PILIH PETUALANGANMU SENDIRI BAGIAN 2
Penerjemah: Zerard
Akan butuh upaya untuk bisa pergi keluar. Pintunya terbengkok ke dalam, dan penutup jendela telah terhalangi dengan pasir.
“Kita memang benar-benar terkubur,” Dwarf Shaman berkata dengan tatapan menyerah, menggelengkan kepala. Tidak satupun dari anggota party yang mendebat. Itu karena, seorang dwarf tengah membahas permasalahan mengenai bumi, hanya sedikit atau mungkin tidak ada sama sekali yang memiliki pengetahuan atau pengalaman untuk mendebatnya.
Jika begitu, pertanyaannya adalah, apa yang harus di lakukan? Goblin Slayer mengulas secara mental kartu yang dia miliki.
“Kurasa menggali jalan kita keluar nggak akan semudah itu...” Priestess berkata, mengintip di antara celah di sekitar pintu dan jendela. Dia bukanlah seorang insinyur, namun bahkan dia pun dapat mengetahui bahwa mereka tidak akan bisa keluar jika bekerja menggunakan tangan. Jika pasir membanjiri masuk ke dalam rumah, mereka tidak akan bisa menahannya, dan mereka juga tidak mengetahui ke arah mana atau seberapa jauh jarak untuk di gali.
Goblin Slayer mendengus pelan. “Apa kamu bisa buat jalan dengan mantra?”
“Tunnel, maksudmu?” Dwarf Shaman tidak terlihat gembira, itu bukanlah di sebabkan karena dia baru terbangun dari tidurnya. “Bisa saja sih, tapi kalau mantranya menghilang saat kita masih bergerak, kita semua akan terkubur hidup-hidup, dan itu bakal jadi akhir untuk kita.”
“Ugh...” High Elf Archer mengeluh, yang artinya dia membenci ide itu. Mereka mungkin akan mencoba peruntungan mereka, namun itu jika segala macam pilihan telah di gunakan.
“Kalau kita nggak bisa pergi menyebranginya, maka mungkin ke atas. Jalan dari kehidupan dan evolusi mungkin terletak di sana.” Lizard Priest melipat ekornya seraya dia berbicara, terdengar seperti dia tengah memberikan ceramah kepada para pengikutnya yang taat.
Ya, itu cukup masuk akal. Bangunan ini di dirikan dengan bata. Mereka tidak akan membutuhkan alat untuk menerobos jalan mereka dengan mudah, dan selama seseorang tidak berdiri tepat di bawah lubang, mereka tidak akan terkubur hidup-hidup...mungkin.
Akan tetapi, terdapat masalah. High Elf Archer mengamati atap dengan cemas dan bergumam, “Bagaimana kalau misalnya seluruh atap ini menimpa kita?”
“Kalau begitu kita hanya perlu menggunakan Protection untuk menahannya agar tetap berdiri. Atau membiarkannya berguling ke belakang kita.” Dwarf Shaman membuat itu terdengar sangat mudah.
Priestess tersenyum khwatir. “Keajaiban itu bukan di maksudkan untuk hal semacam itu, tapi...aku akan mencoba sebisaku.”
High Elf Archer terlihat tidak terhibur oleh ini, kemudian dia menatap plapon, memberikan gelengan panjang kepalanya. Tidak, Protection memang tidak di tujukan untuk penggunaan seperti itu, namun tetap saja. Tetap saja. “Dia itu benar-benar pengaruh buruk.”
“...Maksudmu gimana?” Priestess bertanya benar-benar kebingungan. High Elf Archer menepuk kepala Priestess seperti seorang adik kecil. Setiap tepukan menghasilkan kabut pasir baru, namun mereka berdua hanya tertawa.
“Kalau begitu, ke atas.” Goblin Slayer berdiri dan menatap plapon, mengulurkan tangan ke atas untuk merabanya. Dia menekan pelan dan merasakan batu terdorong ke belakang. Tidak ada timbunan di sini. “Kita harus berhati-hati.”
“Dari apa yang ku ingat di luar, atap ini terbuat dari tanah keras bumi yang bagus,” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggot dan kemudian melipat tangannya berpikir. “Seharusnya kita bisa keluar dari sini walau dengan ada atau tidak adanya pasir.”
“...Apa menurutmu kita tidak seharusnya makan terlebih dahulu?” Saran itu berasal dari Female Merchant. Mengingat betapa gugup dan letihnya dia, mungkin kalimat itu terlepas begitu saja dari mulutnya. Namun wajahnya memang kering seperti tenggorokannya. Dan perutnya juga kosong.
“Benar juga,” Goblin Slayer berkata, menghela dari dalam helmnya. “Ayo kita makan dulu.”
Party mereka sudah siap secara mental untuk meminjam apapun yanh dapat mereka gunakan dari rumah. Adalah pekerjaan seorang petualang untuk mengambil barang dari reruntuhan tua atau situs pemakaman. Terlebih rumah di mana pemilik dan semua orang di dalam telah mati. Untuk menghormati yang telah wafat, mereka terus mengumpulkan apa yang dapat di gunakan, menyelamatkan kendi yang terisi pasir dan mengeluarkan sepotong roti tawar yang telah lama dingin dari dalam oven.
