Tanpa Ketahuan Tanpa Lari
Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon
Bagaimana ini bisa terjadi?!
Sang kapten menggerutu kepada dirinya sendiri, berlari melintasi benteng seraya tempat ini tertelan oleh badai Kekacauan. Semuanya tidak berjalan seperti semestinya, namun dia mengira bahwa semuanya berjalan dengan baik. Kembang biakkan para goblin, jinakkan mereka, gunakan mereka sebagai prajurit. Ketika ide itu terngiang di kepalanya, ide itu terlihat begitu menginspirasi hingga membuatnya mengira bahwa itu adalah sebuah wahyu. Budak atau tahanan dapat berguna sebagai, sumber murah untuk makanan dan prokreasi. Dirinya akan mempunyai sumber pasukan yang tidak terbatas. Sebuah pasukan tanpa akhir. Mereka bahkan dapat memenangkan peperangan dengan pasukan seperti ini.
Sang kapten mengingat tatapan menghina dari perdana menteri kepadanya, ketika dia menyarankan ide itu. Ketika perdana menteri membawa gadis itu ke parade di depan prajurit, sang permaisuri bahkan tidak melirik kepada dirinya. Seraya para goblin semakin bertambah banyak, para prajurit juga mulai memberikan dirinya tatapan jijik. Sangatlah memalukan. Mengapa mereka tidak memiliki kesetiaannya untuk Negara ini, kemauannya untuk melakukan apapun, walaupun itu adalah sesuatu yang licik, demi Negara ini?
“Hei, minggir, dasar anjing!” Sang kapten mengayunkan pedangnya, terdengar jeritan dan cipratan darah. Dia menghiraukannya. Jeritan prajurit dan goblin semuanya sama: mereka hanya menghalangi jalannya.
Sekarang setelah perdana menteri memegang kekuasaan dari Negara ini, itu membuat perdana menteri itu menjadi wakil setelah orang terkuat dari Negara ini. Suatu hari dia akan menyingkirkan perdana menteri itu, memaksa permaisuri untuk menikahinya, dan kemudian dia akan berdiri di puncak kekuasaan. Dia memiliki wawasan dan kecerdasan. Dia telah di didik dengan nyanyian-nyanyian para penyair dan cara bertika dan budaya. Sedangkan untuk kemampuan bertarung, dia tengah menunjukkannya sekarang.
Jadi kenapa nggak ada seorangpun yang melihat kehebatanku ini?! Sang kapten berlari melintasi benteng, memperhatikan sekitaran dengan lototan mata lebar, liurnya berbuih pada ujung mulutnya. Dia telah di beritahu bahwa serangan goblin ini ketika dia tengah melakukan persiapan untuk menghibur wanita pedagang asing. Dia telah berusaha bersikap sebaik mungkin. Dia akan membisikkan satu atau dua kalimat penyambutan ke telinga wanita itu agar ketika waktunya tiba, wanita itu akan datang kepadanya meminta bantuan. Dia bahkan mempunyai sesuatu spesial yang dia simpan untuk memastikan bahwa itu akan terjadi. Semuanya telah berjalan sesuai dengan rencana.
Namun kemudian para goblin membelot.
Dia sangat yakin bahwa wanita itulah yang memulai ini. Negara lain memulai pembelotan di dalam pasukannya. Itu sudah sama saja seperti sebuah deklarasi perang.
“Ini perang!” dia berteriak. “Apa kalian semua paham? Kita ini sedang berperang!” namun walaupun dia meneriakan perintahnya, tidak seorangpun yang mendengar. Hal itu semakin membuatnya marah.
Aku sudah nggak bisa mengandalkan prajuritku lagi!
Jika dia mengingatkan pekerjaan ini di lakukan dengan benar, maka dia harus melakukannya sendiri. Dia telah mencapai sejauh ini. Dia tahu bahwa dia hanya dapat mempercayai kejeniusannya sendiri.
Pada akhirnya mereka akan bisa membendung para goblin. Para monster telah menyergap mereka, namun para prajurit lebih kuat di banding para goblin. Permasalahannya adalah apa yang datang setelah itu. Yaitu perang. Tidak ada keraguan di dalam pikiran sang kapten. Dia harus bersiap. Dia harus menggunakan sesuatu yang spesial itu. Itu karena, benda itu tidak akan menjadi spesial jika dia tidak pernah menggunakannya.
