Biarawan Biru Yang Liar Tak Terkendali
(Penerjemah : Hikari)
Begitu aku pulih, Doa Musim Semi berlanjut dengan kami mengunjungi wastu-wastu bangsawan yang tersisa. Tidak ada hal khusus di luar kebiasaan yang terjadi, dan kami semua kembali ke biara dengan aman.
"Selamat datang kembali, Suster Myne," sambut Wilma dengan senyum hangat.
"Kurasa kau tidak mengacaukannya!" Delia menambahkan.
"Terima kasih kalian berdua mengawasi kamarku selagi aku pergi. Bagaimana kabar semuanya?"
Delia dan Wilma menyambutku begitu aku kembali ke kamar, dan rasa lega menyapuku. Aku merasa seakan kembali ke tempat seharusnya aku berada.
Fran dan Gil mulai membongkar muatan yang ada di kereta selagi aku berganti pakaian dari baju bepergian bangsawanku ke jubah biarawatiku yang biasa—dengan bantuan Delia, tentunya.
"Aku akan menyiapkan kamar mandi untukmu begitu airnya panas."
“Terima kasih, Delia.”
Delia, Wilma, and Rosina semuanya bekerja keras membongkar dan mengatur muatan yang dibawa ke dalam, tapi itu menumpuk lebih cepat daripada yang bisa mereka bongkar. Kamarku dalam waktu singkat menjadi sama berantakannya dengan sebelum aku pergi.
"Suster Myne, saya benar-benar minta maaf, tetapi Kepala Pastor memanggil Anda untuk urusan mendesak. Sepertinya ini tentang kepulangan Anda," kata Fran, terdengar sedikit rasa cemas dalam nada suaranya. Dia mengambil jeda istirahat sesaat dari memindahkan muatan dan cepat-cepat menaiki tangga ke tempatku berada.
Aku sudah khawatir tentang kapan aku akhirnya bisa pulang mengingat Doa Musim Semi sudah selesai, jadi mendengar Kepala Pastor ingin berbicara padaku tepat tentang hal itu membuatku melompat dari kursi dengan gembira.
"Aku akan pergi sekarang juga."
"Rosina, tolong dampingi Suster Myne. Aku harus melanjutkan membongkar barang bawaannya."
Saat menuruni tangga aku melihat Fran san Hugo membawa barang bawaan bersama-sama, kelihatannya mereka semakin dekat selama perjalanan. Ella, mungkin karena pengalamannya mengangkat panci-panci berat sebagai seorang juru masak, memiliki lengan yang kuat dan bahkan dapat dengan mudah mengurusi tas-tasku yang berat. Gil di luar dugaan juga kuat untuk ukuran tubuhnya, mungkin itu berkat dirinya yang makan lebih banyak dan melakukan pekerjaan kasar di bengkel dan hutan.
"Aku akan pergi ke ruangan Kepala Pastor," aku mengumumkan. "Kuserahkan kamarku dalam penanganan kalian semua."
Di luar pintu masuk area bangsawan di biara ini, sebaris kereta masih sedang dibongkar. Para biarawan abu-abu di bengkel juga membantu, dan aku melihat sebuah wajah yang tidak asing dari bengkel sedang berjalan dengan membawa sebuah kotak besar.
“Aku sudah kembali. Bagaimana keadaan panti asuhan?” tanyaku, dan setelah mengerjap kaget, biarawan abu-abu itu tersenyum kecil.
“Selamat datang kembali, Suster Myne. Anak-anak sudah banyak berkembang. Mereka akan sangat senang melihat Anda di panti asuhan lagi.”
“Aku juga akan merasa sangat senang.”
Para biarawan abu-abu menyingkir ke samping untuk memberiku ruang. Aku mengangguk berterima kasih pada mereka dan berjalan dengan cepat agar tidak mengganggu pekerjaan mereka.
“Kau memanggil, Kepala Pastor? Tunggu...Pastor Sylvester?”