Mereka mengosongkan kendi lainnya dan membersihkan pasir yang menempel. Menggunakan sebuah kain di mulut kendi, mereka menuangkan air ke dalamnya beberapa kali untuk menyaring pasirnya. Sedangkan untuk roti tawar, mereka telah menyalakan api di dalam oven dan memanaskan beberapa batu yang dapat membuat mereka menghangatkan roti ini lagi. Dengan cara ini, sedikit kecerdikan telah membantu mereka menghemat mantra Purify dan Kindle, begitu pula persediaan mereka.
“Ini kesempatan bagus. Kita nggak mempunyai kesempatan untuk duduk dan makan dengan benar dalam beberapa hari terakhir.” Goblin Slayer berkata, merobek sepotong roti dan memasukkannya ke dalam helm.
Hal itu mengundang senyum lelah dari Female Merchant. “Sudah beberapa hari semenjak aku bisa tidur di tempat yang tidak memantul-mantul juga.” Dia berkata.
“Aku cuma berharap kita bisa membilas diri kita dari semua ini.” High Elf Archer menambahkan, menarik lemas rambutnya. Elf dan kejorokan sama sekali tidak menyatu, dan kekesalan dia sangat bisa di mengerti.
Female Merchant terlihat kasihan pada sang elf. “Seandainya aku di berikan keajaiban untuk menciptakan air.”
“Itu bakalan bagus. Kamu bisa buka bisnis kecil seperti itu di sini.” Dwarf Shaman menyela, mendapatkan senyum cemas darj Priestess dan sebuah anggukan dari Lizard Priest, yang kemudian berkata, “Seseorang sering mengatakan gunakan uang layaknya air, namun mungkin di tempat seperti ini, ungkapan itu tidaklah begitu cocok.” Kemudian dia menggigit roti yang terlihat begitu kecil seraya dia memasukkannya ke rahangnya yang besar. “Dan berbicara mengenai air, saya dengar keju dapat di rebus dalam panci kecil, kemudian di celupkan pada bahan lainnya. Benar?”
“Ah,” Female Merchant berkata, menyipit kepadanya, “Anggur putih dan keju... Ya, aku dengar mereka melakukan itu di sekitar pegunungan.”
“Saya harus akui, itu terdengar seperti makanan impian.”
“Apa ada permintaani seperti itu?”
“Oh ya, tentu,” Lizard Priest, mengangguk kepada keterarikan Female Merchant. “Tentunya ada yang meminta.”
Mereka membersihkan semuanya menggunakan pasir, mau itu mencuci tangan atau membersihkan perkakas. Telah begitu terpapar oleh cahaya matahari, pasir ini jauh lebih bersih dari sumber air yang tidak dapat di percaya.
Adalah sebuah momen yang sangat riang, yang tidak cocok dengan keadaan ini. Seolah semuanya telah menghilang: kenyataan bahwa terdapat gurun di luar, bahwa mereka berada di dalam rahang bahaya, bahkan kemunculan goblin tampaknya telah terlupakan.
Pikiran itu melintas pada Goblin Slayer seraya dia memikirkan pembasmian goblin: mereka telah mempunyai banyak kesempatan akhir-akhir ini untuk duduk bersama dan makan. Beberapa kali selama makan, dia menyadari Female Merchant menggosok ujung kedua matanya seraya gadis itu tertawa. Namun Goblin Slayer memilih untuk tidak mengatakan apapun, mungkin yang lainnya juga menyadari itu; dan mungkin mereka memilih untuk tidak mengatakan apapun juga.
Tidak seorangpun dari anggota party yang begitu dungunya untuk meraba perasaan satu-satunya orang yang bukan anggota party. Akan tetapi, Priestess, memperlakukan Female Merchant dengan cemas, seperti anak kecil dengan bayi perempuan baru. Itu adalah pilihannya, dan jika Female Merchant menerima perlakukan itu, maka semua baik-baik saja.
Ketika semua sudah di bersihkan, Goblin Slayer berdiri tanpa penyesalan. “Baiklah, ayo mulai.”
Sepertinyang di ketahui, pergi keluar akan membutuhkan upaya besar.
Mereka memposisikan sebuah kursi di bawah atap, dan karena tingginya atap, adalah Goblin Slayer yang memanjat dan mulai melepaskan papan atap secara hati-hati. Di atasnya terdapat bata kering, yang dia hancurkan dengan hati-hati juga. Untuk melakukan ini, dia menggunakan palu dan pahat dari Perlengkapan Petualang (kamu tahu apa yang mereka katakan tentang itu).
Dengan bata hancur, pasir mulau membanjiri ruangan. Mereka semua mengetahui apa yang akan terjadi, akan tetapi, ini masih tetaplah mencemaskan. Namun langit biru yang tampak sekilas melalui celah atap membuat hati Priestess gembira. “Kita bisa keluar...!”
“Yep, cuma tinggal perlu melebarkan lubang itu sedikit dulu.” Dwarf Shaman mengangkat kedua tangan, membuat kotak kecil dengan jemarinya dan mengintip pada celah jarinya. “Tukaran denganku, Beardcutter, dan Scaly, pinjamkan aku pundakmu sebentar. Manusia itu pekerjaannya kasar sekali. Aku nggak tahan melihatnya.”