Dia belum kalah. Dia hanya perlu untuk menang. Meraih kemenangan, dan segalanya akan menjadi miliknya. Semua harta negara, semua kekuasaan, wanita. Bahkan penari birdfolk yang begitu sering dia dengar, seseorang yang seharusnya menjadi orang bertalenta di dunia, bahkan wanita itu akan datang untuk melayaninya.
Sang kepten menendang pintu terbuka menuju ruangan kamar, dan bergegas masuk. “Dimana?! Petaku—aku perlu petaku…!”
Dia membalikkan laci, menghamburkan semuanya yang berada di rak. dia bahkan tidak peduli dengan kendi anggur yang terjatuh di lantai di atas karpet tebal yang sangat dia banggai. Pria hebat yang sebenarnya tidak akan teralihkan dengan hal sepele seperti itu. Tidak pernah. Sang kapten sangat yakin.
“Yo, Yang Mulia. Lagi senggang? Aku punya pesan untukmu.”
Suara itu berasal dari belakangnya, mengganggu pencarian putus asanya. Sang kapten sudah memegang pedang di pinggulnya dengan satu tangan seraya dia berputar. “Apa itu?! Dan siapa kamu?! Jangan buang waktuku dengan laporan nggak berguna. Bantu aku cari—“
Matanya yang terbuka lebar terisi dengan pemandangan akan butir baja yang terbang.
“Mati, anjing.”
Terdengar sebuah thwack dan gaya peluru itu menembus matanya, dan kemudian dia akhirnya terkulai terlentang.
Sang mata-mata mengganti silinder berasap yang ada di punggungnya, menghela seraya dia mengambil helm kapten. “Kan? Sudah ku bilang kalau ini itu di buat untuk membunuh musuh dari jarak dekat dengan sekali tembak. Mau dia berarmor ataupun nggak.”
“Kamu membidiknya di kepala. Aku bakal kaget kalau kepalanya tidak berakhir seperti itu.” Di sampingnya, seorang gadis berambut merah memberikan senyum masam dan mencoba untuk memakai helm itu. Dia adalah seorang shangeling, namun telinganya lebih panjang dari telinga manusia biasa. Mungkin helm itu tidak terlalu pas dengannya. Dia pun akhirnya menyerah, menarik helm itu dan menggosok telinganya. “Yang terpenting,” dia berkata agar sang mata-mata dapat menjaga fokusnya. “Kita nggak melakukan hal yang biasanya hari ini. Kita harus cepat. Keluar dari tempat ini bisa menjadi sedikit masalah, eh?”
“Iya-iya, maaf.” Ucap orang ketiga. Adalah seorang penjaga dengan bentuk tubuh ramping—seorang wanita muda yang menyembah God of Knowledge. Dia tengah tersenyum. “Aku nggak bermaksud membuyarkan keributan kalian.”
“…Nggak apa-apa, dan kamu tahu itu.” Elf berambut merah mengernyit dan memalingkan pandangan. Sang cleric dari God of Knowledge cekikikan. “Aku anggap saja helm tadi itu yang melakukannya.”
“Sudah ku bilang nggak apa-apa.” Elf berambut merah berkata mendengus. “Lakukan saja pekerjaanmu.”
“Baik, dan kamu tetap awasi kalau-kalau ada masalah.” Elf berambut merah adalah rekannya, sesama wanita dan seorang teman, dan sang cleric tidak mempunyai niatan spesial untuk membuat dia kesal. Sang cleric melompati mayat kapten. Seraya dia melakukan itu, dia menemukan sesuatu yang tampaknya telah terkoyak dari sekitar leher pria itu. Sebuah sigil berbentuk mata. Sang cleric mengernyit.
Sejujurnya, dia mempunyai firasat tidak baik tentang ini. Biasanya dia hanya akan menyerahkan semuanya kepada mereka berdua yang ada di baris depan.
Semua orang harus memainkan peran mereka kan? Nggak ada yang spesial tentang itu. Sangat jarang baginya untuk muncul di tempat kejadian perkara seperti ini. Dia harus sedikit berdebat atau dia tidak akan dapat bertahan.
“Maaf,” mata-mata berkata, busur silangnya bersiap. “Sayangnya kami nggak bisa membaca tulisan di sekitar sini.”
“Kalian berdua harus lebih banyak belajar lagi.” Cleric menjawab, menggapai kertas yang ada di kakinya. Terdapat cukup banyak dari kertas itu, dan banyak dari kertas-kertas itu penuh dengan tulisan. Akan butuh beberapa waktu untuk mencari apa yang dia cari.
