukan menghujani sejak awal pagi, dipantulkan oleh salju dan memenuhi dunia dengan cahaya terang benderang yang bahkan bisa kulihat menembus tirai tempat tidurku.
Aku melompat dari tempat tidur sebelum Delia datang membangunkanku, berlari ke tangga dan bersandar pada pinggirannya untuk berteriak ke lantai satu.
“”Gil! Gil! Sekarang hari mengumpulkan parue! Pergi beritahu anak-anak di panti! Cepat! Bersiaplah!”
Gil, yang sudah terbangun dan berpakaian, balas berteriak “Baik!” dan melesat keluar dari kamarnya. Delia juga bergegas keluar dari kamarnya, menyambar lenganku dengan raut wajah sangat kesal.
“Suster Myne! Tolong tetaplah di tempat tidur sampai saya membangunkan Anda! Dan Anda tidak boleh bersandar di pinggiran tangga dengan baju seperti itu! Ya ampun! Berapa kali saya harus memberitahu Anda semua ini!”
“Delia, hari ini adalah hari mengumpulkan parue. Lutz dan Tuuli akan segera di sini. Aku harus cepat-cepat mengganti bajuku sekarang.”
Orang-orang di kota bawah akan buru-buru mempersiapkan diri sebelum gerbang dibuka di bel kedua; Lutz dan Tuuli akan segera berada di sini, tidak diragukan lagi. Tapi memberitahu Delia hal ini hanya membuat matanya menyipit dan suaranya menajam.
“Itu bukanlah bagian dari jadwal Anda!”
“Hari-hari cerah saat badai salju tergantung pada keinginan mendadak Ewigeliebe sang Dewa Kehidupan. Tidak ada seorang pun yang menjadwalkannya.”
Aku cepat-cepat menyuruh Delia mengganti bajuku supaya aku bisa menunggu Tuuli dan Lutz. Sarapan bisa menunggu sampai aku sudah melihat kepergian mereka. Fran, melihat betapa gelisahnya aku, mulai bersiap menyambut tamu.
Prediksiku tepat sasaran, dan Tuuli datang dengan berlarian ketika aku biasanya sedang sarapan. Aku bisa melihat Ayah di belakangnya.
“Pagi, Myne! Ayah ikut dengan kita, dia sedang libur.”
“Ayah, senang melihatmu!”
Begitu aku melihat Ayah berjalan masuk ke aula, aku berlari dan melompat ke pelukannya. Dia menangkap dan mengangkatku sampai kami saling berhadapan. Aku mengusap janggutnya dengan tanganku.
“Kelihatannya kau baik-baik saja, Myne. Apa kau kena demam akhir-akhir ini?”
“Sama sekali tidak. Fran langsung membawaku ke tempat tidur begitu aku mulai merasa tidak enak badan, dan kapan pun aku akhirnya terbaring sakit di ranjang, mereka membuatku minum ramuan yang benar-benar menjijikkan. Aku bahkan tidak punya waktu untuk demam.”
“Itulah yang ingin kudengar.”
Dad menyengir padaku, dan sementara aku menceritakan padanya apa saja yang terjadi akhir-akhir ini, Tuuli mengeluarkan sebuah botol dari sakunya.
“Myne, kau bilang kau kehabisan ini, ‘kan?”
Ayah menurunkanku supaya aku bisa melihat botol itu. Ini adalah botol tempatku menyimpan ragi alami di dalamnya. Tuuli telah menjaganya selama aku tidak di rumah.
Aku memeluk botol yang sedikit hangat itu. “Makasih, Tuuli.”
“Kami hanya mampir untuk memberimu itu dan menyapa sebelum pergi mengumpulkan parue. Lutz sudah ada di panti!”
“Baiklah. Pastikan untuk menemukan banyak parue! Aku akan menunggu dengan banyak sekali roti empuk saat makan siang.”
Aku melihat kepergian mereka berdua, kemudian meletakkan sebelah tangan di pipiku yang tersenyum. Bahkan hanya dengan sedikit waktu dengan keluargaku telah menghangatkan hatiku. Dan sekarang waktunya untuk bersiap mengekstrak jus parue dan membuat kue parue.