“Baiklah dan baiklah!” Lizard Priest menunduk dan Dwarf Shaman memanjak punggungnya, secara harfiah berdiri di pundaknya untuk melanjutkan apa yang di mulai Goblin Slayer. Jari gemuknya memegang palu dengan kepiawaian tinggi seraya dia mencari bata, menghancurkannya menjadi kepingan, melepaskannya, dan membuangnya. Hanya itu yang perlu di lakukan; setelah itu hanya tinggal masalah waktu.
Dan benar, dari apa yang sepertinya hanya sekejap mata saja, lubang itu sudah cukup lebar untuk di panjat seseorang. Goblin Slayer adalah yang pertama memanjat.
“Aman.” Dia berkata, melemparkan tali ke bawah melalui celah. Priestess memanjat untuk menemukan...
“Wow...”
...cakrawala dari Dunia Bersudut Empat, yang tampak memanjang tanpa batas, dan langit biru yang membentang di atas kepalanya. Dia tidak pernah menyadari betapa luasnya dunia itu.
Awan mengambang pada langit biru yang begitu jauh yang membuatnya tidak akan bisa menyentuhnya walaupun dia menjulurkan lengannya sejauh mungkin. Sedangkan di tanah, yang hanya dia dapat lihat hanyalah pasir kemerahan yang memanjang ke segala penjuru kompas. Dia menyipit di karenakan angin panas yang menampar pipinya dan dia menahan rambutnya agar tidak tertiup seraya napasnya semakin meninggi. Huff, huff, huff. Napas pendek dan cepat. Entah mengapa pemandangan ini membuatnya merasakan seperti dirinya telah terlempar ke laut dan tenggelam.
Namun karena itu jugalah mengapa—Priestess—adalah pertama yang menyadari. “Pasirnya... Bergerak...?”
Pada awalnya hanyz getaran kecil. Riak mungil di dalam pasir. Kemudian itu muncul: sirip punggung yang runcing.
Terdengar bunyi yang cukup terdengar seraya makhluk itu ke permukaan kabut debu, ikan raksasa yang membuatnya berpikir mirip dengan mantel besar.
Pertama dia mmelihat satu, kemudian bertambah. Dua. Tiga. Satu persaty makhluk besar lainnya melompat ke langit, sirip dada mengepak, ekor mereka meninggalkan jejak cipratan pasir. Sebuah gerombolan besar, berjumlah cukup banyak yang membuat Priestess menjadi pusing, muncul dari bawah, hampir menutupi langit. Arus pasir besar yang di lontarkan mereka menghujani party.
“Gerombolan manta pasir sedang bergerak...!” akhirnya seseorang berteriak kagum. Apakah Dwarf Shaman, atau mungkin Lizard Priest, atau bahkan Female Merchant? Namun ini adalah kalimat terakhir yang terucap untuk beberapa waktu ke depan, para petualang terdiam kagum pada pemandangan menakjubkan, adalah semacam hal yang mungkin hanya dapat di lihat satu kali seumur hidup—bahkan dalam masa kehidupan elf juga.
“Bah... dan apa yang harus kita lakukan? Menunggangi kuda langit itu dan melayang?” Mereka tidak, High Elf Archer bergumam, putus asa, pemburu berlapis hitam dari dongeng. “Dan ngomong-ngomong soal dongeng, beberapa dari mereka menyebutkan seekor ular tanpa batas yang sepertinya sudah ada dari jaman dulu, dulu sekali.”
“Lalu?” Lizard Priest bertanya dengan tertarik, namun High Elf Archer hanya mengangkat bahu. “Para elf yang bertemu dengannya waktu itu masih menunggu ularnya lewat lagi.” Dia memberikan deklarasi ini dengan wajah datar, namun setelah beberapa saat dia tidak dapat lagi menahan getaran di pundaknya, dan tidak lama setelah itu, tawaan meledak dari dirinya. “Hah! Aduh, aku tadi benar-benar nggak bisa menahannya!” dia berteriak, suaranya seperti dentingan lonceng, kegembiraannya berasal dari dalam lubuk hatinya hingga mencapai langit biru di kejauhan. Dia menekuk tubuhnya ke belakang, meregangkan lengan dan kakinya, tanpa mempedulikan pasir. “Inilah kenapa aku suka banget berpetualang.”
Seseorang tertawa mendengar itu. Tawa itu menyebar bagaikan riak, dengan cepat meliputi keseluruhan party. Mungkin tidak ada yang dapat di lakukan selaim tertawa, atau mungkin mereka semua hanya terpesona.
Namun ini semua bukan berarti mereka sudah menyerah. Mereka tidak mempunyai kuda, tidak ada persediaan, dan tidak ada waktu, namun mereka juga tidak mempunyai pilihan selain menunggu manta pasir itu lewat. Dan ketika mereka telah lewat, party mereka akan mengetahui ke arah mana mereka harus memulai berkelana di atas pasir.