“Kau sudah sampai, Myne.” Sylvester sedang bersantai di ruangan Kepala Pastor seakan-akan dialah pemilik tempat ini, berbaring di bangku dan menikmati buah yang ditaruh di meja untuk pengunjung.
Sementara itu, Kepala Pastor sama sekali tidak menghiraukannya, memberi instruksi pada para biarawan abu-abu yang membawakan barang-barangnya.
“Um, Kepala Pastor. Aku diberi tahu kalau kau memanggilku,” kataku.
Kepala Pastor berbalik, dengan sebuah ekspresi luar biasa letih di wajahnya, dan memintaku untuk duduk. Aku mengangguk dan mengikutinya ke meja.
Begitu aku duduk, Sylvester mencondongkan diri ke arahku. “Akulah yang memanggilmu. Aku mau melihat-lihat dan sepertinya kau gadis yang cocok untuk pekerjaan itu, Myne. Jadilah pemanduku.”
“...Apa sebenarnya maksudmu dengan itu?” Aku memandang Kepala Pastor untuk meminta penjelasan, tapi sebelum dia bisa membalas, Sylvester menjawab jengkel.
“Memangnya apa yang seorang pemandu lakukan selain memanduku? Pertama-tama, ke panti asuhan. Lalu ke lokakaryamu. Aku juga harus melihat hutan tempat para anak yatim piatu itu pergi,” katanya dengan santai.
Aku menegang secara refleks. Tidak ada satu pun biarawan biru yang pernah menunjukkan minat pada panti asuhan ataupun bengkel sebelumnya; bahkan Kepala Pastor hanya pernah mendengar soal itu dari laporan-laporannya, tidak pernah benar-benar mengunjungi tempat-tempat itu. Terlebih lagi, Sylvester muncul begitu saja entah dari mana dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Aku tanpa sadar berpegang pada jubah Kepala Pastor.
“Tenangkan dirimu, Myne. Aku juga akan ikut ke panti asuhan dan lokakarya. Aku sudah lama berpikiran akan lebih bijak untuk melihat sendiri perubahan-perubahan yang kau buat.”
Aku menaruh sebelah tangan di dadaku dengan lega. Sylvester mungkin tidak akan menimbulkan terlalu banyak masalah selama Kepala Pastor mengendalikannya.
“Sedangkan untuk hutan, meski begitu…” Kepala Pastor melanjutkan. “Hutan di Area Bangsawan seharusnya cukup untukmu.” Dia memelototi Sylvester sambil mengatakan itu, rasa lelah akibat perjalanan kami terlihat jelas di wajahnya.
“Tidak, aku akan pergi ke hutan. Aku akan melihat restorannya juga.” Sylvester kembali menyebutkan setiap tempat yang ingin dia kunjungi.
“Restorannya belum selesai; aku yakin sudah mengatakan bahwa para juru masaknya sedang dalam pelatihan. Tapi yang lebih penting—Kepala Pastor, apakah biarawan biru diperbolehkan untuk pergi ke hutan kota bawah?”
Pergi secara langsung ke restoran Italia dengan sebuah kereta adalah hal lain, tapi aku tidak pernah sebelumnya mendengar biarawan biru manapun yang pergi ke hutan kota bawah. Ada sebuah hutan di Area Bangsawan yang hanya boleh dimasuki para bangsawan. Tempat itu ada pengawasnya, dan rakyat biasa manapun yang berkeliaran di dalamnya dari luar kota akan dibunuh tanpa terkecuali. Jika Sylvester mau pergi ke hutan, dia tinggal pergi ke hutan bangsawan, seperti yang Kepala Pastor katakan.
“Aku tertarik untuk melihat seperti apa hutan rakyat biasa. Itu tidak akan masalah; kebanyakan orang di kota bawah bahkan tidak akan mengenali kami sebagai bangsawan. Dan aku bisa melindungi diriku sendiri dari siapapun, tidak masalah.” Sylvester kemudian menepuk otot bisepsnya lengannya yang tertekuk, menyunggingkan cengiran percaya diri. Aku bisa melihat kalau dia benar-benar penuh semangat, tapi membiarkan dia melakukan apa yang dia mau sudah pasti akan bumerang bagi kami.
