Di Tengah Mimpi
(Bagian 4)
(Penerjemah : Nana)
Tanggal 24 Desember adalah hari terakhir perkuliahan di tahun ini.
Di tanggal ini juga mengartikan Malam Natal bagi sebagian besar orang di dunia.
Dengan beralasan mengirim data untuk materi proposal dan membuat data grafis untuk versi percobaan, Rita mengunjungi rumah tua yang berada di dekat kampus di mana rumah tersebut merupakan tempat yang ditinggali oleh Sorata dan Ryuunosuke.
Rumah yang terbuat dari kayu itu mengingatkan dirinya akan Asrama Sakurasou entah mengapa. Pikirnya, dua-duanya terasa cukup mirip seperti suara decitan tangga ketika naik-turun. Dia sedikit bisa mengerti kenapa mereka memilih rumah ini.
Begitu dia sampai, Rita langsung mengerjakan yang diminta di salah satu komputer yang tersedia dan mengerjakannya dalam diam. Waktu berlalu begitu cepat, dia memulai hal ini dari siang hari dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. 3D Modelnya sudah hampir selesai karena dikerjakan terus-menerus tanpa beristirahat, kecuali saat makan kue setelah makan malam.
Berkat itu, Ryuunosuke berhasil menyelesaikan seluruh materi yang diminta untuk versi percobaan.
Sekarang ini, ia sedang memeriksanya.
“Bagaimana?”
“Tidak ada masalah.”
Ryuunosuke sedang memeriksa model karakter yang ditampilkan di layar dengan stik konsol. Gerakan dari model karakter tersebut diulang-ulang dan hasilnya terlihat halus.
“Aku sudah capek. Materi yang ada di sini sudah sempurna, kurasa kita bisa mengirim proposalnya hari ini ke Totsuka-san.”
Sorata meregangkan tubuhnya sambil menguap. Ketika meregangkan lehernya, ia mendengar bunyi *beep*.
“Tapi ini sudah larut malam, jadi akan ku kirim sendiri.”
Sorata bangkit dari tempat duduknya.
“Tidak, tidak usah.”
“Tapi…”
“Karena Ryuunosuke yang akan mengirimnya.”
Rita dengan cepat menghalangi Sorata yang sudah bersiap untuk pergi.
“Aku tidak pernah bilang begitu.”
“Eh, kau akan membiarkanku pulang sendirian malam-malam begini?”
“Tapi katanya Kanda yang akan mengirimkannya.”
“Bukannya Sorata masih harus merevisi proposalnya? Bukannya akan lebih efisien jika Ryuunosuke yang mengirimkan ini.”
“Huh……” ucap Ryuunosuke yang hanya bisa terdiam.”
“Kalau begitu, tolong belikan aku udon di minimarket saat kau pulang ya?”
“Kenapa harus aku……”
“Hei, Ryuunosuke. Ayo pergi.”
“B-baiklah, jangan dekat-dekat.”
Menunggu Ryuunosuke yang bersiap untuk memakai mantel, Rita berjalan ke pintu depan.
Rita berjalan berduaan dengan Ryuunosuke seperti saat mereka berada di Kampus Suimei. Di siang hari ada banyak mahasiswa-mahasiswi yang lewat, dan ketika Matahari mulai terbenam, kerumunan mahasiswa-mahasiswi juga akan berkurang. Sangat berbeda dengan keadaan mereka saat ini di mana mereka hanya berduaan di tengah larut malam. Suasananya sangat sunyi, hingga hanya terdengar langkah kaki Rita dan Ryuunosuke serta suara mobil yang melaju di kejauhan.
Jadi, ketika sudah larut seperti ini, dia bisa beralasan untuk berduaan dengan Ryuunosuke. Ini adalah salah satu hal yang ditunggu Rita. Waktu berduaannya dengan Ryuunosuke…
Ryuunosuke yang memasukan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya menghembuskan asap putih karena dinginnya cuaca sekarang ini. Selain itu, hidungnya juga memerah.