“Fran, bisakah kau kirimkan ini pada Ella? Dan beritahu dia bahwa aku akan makan siang dengan Tuuli, Lutz, dan Ayah. Aku ingin dia membuat roti empuk untukku.”
“Saya mengerti.”
Begitu Fran menerima ragi, aku beralih pada Rosina.
“Rosina, begitu kita selesai berlatih harspiel, pergilah ke tempat Wilma dan katakan padanya untuk mulai bersiap membuat kue parue.”
“Seperti yang Anda inginkan.”
Aku berlatih harspiel sampai bel ketiga, kemudian pergi membantu Kepala Pastor Dia mengatakan bahwa aku terlihat senang yang tidak biasa sampai-sampai kelihatan aneh, dan aku menanggapi dengan mengatakan bahwa itu memang benar, sebelum kembali bekerja. Hanya memikirkan tentang menghabiskan waktu makan siang dengan Tuuli, Lutz dan Ayah begitu mereka kembali sudah cukup membuatku senang berseri-seri.
Bel keempat berdentang tidak lama kemudian, menandakan tengah hari. Damuel mengantarku ke kamar, kemudian langsung kembali ke ruang Kepala Pastor.
“Saya akan makan siang sekarang. Pastikan untuk tidak meninggalkan kamar Anda sementara saya pergi.”
“Aku mengerti, Tuan Damuel.”
Damuel makan siang di ruangan Kepala Pastor, karena dapur kamarku tidak punya cukup makanan untuk pria dewasa yang dengan begitu mendadak ikut serta.
Ella mengirimkan kabar bahwa makan siang sudah siap, dan aku menunggu yang lain sambil bergoyang-goyang penuh semangat di kursiku.
“Kami pulang, Myne! Dan kami mendapat banyak parue!”
“Ya!”
Mereka bertiga pulang dengan cengiran puas yang lebar. Taktik gelombang manusia itu efektif untuk mengumpulkan parue seperti yang kuduga, dan mereka benar-benar mendapatkannya banyak sekali. Kami mengunyah roti empuk yang dibuat dari ragi yang Tuuli bawakan untukku sambil mengobrol tentang rencana kami siang ini.
“Myne, kita akan mengambil jusnya nanti, tapi di mana sebaiknya kita melakukan itu? Bengkel? Atau ruang makan?” tanya Lutz.
“Kita bisa saja mengambil jusnya di ruang makan, tapi kurasa akan lebih cepat untuk mendapatkan minyaknya dengan menggunakan alat pemeras di bengkel?”
Bengkel mempunyai alat pemeras untuk mengeluarkan air dari kertas, dan dengan bantuan Ayah serta para biarawan abu-abu, kami tidak akan perlu menghancurkan parue dengan palu untuk mengeluarkan minyaknya. Tapi saranku itu membuat Lutz ragu-ragu.
“Parue sangat keras saat dingin, jadi menurutku memakai palu di ruang makan yang hangat akan lebih baik hasilnya.”
“Ya, dengan orang sebanyak itu kita mungkin memang lebih baik mengerjakannya di ruang makan, kalau kita punya palu untuk melakukannya.”
Berdasarkan saran Lutz dan Ayah, kami memutuskan untuk melakukannya di ruang makan. Tuuli, lebih mempedulikan tentang apa yang didapat setelah mengambil jus parue, melihatku dengan penuh harap.
“Kita akan memanggang kue parue di mana? Dia ruang bawah tanah bangunan anak perempuan? Atau bengkel?”
“Aku tadinya berencana menggunakan ruang bawah tanah. Kalau Ella sampai tahu soal itu dan menyebarkan resepnya ke seluruh kota, semua orang yang memberi makan hewan-hewannya dengan ampas parue akan kesulitan, ‘kan?”
“Ya, sudah pasti.” Lutz mengerutkan wajahnya, memikirkan ayam-ayamnya.