...Kepala Pastor, aku mengandalkanmu untuk menahannya. Aku diam-diam menaruh semua harapanku pada Kepala Pastor, tapi dia hanya melihatku sambil memijat pelipisnya, seakan sedang menahan sakit kepala.
“...Baiklah, lakukan sesukamu. Myne, aku minta supaya kau melaporkan padaku dengan rinci apapun yang dia lakukan.”
Berkebalikan dengan Sylvester yang sepertinya bersemangat tanpa batas, Kepala Pastor benar-benar kelelahan, kelihatannya dia tidak ingin memikirkan apapun lagi. Aku memandangi mereka bergantian, bingung; sebelum aku menyadarinya, aku sudah ditugaskan untuk menjadi pemandu Sylvester.
Aku merasa kata “babysitter” akan jadi kata yang lebih akurat untuk menggambarkannya, sungguh.
“Kalian berdua bisa pergi.”
Kepala Pastor ingin kami pergi, tapi aku mengencangkan genggamanku pada lengan jubahnya. Kenapa aku harus datang ke sini kalau bukan untuk mendengar tentang kepulanganku ke rumah? Sudah jelas bukan untuk tugas memandu yang dipaksakan padaku.
“Kepala Pastor, aku diberitahu kau ingin membicarakan tentang kepulanganku. Kapan aku boleh meninggalkan biara?”
Pandangan Kepala Pastor goyah sebelum dia menunduk melihatku. “Ya, hm… Kau baru-baru ini menguras mana-mu yang luar biasa besar. Keluargamu tidak punya cara untuk membantumu kalau kau sampai ambruk. Beristirahatlah di sini selama tiga hari, dan kalau kau tidak jatuh sakit di hari keempat maka kau boleh pulang pagi itu. Informasikan keluargamu tentang hal ini. Selain itu, bantu kami dengan beristirahat dengan baik hari ini.”
“Baik!” Aku memberikan tanggapan penuh antusias sebelum meninggalkan ruangan bersama Rosina. Entah kenapa Sylvester juga berdiri, bersama dengan biarawan abu-abu di belakangnya yang mungkin seorang pengiring.
“Baiklah. Ayo pergi, Myne.”
“Pastor Sylvester?”
“Datang ke ruanganku.”
“Um… Tapi aku harus istirahat…?” Aku menoleh ke belakang untuk meminta bantuan Kepala Pastor, tapi dia hanya mengangkat bahu dan mengedikkan dagu ke arah pintu, memberi tanda supaya kami pergi. Sylvester menurutinya dengan senang hati.
Aku tidak ada jalan keluar. Setelah bertukar pandang pasrah dengan Rosina, aku menyusulnya.
“Ayo, ini ruangannya.”
Sepertinya ruangan Sylvester berada tepat di sebelah ruangan Kepala Pastor. Dia membuka pintu untukku dan aku menemukan bagian dalam ruangannya nyaris kosong. Rasanya aneh bahwa ruangannya hanya ada perabotan ala kadar saja; aku tadinya berpikir bahwa seorang anak SD yang terlalu besar seperti Sylvester ini akan memenuhi ruangannya dengan benda-benda yang berkaitan dengan hobi dan seleranya.
“Myne, aku tahu kau membawa anak-anak panti asuhan ke hutan. Bawa aku juga kalau kau tidak mau aku memberitahukan pada Kepala Uskup tentang semuanya.” Sylvester menyunggingkan cengiran congkak saat mencoba mengancamku. Semua orang di biara tahu bahwa Kepala Uskup membenciku, karena itulah tidak ada satu pun biarawan biru yang pernah mendekatiku sampai saat ini.