Langkah keduanya hampir tidak berubah. Rita bisa terbilang tinggi untuk gadis seumurannya dan Ryuunosuke sendiri terbilang pendek. Dia agak sedikit lebih tinggi dari Ryuunosuke. Perbedaan jarak keduanya hanya beberapa sentimeter saja.
“Apa proyek ‘Rhythm Battlers 2’ sudah bisa diterima?”
“Tentu saja.”
Di keheningan larut malam, suara keduanya terasa melebur menjadi satu dengan keheningan di sekitar.
“Ryuunosuke selalu percaya diri, ya?”
“Kanda dan aku sudah berusaha semaksimal mungkin.”
“Aku tidak bisa menyangkal hal itu, tapi sepertinya kalian berdua terlalu bekerja keras.”
Sorata dan Ryuunosuke tidak hanya membuat game. Mereka melakukan hal ini sementara menjalani perkuliahan di kampus. Dan mereka juga bersiap-siap mengurus pendirian perusahaan mereka juga.
“Jika mau berusaha, ada banyak hal yang bisa kita lakukan tanpa sadar. Kebanyakan orang sudah menyerah lebih dulu sebelum mereka melakukannya.”
“Benar juga.”
“Namun kasarnya, kau juga sama.”
“Siapa yang membantu kami mengerjakan ini sambil harus menghadiri kelas di kampus dan membantu gambar latar Kamiigusa-senpai juga?”
“Karena kau siswi internasional, bukannya hal itu juga agak berlebihan?”
“Jaga juga kondisi tubuhmu itu.”
“Jika aku sakit, Ryuunosuke yang harus merawatku.”
“Tidak mau.”
“Aku serius.”
Rita menunjukkan kekesalannya. Namun, Ryuunosuke mengabaikan hal tersebut.
Mereka akhirnya melewati gerbang masuk kampus. Sedikit lebih jauh lagi di depan sudah terlihat gerbang masuk ke Suiko. Setelahnya, tujuan mereka juga berada di jalan yang sama dari Asrama Sakurasou.
“Bagaimana keadaan Sorata belakangan ini?”
“…Apa maksudmu?”
Wajah Ryuunosuke terlihat agak aneh. Mungkin karena ia mengerti maksud dari pertanyaan Rita itu.”
“Apa ia pernah membicarakan Mashiro?”
“……”
Mereka berdua kembali terdiam. Bukan berarti Ryuunosuke tidak ingin menjawab pertanyaan Rita, tapi hanya saja ia tidak punya hal yang layak diceritakan.
“Mereka memutuskan untuk berpisah satu sama lain…Setelah itu, mereka belum bertemu lagi semenjak mereka lulus dari SMA.”
“Kanda dan Shiina memutuskan kalau mereka tidak akan membicarakan hal itu lagi.”
“Memang benar, tapi apa Ryuunosuke tidak keberatan dengan itu?”
“Aku sih tidak masalah, tapi aku juga tidak bisa ikut campur bahkan jika aku mau.”
“……”
“Kenapa dengan tatapanmu itu.”
“Karena aku lagi kesal.”
“Apa yang kau harapkan dariku?”
“Bukannya Ryuunosuke merasa sedih juga melihat mereka seperti ini?”
Terkadang ketika Rita melihat diri Mashiro, ada rasa iba yang muncul. Dia ingin memeluknya karena memutuskan untuk lanjut menggambar manga.
“……Tapi meski kita ikut campur sekarang ini, hasilnya hanya akan sama saja. Shiina jadi semakin terkenal setelah memenangkan penghargaan manga. Setelah karyanya diadaptasi menjadi drama, mereka memutuskan untuk membuat animenya. Dia sudah benar-benar menjadi pusat perhatian sekarang ini.”
“Mm…..memang benar sih, tapi…meski begitu, apa tidak ada cara untuk mempertahankan hubungannya? Jika mimpinya menjadi kenyataan, dia akan sangat sibuk dan terus berusaha untuk lebih meningkat lagi……pada akhirnya, dia tidak bisa meminta bantuan siapapun.”