Ampas parue sempruna untuk menjadi pakan hewan saat musim dingin. Jika orang-orang mulai memasak ampas itu dan tidak memberinya secara gratis, semua orang yang membesarkan hewan akan dalam masalah besar. Akan lebih baik kalau kami saja yang menikmati kue parue; rahasia ini akan aman jika kami membuatnya di ruang bawah tanah panti asuhan.
“Ayo bagi jatah-jatah parue kita dan persiapkan semuanya di ruang makan kalau begitu.”
“Baiklah!” seru Tuuli. “Aku akan mengajari semua anak perempuan tentang bagaimana membuat kue parue.”
Begitu kami selesai makan siang, mereka bertiga bergegas ke panti asuhan untuk memulai pekerjaan mereka. Aku harus menunggu Damuel kembali sebelum aku bisa pergi dengan mereka.
Seperti biasa, Delia satu-satunya orang yang tetap tinggal di ruanganku, karena dia tidak ingin pergi ke panti asuhan.
“Suster magang, apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini?”
Damuel menjadi kaku setelah melihat sekeliling panti asuhan. Di satu sudut di sana anak-anak membuat lubang di buah-buah itu dan mengalirkan sari buah berwarna putih di dalamnya ke cangkir-cangkir, sementara di tempat lain beberapa biarawan abu-abu dengan ganas menghancurkan buah yang sudah diambil jusnya dengan palu. Bagi seseorang yang tidak biasa dengan parue, ini jelas adalah sebuah pemandangan yang aneh.
“Kami sedang mengambil jus parue, dan menghancurkan buah yang sudah diambil jusnya dengan palu di sana untuk mendapatkan minyak. Pada akhirnya ampasnya akan menjadi kue yang sangat enak dan aku yakin para gadis sedang bekerja keras memasaknya di ruang bawah tanah."
Pelajaran Tuuli pasti berjalan dengan baik, dinilai dari aroma manis yang lembut tercium dari ruang bawah tanah. Mereka pasti sedang membuat kue parue dengan mentega, mencampurkan susu kambing dan telur yang kuminta untuk Wilma dapatkan pagi ini dengan jus parue. Aku memejamkan mata dan menghirupnya dalam-dalam, mengisi rongga hidungku dengan aroma manis.
Tidak lama setelah aku meminta Rosina dan Fran menyiapkan piring-piring, Tuuli datang menaiki tangga dengan piring yang berisi tumpukan kue parue.
“Oh, kau sudah di sini? Bagus. Kami sudah memasak banyak sekali.”
Di belakang Tuuli ada murid magang lain, membawa piring serupa dengan tumpukan kue parue. Mereka berdua menaruh piring-piring itu di depanku.
“Kau awasi ini, Myne. Pastikan tidak ada satu pun yang mengambil sebelum semuanya beres,” kata Tuuli, dan aku mengangguk sambil tersenyum.
Tidak ada satu pun di panti asuhan yang berani mengambil makanan dari seorang suster magang biru tanpa izin. Setidaknya, mereka tahu mereka nanti bisa tidak akan mendapatkannya lagi setelah memakan yang diambilnya.
“Wow, baunya enak!”
“Aku mau satu!”
Beberapa anak yang sedang mengambil jus parue langsung mendekat setelah mencium aroma kue parue.
“Tidak boleh makan sebelum semua pekerjaan selesai. Ingat: Mereka yang tidak bekerja, tidak makan.”
Peringatanku membuat anak-anak buru-buru kembali ke tempat kerja mereka, dan di tengah langkah-langkah mereka aku mendengar sebuah suara menelan keras terdengar dari belakangku. Aku menoleh ke belakang karena insting dan melihat Damuel menatapi kue-kue parue itu.
“Apakah itu, suster magang…?”
Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia ingin memakannya satu. Kupikir, sebagai seorang bangsawan, dia bisa mendapatkan gula dan sesekali makan kue. jadi kurasa bahwa dia mungkin hanya tertarik mencoba sesuatu yang baru.
“Kue parue, terbuat dari parue. Ini pasti pertama kalinya untukmu melihat ini kalau kau tidak pernah melihat parue sebelumnya. Apakah kau mau memakannya dengan kami?”