Aku mengerutkan alis, tidak mengerti apa yang sedang Sylvester pikirkan. “Kenapa kau ingin pergi ke hutan…?”
“Untuk berburu.”
Aku mengerjapkan mata dengan kaget mendengar jawabannya. “Untuk berburu? Di mana kau biasanya pergi berburu sebelumnya?” Aku masih tidak mengerti kenapa dia ingin pergi ke hutan kota bawah.
“Di hutan Area Bangsawan, tentu saja.”
“Kalau begitu kau bisa lanjut pergi ke situ.”
“Tempat itu terlalu membosankan,” Sylvester menghela napas, sebelum menyebutkan semua masalah yang dia miliki dengan hutan bangsawan. Tidak hanya kau harus mendapat izin dari pengawas terlebih dahulu, kau hanya diperbolehkan pada waktu yang sudah ditentukan. Itu bukanlah tempat di mana kau bisa berkeliaran begitu saja saat kau ingin.
Terlebih lagi, ada kompetisi berburu yang cukup besar yang diadakan setiap tahun. Posisi semua orang ditentukan oleh status mereka dalam hierarki bangsawan, dan kau harus berburu sambil memastikan tidak melampaui batasan tingkatan sosialmu. Itu lebih tepatnya sebuah tempat bagi para bangsawan untuk menyanjung dan mencari muka dengan archduke daripada melakukan perburuan yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, hutan bangsawan memang kedengarannya tempat yang terlalu kaku untuk seseorang seperti Sylvester—seorang pria dengan hati seorang bocah kecil yang murni ingin menguji kemampuan, pujian yang tulus, dan sebuah tempat di mana dia bisa berlarian dengan busurnya kapan pun dia merasa ingin berburu.
“Aku mengerti sekarang, tapi kau tidak bisa pergi ke hutan kota bawah dengan pakaian sebersih itu.”
“Bawakan aku pakaian kotor dari kota bawah kalau begitu.”
“...Aku tidak tahu berapa banyak orang yang akan pergi denganmu, tapi apa kau berencana untuk membuat mereka memakai pakaian kotor juga?”
Mudah bagiku untuk membeli baju murah di toko barang bekas untuk mereka, tapi aku tidak tahu berapa banyak baju yang akan dia butuhkan.
Akan tetapi, pertanyaanku itu malah membuat Sylvester kebingungan. “Apa yang kau bicarakan?”
“Aku menanyakan berapa banyak orang yang akan pergi denganmu.”
“Tidak ada. Biara adalah hal lain, tapi aku tidak akan perlu pengiring di kota bawah.”
Aku menatap antara Sylvester dan biarawan abu-abu yang sedang menyiapkan teh untuk kami. “...Apa Kepala Pastor tahu soal ini?”
“Kenapa aku harus memerlukan izin Ferdinand? Kau mungkin seorang rakyat biasa yang dia asuh, tapi aku tidak membutuhkan izin siapapun.” Dia menegaskan pernyataannya dengan “Siapapun harusnya tahu itu.”
Aku menundukkan kepala pasrah. Tentu saja biarawan biru dewasa tidak akan perlu izin dari Kepala Pastor untuk apapun yang mereka lakukan. Meski demikian, aku merasa seakan orang seperti Sylvester akan perlu seseorang untuk terus mengawasinya sama seperti yang dilakukan padaku.
“Ngomong-ngomong, kita akan pergi ke panti asuhan dan lokakarya dulu. Kita akan melakukannya lusa.”
“...Um, Pastor Sylvester. Apa kau pergi ke panti asuhan untuk mengambil bunga dari seorang biarawati?” tanyaku, tidak dapat memikirkan alasan lain kenapa seorang biarawan biru ingin pergi ke panti asuhan.
Sylvester meringis, alisnya bertaut jijik. “Myne, anak kecil sepertimu sebaiknya jangan membicarakan hal seperti itu. Kau mau mencicit ‘pooey’ lagi?”