“Meski begitu, Shiina bisa menenangkan pikirannya sedikit demi sedikit. Dia bisa terbiasa dengan pekerjaannya dulu, dan tidak perlu memikirkan hal lainnya ketika sedang sibuk.”
“……”
Rita menatap Ryuunosuke yang berbicara dengan tenang.
“Kenapa kau menatapku seperti itu lagi?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut dengan yang Ryuunosuke katakan.”
“Sampai sini saja ya. Aku mau pulang karena tersinggung.”
Ryuunosuke menghentikan langkahnya dan berbalik arah.
“Oh, tunggu. Apa Ryuunosuke bisa tanggung jawab jika aku kenapa-napa?”
“……”
“Beberapa hari yang lalu di jalan ini, tampaknya terjadi kecelakaan serius.”
“……”
Ryuunosuke berbalik arah lagi dan mulai berjalan kembali. Rita mengejarnya dengan berlari-lari kecil dan berhasil berjalan berdampingan dengan Ryuunosuke lagi.
“Mungkin saja yang dikatakan Ryuunosuke itu benar adanya, jika terus melangkah maju sedikit demi sedikit, suatu saat usaha tersebut akan berbuah manis. Selama tidak berhenti ataupun menyerah……Mashiro akan mampu memaafkan dirinya sendiri dan juga Sorata.”
Dia tahu kalau hal itu memang tidak mudah dilakukan. Dia juga tidak tahu butuh waktu berapa lama sampai itu bisa terjadi. Setahun, tiga tahun, lima tahun kemudian……atau mungkin sepuluh tahun kemudian, dan mungkin saja lebih dari itu. Tapi tetap saja, mereka memiliki keyakinan untuk maju. Dengan mempercayai hal itu, dia bisa lega mengetahui kalau Sorata dan Mashiro sedang berusaha sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan oleh Ryuunosuke itu benar. Masalah antara Sorata dan Mashiro hanya bisa diselesaikan oleh mereka berdua seorang.
Sambil membicarakan hal tersebut, mereka berjalan mendekati taman kecil. Jalan yang menuju ke apartemen tempat di mana Rita tinggal sudah terbilang aman untuk saat ini karena ada banyak kerumunan orang yang muncul dari stasiun sekitar dan lampu jalannya juga terang-benderang.
“Sampai sini tidak apa-apa” ucap Rita.
Langkah kaki Ryuunosuke berhenti tepat di belakang Rita berdiri.
“Tidak apa-apa. Tinggal sedikit lagi, aku akan mengantarmu sampai ke depan apartemen.”
Rita menarik tangan Ryuunosuke yang akan berjalan.
“A-apa, ada apa tiba-tiba?!” keluh Ryuunosuke.
Mengabaikan keluhannya itu, Rita menarik Ryuunosuke ke gang kecil.
“B-bodoh, apa yang kau lakukan?”
“Shh! Diam.”
Dengan bersembunyi di balik tiang listrik dan mengintip ke arah taman kecil yang mereka lewati. Rita mengenali sosok laki-laki dan perempuan yang dilihatnya. Mereka adalah Iori dan Kanna yang berjalan keluar dari stasiun dan berjalan di depan taman kecil tersebut.
“O…Oi, lepaskan.”
Ryuunosuke memohon dengan suara yang keras.
“Tolong diam sebentar.”
Iori dan Kanna saling berpegangan tangan dan tampaknya suasana mereka berdua sedang romantis-romantisnya. Namun, Rita merasakan ada yang aneh dari tingkah Kanna. Dia melihat ke Iori berkali-kali. Awalnya melihat ke arah Iori, lalu membuang muka, dilihatnya ke arah Iori lagi, lalu membuang mukanya lagi, dan berulang kali seperti ini.
“Oyaa~, apa ini seperti dugaanku…”
“L-lepaskan.”