“Ahem! Yah, saya sedikit tertarik dengan apa yang orang-orang makan di sini, mengingat bahwa saya akan datang ke sini cukup sering mulai sekarang.”
Begitu semua parue selesai diolah, para gadis dan anak-anak membawa jus, minyak dan ampasnya ke ruang bawah tanah sementara para anak laki-laki membawa peralatan yang tadi mereka gunakan kembali ke bangunan anak laki-laki. Fran dan Rosina membawa terpisah kue-kue parue itu dan mulai membagikannya pada anak-anak, yang berbaris dengan piring-piring di tangan. Aku meminta Gil untuk memberikan sebuah kue parue pada Delia, dan memisahkan piring-piring untuk anak-anak yang telah membantu Ella di dapur ruanganku.
Semua orang duduk di ruang makan dengan piring di depan mereka; Fran telah mengatur piring dan peralatan makan perak yang diambil dari ruanganku di depanku dan Damuel.
“Sekarang, mari kita berdoa.”
Mengikuti kata-kataku, anak-anak semuanya menyilangkan lengan di depan dada lalu mengucapkan doa sebelum makan mereka.
“Oh Raja dan Ratu yang perkasa atas langit yang tak terbatas yang memberkahi kami dengan ribuan demi ribuan kehidupan untuk dinikmati, Oh Lima Yang Abadi yang perkasa yang menguasai alam fana, saya memanjatkan rasa syukur dan doa pada Engkau, dan mengambil bagian dalam santapan yang disediakan dengan kemurahan hati ini.”
Ayah dan Tuuli mendengarkan doa yang lancar diucapkan itu dengan ekspresi terpana di wajah mereka. Ini adalah doa yang sama yang telah kuhafalkan sendiri. Aku melirik Damuel dan melihat bahwa dia juga sedang mengucapkan doa tersebut tanpa ragu. Sepertinya para bangsawan harus mengucapkan doa yang sama.
Setelah menyelesaikan doa tersebut, anak-anak mulai mendorong kue parue itu ke mulut-mulut mereka seakan-akan ini adalah sebuah balapan. Aku sendiri memakannya sesuap sambil memperhatikan.
“Wow! Enaknya!”
“Manis sekali!”
Anak-anak berseru bahagia sambil melahap hidangan nikmat itu, tapi Damuel malah membeku di sebelahku. Dia menelan, matanya terbuka lebar.
“Suster magang, apakah semua orang di kota bawah memakan ini?”
“Tidak. Ini adalah hidangan khusus hanya untuk kita. Apa kau menyukainya?” tanyaku.
Damuel menghela napas lambat. “Ini terlalu enak. Apakah ini hanya bayangan saya saja, atau memang anak-anak di sini hidup seperti para bangsawan? Mereka makan kue seperti ini dan belajar menulis serta membaca…”
“Ini adalah panti asuhan; kurasa mereka sama sekali tidak hidup seperti bangsawan. Mereka mengumpulkan buah-buah parue ini sendiri dari hutan bersalju pagi-pagi sekali. Buah-buah ini hanya bisa didapatkan pada hari cerah di musim dingin, dan ini sama sekali tidak dijual di manapun.”
Damuel lanjut menyantap kue paruenya dengan tampang terkejut di wajahnya, dan sejak saat itu dia dipastikan akan selalu pergi ke panti asuhan saat hari cerah di musim dingin. Kelihatannya dia sangat suka kue parue itu.
Dan dia bukanlah satu-satunya; semua orang di panti amat menyukainya.
“Suster Myne, ini sangat enak.”
“Kapan hari cerah berikutnya datang lagi?”
“Masih ada banyak ampas parue,” balasku, “jadi kita bisa membuatnya lagi nanti. Dan ampas itu juga bisa dipakai untuk resep lainnya, jadi tunggu saja.”
Sebagai hasil dari aku mengajari Wilma dan anak panti lainnya bagaimana membuat kue parue yang pernah kuajarkan ke keluarga Lutz, perang parue di panti asuhan menjadi lebih intens daripada sebelumnya.
Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya
0 Comments
Posting Komentar