“Tidak, hanya saja, aku adalah direktur panti asuhan, jadi…”
Aku sudah mempertimbangkan untuk diam-diam menyembunyikan para biarawati yang cukup umur untuk mempersembahkan bunga kalau Sylvester berniat untuk mencari mereka, tapi dinilai dari reaksinya ini sulit untuk berpikiran itulah tujuannya. Hanya itu yang perlu kuketahui.
“Kau pikir aku begitu kelaparan wanita sampai-sampai aku perlu pergi ke panti asuhan untuk mencarinya?”
“Bwuh? Kupikir itu adalah hal yang normalnya dilakukan biarawan biru.” Aku selalu beranggapan bahwa mereka mengincar biarawati abu-abu karena mereka begitu jarang meninggalkan biara, tapi mungkin aku keliru. Aku menelengkan kepala, penasaran.
Sylvester menggigit bibirnya sesaat, kemudian berdeham. “...Pria dengan karisma dan pesona sepertiku bisa menemukan wanita manapun di Area Bangsawan juga.”
“Aku yakin itu.”
Jika itu artinya dia tidak akan mengejar para biarawati abu-abu di biara, aku sama sekali tidak keberatan Sylvester membual tentang betapa mudahnya dia mendapatkan gadis di Area Bangsawan. Aku berjanji untuk mencarikannya baju bekas dan keluar dari ruangan itu bersama Rosina.
Begitu kembali ke kamar, aku memanggil semua pembantuku sementara mereka menyingkirkan barang-barang bawaanku, mengumpulkan mereka semua. Aku harus mengatakan pada semua orang tentang rencana Sylvester dan Kepala Pastor.
"Lusa nanti, Kepala Pastor dan seorang biarawan biru akan mengunjungi panti asuhan dan lokakarya."
"Lusa?!" seru mereka serempak. Semua orang sudah jelas terkejut, kecuali Delia, yang tidak pergi ke tempat-tempat itu. Ini benar-benar rencana yang terlalu mendadak; biasanya persiapan cermat akan dilakukan dan sebuah peringatan akan diberikan jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi mengingat Sylvester sudah menetapkan sendiri harinya, bisa disimpulkan bahwa ini sudah benar-benar ditetapkan.
"Tolong pastikan panti asuhan dan bengkel dibersihkan secara menyeluruh. Sedangkan untuk hal lainnya, kalian boleh melakukannya seperti biasa." Kami tidak melakukan apapun di bengkel yang kami tidak ingin orang lain lihat. Belum lagi, aku sendiri pun tahu, mencoba menyembunyikan sesuatu tidak akan pernah berakhir dengan baik. Aku sebaiknya terbuka apa adanya sejak awal.
“Suster Myne, apakah kunjungan dari biarawan biru itu artinya…” Wilma tidak menyelesaikan perkataannya, wajahnya memucat.
Aku menggeleng pelan. “Jangan khawatir, Wilma. Tidak ada satu pun dari mereka yang akan meminta persembahan bunga. Mereka hanya ingin melihat lokakarya dan perubahan di panti asuhan.”
“Sa-saya mengerti.” Wilma mengangguk, tapi tetap saja merasa gelisah. Malahan, dia sekarang gemetaran. Aku merasa sangat kasihan padanya, tapi keputusan Sylvester sudah bulat. Tidak akan ada yang bisa menghindari kunjungannya ke panti asuhan.
“Meskipun aku ingin sekali mengatakan bahwa kau boleh tetap di kamarmu, namun karena kau dipercaya untuk menjalankan panti asuhan, kau mungkin akan diperlukan untuk menjawab pertanyaan apapun yang mungkin mereka ajukan.”
“Saya mengerti.” Wilma menautkan jari-jarinya dengan erat di depan dada, meremasnya kuat-kuat. Aku merasa kecewa pada diriku sendiri karena tidak mampu melakukan apapun selain menyaksikan dia gemetaran.
“Gil, apa Lutz atau Leon ada di bengkel? Kalau ada, tolong panggil mereka. Akan lebih bijak untuk menginformasikan Firma Gilberta tentang kunjungan ini.”