Dan walau dengan semua ini, entah mengapa—entah mengapa—tidak satupun dari mereka yanb merasakan keputusasaan, bahkan Female Merchant. Goblin Slayer bergumam “Ya,” namun mungkin tidak satupun dari mereka yang menyadari bahwa sudah tidak perlu lagi untuk mengatakan apapun bahwa ini memanglah petualangan. Dan jika ini adalah petualangan, maka dadu dari Takdir dan Kemungkinan masih berguling. Berapapun jumlah mata dadu yang muncul, baik atau buruk, akan menjadi sangat dramatis.
Adalah Female Merchant yang akhirnya melihat angka dadu. “Kapal...” dia berkata pelan, berjalan melewati pasir menuju ujung atap.
Priestess bergegas mengikutinya, melingkarkan lengannya di sekitar punggul kurus Female Merchant untuk menopangnya. “Kapal...?” dia mengulangi, mengikuti pandangan Female Merchant. Kemudian dia berkedip. Di sana memang terdapat kapal. Kapal itu berseluncur di atas pasir, layar putih besar penuh akan angin panas gurun. Kapal demi kaoal, keseluruhan armada, layar segitiga bertiup—mereka tampaknya tengah mengikuti manta pasir. Ini hampir cukup membuat seseorang melupakan bahwa dirinya sedang berada di tengah gurun—dan kemudian kapal itu hampir tampak seperti sebuah penampakan.
“Wah, mungkin kita dapat berharap untuk di selamatkan sebagai korban dari badai,” Lizard Priest berkata santai. Goblin Slayer mengangguj dan mengangkat pedang dengan panjang anehnya. “Teriak sekuat kalian bisa. Dan siapapun yang punya sesuatu yang memantul, lambai-lambaikan.”
“Oh, ba-baik!” Priestess berkata, mengangkat tongkat deriknya.
“Kalau begitu, mungkin ini...!” Female Merchant menambahkan, menarik rapier dari pinggulnya. Dengan bunyi desing metal, munculah sebuah senjaga yang tampak di tempa dari rubi, dengan kilau perak. Pedang itu menangkap cahaya matahri dan berkelip, dan ini tampaknya berhasil menarik perhatian dari kapal. Kemudi dari pemimpin wahana berputar tajam ke satu arah, mengarahkan kapal menuju desa terbengkalai.
“Anjing laut tua—atau anjing gurun, ya? Ku harap mereka bukan sebuah masalah.” Bahkan gumaman ramalan ini, terdengar riang dari mulut Dwarf Shaman.
“Eh, kalaupun mereka memang masalah, kita curi saja kapalanya dari mereka.” High Elf Archer menjawab.
Akhirnya, kapal tiba di samping desa dengan kabut pasir, berputar menyamping seraya kapal itu tiba dan berhenti di depan mereka. Mungkin ini adalah semacam kapal memancing. Tidaklah begitu besar—atau setidaknya, tidak sebanding dengan manta pasir. Geladak kapal itu sepertinya cukup untuk menampung sepuluh orang, dan di atasnya berdiri seorang pria tua dengan seruit di tangan.
“Tersesat, ya?” dia bertanya.
“Ya,” Goblin Slayer menjawab dengan anggukam. “Kami”—terdapat jeda—“petualang. Kami sedang kesulitan. Apa kami bisa menumpang kapalmu?”
Goblin Slayer terdengar acuh, dan pria lainnya juga berkata pelan dan rendah.
“Terserah kalian,” ucap kapten tua—seorang Myrmidon, rahang bawahnya berdecak seraya dia berbicara.
*****
Angin yang mereka rasakan di atas geladak kapal terasa berbeda dari angin yang berhembus di gurun; angin yang kencang dan enak. Itu bukanlah hanya di karenakan kecepatan kapal, bamun juga karena Myrmidon, telah memberikan mereka air dan lap basah. Hanya dengan mengelap wajahnha dengan kain basah dan dingin, sudah cukup untuk membuat Priestess menghela lega. Apalagi, mereka sudah berada di lahan gersang ini selama beberapa hari.
“Terima kasih, Master Myrmidon. Kamu sudah sangat membantu,” Dwarf Shaman berkata, namun sang kapten hanya membalasnya dengan keacuhan dan decakan lagi.
“Tidak masalah. Kaum kami tidak butuh banyak air.”
Kemudian kapten mengatur kapalnya dalam sebuah formasi, mengepung salah satu manta pasir yang berada di pinggiran gerombolan. Tiba-tiba terpisah dari rekan-rekannya, ikan raksasa itu tertembus dengan seriut yang di lempar satu persatu oleh para Myrmidon. Mereka tidak dapat melempar sebaik manusia tentunya, namun kelemahan mereka tertutupi dengan jumlah. Jika di sederhanakan, andai kamu melempar seratus seriut pada sasaran, salah satu dari seriut itu pasti akan mengenai sasaran.
Akan tetapi, satu seruit tidaklah cukup untuk merengut nyawa dari makhluk raksasa yang hidup pada bumi dan langit. Mungkin itu bahkan tidak cukup untuk melukainya; jika seriut memiliki tali yang terikat, seriut ini hanya akan menyeret kapal bersamanya. Namun para Myrmidon menggengam tali pada cakar mereka, membentangkan sayap pada punggung mereka dan menahan manta itu.