Itu artinya, ini giliranmu, Dewa.
“Pengawas dari Lilin akan jutaan kilau cahaya, tunjukkanlah iluminasi yang hamba cari.” Sang cleric meremas simbol suci yang menggantung di balik jubah pelindungnya, merapalkan keajaiban Search.
Dalam sekejap, pikirannya penuh dengan konten dari semua teks yang ada di depannya, hingga dia merasakan sebuah cahaya tertuju ke satu tempat tertentu. “Ah, ini dia.” dia berlutut di atas karpet yang belang dengan anggur dan otak, dan mengambil beberapa halaman yang terjadi di pojok ruangan. Kertas itu berisi sesuatu tentang rahasia nasional, informasi tentang kastil di ibukota. Kertas itu tampak seperti rencana denah—yang terlihat cukup baru. Rute pelarian dan segalanya… Terkecuali jika ini semua hanyalah rencana dari perdana menteri.
Sejujurnya, aku ingin membaca semua yang ada di sini, pikir sang cleric dari God of Knowledge, dengan rasa penasaran yang seperti kucing. Namun bisa di bilang hanya sekedar perasaan ingin tahu. Jika dia tidak membutuhkannya untuk pelarian, lebih baik untuk tidak mengetahuinya. Sang cleric mengumpulkan kertas itu, melipat kertas-kertas itu menjadi silinder dan mengikatnya.
Perlu mengetahuinya atau tidak, sedikit percakapan tidak ada salahnya. Sang cleric membiarkan senyum tipis menyeringai di wajahnya. “Kira-kira siapa yang orang yang menginginkan pria ini di bunuh.”
“Entahlah? Mungkin keluarga dari salah satu budak yang dia beli. Atau mungkin salah satu dari orang yang culik adalah bangsawan atau semacamnya…” mata-mata memberikan ucapan selamat datar kepada sang cleric karena telah menyelesaikan pekerjaannya, dan cleric mengangguk membalas.
“Kalau kamu membuat banyak musuh, inilah yang kamu dapatkan.” Gadis berambut merah membalas. Adalah hal yang sangat dingin untuk di katakan, baginya.
Mata-mata hanya mengangkat bahunya, namun untuk cleric, dia dapat memikirkan beberapa motivasi yang memungkinan. Changeling sangatlah sedikit dan langka—sangat berharga. Dan changeling ini dapat menggunakan sihir. Terdapat beberapa orang di sana yang tidak akan ragu untuk menculiknya. Melakukan hal mengerikan kepada temannya untuk mendapatkan dirinya. Dunia ini terbagi menjadi tiga -kategori: mereka yang mengambil, mereka yang di rebut, dan mereka yang selamat.
Ahhm sudah, sudah.
Adalah spekulasi sekedarnya. Tidak ada bukti, dan satu-satunya jawaban terkunci di dalam hati temannya. Tentunya orang dapat membayangkan ribuan alasan seseorang yang beralih pada pekerjaan di dalam bayangan seperti ini. Terdapat mata-mata, yang mengganti bagian tubuhnya yang hilang dengan sihir terlarang. Sang supir, yang berutang kepada seorang wanita yang tidak dia kenal. Sang fixer, yang selalu tertawa, dan sang mage yang membantu grup ini yang entah mengapa tidak pernah menunjukkan diri mereka.
Namun siapa yang membutuhkan alasan? Mereka semua berteman dengan baik. Ini adalah party yang bagus, dia pikir.
Untuk itu, adalah sesuatu yang cukup membingungkan mengapa cleric ini terjun masuk ke dalam dunia bayangan ini. Dia tidak memberitahukan alasannya kepada siapapun, dan mereka cukup sopan untuk tidak bertanya. Dia akan membalas rasa hormat mereka tanpa berkata.
“Baiklah, aku selesai di sini.”
“Baik,” Elf berambut merah berkata, kemudian dia berbisik, “Umbra fac simile. Buatlah aku segelap dirimu…” dan menyentuh bayangannya sendiri.
Patuh kepada bisikan akan kata sejati, bayangannya bangkit dan membentuk, terbentuk menjadi usungan. Sangat berguna. Terutama ketika terdapat batasan akan betapa banyak barang yang bisa kamu bawa bersamamu. “Efek Charisma masih ada, jadi ayo lakukan ini selagi kita bisa.”