“Keduanya ada di sini; aku akan melihat apa mereka berdua senggang,” kata Gil sebelum berbalik pergi.
Aku berpindah ke aula di lantai pertama sehingga Lutz atau Leon dapat bergabung dengan kami sementara para pelayan-pelayanku yang lain mulai memindahkan kotak-kotak kosong yang berserakan ke kamar-kamar untuk pelayan pria terdekat, mengosongkan ruang dan membuat tempat itu terlihat lebih rapi.
“Hei, Myne. Senang melihatmu kembali.”
“Lutz! Sudah lama sekali!”
Aku berlari dan memberikan Lutz sebuah pelukan. Aku sudah jauh darinya lebih lama daripada sebelum-sebelumnya karena Doa Musim Semi.
“Banyak sekali yang terjadi. Aku bahkan tidak tahu harus memulai dari mana,” lanjutku. “Aku benar-benar kecapekan.”
“Kedengarannya parah,” kata Lutz, tapi sebelum aku bisa menanggapi, sebuah suara tidak senang terdengar dari belakangnya.
“Bisa tidak kau lanjutkan itu nanti saja dan sekarang jelaskan kenapa kau memanggilku ke sini juga?”
“Oh, kau juga ada di sini, Leon?”
“Aku sudah ada di sini sejak tadi.”
Leon adalah leherl Firma Gilberta yang sedang dilatih sebagai pelayan meja oleh Fran selama musim dingin. Dia sebentar lagi akan masuk usia dewasa, tapi karena dia sedikit pendek, dia jadi terkesan seperti anak lebih muda yang mencoba bicara seperti orang yang lebih tua. Dan walaupun kemampuannya tidak diragukan lagi dalam hal pekerjaan, mengingat Benno telah menandatangani kontrak leherl dengannya, dia selalu bersikap kasar setiap kali aku mencoba memulihkan jiwaku dengan Lutz, jadi pendapatku soal dia tidak begitu bagus.
“Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu, Leon. Tidak masalah kalau kau mau pergi.”
Lutz menepuk kepalaku. “Myne, santai saja. Kurasa ini sesuatu yang penting untuk dilakukan dengan Firma Gilberta?”
Aku mengangguk dan memandangi Leon, masih menempel pada Lutz. “Lusa nanti, Kepala Pastor dan seorang biarawan biru akan mengunjungi panti asuhan dan lokakarya. Tolong katakan pada Benno tentang ini. Aku yakin dia ingin memiliki koneksi dengan bangsawan, dan biarawan biru tersebut berminat dengan restoran Italia.”
“Mengerti.” Leon dengan mulusnya berlutut dan menyilangkan lengan di depan dada. Walaupun sikapnya ketus setiap kali aku memeluk Lutz, dia berdedikasi terhadap pekerjaannya.
“Hanya itu hal tentang Firma Gilberta yang perlu kubicarakan. Satu-satunya yang tersisa adalah permintaan pribadiku untuk Lutz,” jelasku.
Leon berdiri. Dia memberikan satu pandangan kesal padaku yang menempel pada Lutz, kemudian pergi setelah mengatakan “Aku pergi duluan.”
“Apa permintaanmu?”
“Yah, aku harus beristirahat di sini tiga hari lagi sampai aku merasa lebih baik, tapi Kepala Pastor bilang aku bisa pulang ke rumah di hari keempat selama aku tidak jatuh sakit sebelum itu. Bisakah kau mengatakan itu pada Ibu dan yang lainnya?”
“Tentu. Tapi...lumayan lama, ya?” gumam Lutz, suaranya bergetar selagi mencoba menahan luapan emosi sementara dia menahan serangan rasa sayangku. Aku hanya bisa bertahan hidup jauh dari keluargaku selama ini karena Lutz dan Tuuli telah mengunjungiku begitu sering, dan membiarkanku memeluk mereka setiap kali bertemu.