Sekarang ini adalah keahlian para Myrmidon . Mereka menghujamkan seriut demi seriut pada punggung manta, kemudian berganti menggunakan golok, menyayatnya. Mereka tidak mempunyai waktu untuk benar-benar mengikis nyawa makhluk itu, melainkan mereka menyerang pada celah cangkang manta, melancarkan serangan telak pada insang dan siripnya. Tidaklah lama sebelum manta menjerit panjang dan tergeletak miring ke satu sisi, melambung pelan di udara. Akhirnya makhluk itu terjatuh dengan benturan keras, mencipratkan pasir ke segala arah.
“Kalau kamu bisa menjatuhkan mereka ke tanah, bahkan yang besarpun akan mati,” kapten Myrmidon menjelaskan. “Seperti itulah caranya.”
“Luar biasa.” Lizard Priest berkata, memutar mata di kepala, yang di mana sang kapten membalas dengan decakan rahang bawahnya, “Ini adalah cara kami untuk hidup. Saat ini adalah musim kawin mereka. Mereka akan bergerombol seperti ini untuk mencari betina.”
Ini membuat memancing menjadi masalah mudah.
Dengan itu kapten Myrmidon memutar antenanya pada arah angin, mengangkat tangannya mengarah yang lain di atas kapal. Dalam sekejap mata majemuk, para nelayan mengatur layat dan memutar kemudi. Bagi Priestess ini tampak seperti sihir murni, namun bagi Female Merchant ini tampak sangat berbeda. Wajahnya antara campuran cemas, khawatir, dan semangat seraya dia terpaku menatap pada kapal dan manta pasir.
“Kamu baik-baik saja?” Priestess bertanya, dan Female Merchant melambaikan tangan untuk menepis pertanyaan. “O-oh, uh baik kok. Aku hanha sekedar berpikir kalau semua ini sangat...luar biasa.”
“Kamu yang di sana,” kapten Myrmidon memanggil Female Merchant. “Kamu keliahagan seperti pedagang. Mungkin aku bisa sedikit berjualan denganmu.”
“...Aku akan sangat senang hati,” Female Merchant membalas, melihat geladak dan sedikit tersipu setelah menyadari bahwa kapten itu dapat dengan mudah membaca dirinya.
Aku kaget, Pruestess berpikir. Dia selalu mendengar bahwa para Myrmidon itu sangat dingin, makhluk yang kurang bersosial. Namun setelah interaksi singkat ini tidak menunjukkan adanya tanda seperti itu. Kurasa kamu nggak akan pernah tahu sampai kamu benar-benar menemui mereka. Priestess mengkoreksi prasangka yang ada dalam dirinya.
Asumsi sangat tidak menbantu ketika berhubungan dengan gurun, atau Myrmidon, atau petualangan. Untuk ini, setidaknya dia sudah mempelajarinya dengan keras pada quest pertamanga.
Priestess melirik pada Goblin Slayer, walau tidaklah jelas seperti apa pria itu menganggap lirikan ini. Helm baja yang terlihat murahan secara perlahan berputar mengarah sang kapten. “...Apa kamu tahu apapun tentang goblin?”
Astaga. Ini lagi. Priestess merasakan sebuah senyum menarik ujung bibirnya pada hal ini.
“Goblin?” Kapten Myrmidon berkata, menarik kepalanya ke dalam, yang sepertinya adalah gerakan berpikir, antenanya bergoyang pelan. “Pernah bertarung dengan mereka dan cukup sering di waktu itu, tapi kurasa kamu nggak akan tertarik dengan cerita itu.”
“Apa?” Telinga High Elf Archer menjentik, hampir mirip dengan antena kapten, dengan segera merasa penasaran. “Jangan bilang... Apa kamu dulunya seorang petualang?”
“Semacam itu,” sang kapten Myrmidon mengesampingkan subyek itu seolah itu terlalu merepotkan. Atau tunggu... apakah mungkin, Priestess berpikir, bahwa dia merasa malu? “Sejujurnya, itu sedikit tergantung pada seberapa banyak yang kamu ketahui—maksudku tentang negara ini.”
“Yah, aku tahu hubungan diplomasi menjadi buruk semenjak raja baru naik tahta...” Priestess berkata, menyentuh bibir dengan jarinya dan berusaha mengingat.
Female Merchant meneruskan subyek itu. “...Dan aku dengar ada gerakan-gerakan misterius di bagian perbatasan.”
“Kamu nggak salah, tapi kamu nggak benar juga,” kapten Myrmidon berkata seraya dia duduk dengan perlahan. Dia terlihat berwibawa seraya dia melakukan itu, membuktikan banyaknya tahun dari pengalaman sesungguhnya. Karapasnya, terlihat dari balik celah mantelnya, penuh dengan berbagai macam bekas luka kecil, “Rajanya nggak berubah, raja lama memang benar mati, tapi sekarang perdana mentrinya yang menjalankan negara ini.”