Dugaan Rita menjadi kenyataan beberapa saat kemudian. Terlihat tangga kecil yang berada di depan taman. Kanna yang lebih dahulu menaiki tangga langsung berbalik ke arah Iori. Dan dia mendaratkan ciuman singkat yang bisa dikatakan sebagai ciuman jinjit di depan Iori yang berada satu langkah anak tangga di bawah Kanna.
Setelahnya, Kanna buru-buru melarikan diri. Iori yang panik langsung mengejarnya……Rita mengira kalau dia bisa menunjukkan diri mereka sekarang, tapi baik Iori dan Kanna sudah pergi jauh.
“Ryuunosuke.”
“Perlu kuperingatkan, aku tidak mau.”
Ryuunosuke yang melarikan diri dari balik tiang listrik mulai kehabisan napas. Dibandingkan dengan dirinya yang dulu, tampaknya rasa bencinya terhadap wanita semakin menjadi. Atau lebih tepatnya, perlawanan dirinya terhadap Rita sudah tertanam di dalam diri Ryuunosuke. Kalau untuk wanita lain, sepertinya tidak sampai seperti ini.
“Aku masih belum bilang. Jadi, ‘mau ciuman?’”
“Tidak.”
Ryuunosuke mulai berjalan meninggalkan Rita. Langkah kakinya berjalan menuju tempat Rita tinggal. Jika ia memang marah, Rita pikir dia akan pulang ke rumahnya, tapi dengan canggung ia sebaliknya bilang “Aku masih harus mengantarmu ke depan apartemen.”
“Ryuunosuke.”
“Aku tidak mau menjawab jika masih tentang ciuman.”
“Oh, sayang sekali. Kalau begitu mau bicara serius?”
“……”
Ryuunosuke merasa ragu dengan apa yang Rita ucapkan.
“Tentang masa depan Ryuunosuke denganku.”
“Tidak ada masa depan seperti itu.”
Meski begitu, Rita terus melanjutkan bicaranya.
“Ketika aku lulus dari kuliahan, aku akan kembali ke Inggris.”
“……”
Sikap waspadanya langsung menghilang seketika.
“Aku akan mengajar anak-anak di kelas menulis sambil melanjutkan pekerjaan kakek ku di studionya.”
“Sungguh?”
Ryuunosuke menatapnya dengan tatapan serius.
“Cuma itu saja tanggapanmu?”
“Apalagi memangnya.”
“Kejamnya.”
“Apa yang kau harapkan dariku?”
“Contohnya saja, kau bisa bilang ‘aku ingin kau tetap di sisiku?’”
“Tidak mungkin.”
“Ryuunosuke. Coba mengerti sedikit perasaan dari seorang gadis ini.”
“Meski aku bisa mengatakan itu, niatmu untuk kembali ke Inggris tetap tidak akan berubah, kan? Kalau begitu kenapa aku harus memahami hati seorang gadis?”
“Apa?! Itu ya…”
Rita menyadarinya begitu Ryuunosuke menyebutkan hal itu.
Dia memang tidak bisa berhenti menggambar. Dia tidak ingin berhenti. Sudah menjadi mimpinya untuk melanjutkan pekerjaan kakeknya di studio. Jadi, ketika empat tahun masa perkuliahan berakhir, pilihannya untuk kembali ke Inggris atau tidak membuatnya bingung.
“Jika Ryuunosuke melarangku, aku mungkin akan berubah pikiran?”
“Aku tidak akan pernah melakukan itu, jadi tidak perlu khawatir.”
“Kemungkinannya bisa saja terjadi.”
“Selain itu, kau pasti tidak akan mau membuang mimpimu.”
“……d-dasar licik” keluh Rita dengan suara yang kecil hingga tidak bisa terdengar oleh Ryuunosuke.
Jika ia berkata begitu. Berarti hanya untuk Ryuunosuke seorang, dia tidak boleh mengecewakan dirinya yang mendukung mimpinya ini……
“Sudah sampai.”