“Selain itu, aku juga ingin sepasang baju bekas, cukup besar untuk dipakai Deid. Baju itu untuk pria kekar yang badannya cukup tinggi.”
“...Dan siapa itu?” tanya Lutz. Itu adalah pertanyaan yang lumrah—pertanyaan yang begitu lumrah sehingga siapapun di dunia ini mungkin akan menanyakannya juga. Tapi karena aku tidak tahu apakah bijak untuk menjawabnya secara terang-terangan, aku berdiri berjinjit dan meregangkan punggung untuk berbisik diam-diam di telinga Lutz.
“Biarawan biru yang mengunjungi kita lusa nanti.”
Lutz memperlihatkan ekspresi yang mustahil digambarkan dan kemudian, setelah semenit keheningan, mengeluarkan sebuah gumaman, “Dia orang aneh, ya ‘kan…?”
“Ya. Orang besar yang aneh. Dia bilang ingin ke hutan untuk berburu.”
Biarawan biru mana pun yang begitu ingin untuk berburu di hutan kota bawah sampai-sampai memakai baju bekas yang kotor adalah orang yang aneh, polos, dan sederhana.
Lutz meringis menyadari bahwa ini akan menjadi tugasnya untuk membawa biarawan itu ke hutan, dan sejujurnya, aku merasa bersimpati padanya. Itu adalah posisi yang aku sendiri pun tidak mau.
“Yah, tidak ada gunanya meratapi apa yang sudah terjadi,” dia menghela napas. “Aku akan berburu baju besok, jadi itu akan siap saat harinya tiba.”
“Makasih, Lutz.”
Dengan selesainya percakapan itu, Lutz mulai memberitahuku tentang kemajuan yang dilakukan pada mesin cetak dan mata huruf Johann sementara aku pergi. Lokakarya Myne melanjutkan pembuatan kertas juga, jadi kami punya lebih banyak kertas lagi.
“Aku ingin mulai mencetak buku lagi secepat mungkin. Apa menurutmu Serikat Tinta sudah mulai membuat tinta kita?” tanyaku. Bahkan sekalipun kau punya semua kertas di dunia, kau tidak bisa mencetak tanpa tinta, dan kalau kami harus membuat tinta kami sendiri, maka kami harus mulai mengumpulkan jelaga lagi.
“Yah. Kudengar dari Master Benno kalau mereka sudah mulai mempekerjakan para perajin hanya untuk membuat tinta kertas tumbuhan. Oh, dan ada pimpinan baru Serikat Tinta.”
“Aku tahu itu. Kepala Pastor mengatakan padaku bahwa kepala yang lama sudah mati,” kataku sebelum terdiam dan memeluk Lutz lebih erat. Tidak mungkin aku bisa memberitahu dia bahwa para bangsawan yang memburuku telah membunuh orang itu.
“Ada apa?”
“Bangsawan itu menyeramkan.”
“Hah? Apa kau sedang membicarakan biarawan biru yang akan datang lusa nanti?” tanya Lutz, membuatku tertawa. Sylvester memang menyeramkan, tapi untuk alasan yang sama sekali berbeda dari para bangsawan yang memburuku.
“Bisa dibilang begitu, karena dia adalah bangsawan yang aneh. Menyeramkan rasanya tidak tahu apa yang akan dia lakukan berikutnya. Saat pertama kali kami bertemu, dia mencolek pipiku dan menyuruhku mencicit ‘pooey’.”
“Apa-apaan itu?”
Aku menceritakan pada Lutz hal-hal aneh yang Sylvester telah lakukan pada pertemuan pertama kami, kemudian aku mengatakan semua yang dia lakukan selama Doa Musim Semi.
Lutz mendengarkan sambil tertawa, sampai akhirnya dia menyunggingkan cengiran nakal dan mencolek pipiku.
“Ayo, Myne. Coba mencicit lagi.”
“Lutz, kau jahat! Pooey!”
0 Comments
Posting Komentar