“Sebagai tirani?” Female Merchant bertanya, kapten Myrmidon mengangkat bahu, menghasilkan bunyi-bunyi kecil dari karapasnya, “Masih ada permaisuri. Tapi aku ragu dia bisa menghentikan pria itu.”
“Dan lalu bagaimana?” Lizard Priest bertanya dengan gerakan pelan dari kepalanya. Lizardmen adalah para petarung sejati. Kemungkinannya adalah dia mengetahui jawaban itu sebelum dia mempertanyakan itu. “Para bandit yang bertarung dengan kami, yang tampak seperti prajurit. Apakah mereka...?”
“Prajurit menyamar menjadi bandit, kemungkinan,” kapten membalas, Goblin Slayer mendengus pelan. Dia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan ketidak-senangannya—seperti biasa.
Tetapi, Priestess mengerti apa yang pria itu rasakan. Ini adalah fakta yang tidak perlu di renungkan.
“Apa anda bermaksud bahwa para prajurit berkemungkinan bekerja sama dengan goblin?”
Jika mereka hanyalah pencuri sederhana atau bandit gunung, tidaklah aneh jika wilayah mereka bertabrakan dengan goblin. Namun untuk pasukan bersenjata dari negara itu sendiri untuk hidup seperti gelandangan dan dalam jangkauan para goblin... akan tetapi, tampaknya ini adalah satu-satunya kkesimpulan. Gerombolan goblin itu mempunyai perlengkapan, persediaan untuk merawat warg, dan kemampuan untuk menunggangi mereka. Dalam keadaan biasa, tidak ada gerombolan sebesar itu dapat bertahan hidup dengan begitu lama jika berdekatan dengan tentara negara.
Kapten Myrmidon tidak merespon. Alih-alih, dia mendecakkan rahang bawahnya. “Nggak ada yang tahu secara pasti apakah raja wafat karena di bunuh atau hanya karena sakit, satu hal yang jelas: perdana mentri itu adalah pria yang cerdas.”
Priestess merasakan gejolak veritgo dan tiba-tiba menjadi sempoyongan. Manusia...mematuhi goblin! Jika mungkin semacam sekte atau ksatria pelayan dewa Kekacauan, dia mungkin masih dapat memahaminya—namun perdana menteri dari keseluruhan negara? Rencana macam apa yang dapat memotivasi tindakan terhina itu? Priestess memeluk dirinya sendiri, merinding walau di tengah terik matahari.
“Jangan kaget. Ada para manusia yang tundhk pada seekor monster dari jaman purba.” Hrmph. Sang Myrmidon menghela udara dari spirakel, antenanya berayun. “Itu cerita yang benar gila... Sebagai contoh, apa kamu pernah mendengar senjata yang melontarkan batu dengan menggunakan bubuk api?”
“Maksudmu yang seperti silinder, besar dan kecil?” Dwarf Shaman berkata seolah ini sangat masuk akal bagi dirinya, namun Priestess tidak pernah mendengar hal semacam itu; dia bertukar pandang bingung dengan High Elf Archer.
“Maksudmu senapan flintlockm” Female Merchant berkata. Priestess hanya dapat mengulangi, “Flint lock?”
“Aku pernah mendengarnya” Goblin Slayer berkata. “Senjata ini bisa menembus armor. Kalau kamu mempunyai jenis senjata ini, maka kamu bisa menyapu bersih unit musuh di medan perang. Sebuah pasukan yang di persenjatai dengan itu akan dapat menguasai perang.” Atau setidaknya, sang kapten menambahkan, sepertinya seseorang, pada suatu masa dalam sejarah negara ini, telah merencanakan hal semacam ini.
“Terus kenapa?” Goblin Slayer bertanya, menyuruh kapten melanjutkan.
”Penunggang kuda musuh menghindari peluru dengan berpencar seraya mereka menyerang, menghindarinya dengan menggunakan Deflect Missile dan menghantam formasi senapan itu.”
“Sudah seharusnya,” Lizard Priest menyatakan seolah itu adalah hal yang jelas, mata berputar di kepalanya. “Sebuah senjata tidak akan pernah menguasai medan perang secara utuh. Terdapat terlalu banyak jalan untuk mencapai kemenangan.”
Angin berpasir berhembus berisik di atas geladak. Kapten Myrmidon mendengak ke langit dengan mata majemuknya. Pasir itu membentuk kabut coklat di balik biru, “Itu artinya...mereka sama sekali tidak tahu bagaimana itu terlihat bagi orang lain.”
*****
Ketika matahari telah melewati puncaknya, kapal berhenti berselancar dengan sebuah bisikan angin, di kejauhan, mereka dapst melihat sesuatu yang menjulang seperti gunung hitam yang kecil. Gunung itu memiliki beberapa menara bundar—sebuah kastil. Tetapi tidak seperti kastil yang pernah di lihat Priestess sebelumnya, dan Priestess mendapati dirinya terpukau oleh pemandangan itu hingga membuatnya lupa untuk memanjat turun dari bibir perahu.
“Itu ibukota,” kapten Myrmidon berkata. “Kami labuhkan agak jauh. Kami nggak mau terlibat masalah.” Ucapannya membuat Priestess tersadar; dia meluruskan tubuhnya dan menunduk kepala. “Uh, um, te-terima kasih banyak...!” Dia menunduk beberapa kali, memegang topi di kepalanya. Hal ini tampak membuat kapten tidak senang, yang melambaikan tangan.