“Baik.” Mata-mata mengangguk, dan dengan tenaganya yang di perkuat oleh mantra itu, dia dengan mudahnya mengangkat mayat kapten dan menjatuhkannya ke atas usungan. Dia merobek tirai terdekat yang dapat dia temukan dan membungkus tubuh sang kapten. “Satu pahlawan terluka, siap melayani.”
Sekarang mereka dapat berjalan keluar gerbang depan dan melarikan pada kereta kuda yang menunggu. Adalah tepat di saat yang kacau, “ricuh” seperti ini, seseorang itu harus dapat menjadi sangat teknis.
“Aku pegang yang ujungnya,” elf berambut merah berkata, berjalan menuju belakang usungan.
“Terima kasih,” jawaban sang mata-mata. Dia mengangkat ujung dari usungan dengan satu tangan, memegang busur silang pada tangan lainnya. “Kamu pura-pura ngangkat aja di depan. Nggak masalah kok.”
Kurasa dia nggak perlu bantuan kita dengan tenaga seperti itu.
Sang cleric tidak ingin menghalangi. Pikiran itu membawa senyum terhibur pada wajahnya. Terdapat benda lain di ruangan ini, seperti halberd dan sebuah helm, yang tampaknya cukup bernilai tinggi—namun semua itu hanya sekedar lewat saja.
“Kami memebawa yang terluka! Semuanya minggir!”
Mereka bertiga berlari melintasi aula dengan mayat di atas usungan.
Mereka mendorong para prajurit dari jalan, menjaga busur silang tetap selalu fokus ke depan, terkadang menembakkan panah kepada seekor goblin.
“Hei,” sang elf berambut merah berkata seraya mereka melalui berbagai macam gerombolan di arah lain. Dia tampak seperti cleric berwajah mungil—seorang pelayan dari Ibunda Bumi, sepertinya.
“Semuanya baik-baik saja?” mata-mata bertanya.
“Yeah, nggak masalah.” Sang elf berkata dengan gerakan kepalanya. Namun sang mata-mata, seperti cleric, akan menyadari doa sunyi akan keberhasilan yang gadis itu doakan. Namun tidak ada dari mereka yang berkata apapun, jika ada seseorang di sana yang doanya di tujukan olehnya, maka bagus.
Tiba-tiba, di lorong—tidak, di keseluruhan benteng—terjadi getaran hebat. “Yikes…” Mata-mata menangkap sang elf dan menjaganya agar tidak terjatuh seraya dia bersiap untuk bereaksi dengan busur silangnya, sang cleric menutup kedua mata dan hanya untuk sesaat, kesadaraannya terlempar ke dalam kehampaan.
“Wow…” Kurang lebih dia terkagum tanpa maksud. Adalah sulit di percaya—benar-benar mengagumkan. “Para petualang itu entah bagaimana bisa memanggil manta pasir. Para manta! Kamu bisa mempercayainya?”
“Pasti ini sebuah kesalahan!” sang mata-mata berteriak. “Sialan, orang-orang ini sama sekali nggak punya tata krama.”
“Ayo terus bergerak, atau kita akan runtuh bersama tempat ini,” sang elf berambut merah berkata. Kemudian dia tertawa pada dirinya sendiri. Terdapat sesuatu untuk di katakanS di dalam kekacauan ini.
“Kita hanya perlu mengantar kertas-kertas ini kan?” sang cleric bergumam sekedarnya. Dia ingin melepaskan kertas ini dari tangannya sebelum dia tergoda untuk membacanya. “Kamu tahu kemana arah kita?”
“Yeah.” Sang mata-mata tersenyum. Elf berambut merah berambut merah menatap matanya dan tersenyum juga. Sebuah misteri lainnya. Sebuah misteri yang akan cukup sulit terkuak.
“Seperti ini rencananya. Kita pergi, kita berikan ini, kita kembali, kita dapatkan uang kita, kita pulang.”
Apapun yang terjadi pada prajurit lainnya di benteng ini, atau apapun yang terjadi pada Negara ini, bukanlah menjadi urusan mereka. mereka hanya penjahat yang membunuh demi uang, pembunuh yang berlari melewati bayang-bayang. Mereka bukanlah pahlawan keadilan, dan mereka tidak akan membenarkan dunia: mereka adalah para rogues. Pada akhirnya hanya mereka di kegelapan, tanpa apapun selain bergantung pada kemampuan mereka “tanpa ketahuan tanpa lari” tidak ada seorangpun yang akan mengumpulkan mayat mereka jika mereka mati.
Biarkan para petualang dan pahlawan menangani para naga.
Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya
0 Comments
Posting Komentar