Begitu dia mengangkat wajahnya, mereka sudah tiba di depan apartemennya.
“Maaf, kencannya sudah berakhir.”
“Kita sudah menghabiskan waktu 30 menit lebih untuk sampai ke sini.”
“Jika kau capek, kenapa tidak masuk dulu? Mungkin Mashiro masih belum pulang dari pesta akhir tahun.”
“Jangan bercanda begitu.”
“Aku cukup serius.”
“Kalau begitu, hentikan wajah yang terlihat seakan menggodaku.”
“Sudah, nih” ucap Rita sambil tersenyum licik.
“Wow, hebat sekali” ucap Ryuunosuke dengan nada datar.
Ia menarik napas dalam-dalam karena begitu kagum.
“Meski Ryuunosuke selalu mengeluh ini-itu, kau selalu mengantarku sampai ke depan apartemenku. Meski aku sudah bilang ‘Di sini saja’”
“Siapa yang selalu mengancamku agar harus bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi?”
“Bukannya kau bisa mengabaikan itu?”
“……”
Ryuunosuke tetap terdiam, mungkin karena Rita menatapnya dengan tatapan serius.
“……”
“……”
“Menurutmu aku gimana?” tanya Rita dengan nada bicara yang serius.
“Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku benci wanita.”
“Kalau sifatku?”
“Sama saja.”
“Tapi tetap saja, kau mengantarku sampai di depan apartemenku.”
Ryuunosuke hanya bisa terdiam. Situasinya saat ini bukan hal yang bisa dijadikan candaan. Ia juga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Rita.
“Apa aku boleh mengharapkan kelanjutan hubungan kita?”
“……”
Keheningan menyelimuti keduanya. Sebuah taksi yang datang dari arah depan apartemen memecah keheningan mereka. Lampu depan taksi menyinari Rita dan Ryuunosuke dengan sangat terang.
Ketika pintu taksi terbuka dan penumpang taksi itu turun. Mereka berdua tidak bisa melihat wajah dari penumpang yang turun itu karena lampu taksi yang terang menyoroti mereka.
“Oh, ada Rita dan Ryuunosuke juga.”
Mereka hanya bisa mendengar suara bising mesin taksi dan suara seseorang yang sangat mereka kenal. Kata-kata tersebut keluar dari mulut Mashiro.
Ketika taksi itu sudah pergi, Mashiro berjalan mendekati mereka. Tampaknya dia baru saja kembali dari pesta akhir tahun di kantornya.
“Aku sudah mengantarmu. Aku pulang dulu.”
“Ah, Ryuunosuke!”
Ia tetap tidak menghentikan langkahnya bahkan ketika Rita memanggilnya. Punggung Ryuunosuke menghilang dalam gelapnya malam dan tidak terlihat lagi.
“…Bener-bener deh.”
Rita tanpa sadar mengucapkan kata-kata seperti seperti anak kecil yang sedang marah.
“Apa aku mengganggu?”
“Tidak juga. Kau malah menyelamatkanku.”
“Hmm?”
Mashiro tidak mengerti yang dimaksud oleh Rita dan memiringkan kepalanya.
“Aku takut mendengar jawabannya” ucap Rita sambil tersenyum lega.
“Rita.”
“Sudah, ayo masuk. Dingin sekali di sini.”
Sambil meraih tangan Mashiro, Rita buru-buru masuk ke dalam gedung apartemennya.
Sementara itu, dia masih memikirkan tentang Ryuunosuke. Karena baru pertama kalinya dia melihat wajah Ryuunosuke seperti itu…
- Apa aku boleh mengharapkan kelanjutan hubungan kita?
Ketika dihadapkan oleh pertanyaan itu, Ryuunosuke seakan sedang bimbang.
1 Comments
Ah..... Manis banget Ryuunosuke dan Rita. Bagian ini rasa bahas mereka berdua. Aku suka banget ❤️❤️❤️
BalasHapusPosting Komentar