“Jangan menunduk hormat begitu, apapun yang terjadi pada kalian, aku nggak ppeduli. Aku nggak tahu bagaimana cara kalian menghadapi para goblin, tapi kalau kalian ingin informasu, di sanalah kalian akan menemukannya, apa kalian punya koneksi?”
“Kami mempunyai surat ijin lewat dan beberapa persediaan yang dapat kami bawa...,” Female Merchant berkata, alisnya yang terbentuk rapi mengerut. Dia tampak seperti anak kecil yang kecewa, “Tapi yang lainnha, sudah hilang dalam badai pasir.”
“Angin Merah Kematian? Itu bukan kekuatan yang main-main. Apa kalian punya uang?”
“Ya, sedikit. Dan kamu punya surat ijinnya... Apa menurutmu mereka akan membiarkan kami melewati gerbang?”
“Kalau mereka nggak mau, uang akan berbicara. Dan beberapa emas dan perak akan dapat membuatmu berbelanja di kota.”
Segala yang ada di dunia ini memiliki harga: barang, informasi, hak untuk memasuki kota, kamu dapat mendapatkan semua itu jika kamu dapat membayar.
Angin berlalu di tengah cerita. Kapten Myrmidon berbicara seolah untuk menenangkan seorang gadis kecil: “Ada dua dewa di gurun ini. Dewa angin dan Dewa Dagang. Apa yang di ambil oleh angin, angin akan mengembalikannya padamu nanti.” Kemudian dia merogoh mantelnya, rahang bawahnya berdecak dan tangannya menjulur mengarah grup petualang. “Yang mana di antara kalian yang menjadi kartografer dalam party ini?”
“Itu adalah saya,” Lizard Priest berkata, mengangkat tangannya. “Ada apa, Kapten?”
“Ambil ini,” Dengan gerakan santai, dia melempar sebuah gulungan yang sepertinya adalah kertas papirus. Lizard Priest menangkapnya dengan mudah di udara dan membukanya, untuk menemukan sebuah diagram yang tergambar dengan teliti. “Wah, wah...,” dia berkata dengan terkesiap. “Sebuah peta yang sungguh apik...”
“Peta itu menggambarkan area di sekitar sini. Lakukan apa yang kamu mau dengan peta itu, selama kamu nggak membuangnya di gurun.”
“Anda sungguh dermawan.” Lizard Priest membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya dan menunduk kepala hormat.
“Saat Scaly benar, dia memang benar.” Dwarf Shaman berkata dari samping. Dia memberikan tepukan pada kantung yang menonjol miliknya. “Dan kami pastinya sangat menghargai kamu yang telah membagikan makanan dan air.”
“Dengan ini semua, kalau kita bertemu dengan badai lagi, kita pasti bisa selamat!” High Elf Archer berkata.
“Kuharap itu nggak terjadi. Nggak semua dari kita bisa hidup hanya dengan kabut dan embun seperti para elf, Telinga Panjang,” High Elf Archer tertawa mendengar ini, melompat turun dari kapal dengan gerakan akrobatik. Mantel putihnya berkibar seraya dia mendarat di pasir tanpa sedikitpun mementalkan sebutir pasir. Kebalikannya, Dwarf Shaman, mendarat dengan kerasm mengundang tawaan lagi dari High Elf Archer. Dia berhenti tertawa ketika dia terciprat oleh pasir yang tertendang oleh pendaratan Lizard Priest.
“Mohon maaf,” Lizard Priest berkata ketika dia melihat sang elf berdiri di sana dengan tangan di pinggul, namun kemudian dia memutar mata dj kepalanya seolah ini adalah hal yang tidak perlu di khawatirkan. Kemudian dia menjulurkan ekor panjangnya mengarah kapal agar Priestess dan Female Merchant dapat menggunakannya sebagai pegangan seraya mereka turun.
“Sekarang, kalian bisa turun.”
“Te-terima kasih.”
“...Permisi.”
Para gadis bergenggaman tangan—dan ekor Lizard Priest—seraya mereka turun dengan canggung ke atas dasar berpasir. Mungkin masih kesak dengan semburan pasir, High Elf Archer memukul pelan Lizard Priest dari samping dengan sikunya. “Kayaknya aku nggak kasih pegangan ekor.”
“Saya begitu terpana dengan kelincahan dan kenaggunan yang anda tampilkan hingga menbuat saya lupa untuk melakukannya. Dia berkata dengan tawaan, dan High Elf Archer mengembungkan pipi, yang merupakan tindakan tidak pantas untuk seorang high elf. Tetapi, itu hanya berlangsung sesaat saja. Ketika dia mulai berlari dengan kaki panjangnya di atas pasir, dia sudaah kembali menjadi riang. “Orcbolg, cepatan!” Dia memanggil, berputar dan melambai kepadanya.
“Ah, elf. Riang sekali,” sang kapten berkomentar dari geladak, nadanya terdengar begitu lembut.
“Dia selalu membantu,” Goblin Slayer berkata, tidak begitunyakin apa yang di maksud sang kapten. “Aku, aku nggak bisa bersikap seperti itu.”
“Kamu,” sang kapten berkata. Goblin Slayer menghentikan tangannya di bibir perahu. Kapten Myrmidon memutar mata majemuknya, emosi dan ekspresi pada wajah itu adalah mustahil untuk di baca, pada Goblin Slayer. “Kamu seperti pria yang tersesat.”
Dia tersengar begitu yakin.
“...Nggak.” Goblin Slayer berkata, namun untuk sesaat dia tidak mengatakan apapun lagi. Dia menarik napas; mempertimbangkan; dan akhirnya, secara perlahan mengakui, “Ya. Aku kaget kamu bisa mengetahuinya.”
“Itu nggak sulit.” Myrmidon mengeluarkan suara berdecak kering. Tampaknya dia tengah tertawa. “Aku sering terjerumus dengan orang-orang semacam itu dulunya.”
“Aku pemimpin mereka...,” Goblin Slayer memulai, namun kemudian mengoreksi dirinya. “Atau mungkin, mereka menganggapku seperti itu,” Kemudian helm baja yang terlihat murahan menoleh dari satu sisi ke sisi lain. Melalui celah helmnya, dia dapat melihat partynya dan Female Merchant, berdiri di atas pasir dan menunggu dirinya.
“Hei, atap itu kenapa? Kelihatannya kayak bawang! Aneh!” High Elf Archer berkata.
“Teori yang sederhananya, kamu tumpuk bebatuan, kemudian tambah batu inti dan voila, itu jadi bisa berdiri sendiri.”
“Sungguh begitu banyak ragam pengetahuan di antara orang di berbagai macam lahan.”
“Sepertinya aku sama sekali nggak berhenti terpukau semenjak kita sampai ke sini,” Priestess berkomentar.
“...Aku jugam” Female Merchant menyetujui.
Goblin Slayer menghela seraya dia memperhatikan mereka, dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan datang ke tempat seperti ini dan dengan kumpulan ini. Mungkin hingga momen ini, dia tidak pernah mengira bahwa dia mampu untuk semua ini.
“Sayangnya selain pembasmian goblin, aku...nggak terlalu banyak berguna.” Dia berkata, berpikir tentang apa yang mungkin dia dapat lakukan tentang semua yang terjadi hingga saat ini. Apakah dia dapat maju ke depan? Adalah fakta sederhana untuk mengetakan bahwa dia tidak yakin akan hal ini.
Tetapi tanpa sungkan, kapten Myrmidon membalas, “Petualang manapun pada akhirnya harus mengambil langkah itu menuju wilayah yang benar-benar tidak di ketahui. Beberapa mati di sana. Beberapa hampir. Beberapa selamat, namun mereka jarang untuk meributkan hal itu.”
“...”
“Jadi menurutku satu-satunya hal untuk di lakukan adalah apapun yang dapat kamu lakukan.”
“Itu saja?”
“Ya.” Kapten menjawab dengan sentilan antenanya. “Kurang lebih seperti itu.”
“....Begitu,” Goblin Slayer berkata setelah jeda panjang kemudian, menghela kembali.
Itu bukanlah jawaban. Keresahannya tidak menghilang, itu hanyalah pemastian ulang sebuah fakta. Tuhan—jika masternya melihat ini, betapa dia akan tertawa terbahak-bahak, betapa dia akan mengolok, betapa dia akan menghajar dirinya tanpa ampun. Dirinya yang tidak pintar, tidak bertalenta. Yang hanya dia miliki hanyalah keberanian—yang artinya, satu-satunya yang dia dapat lakukan adalah bertindak. Seperti yang selalu dia lakukan.
Goblin Slayer meremas jemarinya di atas bibir perahu, menegangkan keseluruhan tubuhnya sebelum melompat ke pasir. Dia mendarat dengan keras, sebuah suara ringan namun kuat yang di timbulkan, tidak seperti Dwarf Shaman atau Lizard Priest.
“Semoga kamu beruntung, petualang.” Kapten Myrmidon bergumam seraya dia memperhatikan grup itu pergi dengan mata majemuknya. Matahari, telah melewati puncaknya di langit, masih terang dan terik, namun tidak lama lagi akan berubah menjadi sore kirmizi. Yang akan terjadi di saat para petualang akan mencapai kota. (TL Note : Kirmizi = jenis warna merah. Atau inggrisnya “crimson”.)
Kapten melambaikan antena untuk membantunya mengeyahkan fakta bahwa dia telah membantu mereka tanpa pikir panjang. Dia telah lama sekali berhenti berpetualang, namun sesekali hal seperti ini terjadi: Dadu tidak pernah dapat di terka.
Mungkin ini adalah bimbingan dari Dewa Perjalanan. Atau mungkin ini adalah ulah dari Takdir atau Kemungkinan...
“Yah, secara pribadi...aku senang saja dengan kedua hal itu.”
Dan dengan itu, Myrmidon Monk mendecakkan nyaring rahang bawahnya.
1 Comments
makasi min
BalasHapusPosting Komentar